Anda di halaman 1dari 20

PART 1

"Taeng...Taeng....Kim Taeyeon!!!"

Taeyeon tersentak dan mengangkat wajahnya menghadap Hyoyeon yang tengah duduk di
hadapannya. "Apa?"

"Apa yang kau lamunkan?" Tanya Hyoyeon dengan tatapan menyelidik.

"Tidak..Tidak ada." sahut Taeyeon dan meminum Lemon Tea-nya yang sudah terasa
hambar akibat dari es yang sudah mencair.

Tidaklah sulit untuk seorang Kim Hyoyeon membuktikan bahwa gadis yang ada di
depannya ini sama sekali tak menyimak ucapannya, "Jadi apa kau mengerti dengan apa yang
kujelaskan, Kim Taeyeon?"

Tepat sasaran. Pertanyaan Hyoyeon itu seketika membuat Taeyeon menautkan kedua
alisnya, "Memang Eonni bicara apa tadi?"

"Sudah kuduga kau tak menyimakku, dengarkan aku Taeyeon-ah... Aku berniat mengirimu
untuk audisi musikal lagi. Kudengar kelompok musikal Sunghwa sedang mempersiapkan
pementasan musikal Swan Lake. Mereka mengadakan audisi untuk pemeran Odette-nya."
Taeyeon yang mendengarkan penjelasan Hyoyeon hanya menganggukkan kepalanya dan
membulatkan mulutnya.

Sejenak Hyoyeon berpikir, lalu ia pun melanjutkan kalimatnya, "Sepertinya kau tidak
tertarik."
"Apa?"

"Aisssh, apa kau mau mengikuti audisi?!" Sepertinya Hyoyeon sudah kehilangan
kesabaran. Dia pun mencondongkan kepalanya mendekat ke Taeyeon yang ada di depannya
dan berbisik "Ini bisa memberikanmu jalan untuk menjadi artis musikal."

"Entahlah, aku belum berpikir kesitu."

"Ya! Haruskah kau memberiku respon yang seperti itu Taeyeonie? Aku hanya ingin
mengarahkan kau ke jalan yang lebih baik, kau bisa menari dengan sangat baik, dan suaramu!
Suaramu itu sangat indah, masa kau hanya akan menyia-nyiakan semua itu dengan tetap
menjadi guru kesenian di sekolah dasar dan guru tari di sekolah kursus menari." Hyoyeon
mengomel panjang lebar menanggapi balasan Taeyeon yang hanya sekenanya. Sungguh kadang
ia tak habis pikir dengan tingkah laku sahabatnya ini.

"Taeyeonie, ayolah aku mohon.."

Kenapa wanita ini sangat suka merepotkanku dengan segala keinginannya yang aneh-
aneh.

"Tolong" kali ini Hyoyeon sudah menangkupkan kedua telapak tangannya dan memasang
muka memelas.

"Tid-"

"Aku mohon Taeyeoniiiie!!!!!!"

Taeyeon yang mulai merasa kesal sekaligus iba pada temannya ini pun akhirnya
menyerah, "Baiklah, aku akan mengikuti audisi ini, tapi hanya audisi! Ingat hanya audisi,
setelahnya aku akan mengambil keputusanku sendiri, kau puas Hyo-ah?!"

Hyoyeon yang mendengarkan jawaban Taeyeon dengan seksama langsung berdiri dan
memeluk Taeyeon yang ada di seberang meja. "Jinja!? Aaa aku menyayangimu Taeyeonie!!!"

"Lepaskan aku sekarang Kim Hyoyeon-ssi, atau aku akan membatalkan audisi itu."
Taeyeon yang berada di pelukan Hyoyeon berusaha melepaskan pelukan Hyoyeon yang
membuatnya kehilangan napas.

_____

"YA! Lee Hyuk Jae! Akhirnya kau menjawab teleponku. Kemana saja kau sampai-sampai
tak pernah menjawab telepon dariku?
Belum sempat Hyukjae mengatakan "Halo" kata-kata itu sudah begitu saja menerjangnya.
Merasa kenal dengan suara yang menerjangnya saat itu, Hyukjae terkekeh dan berkata, "Segitu
rindunyakah kau padaku Hyung? Bahkan kau tak memberiku kesempatan untuk sekedar
mengatakan Halo. Aku curiga, kau bukannya menyembuhkan penyakit pasien-pasienmu itu
Hyung, melainkan membuatnya semakin terkulai lemas akibat suaramu itu."

Kim Jongwoon - pria yang dipanggil Hyung oleh Hyukjae itu hanya tertawa hambar , "Lucu
sekali gurauanmu Lee Hyukjae."

Jongwoon berdiri menghadap kaca jendela besar di salah satu rumah sakit di Kota New
York sambil sebelah tangannya menggenggam ponselnya dan yang lain dimasukkan ke saku
celananya. Matanya sibuk memerhatikan hiru pikuk jalanan di bawah sana. Pemandangan yang
sudah sangat biasa dilihat oleh Kim Jongwoon 7 tahun terakhir, namun Jongwoon tetap
menyukainya.

"Jadi, apa sebenarnya tujuanmu meneleponku Dr.Kim?" Tanya Hyukjae memecah


keheningan.

"Bulan depan, tepat 2 hari sebelum hari peringatan kematian istriku aku akan pulang
bersama Taewoon, Hyuk-ah. Lalu.."

"Lalu?"

"Sepertinya aku dan Taewoon akan menetap di Seoul untuk seterusnya."

"Kau yakin Hyung?" Tanya Hyukjae memastikan.

Jongwoon mendesah berat, sebenarnya ia masih ragu dengan keputusannya ini. Tapi
bagaimanapun juga, ia tidak mau hidup dengan dihantui rasa trauma yang begitu membekas di
hati serta pikirannya. Perlahan tapi pasti, Jongwoon menjawab pertanyaan Hyukjae, "Hyuk, aku
tidak bisa hidup seperti ini terus. Rasanya seperti aku kabur dari masalah-masalah yang
kuhadapi. Lagipula aku harus mulai mengenalkan Taewoon dengan kehidupan ibunya."
Jawabnya diakhiri dengan kekehan kecil.

