Anda di halaman 1dari 113

100 prompts challenge.

Akan menjadi sebuah potongan kisah, adegan, mimpi atau perjalanan dari satu, atau dua insan
yang hidup di kepalaku.

--

1. Introduction

(by: rixxanna)

Perkenalan bukanlah sesuatu yang Dion sukai sedari dulu. Ia tahu, yang namanya perkenalan
pasti diawali dengan sebuah pertemuan. Jika ada pertemuan pastinya cepat atau lambat akan
diakhiri dengan perpisahan. Bagi Dion, perpisahan tetap menjadi hal yang menyedihkan
meskipun ia sudah terbiasa berhadapan dengan perpisahan secara langsung.

Pekerjaannya di dunia medis tentu saja mengharuskan Dion untuk berkenalan dengan orang
banyak. Padahal, sebenarnya Dion bukanlah orang yang ingin mengambil pusing dengan
perkenalan-perkenalan yang sudah ia lewati.

Takut bergantung dan sulit untuk melepaskan, pikirnya.

Namun, sebuah pertemuan yang tidak disengaja antara dirinya dengan seorang gadis yang
duduk di kursi roda, sedikit membuat pandangan Dion akan sebuah perkenalan berubah. Ia
hanya menolong gadis itu sekali, saat gadis itu hendak menekan tombol di vending machine
dan Dion mengantarkannya kembali ke kamar tempatnya dirawat.

Setelah itu, gadis muda bersuara indah itu kerap memanggil Dion dari tombol bantuan yang
ada di kamarnya. Gadis itu memanggil Dion berkali-kali hanya untuk membantunya melakukan
hal-hal kecil. Hingga pada kali kelima, ia tidak sanggup lagi menahan rasa penasarannya.

“Kenapa kamu terus-terusan memanggil saya? Ada apa? Bukankah ada perawat lain yang bisa
kamu panggil selain saya?”

Gadis itu tersenyum kepada Dion, “Kita belum berkenalan..”

“Kamu sudah tahu namaku, kau sering memanggilku, Nona..” Dion melirik papan identitas
pasien dibawah tempat tidur gadis itu. “Nona Ayu,” katanya berpura-pura, seolah-olah dia
benar-benar tidak tahu nama gadis itu. Padahal, semua orang tahu siapa nama gadis yang sejak
kemarin selalu memanggilnya.

“Tapi kita belum berkenalan..” Gadis itu – Ayu – tersenyum tipis sambal mengulurkan
tangannya. Hari ini rambutnya digulung keatas. Dion harus mengakui bahwa pasien ini terlihat
cantik, bahkan tanpa banyak riasan di wajahnya, tidak seperti yang biasa dia lihat di tv.

“Baiklah,” katanya sambil membalas uluran tangan Ayu. “Dion. Bekerja untuk ward lantai 3.”

“Ayu Sekardewi. Bukan Ayu Aedelweiz seperti yang mungkin kamu kenal.” Ucapnya sambil
tersenyum dengan manis. “Dan kamu adalah orang pertama yang tidak melihatku dengan
sebelah mata dan tatapan iba.”

Namanya Ayu Sekardewi, namanya cantik sama seperti sang pemilik nama. Seorang gadis
dengan suara indah yang mungkin sering kalian dengar di radio atau lihat di televisi. Dia
bukanlah seorang yang dingin seperti persona yang dia tampilkan di televisi.

Kecelakaan mengharuskannya melakukan fisioterapi untuk mengembalikan fungsi kakinya yang


terganggu untuk kembali berfungsi seperti sedia kala. Ayu bukanlah gadis yang mudah putus
asa, dan dia adalah gadis yang luar biasa. Dan, Dion, untuk pertama kalinya tidak merasa
menyesal telah melakukan perkenalan dengan sang penyanyi yang kini sedang mengenggam
erat tangannya tanpa lelah untuk terus berlatih berjalan.

Fin.

2. Complicated

(by Astawwy and Rixxanna)

Eun Jae menyantap ramyun instan miliknya dengan cepat ketika ia menyadari waktu
sudah menunjukkan pukul satu malam. Ia ingin sekali cepat-cepat kembali pulang ke dorm dan
tidur dengan nyenyak. Kecelakaan bus yang menimbulkan korban sekitar lima belas orang itu
benar-benar menguras tenaganya dan orang-orang di rumah sakit Doldam. Eun Jae melihat ke
arah kaca jendela ruangan, malam ini salju sedang turun dan ia teringat akan rencananya
untuk berendam dengan air hangat yang harus pupus. Rasanya tidak akan ada waktu untuk
melakukan beauty shower jika Eun Jae benar-benar memutuskan untuk tinggal kerja di Doldam
Hospital.

Setelah ia selesai berganti baju dan berberes pulang, Cha Eun Jae menemukan kotak
susu yang ditempel dengan post it warna kuning di atas meja miliknya.

Untukmu.

Eun Jae tidak perlu menanyakan orang-orang yang masih terjaga di Emergency Room
untuk mengetahui siapa yang meninggalkan susu diatas meja dokter torakoplastik itu. Ia
menghela napas mengingat ajakan makan dari Seo Woo Jin yang ia tolak beberapa jam yang
lalu. Padahal setelahnya, Eun Jae menyantap ramyun instan di ruang staff.

“Apa Woo Jin melihatnya, ya? Aku jadi tidak enak...” ujar Eun Jae sambil menggigit
bibir bawahnya.

Harus diakui pikiran Eun Jae akhir-akhir ini memang sedang dipenuhi oleh Seo Woo Jin,
sehingga setiap kali bertemu atau berpapasan dengan pria itu rasanya Eun Jae ingin berlari
saja. Ditambah lagi dengan kejadian dua hari lalu yang mengingatnya saja sudah membuat
pipinya memanas dan pikirannya semakin campur aduk.

Seo Woo Jin mencium bibir Eun Jae. Dan anehnya, ia tidak kesal dengan pria itu.
Astaga, ia kembali memikirkan kejadian itu lagi.

Memikirkan pasien Doldam yang tidak pernah habis saja sudah memusingkan apalagi
ditambah dengan Seo Woo Jin yang tidak bisa dibaca olehnya? Atau…sebenarnya hati Eun Jae
sendiri yang sulit untuk dimengerti?

Sebetulnya, mendeskripsikan hubungan Cha Eun Jae dan Seo Woo Jin memang rumit.
Mereka tidak cukup dekat untuk dikatakan sebagai sahabat, tapi untuk dikatakan teman biasa
rasanya juga lebih dari pada itu. Woo Jin selalu ada di setiap saat Eun Jae sedang berada di
titik terendahnya, dan sebaliknya Eun Jae pun selalu ada di dekat Woo Jin ketika pria itu
sedang berada di masa tersulitnya meski pria itu tidak pernah mengatakan apa-apa mengenai
apa yang sedang dia pikirkan.

Terkadang, hanya terkadang. Eun Jae ingin sekali bisa memiliki waktu berdua dengan
pria itu untuk sekedar berbicara dan menghabiskan waktu bersama. Tidak melakukan apa-apa,
hanya ditemani oleh obrolan ringan tanpa harus bertengkar atau saling menyerang satu sama
lain. Seperti tadi, ketika Eun Jae sedang sendirian, Woo Jin menghampiri dirinya dan
mengajaknya berbicara.
“Ternyata…kalau kita sedang baik-baik saja, terasa sangat nyaman dan melegakan
berbicara dengannya,” ujar Eun Jae lagi.

Eun Jae sudah sampai di dorm, dia menyalakan lampu tidurnya setelah selesai berganti
pakaian menjadi pakaian tidurnya. Kemudian, Eun Jae membaringkan tubuhnya yang lelah dan
menatap langit-langit kamar. Isi kepalanya masih sama, Seo Woo Jin.

Ia teringat oleh perbincangan singkatnya tadi bersama pria itu.

“Haruskah kita melakukan itu? Bertahan di Doldam?”

“Kau juga ingin tetap bekerja disini?

Woo Jin menoleh dan tersenyum kepada Eun Jae. “Kenapa? Kau tidak ingin aku disini?”

Melihat senyuman Woo Jin yang hampir tidak pernah terlihat, membuat Eun Jae salah
tingkah dan langsung mengalihkan wajahnya. Dia berdeham, “Terserah kau saja. Itu hak mu
jika kau memang ingin tetap bertahan disini. Tidak perlu memperdulikanku.”

Woo Jin masih tersenyum, ia berkata dengan tenang, “Tidak usah khawatir. Aku tidak
akan pernah keluar dari batas.”

Kalimat terakhir yang diucapkan oleh Woo Jin, bukan pertama kalinya Eun Jae dengar.
Sudah beberapa kali pria itu mengatakan hal yang sama kepadanya.

Aku tidak akan pernah keluar dari batas.

“Batas apanya? Apakah dia pernah melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dia lakukan
kepadaku? Sepertinya tidak…” Eun Jae kembali berbicara kepada dirinya sendiri sambil
berusaha mengingat-ngingat semua hal yang telah ia lakukan bersama Woo Jin.

Tiba-tiba, ingatan Eun Jae memutar kembali sebuah kejadian yang pernah terjadi di
antaranya dirinya dan Woo Jin.

“Memangnya kau siapa? Kau bahkan bukan temanku. Kau tidak berhak untuk mengatur
apa-apa yang ingin aku lakukan.”

“Kau pengkhianat.”

Eun Jae memejamkan matanya. Teringat akan perkataan-perkataan pedasnya terhadap


Woo Jin. Bahkan mungkin, masih ada lagi perkataan buruk yang pernah ia ucapkan kepada pria
itu namun ia lupa. Perasaan bersalah menyelimuti hati Eun Jae, ia tahu Woo Jin tidak pernah
membalas semua yang pernah Eun Jae katakan kepadanya. Padahal, begitu banyak prasangka,
kesalahan, dan ucapan buruk yang telah ia berikan pada Woo Jin. Dan sekali pun Woo Jin tidak
pernah berubah atau pun menjauh darinya.

Dulu, sewaktu mereka masih bekerja di Geodae, tentu saja Eun Jae tahu betapa semua
orang menganggap enteng Woo Jin. Mereka selalu memperlakukan Woo Jin dengan tidak adil,
pria itu juga sering mendapat makian dari para senior, dan tidak ada satu perlawanan yang
Woo Jin lakukan selain mengalah.

Ada perasaan sedih di dalam hati Eun Jae. Seketika ia ingin menelpon Woo Jin dan
bertanya apakah dia masih bertugas atau tidak. Hanya sekedar bertanya saja.

Ia meraih handphonenya dan mencari kontak Woo Jin.


Namun, ketika ibu jarinya hendak menekan tombol hijau, jantung Eun Jae berdebar.

“Tidak, tidak. Jangan gila, Cha Eun Jae.” Ucapnya yang langsung meletakkan kembali
handphonenya. Dia menutup seluruh tubuhnya dengan selimut dan berusaha untuk
memejamkan matanya.

Aku harus tidur dan berharap matahari akan segera terbit. Supaya aku bisa kembali ke
Doldam dan bertemu dengan…

“Eyyy, hentikan. Cha Eun Jae, kau sedang tidak gila kan?”

Be still, my heart. Benarkah Seo Woo Jin yang sedang membuatku menjadi seperti ini?

Ia terbangun dengan perasaan yang masih sama. Cepat-cepat Eun Jae bersiap-siap
untuk kembali ke rumah sakit Doldam. Padahal ini masih pukul delapan, tapi ia tidak perduli.
Paling tidak, Eun Jae ingin bertemu dengan Woo Jin. Hanya sekedar bertemu dan…
mengucapkan terima kasih? Untuk susu yang dia berikan semalam?

Eun Jae sampai di rumah sakit pukul sembilan pagi dan suasana masih sangat sepi.
Emergency Room juga masih sepi, hanya ada beberapa perawat serta pasien yang masih
beristirahat.

“Selamat pagi, Cha ssaem. Kau datang cukup awal hari ini,” sapa Manajer Jang dengan
senyuman khasnya.

“Iya, aku terbangun cepat karena ingin—” Eun Jae menahan mulutnya yang hampir
mengeluarkan kalimat yang tidak seharusnya ia katakan. “—aku ingin melihat kondisi rumah
sakit. Semalam keadaan begitu hectic, jadi aku sedikit khawatir.”

“Ah, begitu ya.” Kata Manajer Jang. “Tenang saja, Seo ssaem sejak tadi malam
bertugas. Dia menggantikan Kim Sabu yang sedang butuh istirahat. Semua pasien sudah
ditangani oleh Seo ssaem.”

Woo Jin tidak beristirahat sama sekali? Semalam dia sudah bekerja dengan keras.

“Dimana dia sekarang?” tanya Eun Jae tanpa berbasa-basi.

Manajer Jang terlihat sedikit kaget, namun dia langsung menjawab pertanyaan Eun
Jae. “Dia ada di ruangan dokter.”

Setelah itu Eun Jae langsung bergegas ke ruang dokter. Dia ingin menyuruh Woo Jin
untuk kembali ke dorm supaya beristirahat atau membersihkan diri.

Eun Jae membuka pintu ruangan dan hendak memanggil Woo Jin, namun tindakannya
terhenti ketika melihat sosok yang ada dalam pikirannya sejak kemarin sedang tertidur di sofa.
Woo Jin tertidur dengan pulas sambil melipat kedua tangannya. Posisi tidurnya sudah sangat
nyaman, dan Eun Jae tidak tega untuk membangunkannya.

Akhirnya, perlahan-lahan Eun Jae berjalan mendekati Woo Jin dan menyelimuti
tubuhnya dengan selimut hangat. Ia melihat wajah pria itu yang sedang terlelap dengan pulas.
Nafasnya teratur dan rasanya Eun Jae ingin menyingkirkan rambut Woo Jin yang menutupi
matanya.

Tapi, Eun Jae tahu ia tidak bisa melakukan itu. Ia tidak ingin membangunkan Woo Jin.

“Ya, Seo Woo Jin,” ujarnya dengan pelan. “Jangan menjauh dariku.”

