terhenti untuk membuka pintu kamar itu, Jaehyun mengangguk saat meyakinkan
diri percuma untuk memberikan makan malam pada kakak nya.
‘Jung Jihye’
Pintu itu bertuliskan nama kakaknya, Jaehyun kembali memandang pintu itu,
kembali memikirkan perasaan Ibunya, lebih baik Jaehyun menuruti kemauan Da
Eun.
Jaehyun meletakkan nampan berisikan roti dan segelas susu hangat di meja
berukuran sedang di dekat jendela, meja itu dipenuhi beberapa buku dongeng,
dua buah kotak musik berbentuk hati dan kuda serta satu jepitan rambut berwarna
merah. Dari sela-sela fentelasi angin berebutan masuk menerbangkan horden, air
tetesan langit juga sedikit menyapa tangan putih Jaehyun, membuat pria itu
beralih fokus dari meja sang kakak, beralih ke depan jendela yang belum tertutup
horden.
Tidak ada sahutan, Jaehyun menatap ranjang Jihye yang selalu rapi, begitu juga
lantai dan seluruh benda di kamar ini tidak ada sedikit debu yang menempel,
karena sang Ibu selalu membersihkan kamar Jihye.
Kembali senyuman itu terukir, Jaehyun meraih satu pasang sepatu ballet berwarna
putih, sepatu itu terletak di pinggir ranjang. “Aku yakin, sepatu ini sudah tidak
muat untukmu, Noona.”
***
“Jangan terlalu cemas, rasamu ini bukan dari hati melainkan dari mata mu.
Walau kau memakai hatimu, terlalu sulit. Dia suka padamu?. Kau hanya diam
aku simpulkan hanya kau saja, benar?. Dia cantik? 1% hatinya kosong sisanya
99% hatinya sudah terisi.”
Sehun menunduk sedih mengingat perkataan Ayana. Opini gila Sehun membuat
Sehun tegeliti sendiri, sebuah opini Jiyeon juga menaruh hai, mengapa ia bisa
berpikir berlebihan seperti itu, mungkin benar cinta senang bercanda pada hatinya.
“Sehun.”
Gadis itu mendekat kearahnya, Sehun hanya diam saat Jiyeon memadangnya.
Pantas saja hatinya terus berdetak, karena mata jahil Jiyeon terus menatapnya.
Sehun bingung, akhirnya Sehun menanyakan pertanyaan yang bisa saja membuat
mereka menjadi begitu canggung.
Jiyeon menatap Sehun, ada kegugupan dari Sehun, hingga Jiyeon bertanya. “kau
sendiri?.”
***
Paginya pria berkemeja coklat berdiri di tengah-tengah koridor, Jaehyun menoleh
melihat sosok Tzuyu berjalan tanpa sebuah senyuman melewatinya.
“Apa?.”
Sontak Jaehyun tersadar ketika mendengar suara Tyuzu. Satu penilaian dari
Jaehyun, yaitu, ‘Angkuh’
“Aku menyukaimu.”
Tyuzu terlihat terkejut, gadis itu menganguk dan tersenyum. Mata bulat itu
menatap Jaehyun yang membalas tatapannya dengan penasaran.
Tzuyu memusatkan fokus pada Jiyeon, gadis itu baru saja memasuki koridor
dengan memeluk satu buku. Tyuzu menunjukkan tangan kearah depan seraya
dagu lancip itu menyuruh Jaehyun untuk melihat apa yang sang gadis primadona
tunjuk.
“katakan.”
Bisikan dari Tyuzu sontak Jaehyun menatap gadis dengan tidak percaya. Ia
kembali menatap Jiyeon dan kembali menatap Tyuzu.
Tangan Tzuyu merapikan kemeja Jaehyun, ia merasakan Pria ini tidak ingin
melakukan perintahnya. Namun, ia tidak akan diam, akalnya terbesit
membisikkan sebuah kata yang membuat Jaehyun mengangguk.
***
Jiyeon terlihat gelisah, ia tidak bisa fokus untuk melakukan latihan permainan
Biola sepuluh menit kedepan. Dan, di jam dua siang permainan Biola tunggalnya
akan di adakan. Kegelisahan Jiyeon dikarenakan, ia melupakan di mana ia
meletakkan alat bantu pendengarannya, bagaimana bisa ia latihan dan memainkan
permainan Biola hari ini.
Mahasiswa lain sudah terlihat mengecek alat musik mereka, ada juga beberapa
Mahasiswa menggesek Biola mereka. Jiyeon semakin bimbang jam terus berdetak
dan ia juga tidak bisa membuat alasan, alasan apa yang harus ia katakan. Tidak
mungkin ia meminta izin sakit, ia tidak ingin perkataannya menjadikan
boomerang, karena sakit yang lain belum tersembuhkan. Ia tidak ingin
menciptkan sebuah sakit lainnya.
“Park Jiyeon.”
Panggilan itu sudah kesekian kali, Jaehyun, merasa kesal karena Jiyeon tidak
kunjung menjawab ataupun menoleh.
“ikuti aku.”
Jiyeon merasakan percuma, ia tidak bisa melihat bibir Jaehyun, akhirnya Jiyeon
lebih memilih mengikuti Jaehyun kian memasuki lorong terjauh dari dalam
kampus ini, jarang pula mahasiswa menginjakkan kaki lorong ini, lorong yang
berada di lantai tingkat tiga.
***
“Untuk apa ke sini, Jaehyun?.”
