Anda di halaman 1dari 57

"But I don't think a beautiful girl like you must be so..," he helped her to stand up, "..

full of
dirt?"

"It's none of your business," she said with low tones, "but thanks for helping me."

"Oh, angry and thankful at the same time," he's smile. With ninety degree bow he said, "you're
welcome, lady."

Then she frowned when saw and badges at his chest.

(This is actually the past of ‘Galaxy’ when Dragon majesty meet his wife, Faith from the very
first time. She’s daughter of high-class family with something like angels in her blood. And
young Dragon is Royal Family, the Presidente. Next Presidente)

"Hyung tahu dimana buku bahasa Inggrisku tidak?"

Yugyeom berkata dengan terburu-buru tepat ketika Jinyoung membuka pintu kamarnya yang
berada dalam kamar magnae line. Jinyoung menggeleng, membuat si magnae mendesah gelisah
dan kembali ke tempat awal dia mencari bukunya. Penasaran, orang yang mengaku-ngaku umma
dari member GOT7 itu mengekor dibelakang Yugyeom.

"Besok masuk jam berapa?"

"Jam setengah delapan, mana ada tes bahasa Inggris pula. Aduh, aku lupa taruh mana. Perasaan
tadi... OH TIDAK!"

"Kenapa?"

"K-ketinggalan di ruang latihan," kata Yugyeom sambil mengerang dan menjatuhkan diri ke
lantai. Ia lalu menggumam habis-dia-besok-waktu-tes.

"Mau aku ambilkan ke ruang latihan? Masih jam sembilan kok," kata Jinyoung duduk di depan
pemuda yang guling-gulingan tak menentu itu. Namun Yugyeom juga tak bisa mengiyakan
tawaran kakaknya, Jinyoung pasti lelah sekali tadi latihan berjam-jam. JAdi Yugyeom hanya
menggeleng dan berkata,

"Ah sudahlah, hyung. Nggak apa-apa. Sudah, hyung tidur saja. Sudah malam,"

"Ey...

"Chaerin, Chaerin bangun dulu. Ayo makan."


Sambil terbatuk-batuk dibalik masker, Yoongi mengguncang pelan tubuh yang dari semalam
seperti terbakar itu. Saat Chaerin sudah mulai mengedip-kedipkan matanya terbuka, Yoongi
mengambil segelas air putih di meja tidur Chaerin.

"Eng... Aku masih ngantuk, Yoong." suara Chaerin tak seperti orang bangun tidur, lebih berat
dan lebih kasar. Mungkin efek tenggorokannya yang tengah bermasalah.

"Eh, tapi kau harus makan dulu, setelah itu minum obat," kata Yoongi kembali terbatuk, "aku
juga mau makan terus minum obat."

Dengan kepala yang masih berat, maka Chaerin berusaha untuk duduk. Setelah meminum
setengah gelas air putih dari Yoongi, adik kembarnya itu lalu menaikkan meja makan kecil di
atas tempat tidur Chaerin. Ada dua mangkuk bubur dan lauk pauk yang sudah dimasakkan ibu
untuk dua anak kembarnya yang tengah sakit.

Berhadap-hadapan, Chaerin dengan kepala dan tenggorokannya yang masih sakit bersama
dengan Yoongi yang berusaha menahan batuknya untuk tak sembarangan menyebarkan virus
karena maskernya sudah dibuka untuk keperluan makan, mereka mulai mengambil sendoknya
masing-masing lalu berkata,

"Selamat makan, semoga cepat sembuh.

"Sometimes I didn't understand why you can ended up by marrying him." Hakyeon said to Eunji
who busy with her cooked for his husband, Jung Taekwoon.

"What? I'm sorry, i can't hear you." Eunji stop from her baked and turn her face to Hakyeon who
sip his tea elegantly.

"I'm still can't believe you can married with him."

"Oh, that?"

"Yes. He looked like a lion who have a phobia with camera. And here we go, you, the talkative
one who didn't know what the dot use in sentences."

"Hahahaha."

"But it's easy, you don't need change your surname, right?"

"It's ridiculous, Hakyeon. Why I want to married Jung because of surname?"


"Kau coba belajar dari Chaerin," kata Dara lembut di seberang telfon, "dia bahkan menerima
komentar lebih jahat dari apa yang kalian, dan kau, terima."

"Ne... Arghh." Chanyeol mengacak rambutnya sendiri, frustasi tak tahu harus berbuat apa,
membuat Dara hanya terkekeh, "mungkin kami hanya terlalu sensitif. Mungkin aku juga terlalu
sensitif dan orang-orang menjadi menyebalkan."

"Hei, Yeollie. Tak ada yang menjadi menyebalkan kau tahu?" kata Dara, "Bom menangis saat
orang-orang itu berusaha menyakiti Chaerin, tapi Chaerin selalu punya pandangan baik pada
apapun. Lihat dari sudut pandang baiknya, aku yakin semua itu pasti ada setitik nama baik di
dalamnya...,"

"Nah, kalau begitu, menurut Noona, apa sudut pandang baik dari kejadian milikku?"

"Ehm... Sudut pandangan baiknya.... Ah, benar. Kau harus mulai membuka kamusmu, Yeolli."

"Kenapa kau beri nama dia... Donat?" kata pemuda itu menatap dengan memicingkan satu
matanya tak suka pada hewan berkaki empat yang tengah berjalan kesana kemari mengendus
endus apa yang bisa diciumnya lewat hidung.

"Karena... Wajahnya bundar? Kenapa? Tak suka? Aku bisa menggantinya."

"OH DEMI RAMBUT NANAS NAMJOON!" Akhirnya Yoongi meledak, "Kenapa kau
memelihara... Memelihara seekor kucing, Chaerin!"

"Aku kesepian. Kau pergi kemah tiga hari yang lalu dan bibi Taeyeon membawa seekor kucing
lucu setelah menjemput Taehyung dari sekolah. Ini kan lucu sekali."

"Oke, besok aku beli landak dan kuberi nama dia Kopi. Kau tahu 'kan? Kopi."

"Bagus," kata Chaerin menepukkan tangannya dan senyumnya mengembang bahagia, "Donat,
kau besok akan punya adik berbulu jarum!"

Setengah hati Yoongi berkata kenapa dia tak dimakan beruang liar saja kemarin saat kemah.

"Hi, I'm Mark Tuan. I lived at 511, nice to meet you... Ehm, Ginger?"

"Oh, you are new here? That's explained why I never see you before!"

"Yes... Where do you lived?"


"If you lived at 511... I lived in front of you! 512b."

"You are the owner of white cat with blue eyes?"

"Ada yang bisa saya bantu, Nona?"

"Ah iya...," kata gadis yang menghampiri nurse station dengan raut wajah bingung, "infus adik
saya tidak jalan. Bisa minta tolong?"

"Tentu saja! Bahkan kalau nona minta nomor ponsel saya pun, akan saya berikan." Kata
Jinyoung dengan senyum andalannya sambil berjalan dengan keluarga pasien tersebut. Terlihat
warna pink pudar di kedua pipi gadis yang digoda Jinyoung itu.

"Jaebum," panggil Ginger pada pemuda sipit disebelahnya sambil memandang kedua punggung
yang memasuki kamar, "kalau Jinyoung kembali nanti, tolong jambakkan rambutnya untukku.
Aku mau menyiapkan obat dulu."

Setelahnya Ginger berlalu ke ruang penyimpanan obat, sementara Jaebum hanya tertawa tahu
gadis itu 'enough-already' akan kelakuan kocak tak punya muka si Park Jinyoung apalagi
masalah wanita. Khususnya yang cantik.

"Hi, good morning."

"It's still night there," he said. She just chuckled and press the elevator button. Waiting for that
iron's door to open.

"What time's there?"

"6 pm. You will go to campus?"

"No. I'm on practice week now."

"Oh, in the hospital."

"Yes... And when will you comeback?" she's asking with amusing tone, walked into the elevator.
Now it's his turn to chuckled.

"Around two days again. Miss me?"

"What do you expected more than I miss you? I hate you?"


"Y-Yerin!"

Saat gadis berambut panjang itu tengah mengemasi barang-barangnya di pinggir ruang latihan
kantor JYP yang sepi serta merta menghentikan kegiatannya. Ia membalikkan badan dan
tersenyum mengetahui siapa si pemanggil yang kini tengah berjalan ke arahnya.

"Ne, Yugyeom?" katanya. Sebuah rasa hangat menggelenyar ke jantung pemuda itu, Kim
Yugyeom, dan menarik senyumnya jadi lebih lebar saat namanya meluncur dari bibir Baek
Yerin.

"Eh... Ini. Aku mau kasih ini," Yugyeom menyerahkan satu botol minuman isotonik untuk Yerin,
"tadi kulihat kau pucat sekali... Jadi... Ini. Ambil saja."

Yerin tertawa sebentar dan mengambil botol itu sambil mengucapkan terimakasih. Padahal jelas-
jelas kalau mau dibilang yang paling lelah diantara mereka berdua itu, ya, Yugyeom. Lihat saja,
sudah latihan untuk konser JYP Nation, belum lagi nanti latihan untuk comebacknya bersama
GOT7.

"Terimakasih Yugyeom," kata Yerin mengangkat botolnya dan tersenyum berterimakasih.


Wajahnya seperti diserbu ribuan semut yang berjalan ketika melihat Yugyeom yang juga
menarik kedua sudut bibirnya k eatas hingga matanya melengkung memancarkan sorot hangat.

Debaran di dada Yerin juga entah jadi lebih kencang. Padahal ini Yugyeom yang sudah dari
bertahun-tahun yang lalu ia kenal.

"Ah... Ehm... Apa kau... Sudah makan?" tanya Yugyeom dengan jeda disetiap penggalan kata,
sambil menggaruk tengkuknya salah tingkah. Yerin menggeleng kecil dan mengerutkan kening
karena Yugyeom seperti kesusahan untuk membuka mulut dan bertanya lagi.

"Mau makan bers—"

"YUGYEOM-AAAAAHHHHH!!!!!!"

Teriakan yang tiba-tiba itu membuat keduanya menoleh ke sudut ruangan yang lain, melihat
pemuda lain dengan senyum merekah hingga membuat kerutan di sekitar matanya. Yugyeom
memejamkan mata dan menghembuskan nafas pasrah saat 'umma'-nya GOT7 yang super duper
berisik ini berlari ke sampingnya dan memeluknya dengan satu lengan.

"Eyyy! Kau ini kemana saja anak nakal! Nggak tahu sudah ditunggu hyungdeulnya diluar?" kali
ini Jinyoung meyarangkan satu jitakan ringan di pelipis si magnae. Sementara Yerin tertawa
melihat Yugyeom yang meringis sambil memegang bekas kekerasan itu.

"Eh, ada Yerin. Annyeong, Yerin!" kata Jinyoung, "magnaeku tak mengganggumu 'kan? Dia tak
coba menggodamu 'kan?"
Mengingat ini adalah Park Jinyoung yang bicara, maka Yugyeom harus cepat-cepat ambil
tindakan sebelum mulut pemuda yang tiga tahu lebih tua darinya tersebut berkata macam-
macam.

"Eish! Sudah, sudah hyung! Ayo keluar, ayo keluar sajaa!" kata Yugyeom menarik Jinyoung
pergi dari sana. Yerin menahan tawanya melihat bagaimana Jinyoung berusaha bertanya tentang
apa yang Yugyeom lakukan bersamanya, sementara sang magnae yang menarik-narik kakaknya
keluar dari tempat latihan.

Sebenarnya bukan hal yang buruk punya satu rumah berisi begitu banyak para Putri-Putri
kerajaan dari seluruh dunia. Justru para wanita cantik yang terkekang di istana itu akan
menemukan keluarga baru dengan suasana yang lebih menyenangkan.

Tapi Ariel tahu, dia tak seharusnya dekat-dekat dengan si Elsa.

"Aku tak tahu!" kata Elsa dengan wajah bersalah menatap akuarium, berisi seekor putri duyung
yang menggumam-gumam marah dengan gelembung-gelembung disekitar mulutnya, "aku hanya
menyentuhnya karena dia sangat senang!"

"Dia bilang kau tidak lucu, Els," kata Pochahontas, si gadis berkulit gelap mengetuk-ketuk
permukaan air yang beku karena sentuhan Elsa. Sebenarnya tidak ada yang saah, hanya Ariel
lupa kalau Elsa memang harus dijauhkan dari segala hal, karena sentuhan tangannya dapat
membekukan apapun. Beruntung Elsa tak membekukan air di dalam akuarium dimana Ariel
tengah berendam, hanya permukaannya saja yang membeku dan membuat putri duyung
berambut merah yang uring-uringan disana.

"Aku minta maaf, sungguh sungguh aku minta maaf, Ariel!!" kata Elsa memekik.

"Sudah jangan panik, jaga bicaramu, Ariel. Tetaplah diam dan berhentilah mengomel," kata
Belle yang sudah siap dengan palu dan akan memecahkan bekuan es tersebut.

"Someone give you a... Heart?"

"Jimin unnie, that's an ice cream with heart shape. Not A-HEART."

"But that's heart....,"

"It's not a heart, thats an ice cream with heart shape with oreo flavour with white-black colour."

"Yes, yes, but this is HEART SHAPE. Heart. Ya know?"


"... Unnie if you talked about heart-non-sense again, I'll kick you off from my home and don't
touch that ice cream. Actually, that's not heart shape, that WAS heart shape. Look, I ate that."

"Okay.. Sorry..,"

"Hm."

"......"

"But your neighborhood is hot. Do you want a paramour?"

"Alkjda;lkjgfda;lfkjdasfl;kadsj fiae jfi!@#!!!!!!"

“Jinyoung, No.”
“Well, why can’t I?”
“Because it’s freaking trash bin! A huge one!”
“Nah, it’s okay. There’s no dump except from our pavilion, be calm.”
“Not that calm, Jinyoung. I’m not—NO. Jinyoung, get off from the ladder now.”
“After I got the ring.”
“You infectant yourself just because a three or more syllables word which call name?”
“Yep.”
“Something must wrong. Your neuron must be gone now!”
“Nah, that’s impossible. Be quite, Ji. I’m trying to find a tiny round small thing with just my
cellphone flash.”
“Jinyoung, what kind of nurse are you who climb in the trash?”
“Park Jinyoung.”
“It didn’t make any sense, came out!”
“Come on, Ji. Five minutes again our shift are over.”
“Yes, but it doesn’t mean we didn’t go back to pavilion right?”
“You can handle the patient without me. You in counter, and I’m in the student waiting room.”
“Yes, and I’ll have your head hanging on our patient room. For God’s sake, Jinyoung!”
“It’s funny. You are not afraid or even bother to use mask when disinfectant our patient diabetics
foot, with all the juices or something, yucks! And you’re afraid with dump?”
“It’s dump. IT IS. Something full of virus or something that I didn’t know. It’s different case but
It’ll make me stop raging you to JUST GET OUT ALREADY!”