“Jadi, aku yakin kau tak akan berusaaha meneleponku sampai berkali-kali jika kau tak
meminta sesuatu dariku, jadi apa sesuatu yang kau maksud saat ini Hyung”

“Carikan aku apartment Hyuk-ah, kalau bisa yang tidak terlalu jauh dari rumah sakit. Ah,
aku ingat aku sempat meminta Hyoyeon untuk mencarikan sekolah untuk Taewoon, kau bisa
membantu juga kan Hyuk?” pinta Jongwoon panjang lebar.
“Heh.. Kim Jongwoon, aku tahu kau adalah sepupu dari istriku, tapi tak bisakah kau
membantuku untuk mengurangi bebanku? Bukan malah menambah bebanku seperti ini.” Sahut
Hyukjae dengan keluhannya.

“Sebegitu sibuknyakah dirimu Hyuk? Ah, pantas saja kau tak pernah menjawab
teleponku.” Sangka Jongwoon.

Hyukjae yang tak ingin berdebat dengan iparnya ini mendesah berat, “Hyung, kelompok
musikalku sedang mempersiapkan pementasan baru, kami punya jadwal latihan yang cukup
pa-“

Belum selesai Hyukjae menjelaskan, Jongwoon menyelanya, “Hyuk-ah, maaf aku tutup
dulu, sepertinya aku harus memeriksa pasien sekarang, nanti aku meneleponmu lagi,
annyeong.”

“Geez, benar-benar menyebalkan kau Kim Jongwoon.” Omel Hyukjae pada ponselnya.
Usai menerima telepon dari Jongwoon, Hyukjae langsung menghempaskan tubuhnya ke atas
sofa yang terletak di ruangan kerjanya itu. Ia memutuskan untuk mengistirahatkan pikirannya
itu sejenak dengan memejamkan matanya, tapi itu tidak berlangsung lama sampai ia
mendengar pintu ruangannya itu diketuk. Dengan malas dan terpaksa, Hyukjae pun menjawab
ketukan pintu itu tanpa merubah posisi badannya , "Masuklah!"

Begitu pintu dibuka, seorang wanita dengan gaya berpakaian yang sangat modis masuk ke
ruangan itu lalu menutup pintu itu pelan. Melihat orang yang dicari masih tegap pada
pendiriannya untuk beristirahat, wanita itu pun berinisiatif untuk menyapa pria itu duluan.
"Sepertinya aku mengganggumu Yeobo?"

"Ah, Hyoyeon-ah, aku sangat lelah dan kalut. Duduklah sini," jawab Hyukjae setelah
membuka matanya dan memperbaiki posisi duduknya menjadi bersandar. Tak lupa ia menunjuk
sisi sofanya yang kosong ketika menawari istrinya itu untuk duduk dan meletakkan lengannya di
sandaran sofa yang ia tawarkan untuk istrinya itu.

"Kau darimana?" Tanya Hyukjae ketika Hyoyeon sudah duduk disampingnya bersandar
pada lengan Hyukjae.

"Karena kebetulan tadi Taeyeon tak ada jadwal mengajar di sekolah, jadi aku pergi minum
kopi di cafe biasa bersamanya lalu aku menyeretnya ke Sunghwa Musical Company. Setelah itu
aku menjemput Hyoeun dan mengantarnya pulang." Jelas Hyoyeon sambil menyandarkan
kepalanya di lengan Hyukjae.

"Sunghwa Musical Company? Untuk apa kau menyeretnya ke sana?" Hyukjae bertanya
dengan ekspresi bingung.
"Untuk membuatnya terlihat setelah sekian lama terhempas."

*****

Ruang latihan itu sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Hampir semua lampu di ruangan itu
sudah dimatikan, kecuali lampu yang berada di sudut ruangan. Lampu itu sedang menyorotkan
cahanya ke tubuh seorang gadis yang masih berusaha menguasai gerakan tari yang menurutnya
cukup sulit. Berulang kali gadis itu mencoba memerhatikan gerakannya melalui bayangan
cermin di ruang latihan itu. Tapi tetap saja, ia merasa gerakannya terlalu aneh dan tidak pantas.

"Taeyeon-ah, kau belum pulang?"

Taeyeon menolehkan wajahnya ke asal suara dan mendapati salah seorang sahabat
terbaiknya, Cho Kyuhyun. Pria itu sedang bersender di pintu ruang latihan sambil melipat
tangannya di depan dada. "Sejak kapan Oppa disitu? Aku masih ingin latihan Oppa, Oppa
sendiri?"

"Aku ingin mengajakmu pulang bersama." Balas pria bernama Kyuhyun itu.

"Entahlah, sepertinya aku belum ingin pulang oppa."

"Apa Changmin akan menjemputmu?

"Entahlah." Jawab Taeyeon singkat sambil menaikkan bahunya.

"Wae?" Tanya Kyuhyun lagi. "Ayolah Taengoo kita pulang, lagi pula hampir semua orang
di kantor sudah pulang ke rumah mereka, tak terkecuali, Hyukjae Hyung dan Hyoyeon Noona."

"Huuh," keluh gadis itu. "Aku tak percaya Hyoyeon Eonnie memintaku untuk mengikuti
audisi di Sunghwa Musical Company. Gerakannya terlalu susah dan " ucap gadis itu terpotong.

"Dan?" Tanya Kyuhyun meminta tambahan penjelasan.

“Merepotkan.”

"Sudahlah, biarkan saja, lagipula sepertinya audisi ini akan jadi pengalaman bagus
untukmu, jadi percaya diri saja." Ucap Kyuhyun mencoba menghibur dengan ekspresi datarnya,
tapi gadis itu hanya balas menghela nafas panjang.

Tak lama setelah itu, Kyuhyun kembali membuka pembicaraan, "Oh iya, tadi Hyoyeon
mengatakan padaku, bahwa sepupunya yang tinggal di New York akan pulang ke Korea, dan
rencananya, keponakannya akan di sekolahkan di tempat yang sama dengan Hyoeun, sekolah
tempatmu mengajar."
"....."

"Dan dia memintamu untuk mengurus kepindahan keponakannya itu Taeyeon-ah."

'Sebenarnya apa mau wanita itu. Sudah cukup aku merasa kesal karena harus, mengikuti
audisi, sekarang ia malah memberikanku tugas lain'.