-Fin.
3. Making History

4. Rivalry
(by Astawwy)
Ji An mengayuh sepedanya pagi hari ini dengan semangat. Padahal yang dia lakukan
adalah aktivitas yang selalu dirinya lakukan setiap pagi. Bangun tidur, membersihkan kamar
dan rumah, kemudian mengambil susu di tempat langganannya membeli susu. Itulah rutinitas
Ji An setiap pagi. Kadang-kadang, Ji An bergantian dengan Jung Hee untuk membeli susu dan
membersihkan rumah. Begitu terus sampai mereka berdua bosan.
Namun, berbeda dengan hari ini. Ji An sangat bersemangat dalam melakukan
aktivitasnya. Alasannya? Tidak usah dipertanyakan lagi, karena sudah pasti alasannya adalah
Kwak Jae Won.
Hari ini setelah Ji An akan ke Seoul untuk menonton pertandingan kekasihnya.
Akhirnya, setelah hampir selama dua bulan mereka tidak bertemu, Ji An bisa bertemu dengan
Jae Won. Pekerjaan mereka begitu banyak membuat keduanya sulit sekali mencari waktu
untuk sekedar bertemu walau hanya sebentar. Ji An sibuk dengan bisnis restorannya yang
semakin hari kian ramai didatangi oleh banyak orang, dia juga sedang sibuk untuk
mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk ke universitas yang sudah lama dirinya incar. Ji
An ingin kuliah, supaya dia bisa menjadi guru yang lebih layak di sekolah-sekolah terbaik. Akan
tetapi untuk sementara waktu, Ji An masih mengajar di taman kanak-kanak kecil tempatnya
biasanya mengajar.
“Ji An-ah, jangan lupa aku menitipkan bola yang harus Jae Won tanda tangani untuk
temanku yang minggu depan akan menikah. Sampaikan juga salamku untuk Jae Won, oke?”
kata Jung Hee di sela-sela sarapan.
Ji An menganggukkan kepalanya sambil menguyah makanan dalam mulutnya. “Hmm,
tenang saja.”
“Kau berangkat jam berapa ke Seoul?” tanya Jung Hee.
“Keretaku jam dua berangkat dari sini. Berarti kemungkinan aku akan ke stasiun pukul
setengah satu saja supaya tidak terlalu buru-buru.”
“Perlukah aku mengantarmu kesana?”
Ji An menggeleng. “Tidak usah, aku bisa sendiri. Kau disini saja menikmati kamarku
yang baru aku ganti pendingin ruangannya.”
Jung Hee hanya bisa tertawa mendengar ucapan Ji An. Kemarin lusa, Ji An memang
baru mengganti pendingin ruangan di kamarnya karena pendingin ruangannya yang lama sudah
rusak. Sudah berulang kali Ji An mengajak Jung Hee untuk tidur di kamarnya supaya mereka
bisa sama-sama menikmati pendingin ruangan yang baru. Tapi Jung Hee selalu menolak
tawaran Ji An hanya karena dia tidak ingin menganggu privasi temannya.
Dan seperti yang sudah Ji An rencanakan, dia berangkat ke stasiun pada pukul setengah
satu. Ji An tidak membawa banyak barang karena beberapa bajunya masih ada di apartemen
Jae Won. Dia hanya membawa tas selempang kecil pemberian Jae Won tahun lalu ketika
mereka sedang merayakan dua tahun hubungan mereka. Tas yang dibeli oleh Jae Won saat dia
melakukan sparing di Arizona itu benar-benar nyaman sekali dan Ji An selalu menggunakannya.
Sekitar pukul setengah dua, Ji An sudah diperbolehkan untuk masuk ke dalam kereta.
Dia membeli kopi susu hangat dan satu buah kue cokelat supaya bisa dia santap di perjalanan
menuju Seoul. Sembari menunggu keretanya berangkat, Ji An mengecek handphonenya untuk
sekedar memastikan apakah ada pesan atau panggil tak terjawab yang belum dia lihat.
Terdapat satu pesan dari Jung Hee dan dua panggilan tak terjawab dari Jae Won.
Tanpa berlama-lama lagi, Ji An langsung menghubungi kekasihnya yang pasti sudah menunggu
kabar darinya.
“Kau sudah di kereta?”
Suara Jae Won membuat Ji An ingin tersenyum.
“Sudah. Baru saja aku naik.”
“Kau ingin makan dulu nanti? Ternyata jadwalku kosong selama dua jam sebelum
pertandingan dimulai.”
Pelayan kereta datang membawakan pesanan yang Ji An pesan. Dia memberikan
hormat kepada Ji An setelah selesai menghidangkan, kemudian berlalu.
“Aku sudah memesan makanan di kereta. Nanti saja kita makannya setelah kau
selesai.”
Terdengar suara helaan nafas Jae Won di ujung telepon. “Hmm, baiklah. Aku bersiap-
siap dulu ya. Nanti kalau sudah mau sampai di Seoul, hubungi aku. Biar aku pesanankan taksi
untuk kesini.”
Sudah Ji An duga Jae Won akan memanjakan dirinya. Lagi.
“Iya, iya, nanti aku telepon ya.”
“Oke, I love you.”
Ji An tersenyum. “I love you.”
Tidak lama setelah telepon mereka terputus, kereta Ji An pun berangkat. Dia
menikmati perjalanan menuju Seoul sambil memakan hidangan yang dirinya pesan. Beberapa
orang masih berjalan mencari tempat duduk mereka, ada juga orang yang sudah sibuk dengan
kegiatan mereka masing-masing. Dan yang paling menarik perhatian Ji An adalah orang-orang
yang sedang duduk tidak jauh dari tempat Ji An.
Mereka membicarakan siapa yang akan memenangkan pertandingan baseball malam
ini. Apakah Kwak Jae Won akan berhasil memecahkan rekor seperti di pertandingan
sebelumnya? Atau mungkin JK Dragons akan sulit mengalahkan lawannya malam ini. Mereka
terus membicarakan kekasihnya, memuja Jae Won seakan dia adalah sosok yang selalu ingin
mereka jadikan contoh. Orang-orang sekarang hanya mengetahui betapa hidup seorang Kwak
Jae Won begitu beruntung dan dirinya yang hebat tidak dapat dikalahkan. Mereka tidak pernah
tahu, bahwa sebelum Kwak Jae Won berada di tempatnya sekarang, ada seseorang yang selalu
mendukung dirinya dalam keadaan apa pun.
Dan seseorang itu sekarang hanya bisa mendengar semua hasil jerih payah Jae Won
sambil menikmati kopi susu dan roti cokelatnya dengan bangga.
--
Ji An keluar dari taksi yang Jae Won pesan. Dia turun di pintu belakang stadion JK
Dragons, tempat paling aman untuk Ji An menunjukkan dirinya tanpa harus dilihat oleh orang
lain. Biasanya yang menjemput dirinya adalah Jae Won, tapi kali ini Jae Won tidak bisa
menjemput Ji An karena dia masih harus bersiap-siap. Jadinya mau tidak mau, Ji An harus mau
di jemput oleh seseorang yang Jae Won percaya untuk menjemputnya.
“Lee Ji An-sshi?”
Dia menoleh pada suara yang memanggilnya dari belakang. Seorang laki-laki yang
cukup tinggi dan terlihat lebih…muda? Berjalan ke arahnya. Laki-laki itu tersenyum dan
memberikan hormat pada Ji An dengan sopan.
“Aku Yoo Minho. Junior Jae Won hyung,” katanya memperkenalkan diri.
“Ah, iya.” Ji An langsung tersenyum melihat wajah lugu junior Jae Won di JK Dragons.
“Kau yang diminta tolong oleh Jae Won untuk—”
Minho memotong ucapan Ji An. “—iya. Aku yang disuruh oleh Jae Won hyung. Karena
kebetulan tepat siang tadi, ada berita mengejutkan. Jadi sangat tidak aman untuk dia
menjemputmu disini.”
“Berita mengejutkan?” tanya Ji An. Tiba-tiba perasaanya jadi tidak enak.
“Kau tidak tahu?” Minho terlihat heran.
Ji An menggelengkan kepalanya. Dia benar-benar tidak tahu.
“Jae Won hyung dikabarkan berpacaran dengan aktris,” jawab Minho dengan suara
pelan.
“APA?” tanpa Ji An sadari dia meninggikan suaranya. Minho menatapnya bingung, dia
mungkin terkejut dengan respon yang Ji An berikan. “Hmm, maaf, maksudku bagaimana bisa?
Dia berpacaran dengan siapa memangnya?”
Minho menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal. “Yeo Hajin.”
Bagaimana bisa? Ji An tentu mengenal siapa aktris Yeo Hajin. Drama-drama Yeo Hajin
selalu ditonton oleh Jung Hee, aktris itu memang sedang mendapat banyak sorotan, tapi tidak
masuk akal jika Jae Won dikabarkan sedang berpacaran dengan perempuan itu. Menonton
drama saja tidak pernah, apalagi sampai mengenal dekat selebriti. Sangat bukan Kwak Jae
Won yang Ji An kenal.
Walau dia tahu ini hanyalah omong kosong, hati kecil Ji An sedikit mencelos.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Minho yang menyadari keterdiaman Ji An secara tiba-tiba.
Ji An menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat, membuang semua pikiran buruk
yang bermunculan di dalam benaknya. Dia memasang senyuman paksa kepada Minho.
“Ah, tidak. Aku tidak apa-apa kok.”
--
Dia berjalan menyusuri lorong-lorong panjang yang terisi dengan piala-piala, piagam,
dan beberapa plakat hasil dari prestasi atlit-atlit JK Dragons selama belasan tahun. Ini bukan
kali pertama Ji An datang ke tempat ini, jadi dia sudah tidak kaget lagi. Minho sudah tidak
bersama dengannya lagi karena tadi Ji An yang meminta kepada laki-laki itu untuk
mengantarnya sampai di lobi lantai tiga saja. Dia sudah tahu kemana harus bertemu dengan
Jae Won.
Pikiran Ji An masih pada berita soal skandal berpacaran Jae Won. Harus dia akui,
selama hampir dua tahun lebih Ji An menjalin hubungan dengan atlit baseball tersebut, hanya
terhitung oleh jari berapa orang yang mengetahui soal status mereka yang sebenarnya. Kyung
Woo selaku general manager JK Dragons meminta Ji An dan Jae Won supaya menjalin
hubungan secara tertutup saja. Untuk menjaga kehidupan pribadi mereka masing-masing. Ji An
pun juga tidak terlalu suka jika ada orang lain yang ingin tahu soal kehidupan pribadinya sejak
dulu, jadi dia tidak masalah untuk menjalin hubungan dengan Jae Won secara diam-diam.
Ji An terlalu larut dalam lamunannya sampai-sampai dia tidak menyadari ada seseorang
sedang berjalan mengikutinya dari belakang. Orang itu kemudian mendekati Ji An dan
mengecup pipi kanannya.
“Kenapa kau berjalan seperti kura-kura?”
Tepat di hadapannya sekarang, berdiri seseorang yang sejak tadi Ji An pikirkan. Orang
yang sedang mendapat pemberitaan konyol.
Ji An mencubit lengan Jae Won. “Jangan mengangguku disini.”
Bukan Kwak Jae Won namanya jika dia tidak menggoda Ji An dalam sehari. Dia
membungkukkan tubuhnya supaya wajahnya bisa berhadapan dengan wajah Ji An secara lebih
dekat. Kedua tangannya dia masukkan ke dalam jaket varsity yang sedang dia gunakan.
“Ya, jangan mulai, Kwak Jae Won.”
Jae Won tersenyum melihat wajah ketus Ji An. Dia sudah bisa menebak alasan
mengapa kekasihnya memperlakukan dirinya seperti ini.
“Hmm, akhirnya kekasihku bisa kesal juga karena hal seperti ini,” Jae Won masih
belum merubah posisinya. Dia masih menatap wajah Ji An sambil tersenyum.
“Kenapa kau selalu menganggap semua hal yang membuatku kesal atau cemburu
sebagai sebuah lelucon?” kata Ji An yang juga masih memasang wajah ketus kepada Jae Won.
Jae Won refleks langsung berdecak. “Aku ingin tertawa sebenarnya, tapi nanti
kepalaku yang malang ini akan terkena pukulan kencang darimu.”
“Kwak Jae Won, aku sedang tidak ingin memukulmu.” Kata Ji An.
Nada bicara Ji An mulai berubah, dan Jae Won tahu kalau dia memang sedang tidak
boleh bercanda atau bertingkah aneh dengan kekasihnya. Ini bukan masalah yang sederhana,
dan dia tahu Ji An pasti sedang merasa tidak nyaman karena pemberitaan itu.
“Ya sudah, kita bicarakan itu nanti saja ya?” Jae Won mencoba membujuk Ji An.
Sekarang memang bukan waktu yang tepat dan mereka juga sedang di tempat yang
sangat tidak mungkin bagi mereka untuk membahas hal-hal pribadi. Dan juga, Ji An sebenarnya
tidak ingin merusak mood dirinya sendiri dan Jae Won. Mereka baru saja bisa bertemu setelah
sekian lama tidak bisa bertemu.
Ji An menghela nafasnya dan menyentil kening Jae Won. “Oke,” katanya. “Tapi, awas
saja kau ya. Ini bukan masalah sepele.”
Jae Won berpura-pura kesakitan karena sentilan Ji An. “Aigoo, aku kira kekasihku akan
memelukku. Bukankah dia merindukanku? Hmm?” godanya.
Wajah Ji An memerah mendengar ucapan Jae Won barusan. Karena memang benar, dia
merindukan Jae Won. Selama mereka tidak bertemu, Ji An selalu menunggu telepon dari Jae
Won setiap malam. Hanya untuk sekedar mengobati rasa rindu saja.
“Hmm? Kok diam saja?” tanya Jae Won yang sekarang sudah berdiri sambil
merentangkan kedua lengannya lebar-lebar. Dia mengode Ji An untuk masuk ke dalam
dekapannya.
Melihat tingkah Jae Won, tentu saja Ji An langsung tertawa dan dia tidak memiliki
pilihan lain selain berjalan menuju sumber kehangatan yang telah dirinya rindukan belakangan
hari ini. Ji An melingkarkan kedua lengannya di pinggang Jae Won dengan erat. Wajahnya
terbenam di dada kanan Jae Won, aroma tubuhnya terhirup oleh Ji An. Ah, rasanya seperti
sedang pulang ke rumah. Begitu nyaman dan hangat.
Jae Won mendekap Ji An dan menghelus kepalanya. Dia meletakkan dagunya di atas
kepala Ji An. “Ji An The Koala is back,” ujarnya.
“Aku bukan Koala.”
--
Pertandingan antara JK Dragons dan Vikings berlangsung dengan sangat seru. Malam
ini, Jae Won dan teman-teman satu timnya kembali memberikan performa terbaiknya. Mereka
memenangkan pertandingan malam ini, mereka lolos untuk masuk ke babak semi final yang
akan diselenggarakan minggu depan. Semua pendukung JK Dragons bersorak gembira dan
menyanyikan lagu kemenangan. Ji An yang malam itu duduk di bangku penonton ikut bahagia
melihat kegembiraan yang ditunjukkan oleh semua orang.
Sayangnya, Ji An tidak bisa langsung menghampiri Jae Won. Dia sudah tahu, setiap JK
Dragons memenangkan pertandingan, mereka semua akan melakukan evalusi terlebih dahulu.
Jadinya, Ji An harus mengalah dan pulang tanpa bisa bertemu dengan Jae Won dulu. Tadi saat
mereka sedang menghabiskan waktu berdua, Jae Won berjanji akan pulang lebih awal.
Dan disinilah Ji An sekarang. Menunggu pemilik apartemen ini kembali pulang sambil
menonton televisi. Berita mengenai kemenangan JK Dragons terus diberitakan. Apalagi soal
pukulan Jae Won yang berhasil membawa timnya menang malam ini, terus dibicarakan. Seakan
tadi siang tidak pernah ada berita skandal yang terjadi pada Jae Won.
Soal pemberitaan itu, sebenarnya Ji An tadi cukup terkejut dan takut. Dia terkejut
karena tidak pernah dia bayangkan Jae Won akan mendapatkan pemberitaan seperti itu. Lalu,
dia takut karena kenyataan yang sebenarnya bukanlah itu. Ji An takut kalau orang-orang akan
marah pada Jae Won karena sudah mengencani salah satu aktris terbaik di Korea, dia takut
kalau orang-orang akan mempercayai berita konyol itu padahal yang sebenarnya adalah bukan
Yeo Hajin yang berpacaran dengan Jae Won, melainkan dirinya.
Suara tombol sedang dipencet membuat Ji An tersadar. Dia melihat jam di
handphonenya, sekarang sudah pukul satu malam. Seperti di malam-malam sebelumnya, Jae
Won memang selalu sampai di apartemen pada waktu yang sama.
Tubuh tinggi dan tegap Jae Won muncul dari balik pintu. Dia masih menggunakan
jersey yang tadi dia gunakan dipertandingan. Ji An berjalan menghampiri kekasihnya dan
langsung disambut dengan kecupan di pipi kanannya.
“Bersihkan dirimu dulu,” kata Ji An.
Jae Won berdecak. “Tsk, kau ini memang lebih galak dari Eomma.”
Setelah itu Jae Won memang langsung masuk ke dalam kamarnya untuk mandi dan
berganti pakaian supaya lebih nyaman. Sedangkan Ji An memasak ramyeon sambil menunggu
Jae Won selalu bersih-bersih. Dia juga mengeluarkan kimchi serta tiga botol air mineral dari
kulkas. Tidak perlu menunggu waktu yang lama, ketika Ji An sedang menyiapkan meja untuk
mereka menikmati ramyeon bersama di depan televisi, tiba-tiba dia merasakan pinggangnya
dipeluk oleh seseorang dari belakang.
Ji An membiarkan Jae Won memeluknya dari belakang. Sebuah kebiasaan yang tidak
pernah gagal membuat dirinya merasa nyaman setiap kali Jae Won melakukan itu. Aroma
sabun mandi serta shampo yang Jae Won gunakan tercium oleh Ji An, membuatnya semakin
nyaman berada di dekapan kekasihnya.
“Pertandingannya seru tidak?” tanya Jae Won dengan suara manja. Dia meletakkan
dagunya di pundak kanan Ji An sambil sesekali menyembunyikan wajahnya di perpotongan
leher Ji An.
“Seru sekali. Sayang aku tidak bisa menunggumu disana sampai selesai,” jawab Ji An
yang kemudian mengajak Jae Won untuk duduk di karpet yang nyaman.
Jae Won membuka tutup panci dan langsung disambut dengan asap yang begitu besar.
Dia mengambil mangkuk kecil untuk mengambil ramyeon pada Ji An.
“Aku justru lebih khawatir jika kau menunggu sampai selesai disana. Banyak sekali
orang yang menunggu kami semua keluar. Nanti yang ada kau malah diserang oleh mereka.
Lebih baik kau disini saja menungguku sampai selesai, iya kan?”
Ji An memakan ramyeon yang Jae Won berikan kepadanya. “Memangnya aku ini
istrimu? Menunggu disini sampai kau pulang,” katanya sambil mengunyah.
“Nanti kan kau harus akan seperti ini. Hitung-hitung latihan menjadi istriku,” kata Jae
Won dengan santai. Dia menyenggol pundak Ji An dan tersenyum jahil kepadanya. “Mau
tidak?”
Melihat tingkah aneh Jae Won membuat Ji An sebal. Dia memukul pundak Jae Won
dengan kencang. Dia memukul tepat di bekas jahitan operasi yang ada di pundak kekasihnya
tanpa dirinya sadari. Jae Won yang sedang meniup-niup ramyeonnya sontak langsung berteriak
kesakitan.
“Astaga, maaf, aku tidak sengaja…” Ji An panik. Dia langsung mengelus pundak Jae
Won yang sedang meringis kesakitan.
Jae Won tersenyum karena Ji An begitu merasa bersalah kepadanya. Dia sebenarnya
hanya berpura-pura sakit saja. Tapi ternyata respon yang diberikan Ji An berbeda yang dia
kira. Jae Won mengira, Ji An tidak akan tertipu oleh kebohongan kecilnya.
Dia meraih tangan Ji An yang sedang mengelus pundaknya. “Sudah, sudah, aku hanya
bercanda.”
“Ya, Kwak Jae Won. Jangan bercanda seperti itu.” \
Jae Won mencium tangan Ji An. “Iya, iya, maaf. Makanya jangan hobi memukulku.”
Karena Ji An tidak ingin berdebat dengan Jae Won, dia memutuskan untuk tidak
membalas ucapannya dan kembali memakan ramnyeon.
--
Mereka sudah selesai menghabiskan ramnyeon dan sekarang sudah bersantai di kamar
Jae Won. Lampu kamar Jae Won sudah dimatikan, yang ada hanya cahaya dari lampu tidur
serta cahaya bulan malam ini. Mereka menghabiskan waktu dengan membahas hal-hal yang
mereka lewati selama tidak bertemu. Ji An juga meminta tolong pada Jae Won supaya besok
menandatangani bola yang Jung Hee titipkan sebagai hadiah pernikahan temannya. Mereka
juga berencana untuk berkunjung ke makan nenek Ji An besok siang dan di sore harinya datang
ke rumah Jae Won karena Ibu Jae Won sudah merindukan mereka berdua.
Ji An yang sedang bersandar dengan nyaman di dada bidang kekasihnya, menoleh untuk
menatap wajah Jae Won.
“Jae Won-ah,” panggilnya.
“Hmm?”
“Sekarang kau sudah bisa menjelaskan kepadaku kan mengenai pemberitaan itu?” Ji An
mencoba untuk menanyakan pertanyaan yang sejak tadi sore menganggu pikirannya. “Kau
bilang, kita akan membicarakan ini setelah pertandingan selesai…”
Jae Won yang dari tadi sibuk memainkan rambut Ji An yang mulai memanjang,
menghentikan kegiatannya dan mencubit hidung kecil kekasihnya dengan gemas. “Rupaya ini
yang membuatmu aneh seharian.”
“Aku ingin tahu,” kata Ji An. “Memangnya aku tidak boleh tahu?”
Memang ada saat-saat dimana Ji An akan berubah menjadi seorang perempuan yang
berbeda dari biasanya. Dari luar, orang-orang mungkin akan menilai Ji An sebagai seorang
perempuan tangguh dan dingin. Namun ada kalanya, Ji An menjadi perempuan yang takut akan
sesuatu. Salah satunya seperti sekarang ini. Jae Won tahu, pasti sekarang Ji An sedang merasa
takut dan gelisah.
Jae Won menghela nafasnya dengan panjang. “Ini sebenarnya sedang dibersihkan oleh
Kyung Woo. Sepertinya ada orang yang ingin menganggu konsentrasiku selama pertandingan ini
hingga nanti final. Mereka ingin berusaha membuatku tidak fokus dengan menyebarkan berita
burung seperti yang terjadi di hari ini. Yeo Hajin memang akan bekerja sama denganku untuk
photoshoot campaign UNICEF bersama beberapa orang lainnya,” katanya.
Ji An terdiam untuk mendengarkan penjelasan Jae Won selanjutnya.
“Aku sudah meminta tolong pada Kyung Woo dan yang lain untuk segera meluruskan
pemberitaan ini. Aku juga menjadi tidak enak pada kekasih Yeo Hajin yang sebenarnya. Kami
cukup akrab, jadi tidak mungkin aku membiarkan berita ini simpang siur terlalu lama.”
“Hah? Yeo Hajin memiliki kekasih? Siapa? Aku kenal tidak?” tanya Ji An penasaran.
“Lee Jung Hoon hyung. Ah, Anchor Lee. Tentu saja kau tahu.”
Ji An refleks langsung menutup mulutnya tidak percaya. “Wah…daebak. Aku tidak
menyangka mereka berkencan…”
Jae Won tertawa. “Maka dari itu, aku tidak mungkin membiarkan ini terlalu lama.
Selain aku merasa bersalah pada Jung Hoon hyung, aku juga tidak ingin membuatmu berpikir
yang aneh-aneh.”
“Tapi pada akhirnya aku tetap berpikiran yang aneh-aneh kepadamu dan Yeo Hajin…”
ujar Ji An yang sekarang ikut merasa bersalah.
“Sudah kan? Apalagi yang membuatmu cemburu hari ini hmm? Penggemarku
menganggumu lagi? Mereka berteriak karena melihatku memukul dengan kencang dan
memberikan homerun?”
Tentu saja segala perbincangan akan menjadi menyenangkan dengan Jae Won.
“Aku tidak cemburu. Aku hanya tidak nyaman mendengar orang-orang
membicarakanmu dengan berlebihan.” Ji An berusaha membela dirinya.
“Kalau cemburu juga tidak apa-apa,” kata Jae Won.
Ji An tidak menjawab lagi, dia hanya membalikkan badannya dan memeluk tubuh Jae
Won dengan erat. Merasakan kehangatan yang selalu dia rindukan.
“Aku merindukanmu, Kwak Jae Won.” Ji An bersuara lagi.
Ucapannya barusan membuat Jae Won tersenyum. Dia yang masih memeluk tubuh kecil
Ji An langsung mengubah posisi mereka berdua untuk terduduk berhadapan dan saling menatap
satu sama lain. Dia menangkup wajah Ji An dengan kedua tangannya. Kedua ibu jarinya
mengelus pipi halus Ji An.
“Aku juga merindukanmu,” kata Jae Won dan tanpa berlama-lama, dia langsung
mendekat untuk membawa bibirnya pada bibir Ji An.
Tindakan tiba-tiba Jae Won tidak membuat Ji An terkejut, dia membalas ciuman manis
yang diberikan oleh Jae Won. Tangan Ji An bergerak untuk berpegangan dengan belakang leher
Jae Won. Ciuman mereka terus berlanjut, hingga akhirnya Jae Won mulai mengeluarkan
lidahnya dan langsung disambut oleh Ji An.
Ji An tersenyum di sela-sela ciuman yang sedang dia lakukan dengan Jae Won. Mereka
bergerak dengan tidak terburu-buru, seirama dan rasanya begitu menyenangkan. Hingga
akhirnya, Jae Won melepas bibir mereka yang sedang tertaut. Matanya bertemu dengan mata
Ji An. Keduanya saling mengais udara.
Jae Won melihat kacing piyama yang Ji An gunakan sedikit terbuka dan
memperlihatkan sesuatu yang tidak seharusnya dirinya lihat. Dia berdeham dulu sebelum
memberanikan dirinya untuk perlahan mengancingkan piyama Ji An supaya tertutup dengan
rapih.
“Jangan membuatku melakukan sesuatu yang lebih dari yang biasanya kita lakukan,”
bisik Jae Won di telinga Ji An dengan lembut.
Ji An terkejut mendengar ucapan Jae Won.
Wajah Ji An memerah dengan lucu. Jae Won menjadi gemas dan mencium pipi Ji An
berkali-kali.
“Ya, Kwak Jae Won!” Ji An mendorong pundak Jae Won karena merasa malu.
“Hahahahaha, kau lucu sekali. Tenang saja, aku akan menyimpan itu dengan baik
sampai nanti saatnya tiba,” kata Jaewon yang kemudian menarik lengan Ji An dan memeluknya
erat.
Ji An tersenyum dari balik pelukannya dengan Jae Won. Dia tahu, ucapan Jae Won
memiliki arti yang tidak main-main. Dan dia tahu, suatu hari nanti mereka berdua akan benar-
benar bisa sampai disana.
“Jadi? Benar ya tidak cemburu lagi?” tanya Jae Won setelah mereka sudah selesai
berpelukan.
Ji An memutar bola matanya. “Iya. Aku tidak cemburu. Buat apa juga.”
“Tsk, ya sudah nanti jangan marah kalau aku diberitakan dengan aktris lain.”
“Ya, Kwak Jae Won!”
-Fin.