Perkataan Jiyeon membuat Jaehyun gugup. Sedikit rasa tidak tega untuk
melakukan ini pada Jiyeon, gadis di hadapannya ini terlalu bodoh dalam menilai
seseorang.
“Masuk saja, kau akan mengetahui setelah memasuki perpustakaan lama ini.”
Jaehyun mengeluarkan kunci, kemudian berapa detik berikutnya pintu besar itu
telah terbuka, gelap menyapa mereka dan susunan rak-rak buku terlihat tak
beraturan, banyaknya debu membuat Jiyeon terbatuk beberapa kali, ia semakin
bingung atas keterdiaman Jaehyun, sedangkan kaki Jaehyun terus melangkah
secara lurus semakin masuk ke dalam.
Jiyeon membuka senter dari ponsel ia memilih menjauh dari Jaehyun, ia melihat
sebuah buku usang yang berjudul ‘Happy’.
“Park Jiyeon!.”
Dan lagi Jaehyun menarik tangan Jiyeon, kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Pria itu menyeret paksa tangan Jiyeon, jelas Jiyeon menjerit kesakitan.
Jaehyun hanya diam memandang Jiyeon, Jiyeon sendiri ia mulai berdiri kembali.
Jiyeon tidak tau dan sungguh tidak bisa mendengar perbincangan apa yang terjadi.
“Jaehyun, bahkan dia pernah berkata kau tidak cocok denganku kau terlihat buruk
jika bersanding denganku. Terakhir ia berkata kau berandalan.” Tzuyu tersenyum
antusias melihat Jaehyun mengeraskan rahangnya.
Perasaan Jiyeon tidak enak, ia memandang Tzuyu, gadis itu tersenyum seraya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Maksudmu apa?.”
“Prinsipku, jika sesuatu yang menyakiti orang yang aku cinta, orang itu akan
hancur di tanganku!.”
Jaehyun mengambil tangan Jiyeon, Jaehyun langusng meremas kuat tangan Jiyeon
dan seidikit memutar pergelangan tangan Jiyeon.
Dengan smirk tercetak di wajah Jaehyun, pria itu tampak puas melihat Jiyeon
mengeluarkan air mata. “Itu pantas untuk orang sepertimu, berkata dusta untuk
menilaiku.
Sekali lagi Jaehyun meremas tangan Jiyeon kuat, Jiyeon menggeleng lemah dan
terus menangis, tangannya begitu sakit. melihat wajah puas Jaehyun membuat
hatinya begitu sakit.
“Aku tidak akan melakukan ini, jika kau tidak berkata dusta menilaiku, sampah!.”
Jaehyun menghempaskan tangan Jiyeon, Jaehyun menarik tangan Tzuyu untuk
kelaur dari ruangan ini. Namun, Tzuyu berhenti menarik tangannya dari Jaehyun.
ia menepukkan tangannya dan muncullah kedua temannya.
“Seperti biasa.” Ujar Tzuyu, dan mendapat anggukan dari kedua teman Tzuyu.
“Untuk apa?,” tanya Jaehyun yang melihat kedua teman Tzuyu menghampiri
Jiyeon..
***
“Itu permainanku.”
Jaehyun terus menatap Tzuyu dalam, kemudian ia mendengar tawa dari Tzuyu,
membuat Jaehyun segera merampas ponsel gadis itu. Terpampanglah foto Jiyeon,
wajah gadis itu sudah terbentuk, wajah itu dihiasi makeup sangat tebal lipstik
merah di mana-mana, dengan mulut tertutup dan kedua tangan Jiyeon terikat
kebelakang.
Tzuyu tercekat, ingin segera merampas ponselnya dari tangan Jaehyun. justru
Jaehyun membuang ponsel Tzuyu ke lantai dan menginjaknya secara kuat.
***
Jaehyun merasakan kegelisahan setelah tidak menemukan Jiyeon di perpustakaan
lama, menurut ia bertanya pada penjaga sekolah Jiyeon telah pulang. Jaehyun
tidak mampu menahan rasa sesaknya, mengingat bagaimana ia meremas dan
memutar kuat pergelangan tangan Jiyeon, bagaimana jika pergelangan kecil itu
patah. Sungguh, ia tidak memikirkan dampak dari kekerasannya.
Ia masuk kedalam kamar Ibunya, Terdengar dentingan Piano dari karya Ludwig
Van Beethoven – Fur Elise. Jaehyun merasa tenang mendengar lantunan nada dari
tangan Ibunya. Setiap sore Ibunya selalu memainkan Fur Elise, dan selalu
alasannya adalah karena kakaknya sangat menyukai permainan Ibunya.
Jaehyun mendekat, memeluk tubuh Da Eun dari belakang. Dan, ia berbisik “Cepat
sembuh, Ibu. Aku menyayangimu.”
Da Eun tampak ingin bertanya lagi, namun wanita itu terlihat enggan untuk
bertanya.
“Tentang, Noona?.”
“Bagaimana untuk mencari? Sedangkan Ayahmu dan kau melarang Jihye untuk
berjalan untuk keluar, aku sudah menuruti kemauan kalian, apa kalian masih
membenci Jihye?!. Dia juga tidak aku sekolahkan karena kalian! Dan memilih
Ayahmu yang mengajarinya, aku tidak akan membiarkan kalian meninggalkan
Jihye di belakang rumah lagi, apa kau cemburu pada Jihye, Jung Jaehyun!.”
“Maafkan aku, baik aku akan mencarikannya.” Tangan Jaehyun terkepal kuat, ia
berusaha memasang senyumannya.