"Benar-benar orang itu. Lebih baik aku pulang, aku lelah!" Ucap Taeyeon dengan nada
kesal dan malas lalu keluar dari ruang latihan.

"Hey! Taengoo, tunggu aku!" Teriak Kyuhyun lalu berlari mengejar Taeyeon.

_____

1 bulan kemudian

Siang itu lalu lintas di sekitar Bandara Incheon dapat terbilang sangat padat. Mobil yang
satu dengan mobil yang lain tak mau kalah saling bersahutan dengan bunyi dari klakson mobil
masing-masing. Begitu pula dengan seorang gadis cantik dengan senyum menawan yang
sedang berada di dalam sedan putihnya. Sedari tadi ia tak bosan bosan untuk sekedar
menengok ke kanan atau pun ke kiri hanya untuk sekedar mencari celah untuk membebaskan
mobilnya dari padatnya jalan pada siang itu. Tapi, sudah dapat dipastikan hasilnya nihil. Baik,
sekarang dia sudah terlalu gusar. Sekitar lima belas menit lagi, orang yang akan ia jemput di
bandara akan mendarat. Tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda bahwa kemacetan pada siang
itu akan segera usai. Dan hal yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah mengetuk-ngetukan jari- jari
lentiknya dengan gemas sembari berharap akan segera terbebas dari kemacetan.

‘Oppa tunggu aku,' ucap gadis itu di dalam hatinya. Tak lama setelah itu, ponselnya
mengeluarkan bunyi nyaring yang khas menandakan ada panggilan yang masuk. Diraihnya
ponselnya yang ia letakkan di atas dashboard, lalu ia pun menggeser layar sentuh ponselnya itu
tanpa membaca nama penelepon.

"Yeobseyo!" Jawab gadis itu dengan ketus.

"Steph, ada yang salah denganmu?" Ucap seseorang di seberang. Merasa mengenalli
suara sang penelepon, gadis itu langsung menjauhkan ponselnya dari telinganya lalu coba
membaca nama penelepon di layar ponselnya. "Nomor korea," gumam gadis itu.

"Oppa, ini kau?!" Tanya gadis itu memastikan.

"Baru dua hari yang lalu aku meneleponmu, dan sekarang kau melupakan suaraku,
sunggguh miris, Steph."
Gadis yang dipanggil steph itu memilih untuk mengabaikan pertanyaan lawan bicaranya
dan menerjang sang penelepon dengan pertanyaan lain, "Kau sudah landing Oppa?"

"Hmm, baru saja. Tapi aku masih mengurus visa dan bagasi, kau dimana?"

"Errrrr," gadis itu kembali celingukan sendiri, "Oppa! Ini tak sepenuhnya salahku, kau
datang lebih awal, dan aku terjebak kemacetan, jadi sebaiknya kau menungguku, arasso!" Jelas
gadis itu membela diri.

"Ck, tapi kau harus siap menerima hukuman Stephanie Hwang."

Stephanie, atau yang biasa dipanggil Tiffany, langsung berlari ke dalam airport setelah
memakirkan mobilnya di areal parkir airport. Sesampainya di areal kedatangan luar negeri, ia
langsung mengedarkan pandangannya. "Kemana manusia itu?" Gumamnya setengah
mengomel. Merasa lelah setelah berlari cukup jauh, Tiffany pun membungkukan badannya dan
meletakkan kedua tangannya diatas pahanya untuk menopang badanya. Matanya menatap
susunan keramik di lantai airport sambil mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. Tapi
pemandangan itu tak berlangsung lama sampai sebotol air mineral menghalangi tatapannya ke
lantai. Gadis itu langsung mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa yang telah
menyodorkan air mineral itu padanya.

"O-Oppa.." Ucap gadis itu terbata.

"Aku selalu mengatakan padamu untuk tidak memaksakan diri Steph."

"....."

"Kau tak haus?"

Mendengar pertanyaan pria itu, Tiffany hanya tersenyum memamerkan eyesmilenya.


"Hey, minumlah! Aku sengaja membelikannya untukmu." Paksa pria itu.

Sepertinya Tiffany memang sangat hobi mengabaikan ucapan pria itu, malah kali ini ia
lebih memilih untuk berdiri dan menatap pria itu dengan tatapan menantang namun tetap
dengan ekspresi matanya yang manis.

"Auntie.." Ucap seorang anak kecil yang sedari tadi bersembunyi di balik kaki ayahnya.

Tiffany yang menyadari keberadaan anak kecil itu langsung berseru, "Taewoon-ah! Seru
Tiffany sambil merentangkan tangannya. Anak kecil yang dipanggil Taewoon itu langsung berlari
berhambur memeluk Tiffany. "Miss You, Auntie!" Ucap Taewoon yang masih berada dalam
pelukan Tiffany.

"Miss You too, Taewoonie." Balas Tiffany sambil mengelus punggung dan kepala
Taewoon.

"Ehem, sepertinya aku hanya dijadikan obyek terabaikan disini." Sindir sang ayah, yang
tak lain dan tak bukan, Kim Jongwoon.

Tiffany yang menyadari sindiran Jongwoon, langsung melepaskan pelukannya dengan


Taewoon. "Ayo, lebih baik aku antar kalian ke apartment baru kalian." Ajaknya sambil
tersenyum jahil dan memamerkan sebuah kunci apartment di depan wajah Jongwoon.
Jongwoon pun langsung berjalan dengan merangkul pundak Tiffany di sebelah kanan dan
menggandeng tangan Taewoon di sebelah kirinya.

"Jadi apa rencanamu besok, Oppa?" Tanya Tiffany ketika Jongwoon meletakkan dua mug
berisikan cokelat panas di atas meja di hadapan Tiffany.

"Mungkin besok aku ingin berbelanja keperluan rumah," Jawab Jongwoon sambil
mendudukkan dirinya berhadapan dengan Tiffany, sementara Tiffany hanya balas dengaan
anggukan."Terimakasih sudah membantuku merapikan apartmen baruku Steph." Tambah
Jongwooon lagi.