5. Unbreakable
6. Obsession

7. Eternity
(by Astawwy)
Kepada siapa pun yang membaca tulisan ini, saya harap, setelah kau selesai membaca,
kau tidak akan melakukan hal yang sama seperti saya.
Ini bukan sebuah pembelaan diri, bukan juga soal penyesalan. Melainkan sebuah
pelajaran menyakitkan yang sudah saya terima hingga saya nafas terakhir. Tiada lagi
penyesalan, tiada lagi waktu yang berputar, yang ada hanyalah hidup yang harus tetap dijalani
sampai akhir.
Begitu pun dengan saya, yang menghukum diri saya sendiri dengan tetap hidup dalam
keabadian cinta saya kepadanya.
Sebelum saya memulai, saya ingin menuliskan nama yang telah lama tidak saya
ucapkan. Hanya karena saya tidak ingin ada orang yang kembali mengenang dirinya dan
kemudian menatap saya dengan tatapan kesedihan. Menurut orang lain, dia memang telah
pergi. Untuk saya, dia masih ada. Dan akan selalu ada.
Paling tidak dalam hati saya.
Lee Jieun.
Ah, rasanya begitu melegakan menyebutkan namanya dalam tulisan dengan tinta nyata
seperti ini. Biasanya saya selalu menuliskan namanya hanya dengan jari telunjuk. Saya tidak
ingin namanya menghilang dari ingatan saya. Usia saya sudah senja, saya mulai melupakan
banyak hal. Tapi, untuknya saya tidak ingin lupa. Karena dikala saya merasa sendiri, saat
sedang menunggu waktunya tiba, hal terakhir yang ingin saya ingat adalah namanya. Lee
Jieun.
Lee Jieun.
Lee Jieun.
Saya tulis namanya tiga kali, dengan sama rapihnya. Pertanda saya masih bisa
mengingat jelas namanya. Kecintaanku, bernama Lee Jieun.
Untuk kau yang membaca ini, saya ingin memberitahu kalau kau tidak boleh mencoba
untuk melihat foto kecintaanku sampai kau selesai membaca tulisan ini. Kau harus membaca
ini sampai selesai, supaya nanti ketika sudah berada di akhir cerita, kau tidak akan terbayang
wajah cantiknya dan menangis. Sebab saya tidak ingin ada kesedihan ketika membaca tulisan
saya.
Baiklah, saya mulai ya. Sepertinya saya sudah terlalu banyak berbicara.
Bertahun-tahun yang lalu, ketika saya memiliki seorang kekasih. Bernama Lee Jieun,
perempuan berumur dua puluh dua tahun yang tersenyum kepada saya pertama kali ketika dia
memperkenalkan dirinya. Kami bertemu lewat sahabat kami yang ingin mencoba menjodohkan
saya dengan Jieun. Sebaliknya, sahabat Jieun ingin memperkenalkan saya kepadanya. Usia
kami kala itu masih sangat muda, memiliki banyak mimpi yang masih harus sama-sama kami
raih.
Saya, kala itu masih bekerja sebagai seorang jurnalis yang mungkin menjadi salah satu
profesi yang paling bergengsi pada masanya. Dan kecintaanku, Jieun bekerja sebagai seorang
perawat di rumah sakit. Kami yang begitu sibuk dengan profesi masing-masing, akhirnya
mengalah pada teman kami dan mencoba untuk bertemu.
Ketika saya bertemu dengan Jieun pertama kali, hal pertama yang menarik perhatian
saya adalah senyumnya. Bibirnya yang merona dengan begitu manis, membuat saya tersadar
bahwa mungkin keputusan saya untuk menuruti keinginan Hyoseop bukanlah suatu kesalahan.
Saya masih ingat, hal yang pertama kali dia ucapkan kepada saya waktu itu adalah,
“Annyeong, Dohyun-sshi”. Dia sama sekali tidak terlihat malu, dia justru terlihat begitu
percaya diri dan langsung memperkenalkan dirinya kepada saya.
Sungguh, perempuan yang ceria dan sama sekali tidak berusaha untuk terlihat polos.
Jieun yang baru mengenal saya selama satu jam, mampu membicarakan banyak hal kepada
saya. Dia juga seorang pendengar yang baik untuk temannya, Inna. Dia juga seorang
perempuan yang humoris dan selalu bisa membawa percakapan menjadi lebih menyenangkan.
Saya, seorang yang tertutup, tidak terlalu senang bersosialisasi, dalam sekejap bisa tertawa
dan berbicara tanpa henti dengan Jieun.
Saat itu, ketika kami hendak berpisah, saya memberanikan diri untuk meminta nomor
telepon Jieun. Saya ingin bertemu lagi dengannya. Saya ingin mendengar suaranya yang riang,
senyumnya yang manis, dan tentunya saya ingin berada di dekatnya lagi.
Hubungan kami terbilang cukup harmonis di bulan-bulan pertama berkencan. Jieun
selalu bisa membuka satu sisi dari dalam diri saya yang bahkan saya sendiri tidak pernah tahu.
Kehadirannya dalam hidup saya bagaikan cahaya terang yang tidak pernah saya dapatkan lagi
sejak kedua orang tua saya berpisah. Dan bagi Jieun, saya adalah pelindung dalam hidupnya.
Kami saling melengkapi satu sama lain.
Bulan berganti tahun, satu tahun bertambah menjadi dua, saya dan Jieun pun telah
melewati sekian banyak pasang surut kehidupan. Puluhan kali kami bertengkar, lalu berdamai,
dan kembali bercinta. Banyak orang yang ingin seperti kami, banyak juga yang mendoakan
kami supaya bisa terus bersama. Saya pun selalu bersyukur di setiap malamnya, karena Tuhan
telah mempertemukan saya dengan seorang perempuan sebaik dan sesempurna Jieun.
Walaupun saya tahu, dalam hidup tidak ada yang sempurna, tapi dengan memilikinya semua
sudah menjadi sangat sempurna.
Kami sudah mengumpulkan uang sejak tahun lalu, dari nol sampai sekian banyaknya.
Posisi saya di kantor juga sudah aman, saya sudah mendapatkan promosi jabatan. Jieun pun
juga sudah mendapatkan posisi terbaik di rumah sakit tempat bekerja. Hubungan kami
didukung oleh semua kerabat, kami pun saya sudah sangat yakin satu sama lain.
Kami menikah di awal tahun depannya. Jangan tanyakan pada saya apakah saya
bahagia atau tidak. Tentu saja, saya sangat amat bahagia. Akhirnya, saya memiliki perempuan
bernama Lee Jieun. Kecintaanku, selamanya akan saya miliki.
Uang tabungan kami hanya mampu membeli sebuah rumah kecil. Jieun tidak masalah,
dia berkata kalau rumah kecil ini bisa kami isi dengan kebahagiaan yang cukup dan nantinya
akan menjadi istana yang nyaman. Jieun sama sekali tidak pernah terlihat terganggu atau pun
merasa malu dengan semua hal yang saya belikan walau nilainya tidak begitu mahal. Dia selalu
tersenyum dan mencium pipi saya sebagai bentuk rasa terima kasihnya kepada saya.
Saya tahu, Jieun memang tidak pernah meminta banyak hal. Dia selalu merasa cukup,
bahkan ketika saya hanya bisa membelikannya barang-barang sederhana.
Dalam usia yang kala itu masih muda, tentunya ambisi saya masih tinggi dan ingin terus
berbuat lebih untuk Jieun. Dengan begitu, saya bekerja dengan sangat keras. Saya mulai
menambah waktu kerja saya. Keinginan saya untuk membahagiakan Jieun menjadi tujuan
utama saya dalam bekerja di setiap harinya.
Beruntungnya, hasil jerih payah setiap hari perlahan-lahan membuahkan hasil. Saya
semakin banyak mendapatkan jalan dan tawaran pekerjaan dimana-mana. Ambisi saya semakin
tinggi, keinginan untuk menghasilkan uang lebih semakin bertambah di setiap harinya. Dan jika
sekarang saya kembali mengingat masa-masa itu, saya pun tersadar begitu banyak waktu yang
telah saya buang untuk bekerja dan meninggalkan Jieun menunggu saya pulang di rumah
hingga larut. Seringkali saya menemukan Jieun sudah tertidur pulas di kamar, makanan yang
sudah dingin di meja makan, dan baju tidur saya yang dia siapkan.
Dia tidak pernah marah kepada saya. Namun, sekarang setelah saya kembali ingat lagi,
bukan sebuah kemarahan yang dia tunjukan kepada saya dahulu kala ketika dirinya merasa
terabaikan oleh suaminya ini. Melainkan sebuah senyuman kekecewaan yang selalu dia
perlihatkan ketika saya pulang terlalu larut dan berakhir tidak memakan masakannya.
Senyumannya yang telah berubah, tidak pernah saya sadari. Saya terlalu buta dalam pekerjaan
saya yang sangat sibuk.
Saya ingin menekankan bahwa alasan saya bekerja dengan begitu giat dan mengabaikan
Jieun, bukan karena saya terbuai dengan uang dan perempuan lain. Tidak. Tidak mungkin saya
bisa melihat perempuan lain yang lebih baik ketika saya sudah memiliki Jieun yang sempurna.
Saya melakukan itu semua, karena saya ingin membahagiakan Jieun. Memberikannya
rumah yang lebih besar, membelikannya pakaian-pakaian yang bagus, saya ingin menjadi
seseorang yang tidak hanya bisa menjanjikan sebuah cinta, tapi sebuah kebahagiaan yang bisa
dia nikmati dan lihat.
Memasuki perayaan ketiga tahun pernikahan kami, Jieun membangunkan saya dengan
ciuman di kening dan dia berkata, “Selamat hari pernikahan yang ketiga tahun, Dohyun-ah.
Nanti malam kita makan bersama ya. Ada yang ingin aku beri tahu kepadamu”. Tentu saja,
saya sangat senang. Akhirnya, setelah sekian lama saya tidak melihat senyuman bahagia di
wajah kecintaanku, pagi itu saya kembali melihat senyuman itu. Kami saling menyatukan diri
pagi itu, berharap akan ada tahun-tahun berikutnya yang dapat kami jalani bersama dengan
lebih baik.
Namun, saya kembali melakukan kesalahan. Saya kembali mengecewakannya. Dan
seumur hidup, saya tidak akan pernah bisa memaafkan diri saya sendiri.
Malam itu, saya melupakan janji makan malam saya dengan Jieun di rumah. Saya
pulang begitu larut. Semua yang telah Jieun siapkan untuk kami berdua terbaikan begitu saja.
Makanan-makanan yang sudah dia buat seharian menjadi dingin, lilin-lilin yang menghiasi meja
makan kami pun telah mati. Masih saya ingat dengan sangat jelas, tatapan Jieun malam itu
kepada saya.
Tatapan matanya kosong. Dia sama sekali tidak berekspresi. Sorot matanya yang
dingin, menggambarkan kekecewaan serta amarah yang mungkin telah lama dia simpan
sendiri. Saya mencoba untuk menjelaskan alasan mengapa saya datang terlambat. Tapi, Jieun
berteriak dengan sangat kencang. Dia mendorong tubuh saya dengan kencang.
Dia marah pada saya.
Untuk pertama kalinya, dia berteriak dengan sangat kencang dan meninggalkan saya.
Jieun berlari keluar dari rumah tanpa membawa apa-apa. Langkah kakinya yang begitu
kencang, membuat saya cukup sulit untuk mengejarnya. Akan tetapi saya tetap mengajarnya,
saya tidak ingin menyesal.
Dan benar saja, ketika saya hendak menyebrang untuk menghampiri Jieun yang sudah
berada di tengah jalan, tiba-tiba sebuah cahaya terang menyilaukan penghilatan saya. Sebuah
truk besar berjalan ke arah Jieun yang sedang tidak bisa memfokuskan pikirannya. Tepat
dihadapan saya,
Saya melihat tubuh Jieun terhantam dengan kencang oleh truk tersebut. Tubuhnya
terhempas jauh.
Semuanya begitu cepat, kaki saya melemas. Sekujur tubuh saya gemetar. Saya tidak
bisa merasakan apa-apa lagi. Dan hal selanjutnya yang saya tahu adalah suara orang-orang
yang berteriak mengerubungi tubuh Jieun di ujung jalan.
Terasa seperti mimpi.
Anehnya, hingga detik ini ketika kau membaca tulisan saya, semua ingatan akan malam
itu masih sangat jelas. Mungkin itu adalah kutukan yang Tuhan berikan kepada saya, supaya
saya bisa terus mengingat semua dosa terbesar saya.
Belum. Hukuman yang saya terima belum selesai sampai saya yang melihat Jieun
tertabrak. Hukuman utamanya belum saya sebutkan.
Di malam yang sama, dokter memberitahu saya bahwa saya telah kehilangan Lee Jieun
dan janin kami yang ternyata masih berusia tiga minggu. Sebuah tamparan keras saya dapatkan
bertubi-tubi dalam semalam. Saya tersadar, Jieun hendak mengatakan bahwa kami telah
dianugerahi seorang anak di malam perayaan pernikahan kami.
Jangan tanyakan bagaimana hidup saya setelahnya. Tentu, terasa hambar. Saya seperti
seseorang yang tidak tahu apakah masih ada alasan untuk bertahan hidup. Tidak ada lagi Lee
Jieun, tidak ada lagi kehidupan. Perasaan bersalah, perasaan menyesal, perasaan kehilangan,
kesepian, dan sebagainya meliputi hidup saya selama bertahun-tahun. Tidak ada lagi harapan
untuk saya melanjutkan hidup. Perlahan-lahan, saya membiarkan orang-orang di sekitar saya
berhenti membicarakan Jieun dan memilih untuk diam jika ada seseorang yang mulai mencoba
mengajak saya membahas tentangnya.
Lambat laun, orang-orang mulai menganggap saya sebagai seorang lelaki yang tidak
tahu diri. Lelaki yang kejam, dan tidak berperasaan. Biarlah, saya lebih baik terlihat seperti
itu dibandingkan harus terlihat seperti orang yang menangis setiap malam dan meronta
sendirian di dalam kamar. Mereka tidak perlu tahu, karena tidak ada gunanya. Jieun tidak akan
pernah kembali, begitu juga dengan bayi yang ada di dalam kandungannya. Mereka berdua
mati karena kebodohan saya. Dan selamanya, saya akan menanggung semua dosa saya dengan
mengingatnya semuanya.
Saya hidup dengan bekerja seperti mesin. Tidak berhenti, tidak kenal waktu, dan tidak
memperdulikan apa-apa. Saya menjadi seorang yang sukses, memiliki banyak uang, semuanya
dapat saya beli. Tapi, tidak itu semua tidak akan mengambilkan kecintaanku.
Saya tidak memiliki keluarga lagi. Perlahan, mereka semua sibuk dengan urusan
sendiri. Tidak masalah, tidak akan menjadi pengaruh penting dalam hidup saya.
Hidup tanpa orang-orang disisi saya, bukan menjadi masalah.
Yang menjadi masalah adalah hingga saya sudah berada di usia senja, tidak sekali pun
Jieun datang mengunjungi saya dalam mimpi. Tidak sekali pun dia hadir dengan senyumannya.
Mungkin…dia sudah bahagia disana, dan tidak ingin melihat saya lagi. Tidak apa-apa, asalkan
dia tidak lagi seperti ketika bersama saya, itu tidak masalah.
Saya hanya merindukannya. Saya ingin melihatnya lagi.
Walau hanya sekelibat, saya ingin melihat Ji Eun lagi.
Saya sudah hidup begitu lama, menanggung dosa sendiri tanpa mengeluh. Ingatan
tentangnya pun tetap ada sebagai pengingat bahwa saya pernah menyakitinya. Jadi, saya pikir,
sebuah pengharapan untuk bisa bertemu dengannya lagi suatu hari nanti, di dimensi lain
mungkin? Tidak akan salah, bukan? Saya tidak berharap untuk bisa dicintai lagi oleh Jieun, saya
hanya ingin bertemu lagi dengannya. Melihatnya, dan kalau dibolehkan, saya ingin meminta
maaf.
Dia pergi terlalu cepat, sekejap mata saja. Sehingga saya tidak pernah diberikan
kesempatan untuk meminta maaf kepadanya.
Setelah itu, jika saya harus kembali dihukum dengan tidak ditakdirkan untuk bersama
Jieun lagi, saya tidak akan memprotes. Saya tidak pernah terlalu vokal dalam mengucapkan
perasaan cinta saya yang begitu besar kepadanya. Dan untuk berharap supaya bisa kembali
mendapatkan kesempatan mengucapkan itu pada Jieun, sepertinya terlalu berlebihan. Biarlah
Jieun sendiri yang menilai apakah selama ini dia merasa dicintai atau tidak.
Karena hingga detik terakhir saya mengecewakannya, saya masih bekerja dengan
alasan yang sama. Untuk membahagiakan Jieun.
Saya rasa, kau yang membaca cerita ini sudah harus selesai. Kau telah sampai di
penghujung cerita saya. Untukmu yang membaca tulisan ini, saya harap, kau jangan acuh dan
melakukan hal yang sama seperti saya. Supaya tidak ada penyesalan di kemudian hari. Jika kau
membaca ini sampai akhir, kau akan melihat satu foto dan satu kartu nama pengacara saya.
Hubungi pengacara saya dan ambil semua uang yang telah saya kumpulkan selama bertahun-
tahun saya hidup. Sisakan beberapa uang untuk merawat makam Jieun dan makam anak kami,
Jihyun.
Terima kasih karena telah berkenan membaca cerita saya yang tidak pernah saya
bagikan kepada orang lain. Hadiahnya, kau ambil sendiri seperti yang tadi sudah saya bilang di
atas. Saya tidak memiliki siapa-siapa yang pantas untuk mendapatkan harta saya. Jadi, kau
yang telah berkenan membaca cerita saya, adalah orang yang saya pilih.
Jangan bersedih, gunakan uang saya berikan dengan baik. Bahagiakanlah orang-orang
yang cintai. Sayangilah mereka, katakan pada mereka kalau kau mencintainya.
Salam,
DH.