Langit malam pekat tanpa titik-titik sinar bintang menarik perhatian Jaebum. Sambil terus
menyesap minuman keras dari gelasnya, ia menunggu suara geretan pintu terbuka jauh di
belakang punggungnya. Tak selang hitungan Jaebum tepat ke enam puluh, pintu kayu itu
tersorong terbuka lalu menutup. Sementara Jaebum enggan melihat siapa yang datang, langkah
kaki itu akhirnya berhenti bergaung di dinding kantornya.

“D-Director, Anda memanggil saya?” ucap pemuda itu setengah berbisik. Jaebum mengenal
suaranya, terlalu familiar dengan ini. Ia sudah biasa mendengar suara ini dalam kondisi apapun,
pakaian lengkap, atau telanjang tanpa sehelai benang.

“Ya, aku memanggilmu, Park Jinyoung.” Jaebum berbalik, meletakkan gelas alkoholnya
dibingkai jendela. Jinyoung berdiri agak jauh dari mejanya. Maka Jaebum memutar arah dan
berjalan mendekatinya. Pemuda dengan rambut hitam seperti miliknya itu menundukkan wajah
erat-erat dengan kedua tangan saling bertautan di depan tubuh. Mengisyaratkan sebuah keadaan
ketakutan yang lebih dari biasanya. Sesampainya Jaebum tepat di depan anak itu, Jaebum
terkekh sebentar.

“Aigoo.. Uri Jinyoungie. Kenapa takut sekali? Hm?” Jaebum menggodanya sekaligus terselip
nada sarkatis. Jaebum lebih mendekat lagi, benar-benar sangat dekat. Ia mendongakkan wajah
anak itu dengan mengangkat dagunya, senyum miring Jaebum terlihat sangat jelas. Wajah siswa
itu menunjukkan rasa gugup dan takut bahkan dia mungkin bisa menangis kalau Jaebum
mengeluarkan satu huruf lagi dari bibirnya.

Tapi Jaebum tak mengeluarkan huruf atau kata bahkan kalimat. Hanya bibirnya bertaut lembut
dengan milik Jinyoung yang sedikit gemetar karena sentuhan tiba-tiba itu. Jaebum tak peduli
meskipun anak yang kini menutup mata merasakan ciumannya tak membalas, malah Jaebum
melumat bibir Jinyoung lebih kasar. Hingga ia merasakan remasan gemetar di dada jasnya,
Jaebum melepaskan ciuman adiktif itu. Sengaja mengeluarkan suara yang menggema dan garis
tipis saliva diantara bibirnya dan anak itu. Jinyoung membuka matanya, tapi tak berani
memandang pandangan elang Jaebum.
“Kau tahu kesalahanmu, Park Jinyoung?” bisik Jaebum tepat di depan bibir Jinyoung, tangan
Jaebum kini lebih berani lagi. Ia menghabiskan jarak antara tubuhnya dengan Jinyoung,
menggeret mendekat pinggang Jinyoung dan tangannya yang lain menahan belakang leher
Jinyoung agar anak itu memandangnya langsung di mata. Senyuman puas Jaebum yang jahat
terangkat lebih tinggi melihat ketakutan di pandangan Jinyoung.

“Mencoba kabur dariku, huh? Mencuri blue print asrama dan berniat menerobos keluar? Ckck,”
Jaebum berdecak lalu mencium sudut bibir Jinyoung, merunutnya hingga tepat di depan telinga
anak malang itu,

“Kau tahu itu akan sangat sia-sia, Jinyoungie. Itu tindakan yang tak terpuji.”

Jaebum kembali ke posisinya yang semula, menatap Jinyoung lekat-lekat. Ia merasa amarahnya
sampai ke ubun-ubun, berani-beraninya manusia lemah tak berdaya ini ingin keluar dari garis
yang sudah di tetapkan Jaebum. Director muda itu mematut dirinya di iris Jinyoung yang kelam,
senyumnya tak memudar tapi lebih naik lagi. Matanya terasa tak seringan yang tadi, iris mata
kanannya berubah menjadi merah rubi sedangkan mata kirinya hitam pekat meninggalkan garis
tengah yang panjang bewarna putih.

“Aku tak terkesan dengan sikap macam itu, Youngie.” Ucap Jaebum memanggil nama
kesayangannya untuk Jinyoung, dengan nada yang berbahaya. Jika Jinyoung bisa melihat aura
Jaebum sekarang, gelap adalah jawabannya. Jaebum terkekeh berat sebentar sebelum menggeret
mendekat wajah Jinyoung, menertawai air mata Jinyoung yang mulai menetes. Tubuh anak itu
gemetar dalam dekapan Jaebum, terbukti dari cengkeraman kedua tangan Jinyoung di bagian
dada jas Jaebum, seakan merasa kalau tangan-tangan Jaebum bisa menghancurkannya dalam
sekejap.

“Katakan padaku siapa yang menyuruhmu, Jinyoung.” Kali ini tak ada senyum, mata Jaebum
melebar sedikit, tak memberikan kesempatan Jinyoung untuk memalingkan irisnya kemanapun.
Air mata terus menetes tapi Jaebum sepertinya tak tertarik. Tangan dibelakang leher Jinyoung
merambat ke rambut kelam anak itu, meremasnya pelan.

“Aku tak ingin menyakitimu, Sayang. Tolong katakan padaku, karena aku mulai kehausan
disini.” Kata Jaebum lebih monoton, lebih banyak ancaman, emosi dan tekanan. Ia tak ingin
menahan lagi, jadi Jaebum membiarkan salah satu gigi potongnya menyelinap keluar dari
bibirnya.

Semua ini kesalahan Jinyoung dan kepolosannya. Jika ia tak melakukan perjanjian dengan
Jaebum, jika saja Jinyoung tak senaif itu untuk menolong ibunya, jika saja dia percaya dengan
takdir. Harusnya Jinyoung mengerti kalau semua orang yang mati adalah jalannya masing-
masing. Jinyoung juga harusnya mengerti, menukar seluruh jiwanya menjadi setengah hati dari
seorang iblis, penerus pemimpin makhluk-imortal, bukan sesuatu yang bagus seperti di novel
roman milik noonanya. Jinyoung sewajibnya tahu, bahwa para setan akan menggunakan cara
apapun untuk merayunya ke perangkap mereka, wajah tampan, kata-kata racun yang manis,
segala cara.

Jinyoung tak mengerti. Jinyoung hanya tahu Jaebum bisa mengembalikan ibunya lagi. Apapun
akan ia lakukan, apapun seperti sekarang. Menjalin ikatan selamanya dengan iblis. Perjanjian
mematikan padahal itu takkan pernah bisa membunuhnya. Jinyoung akan sangat berterimakasih
jika ada yang membunuhnya sekarang.

Tapi bukan Jaebum. Jaebum bukan pilihannya untuk mati. Terlalu menakutkan, terlalu
menyakitkan. Jaebum bukan hiu yang menggigit dan mengoyak makanannya hingga lahap tanpa
tedeng aling-aling. Jaebum adalah paus pembunuh, sebuah ciptaan Tuhan yang paling tenang,
menghanyutkan. Jaebum lebih suka melihat korbannya merengek hidupnya kembali, bermain-
main dengan nyawa orang. Meregang nyawa sepertinya jadi tontonan menarik Jaebum sepanjang
masa, ia senang mendengar orang meminta belas kasihannya. Meskipun pada akhirnya Jaebum
tak sebaik itu.

“Jinyoung,” Jaebum menggeram, “kau tahu aku tak pernah senang jika kau tak menjawab.”

Jinyoung memejamkan matanya, mengeratkan cengkeramannya pada jas Jaebum ketika ia


merasakan sebuah sudut tajam menggoda untuk menusuknya tepat dimana aliran darahnya
berkedut kencang.

“Jinyoung,”
“Yugyeom! Kim Yugyeom! D-dia tak memintaku… T-tapi aku tak bisa! Aku tak mau
melihatnya tersiksa terus disini! Aku tak mau melihat anak itu menangis setiap malam! Di-dia
bahkan belum mencapai umur legalnya! Jaebum… Hyung, kumohon… Kumohon biarkan dia
pulang!” tangis Jinyoung pecah, kini isakannya terdengar jelas. Otot otot bantu pernafasannya
terlihat di lehernya. Tubuhnya gemetar terang-terangan, Jaebum mengeratkan lengannya
disekeliling Jinyoung.

Ia terkesan. Tapi amarahnya masih belum turun.

“Kenapa? Kau tertarik dengan anak itu, hm? Kau ingin pergi meninggalkanku juga?” kini
Jaebum berbisik di telinga Jinyoung. Pemuda itu menggeleng cepat, tapi Jaebum mencengkeram
rambut belakang Jinyoung dan menatap matanya.

“JANGAN BERBOHONG, JINYOUNG!” nada Jaebum menaik, membuktikan emosinya akan


membakar Jinyoung hidup-hidup malam ini, “hanya kau yang tahu dan mengerti blueprint itu,
kau dan Yugyeom akan keluar dari Asrama, itu rencananya ‘kan? Jangan coba-coba berbohong
didepan mataku, Jinyoung.”

Karena terakhir ada manusia yang berbohong, jantungnya berakhir di taring Jaebum.

“Please… Kumohon, Jaebum hyung. Biarkan dia pergi. Biarkan dia pulang. Dia tak bisa disini.
Aku tak ingin melihatnya.” Tangis Jinyoung tak berhenti, matanya masih menutup ketakutan.
Isakannya jelas diantara kalimat yang meluncur dari bibirnya. Jaebum meluluhkan hatinya
sedikit, memindahkan eratan di rambut Jinyoung menjadi usapan lembut di pipinya, menghapus
air mata yang beranak sungai disana.

“Yes, but why, Jinyoung?” desis Jaebum, kali ini lebih ringan. Jinyoung mengatur nafasnya,
masih tak ingin membuka mata. Menggigit bawah bibirnya masih dengan takut, gemetar di
tubuhnya tak banyak berkurang.

“Dia… Dia mengingatkanku pada adikku…. Dia tak bisa berada disini. Dia tak mencapai
batasnya…,” kali ini Jinyoung berani membuka matanya. Walaupun kabur, dia memandang
langsung Jaebum lurus-lurus di irisnya yang belum kembali normal. Tak ada senyum di wajah
Jaebum sekarang, hanya pandangan kaku dan rahang yang menegang.
“Jackson membawanya kemari. Aku tak bisa berbuat apa-apa, Sayangku,” Jaebum berbisik
lembut, sangat lembut hingga membuat dada Jinyoung berdesir. Tangan Jaebum mendekap pipi
Jinyoung penuh perhatian. Kelegaan membuncah di dadanya ketika kedua iris Jaebum kembali
lagi seperti awal, cokelat terang penuh ketenangan.

“Kumohon. Kumohon kau pasti bisa melakukan sesuatu. You are Director,” bisik Jinyoung juga.
Pandangannya turun ke simpul dasi Jaebum di leher, sambil mengatur nafas dan gemetarnya,
“tolong…. Kumohon hyung.”

Mengemis. Meminta. Berharap. Sebuah kesenangan tersendiri disisi lain untuk Jaebum. Maka
pemuda itu mendongakkan lagi wajah Jinyoung untuk menatapnya di mata.

“Jangan buat aku marah lagi lain waktu. Bicara akan lebih baik.” Kata Jaebum, setelahnya
mencium Jinyoung lembut. Manusia itu melepaskan tautan mereka, melihat Jaebum yang
memandang bertanya padanya.

“Aku minta maaf, Jaebum hyung. Tapi kumohon—”

“Kau berhutang padaku, Park Jinyoung,” kata Jaebum mengeluarkan smirk andalannya, kembali
menyerang bibir Jiyoung dengan ciuman lapar. Berhari-hari sudah ia tak memiliki Jinyoung
untuk dirinya sendiri. Rasa dahaga Jaebum disegala tempat tak bisa dibendung lagi, terbukti
dengan kasarnya Jaebum mengeluarkan atasan seragam Jinyoung lalu merayapkan tangannya
tepat di atas kulit tubuh Jinyoung. Merasakan kehangatan nikmat yang lama ia rindukan,
keinginannya membuncah ketika Jinyoung tak segan-segan mengeluarkan erangan di mulutnya.

“Jaebum? Jaaaeeebuuuummmmm. Aku tahu kau di dalam, jadi buka pintunya!”

Suara menjengkelka datang dengan ketukan beruntun, Jaebum menggeram liar. Melirik tajam
pintu tak berdosa itu. Dengan suara berat dan kasar, Jaebum mengusir tamu tak diundang dibalik
kotak kayu yang kini tengah diketuk tak punya aturan.

“Pergilah, Hakyeon. Kau menggangguku.”

Tapi Hakyeon tertawa dengan nada khasnya. Membuat kesal. Jaebum ingin merobek
tenggorokan pemuda berkulit gelap disana.
“Aku tahu kau kesal sekali karena aku menggagu waktumu dengan seseorang dipelukanmu itu,
Jaebum,” kata Hakyeon malas, tapi sukses membuat Jinyoung bersemu merah. Jaebum
tersenyum kecil melihat wajah malu sang kekasih.

“Tapi kuharap kau ingat hari ini Ayahmu datang untuk ‘makan kue bersama’, Jaebum. Kau tahu
Ayahmu menyebalkan dan aku tak ingin…”

Hakyeon mengoceh. Jaebum menghembuskan nafas kesal, memandang pintu itu sebal. Jinyoung
tersenyum pelan, berani mengelus rahang pemuda berambut hitam gelap itu. Jaebum menoleh
pada Jinyoung, menggenggam tangan Jinyoung. Tangan manusia yang rapuh dan ia cintai itu.

“Kuharap kau bisa memikirkannya lagi, hyung.” Kata Jinyoung.

“Hanya untuk Yugyeom. Tak ada lagi Yugyeom di lain waktu. Ingat itu, Jinyoung.”

Jaebum tahu sebuah kesalahan besar jatuh cinta dengan manusia rapuh dan tak berdaya seperti
Jinyoung. Tapi Jinyoung adalah kesalahan yang paling manis yang pernah Jaebum buat.

Suara dentuman bass dan suara musik elektro tidak pernah selalu menghibur di telinga Jayna.
Pesta privat pernikahan kakaknya di klub malam memang tak menguntungkan. Awalnya
memang tak seberisik ini, tapi malam makin larut dan angin makin menggigit, membuat Harris,
sang DJ yang menjadi bintang tamu malam ini menyemarakkan suasana mengundang panas.

Melihat semua orang berpasangan masing-masing, tak membuat Jayna beranjak dair sofa
empuknya dan terus menyesap soda. Ada beberapa botol minuman keras bekas Jaebum, dan istri
atau mungkin suaminya, Jinyoung. Dan dua gelas lain milik sahabat kakaknya si orang-orang
China itu.