Kembali gadis itu hanya membalas dengan senyuman dan meraih mug cokelat panas yang
ada di depannya. Seketika aroma khas cokelat menggelitik hidung Tiffany. Tiffany menyesapnya
sedikit dan merasakan kehangatan yang mengalir di tubuhnya. "Jadi apa aku harus
mengantarmu untuk membeli keperluan Oppa?"

Pria itu nampak berpikir. "Sepertinya aku jadi merepotimu terus Steph?"

"Oppa, kita ini kan bersahabat, aku bisa mengantarmu. Aku tau kau masih trauma."
Tawar Tiffany.

"Sepertinya aku harus mulai belajar mengemudi lagi, Steph. Aku tak mau terus
bergantung kepadamu atau transportasi umum, dan sepertinya aku juga harus mengurus kartu
kependudukanku. Jadi, aku tak akan terus merepotimu. Ah iya, bagaimana? Kapan aku bisa
mulai praktik di rumah sakit tempat kau bekerja?"

"Ah aku lupa!" Seru Tiffany sambil menepuk keningnya. "Kata dokter Choi, sepertinya
senin ini kau bisa mengadakan pertemuan dengannya." Dan Jongwoon hanya mengangguk
paham. "Lalu, bagaimana dengan Taewoonie? Apa kau sudah mencarikannya sekolah?"
"Aku sudah menyerahkan semuanya kepada Hyoyeon." Jawab Jongwoon sekenanya lalu
berdiam sejenak. "Dua hari lagi aku akan pergi ke pemakaman Sooyoung. Aku ingin
menunjukkan kepada Taewoon tempat ibunya beristirahat."

Tiffany meletakkan mug yang sedari tadi ia pegang kemudian meraih tangan Jongwoon
dan menggenggamnya, "Oppa, kau sudah sampai tahap sejauh ini, jangaan biarkan dirimu
kembali terjebak dalam kesedihan dan trauma yang mendalam. Aku yakin Tuhan pasti sedang
merencanakan sesuatu yang indah setelah kau kehilangan Sooyoung Eonni, kau hanya perlu
bersabar dan berusaha, oppa."

Jongwoon yang melihat tingkah sahabatnya itu mengulas senyum kecil dan mengangguk
sebisanya.

‘Dan kuharap kau mendapatkan kebahagiaan itu bersamaku, opaa...’ Ucap Tiffany dalam
hati.

*****

Taeyeon melangkah dengan pasti menuju sebuah area pemakaman. Ia sudah hafal betul
jalan yang harus dilewatinya untuk sampai ke pemakanan itu. Jalan menuju ke area
pemakaman itu cukup menanjak, jadi tentu diperlukan tenaga ekstra untuk melewatinya.
Tangan kanan gadis itu menggenggam sebuah buket bunga mawar putih, dan satunya
menjinjing sebuah keranjang piknik. Selama perjalanan, tak jarang ia mengganti posisi buket
bunga yang ia bawa dengan menjepitnya dengan lengan tangan kirinya yang memegang
keranjang piknik. Itu dikarenakan tangan kanannya harus menjaga rambutnya agar tidak
tertiup angin dan menghalangi pandangannya.

Begitu sampai di depan pusara yang ia tuju, Ia langsung membersihkan pusara tersebut.
Tak lupa setelah itu ia meletakkan buket bunga mawar putih yang ia bawa dan barang-barang
dari dalam keranjang pikniknya, persembahan berupa buah-buahan, kimbap dan anggur beras,
makanan favorit sang pemilik pusara. Setelah semua dianggap sempurna, Taeyeon langsung
melakukan sikap hormat khas warga Korea dan mulai berdoa dengan khusyuk. Usai
menghaturkan doa, Taeyeon mengutarakan perasaannya kepada pusara itu.

"Sooyung Eonni, bagaimana kabarmu? Tak terasa 7 tahun telah berlalu setelah
kepergianmu. Meskipun aku dan kau hanya hanya berteman selama 8 bulan, tapi jujur sangat
sulit untuk merelakan semuanya meskipun 7 tahun telah berlalu. Aku ingat betul bagaimana
kau menemukanku, lalu menjagaku dan merawatku. Kau menganggapku sebagai adikmu
sendiri. Bahkan kau membantuku melanjutkan hidupku melalui Hyoyeon Eonni. Aku harap
suatu hari nanti kau memberikanku jalan, untuk menebus semua yang telah kau lakukan
kepadaku eonni. Kau tahu Eonni, disini aku sangat merindukanmu. Bahkan sampai saat ini aku
masih berpikir tentang dirimu dan anakmu yang waktu itu kau kandung. Jika sekarang anak itu
ada di dunia ini, pasti dia sudah tumbuh dewasa. Jika dia perempuan dia pasti secantik dirimu.
Jika saja aku bisa bertemu dengan anakmu itu, aku pasti akan menjaganya untukmu eonni."

Begitulah ungkapan perasaan Taeyeon kepada pusara seseorang yang ia panggil


Sooyoung. Tanpa ia sadari, air mata sudah mengalir cukup deras dari kelopak matanya. Bahkan
ia sempat memeluk pusara itu. Tak mau larut dalam kesedihan untuk waktu yang lebih lama
lagi, Taeyeon langsung berdiri dan bergegas meninggalkan pusara itu.

"Sooyoung eonni.... Mungkin sekian untuk hari ini. Aku berjanji akan lebih sering
mengunjungimu. Aku pulang dulu eonni.” Pamitnya disusul dengan membungkukan badan
sembilan puluh derajat ke hadapan pusara itu.

Kesunyian mendominasi sepanjang perjalanan mobil itu. Tak ada yang membuka
pembicaraan. Orang-orang di dalam mobil itu asyik dengan kegiatan masing-masing. Tiffany,
yang duduk dibelakang kemudi lebih memiliih berkonsentrasi pada kemudinya. Kim Jongwoon
yang duduk di sebelahnya hanya melemparkan pandangan kosongnya ke luar mobil sambil
bersenandung kecil mengikuti irama yang mengalun dari radio yang ada di dalam mobil.
Sementara Kim Taewoon asyik dengan buku science yang mirip seperti komik untuk anak-anak.
Sesampainya di tempat yang mereka tuju, mereka semua langsung turun dari mobil putih itu.
Tak lupa Jongwoon membuka bagasi untuk mengambil barang-barang bawaannya.