--
Dohyun membuka matanya. Dia melihat cahaya yang begitu terang menyembat dirinya.
Dia tidak tahu dimana dirinya sekarang. Yang dia tahu, dia sedang berada di sebuah pantai
dengan ombak yang begitu indah dan suara yang menenangkan.
Dia menoleh ke kiri, kosong. Tidak ada siapa-siapa.
Aneh. Mana mungkin sebuah pantai yang sangat indah seperti ini, tidak memiliki
pengunjung?
Dia menoleh ke kanan.
Matanya membesar ketika melihat seseorang sedang berjalan ke arahnya dengan
senyuman di wajahnya. Dohyun berusaha untuk mengusak matanya berkali-kali, memastikan
bahwa dirinya sedang tidak berhalusinasi. Dia melihat seorang perempuan menggunakan gaun
berwarna kuning, dengan rambut dikepang dua rapih menggunakan pita, berjalan ke arahnya.
Senyuman di wajah perempuan itu sama sekali tidak hilang.
Hingga akhirnya, perempuan itu berdiri di hadapan Dohyun.
“Ji…Eun?” ucapnya dengan ragu.
Perempuan itu tersenyum. Dia menganggukkan kepalanya.
“Ini benar…dirimu?”
Jieun tertawa singkat. “Kenapa kau menjadi sangat aneh? Hmm?”
Dohyun langsung menarik tangan Jieun dengan lembut. Dia membawanya ke dalam
pelukan yang begitu erat. Dia meneteskan air matanya.
“Maafkan aku, Jieun-ah.”
Jieun masih tersenyum, dia mengelus punggung Dohyun. “Kau tidak akan sampai disini
jika aku belum memaafkanmu, Dohyun-ah.”
Mendengar itu, Dohyun langsung melepas pelukannya, namun tangannya tetap
menggenggam erat tangan Jieun. Takut kalau dia akan kembali kehilangan.
“Benarkah?”
Jieun mengangguk. “Jangan memikirkan apa-apa lagi. Kau sudah bisa beristirahat
denganku. Berbahagialah disini.”
Dan pada akhirnya, Dohyun tahu kalau dirinya telah dimaafkan. Setelah bertahun-tahun
menerima hukuman abadi, sekarang dia bisa kembali hidup dengan Jieun di keabadiaan yang
telah menunggu mereka.
-Fin.

8. Gateway
9. Death

10. Opportunities

(by Astawwy)

“Ya, Im Dong Hyun!” serunya dari jauh.

Dong Hyun mengusak wajahnya karena ia begitu lelah untuk meladeni kehebohan yang
terjadi sore ini di sekolahnya. Atau lebih tepatnya, ia sudah sangat putus asa dengan keadaan
yang semakin menyulitkan dirinya untuk mendapatkan sesuatu yang telah lama menjadi
impiannya. Dan sekarang, ketika dirinya sedang berjalan gontai sambil mendorong sepedanya,
orang terakhir yang Dong Hyun ingin hindari hari ini justru memanggil-manggil namanya.

Tapi, lagi-lagi, Dong Hyun tidak bisa menolak dan kembali memutar punggungnya untuk
berhadapan dengan orang itu.

“Wae? Ada apa lagi hari ini?” tanyanya.

Ji Eun berlari kecil menghampirinya dengan senyuman riangnya. Senyuman yang


menurut Dong Hyun tidak pernah Ji Eun perlihatkan terlalu sering di sekolah. Senyuman yang
dia asumsikan akan Ji Eun perlihatkan hanya untuk orang-orang spesial.

Tapi ingat, itu hanya asumsi.

“Kenapa kau meninggalkanku? Seharian ini aku mencarimu di sekolah,” ujar Ji Eun yang
langsung ikut mendorong sepeda Dong Hyun.

“Aku tidak meninggalkanmu, Noona. Aku sudah menunggumu, lima belas menit di
tempat biasa kita bertemu. Dan kau masih terlalu sibuk dengan teman-temanmu yang
merepotkan itu,” balas Dong Hyun memberikan alasan.

“Eyyy, jangan begitu. Mereka itu temanku, jangan bicara seperti itu tentang mereka.”

Dong Hyun memberhentikan langkah kakinya. “Kalau aku bagaimana? Aku bukan
temanmu? Aku adik kecilmu? Atau aku anjing kecilmu yang selalu menurut jika kau suruh-
suruh?”

Ucapan Dong Hyun barusan membuat Ji Eun terkejut. Dia tahu, jika Dong Hyun sudah
bersikap seperti ini, tandanya pasti ada sesuatu yang terjadi di sekolah.

Ji Eun menepuk pundak Dong Hyun dengan pelan. “Hari ini tidak berjalan begitu baik
ya? Nam Joo mengganggumu lagi? Atau—”

Mendengar nama Nam Joo disebutkan, Dong Hyun memilih untuk melanjutkan langkah
kakinya dan mengambaikan Ji Eun.

Tidak ingin didiamkan saja, Ji Eun mencoba untuk membujuk Dong Hyun. “Ini
perasaanku saja atau memang benar…” dia berkata dengan pelan. Dia menatap ekspresi Dong
Hyun yang datar. “…memang benar kau semakin jauh dariku?”

“Sudahlah, aku yang salah. Ayo, naik, nanti kakimu pegal. Besok ada pertandingan
penting untukku dan jangan sampai cheerleader terbaik di sekolah tidak bisa
menyemangatiku,” kata Dong Hyun berusaha untuk menghindar dari pertanyaan Ji Eun. Seperti
yang selalu dia lakukan selama ini.

Raut wajah Ji Eun berubah. Dia tidak terlihat senang lagi. Tapi, dia tahu sampai kapan
pun tidak akan ada gunanya untuk berbicara dengan Dong Hyun yang sedang tidak bisa
diganggu. Akhirnya, dia menurut saja dan hendak menaiki sepeda Dong Hyun. Akan tetapi,
belum sempat dia mengangkat kakinya, tiba-tiba tangan Dong Hyun memberikannya sebuah
jaket yang biasa Dong Hyun gunakan.

“Pakai ini, rokmu terlalu pendek.”

Dong Hyun tetaplah, Dong Hyun. Dia tidak akan pernah membiarkan Ji Eun kedinginan,
terkadang Ji Eun pun sering berpikir, sebenarnya siapakah yang lebih tua diantara mereka
berdua?

Sesampainya di depan rumah Ji Eun, belum ada yang membuka topik pembicaraan.
Hanya keheningan dan kecanggungan yang mengisi.
“Dong Hyun-ah,” panggil Ji Eun.

Dong Hyun yang sedang membuka pagar rumahnya, menoleh dan menatap Ji Eun.

Melihat laki-laki yang sejak kecil selalu menjadi adiknya sekarang telah tumbuh
menjadi seorang remaja bertubuh tinggi, membuat perasaan hangat menyelimuti hati Ji Eun.
Sejak kecil, mereka selalu bersama, rumah mereka bersebelahan dan kedua orang tua mereka
juga berteman dengan baik. Rasanya, melihat Dong Hyun yang sekarang semakin tumbuh dan
sudah masuk SMA seperti dirinya, membuat Ji Eun tersadar bahwa Dong Hyun perlahan
memang akan menjauh dan menemukan jati dirinya yang sebenarnya.

Ji Eun tersenyum. “Tidak, aku hanya ingin melihatmu saja,” katanya dengan pelan.
“Besok hari terakhirku menjadi cheerleader di sekolah. Jangan sampai kalah ya!”

Dong Hyun berdecak. “Tentu saja.”

Keesokan paginya, saat Dong Hyun sudah berada di ruang ganti baju laki-laki untuk
bersiap-siap, dia mendengar suara dua temannya yang kembali membicarakan soal kehebohan
kemarin. Dong Hyun menghela nafasnya dan memutuskan untuk pergi dari ruang ganti. Dia
melewati kedua orang temannya tanpa memperdulikan topik yang sedang bicarakan.

“Ji Eun menolaknya. Katanya, Ji Eun tidak ingin berkomitmen. Dia ingin fokus dengan
kuliahnya saja.”

“Wajar saja Ji Eun menolak Nam Joo. Yonsei lebih penting daripada seorang Nam Joo
untuk Ji Eun, hahaha…”

Dong Hyun yang berakhir untuk tetap mendengar perbincangan itu, terkejut bukan
main. Jadi…Ji Eun Noona benar-benar menolak Nam Joo? Karena dia sudah diterima di Yonsei?