Bahkan ketika Jaebum datang dengan senyuman seperti orang idiot dan Jinyoung yang
bergelayutan manja di tubuhnya, Jayne tak mengubah keinginannya untuk ikut berdansa saling
menggesekkan pinggul untuk hanya sekedar mendapatkan nomor telfon atau paling baik,
berakhir di tempat tidur.
Jayna ingin pulang.

“Hei… Jay, tak mau turun?” tanya Jinyoung. Jayna hanya menggeleng sambil menyesap
sodanya, sesekali melirik di sudut matanya apa yang sudah dilakukan Jaebum dan Jinyoung yang
hanya berjarak satu lengan darinya duduk.

Kadang-kadang dia berpikir Park Jinyoung itu manusia dua kepribadian, saat ditempat macam
ini dia bisa jadi pelacur yang membuat Jaebum jatuh cinta, tapi di tempat lain, rumahnya
misalnya, dia bisa jadi orang yang paling perhatian pada Jayna dan membuat adik satu-satunya
Jaebum itu mengerti kenapa oppa begitu jatuh cinta pada Jinyoung.

But once a whore still a whore.

Keduanya sudah mulai mengulum bibir masing-masing tak lupa dengan suara-suara erangan
yang erotis, apalagi Jinyoung berani terang-terangan naik ke pangkuan Jaebum lalu menyepitkan
kedua kakinya di pinggan Jaebum. Mungkin mereka bisa melakukan seks disini kalau tidak
akhirnya Jayna berkata,

“Get a room, both of you!” katanya jengkel dan menegak habis sisa soda di gelasnya. Pasangan
yang baru menikah tadi pagi itu melepaskan bibir mereka, menyisakan benang saliva tipis antara
keduanya. Terkekeh malu atau puas, Jaebum lalu menoleh pada Jayna yang masih memasang
wajah tak berekspresi.

“Bukan kami yang harusnya cari ruangan, kau,” kata Jaebum menunjuk Jayna yang menoleh
padanya, “yang harusnya sudah mulai cari pasangan.”

“Oh aku benci kalau kau sudah berkata hal macam begini.” Jayna menuangkan soda lagi ke
gelasnya, lalu menoleh dan mendapati Jinyoung yang masih berada di pangkuan Jaebum
menatapnya sambil menyurungkan kepala diantara ceruk leher pemuda dibawahnya.

“What?”

Jinyoung terkekeh dan meluncur turun dari pangkuan Jaebum, menyelinapkan satu lengan di
pundak Jayna,”banyak cowok hot dibawah sana. Mau tahu?”
“Tidak.” Kata Jayna singkat lagi. Jinyoung terkekeh sementara Jaebum mengeluarkan dengusan
tertawa sambil menuangkan whiskey ke gelas.

“See, kuperlihatkan padamu,” kata Jinyoung sambil menarik Jayna dipinggangnya untuk berdiri
padahal gadis itu mengerang malas, keduanya lalu berdiri dekat jendela dimana dia bisa melihat
semua orang yang ada di bar atau pun di lantai dansa yang ramai, “lihat disana, ada Lee Ho Won.
Kau tahu? Si pemuda atletik Taekwondo yang hot, sekali.”

“No. Kalau dia atlit, pub itu tempat haram. Next.” Kata Jayna memalingkan mata pada Jinyoung
yang menaikkan kedua alisnya terkejut tawaran pertamanya di tolak mentah-mentah.

“Nah, selanjutnya. Lihat pemuda disana? Yang pakai topi fedora dan senyum maut? Kim
Myungsoo, si sulung dari Presiden cabang Guiness di Korea.” Tawar Jinyoung sambil menunjuk
pada pemuda yang tengah duduk di bar dan menatap lantai dansa dengan satu wanita memeluk
manja di lengannya.

“Terlalu player. Kau mau aku mati gara-gara pemuda macam itu? Tidak.” Kata Jayna menyesap
sodanya lagi. Jinyoung memutar mata dan bergumam mencari lagi.

“Ehm… Kalau begitu, dia. Nah, dia. Rapper underground, Hanbin. Pewaris tunggal Yang
Coorporation. Dia manis bukan?” katanya merujuk pada pemuda yang tengah berdansa gembira
di tengah sana, tak usah dihitung berapa wanita yang mencoba mendekatinya.

“No, no, no. Jinyoung sudahlah, aku tak tertarik,” kata Jayna keluar dari pelukan Jinyoung di
pinggangnya, berbalik memunggungi kaca dan menatap kakaknya yang duduk layaknya bos
besar di sofa panjang itu sendirian. Well, mungkin sekarang layaknya bos besar dengan istrinya
karena Jinyoung menyelinap di salah satu lengan Jaebum dan pemuda itu memeluknya erat-erat
tak lupa meninggalkan kecupan di leher Jaebum.

“Aku mencari pemuda yang baik-baik, oke? Dan disini,” Jayna menunjuk belakang
punggungnya dengan ibu jari, “bukan tempat yang baik.”

“Kau mau tahu siapa yang tidak datang sekarang?” tanya Jaebum. Jayna mengerutkan kening.

“Kang Seung Yoon.”


“Astaga! Tak ada nama lain dari anak itu? Please, Jaebum!” ledak Jayna. Jaebum dan Jinyoung
tertawa, selalu menyenangkan melihat Jayna yang meledak karena satu nama stalkernya itu.
Sebenarnya Seungyoon tidak bisa dimasukkan stalker karena nyatanya pemuda itu terang-
terangan suka dengan Jayna dan berusaha berulang kali untuk mengajaknya berkencan.

Tapi Jayna tak ingin berhubungan dengan siapa-siapa. Dia hanya ingin sendiri untuk saat ini dan
Seungyoon mengganggunya, geez.
It’s not like Jinyoung was tired to wait Jaebum. Actually, time was showed 08:45 pm and it
means, if Jaebum want to stop his dancing, a same dancing around one hour, they can go home.
But, Jaebum not looks like bothering to stop his dance or even interest Jinyoung presence on
practice room bench.

After JYP Nation concert, almost of artist have their free time. So mostly GOT7 member were
coming back to their home except Bam, Mark and Jackson. Jinyoung have a plan tomorrow will
be a good day to go home, and Jaebum is… still not decided yet. To coming home, or when he
will stop his b-boy dancing.

So Jinyoung annoyed, he got up with stomp his legs and turn off the music.

Jaebum was handstand so he suddenly fall to the floor but Jinyoung knew he’ll be alright.

“Let’s go home, hyung. I swear, let’s just go home.” Jinyoung said, with annoying expression to
Jaebum who lay down in the floor with up-down chest running out oxygen.

“You… Hh… Can go home first. I’ll—”

“No!” Jinyoung coming closer and stand beside Jaebum’s hand who still collapsed on the floor,
“if I’m coming home, you must coming home with me!”

“Don’t be a kid, Jinyoung,” Jaebum said while rolling to sit down and look up where Jinyoung
angry face is shown, “you are not even my mother.”

“I am not!” Jinyoung groan for not a kid or Jaebum’s mother, “I just want to be home. I’m
tired!”

“Then you can go home first, Jinyoung.” Jaebums said calmly and it’s surprised Jinyoung, he
look at the boy who standing up and watch their reflection on the mirror. Jaebum too tired to
angry or debate sulky-Jinyoung, he just want to finished his dance and maybe go home.

But Jinyoung knew his dance was already finished an hour ago.
“Hyung,” Jinyoung grabbed softly Jaebum’s arm who want to walk to the computer and the
younger know he’ll turn on the music again, “I’m not tired like what you think. I’m… I’m just
too tired to see you tired.”

“Then don’t look at me.”

“I can’t!” he said with worried eyes, Jaebum fully turn his head to Jinyoung, “you look so… So
pale. It was two days you became like this.”

“It just two days.”

“Yes but enough to make you like zombie!” protested Jinyoung, “hyung, why you just not let this
go. What you worried? Everyone was in their holiday state and look at you!”

Jinyoung turn Jaebum to the mirror, Jaebum’s black hair was stick in his forehead and it just
make his pale skin more scarier contrast with his dark black hair. Jinyoung right, he look like a
zombie.

“What happen in to you?” Jinyoung said with soft tones, he look at Jaebum reflection who now
just saw blankly.

“Many things.” Said Jaebum coldly, he turn his body to walk again but Jinyoung stop him.

“Hyung, please? Just… Just please? This one. Okay? Please.”

Jinyoung never change. From JJ Project era ‘till now. He never change. He who always begging
Jaebum to share his sandwich, he who get too clingy on him when he sick, he who always
teasing him with call ‘hyung’ with spoiled tone. He who always change Jaebum mind to choose
something.

He who always been Jaebum’s cute brother.

“Oke.” Jaebum must admit, he tired. He need some sleep or food. But beside that, he need
something to sooth his feeling from every bad thing happen in his mind.

Jinyoung smile, his laugh and everything.


Because he’s always Jaebum’s lovely dongsaeng.

"Asal kau tahu sunbae tidak akan menerima hadiahmu yang norak itu. Paling-paling setelah
dibuka, akan digeletakkan begitu saja."

"Apa katamu? Ha! Justru kau lah yang harusnya khawatir. Ini namanya kerajinan tangan, rambut
pirang, lebih banyak feelnya. Daripada itu, kau membeli sesuatu yang mahal, kau tahu sunbae
sudah punya banyak itu dirumah. Bagaimana kalau yang kau beli itu ternyata sunbae sudah
punya?"

"Ini limited edition! Aku memesannya sendiri langsung!"

"Well, hadiahku lebih limited edition. Kau takkan menemukan kembarannya. Maksudku, akan
banyak barang limited itu tapi sebenarnya hanya beda warna saja 'kan?"

Si rambut pirang menggeram lalu mendekati anak laki-laki berambut hitam yang menatapnya
congkak. Sambil menusuk dada pemuda itu pakai telunjuk, ia menggertak,

"Kau..!"

"Apa!"
Maka sebelum ada perkelahian lanjut, Jinyoung lebih dulu menarik si rambut pirang, Bambam,
dan Jin berdiri di depan 'adik' laki-laki rambut hitamnya, Jungkook.

"Bambam! Jangan bikin malu disini! Kau mau ketemu Jiyong sunbae atau bikin masalah, hah?"
tegur Jinyoung memunggungi kedua personil BTS. Hal yang sama juga dilakukan oleh Jin di
belakang sana.

"Jangan cari ribut, Jungkook. Atau kita pulang ke dorm!" ancam Jin, setelah itu ia cepat-cepat
berbalik dan menemukan anggota GOT7 yang lebih tua dari Bambam itu tersenyum meminta
maaf.

"Maafkan aku, hyung, tak seharusnya dia cari masalah. Jungkook tak apa-apa 'kan?" kata
Jinyoung tapi diiringi protes Bambam dibalik punggungnya yang berkata 'Aku tak memukulnya,
hyung!'. Jin lalu tertawa pelan lalu juga meminta maaf.

"Harusnya Jungkook tak cari masalah. Maafkan dia." katanya, itu pun juga dibarengi protes 'Dia
yang cari masalah duluan!' oleh Jungkook.

Meskipun kedua kakak mereka sudah minta maaf tapi nyatanya tak memadamkan api bersaing
antara mereka. Kedaunya melemparkan pandangan maut dibalik punggung masing-masing orang
yang berada di depannya. Nah, kalau saja pandangan bisa membunuh, mungkin keduanya sudah
tergeletak mati disana dan gagal untuk misi utama mereka.
Memberikan hadiah ulang tahun, untuk hero-nya Bambam, dan orang yang membuat Jungkook
terinsipirasi sangat besar untuk jadi idol seperti sekarang.

Kwon Jiyong, atau yang akrab dipanggil, G-Dragon.

Cast : Song Mino(Winner)


Wha Sa (Mamamoo)

Genre : collage

Type : Drabble

S inopsis
Whasa marah pada Song Mino. Dia, marah.

Whasa tidak bisa lebih marah daripada ini, melihat pemuda tinggi dengan alis aneh
di depan sana, di depan kerumunan orang-orang, yang tengah menyalaminya lalu
memberi kata-kata semangat serta diselingi pujian itu membuat Whasa lebih mual
lagi.

Song Mino sudah mengetes amarahnya, dan orang itu berhasil.

Whasa itu gadis manis yang sering dikira lebih tua dari umur sebenarnya, itu
mengganggu tapi apa boleh buat. Sebelum Mino datang ke kampusnya, ke
fakultasnya, ke kelasnya, semuanya baik-baik saja. Whasa adalah idaman para
dosen, teman-temannya dan dia bangga akan dirinya sendiri. Jurusan Biologi
memang menyenangkan hatinya.
Lalu datanglah si alis aneh dengan senyum bodoh yang menyebar ke hati para
gadis di penjuru fakultas.

Awalnya, Whasa—sebagai anak baik seperti Anna sang putri Arendelle—


membantunya bersosialisasi, mengerjakan tugas bersama, bahkan makan siang di
kantin lalu si alis aneh itu mengenalkan teman-temannya yang sudah kuliah disini
sebelum dia.

Bahkan ketenangan dunia Avatar Aang bisa berubah karena Negara api
menyerang, begitu juga Whasa.

Simpel, ada sebuah projek Biologi untuk semua mahasiswa. Sebuah projek yang
bisa mengangkat nilai agar terlihat bagus di transkip nilai kelulusan, lalu semuanya
bekerja keras. Bodohnya Whasa, sebagai anak innocent, membantu Mino. Bang!
Dia yang menang. Dia yang memenangkan semua percobaan, semua teori dan
segalanya!

Oke itu bukan salahnya, dia tak mencuri ide Whasa, semua ide yang digunakan
Mino adalah milik orang itu, punya dia. Tak ada hubungannya dengan Whasa.
Tapi, Whasalah orang yang memberinya semua pencerahan itu. Semua yang akan
digunakan oleh Mino, dialah yang mengusulkan, sebagai teman, untuk yang
terbaik.

Lalu Whasa tahu, Mino mempermainkannya. Song Mino hanya mengajaknya ke


awang-awang, setelahnya menjatuhkannya ke tanah, ke perut bumi yang panas.

“Kau mempermainkanku.” Kata Whasa, dengan raut muka penuh benci. Mino
hanya terkekeh dan menyilangkan tangan ketika berada di depan Whasa. Gadis itu
mendongak penuh-penuh sementara Mino menunduk dengan wajah paling
mengejek yang pernah dilihat Whasa.
“Terima sajalah. Kau hanya bayi kecil, gadis kecil yang seharusnya tak bermain di
ranah orang dewasa.” Mino berkata dengan nada rendah, mendekatkan wajahnya
pada pandangan membunuh Whasa, “I’m win. I’m the winner.”

Setelahnya berlalu melalui Whasa. Ia pergi begitu saja.

Ia pergi setelah menginjak-injak harga diri Whasa.