Selama berjalan kaki menuju pusara yang ia tuju, ketiga orang itu masih diam dan tak ada
yang mengeluarkan suara. Untuk Jongwoon pribadi, ia terlalu sedih mengingat hari itu adalah
peringatan 7 tahun istrinya meninggalkannya. Pikirannya terlalu sibuk bergulat antara percaya
dan tak percaya dengan kejadian yang telah terjadi, ditambah, ia masih diselimuti perasaan
bersalah atas meninggalnya istrinya itu. Namun pergulatan pikirannya itu tak berlangsung lama
sampai ia berpapasan dengan seorang wanita. Wanita itu sangat asing untuk Jongwoon, tapi
entah kenapa ia merasakan sesuatu saat berpapasan dengan gadis itu.

'Pasti gadis itu juga kehilangan orang yang ia sayangi dan memperingatinya hari ini sama
halnya denganku.' Gumam Jongwoon dalam hati. Cukup lama ia melamun sampai ia tak sadar
kalau mereka sudah sampai di tempat tujuan.

"Jongwoon Oppa!" Seru Tiffany yang berhasil memecahkan lamunan Jongwoon dan
membuat pria itu menoleh ke hadapan gadis itu. "Wae?"
"Sepertinya seseorang sudah mengunjungi pusara Sooyoung Eonni, lihat!" Jelas Tiffany
sambil menujuk pusara Sooyoung yang sudah bersih dan terhias dengan sebuket bunga mawar
putih dan persembahan-persembahan lainnya. Hal itu kontan membuat Jongwoon menjadi
bingung, karena tak banyak yang tau akan kesukaan Sooyoung seperti halnya bunga mawar
putih, kimbap, dan anggur beras, bahkan Jongwoon yakin Hyoyeon pun selaku sahabat
Sooyoung tak mengetahuinya.

"Siapa yang me-" ucapan Jongwoon terhenti ketika otaknya mengingat sesuatu. Dalam
sekejap gadis yang tadi ia temui dalam perjalanan menuju pusara memenuhi otaknya. 'Apa
mungkin gadis itu? Tapi siapa gadis itu?' Tanyanya dalam hati. Tak lama setelah itu, Jongwoon
pun mengomandoi Tiffany dan Taewoon untuk meletakkan barang bawaan mereka. Mereka
bertiga pun mulai sibuk menata buket bunga yang mereka bawa serta persembahan yang
mereka haturkan. Tak jauh berbeda dengan yang dilakukan Taeyeon tadi, mereka bertiga juga
melakukan penghormatan dan berdoa dengan khusyuk. Tiffany yang menyadari bahwa
Jongwoon memerlukan waktu sendiri untuk saat ini, langsung mengajak Taewoon untuk
menjauh sejenak, meninggalkan Jongwoon dengan pusara istri tercintam

"Yeobo-ya... Apa kabarmu? Sebelumnya aku ingin minta maaf kepadamu, karena setelah
bertahun-tahun kau beristirahat disini, baru hari ini aku bisa mengunjungimu bersama
Taewoon, putra kita. Kau tahu yeobo, aku sangat merindukanmu, begitu pula dengan Taewoon.
Tak jarang ia bertanya padaku, seperti apa ibunya dan apa kesukaan ibunya. Semua itu
membuatku.... Semakin merindukanmu yeobo." Tak terasa dengan terucapnya kata demi kata
dari mulut Jongwoon, air mata mulai berjatuhan dari mata sipitnya. Bahu pria itu bergetar
semakin keras sejalan dengan air matanya yang jatuh semakin banyak.

Tiffany yang sedari tadi menyaksikan pemandangan itu tak bisa tinggal diam. Ia langsung
mendekati pria itu dan memeluk punggung sahabatnya itu, berusaha memberikan kehangatan.
"O-oppa, jangan menangis lagi eo? Kau harus kuat. Adah aku dan Taewoon bersamamu." Gadis
itu hanya bisa berkata sekenanya sambil menahan dirinya untuk tidak ikut menangis.

*****

"Kim Taewoon, Ireona!!!"

"....."

"Taewoonnie, Come on, Wake up. Or, You'll be late." Jongwoon, yang mulai gemas
dengan anak laki-laki semata wayangnya ini pun mulai menyeret kaki kaki kecil putranya itu.
"Aaa, Huehiii (Daddy)..." Ucap Bocah itu sambil menguap. "Sheeel... Shefiii Huehi ( Still
Sleepy Daddy)." Bocah itu kembali menguap dan bukannya beranjak bangun dari tempat tidur,
ia malah memeluk bantal guling dengan semakin erat dan kembali memejamkan mata.

Jongwoon yang sudah kehabisan cara untuk membangunkan putranya itu pun
memikirkan strategi lain. "Apa Taewoon yakin tidak ingin mandi dan berangkat ke sekolah?
Hyoyeon imo akan menjemputmu bersama Hyoeun-ah loo."

Mendengar penjelasan Jongwoon, Taewoon langsung bangkit dan memasang wajah


mengintimidasi, "Jadi Daddy tak akan mengantarku sekolah?!"

"Errr..." Jongwoon pun tak bisa berkutik lalu menghembuskan nafas panjang "Mianhae
Taewoonie, daddy harus ke rumah sakit pagi ini, mungkin besok daddy akan mengantarmu,
kamu jangan marah ya..."

Jawaban Jongwoon hanya membuat Taewoon mendengus kesal, tapi setidaknya ia


berhasil membuat bocah itu bangun dari tempat tidurnya dan pergi ke kamar mandi meski,

BRAAAAK

Pintu kamar mandi dibanting oleh bocah itu.

"Taewoonie, jebal, jangan marah lagi chagi." Jongwoon yang sedang menikmati
sarapannya menatap putranya yang duduk di hadapannya.

"....."

Ting Tong... Ting Tong...

"Sepertinya Hyoyeon imo sudah datang, cepat habiskan sarapanmu, jangan biarkan
Hyoyeon imo menunggu lebih lama." Jelas Jongwoon kemudian beranjak membuka pintu
apartmentnya.

"Jongwoon Oppaaaaa!!!!" Teriak Hyoyeon langsung berhambur memeluk kakaknya itu


ketika Jongwoon membuka pintu apartmentnya.