Pertandingan hari ini dimenangkan oleh tim dari sekolah Dong Hyun. Semua orang
bersorak gembira karena pertandingan terakhir Nam Joo sebagai kapten basket berhasil
merebut satu piala emas lagi. Dong Hyun yang masih di tahun pertama dan berhasil masuk ke
dalam tim inti juga diberi selamat oleh semua kakak kelasnya. Mereka semua akan berjanji
akan mencalonkan Dong Hyun sebagai kapten basket yang selanjutnya.

Selesai pesta perayaan, Dong Hyun langsung mencari Ji Eun dan mengajaknya pulang.
Hari ini banyak sekali hal yang terjadi dan membuat mereka sulit untuk bertemu. Ada banyak
juga pikiran yang menganggu Dong Hyun hari ini, dan itu semakin membuatnya tidak nyaman.

“Selamat ya, Dong Hyun-ah. Kau memang selalu membuatku bangga,” kata Ji Eun yang
sedang memeluk pinggang Dong Hyun dengan erat.

“Selamat juga untukmu yang sudah diterima di Yonsei,” balas Dong Hyun. “Kenapa kau
tidak memberi tahuku?” tanyanya.

Ji Eun memukul kepala Dong Hyun. “Ya! Kemarin kau menyebalkan sekali! Aku ingin
memberikan kabar baik untukmu, tapi kau malah menggerutu tidak jelas,” katanya dengan
kesal.

Oh, jadi karena itu. Aku kira karena dia baru saja dinyatakan perasannya oleh Nam
Joo.

Dong Hyun tertawa. “Iya, iya, maaf. Sebagai gantinya, bagaimana kalau kita makan
ramyeon dulu di rumahku? Mau?”
“Giliran kau yang salah, senjatanya langsung ramyeon.”

Mereka kembali tertawa dan bercerita begitu banyak di rumah Dong Hyun. Malam ini,
kedua orang tua Dong Hyun sedang bertugas ke luar negeri dan adiknya sedang menginap di
rumah nenek. Jadinya, hanya ada Dong Hyun dan Ji Eun malam ini.

“Kau sadar tidak? Kita terlalu sering bersama, sampai-sampai aku lupa kalau kau sudah
tidak bisa aku perlakukan sebagai adik kecilku lagi…” ujar Ji Eun.

Sejak kecil, Ji Eun selalu merasa sepi dan kehadiran keluarga Dong Hyun yang baru saja
mengisi rumah kosong di sebelah rumahnya membuat Ji Eun merasa senang. Dia memiliki
teman bermain sekaligus adik yang bisa dia jaga. Namun, seiring waktu berjalan, keadaan pun
juga semakin berubah. Ada banyak hal yang terjadi diantara mereka berdua sehingga
terkadang, Ji Eun seringkali terpikir…apakah mungkin dia menyukai Dong Hyun?

“Noona,” panggil Dong Hyun karena menyadari suasana yang mulai berubah.

Ji Eun hanya menjawab dengan, “hmm” saja.

“Kau akan pindah dari rumah dan tinggal sendiri saat kuliah nanti,” ujar Dong Hyun.
“Kau akan bertemu dengan banyak orang baru, kau juga akan memulai kehidupan yang lebih
luas dan berkembang, dan kau mungkin akan menemukan laki-laki yang lebih baik dari semua
laki-laki yang sudah pernah kau kencani.”

“Ya, Im Dong Hyun. Kau kenapa?” tanya Ji Eun. Dia mulai merasakan sesuatu yang
berbeda dari nada bicara Dong Hyun.

“Aku tidak mungkin mengajakmu berkencan sekarang. Aku tahu kau sedang tidak
memprioritaskan itu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa selama ini aku menyayangimu lebih dari
seorang Noona,” kata Dong Hyun. “Aku menyayangimu, Lee Ji Eun.” Dia menatap Ji Eun lekat-
lekat.

Astaga. Mengapa ini begitu tiba-tiba?

Dong Hyun melihat Ji Eun terdiam dan ramyeonnya yang sudah dingin karena tidak
dimakan. Akhirnya, dia hanya bisa tersenyum. “Aku tahu ini memang begitu rumit bagimu
untuk mencerna semuanya secara mendadak. Di lain waktu, jika Noona masih bersedia
mendengarkan alasanku, kau boleh mendatangiku dan meminta penjelasan. Sekarang, habiskan
ramyeonnya saja. Itu sudah dingin,” katanya sebelum ia benar-benar terdiam dan langsung
menghabiskan semua ramyeonnya juga.

Tidak ada yang bisa Ji Eun katakan lagi. Sampai saat mereka sudah selesai dan Dong
Hyun mengantarkan dirinya sampai depan pagar rumahnya, Ji Eun masih berusaha untuk
mencerna semua perkataan Dong Hyun barusan.

Dong Hyun tersenyum simpul kepadanya dan berbalik badan untuk kembali ke
rumahnya.

“Tunggu dulu,” Ji Eun berusaha mencegah Dong Hyun untuk pergi.

“Kenapa?” tanya Dong Hyun karena heran.

Ji Eun melihat Dong Hyun yang berdiri di hadapannya. Rasanya dia ingin tertawa karena
teringat bagaimana dulu mereka selalu bersama sejak kecil hingga saat ini. Dan rasanya, Ji Eun
sudah tahu apa yang ingin dia lakukan untuk “mereka” berdua.
Dia melepas kalung yang selalu dia gunakan, dan memberikan kalung itu kepada Dong
Hyun. “Kembalikan itu kepadaku saat kau sudah bisa masuk di perguruan tinggi,” ucapnya
sambil tersenyum. “Buktikan padaku kalau semua yang kau bersungguh-sungguh dengan
perkataanmu tadi. Okay?”

Dong Hyun mengambil kalung itu, dia tersenyum dengan senang. “Jadi, ini
jaminannya?”

Ji Eun menganggukkan kepalanya. “Jaminan kalau kau boleh menagih semua yang kau
inginkan dariku,” ucapnya dengan senyuman yang sama seperti Dong Hyun. Dia membuka
lengannya dengan lebar. “Ayo, berpelukan. Ini sebagai bentuk persetujuan.”

“Eyyy, kenapa merepotkan sekali.”

Tapi, mereka berakhir dengan berpelukan dan berjanji untuk saling menjaga perasaan
masing-masing sampai nanti waktunya tiba.

-Fin.

11. 33%
12. Dead Wrong

13. Running Away

(by Astawwy)

AEOROFLOT. CABIN (EARLY MORNING)

Seluruh isi pesawat terlihat sibuk. Ada yang sedang menaruh koper mereka ke dalam cabin,
ada yang sedang berbicara dengan seorang pramugari, beberapa orang masih sibuk
membetulkan sabuk pengamannya, dan beberapa lagi masih berusaha mencari tempat duduk
masing-masing. Seorang perempuan, OH SO NYEO (28) , berjalan perlahan sambil melihat ke
nomor-nomor yang tertera di dekat kabin pesawat. Tidak lama kemudian, ia menemukan
bangku yang sudah dirinya pesan.

Oh So Nyeo melihat terdapat seorang pria (30) sudah mengisi bangku disebelah bangku
tempatnya nanti duduk selama tujuh belas jam. Pandangan pria itu lurus ke depan, dia
menggunakan headset di telinganya.

SO NYEO

Permisi, saya duduk di sebelah sana.

Pria itu memindahkan pandangannya kepada So Nyeo, kemudian dia menganggukkan kepalanya
dan berdiri untuk mempersilahkan So Nyeo duduk di bangku di sebelahnya.

Lima belas menit kemudian, terdengar suara pemberitahuan bahwa pesawat akan segera
berangkat.

PILOT

Flight attendants, take off position.

Saat itu juga, So Nyeo langsung memejamkan keduanya. Di pengumuman sebelumnya, sudah
diberitahukan bahwa cuacana sedang berawan karena hujan yang terjadi secara terus-menerus
sejak semalam. Ia sudah tahu, saat take off nanti pasti akan ada beberapa guncangan yang
terjadi karena pesawat akan bertabrakan dengan awan. Karena itulah, sekarang So Nyeo
merasakan kedua telapak tangannya sudah basah.
Pesawat berguncang beberapa kali. Lampu juga diredupkan untuk beberapa menit. So Nyeo
memejamkan matanya dan tidak menyadari sejak tadi tangannya yang basah itu sudah
mengcengkram lengan pria yang duduk di sampingnya dengan erat.

Tidak lama kemudian, lampu kembali dinyalakan. Tidak ada guncangan lagi. Terdengar
pemberitahuan tentang bagaimana kondisi cuacana dan penumpang sudah dibolehkan untuk
melepas atau melonggarkan sabuk pengaman. Pramugari juga sudah mulai menjelaskan
tentang tata tertib serta teknis penyelamatan diri dari pesawat jika terjadi sesuatu.

So Nyeo menyadari tangannya yang sejak tadi mencengkram lengan pria di sampingnya.

SO NYEO

Maaf, aku tidak sengaja.

PRIA

*tersenyum tipis* Iya, tidak apa-apa. Saya paham kok.

SO NYEO

Aku kurang menyukai terbang. Terutama saat take off dan landing.

PRIA

Seperti menyerahkan nyawa kita ke tangan pilot ya?

SO NYEO

*tertawa* Iya, kurang lebih seperti itu.

Kemudian perbincangannya terhenti untuk beberapa saat. So Nyeo memutuskan untuk melihat
awan-awan yang terlihat dari jendela di sebelahnya. Melakukan perjalanan di pagi hari selalu
menyenangkan bagi So Nyeo. Ia bisa melihat semua yang ada di luar jendela pesawat, ia bisa
tahu seberapa jauh dirinya sudah pergi.

PRIA

Perjalanan bisnis?

Suara pria di sampingnya, membuat So Nyeo membuang pandangannya dari jendela dan
menoleh ke pria yang mengajaknya bicara.

SO NYEO

*menggelengkan kepala* Bukan.

PRIA

Berlibur?

SO NYEO

Melarikan diri.

PRIA

Cool. Aku juga.

SO NYEO
Oh ya? Sendirian?

PRIA

Hmm, iya. Lebih menyenangkan berlibur sendiri, kebetulan ini bukan pertama kalinya aku ke
Lisbon. Tahun lalu sudah pernah sebenarnya.

SO NYEO

Wah, berarti aku bisa menanyakan beberapa hal kepadamu mengenai Lisbon. Karena aku juga
ke Lisbon untuk melarikan diri dari penatnya rutinitas.

Pria itu tersenyum dengan ramah kepada So Nyeo, dia mengulurkan tangannya untuk berjabat
tangan.

PRIA

Kita akan menghabiskan waktu selama tujuh belas jam penerbangan. Supaya percakapan kita
terasa lebih nyaman, ada baiknya kita berkenalan dulu.

SO NYEO

Ah, iya. Benar juga. *berjabat tangan* Oh So Nyeo.

PRIA

Park Chul Soo.

SO NYEO

Jadi? Beri tahu aku apa saja yang kau ketahui mengenai Lisbon.

CHUL SOO

Biasanya, orang lebih senang ke Lisbon untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Disana
lebih banyak bangunan bersejarahnya. Ada juga kafe dan beberapa toko-toko yang menjual
pernak-pernik sepakbola.

SO NYEO

Begitu ya? Sebenarnya, aku disana tidak benar-benar sendirian sih. Ada temanku disana.

CHUL SOO

Baguslah kalau begitu. Karena tersesat di kota yang tidak pernah kau kunjungi sebelumnya itu
cukup sulit. Tahun lalu, aku kesana hanya karena ingin mencari pengalaman baru saja. Aku
pikir, suasananya akan ramai seperti New York atau Barcelona. Tapi ternyata, tidak loh. Sangat
berbeda. Lisbon lebih sepi.

SO NYEO

Tidak masalah kalau sepi. Aku memang sedang ingin mencari ketenangan.

CHUL SOO

*tersenyum* Kenapa kau memilih Lisbon?

SO NYEO

Tidak tahu. Aku hanya memilih asal. Kebetulan juga, ada salah satu sahabat dekatku yang
tinggal disana dengan suaminya. Aku pilih saja Lisbon.
CHUL SOO

Oh begitu ya.

SO NYEO

Kalau kau? Kenapa memilih Lisbon?

CHUL SOO

Karena aku ingin kembali saja. Kali ini dengan rencana yang lebih matang, sudah tahu harus
kemana. Jadi, tidak seperti dulu lagi. Kebingungan di kota itu.

Tiba-tiba, sebuah ide gila muncul di dalam benak So Nyeo. Dia melihat Chul Soo sekilas, pria
ini tidak terlihat seperti orang jahat dan pervert. Malah, terlihat tampan dan ramah.
Sepertinya, So Nyeo bisa mempercayainya.

SO NYEO

Kalau aku ikut denganmu saja, boleh?

CHUL SOO

*menatap So Nyeo dengan heran* Kau serius? Kita baru saja berkenalan loh.

SO NYEO

Tidak apa-apa, aku ingin berpetualang. Siapa tahu kita berjodoh disana.

CHUL SOO

*tertawa* Jodoh? Memangnya kau ini belum memiliki kekasih?

SO NYEO

Adanya calon suami. Tapi, aku belum pernah bertemu dengannya. Maka dari itu, ini
kesempatan terakhirku untuk mengubah pikiran orang tuaku di Seoul. Melarikan diri,
menikmati masa sendiri di kota yang tidak pernah aku datangi, dengan stranger,

*dia melihat Chul Soo yang sedang menyimak dia berbicara. Pria itu terlihat sama antusiasnya
dengan So Nyeo* Siapa tahu, kita berjodoh.

CHUL SOO

*berdecak* Astaga, kau seru juga ternyata.

*dia berpikir untuk beberapa detik*

Kebetulan aku juga sedang ingin dikenalkan oleh perempuan di Seoul. Tapi, aku menunda dulu
karena ingin berlibur sekali lagi sebelum nantinya fokus dengan urusan komitmen.

*dia menatap So Nyeo dengan jahil* Kau serius? Kau yakin ingin bersamaku di Lisbon? Hati-hati,
nanti kau jatuh cinta denganku disana.

SO NYEO

*tertawa* Siapa takut? Kau juga hati-hati, nanti kau yang malah jatuh cinta denganku disana.
Percakapan mereka terus berlanjut sampai akhirnya mereka tiba di Lisbon. Perjalanan yang
tadinya So Nyeo pikir akan sangat membosankan berubah, menjadi lebih gila dan
menyenangkan karena pertemuannya dengan pria bernama Park Chul Soo.

Ketika mereka sudah sampai di bandara, baik So Nyeo atau pun Chul Soo tidak ada yang
mengetahui bahwa perjalanan yang mereka buat secara mendadak ini adalah sebuah
kebetulan.

Baik So Nyeo dan Chul Soo tidak ada yang tahu kalau sebenarnya, perjodohan yang mereka
hindari di Seoul membuat mereka bertemu dengan cara yang lebih menyenangkan.

Bukan dari perjodohan, namun dari perjalanan mereka menuju Lisbon.

-Fin.

14. Judgment

(by Rixxanna)

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam namun lampu di ruangan kerja milik Go
Wooyoung masih menyala sepenuhnya, menunjukkan bahwa sang pemilik ruangan masih
bekerja di luar jam kantor. Di tengah meja kerja berbentuk persegi panjang minimalis itu,
terdapat berbagai tumpukan dokumen kasus GE Group yang sedang ia tangani. Ia masih
terhitung pengacara muda – banyak lulusan hukum seumuran dirinya yang bahkan belum
diangkat untuk menjadi pengacara – namun ia mendapat kepercayaan dari sang Kakak untuk
menangani kasus GE Group yang merumitkan ini sebagai kasus perdananya.

Untuk menjadi pengacara handal dan sebagai penerus pemilik Law Firm ini, kasus
seperti ini akan jadi makanan sehari-hari. Jadikan kasus GE Group ini bahan pembelajaran
bagimu. Toh kau tidak bekerja sendiri, bukan?

Benar.

Go Wooyoung tidak bekerja sendirian dalam menyelidiki penggelapan uang yang


dilakukan oleh salah satu pemegang saham GE Group itu, melainkan bersama Hwang Pyeosa
sebagai advisornya dan pembimbing kasus ini berikut dengan dua karyawan probation untuk
menyelidiki kasus ini lebih lanjut.

Dua karyawan probation yang secara kebetulan adalah dua orang yang sangat
Wooyoung kenal, Cho Seungwon dan Song Hanna.

Cho Seungwon adalah sahabatnya, sejak….ah dia sendiri lupa sejak kapan.

Dan Song Hanna.

Memikirkannya saja sudah membuat kepala Wooyoung yang tadinya berkedut nyeri,
menjadi lebih suntuk.

Ia tidak pernah berniat jahat pada gadis itu, berniat nakal? Well, mungkin pernah ada.
Tetapi perasaannya tidak pernah salah ketika ia memilih untuk mendamba perempuan
bernama Song Hanna. Namun sayangnya, ia tidak pernah bisa membaca maupun mengerti apa
yang dipikiran perempuan itu. Wooyoung sudah terlalu lelah menerka Hanna, ia membiarkan
saja perasaan dan perilakunya bergerak sesuai bagaimana Hanna mau. Seperti biasa.