Sialan.

"Asal kau tahu sunbae tidak akan menerima hadiahmu yang norak itu. Paling-
paling setelah dibuka, akan digeletakkan begitu saja.”

"Apa katamu? Ha! Justru kau lah yang harusnya khawatir. Ini namanya kerajinan
tangan, rambut pirang, lebih banyak feelnya. Daripada itu, kau membeli sesuatu
yang mahal, kau tahu sunbae sudah punya banyak itu dirumah. Bagaimana kalau
yang kau beli itu ternyata sunbae sudah punya?”

"Ini limited edition! Aku memesannya sendiri langsung!”

“Well, hadiahku lebih limited edition. Kau takkan menemukan kembarannya.


Maksudku, akan banyak barang limited itu tapi sebenarnya hanya beda warna saja
‘kan?”

Si rambut pirang menggeram lalu mendekati anak laki-laki berambut hitam yang
menatapnya congkak. Sambil menusuk dada pemuda itu pakai telunjuk, ia
menggertak,

"Kau..!"

"Apa!"
Maka sebelum ada perkelahian lanjut, Jinyoung lebih dulu menarik si rambut
pirang, Bambam, dan Jin berdiri di depan ‘adik’ laki-laki rambut hitamnya,
Jungkook.

"Bambam! Jangan bikin malu disini! Kau mau ketemu Jiyong sunbae atau bikin
masalah, hah?” tegur Jinyoung memunggungi kedua personil BTS. Hal yang sama
juga dilakukan oleh Jin di belakang sana.

"Jangan cari ribut, Jungkook. Atau kita pulang ke dorm!" ancam Jin, setelah itu ia
cepat-cepat berbalik dan menemukan anggota GOT7 yang lebih tua dari Bambam
itu tersenyum meminta maaf.

"Maafkan aku, hyung, tak seharusnya dia cari masalah. Jungkook tak apa-apa
‘kan?” kata Jinyoung tapi diiringi protes Bambam dibalik punggungnya yang
berkata ‘Aku tak memukulnya, hyung!’. Jin lalu tertawa pelan lalu juga meminta
maaf.

"Harusnya Jungkook tak cari masalah. Maafkan dia." katanya, itu pun juga
dibarengi protes ‘Dia yang cari masalah duluan!’ oleh Jungkook.

Meskipun kedua kakak mereka sudah minta maaf tapi nyatanya tak memadamkan
api bersaing antara mereka. Keduanya melemparkan pandangan maut dibalik
punggung masing-masing orang yang berada di depannya. Nah, kalau saja
pandangan bisa membunuh, mungkin keduanya sudah tergeletak mati disana dan
gagal untuk misi utama mereka.

Memberikan hadiah ulang tahun, untuk Heronya Bambam, dan orang yang
membuat Jungkook terinsipirasi sangat besar untuk jadi idol seperti sekarang.

Kwon Jiyong, atau yang akrab dipanggil, G-Dragon.

“Jangan tinggalkan aku sendirian, Yoong.”

Pemuda itu tak ada rencana, tak punya niat untuk meninggalkan Chaerin sendirian disini. Di
ruangan dingin, tanpa teman. Ia bisa merasakannya meskipun secara fisik Yoongi tak berada di
tempat yang sama. Tapi hati Chaerin, tangisan gadis itu, dan ketakutannya, semua Yoongi
rasakan tak terkecuali. Jadi dia mengeratkan kembali pelukannya ketika pintu ruangan terbuka
mengeluarkan decitan nyaring.

“Yoongi, time is up.” Kata Jiho dengan suara pelan, toh pemuda rambut platinum itu tak mau
sebenarnya mengganggu kedua anak kembar yang tengah bertukar rindu di dalam sana. Tapi jika
Jiho tak memberitahu mereka untuk berpisah,

“Aku tahu.” Kata Yoongi.

Mereka bisa saja tak akan bertemu lagi.

“Yoongi jangan tinggalkan aku.” Cicit Chaerin di lehernya.

“Aku tak ingin meninggalkanmu, Chae. Demi Tuhan. Aku tak mau meninggalkanmu sendirian.”

“Aku tidak gila. Aku tidak membunuh mereka.”

“Aku tahu. Aku tahu.”

....

Jadi Yoongi lalu menarik lengan Jiho kasar dan berbelok ke satu lorong kosong jarang yang
jarang dilewati. Kontan pemuda yang lebih muda itu terkejut, mengerutkan kening menatap
Yoongi yang memandangnya tanpa ampun.

“Tolong bebaskan Chaerin.”

Woo Jiho tahu, suatu saat, kalimat itu akan keluar, dan dia juga tahu, itu akan membuatnya
ketakutan setengah mati. Tapi Jiho hanya mengeluarkan desahan pasrah dan menyelipkan jemari
di rambutnya sendiri.

“Aku tahu kau akan mengatakannya. Tapi kau juga harusnya tahu bagaimana jawabanku.”

“Aku tak peduli! Aku sudah menunggunya berbulan-bulan. Kau tak mengerti, Jiho. Kau tak
mengerti!” sergah Yoongi marah.
“Mungkin aku tak mengerti, hyung. Aku tak tahu bagaimana perasaanmu dan Chaerin selama ini
dipisahkan, tapi kau juga harusnya berpikir ini yang terbaik untuk kalian berdua!”

“Kumohon, Jiho!” tak pernah ada yang meminta sambil menggertak macam Yoongi ini padanya,
“aku hanya minta Chaerin untuk keluar, lalu kita melupakannya.”

Jiho terdiam sebentar, dada Yoongi naik turun karena amarah merenggut nafasnya cepat. Dengan
mata memicing karena curiga, atau mungkin karena Jiho tahu, maka pemuda rambut platina itu
berkata,

“Lalu kau akan pergi bersamanya, iya ‘kan?”

“Terlambat?” Presiden itu bertanya, Dia hanya tersenyum sambil menyesap kopinya.

“Aku bangun terlambat. Ada beberapa jadwal Joseph yang harus di atur lagi.”

“Pasti sangat berat untukmu.” Kata Rio, “menjadi fotografer, sekertaris, terkadang juga translator
untuk Joseph.”

Jeda sebentar sebelum Rio berkata, “oh iya, tentu saja. Kekasih.”

Dia hanya terdiam, memakan lagi kue-kue paginya dalam damai. Ia mengatur nafas lalu
membalas perkataan Rio dengan senyum pelan, “aku turut sedih. Pasti berat untukmu juga baru
putus dengan kekasihmu semalam.”

Tapi itu sukses membuat Rio memandangnya dengan wajah terkejut.

“Aku tidak tahu apa yang kau rencanakan, Presiden Rio.” Kata Diamond setelah minum seteguk
kopinya, “tapi aku takkan membiarkanmu berbuat sembarangan di depanku.”

“Menarik.” Kata Rio dan tersenyum miring, “akhirnya aku tahu kenapa Joseph mati-matian
mempertahankanmu saat semua orang berusaha menukar asisten pribadi mereka.”
“Kau sarapan disini?” Dia bertanya, yang ditanya hanya menarik bibir dan mengambil tempat di
depannya.

“Sarapan dengan Presiden lainnya sangat membosankan. Aku tidak tahu kenapa mereka malah
membuat hal-hal menarik disini.”

Dia hanya terkekeh.

“Mungkin karena kau dan yang lain punya big things yang harus dibicarakan?” kata gadis itu
pada Joseph yang sekarang tengah memesan makanan.

“Apa?”

“Kau dan yang lainnya. Entah, pembicaraan-pembicaraan penting yang selalu terjadi.” Dia
tersenyum dan hanya membuat Presidennya itu tertawa.

“Dan karena tidak, disini lebih menarik?”

“Lebih kepada tidak ada yang perlu didiskusikan.” Dia hanya tersenyum dan menyendokkan
salad.

“Apa ini jadwalku?” kata Jo menunjuk kertas yang dibaca oleh Dia. Gadis itu hanya
mengangguk lalu menyerahkannya pada Joseph.

“Ini yang kuterima pagi ini. Tapi ada beberapa jadwal yang…

Grace dan May sudah bersiap saling memunggungi. Mata mereka awas menatap satu persatu
mata pedang yang diarahkan pada mereka. Grace melihat satu membawa kuda berjalan
mendekat.

“Kau tahu bagaimana mengendarai kuda ‘kan?” bisik Grace, May hanya meliriknya tajam. “Hei!
Mereka memanggilmu Kavelari karena sesuatu ‘kan? Maksudku, halo, Kavelari itu naik kuda.”

“Siapa kalian, wanita asing!” kata seseorang di atas kuda itu.


“May,” kata Grace memandang ke orang-orang yang mengepung mereka. “Mereka pasukan
istana?”

“Lari.” Jawab May. Grace menoleh sebatas pundaknya.

“Apa?”

Tapi belum Grace mendapat jawaban, May sudah menggenggam salah satu tombak pengawal
dan mulai menghajar mereka satu persatu. Melihat May beraksi, tentu para pengawal tidak ambil
resiko untuk tak menyerang Grace. Gadis itu yang awalnya ingin kembali ke pesawat secara
damai, malah harus membuat pingsan pasukan tentara. Setelah Grace meninju salah satu hidung
anggota pasukan hingga pingsan, ia baru sadar May tertangkap. Pecahnya fokus itu lah yang
akhirnya juga membuat Grace mencium tanah dengan wajah terlebih dahulu.

=+=+=+

Grace berjalan penuh amarah ke gerombolan petinggi istana. Seperti biasa, Raja Soo Hyun dan
para menteri akan melakukan perjalanan singkat mengitari kota. Grace tidak menghiraukan
pandangan heran serta mencela para penghuni istana ketika ia hanya berjalan ke arah Raja
dengan menggunakan tank top hitam serta celana jeans dan sepatu boots, stu-satunya yang
membaut kulit lengannya tertutupi adalah perban yang membalut lukanya di lengan kanan dan
plester di kening. Perutnya yang terluka menjerit kesakitan, tapi ia tak peduli.

Seperti bagaimana dengan congkaknya ia menghadang jalan Soo Hyun dan berdiri di
hadapannya dan menatapnya begitu sengit. Jae Hyun menahannya dengan pedang yang masih
berada di sarungnya.

“Aku takkan menganggapmu sebagai Raja,” desis Grace dan menunjuk dada Soo Hyun dengan
jemarinya kuat-kuat. “Kalau kau tidak bersikap sebagaimana layaknya seorang Raja.”

Soo Hyun memandangnya tanpa cela, dari mulai pakaian dan cara bicaranya pada seorang
petinggi negara. Tentu saja salah satu menteri menghardiknya tapi Soo Hyun rasa Grace tidak
akan peduli. Grace ini juga seorang prajurit, dan ia tahu kalau Grace adalah wanita yang sangat
kuat seperti Prajurit May.
“Kami masih mencari May,” ujar Jae Hyun perlahan tapi tetap waspada. “Kau bisa menunggu.”

“Aku tidak bisa menunggu!” kata Grace tapi tetap memandang Soo Hyun. “Kau harus
menempatkanku ke prajurit yang akan mencari May atau aku akan memporak porandakan
pondokmu.”

“Aku tahu kau punya tekad yang kuat, Prajurit Grace,” kata Soo Hyun tenang, dia tak terbiasa
dengan panggilan agan-agen atau apalah itu. Prajurit lebih cocok. “Kami masih mengusahakan
pencarian Prajurit May tanpa membahaykan pasukan kami.”

“Lalu kirim aku saja,” kata Grace mendelik. “Jaebum tidak akan menyakiti mereka. Dia hanya
akan berusaha membunuhku. Kirim aku siang ini, dan aku akan membawa kembali May pada
malam hari.”

“Itu terlalu berlebihan,” kata Soo Hyun memiringkan kepalanya. “Prajurit May berada di
kepungan musuh yang kami tak tahu. Kau butuh tak—”

Grace melemparkan pedang Jaehyun dari jalannya, dan ketika Grace sudah dinilai
membahayakan, Jaehyun tak sungkan-sungkan menahan pertemuan antara leher dan dada Grace
untuk mendorongnya menjauh dari Soo Hyun jika ia berbuat sesuatu.

“Kirim. Aku. Kau tak tahu siapa Jaebum, dan aku tahu.”
Ginger berjalan mondar mandir gelisah, sesekali melihat jam dinding. Semakin jarum panjang itu
bergerak maju, saat itulah Ginger akan semakin mengerutkan keningnya. Youngjae tidak bisa
melihat bibinya begitu gusar dari setelah makan malam, jadilah ia memaksa Ginger untuk duduk
di meja makan bersamanya.

“Bibi, minum ini dulu,” kata Youngjae menyurungkan segelas teh hangat. “Paling tidak bibi
akan sedikit tenang.”

Ginger memaksakan bibirnya untuk tersenyum, agak kaku tapi ia tak bisa meninggalkan
keponakannya yang tersayang ini ikut khawatir. “Terimakasih, Sayang.”

Keheningan merajai mereka, Youngjae senang karena Ginger tidak berdiri dan berjalan ke
kanan-kiri berurutan tapi dia masih bisa melihat bagaimana bibinya meredam rasa gusarnya.
Paman Seungho lalu turun dari kamar, sudah berganti baju menjadi celana kain dan kaos putih
polos, tak lupa khas paman Seungho selalu memakai jas tapi kali ini jas informal yang
dipilihnya.

“Sudah ada perkembangan?” tanya Seungho menghampiri Ginger dan duduk di sampingnya.
Ginger menggeleng pelan.

“Jinyoung masih mencarinya dan Jimin unnie berusaha menelfon keluarga Jaebum. Astaga...
Jaebum... bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya, Seungho?” tanya Ginger menatap suaminya
lekat-lekat dengan rasa takut yang memuncak, sedikit banyak itu mempengaruhi Youngjae.

Namun Seungho dapat menanganinya. Ia hanya tersenyum dan mengelus punggung Ginger
lembut, mengatakan sesuatu yang menentramkan hati. Youngjae juga ikut tersenyum, tapi dalam
hatinya dia juga tak bisa memungkiri kalau sedikit banyak peristiwa ini mengganggu tidurnya.

Jadi sore tadi, sekitar pukul setengah delapan, bibi Ginger mendapat telfon dari Jinyoung
samcheon. Dia mencari Jaebum samcheon yang sudah beberapa hari ini tak pulang ke apartemen
mereka. Tentu saja itu membuat Ginger imo khawatir, karena Jaebum samcheon juga tak masuk
kerja. Setelah itu, selang beberapa jam, Jimin imo menelfon dengan suara melengking kalau dia
melihat Jaebum samcheon tengah terlibat masalah dengan geng preman di salah satu perempatan
jalan tengah kota.
“Ini bisa buruk,” kata Jimin imo di telfon. “Kau tahu betapa bahayanya kalau Jaebum sudah
ngamuk begitu. Ada apa sih Ji? Kenapa dia bisa begitu?”