Jongwoon yang risih dipeluk adik sepupunya itu berusaha menarik sepupunya itu dari
tubuhnya. "YAA, YAAAK, apa yang kau lakukan Kim Hyoyeon!?!?! Jangan sampai tetangga
sebelah mengecapku sebagai penghuni baru yang aneh!"

Hyoyeon yang pada akhirnya melepaskan pelukan kakakknya langsung memasang


tatapan mengintimidasi. "Jangan mentang-mentang Hyuk sudah mencarikan kau apartment,
kau dengan seenaknyaa tak pulang - pulang ke rumah, Dokter Kim Jongwoon." Serunya panjang
lebar dengan jitakan yang mendarat sempurna di kening Jongwoon pada akhir kalimatnya.

"Jadi kemana keponakanku yang lebih tampan dari ayahnya itu, Taewoon-ah..."

"Ne Auntie, I'm here." Sahut Taewoon dari ruang makan. Hyoyeon yang mendengar
jawaban Taewoon langsung berjalan menuju ruang makan meninggalkan Hyoeun dan
Jongwoon di depan pintu.

"Jadi,....." Jongwoon yang hanya bisa geleng-geleng melihat tingkah sepupunya itu
langsung membuka pembicaraan dengan gadis kecil di sebelahnya.

"Jadi apakah ibumu selalu menelantarkanmu jika ia sedang asyik dengan sesuatu, Lee
Hyoeun?" Tanya Jongwoon dengan ekspresi herannya. Sementara Hyoeun hanya terkekeh
kecil.

*****

"Nona Kim Taeyeon."

Panggil seorang wanita paruh baya yang saat ini sedang berdiri di hadapan Taeyeon.
Taeyeon yang menyadari siapa yang memanggil namanya langsung bangkit dari kursinya. "Ah
Nyonya Kwon" jawab Taeyeon sambil membungkukkan badanya sembilan puluh derajat. "Apa
Nyonya Kwon ada perlu denganku?"

Wanita yang dipanggil Nyonya Kwon itu memancarkan senyum hangatnya. "Ada yang
mencarimu, kalau tidak salah dia temanmu,pemilik Klub sekaligus kursus tari Yeonjae. Saat ini
mereka sedang menunggumu di lobby sekolah. Jelas wanita anggun itu.

"Ah benarkah? Baiklah kalau begitu saya permisi dulu Nyonya Park." Ucap Taeyeon.
Segera ia mengambil cardigannya yang ia tanggalkan di kursi kerjanya lalu berlari melewati
koridor sekolah itu sambil berusaha mengenakan cardigannya itu. Sesampainya di lobby,
matanya langsung menangkap sesuatu, seorang wanita yang tak lain dan tak bukan pemilik Klub
Tari Yeonjae, Kim Hyoyeon, Lee Hyoeun, dan seorang anak laki-laki yang kira-kira seumuran
dengan Hyoeun yang nampak asing di mata Taeyeon.

'Siapa anak itu?'


"Taeyeon-ah!" Seru Hyoyeon memecahkan lamunan Taeyeon sambil melambai-lambaikan
tangannya sementara Taeyeon hanya tersenyum sambil berjalan mendekati ketiga orang itu.

"Dia keponakanku yang baru pulang dari New York, yang aku bilang akan bersekolah
disini." Jelas Hyoyeon sambil mengelus kepala anak itu. "Taewoon-ah, ayo beri salam!"

"Annyeong Haseyo, Kim Taewoon Imnida." Salam Taewoon dengan aksen amerikanya.
Taeyeon yang berdiri dihadapannya hanya mengerutkan kening.

"Sepertinya aksen amerikanya sangat kental ya, apa dia lancar berbahasa korea Hyo-ah?"

"Dia lahir dan tinggal di New York selama 7 tahun," terang Hyoyeon. Beberapa detik
kemudia ia mendekati Taeyeon dan berbisik pelan di telinga Taeyeon, "Ini kali pertamanya ia
pulang Korea."

Mendengar penjelasan Hyoyeon, Taeyeon hanya bisa mengangguk sambil membulatkan


bibirnya.

"Kalau begitu, lebih baik kau pulang sekaranag Hyo-ah, sebentar lagi bel masuk kelas akan
berdering. Tenang saja serahkan mereka berdua padaku." Ujarnya dengan kedipan pada mata
kirinya di akhir kalimat.

"Sepertinya aku di usir, ara, ara! Aku pulang sekarang." Balas Hyoyeon sambil memasang
ekspresi pura pura kesal.

"Hyoeun-ah, eomma pulang ya, jadi lah anak yang baik, ara? Dan Taewonnie, fighting!
Semangat, rajin belajar ya, ara? Auntie akan menjemput nanti siang." Pamit Hyoyeon pada putri
dan keponakannya itu. Sementara kedua bocah itu hanya tersenyum sambil mengangguk-
anggukan kepalanya. "

"Anyyeong Haseyo. Choneun Kim Taewoon imnida. Bangaseupnida."

Kim Taewoon berdiri dengan penuh percaya diri di depan kelas meperkenalkan dirinya.
Pagi itu kelas Taewoon dan Hyoeun sedang mendapat giliran pelajaran kesenian yang diajar
oleh Kim Taeyeon. Murid-murid di kelas itu menyambut Taewoon dengan penuh sukacita.
Bahkan tak jarang diantara mereka ada yang mengacungkan tangan agar mendapat giliran
menanyai Taewoon.

"Kau pindahan darimana?" Tanya seorang anak perempuan yang duduk di bangku paling
depan.
"New York." Jawab Taewoon singkat. Seketika kelas itu menjadi semakin riuh.

"Apakah New York menyenangkan? Aku lihat di TV sepertinyaa New York sangatlah
indah." Sambung seeorang murid bertubuh gemuk yang duduk di pojok belakang. Hal ini
langsung mendapat anggukan setuju dari teman-temannya.

"Menurutku New York cukup indah, tapi tenang saja, Seoul tidak kalah indah dengan New
York." Jawab Taewoon.

"Baik, perkenalan pagi ini cukup sampai disini. Sekarang Kim Taewoon, kau boleh duduk
dibelakang Hyoeun, tepatnya dengan Kyungsan." Ujar Taeyeon menyudahi sesi perkenalan dan
tanya jawab yang membuat murid-murid nampak sedikit kecewa.