Wooyoung sepertinya sudah tidak bisa berpikir jernih jika sudah seperti ini. Ia beranjak
dari ruangan kerjanya menuju pantry untuk membuat kopi dan mungkin menghabiskan satu
puntung rokok miliknya.
Berjalan menuju pantry, Wooyoung melihat lampu di meja Hanna masih menyala.

Apakah perempuan itu masih bekerja?

Benar saja, Wooyoung menemukan perempuan sebaya dengannya tertidur diatas


tumpukan dokumen yang begitu Wooyoung intip adalah dokumen milik GE Group. Hanna
bertugas untuk menyelidiki daftar pemegang saham yang memiliki perusahaan-perusahaan
kecil dan sedang yang kebanyakan terletak didaerah Busan. Hanna meyakini bahwa
perusahaan-perusahaan kecil itu juga mendapat aliran dana dari GE Group secara ilegal.
Wooyoung menggulung lengan kemeja putihnya, lantas mengetukkan tangannya diatas meja
Hanna.

Hanna perlahan terbangun dan hampir terperanjat melihat Wooyoung berdiri


dihadapannya sambil menghela napas.

“Go Pyeosa..-”

Mendengar sebutan Pyeosa keluar dari mulut Hanna membuat Wooyoung berdecak.
“Ya, ini kan sudah diluar jam kantor, tidak perlu memanggilku seperti itu.”

Hanna hanya bisa menutup bibirnya, menahan malu dan bingung mau berbicara apa.

“Kau belum pulang? Ini sudah jam 10 malam.” Tanya Wooyoung memecah keheningan
antara dirinya dan Hanna.

“Ah, ya, belum. Tadi aku sedang memeriksa daftar pemegang saham yang bisa
dijadikan-”

“Sudah, sudah, aku hendak ke pantry membuat kopi. Kau ingin ikut?” ucap Go
Wooyoung memotong penjelasan Hanna yang direspon dengan sebuah anggukan.

Dan disinilah mereka berdiri, di balkon lantai 22 tempat LS Law Firm berada,
memegang segelas kopi hangat dengan sepuntung rokok di tangan kedua pengacara muda itu.
Tidak bisa dipungkiri, Hanna terlihat semakin cantik dan dewasa dari kali terakhir mereka
berpisah. Mereka berpisah tidak dengan baik-baik dan tidak juga atas suatu hubungan sepasang
kekasih. Wooyoung juga bingung jika ditanya label apa yang ia miliki dengan Hanna, ia tidak
akan memungkiri bahwa mereka memiliki koneksi namun dengan Hanna, semuanya terasa
rumit dan pahit.

Namun, ia tidak pernah benar-benar menjauh.

Hanna yang selalu pergi.

Dan sekarang, Hanna lagi yang menemukannya lagi di Law Firm ini.

Go Wooyoung, pria yang selalu disebut sebagai pria yang pemerhati detail. Pria yang
selalu bisa menaklukkan wanita karena kejeliannya, lantas bingung menghadapi Hanna. Ia
tidak pernah sepenuhnya bisa membaca Hanna dan pertimbangannya selalu salah. Sedangkan
Hanna, selalu memiliki pertimbangan, penilaian, dan pemikirannya sendiri. Sorot matanya
selalu terlihat seperti orang yang sudah mengenal Wooyoung sejak lama, namun di waktu
tertentu matanya bisa berubah menjadi mata yang paling menyedihkan ketika menatap
Wooyoung.

Apa artiku untukmu, Hanna?

Apa yang kau sembunyikan?


Go Wooyoung tidak menyadari berapa lama ia memandangi Hanna hingga perempuan
itu tersenyum tipis sambil melepas asap rokoknya ke udara. “Jika ada yang ingin kau bicarakan
padaku, katakan saja, Go Wooyoung.”

“Hmm, tidak. Hanya tidak menyangka saja kita akan bertemu kembali di Law Firm ini.
Aku lupa sudah berapa bulan yang lalu sejak kejadian itu, terakhir kali kita bertemu…
Sekarang, kau malah berada disini. Kadang bagaimana takdir bekerja itu lucu, ya..”

Kadang bagaimana takdir bekerja itu lucu, ya..

Raut wajah Hanna berubah. Dan, lagi Wooyoung menangkap mata sendu yang kadang
kali datang di wajah Hanna tiap kali dirinya berkata sesuatu. Ia sendiri tidak tahu alasannya
apa.

“Bagaimana dua minggu bekerja disini? Aku tidak menyangka kau dan Seungwon akan
masuk Law Firm ini. Aku pikir kau lanjut pendidikan Master, aku pernah mendengar-”

“Kau mendengar dari rekan-rekan mahasiswa yang tidak bisa dipercayai. Aku pikir aku
sudah pernah mengatakan hal ini padamu.” Ujar Hanna singkat.

Wooyoung menyesap rokoknya sekali lalu mengangguk. “Iya, aku ingat. Tapi aku harus
mempercayai siapa lagi, Hanna-ya? Kau tidak pernah muncul lagi di kampus sejak kali terakhir
kali kita bertemu. Atau mungkin kau ke kampus, tapi disaat aku tidak ada. Kau juga tidak
datang di wisuda dan pelepasan alumni. Kau…hilang, Song Hanna.”

Itu karena…. Aku semakin takut jika dekat denganmu, Wooyoung-ah. Hatiku, takut…

“Aku tidak akan mengelak ucapanmu barusan.”

Hanna dan kebiasaannya tidak menjawab pertanyaan Wooyoung.

“Lalu, apa, kau akan menyerah dari Law Firm ini? Kapan? Setelah kasus ini? Aku tidak
akan terkejut jika kau tiba-tiba mengundurkan diri atau menghilang lagi.” Kata Wooyoung,
yang lalu ia sesali pada detik berikutnya. Ia tidak bermaksud untuk berbicara kasar pada
perempuan berlipstik merah dihadapannya.

Wooyoung tidak ingin menaruh harapan tinggi, namun ia bersumpah ada raut kecewa
yang tergambar di wajah Hanna walau hanya beberapa detik.

“Tidak, aku akan bertahan disini. Aku juga perlu membangun karirku bukan?” jawab
Hanna yang terdengar seperti alasan yang payah.

Tidak, aku akan melawan rasa takutku. Hatiku yang membawaku untuk bertahan.

“Benar,” ucap Wooyoung sambil tertawa kecil. Ia menemukan dirinya kembali menatap
Hanna yang untuk pertama kalinya dalam dua minggu di LS Law Firm ikut tertawa. “Hanna-ya,
aku boleh bertanya sesuatu?”

“Tanyakan saja.”

“Siapa aku dalam hidupmu, Song Hanna? Katakan, apa pertimbanganmu tentangku
Hanna-ya?”

Hanna terdiam mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Go Wooyoung. Pria yang
selalu hadir di mimpi-mimpinya, pria yang selalu tersenyum dan bersenda gurau, pria yang
kehilangan separuh hidupnya, sebagian mimpinya. Hanna memiringkan kepalanya sedikit, ia
mematikan puntung rokok yang tinggal sedikit sebelum membuangnya asal.

Perempuan itu berjalan mendekati Wooyoung, sebelumnya akhirnya tangan kirinya


meraih pipi Wooyoung. Hanna mengelusnya lembut.
“Kau tidak akan mengerti Wooyoung-ah. Aku bisa saja memberikanmu alasan, tapi itu
akan terdengar sangat payah dan mungkin telingamu tidak akan percaya. Pertimbanganku,
semua yang terbaik untuk kita berdua. Percayalah, aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi
padamu, atau pada kita.” Song Hanna kembali tersenyum. “Kau, Go Wooyoung, sesuatu yang
sudah Tuhan gariskan untukku, aku percaya itu. Apapun yang kau yakini, aku tidak akan
mengelaknya, tapi satu hal yang pasti…. Kau adalah anugerah bagi siapapun yang ada di
dekatmu, termasuk aku. Kau adalah bagian dari cerita hidupku yang tidak akan terhapus atau
tergantikan. Pertimbanganku? Kau tidak perlu tahu. Itu sudah cukup menjawab pertanyaanmu,
bukan?”

FIN.

15. Seeking Solace

16. Excuses

(by Astawwy)

Bisa dibilang ini merupakan kejadian yang terjadi kesekian kalinya dalam hidup Cha
Eun Jae. Setiap pergerakan yang ia lakukan diperhatikan oleh orang-orang di sekitarnya,
terutama perempuan-perempuan itu. Perempuan-perempuan yang menyalahkan Eun Jae
karena telah merebut pangeran impian mereka. Tidak, sebenarnya bukan hanya mereka yang
menginginkan seorang Paul Ahn. Harus Eun Jae akui, memang benar, ia juga menginginkan
laki-laki itu. Sangat. Bahkan sebelum orang-orang di kampusnya mengenal Paul.

Eun Jae berteman dengan Paul sejak mereka masih kecil. Sebenarnya, mereka tidak
begitu dekat. Hanya sekedar teman bermain sekali, dua kali saja kalau anak-anak di sekitar
rumah mereka sedang bermain di sore hari. Namun, siapa sangka ternyata Eun Jae kembali
bertemu dengan Paul setelah laki-laki itu pindah ke Canada karena bisnis orang tuanya disana
semakin pesat dan tidak memungkinkan untuk ditinggal.

Paul Ahn. Semua orang memanggilnya dengan nama itu di kampus. Tidak ada yang
memanggilnya Hyo Seop. Tidak ada yang pernah tahu karena Paul tidak pernah membicarakan
itu kepada orang-orang kecuali, Eun Jae.

Paul meminta Eun Jae untuk tetap memanggilnya Hyo Seop.

Ketika mereka kembali bertemu, Eun Jae tidak percaya karena teman kecilnya dulu
sudah sangat berubah. Tubuhnya menjadi sangat tinggi, jangan bicarakan wajahnya karena itu
yang paling membuat semua perempuan di kampus selalu sibuk untuk mencari perhatian Hyo
Seop, belum lagi dengan sikapnya yang tenang dan selalu terlihat cool. Hyo Seop termasuk
mahasiswa terpintar di Yonsei, dia juga aktif di klub basket kampus.

Ada banyak alasan yang dapat Eun Jae sebutkan untuk menjawab pertanyaan mengapa
hampir semua perempuan di kampusnya menyukai Hyo Seop.

Dan gilanya, Eun Jae dan Hyo Seop memiliki hubungan yang tidak pernah orang-orang
ketahui. Mereka berteman dekat, sangat dekat, bahkan sepertinya hal-hal yang mereka
lakukan tidak bisa lagi dianggap sebagai teman. Dan itulah yang selalu membuat Eun Jae
merasa takut akan semua yang telah dia lakukan dengan Hyo Seop.

Tadinya, hanya itu alasan yang Eun Jae jadikan alasan untuk menghindar dari
kenyataan bahwa benar dia sangat menyukai teman kecilnya. Tapi, akibat kejadian tadi
malam, kejadian yang tidak pernah Eun Jae bayangkan akan terjadi di antara dirinya sendiri
dan Paul. Kejadian yang membuat Eun Jae sekarang sangat berantakan karena dia sangat
terburu-buru dan ingin menghindar dari semua tatapan iri perempuan-perempuan di
kampusnya. Eun Jae enggan untuk berhadapan dengan siapa pun hari ini.

Ini salah.

Sangat salah.

“Ya, Cha Eun Jae!” seseorang menyerukan namanya dengan kencang.

Eun Jae tahu siapa pemilik nama itu. Dia langsung berlari dan memasuki kamar mandi
wanita. Hanya itu tempat paling aman yang dapat dia gunakan untuk bersembunyi.

Dia bersembunyi di bilik paling ujung. Mencoba untuk tidak mengingat-ngingat semua
kejadian yang sudah dirinya lakukan dengan Paul tadi malam sembari terus menenangkan deru
nafasnya. Kedua tangan Eun Jae masih bergetar. Dia ketakutan.

Eun Jae tidak tahu harus merasakan apa. Ini bukan yang pertama kalinya, dia
menghindar kenyataan hanya karena dirinya terlalu takut untuk menghadapi teman-teman
kamousnya yang akan berkomentar soal hubungannya dengan Hyo Seop. Dia tidak ingin mereka
ikut campur. Dia tidak ingin mereka berusaha untuk mengetahui sudah sejauh apa hubungan
yang ada diantara dirinya dan Hyo Seop.

Semalam kami sama sekali tidak mabuk. Semuanya terasa tidak terburu-buru atau
dipaksakan.

Aku tidak dipermainkan olehnya kan?

Dia tidak mungkin mempermainkanku kan?

Tapi…bisa saja.

Haruskah aku keluar dari persembunyianku?

Aku tidak bisa menghindar terus seperti ini.

Lebih baik aku bersikap seolah tidak ada apa-apa.

Iya, begitu saja.

Eun Jae dengan segala pikirannya yang berantakan akhirnya memutuskan untuk keluar
dari persembunyiannya.

Nafasnya berhenti. Jantungnya berdegup dengan kencang. Hyo Seop sudah menunggu
dirinya di depan pintu masuk toilet wanita. Dia langsung menghampiri Eun Jae, dia
menatapnya lekat-lekat dan kedua tangannya menggenggam kedua lengan Eun Jae erat.

“Kenapa kau menghindar lagi?” tanyanya dengan tenang.

Eun Jae menggigit bibir bawahnya. “Jangan bicarakan itu disini. Semua orang bisa
mendengar,”

Paul berdecak. “Kenapa memangnya? Tidak ada yang salah jika mereka mendengar.
Biarkan mereka tahu.”

Eun Jae menghindari tatapan Hyo Seop kepadanya. Dia tidak bisa mengeluarkan apa-
apa dari mulutnya. Semua orang mulai mengelilingi mereka dan ini sangat memalukan.

“Eun Jae-ya, bukankah kita sudah sepakat? Hmm?”

Dia masih memilih untuk diam.


“Kau serius denganku kan?” tanya Hyo Seop lagi kali dengan suara yang sedikit
dibesarkan. Kedua tangannya yang masih menggenggam lengan Eun Jae, perlahan-lahan
bergerak untuk memberikan ketenangan padanya. “Lihat aku saja. Kemudian jawab
pertanyaanku barusan.”

Mendengar perkataan Hyo Seop barusan membuat keberanian Eun Jae muncul
perlahan-lahan. Dia menatap laki-laki di hadapannya, kemudian menganggukkan kepalanya.
“Iya,” ucapnya perlahan. “Maaf, aku tidak bermaksud untuk menghindar. Ini hanya sedikit,
tidak nyaman untukku.”

Hyo Seop tersenyum dan langsung mengusak rambut Eun Jae. Dia melepas varsity yang
dirinya gunakan. Tanpa berpikir panjang, Hyo Seop memakai varsity itu pada Eun Jae dan
menggenggam tangan kanannya dengan erat.

“Lihat aku saja, Cha Eun Jae. Biarkan mereka iri denganmu,” bisiknya di telinga Eun
Jae dengan jahil. “Jangan ragu kepadaku, kau yang lebih mengenal diriku seperti apa.”

Benar.

Eun Jae tersenyum malu. Dia menganggukkan kepalanya.

“No more excuses?” tanya Hyo Seop.

Eun Jae menggelengkan kepalanya.

“You sure? With us?”

Eun Jae menganggukkan kepalanya.

Dengan begitu, Hyo Seop tersenyum dan mengajaknya pergi dari kerumunan orang-
orang yang sibuk berdesas-desus.

Perlahan, Eun Jae melihat pada Hyo Seop yang masih menggenggam tangannya dengan
erat. Perasaan takutnya pun ikut menghilang dengan perlahan, tergantikan dengan perasaan
hangat. Dia mengangkat tangannya yang sedang digenggam oleh Hyo Seop, lalu mencium kedua
tangan mereka.

Mereka tertawa bersama dan mengabaikan orang-orang di sekitar mereka.

This is enough. No more excuses.

-Fin.

17. Vengeance

18. Love

(By : Astawwy)

Banyak sekali yang sering bertanya pada Ji Woo, diantara dirinya dan Haneul, siapa
yang lebih sering mengalah dan siapa yang paling sering marah. Jujur saja, untuk kedua hal itu
menurut Ji Woo, dia tidak bisa memilih siapa yang lebih sering mengalah atau marah. Karena
mereka berdua selalu berusaha untuk mengalah setiap kali mereka sedang bertengkar. Sebisa
mungkin, mereka tidak akan mengatakan hal-hal yang nantinya bisa memberikan efek buruk
pada hubungan yang mereka jalani. Semarah apa pun Ji Woo pada Haneul, atau sebaliknya,
mereka akan selalu berusaha untuk tidak terlalu membawa perasaan buruk itu terlalu lama di
dalam hati.
Entah karena apa, Ji Woo bisa merasakan bahwa dirinya sendiri juga menjadi lebih bisa
mengontrol emosi sejak ia mengenal Haneul. Dan sepertinya, Haneul pun mungkin juga
merasakan hal yang sama. Mereka sudah sepakat bahwa hubungan yang mereka jalani bukan
soal siapa yang lebih harus diperlakukan dengan baik, tapi bagaimana mereka berdua bisa
sama-sama memberikan yang terbaik untuk satu sama lain.