Ginger imo terdiam, ia termenung. Youngjae lalu tahu kalau penyebab Jaebum samcheon sampai
begitu, pastilah Ginger imo mengetahuinya. Tapi Ginger imo tak mengatakan apapun, dia hanya
berkata kepada Jimin imo untuk berhati-hati di jalan. Setelah itu, bibinya duduk lemas di kursi
hingga Seungho samcheon datang memeluknya.

“Ini sudah tiga hari,” kata Ginger sambil menggeleng. “Pantas aku tak bisa menelfonnya,
ponselnya selalu mati. Kenapa juga aku tak kepikiran untuk mendatangi rumahnya?”

Ginger sangat menyesal. Jadi Seungho mengelus kepalanya. “Ini bukan salahmu, Ji,” kata
Seungho. “Aku sudah menelfon Daehyun untuk mencarinya. Kau tenang saja.”

Ginger mengangguk, ia menghela nafas dan melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah
sebelas malam. Wanita itu menghembuskan nafas penjang, ia menyuruh Youngjae untuk naik ke
kamarnya dan tidur, mengingatkan kalau dia besok masih harus berangkat kuliah pagi, dan
sebagai keponakan yang baik Youngjae naik tanpa mengeluh apapun.

“Dari kapan dia pergi?” tanya Seungho. Ginger menghela nafas dan menyeruput teh hangatnya.

“Tiga hari yang lalu,” kata Ginger. “Setelah farewell party dokter Lee yang akan pindah ke
kepolisian.”

Seungho terlihat berpikir sejenak. “Maksudmu ini ada hubungannya dengan Jihyun?”

“Ya tentu saja! Siapa lagi, Seungho?” kata Ginger sedih. “Kau tahu betapa dia dekat sekali
dengan Jihyun unnie, bahkan ketika tahu istri siapa unnie itu. Lalu... sepertinya mereka
bertengkar kemarin dan membuat efek yang begitu besar pada Jaebum.”

“Serigala yang terluka akan jauh lebih berbahaya,” kata Seungho dan Ginger tak suka mendengar
arti dari kalimat itu. “Mudah-mudahan kita bisa menemukan Jaebum lebih ce—”
Belum selesai Seungho bicara, ponselnya berbunyi. Itu mengundang perhatian lebih dari Ginger
yang mendekat pada suaminya untuk mendengar siapa dan apa yang dibicarakan di sambungan
telefon.

“Kau menemukannya? Dimana?... oke, aku akan segera kesana... Apa?! Hentikan dia, Daehyun!
Aish, sial,” Seungho lalu berdiri diikuti oleh Ginger yang membayanginya.

“Apa? Apa yang terjadi Seungho?”

“Jaebum berada di sebuah bar dan dia mulai bertengkar. Kurasa dia mabuk,”

“Aku akan ikut denganmu,” kata Ginger akan mendahului Seungho, tapi lelaki itu menarik
lengan wanitanya pelan.

“Tidak. Tunggulah disini.” Kata Seungho lembut. Ginger menggeleng pelan, menatap mata
suaminya penuh-penuh.

“Aku tak bisa,” kata Ginger. “Aku harus melihat sahabatku.”

“Kumohon, Ginger,” Seungho mengeratkan cengkeramannya tapi tak cukup untuk menyakiti
Ginger. “Kau bisa terluka.”

Ginger terdiam sebentar, ia akan menangis. Tapi lalu wanita tersebut mengangguk.

“Berjanjilah padaku kau akan membawa Jaebum hidup-hidup,”

“Aku berjanji.”

Seungho menyurungkan satu kecupan di dahi istrinya dan akan pergi kalau Ginger tidak menarik
lengannya mendekat.

“Seungho,” panggil Ginger dengan nada ketakutan. “Jaebum dalam kondisi terburuknya
sekarang... Apapun yang dia lakukan... dia pasti gelap mata. Kalau... kalau ada yang terbun...
astaga.”
Ginger menangis di pelukan Seungho. Lelaki itu menenangkan istrinya perlahan-lahan.
Beruntung ada bibi Roh, asisten rumah tangga keluarga Yang, datang ke ruang makan jadi
Seungho bisa menyerahkan Ginger padanya.

Tentu saja Seungho akan berhati-hati. Serigala yang berdarah akan jauh lebih berbahaya. Apalagi
dengan serigala yang tahu bagaimana caranya menghentikan oksigen masuk ke dalam paru-paru
dan menghentikan pergerakan jantung. Makhluk terluka dan punya pengetahuan semacam itu
adalah hal terakhir yang diinginkan dalam hidup Seungho untuk ditemui.

Belum sampai masuk ke bar, ternyata Seungho bisa menemukan Jaebum lebih mudah.
Kerumunan orang berbadan tegap ramai di salah satu gang dekat sana. Ada seseorang yang
disudutkan dan Seungho seratus persen yakin itu adalah Im Jaebum. Memarkir mobilnya di salah
satu bahu jalan, Seungho menyeberangi jalanan sepi dan sampai di mulut gang sempit itu dimana
Daehyun sudah menunggunya.

“Apa yang kau lakukan disini?” kata Seungho menatap Daehyun sengit. “Kau seharusnya kesana
dan membebaskan Jaebum.”

“Kalau saya kesana dan menarik Jaebum dari kerumunan. Jaebum malah akan jadi incaran
mereka.”

“Aku bukan mengkhawatirkan Jaebum yang akan kalah,” kata Seungho lalu melangkah masuk
dimana keramaian mulai berteriak-teriak. “Aku mengkhawatirkan mereka yang bisa mati di
tangan Jaebum.”

Seungho baru sadar kalau mereka tidak menyudutkan seseorang tapi sedang mengerumuni
sesuatu di tengah-tengah. Lelaki itu mendengar suara terengah-engah dan erangan, dan dengan
sangat pasti ada dua orang berkelahi di tengah sana. Seungho meringsek maju ditemani oleh
Daehyun yang memandangi garang orang yang akan menegur Seungho menyerobot antrian.

Ketika mereka berada di lapisan paling depan, Seungho menahan nafasnya. Wajah Jaebum sudah
hampir penuh oleh cipratan darah entah milik siapa. Bajunya tidak sebersih biasanya, penuh
tanan dah sobek. Karena hanya menggunakan T-Shirt, lengannya punya noda darah dan Seungho
bisa melihat luka disana. Jaebum berdiri berhadap-hadapan dengan lawannya meskipun
tubuhnya mungkin sudah menjerit kesakitan, pandangan Seungho beralih ke seseorang yang
jatuh terkapar tak jauh dari Jaebum dan seorang wanita berpakaian minim dengan jaket kulit
memandangi semua orang ketakutan. Sebuah pukulan meleset dari Jaebum, tapi tendangan orang
besar itu tepat mendarat di dada si pemuda. Seungho khawatir dia akan mendengar bunyi patah
dari tulang rusuk Jaebum.

Itu lalu membuat Jaebum jatuh ke tanah, meludahkan darah lagi. Wanita di ujung sana menjerit
dan kerumunan Seungho berteriak menang.

“Hentikan!” Seungho marah. Orang yang berbadan algojo yang akan menginjak Jaebum lagi itu
menoleh ke arahnya, wajahnya lalu berubah menjadi ejekan.

“Hah! Siapa kau? Salah masuk kantor, Tuan?” lalu ia tertawa bersama teman-temannya.

“Lepaskan dia,” kata Seungho dengan emosi memuncak. Tapi malah algojo itu meludahi tubuh
Jaebum.

“Kau kenal dia? Bocah ingusan ini mau jadi sok pahlawan! Ha!” Seungho maju mendekati si
algojo yang congkak itu. “Aku yakin, kau hanya kasian pada pemuda ini. Tapi sayang, kau tak
bisa lakukan apa-apa.”

Algojo itu menendang Jaebum dan sahabat Ginger itu lagi-lagi memuntahkan minuman yang
diteguknya tadi. Tawa mengejek kembali menggema dan Seungho sudah sangat marah hingga ia
bisa mencekik orang ini sampai mati. Tapi ia menahannya, ia tak boleh mengotori tangannya
dengan sampah masyarakat semacam ini.

“Aku ingin bertemu dengan bosmu,” kata Seungho dengan satu alis terangkat. “Bawa dia kemari
dan bilang Yang Seungho ingin bertemu dengannya.”

Tapi algojo itu tak mendengarkan Seungho dan malah mendorongnya hingga lelaki itu terjatuh
ke tanah, kembali tawa menjijikkan masuk ke telinga Seungho. Daehyun segera menolongnya
dan setelah Seungho berdiri, ia akan menyurugkan satu tinju ke algojo tersebut.
“Jangan, Dae,” bisik Seungho, menarik Daehyun kembali ke balik punggungnya. Dengan tatapan
tajam, ia kembali memandang algojo dan kali ini bertatapan muka lebih dekat. “Aku bilang.
Bawa. Bosmu. Kemari.”

Sebelum aku menyeret kepalamu ke atas meja bosmu.

Tapi sebelum ada yang mengoceh lagi, sebuah suara cempreng datang dari belakang Seungho.
Semua orang menoleh dan minggir, memberi jalan pada seorang lelaki pendek dengan dua
bodyguard di belakangnya.

“Ada apa ini?” tanya si lelaki itu, kemudian ia lalu berdecak tak senang, sambil menunjuk-nujuk
lelaki asing lain yang terkapar. “Ya, ya! Ku bayar kau untuk membereskan orang tak berguna
macam dia! Apa yang kau lakukan!”

Algojo itu memandang Seungho mengejek lalu melihat bosnya.

“Bos,” katanya. Ia menunjuk Seungho. “Katanya dia mau bertemu denganmu.”

Lelaki pendek itu tak bisa melihat Seungho, karena Seungho memunggunginya. “Ha, siapa?
Siapa kau!”

Seungho tak bergeming. “Bertanyalah lebih sopan kalau kau ingin tahu siapa aku.”

Bos si algojo, mendenguskan tawa tak percaya. Ia meludah ke tanah sambil membuang tusuk
giginya. “Kau tak tahu siapa aku? Huh? Lihat, lihat. Jasmu kelihatan mahal, Tuan. Aku katakan
padamu, disini bukan tempatnya orang baik-baik.”

Tawa lelaki itu disambut baik oleh para bawahannya. Seungho menaikkan satu sudut bibirnya.
“Tentu saja, karena tempat ini dipenuhi orang-orang brengsek semacam kau yang berjiwa setan
bernafas dosa. Dan tentu saja, tempat ini adalah dimana orang-orang yang tak punya otak
berkumpul.”

Lelaki itu menggeram, ia marah akan kata-kata Seungho yang melecehkannya. Jadi ia melarikan
langkahnya menuju Seungho sambil berkata. “SIAPA KAU!”
Bos algojo memutar tubuh Seungho kasar dan akan mencengkeram kerah kaus Seungho sebelum
lelaki dengan wajah sedingin es itu berkata. “Yang. Seung. Ho. Park Hyunjin. Ku rasa kau, telah
melupakan aku.”

Suara otoriter Seungho membuat siapapun yang mendengarnya merinding. Wajah Park Hyunjin,
si pemilik bar, yang tadinya congkak menjadi pucat pasi. Gerakannya tertahan dan ia
memaksakan senyum mengembang di wajahnya.

“T-Tuan Muda Seungho! Tuan Muda Seungho!” katanya dengan nada terkejut yang dibuat-
dibuat. “Astaga! Sudah lama sekali Anda tidak mengunjungi bar kami!”

Park Hyun Jin akan memeluk Seungho kalau saja tidak ada Daehyun yang mendorongnya kasar
beberapa langkah ke belakang menjauhi Seungho. Park Hyun Jin kembali memasang senyum
palsunya. “O-ooh... Daehyun-ssi! Kau juga lama sekali tidak mampir!”

Melihat aura yang berbeda keluar dari lelaki itu, si algojo terkejut. Apalagi melihat perubahan
sikap Park Hyun Jin yang lalu mengisyaratkan dia untuk segera pergi dari tempat kejadian. Tapi
Seungho dengan nada dingin mencegahnya.

“Tidak ada, yang boleh pergi dari sini, tanpa seijinku,” kata Seungho memandang semua orang
dengan tatapan mengancam. Bagi orang-orang yang pertama kali bertemu dengan Seungho, tentu
ini bukan pengalaman yang baik. Bagaimana bisa, seseorang membuat patuh orang lain yang
mempunyai tubuh berkali lipat lebih besar dan berotot hanya lewat kalimat dan pandangan?

“Tuan Muda, tidakkah Anda ingin bersantai sejenak di dalam dan menikmati beberapa minuman
yang bisa bartender kami buatkan pada Anda—”

“Cukup basa-basinya Park Hyun Jin,” geram Seungho. “Beraninya kau membuat adikku
berlumuran darah dan diperlakukan lebih rendah daripada hewan disini!”

Seungho menunjuk Jaebum, yang kini masih tergeletak antara sadar dan tidak. Tentu saja fakta
itu membuat Park Hyun Jin terkejut. “A-Adik Anda? Tapi bukankah Tuan Muda Seunghoon lah
adik An—”
“Kalau aku berkata dia adalah adikku,” kata Seungho dengan nada rendah sambil mendekatkan
wajah pada Park Hyun Jin yang kini kehilangan darah di wajahnya. “Maka tak satu pun orang
yang boleh membuat barang luka lecet di kulitnya.”

Park Hyun Jin susah payah menelan ludah. “M-maafkan saya dan orang-orang saya, Tu—”

“Daehyun,” Seungho menegakkan tubuhnya. “Bawa Jaebum ke mobilku.”

Daehyun mengangguk patuh, ia berjalan menuju Jaebum yang kini sudah ditemani oleh wanita
tadi. Daehyun tersenyum singkat pada si wanita yang berjongkok di sebelah Jaebum sambil
bertanya apakah Jaebum baik-baik saja. Saat Jaebum akan dibantu berdiri, pemuda itu malah
berkata,

“Dia... bawa saja dia, Daehyun hyung,” lalu Jaebum tak sadarkan diri.

“Aku akan membiarkanmu kali ini,” kata Seungho dengan nada tanpa ampun. “Tapi jika aku
tahu kau memperlakukan orang lain begitu rendahnya dari hewan... aku tak akan segan-segan
membuatmu mereasakan bagaimana sakitnya direndahkan seperti itu.”

Ginger terbangun di tengah malam, bukan karena tidak sengaja, tapi karena tepukan lembut
suaminya yang beruntun di lengannya. Ia berusaha memfokuskan pandangannya, karena sinar
lampu yang tiba-tiba berebutan masuk ke matanya. Jadi ia berkata.

“Seungho,” katanya serak dan tercekat. “Ap-Apa yang—”

“Bangun, Sayang,” kata Seungho lembut lalu mengecup keningnya. “Ikutlah denganku.”