"Ne Songsaenim."

*****

"Steph!" Panggil seorang pria bersamaan dengan pintu ruang praktik Tiffany yang
terbuka. Tiffany merupakan dokter spesialis anak di rumah sakit itu.

"Oppa! Masuklah." Tiffany yang sedari tadi asyik pada iPad-nya pun memilih menyudahi
kegiatannya dan mengalihkan perhatiannya kepada Jongwoon. "Jadi bagaimana interviewmu
dengan Dokter Choi?"

"Baik. Dan ia bilang iya akan menghubungiku jika aku sudah bisa mulai bekerja di rumah
sakit ini." Jelas Jongwoon.

"Ooh, begitu." Respon Tiffany sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

"Emmm, jadi apa saja pekerjaan seorang dokter anak bernama Stephanie Hwang. Apakah
dokter yang satu ini hanya menghabiskan waktu dengan bermain iPad?" Goda Jongwoon
setelah masuk kedalam ruangan itu dan duduk di hadapan Tiffany sambil memasang wajah
menyindir.

"Jadi kau sedang menyindirku, Dokter Kim Jongwoon?" Balas Tiffany sambil menaikkan
sebelah alisnya seolah menantang Jongwoon.

"Ya! Kau ini lucu sekali Steph," Ujar Jongwoon sambil mengacak pelan rambut Tiffany.
"Ya! Kau tau tidak, aku ada giliran Praktik 1 jam lagi, tapi kau malah merusak rambutku."
Keluh Tiffany.

Jongwoon yang memperhatikan wajah kesal Tiffany pun menanggapi ucapan Tiffany
dengan memasang wajah pura-pura bersalah, "Mian, apa perlu aku sisirkan?" Tanya Jongwoon
jahil.

Mendengar penawaran jahil Jongwoon, Tiffany memajukan sedikit kepalanya ke depan


wajah Jongwoon, "Anii, aku akan lebih senang segelas Green Tea Latte ketimbang disisiri
olehmu yang tak jelas akan jadi apa." Sahut Tiffany setengah berbisik.

Jongwoon menaikkan sebelah alisnya, "Aigoo, sejak kapan kau berubah menjadi selicik ini
Nona Steph?" Goda Jongwoon sambil mencubit gemas pipi Tiffany.

"Ya! Kau kira pipiku ini plastisin yang bisa kau remas, bentuk lalu kau hancurkan lagi
sesuka hati."

Jongwoon yang melihaat ekspresi Tiffaany berusaha menahan tawanya lalu memasang
wajah pura-pura menyesal. "Aigoo, ternyata gadis ini marah. Ara, sepertinya segelas Green Tea
Latte akan mengembalikan moodnya."

"Jeongmal?" Seru Tiffany dengan penuh antusias. "Kaja, sebelum kau berubah pikiran
Dokter Kim Jongwoon." Seru Tiffany sambil beranjak dari kursinya lalu menarik tangan
Jongwoon untuk ikut beranjak dari tempat duduknya.

*****

"Guru Kim?"

Suara panggilan yang lebih mirip bisikan itu membuat Taeyeon yang asik menyantap
makan siangnya mendongakkan kepalanya. Orang yang memanggilnya, Victoria, sedang berdiri
sambil menopang tubuhnya dengan kedua tanganya yang ia letakan di atas meja Taeyeon.

"Wae?" Respon Taeyeon datar.

"Apa kau sibuk? Kau mengajar sampai jam berapa?"

Taeyeon mengernyit bingung. "Memang kau memerlukan aku untuk apa?"

"Jawab dulu pertanyaanku!" Mohon Victoria.


"Setelah ini aku tidak ada jadwal mengajar. Aku juga tidak sibuk. Sekarang jawab
pertaanyaanku, kau mau apa?" Jelasnya sambil tetap terfokus pada makan siangnya.

"Emm... Sebenarnya aku ingin.... Minta.. tolong." Jawab Victoria sedikit terbata.

Taeyeon kembali mendongakkan kepalanya dan menatap Victoria dengan bingung.


"Minta tolong apa?"

"Temani aku check kehamilan ya." Pinta Yoona dengan wajah memelas.

'Orang ini jika ada maunya saja memasang wajah bodoh seperti itu. Apa dia ditelantarkan
suaminya? Kalaupun iya, pantas saja nenek sihir seperti dia dicampakkan.'

"Memangnya kemana suamimu?" Tanya Taeyeon dengan nada yang malas.

"Zhoumi pulang ke Cina untuk mengurus perusahaan induk."

'Cih, lihat dirinya, jika sudah menyangkut suaminya, ia akan mengatakan 1001 hal untuk
membanggakan suaminya itu sekalipun ia ditelantarkan habis-habisan oleh suami tercintanya
itu. Dasar Norak!"

"Aku mohon guru Kim." Pinta Victoria sembari mencakupkan kedua tangannya di depan
dada.

"En-entahlah, sepertinya aku sibuk." Jawab Taeyeon dingin.

Mendengar jawaban Taeyeon, Victoria nampak sedikit kecewa. "Aku mohon Guru Kim,
temani aku ya." Pintanya lagi sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.

"Ah, a-"

"Ayolah Taeyeon-ssi, sebentar saja..." Mohon Victoria dengan wajah memelas yang
membuat Taeyeon nampak muak melihatnya. "Aku berjanji a-"

"Arata." Taeyeon yang sudah terlalu muak melihat wajah Victoria akhirnya mengiyakan
permintaan gadis berperawakan tinggi itu.

"Taeyeon-ssi." Panggil Victoria ketika mereka menginjakkan kaki mereka di gedung Seoul
Hospital.

"Hmm?" Jawab Taeyeon sambil menolehkan kepalanya ke Victoria yang berada di sebelah
kanannya.
"Sepertinya aku harus ke toilet, tolong daftarkan aku di bagian kandungan ya." Ucapnya
sambil merogoh tasnya, seperti mencari sesuatu.

"Hah? Apa tidak apa-apa jika aku yang mendaftarkannya?" Respon Taeyeon sambil
memasang ekspresi 'heh' pada Victoria.