Itulah mengapa, disaat mereka sedang bertengkar, Ji Woo seringkali merasa takut atau
bingung harus berbuat apa untuk membuat Haneul tidak marah atau kesal lagi terhadapnya. Ji
Woo lebih sering diam, menunggu keadaan terasa mulai mereda, dan kemudian mengajak
Haneul untuk berbicara baik-baik mengenai masalah yang membuat mereka bertengkar.

Sedangkan Haneul, dia lebih sering langsung menghampiri Ji Woo dan meminta maaf
jika dia memang salah. Atau dikala Ji Woo sedang berbuat salah, Haneul adalah orang pertama
yang akan berkata jujur kepada kekasihnya mengenai perasaan yang dia rasakan. Jika dia
marah, dia akan bilang. Jika dia kesal dan kecewa, dia akan bilang kepada Ji Woo.

Haneul adalah manusia yang jujur dan manusia yang paling sadar untuk Ji Woo. Dia
tidak pernah membesarkan suaranya atau membentak Ji Woo. Setiap kali, dia marah, hal
terparah yang Haneul lakukan adalah diam. Walaupun begitu, Haneul akan tetap menghubungi
Ji Woo dengan mengirimkan pesan. Hanya itu.

Akan tetapi, pertengkarannya kali ini, Haneul sedikit berbeda. Dia tidak menghubungi
Ji Woo sama sekali, dia tetap diam dan menghilang.

Untungnya, Young Soo membantu Ji Woo untuk membawanya ke KHPO dan bertemu
dengan Haneul. Saat ia bertemu dengan Haneul, rasa takut dan gelisah itu semakin terasa. Ji
Woo berusaha untuk mengajaknya berbicara walaupun ragu. Untungnya lagi, ternyata Haneul
tidak diam ketika Ji Woo ajak bicara.

Mungkin dia sudah mulai bisa diajak bicara.

Ji Woo kembali ke KCHC bersama dengan Young Soo sekitar pukul empat. Dia berterima
kasih kepada sahabatnya karena sudah membantu dirinya dengan Haneul. Kemudian, Ji Woo
kembali melanjutkan pekerjaannya sampai pukul tujuh malam tiba.

Dan benar saja, handphone Ji Woo berbunyi. Ada satu pesan dari Haneul.

From : My Sky

On the way there.

Ji Woo tersenyum. Rupanya, Haneul sudah mulai memperlakukan dirinya seperti


biasanya. Cepat-cepat Ji Woo melepas kontak lensnya dan mengganti menjadi kacamata
bacanya saja. Dia juga menyisir rambutnya lagi supaya terlihat lebih rapih. Tidak lupa untuk
memakai sedikit lipstick supaya tidak terlihat kumal.

Tidak lama kemudian, Haneul sudah sampai di tempat biasa dia menjemput Ji Woo.
Saat mereka kembali bertemu di mobil, Haneul langsung menyambut Ji Woo dengan
memberikan kecupan di pipinya. Dia tersenyum dan berkata, “Kita berangkat?”

Melihat Haneul sudah kembali seperti biasa, membuat Ji Woo senang. Dia membalas
senyuman kekasihnya dengan tawa. “Berangkat!”

Ji Woo sudah tahu Haneul akan mengajaknya makan malam kemana. Mereka memakan
makanan kesukaan Haneul, black pudding soup yang hangat. Selama makan malam
berlangsung, Ji Woo mengajak kekasihnya untuk membicarakan hal-hal yang menyenangkan
dan bahkan merencakan liburan mereka di bulan Juli nanti. Suasana canggung mereka tadi
siang, menghilang begitu saja. Haneul tidak lagi diam, dia justru tertawa terus setiap kali Ji
Woo membuat lelucon.

“Haneul-ah, kita mampir ke took cookies kesukaanmu dulu ya,” kata Ji Woo saat
mereka baru saja masuk ke dalam mobil setelah selesai makan malam.

Haneul terheran. “Kau ingin membeli kue? Jam segini? Bukannya kau sedang diet?”

Ji Woo menggelengkan kepalanya. “Bukan untukku. Untukmu.”

“Loh? Tumben sekali kau membelikanku makanan manis malam-malam,” kata Haneul
semakin heran.

“Besok itu valentine. Sudahlah, kalori cookies tidak lebih besar dari coklat.”

Haneul langsung tertawa dengan kencang mendengar ocehan Ji Woo. “Oke, oke. Kita
kesana ya,” katanya.

--

Mereka sampai di apartemen Haneul pukul sebelas malam. Ji Woo membelikan Haneul
cookies kesukaannya sebanyak dua kotak. Hal yang tidak pernah dia lakukan untuk kekasihnya,
selama mereka berpacaran hampir selama tiga tahun. Setiap valentine, Ji Woo selalu
membelikan Haneul jam atau baju atau sepatu. Begitu juga dengan Haneul yang selalu
membelikan Ji Woo sepatu atau topi atau baju atau bunga.

Ji Woo baru saja selesai mandi dan berganti pakaian. Dia mengambil kaus biru tua yang
sering Haneul gunakan untuk tidur. Malam ini, giliran Ji Woo yang akan memakai kaus itu.

“Aku sudah menaruh itu di tempat cucian kotor, Noona. Ambil bajuku yang lain saja,”
kata Haneul sebelum dia masuk ke kamar mandi.

Namun, Ji Woo tidak mendengarkan Haneul. Dia lebih suka menggunakan baju yang
sudah Haneul pakai dibandingkan baju yang baru dia ambil dari lemari.

Sambil menunggu Haneul selesai mandi, Ji Woo merapihkan meja kerja Haneul dan
tempat tidur saja. Meja kerja Haneul penuh dengan kertas serta lensa-lensa kamera yang
tergeletak dimana-mana. Ada juga kamera instax yang belum Haneul masukkan lagi ke
tempatnya. Beberapa foto Ji Woo dan Haneul yang diambil menggunakan instax masih
berserakan di meja kerja Haneul. Semuanya Ji Woo rapihkan sampai rapih. Supaya, Haneul
bisa bekerja dengan nyaman.

Selesai merapihkan meja kerja Haneul, ia membersihkan tempat tidur Haneul.

Ji Woo menepuk-nepuk bantal tidur Haneul supaya lebih empuk untuk digunakan.
“Aigoo, tumben sekali dia berantakan seperti ini,” ujarnya yang masih sibuk merapihkan
tempat tidur.

Tiba-tiba, dua lengan panjang melingkari pinggang Ji Woo dengan erat. Tentu saja, Ji
Woo tahu siapa pelakunya. Dia tersenyum dan mengelus lengan Haneul yang melingkari
pinggang dan perutnya. “Ya, Lee Haneul. Gunakan bajumu dulu, rambutmu masih basah.”

Haneul menghirup perpotongan leher Ji Woo dan meletakkan dagunya di pundak Ji


Woo. “Tidak mau,” katanya dengan malas.
Semua orang selalu menganggap, Haneul lebih dewasa dari Ji Woo walaupun dia lebih
muda dari Ji Woo. Tapi, sesungguhnya, Haneul tetaplah Haneul. Ketika tidak ada orang-orang
melihat mereka, Haneul akan bersikap manja seperti sekarang.

“Kita belum selesai membicarakan masalah kita, Lee Haneul.” Ujar Ji Woo.

Haneul masih nyaman mendekap Ji Woo. “Aku hanya lelah dan aku memang tidak
nyaman melihatmu dengan klien laki-laki. Hanya itu saja,” jawab Haneul seadanya.

“Bohong,” Ji Woo melepas pelukan Haneul dan memutar badannya untuk menghadap
Haneul. “Kenapa kau diam saja? Seharusnya kau melarangku atau memarahiku atau melakukan
sesuatu seperti yang biasa kau lakukan.”

Haneul menatap Ji Woo. Matanya terlihat lebih tenang kali ini. “Kalau aku
melarangmu, kau pasti akan marah. Kalau aku memarahimu, nanti apinya semakin besar. Aku
diam karena aku ingin tahu, apakah kau akan mencariku atau tidak,” ujarnya panjang lebar.

“Kenapa kau tidak menghubungiku? Aku pikir kau benar-benar marah,” tanya Ji Woo
lagi.

“Oh, kalau itu,” Haneul menggaruk lehernya yang tidak gatal. “Aku memang sedang
sibuk dengan urusan di kantor. Ada banyak pekerjaan yang terus-menerus membuatku kesal.
Jadi, dari pada aku melampiaskan semua kekesalanku kepadamu, lebih aku diam saja. Ini
pertama kalinya kan aku diam dan membiarkanmu untuk mencariku lebih dulu?”

Ji Woo menganggukkan kepalanya. “Jangan begitu lagi. Aku bingung menyelesaikan


masalah kita seperti apa.”

Haneul menangkup wajah Ji Woo. “Iya, maafkan aku ya.”

“Jadi, kau tidak marah lagi kan kepadaku?” tanya Ji Woo. “Aku sudah mengajak
asistenku untuk ikut denganku saat perjalanan bisnis nanti. Tenang saja, oke?”

Sikap khawatir Ji Woo membuat Haneul gemas. Dia berdecak, “Iya, boleh. Aku percaya
kepadamu, Noona.”

Ji Woo yang merasa senang langsung berjinjit dan mencium bibir Haneul. Kemudian,
mereka berciuman untuk beberapa kali, tidak terburu-buru, namun pergerakannya juga tidak
terlalu lama. Mereka terus melakukan itu sampai akhirnya Haneul yang melepas lebih dulu. Dia
menempelkan keningnya dengan Ji Woo. Mereka berdua mencari oksigen setelah kegiatan yang
baru saja mereka lakukan.

“Kebetulan aku belum menggunakan baju dan hanya menggunakan handuk ini saja,”
bisik Haneul di telinga Ji Woo. “Dan lima belas menit lagi empat belas Februari. Ada baiknya,
kalau kau menuruti keinginanku, Noona.”

Mendengar perkataan Haneul barusan, Ji Woo langsung tertawa dan melingkarkan


lengannya di leher kekasihnya. “Boleh,” ucapnya. “Kebetulan juga, besok hari Sabtu.”

“Yes!” seru Haneul yang langsung mengangkat tubuh kecil Ji Woo dan meletakkannya
dengan pelan di tempat tidur mereka.

Ji Woo tersenyum dan mengecup bibir Haneul dengan lembut. “I love you.”

Haneul membalas senyuman Ji Woo. “I love you too.”

- Fin.
19. Tears
20. My Inspiration

21. Never Again

(by Astawwy)

Ya sudahlah, dari pada tidak ada jalan keluar, lebih baik Eun Jae mengeluarkan sedikit
uang untuk membayar iuran dana mobilnya. Malam ini, ia berniat untuk mengajak Woo Jin
makan malam sepuasnya dan mungkin jika tidak ada panggilan dari rumah sakit, ia ingin
mengajak Woo Jin menonton film di bioskop. Sebenarnya, Eun Jae juga tidak tahu kegiatannya
malam ini bersama pria itu disebut kencan atau bukan, intinya ia ingin menghabiskan waktu
bersama Seo Woo Jin tanpa harus memikirkan tentang pekerjaan mereka.

Membayangkan akan seperti apa nanti bersama Woo Jin saja sudah membuat kupu-
kupu di perut Eun Jae berterbangan. Tadi di perjalanan menuju tempat pengambilan mobil,
Eun Jae sesekali melirik pria yang akan menghabiskan malam bersamanya. Penampilan Woo Jin
malam ini sangat rapih dan menarik. Jarang sekali, ia bisa melihat Woo Jin berpakaian seperti
sekarang. Rambutnya rapih, wajahnya tidak terlihat lelah, dan tentunya aroma tubuh Woo Jin
terhirup oleh Eun Jae. Rasanya, ia ingin terus melihat Woo Jin dengan penampilan seperti ini.

Dia keluar dengan mengantongi kunci di tangannya. Sudah siap untuk menghabiskan
malam bersama pria yang sejak tadi sudah menunggunya mengurus mobil.

Namun, ketika Eun Jae sampai di tempat Woo Jin menunggu dirinya, pria itu
menghilang. Sosok tinggi itu tidak ada di tempatnya menunggu.

Dan seketika, jantung Eun Jae berdebar dengan cepat. Perasaannya menjadi gelisah, ia
panik. Matanya mencari ke kanan dan kirinya, berharap ia bisa menemukan jejak atau
bayangan apa pun yang menunjukkan keberadaan Woo Jin.

“Seo Woo Jin?” panggil Eun Jae sambil terus mencari ke sekitarnya.

Ia terus memanggil nama itu dan berusaha mencari sosok Woo Jin.

“Ya, Seo Woo Jin! Kau dimana?!”

“Seo Woo Jin!”

--

Kejadian beberapa hari yang lalu masih berputar di dalam ingatan Eun Jae. Dia tidak
akan pernah bisa melupakan kejadian itu. Sampai sekarang, Eun Jae masih tidak habis pikir,
bagaimana mungkin ia bisa sampai lengah.

“Cha Eun Jae,” panggil Kim Sabu.

Cepat-cepat Eun Jae menggelengkan kepalanya dan melihat Kim Sabu yang sekarang
sedang berada di sampingnya sambil membaca beberapa laporan yang dia dapatkan dari suster
penjaga.

Eun Jae menunggu Kim Sabu selesai membaca.

“Aku mencarimu di ER, dan rupanya dugaanku benar,” kata Kim Sabu yang masih sibuk
membaca laporan. “Kau ingin ikut denganku ke dalam?”

Eun Jae yang pikirannya sedang tidak tenang, tidak bisa mengerti ucapan yang
dikatakan oleh Kim Sabu barusan. Dia terdiam dan menatap Kim Sabu dengan bingung.
“Ikut aku ke dalam untuk memeriksa Seo Woo Jin. Mau?” kata Kim Sabu lagi. Kali ini
dia sudah tidak membaca lagi, dia menatap Eun Jae dengan tatapan khasnya. Tatapan serba
tahunya yang sering membuat Eun Jae merasa segan. Namun saat ini, Eun Jae sama sekali
tidak bisa merasakan apa-apa selain khawatir dan takut.

“Jangan takut, Cha Eun Jae,” sekali lagi Kim Sabu berucap. “Anggaplah kali ini kau
masuk ke dalam bersamaku bukan sebagai dokter.”

“Maksudnya? Maaf, aku sedang tidak bisa mencerna apa-apa dengan baik, Kim Sabu…”

Kim Sabu menghela nafasnya dengan panjang. “Masuklah ke dalam bersamaku. Tenang
saja, kau tidak akan aku suruh untuk berbuat apa-apa selain mendengarkan.”

Belum sempat Eun Jae menjawab, Eun Tak ssaem datang dengan membawa beberapa
alat pemeriksaan.

“Kau ikut dengan kami, Cha ssaem?” kata Eun Tak ssaem menawarkan.

Kim Sabu melihat Eun Jae yang terpaku. “Iya, dia ikut.”

Dan disinilah mereka sekarang. Eun Jae yang berdiri di sisi sebelah kanan tubuh Woo
Jin yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Sedangkan Kim Sabu berada di sebelah kiri
bersama dengan Eun Tak ssaem untuk memeriksa keadaan Woo Jin. Dia mengecek denyut
jantung Woo Jin, melihat luka-luka serta beberapa bagian tubuhnya yang masih terbalut oleh
perban. Kim Sabu meminta Eun Tak ssaem untuk mengganti perban Woo Jin.

“Aku sudah selesai memeriksa,” kata Kim Sabu kepada Eun Jae. “Kau disini saja sampai
dua jam ke depan. Lagi pula ini bukan hari Jumat.”

Eun Tak ssaem yang sedang mengganti perbang Woo Jin tersenyum.

“Woo Jin tidak memiliki keluarga,” Kim Sabu menepuk pundak Woo Jin dengan pelan.
“Jadi, aku perbolehkan dirimu untuk menjaganya disini.”

Eun Jae mengganggukkan kepalanya dan mengucapkan, “Terima kasih, Kim Sabu.”

Tidak lama kemudian ketika Eun Tak ssaem selesai mengganti perban Woo Jin, dia
permisi untuk keluar lebih dulu.

“Tenang saja, Cha Eun Jae.” Kata Kim Sabu yang sekarang sudah berada di depan pintu
untuk keluar. “Ini bukan salahmu.”

Sekarang, tinggal Eun Jae saja yang berada di dalam ruang perawatan bersama Woo
Jin. Tidak ada yang bisa ia lakukan selalin melihat wajah Woo Jin dan menggenggam tangan
kanannya dengan erat. Sesekali, Eun Jae mencium pelupuk tangan Woo Jin dan menangis
dalam diam. Ada banyak penyesalan yang menggerogoti diri Eun Jae. Rasanya begitu
menyesakkan dan dia ingin membangunkan Woo Jin untuk mendengarkan semua yang
tersimpan di dalam hatinya.