Ginger berusaha duduk, dibantu Seungho. Wanita itu lalu sadar kalau suaminya memakai setelan
jas cukup rapi tanpa dasi. “Kemana?”
Tapi Seungho tak menjawab, ia hanya tersenyum dan menyurungkan segelas air putih.

Ginger mengikuti kemana Seungho pergi. Di pukul setengah satu pagi, mereka keluar dari
rumah, dengan Seungho mengenakan jas semi formal sementara Ginger hanya kemeja putih,
jeans biru dan sepatu kets. Seungho tak mengatakan kemana mereka akan pergi, Ginger
diberikan pakaian dan hanya menyuruh istrinya untuk memakainya. Ginger lalu mendesak di
perjalanan mereka, mengabaikan wajah lelah Seungho yang bisa saja menjadi emosi setiap saat.

“Kau berkata ingin tahu apa yang Ayahku lakukan selain menjadi pemimpin perusahaan,” kata
Seungho. Kalimat itu membuat sesuatu di dada Ginger mencelos sampai ke dasar perutnya.

Ginger tertegun sebentar saat mobil mereka berhenti di depan sebuah gudang tak terpakai.
Gudang itu berada di tengah padang ilalang terasing dari keramaian kota, suasana disana gelap
hanya gudang itu yang memacanrkan sinar lampu dari banyak jendelanya.

Saat Seungho membuka pintu mobilnya mempersilahkan Ginger untuk keluar, suara tembakan
terdengar dari dalam gudang. Tentu itu membuat Ginger menarik lengan Seungho menghentikan
langkah lelaki itu. Seungho hanya menatapnya dengan pandangan heran, tentu saja Ginger
melebarkan matanya terkejut karena Seungho tak mengerti apa maksud isyaratnya.

“Kau tidak mendengarnya?” kata Ginger pelan seperti akan ada yang mendengar mereka di
padang yang sepi itu. Wajahnya menampakkan ekspresi khawatir dan takut. “Kau tidak boleh
kesana. Kita tidak boleh kesana.”
Tapi Seungho hanya tersenyum, ia lalu mengambil sesuatu dari balik jasnya dan menariknya
sedikit keluar. Ginger lalu menarik nafas tajam ketika tahu apa yang menyembul dari jas
Seungho. Sebuah hand gun sudah digenggam Seungho erat-erat di tangannya.

“Ambil tas medismu, Ginger,” kata Seungho memasukkan lagi hand gunnya seperti ia tadi tak
memperlihatkan apa-apa. Ia bisa merasakan Ginger mengeratkan tangannya semakin kencang
karena takut. “Tidak apa-apa. Ambillah.”

Ginger melihat Seungho, lalu beralih ke gudang ang kini terdengar teredam suara orang
berteriak-teriak, dan kembali ke suaminya. Saat Ginger melihat wajah tenang dengan senyum itu,
Seungho hanya menginstruksikan lewat anggukan kepala untuk Ginger segera mengambil tas
medis yang tadi sudah disiapkan Seungho di jok belakang. Maka dengan emosi yang campur
aduk, Ginger melepaskan genggamannya dan membuka pintu mobil.

“Aku tak tahu kenapa aku mau ikut denganmu, sekarang, dimana seharusnya aku masih bisa
tidur,” kata Ginger menghela nafas dan mengambil tasnya. Ia membanting pintu mobil tertutup,
lalu menatap Seungho dengan menyipitkan mata. “Atau kenapa aku setuju untuk menikah
denganmu.”

Seungho hanya terkekeh pelan, istrinya punya kebiasaan melontarkan omelan ketika sedang
dilanda rasa takut, dan menurut Seungho itu sangat menggemaskan. Tak peduli akan wajah horor
dan marah Ginger, ia merentangkan tangan di depan wanita itu. Kepercayaan diri Seungho
menaik, meskipun Ginger dalam kondisi emosinya, ia masih tetap menggenggam tangan
Seungho begitu eratnya meskipun keringat dingin sudah mulai keluar dari tangan Ginger.

Mereka berjalan menuju ke pintu utama gudang itu. Ginger merasakan jantungnya bertalu-talu
meminta meloncat keluar, ia tak melihat sekitar, ia hanya melihat jalan berkerikil dibawah
kakinya dan kepala belakang Seungho. Saking tak fokusnya, Ginger hampir menabrakkan
hidungnya ke punggung Seungho saat mereka sudah berhenti.

“Kau yakin kita tak perlu lewat pintu belakang?” tanya Ginger ketika Seungho sudah
mengeluarkan hand gun di tangannya yang lain. Ginger tak mengerling benda berpeluru itu.
“Kita tak tahu apa yang akan menyambut kita. Aku berharap itu confetti, tapi tak ada confetti
yang bisa menembus kepalamu.”
Seungho hanya terkekeh dan menggeleng. Ia melepaskan genggaman Ginger meskipun istrinya
itu enggan melakukannya. Kalau sudah takut begini, Ginger butuh sesuatu untuk digenggam.
Dan satu-satunya yang bisa sekarang hanyalah tas yang ada di tangan kanannya.

“Tetap bersembunyi di belakangku,” kata Seungho sudah akan mendorong pintu terbuka. Lelaki
itu hanya tersenyum ketika Ginger berkata kasar padanya.

Saat pintu gudang terbuka, terdengar suara besi besar yang di tarik. Di kanan-kiri sepanjang jalan
menuju ke tengah ruangan dari mulai pintu, tertumpuk kotak-kotak besar yang Ginger tak tahu
apa isinya. Ginger hanya berani melihat ke kanan dan kiri, tak melihat ke depan. Mereka berjalan
sedikit sampai ke ujung tumpukan kotak-kotak itu habis yakni di tengah ruangan, Ginger
mengintip dari pundak Seungho dan terlihat dua orang lelaki, satu tengah mengacungkan senjata
ke lelaki lainnya yang mengangkat tangan tanda menyerah dengan senjata berada di antara
mereka. Seungho menaikkan hand gun di tangannya, mengarahkannya pada lelaki bersenjata
yang juga menunjukkan pucuk pistolnya pada Seungho.

“Oh, Yang Seungho,” katanya dengan senyum sarkatis. Ginger menelan ludah, takut kalau lelaki
itu menarik picu senjatanya. “Ku pikir, kita sudah sepakat, kalau kau akan datang sendirian
malam ini.”

Keringat dingin menetes di punggung Ginger. Selain Seungho, sepertinya Ginger juga sudah
dalam ancaman. Meskipun tak bisa melihat wajah Seungho, aura dingin menjalar di sekitar tubuh
suaminya saat pria yang berada di seberang mereka itu mulai menarget Ginger. Tapi Seungho
hanya membalasnya tenang dan penuh tekanan.

“Aku mendengar, seseorang tertembak karena senjatamu. Apa ada yang mengajarimu, pada
akhirnya, untuk mengisi peluru, Park Hyun Jin?”

Park Hyun Jin menarik nafasnya dan menunjukkan ekspresi bengis, sakit hati dan tersinggung
akan kalimat Seungho barusan, ia menaikkkan senjatanya lebih tinggi dan terdengar Hyun Jin
mengisi peluru. Ginger berusaha untuk tak terpekik.
“Tak ada yang berubah darimu, Yang Seungho. Orang yang congkak, sombong, tak pernah mau
melihat ke bawah. Hah. Kau harusnya berhati-hati, siapa tahu ada yang akan memecahkan
kepalamu karena kau terlalu malas untuk melihat ke sekitar, Yang Seungho!!”

Mereka saling berpandangan sengit, Hyun Jin mendenguskan tawa mengejek. “Apa yang sudah
kulakukan pada keponakanmu itu belum menyadarkanmu? Sebegitu ringankah peringatanku?”

Ginger menarik nafas tajam, ia teringat saat Youngjae pulang ke rumah dengan lengan terbakar
terkena kembang api. Ia marah. Orang ini adalah bangsat yang menyakiti keponakannya. Seperti
apa yang dirasakan Ginger, suaminya juga ikut menaikkan senjata lebih tinggi diiringi kalimat
suara lebih dingin.

“Kau tak akan kubiarkan mendekati keluargaku lagi, Park Hyun Jin,” Seungho juga mengisi
peluru senjatanya. “Terkutuk kau di neraka.”

Belum sampai Park Hyun Jin menarik trigger senjatanya, kepala lelaki itu tertembus peluru.
Matanya melebar dan ia jatuh di lututnya lalu wajahnya menabrak lantai yang dingin. Darah
serta merta mengalir keluar dengan deras dan Ginger tiba-tiba merasa mual. Ia tak pernah
melihat bagaimana pasiennya di IGD mengalami kecelakaan yang mereka lalui sampai menuju
ke meja operasi.

Seungho menghembuskan nafas lega, ia membuang isi peluru hand gunnya (yang ternyata hanya
dua) ke lantai, lalu mengantonginya lagi ke dalam jas. Tanpa menoleh ke belakang, Seungho
menggenggam lagi tangan Ginger untuk berjalan menuju ke lelaki lain yang kini mengambil
senjata dari lantai. Tentu saja itu membuat pandangan Ginger ke sudut-sudut ruangan menjadi
lebih jelas. Tak hanya ada Seungho, Ginger, lelaki bersenjata, dan mayat itu ternyata. Ada
beberapa orang lagi, semuanya wajah-wajah asing yang Ginger tak pernah tahu. Ginger yakin
semuanya berdiri tegang dari tadi, meskipun dia—mari kita sebut saja si mayat adalah tokoh
villain—sudah mati, tapi ketegangan masih terasa di sekitarnya. Mungkin karena ternyata tak
hanya ada satu orang yang berdarah di ruangan ini, tapi ada satu lagi yang terkapar dengan
seseorang berusaha untuk menahan darahnya keluar semakin banyak dan seorang pemuda yang
menatap kedua orang di lantai itu cemas.

Ginger tak perlu dua kali mengenali suara orang yang tengah menahan darah itu, itu Jaebum.
“Apa yang dilakukan Jaebum disini?” desis Ginger ketika Seungho dan dirinya sampai ke depan
lelaki yang baru saja berdiri tegak. Seungho hanya menoleh sebatas pundaknya dan melepas
genggamannya sambil berkata,

“Tolong dia, Ginger,”

“Siapa?”

Seungho menoleh pada seseorang yang tengah terkapar di bawah tekanan tangan Jaebum. Ginger
maunya bertanya banyak, tapi ia lalu berjalan menuju korban tak memperdulikan pandangan
para lelaki asing yang mengikutinya. Sesampainya ia di samping Jaebum, ia lalu berkata.

“Kau butuh sesuatu? Kasa gulung? Penutup oklusif?”

Jaebum mendongak, ia tertegun sebentar dan saling berpandangan dengan Ginger. Sahabat
wanita itu hanya menghela nafas dan menganggukkan tangan, ia tak punya pilihan lain karena
tangannya telanjang dan sudah tak bisa menahan darah. Ginger berlutut sambil memakai
handscoon yang ia ambil, sambil membuka pakaian lelaki yang tidak sadarkan diri itu, ia
berkata,

“Paling tidak. Kau bisa katakan padaku kalau kau dan suamiku bekerja pada sesuatu yang
harusnya aku tidak tahu.”

Ginger mendengar Jaebum bertanya pada pemuda lain yang berdiri tak jauh dari mereka saat
Ginger menemuka luka tembak di rusuk kanan korban, pemuda dengan wajah ketakutan
memandangi lelaki ini.

“Changkyun,” katanya pelan. “Kau tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?”

Ginger mendongak sebentar setelah menutup luka korban dengan penutup oklusif, membiarkan
darahnya keluar sedangkan menahan udara untuk masuk dan mempersempit paru-paru, pemuda
yang bernama Changkyun itu wajahnya putih pucat seperti kertas. Matanya tidak fokus dan
Ginger berani bertaruh Changkyun bisa pingsan kalau Jaebum mendorongnya.
“Jae, sudah berapa lama luka terbuka?” tanya Ginger. Jaebum beralih dari memandang khawatir
Changkyun lalu pada Ginger, ia melihat jam tangannya.

“Sepuluh menit.”

“Kita harus membawanya ke rumah sakit, pelurunya masih di dalam.” Kata Ginger sambil
memeriksa nadi korban. “Apa kau bawa sesuatu untuk menggotongnya?”

“Ada papan panjang di van,” gumam Jaebum, Ginger hanya mengerutkan kening dan
mengangkat satu alis. Pemuda itu menoleh ke belakang lalu berteriak. “Minhyuk!”

Seorang pemuda dengan rambut di cat pirang menoleh. Jaebum melanjutkan. “Ada papan di van!
Ambilkan! Kita akan bawa Hoseok ke safe house.”

Jaebum dan Ginger masih melakukan tindakan untuk tetap menahan Hoseok di ambang
kehidupannya. Tak sampai beberapa menit, Minhyuk datang dengan satu orang lainnya,
membawa strectcher kuning panjang dan segera memindahkan Hoseok ke atasnya. Ginger
bahkan tak mau repot-repot bertanya kenapa ada alat gawat darurat disana.

Ketika Jaebum dan beberapa orang itu pergi (Ginger berkata Jaebum boleh mambawa tas
medisnya kalau-kalau terjadi sesuatu dengan Hoseok di tengah jalan) Ginger menghela nafas,
safe house tidak terdengar seperti klinik atau rumah sakit, tapi kalau itu adalah tempat dimana
Hoseok bisa mendapat bantuan medis, Ginger tak akan protes. Ginger lalu menoleh pada
Changkyun, pemuda itu menatap ke arah perginya Hoseok dan Jaebum. Jadi dengan berhati-hati,
Ginger mendekatinya sambil membuka sarung tangannya yang berlumuran darah.

Bahkan saat Ginger sudah berada di dekatnya, Changkyun masih terpaku melihat pemuda yang
diketahui bernama Hoseok ini.

“Nak, apa kau tak apa-apa? Apa ada yang sakit?”

Changkyun terkejut, ia berjengit saat Ginger menyentuh pundaknya. Pemuda yang lebih tinggi
dari Ginger itu menatapnya seakan-akan Ginger adalah hantu wanita yang gentayangan. Tapi
kemudian ia menggeleng sambil menelan ludah dan kembali menatap arah Hoseok dibawa
keluar.
“Dia sudah mendapatkan perawatan yang cepat,” kata Ginger kembali menghela nafas berat.
“Aku tak tahu apa itu safe house, tapi jika itu bisa mengeluarkan peluru dari dadanya, maka dia
akan tetap hidup.”

Changkyun hanya mengangguk, ia lalu menatap Ginger dan membungkuk terimakasih.

“Kau kelihatan pucat,” kata Ginger mengerutkan kening. “Apa ada yang sakit?”

Changkyun kembali menggeleng. Ginger hanya tersenyum kecil. Dalam hatinya, Ginger tengah
menerka-nerka siapa anak ini. Apakah anak buah Hoseok? Seorang pembunuh bayaran?
Pengedar narkoba? Atau hanya seorang korban?