"Gwenchana, ini kartu anggotaku dan testpack-ku, aku sudah pernah check kehamilan
disini sebelumnya, meskipun yang sebelumnya aku belum positif hamil. Jadi rekaman medisku
pasti sudah ada, tenang saja Taeyeonnie." Jelas Victoria sembari menyodorkan sebuah kartu
yang dapat dipastikan merupakan kartu keanggotaan pasien di rumah sakit itu dan sebuah
testpack dengan dua garis merah. "Maaf merepotkanmu ya Taeyeon,ah." Ucapnya Victoria
sambil tersenyum. Yang menurut Taeyeon, senyuman itu adalah senyuman yang sedikit, aneh.

“Tapi, mengapa kau harus membawa benda ini kemari Victoria-ssi?” Tanya Taeyeon
bingung sambil menunjuk ke testpack yang baru saja dipegang oleh Victoria.

“Sebelumnya, beberapa aku cek kesini, aku mengalami gejala-gejala yang dialami oleh ibu
hamil, hanya saja aku tidak melakukan test terlebih dahulu. Setelah aku ke rumah sakit, dokter
itu mengatakan aku hanya masuk angin atau sakit-sakit ringan lainnya. Oleh karena itu, aku
ingin menunjukkan kalau kali ini aku positif hamil.” Jelas Victoria dengan penih berbinar-binar.

“T-tapi, kenapa harus a-“

“Sudah dulu ya Taeyeon-ssi, aku sudah tidak tahan ingin ke toilet.” Potong Victoria lalu
bergegas pergi ke toilet.

'Geez, sudah kuduga dia mengajakku agar ada yang ia peralat. Dan betapa bodohnya dia,
membawa hal-hal yang tak perlu seperti testpack ketempat seperti ini. Apa dia bermaksud
mengumumkan kehamilannya pada setiap orang sambil menunjukkan testpack-nya?
Menjijikkan!'

Meskipun dengan perasaan kesal, Taeyeon tetap melangkahkan kakinya ke bagian


kandungan rumah sakit itu untuk mendaftarkan Victoria. Setelah mendaftarkan nama Victoria,
Taeyeon pun memilih untuk duduk di kursi yang disediakan bagi para pasien yang menunggu
giliran periksanya.

"20." Ujarnya membaca nomor antrian yang terpampang di dekat resepsionis. Lalu
dialihkannya pandangannya ke nomor antrian yang ia bawa,

"32." Ujarnya lagi. Melihat nomor antrian yang cukup jauh membuat Taeyeon memikirkan
sesuatu. Di sekitarnya, ibu-ibu hamil dengan variasi umur yang beragam sedang menunggu
antrian sama halnya seperti Taeyeon. Tiba-tiba sesuatu menarik pandangan Taeyeon. Seorang
ibu hamil tua, sedang duduk bersandar di bahu suaminya. Pria itu mendekap ibu hamil itu
sambil mengelus perut buncit istrinya itu.

'Alangkah bahagianya ibu itu. Suaminya senantiasa menemaninya untuk melihat


perkembangan buah hati mereka. Semoga bayi itu lahir dengan selamat. Entah bagaimana
kesepian yang di rasakan Victoria jika aku tega membiarkannya pergi kontrol seorang diri.
Terlebih jika harus melihat pemandangan seperti itu. Pasti rasanya miris'.

Beberapa saat berlalu, Victoria belum juga datang. Hal ini kontan membuat Taeyeon
merasa miris sendiri melihat pemandangan bahagia suami istri bahagia itu. Dilirikkannya
matanya kke arah nomor antrian.

'22, Mungkin Victoria tidak akan keberatan jika aku membeli minuman sambil menunggu
antrian.' Ujarnya dalam hati sambil beranjak pergi meninggalkkan ruang tunggu itu.

*****

"Dokter Kim Jongwoon!"

Suara panggilan seorang suster yang sedang berlari dari kejauhan membuat Jongwoon
yang sedari tadi asyik mengobrol dengan Tiffany menolehkan kepalanya. "Wae?"

"Apakah dokter bisa menggantikan Dokter Park untuk hari ini? Tadi saya melihat ada
beberapa pasien yang masih menunggu giliran periksa dengan Dokter Park, tapi berhubung
beliau ada masalah, hal itu membuatnya harus segera pulang. Dan tadi kepala bagian
kandungan rumah sakit ini meminta saya untuk menghubungi anda." Jelas suster itu sambil
mengatur nafasnya yang masih belum teratur akibat berlari.

"Benarkah? Berarti aku bisa mulai bekerja hari ini?" Tanya Jongwoon memastikan dengan
wajah berbinar.

"Nde dokter."

"Ara, aku akan menggantikannya." Jawab Jongwoon dengan wajah berbinar lalu berpaling
menghadap Tiffany yang sedari tadi duduk di hadapannya. "Steph, sepertinya, -"

"Jangan banyak berbasa-basi Dokter Kim, pasienmu menunggu." Jawab Tiffany sambil
mengerlingkan sebelah matanya.
Tanpa mau menunggu lebih lama lagi, Jongwoon langsung menuju ruang praktik dokter
Park. Saat ini hatinya berlomba tak kalah cepat dengan langkah kakinya. Aneh mungkin jika
seorang dokter yang sudah biasa menangani pasien seperti Jongwoon merasakan yang
namanya gugup. Tapi baginya, itu merupakan hal yang wajar, karena ini pertama kalinya ia
melaksanakan praktik di korea setelah 7 tahun. Namun tiba-tiba kegugupan itu hilang, ketika…

Kreeeek

Di persimpangan koridor, tubuh Jongwoon tak sengaja bertabrakan dengan seorang gadis
yang datang dari arah berlawanan sambil membawa gelas plastik berisi jus nanas. Ketika
Jongwoon bertabrakan dengan gadis itu, gelas yang dipegang sang gadis, tepat bertabrakan
dengan perut Jongwoon. Hal ini menyebabkan gelas itu mendapat tekanan hingga penyok dan
membuat isi gelas itu meluap mengenai kemeja putih Jongwoon.

“Mi-mi-miah-ha-hae…” Ucap gadis itu terbata-bata.

*****

Anda mungkin juga menyukai