Ginger meraba kantung jaketnya, ada sesuatu keras disana. Jadi ia merogohnya dan sedikit
terkejut bisa menemukan sebungkus cokelat, Ginger lalu menyurungkannya pada Changkyun.
“Aku tak tahu apa yang baru saja kau lihat, alami dan rasakan sekarang. Tapi aku bisa membaca
kalau kau cukup ketakutan dan terguncang. Tolong, makanlah ini, paling tidak itu akan membuat
sarafmu rileks sejenak.”

Changkyun memandang cokelat itu ragu-ragu, lalu beralih ke wajah Ginger yang tersenyum
lelah. Wanita itu lalu melanjutnkan.

“Namaku Ginger Goodwin,” katanya, dan menaikkan cokelatnya lebih dekat pada Changkyun.
“Dan aku tak akan menyakitimu.”

Ginger terkesiap, kalimat terakhirnya bisa membuat Changkyun lalu menerima cokelat Ginger.
Lalu sesuatu di dada Ginger seperti tengah diremas tangan tak terlihat.

Apa yang terjadi disini?

Ginger tak kembali ke rumah dalam beberapa hari. Sebagai gantinya, dia dan Seungho berada di
sebuah rumah yang sangat besar, dan menatap disana dalam beberapa hari. Seungho sudah
berjanji kalau urusannya sudah beres, mereka akan secepatnya kembali pulang ke rumah.
“Tapi aku harus pergi bekerja,” kata Ginger pada subuh saat pertama kali mereka ke rumah besar
itu. “Aku tak bisa terus-terusan bolos kerja dengan alasan tak jelas.”

“Tak perlu khawatir,” kata Seungho sembari menaikkan satu sudut bibirnya. Ginger mulai tak
menyukai ekspresi itu, selalu ada banyak arti dari itu. Tapi yang jelas, semua itu berarti, “kau tak
perlu memikirkannya.”

“Lalu bagaimana dengan anak-anak, Seungho?” kali ini Ginger tak ingin jawaban remeh-temeh.
Bagaimana dengan Youngjae? Para bayi kecil, Seung Oh dan Seung Jo? Bibi Roh? Supir pribadi
mereka, Jae-Myun? Ya ampun, Jae Myun bahkan baru mulai kuliah lagi.

“Akan ada yang menjaga mereka,” kali ini nada bicara Seungho tak mau diganggu gugat. “Aku
janji kita akan pulang, tapi tetap ada yang harus aku selesaikan.”

------

Ginger belajar banyak dalam beberapa hari ia tinggal disini. Dalam rumah yang sangat besar ini,
tidak ada wanita, kecuali Ginger. Semuanya laki-laki, dan Ginger tahu semuanya punya
pekerjaan yang sama. Begitu juga Seungho.

Ginger sebenarnya tak ingin berasumsi apapun pada semua pemuda yang begitu menghormati
Seungho ketika mereka bertemu, terkadang Ginger mendapati ada satu dua orang yang
memasang wajah kaku karena takut saat Seungho berbicara. Ginger memjiat keningnya,
sepertinya banyak yang harus dijelaskan oleh Seungho tapi wanita itu tak yakin darimana dia
harus mendengar.

Saat dia keluar dari kamar, tujuannya tidak kemana pun. Seungho tidak terlihat di sudut rumah
ini dan dia akan kembali saat malam turun. Ginger lebih sering menghabiskan waktunya dengan
Im Changkyun, seorang anak berumur 23 tahun yang ia temui pertama kali di gudang itu. Atau,
biasanya juga ada Cha Hyungwoon, seorang pengawal yang lebih tua beberapa tahun dari
Changkyun.

Tapi Ginger lebih tertarik dengan Changkyun.


Pada suatu saat, Ginger berhasil menyelinap dari pengawasan Hyungwoon (mungkin terlalu
berlebihan mengatakan Hyungwoon tengah mengawasi wanita itu mengingat dia adalah tangan
kanan Hoseok, tapi insting wanita banyak benarnya), ia menggeret Changkyun ke taman
belakang, duduk disana dan berbincang.

Dari situlah, Ginger tahu kalau Im Changkyun bukan seorang penjahat.

“Ceritanya panjang, Nyonya,” kata Changkyun dengan senyum samarnya. Wajahnya terlihat
kekanakan.

“Aku punya waktu seharian,” kata Ginger. Changkyun lalu menarik nafas dan
menghembuskannya perlahan.

“Saya menelfon polisi saat Hoseok dan kelompoknya melakukan transaksi di sebuah gudang di
dekat pelabuhan,” kata Changkyun mulai. Ginger menelan ludahnya. “Saya sebenarnya tak mau
tahu, tapi Hoseok dan mereka mulai menembaki teman transaksinya.”

Wajah Ginger menjadi kaku.

“Lalu?”

“Polisi datang. Hoseok kehilangan beberapa anggotanya,” Changkyun mengusap tengkuknya


gugup. “Dia datang pada saya, dan...”

Changkyun tak mengatakan hal selanjutnya, ia hanya mengulum senyum dan menggerakan
tangannya membuat gestur untuk melihat keadaannya sekarang. Ginger tak perlu tahu apa yang
terjadi, tapi Ginger sudah bisa mengerti apa yang sudah Changkyun alami. Lalu dengan bersuara,
Ginger berkata,

“Hoseok mencarimu, menangkapmu, dan menjadikanmu tawanan.”

“Tawanan masih lebih baik,” kata Changkyun tersenyum miris. Sesuatu di dada Ginger seperti di
remas kuat-kuat hingga mual naik ke tenggorokannya. Sejenak, dia menyesal telah menolong
Hoseok di gudang waktu itu.

“Changkyun,” kata Ginger saat Changkyun menatapnya. “Apa kau ingin pulang?”
Changkyun menaikkan kedua alisnya. Tawaran Ginger seperti tidak asing baginya, karena
Ginger satu-satunya manusia disini yang terus memberikan harapan untuknya. Pulang ke rumah.
Hidup seperti dulu.

Tapi apa yang bisa Changkyun dapatkan kalau dia keluar dari rumah ini? Kehidupannya yang
dulu tak lebih baik dari ini. Diasingkan, tak punya teman. Ia hidup sendirian setelah Ayahnya
mengusirnya keluar dari rumah. Lagipula, ada perasaan ganjil dalam hati Changkyun pada
Hoseok. Meskipun dia sudah memperlakukan Changkyun demikian rupa, Hoseok punya sisi lain
yang membuatnya tak ingin pergi darisini.

Ini konyol, tapi Hoseok adalah alasan Changkyun kalau dia tak ingin melangkahkan kaki keluar
dari rumah ini.

“Kalau aku jadi kau, aku akan berkata ‘ya’ pada tawaranku barusan,” kata Ginger menyandarkan
punggung sambil melihat ke hamparan bunga di hadapan mereka. Changkyun menatap Ginger
sampai wanita itu balas melihatnya.

“Tapi aku bisa melihatmu dan Hoseok, Changkyun. Aku tahu tatapan itu setiap kali kau bersama
Hoseok,” Ginger tersenyum lembut. “Aku tak akan melupakan bagaimana takutnya dirimu saat
Hoseok hampir mati ketika pertama kali kita bertemu.”

Changkyun menundukkan kepala dan tersenyum samar.

“Tapi Changkyun, keluarlah dari sini terlebih dahulu,” kata Ginger.

“Nyonya, kenapa Anda menawarkan saya untuk keluar dari rumah ini? Bagaimana caranya?”

“Oh, Changkyun,” kata Ginger tersenyum lega karena Changkyun menanyakan alasannya.
“Karena aku juga ingin pergi dari sini. “

Changkyun terkejut, ia menatap Ginger tak percaya. “Tapi selanjutnya, itu terserah padamu,
Changkyun. Apa kau ingin kembali, atau tetap berada di luar. Itu keputusanmu nanti.”

--------
“Kau merencanakan sesuatu,” kata Seungho saat ia kembali setelah makan malam ke kamar
mereka. Ginger yang tengah membaca salah satu buku di rak kamar tamu, hanya menatap
suaminya yang tengah membuka jas. Ginger turun dari tempat tidur dan menerima jas Seungho
lalu membantunya melepaskan dasi.

“Aku tak merencanakan apapun,” kata Ginger menggeleng. “Memang aku mau apa? Menguasai
dunia?”

Seungho terkekeh sebentar saat Ginger berhasil membuka dasinya. “Aku tahu. Kau tak perlu
berbohong, Sayang.”

Kali ini Ginger yang tertawa pelan, ia menarik dasi dari leher Seungho saat suaminya menarik
tubuhnya mendekat. Jarak antara wajah mereka hanya dipisahkan oleh nafas. Ginger menatap
mata suaminya lekat-lekat.

“Aku hanya ingin pulang.”

“Aku janji kita akan pulang,” kata Seungho menyelipkan rambut Ginger di balik telinga wanita
itu. “Tapi tidak sekarang. Ada waktu yang tepat.”

Ginger tak berkata apapun, ia hanya menatap Seungho dengan senyum tipis. Tapi Seungho tahu
tatapan itu, Ginger tak bisa menerimanya begitu saja. Banyak alasan yang membuat Ginger ingin
segera pulang. Jadi Seungho melanjutkan. “Aku sudah mengatakan padamu, akan ada orang
yang menjaga mereka.”

Ginger menarik nafas pelan.

“Oh ayolah, Seungho,” Ginger tersenyum setengah, Seungho sudah mencium maksud yang tidak
sedap. “Kita sudah lama tak bermain semacam ini. Bukankah ini saat yang tepat untuk memacu
adrenalin?”

Seungho tahu, membiarkan Ginger untuk berlama-lama di ruang operasi bukan pilihan yang
benar. Tak ada senyum di wajah Seungho, ia menatap wanitanya lekat-lekat sambil menggeleng.
“Kau tahu siapa yang akan memenangkan permainan ini,” kata Seungho serius. Ia ingin
menghentikan Ginger sebelum apa yang bisa dia lakukan. Tapi sesuatu di dada Seungho
mencelos sampai ke perutnya, dan ia tak pernah merasa setakut ini ketika Ginger berkata.

“Nah, Sayangku,” kata Ginger menatap Seungho lekat-lekat. “Permainan itu sudah lama sekali.
Pemenangnya bisa saja berganti, ‘kan?”

Itu hal terakhir sebelum Ginger membekap Seungho dengan ciumannya.

----

Saat Seungho bangun pada pagi hari dan tak ada siapapun di sebelahnya, dia mulai panik.
Secepat kilat membuka mata, jemarinya tak sengaja menyentuh kertas di atas bantal yang biasa
Ginger merebahkan kepala di atasnya. Dengan kepala berat, ia tak begitu ingat apa yang terjadi
semalam, Seungho membaca surat itu lamat-lamat.

Selamat pagi, Sayangku. Kau sudah bangun ‘kan? Maaf, aku harus pergi. Tapi aku janji! Aku
akan kembali.

Sama seperti janjimu kalau kita akan pulang.

Salam manis, Ginger Yang.

p.s : tolong katakan pada Wonho, maaf aku membawa Changkyun.

Kepala Seungho berdenyut tak nyaman, ia harus memegangi kepalanya erat-erat. Apa yang
sudah terjadi semalam? Lelaki itu mencoba mengingat-ingat.

Hanya ada Ginger dan erangannya yang erotis di telinga Seungho dengan segala kenikmatan
diatas tempat tidur. Memang sudah lama mereka tak saling menyentuh sedekat itu, seintim itu,
jadi ketika Ginger menariknya jatuh ke tempat tidur, Seungho tak menyia-nyiakannya.

Seungho lalu mengingat sesuatu. Oh, Ginger memberinya air putih setelah itu.
Lelaki itu menghela nafas, dia boleh saja menjadi pemimpin generasi mafia selanjutnya yang tak
kenal ampun untuk siapapun, tapi Seungho tak bisa melakukan itu pada istrinya. Memilih Ginger
sebagai istri dan membiarkannya menjadi petugas kesehatan itu lalu menjadi penyesalan
tersendiri untuk Seungho.

Tak banyak membuang waktu Seungho turun dari tempat tidur dan memakai pakaian lengkap.
Nafas Seungho memberat ketika ia membuka lemari dan tak ada baju Ginger yang tertinggal
disana. Melihat ke meja siapa tahu ada yang Ginger tak sengaja tinggalkan. Keputusannya salah,
dadanya langsung seperti terasa kosong.

“Wanita sialan,” desis Seungho. Ia lalu membanting pintu lemari tertutup dan segera keluar dari
kamar.

Ginger tak meninggalkan apapun di kamar ini, seperti eksistensinya tak pernah ada dari awal.

----

“Tuan,” Hoseok terlihat lelah, ia memijat keningnya. Wanita selalu saja membuat ribut, tapi
Hoseok tentu saja tak ada keberanian untuk mengolok istri Yang Seungho di depan lelaki itu.
Kalau saja Ginger hanya pergi sendiri, Hoseok tak akan se-risau ini. Masalahnya, dia membawa
Im Changkyun bersamanya. Hoseok tak takut kalau-kalau Changkyun akan lari ke kantor polisi
lagi dan menceritakan segala kejadian di mansion ini. Well, itu tentu saja buruk, tapi Hoseok
punya alasan lain.

Kalau Changkyun akan pergi tak akan kembali.

“Maafkan aku, Hoseok,” kata Seungho mendesah di ujung meja, mengangguk terimakasih ketika
Minhyuk menaruh segelas air putih dan obat sakit kepala. “Aku tak tahu apa yang direncanakan
Ginger.”

Seungho menatap Hyungwon yang berdiri di belakang Hoseok. Merasa diperhatikan, pemuda itu
menegakkan punggungnya dan menggeleng. “Maaf Tuan,” katanya, “saya juga tak tahu apa yang
dibicarakan Nyonya dengan Changkyun kemarin sore.”
Seungho meminum obat sakit kepalanya, meneguk air hingga setengah penuh. Rasanya tak
nyaman seperti ini. Ginger berada di suatu tempat yang Seungho tak tahu ada dimana, membawa
tawanan Hoseok. Ia akan memerintahkan beberapa anak buah Hoseok untuk mencari mereka
berdua sebelum pintu pertemuan dibuka lebar oleh Jaebum.

“Lebih baik kita tak melakukan apa-apa,” kata Jaebum menunjukkan sebuah kartu dengan tulisan
tangan rapi familiar untuk Seungho. “Ginger meninggalkan surat untukku.”

Jaebum menaruh kartu itu di depan Seungho dan menatap Hoseok. “Kita biarkan dia selama dua
hari. Jika tak ada yang terjadi, kalian harus mencari mereka.”

“Tak ada jaminan Nyonya tak akan membawa Changkyun ke kantor polisi,” kata Hoseok disela-
sela giginya. Amarahnya kembali muncul pada wanita tersebut, ia sekilas melirik Seungho yang
membaca kartu berharap emosinya tersalurkan dengan baik. “Bagaimana jika itu terjadi?”

“Itu tak akan terjadi,” kata Jaebum mengerutkan kening dan menyilangkan tangan di depan dada.
Ia tak suka ada yang bicara dengan nada dan wajah seperti itu tentang sahabatnya. “Ginger bukan
orang yang semacam itu. Kalau dia melaporkan pada polisi, sudah dari dua jam yang lalu kita
mendekam dalam penjara.”

Seungho menghembuskan nafas kasar dan melemparkan kartu ke tengah meja, dimana
Hyungwon lalu mengambilkannya untuk sang atasan. “Kita akan membiarkan mereka dua hari.
Itu perjanjiannya, Jaebum.”

Jaebum mengangguk. Seungho mencondongkan tubuh ke meja dan mengusap wajah dengan
kasar. Jaebum mengatakan ia akan meninggalkan beberapa obat penghilang nyeri pada Minhyuk
supaya Seungho bisa meminumnya lagi setelah sarapan.

“Itu sebabnya aku tak pernah main-main dengan Ginger,” kata Jaebum menggelengkan kepala
dan menatap keluar seperti mengingat-ingat memori dimana dia tak mau cari masalah dengan
Ginger. “Semenjak bekerja dan mengerti obat, dia semakin menakutkan.”

Seungho terkekeh, begitu juga dengan Jaebum.


“Jadi... hanya begini? Kita menunggu?” tanya Hoseok, tak bisa menangkap humor diantara
kedua lelaki itu. Seungho mengangguk.

“Dua hari, dari sekarang. 48 jam, Hoseok. Tepat ketika jarum jam itu menunjukkan waktu
habis,” kata Seungho menunjuk jam diatas pintu. “Kita bergerak.”

Jaebum lalu pamit undur diri karena dia masuk shift pagi. Sebelum ia menarik pintu terbuka,
Seungho kembali memanggilnya.

“Kau tak sedang berbohong ‘kan?” kata Seungho. “Kau sahabat terbaiknya. Aku tak akan
terkejut kalau kau menyembunyikan sesuatu di balik punggungmu, Jaebum. Dengar, kalau kau
berbohong—”

“Aku akan mati dan masuk neraka. Aku tahu,” kata Jaebum tersenyum tipis. “Tapi tidak, hyung,
aku tidak sedang berbohong. Aku sudah cukup menerima kebohongan dalam hidupku.”

--------

Ginger menyetir mobilnya santai, meskipun sedikit kaku karena terasa sudah lama sekali tak
memegang setir mobil. Ia mengingat-ingat kejadian saat dia dan Changkyun datang ke rumah
dini hari tadi. Bibi Roh dan Youngjae sangat terkejut ketika ia pulang bersama dengan seorang
pemuda lain yang terlihat gugup di depan mereka.

“Tuan kemana, Nyonya?” tanya Bibi Roh mengerutkan kening sambil memperhatikan
Changkyun dari atas sampai bawah ketika Ginger menuangkan air untuk dirinya sendiri.

“Ah, kami di luar kota beberapa hari ini,” kata Ginger tenang dan tersenyum pada bibi Roh.
“Ada yang harus Seungho kerjakan dan aku sendiri ada penugasan di kota yang sama.”

“Dimana, bibi?” tanya Youngjae mengerutkan keningnya.

“Busan,” Ginger berbohong. Ia menoleh pada Changkyun. “Duduklah, Changkyun. Aku akan
mengambil beberapa baju dan melihat si kembar. Bagaimana keadaan mereka?”

“Nyonya,” kata bibi Roh kini terlihat khawatir. “Tuan mengambil mereka.”
Ginger menoleh secepat kilat, ia bersyukur tak mematahkan tulang lehernya. “Apa?”

“Bibi,” kali ini Youngjae yang mendekati bibinya yang akan naik ke atas. “Apa... Apa terjadi
sesuatu?”

Ginger hanya menghela nafasnya dan mengelus pipi Youngjae. “Tidak ada yang terjadi, Sayang.
Siapa yang mengambil mereka? Apa Seungho sendiri yang datang kemari?” tanyanya pada bibi
Roh.

“Tuan Byunghee datang kemarin malam, beliau berkata bahwa si kembar akan ia bawa karena
Seungho dan Anda berada bersama mereka,” bibi Roh mengerutkan keningnya curiga. “Tapi
Nyonya, mereka tak berkata bahwa Anda berada di Busan.”

Ginger terdiam sebentar, menatap kedua orang yang punya tempat besar dalam hidupnya. Ia tak
ingin menatap mereka, Ginger mengalihkan pandangannya pada Changkyun saat bibi Roh
berkata lagi. “Saya tak tahu apa yang terjadi antara Anda dan Tuan Besar, Nyonya. Tapi tolong...
jangan libatkan anak-anak.”

Ginger menatap Youngjae, mata cemerlang itu mulai berair. Ginger memeluk Youngjae dan
merasakan basah di bahunya. “Kami baik-baik saja, Youngjae. Jangan menangis...”

“Tapi kemana bibi dan paman? Kenapa bibi sendirian kembali? Bibi akan pergi lagi?”

“Youngjae, Youngjae, lihat aku,” kata Ginger menangkup kedua sisi wajah Youngjae, membuat
pemuda itu menatapnya lekat-lekat meskipun pipinya sudah basah. “Seminggu lagi, atau kurang
dari itu, aku berjanji, aku dan pamanmu akan pulang. Kami akan pulang,” kata Ginger pada bibi
Roh di akhir kalimat lalu kembali lagi ke Youngjae.

“Nyonya...,” bibi Roh terlihat sedih.

Ginger mengerutkan kening, hampir menerobos lampu merah. Ia menggosok dagunya kasar.
Pandangan Roh dan Youngjae mengganggu ingatannya.

“Nyonya,” kata Changkyun memanggil. “Apa Anda tidak apa-apa? Saya bisa menggantikan
Anda menyetir jika perlu.”
“Nah, tak perlu,” kata Ginger menolak dengan senyuman. “Aku masih bisa menyetir.”

-----

Ginger hanya terpaku ketika Ayah Changkyun menampar pipi anaknya keras-keras, sementara
ibunya tak bisa berbuat apapun kecuali menangis tersedu meminta Tuan Im untuk berhenti
memukuli anak mereka.

“Berani-beraninya kau kembali lagi, dasar anak tak berguna!” jerit marah Tuan Im saat Ginger
membantu Changkyun untuk berdiri. “Pergi! PERGI DARISINI!”

Nyonya Im menangis dan Tuan Im akan bersiap untuk melemparkan lengannya lagi kalau
Ginger tidak menahannya dengan keras. “Sudah cukup,” katanya.

Tuan Im menghempaskan tangan Ginger hingga wanita itu sedikit sempoyongan ke samping,
Changkyun memeganingnya. “Siapa kau!” hardiknya.

“Saya adalah orang yang bisa saja menelfon polisi karena melihat kekerasan di rumah ini,” kata
Ginger tenang tapi Changkyun bisa menangkap suara emosi keluar.

“ANAK SEMACAM INI YANG SEHARUSNYA MASUK PENJARA!” Tuan Im berkata


sangat keras hingga Nyonya Im harus menangis memohon suaminya untuk berhenti. Changkyun
ikut menangis, bukan karena kata-kata kasar ayahnya, tapi karena ibunya menangis untuknya.

“Cukup!” kata Ginger, juga dengan nada yang tinggi. “Anda harus berhenti berkata kasar
sekarang! Changkyun hanya ingin mengambil semua bajunya dan Anda tak perlu mengeluarkan
kata-kata yang tak pantas. Saya bisa menelfon polisi sekarang juga!”

Ginger mengambil ponsel di saku jaketnya dan menekan 119 segera, menampilkannya di depan
tuan Im. “Saya tidak akan memencet tombol telfon kalau Anda mengijinkan Changkyun
mengambil bajunya.”

=+=+=+=+=+
“Ku anggap, kita sudah selesai.”

Kata-kata Ginger itu mengagetkan Changkyun. Di benaknya berlari ratusan arti dari kalimat
tersebut. Apakah Ginger akan meninggalkannya begitu saja sendirian disini? Apakah cuma ingin
keinginan Ginger, mengantarkan Changkyun pulang untuk mengambil baju dan semuanya
selesai?

Tapi Ginger tertawa melihat wajah takut Changkyun.

“Maksudku, misi kita yang sekarang, sudah selesai,” Ginger menyalakan mesin mobil dan
sesekali menoleh pada Changkyun ketika mobil bergerak ke depan. “Sekarang terserah padamu,
ini sudah hari kedua dan batas perjanjianku dengan Jaebum akan berakhir. Kita sudah check-out
dari hotel jadi aku akan memberikanmu pilihan lagi.”

Changkyun tidak pernah diberi pilihan sebelumnya, ia takut pilihan yang akan diberikan Ginger
tidak ada yang tepat untuknya. Tapi ini Ginger Yang yang Changkyun ragukan, dia tak boleh
meragukan wanita tangguh ini. Mereka sudah sampai sejauh ini, menghindari kejaran Minhyuk
dan Hyungwon, yang mana jika Changkyun lakukan sendiri dia pasti sudah mati.

“Kau mau pulang kesana, Nak?” tanya Ginger. Changkyun mengerutkan kening.

“Kemana, noona?” tanyanya. Ginger terkekeh, dia senang Changkyun sudah bisa membiasakan
dirinya untuk tak memanggil Ginger dengan sebutan Nyonya.

“Mansion Wonho,” kata Ginger. “Kelihatannya kau sudah tak diterima lagi di rumah orang
tuamu.”

Changkyun setuju dengan Ginger, juga setuju dengan pilihan kalimat ‘rumah orang tua’. itu
menegaskan pada Changkyun bahwa itu bukan rumahnya, seakan-akan dia tak pernah tinggal
atau tidur serta makan disana. Ginger membuat batasan yang jelas pada Changkyun bahwa dia
tak perlu kembali ke rumah itu. Pertanyaannya sekarang adalah, dimana ia akan tinggal?

Ginger sudah memberikan pilihan pertamanya kemarin, sahabatnya yang bernama Park Jinyoung
bersedia menerima Changkyun di rumah singgah milik orang tuanya yang berada di salah satu
area di Busan, tempatnya di pedesaan dan tidak terganggu dengan hiruk pikuk kota. Dia akan
membantu orang-orang lanjut usia disana. Tapi sebenarnya, keraguan Changkyun bertambah
banyak. Apakah dia sebenarnya ingin bebas dari Wonho, atau dari orang tuanya? Lari dari kota
yang sudah membarinya cap jelek bahkan dia merasa tak pantas untuk tinggal disini?

Apakah dia sebenarnya ingin lari dari Wonho?

“Kurasa kita akan kembali ke Mansion Wonho, eh?” Ginger menarik kesimpulan dan
Changkyun tidak menjawabnya. “Akan ku telfon Jinyoung bahwa kau sudah mendapatkan
pekerjaan disini.”

Changkyun tidak menolaknya. Mungkin dia memang tak ingin pergi dari Wonho.

=+=+=+=+=+

Jam lima subuh saat Ginger makan sendirian di bagian luar kafe, dia sendirian dan sengaja
mengekspos dirinya ke jalanan. Ginger mungkin yakin, menangkapnya sekarang adalah hal yang
tepat daripada menunggu waktu-waktu sibuk. Makin banyak celah untuknya kabur seperti waktu
kemari. Pemilihan kafe untuk sarapan juga sudah diperhitungkan Ginger baik-baik, ini adalah
jalan yang paling sering dilalui untuk menuju Mansion.

Tak sampai setengah jam, pukul lima lebih lima belas, seorang pemuda melangkahkan kaki
teratur ke arah Ginger. Wanita itu berusaha untuk tidak melihat dan sibuk dengan telur dan
ponselnya. Baru ketika pemuda itu berhenti di balik kursi di depan Ginger, ia mendongak.

“Selamat pagi, Nyonya,” kata Wonho dengan membungkuk sedikit memberi salam. Ginger
hanya mengangguk dan tersenyum.

“Selamat pagi, Hoseok,” katanya, “mau sarapan?”

Wonho hanya tersenyum, wajahnya menjadi semakin rupawan dengan lesung pipit muncul di
pipinya. Tak akan ada yang menyangka kalau pemuda di depannya ini adalah pembunuh ulung
melihat bagaiamana ia tersenyum. Tapi memang biasanya seperti itu, tanaman yang indah-indah
itu menjerat para mangsanya untuk dimakan.
“Aku tahu kau sangat marah padaku, dan mungkin lebih marah karena melihatku sendirian
disini. Tapi kutanya kau satu hal, Wonho,” kata Ginger kali ini wajahnya mengerut serius.
Wonho teringat akan bibinya dulu yang selalu meminta penjelasan tentang apa yang dilakukan
Wonho pada vas bunganya yang pecah. “Apa motifmu kemari? menjemput tawananmu? Atau
menjemput Changkyun? Karena ku katakan padamu, dua kata itu mempunyai arti yang berbeda
dan harusnya kau juga memperlakukan mereka berbeda juga.”

Wonho tercekat, ia bingung harus berkata apa. Ginger menatapnya lekat-lekat.

“Aku serius, Wonho. Ketika aku memberikan isyaratku yang rahasia pada Changkyun, yang
sekarang entah berada di mana, ia akan kabur dan menuju tempat yang sudah kami sepakati lalu
kau tak akan pernah menemukannya. Ku jamin itu, dengan seluruh hidup dan matiku. Karena
apa? Kau tak bisa memperlakukannya seperti manusia di Mansion, dan aku tak peduli meskipun
Changkyun menginginkan untuk kembali,” Wonho terkejut dengan kalimat itu, “aku tak akan
pernah mengijinkannya untuk pergi pada orang yang tidak memperlukannya seperti manusia.”

Wonho terdiam sebentar, ia lalu duduk di depan Ginger dan mendesah pelan. Ginger tahu dia
mungkin sekarang sedang menimbang-nimbang jawaban apa yang pantas diberikan pada Ginger.
Namun itu pertanda baik daripada memberikan jawaban langsung yang mungkin Ginger tak
ingin dengar.

“Nyonya,” katanya dengan nada berhati-hati, padahal dia tak perlu seperti itu karena hanya ada
mereka berdua disana. “Kenapa Anda begitu peduli pada saya? Pada Changkyun dan orang-
orang lainnya di Mansion?”

Ginger mencecap sisa teh di mulutnya dan menggeleng pelan. “Rupanya kau salah mengerti.
Hari dimana aku datang dan membantu dokter Jung mengeluarkan peluru bukanlah keinginanku,
suamiku lah yang menyuruhku untuk datang. Bukan aku, Wonho, yang peduli padamu, tapi
suamiku.”

Anda mungkin juga menyukai