Ada banyak kenyataan yang menyadarkan Eun Jae tentang seberapa pentingnya Woo
Jin untuk dirinya selama ini. Tentang seberapa pentingnya kehadiran Woo Jin di dalam
hidupnya sejak dulu. Tentang bagaimana hubungan mereka berdua yang tidak pernah jelas,
namun mereka akan selalu berakhir bersama-sama di tempat yang sama dengan perasaan yang
tidak pernah terucap.
Woo Jin yang tidak pernah marah kepadanya, Woo Jin yang tidak pernah sekali pun
menyakiti Eun Jae. Woo Jin yang tidak memiliki siapa-siapa selain orang-orang di Doldam dan
Eun Jae.

“Maafkan aku, Seo Woo Jin,” ujar Eun Jae. “Aku tidak akan melepaskanmu lagi.”

Tidak ada balasan dari Woo Jin.

“Belakangan hari ini, aku ditampar oleh banyak kenyataan,” katanya. “Aku tidak
pernah takut menghadapi ocehan Dr. Yang. Aku tidak ikut jika Dr. Park mengancam diriku yang
sudah memanggil para gangster itu untuk menyelamatkanmu. Aku tidak takut jika aku tidak
dibolehkan untuk bertugas di OR selama dua bulan.”

Masih tidak ada balasan dari Woo Jin. Yang terdengar hanyalah suara mesin pendeteksi
jantung. Dan itu semakin membuat Eun Jae frustasi.

“Ternyata tidak ada yang pernah membuatku benar-benar takut selama aku berada
disini,” kata Eun Jae. “Ternyata yang aku takuti adalah kau, Seo Woo Jin.”

“Aku takut kehilangan dirimu dari hidupku, Seo Woo Jin.”

Eun Jae menghela nafasnya untuk menahan isakan tangisnya. “Aku berjanji, aku tidak
akan pernah membiarkan dirimu menghadapi masalah-masalah itu sendirian lagi.”

“Kau tidak pernah keluar dari batasmu, Seo Woo Jin. Jangan terlalu beristirahat, aku
takut,” kata Eun Jae yang meletakkan telapak pria itu di pipinya. Dia meneteskan air matanya
dan memejamkan matanya yang sudah sangat lelah untuk menangis.

Tiba-tiba, Eun Jae merasakan ada pergerakan dari tangan yang menempel di pipinya.
Dia tidak ingin berhalusinasi, tapi lama-kelamaan pergerakan halus yang terus mengelus
pipinya yang basah terasa sangat nyata. Eun Jae membuka matanya dan menemukan Woo Jin
sedang menatapnya.

Woo Jin terbangun.

“Seo Woo Jin? Kau sudah sadar?”

Dia mengangguk dengan sangat pelan.

“Akhirnya,” kata Eun Jae yang langsung meletakkan tangan Woo Jin dan berdiri untuk
memanggil Kim Sabu. “Tunggu ya, aku panggil—”

Tangan Woo Jin menarik lengan Eun Jae. “Tidak perlu, Eun Jae.”

Eun Jae terheran. “Kenapa? Kau tidak sadarkan diri hampir lima hari, Seo Woo Jin.”

Woo Jin tersenyum tipis. “Duduk, Cha Eun Jae.” Katanya dengan suaranya yang
terdengar serak.

Entah mengapa, Eun Jae langsung menurut dan kembali duduk di samping Woo Jin.

“Kau minum dulu ya?” kata Eun Jae yang langsung mengambil gelas yang berisi air
mineral dan memberikan itu kepada Woo Jin. “Ayo, aku bantu dengan sedotan.”

Woo Jin berdecak. “Ya, Cha Eun Jae,” panggilnya.

“Ayo, minum. Suaramu serak sekali,” kata Eun Jae. Dia mengarahkan sedotan ke mulut
Woo Jin.

Selesai meminum air, Woo Jin menatap Eun Jae lekat-lekat. “Kenapa kau disini?
Seharusnya kau di ER, mereka membutuhkanmu disana.”
Eun Jae menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal. “Tidak, aku disini saja.”

Woo Jin memejamkan matanya. “Ya sudah, aku tidur lagi saja.”

“Maksudnya? Kenapa kau ingin tidur lagi?” tanya Eun Jae.

“Supaya aku bisa mendengar ucapanmu lagi,” kata Woo Jin. Dia masih memejamkan
matanya.

Wajah Eun Jae memerah, dia mengerti maksud Woo Jin. Kemudian, dia meraih tangan
Woo Jin lagi dan menggenggamnya. “Aku serius dengan semua ucapanku, Seo Woo Jin,”
katanya.

Woo Jin membuka kedua matanya. Dia menoleh dan menatap Eun Jae, tangannya yang
masih digenggam dengan erat oleh Eun Jae bergerak untuk menghapus sisa-sia air mata di
wajah perempuan itu.

“Aku tahu,” balas Woo Jin. “Jangan menangis, Cha Eun Jae.”

Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, Woo Jin memiliki seseorang yang
menangis untuknya dan takut kehilangan dirinya. Untuk pertama kalinya, Woo Jin merasa
bersalah karena telah meninggalkan seseorang dalam hidupnya.

Seperti Eun Jae yang berjanji tidak akan membiarkan Woo Jin sendirian menghadapi
semua masalah di hidupnya, Woo Jin pun berjanji untuk tidak akan pergi dari hidup Eun Jae.

-Fin.

22. Online

(by Rixxanna)

What if two bored college students who never met with each other with two different
backgrounds have a little chat on anonymous website like Omegle? Will a nice fate interwine?

LOG ON OHMYFRIENDS!

[SilverTweety entered the chat]

SilverTweety : if you’re looking for breast or crazy pervert things, just go away.

AutumnSky0411 : Feisty start, but nope. Aku tidak akan kemari kalau aku ingin mencari hal
yang kamu sebutkan itu

[SilverTweety is typing]

SilverTweety : Oh? Lalu..?

AutumnSky0411 : Hmm, mungkin aku sedang bosan dengan rutinitas kampus yang begitu-
begitu saja dan sometimes when nothing seems to entertain you, you gotta find it yourself.
Mungkin internet bisa menjadi tempat hiburan yang menarik. Kalau dirimu?

SilverTweety : Sepertinya hidupmu sedang membosankan. Tidak jauh dari dirimu, aku
hanya ingin mencari teman bertukar pikiran.

SilverTweety : Final exams period is coming, isn’t it? Kepalaku rasanya ingin meledak tiap
memikirkan ujian

SilverTweety : And my dorm doesn’t help. Semua orang terus membahas ujian, ujian,
ujian. Bahkan sampai makan di kantin pun masih membahas ujian.
SilverTweety : Ah, aku berbicara terlalu banyak, ya?

*di depan layar komputernya, sang lawan bicara tidak bisa menyembunyikan senyumnya*

AutumnSky0411 : Tidak, tidak. Aku senang kalau mengobrol denganku bisa membantu.
Memangnya, kau kuliah di jurusan apa?

AutumnSky0411 : Musim ujian dekat dengan libur Natal dan tahun baru memang
menyebalkan ya. Pikiranmu pasti sudah ingin liburan saja..

SilverTweety : Performing Arts. Jadi ya, begitulah, ujiannya merepotkan. Kamu?

SilverTweety : Ah, iya, betapa menyenangkannya jika bisa berlibur ke Bali…

AutumnSky0411 : Basketball. Aku setuju, paling menyebalkan ujian di musim dingin memang
hahahaha

AutumnSky0411 : Pecinta musim panas, I see…

SilverTweety : What’s not to love about summer? Kamu sepertinya pecinta musim gugur.
Melonkolis sekali, ya?

AutumnSky0411 : Blargh, terlalu banyak pertandingan basket di musim panas. Lagipula,


Autumn itu adalah nama anjing corgiku dirumah. Sok tahu :P

SilverTweety : Oh hahahahaa, jadi kamu adalah pemain basket yang melonkolis karena
memberi nama anjing corgimu Autumn.

AutumnSky0411 : Terserah kau saja, Nona penggemar Looney Tunes

SilverTweety : Eh? Aku tidak suka! Pasti karena namaku Tweety X(

AutumnSky0411 : Ah, atau karena kamu terlalu banyak bicara ya makanya disebut Tweety
oleh orang-orang..

AutumnSky0411 : Aku hanya bercanda, Tweety.

AutumnSky0411 : *shy* Aku tidak tahu harus memanggilmu apa, jadi kupanggil Tweety. Tidak
apa kan?

SilverTweety : X( karena kamu menemani ku ngobrol hari ini, jadi ku ampuni Mr. Sky

AutumnSky0411 : Mr Sky? It sounds nice coming from you.

[SilverTweety is typing..]

[SilverTweety is typing..]

AutumnSky0411 : Sorry..

SilverTweety : ???

AutumnSky0411 : Pasti kamu merasa aneh ya mendengar ucapanku tadi? Aku tidak
bermaksud

SilverTweety : It’s Okay. You’re a great companion for tonight Mr. Sky

AutumnSky0411 : 😊

SilverTweety : Don’t act all corny, Sir. Anyway, kamu berkuliah dimana? Sepertinya
kampusku sebentar lagi akan mengadakan Midwinter Sports Festival. Siapa tahu kamu ikut
berkompetisi di kampusku
AutumnSky0411 : Heol… No Way

AutumnSky0411 : Midwinter Sports Festival Dong-ik University?? You go there?

SilverTweety : Performing Arts DIU… that’s the one.

AutumnSky0411 : Heol, heol, heol… :O At this rate, kamu mungkin pernah melihatku
memakai pie apel di Nana by the Street. I’m practically living there eating all their cakes

AutumnSky0411 : Sebelum kamu protes, tapi sebagai mahasiswa olahraga yang rutin
berolahraga setiap hari, apple pie itu tercerna dengan baik *thumbs up*

SilverTweety : Good for you. Tapi, for real, mungkin saja aku sudah berpapasan
denganmu di Anna by The Street. Setiap ada tugas diskusi atau sekedar belajar untuk
asessement aku biasanya menghabiskan waktu di Nana by The Street

AutumnSky0411 : Isn’t it amazing? Anyway, aku jadi penasaran..

AutumnSky0411 : Bagaimana kalau kita bertemu?

[SilverTweety is typing..]

AutumnSky0411 : Only if you want…. *praying*

SilverTweety : Well…. :S

SilverTweety : Aku tidak yakin apa itu ide yang bagus, Mr Sky

AutumnSky0411 : Kenapa, kalau aku boleh bertanya?

SilverTweety : hmm, aku mungkin bukan perempuan sesuai ekspetasimu? Aku tahu
perempuan-perempuan standar pemain basket pastilah bukan dari jurusan performing arts

AutumnSky0411 : Kamu teman berbicara yang menyenangkan and why are we talking
about standard?

AutumnSky0411 : Apakah aku terdengar sebagai orang yang mementingkan standar,


Tweety?

AutumnSky0411 : Atau bagaimana kalau seperti ini saja. Kamu datang ke permainan
basketku di Midwinter SportsFest hari Minggu besok? Kamu bisa menebak nomor jerseyku
berapa dan jika tim basket DIU menang, bagaimana kalau kita bertemu di Anne by The Street?

SilverTweety : Hmmm…

SilverTweety : Bagaimana kalau jika aku berhasil menebak nomor jerseymu dan tim
basket DIU menang, aku akan meninggalkan undangan untuk kamu menonton recital ujian
performing arts milkku?

SilverTweety : Di undangan tersebut akan tertera namaku dan pada penampilan


keberapa aku akan tampil. It’s not for everyone but I think you are worth the shot, Mr Sky.

AutumnSky0411 : Whua, nice offer. And sounds like a deal. I’d better off to sleep and
practice early then. Thanks for tonight, Tweety. I’m really looking forward to see you.

SilverTweety : Sama juga denganku, Mr Sky. Goodluck

[AutumnSky0411 signed off]

[SilverTweety signed off]


“Ya! Im Dong Hyun! Kalau kau terus-terusan makan apple pie seperti ini, tubuhmu akan kebal
dan akan susah menurunkan berat badanmu. Kau tahu, kan?” seru Hyoseop setengah kesal
ketika menemani sahabatnya mengambil take away apple pie dari Anne by The Street.

Donghyun – pria yang ditegur oleh Hyoseop – hanya mengangkat bahunya, tidak mengambil
pusing ucapan teman satu team basketnya itu.

“Hari minggu kan kita harus tanding dengan KU, bagaimana mungkin mvp kita malah makan pie
terus-terusan seperti ini..”

Langkah Donghyun seketika terhenti. “Hyoseop-ssi, aku janji ini pie terakhir yang akan kubeli
hingga Midwinter SportsFest selesai.”

“Huuuu, mana mungkin..”

“Mungkin saja, karena seseorang berjanji akan memberikan undangan recital performing arts
nya kepadaku jika tim basket DIU menang.”

“Perempuan? Ya! Donghyun, mau kau kemana kan fans-fans gilamu?”

“Bilang saja kalau aku sibuk menonton looney tunes sekarang.”

Beberapa menit yang lalu..

Hyoseop berjalan menuju Anne by The Street tidaklah sendirian, melainkan bersama
kekasihnya Sungkyung yang juga bertujuan yang ke tempat yang sama. Bedanya, Hyoseop
hanya menunggu diluar sembari Donghyun membayar pesanan apple pie nya itu sedangkan
Sungkyung sudah memiliki janji dengan sahabat SMA nya, Jieun.

“Tumben sekali kamu ke Anne by The Street..” kata Hyoseop sembari merangkul pundak
Sungkyung.

“Jieun, dari dua hari yang lalu tidak henti-hentinya membombardir dengan pertanyaan tentang
basket.”

“Basket?” tanya Hyoseop terheran.

Sungkyung mengangguk. “Iya, dia kan tahu aku berpacaran denganmu.”

“Kalau begitu, Jieun harusnya bertanya saja padaku langsung. Bagaimana? Aku bergabung saja
dengan kalian, ya? Aku malas latihan lebih awal dengan Donghyun.”

“Ehey, pria dilarang ikut campur urusan wanita. Sudah sana, latihan. Bye Mr Ahn!” ucap
Sungkyung berjalan masuk ke Anne by The Street sembari memberi little heart sign.

Gadis bertubuh tinggi itu dengan cepat menemukan Jieun yang melambai setengah berdiri.
Sungkyung juga menemukan sahabat kekasihnya – Donghyun – yang sedang berjalan keluar.
Memberi anggukan singkat, Sungkyung lantas bergegas berjalan ke arah sahabat SMA nya yang
duduk di sudut belakang Anne by The Street.

“Ya, Lee Jieun tumben-tumbennya kau memanggilku kesini. Padahal sedang musim belajar
untuk belajar seperti ini.”

“Iya, maaf, maaf, med student sepertimu pasti sedang sibuk-sibuknya belajar.” Ucap Jieun
meminta maaf. “Tapi aku ingin bertanya soal tim basket..”

“Nah ini. Ada apa dengan dirimu dann basket, sih?”


Tidak perlu waktu yang lama untuk Jieun melimpahkan kisah chat nya dengan orang asing yang
ia temui di Omyfriends. Dan Sungkyung, hanya bisa bergidik dan tertawa mendengar cerita
sahabatnya itu.

“Jadi katakan, Sungkyung-ah, apakah ada pemain basket di DIU dengan nomor punggung 04
atau 11?”

“Kau sungguh ingin tahu?”

Jieun mengangguk dengan semangat.

“Well, nomor 11 ada. Nomor 4 tidak ada…and I may or may not know that someone.”

“Siapa, spill the name, for god’s sake Lee Sungkyung!”

“Well, you ought to know by yourself hari Minggu nanti. Kau bareng aku saja. And one more
thing, Jieun-ah you’re on to someone big you know..” kata Sungkyung sembari bergegas
berdiri.

Meninggalkan Jieun semakin penasaran dan penuh tanda tanya.

Like fate that brings Anne in the Street as a place where people meets.

Fate also plays in time and chances on when people meet.

Although before they bump into each other quite often.

FIN.

23. Failure

(by : Astawwy)

Sampai kapan?

Seringkali pertanyaan itu muncul di dalam benaknya. Setiap saat, setiap sedang
terdiam dan tidak berusaha untuk memikirkan sesuatu, justru pikiran-pikiran yang tidak
seharusnya dipikirkan malah hadir. Ini bukan soal belum bisa melupakan, bukan juga soal
mengecewakan hati orang lain. Ini soal perasaan yang harus terpaksa berhenti di saat harapan
sudah berada sangat jauh dalam hati.

Ketika orang-orang, satu persatu mengirimkan pesan setelah sekian lama tidak bertemu
lalu berlanjut dengan menanyakan kabar dan berakhir dengan memberikan berita pernikahan
mereka, Jieun masih berada di tempat yang sama.

Dia tahu, ini merupakan kutukan abadi untuknya. Seperti kodrat yang telah dituliskan
pada setiap manusia yang telah melewati masa tiga puluh tahunnya, kemudian belum juga
menemukan soulmate mereka akan berakhir hidup sendiri hingga tua nanti. Sejak kecil, Jieun
sudah tahu kalau setiap orang pasti sudah memiliki soulmate yang telah diciptakan oleh Sang
Pencipta. Tinggal mereka sendiri yang mencoba untuk mencari sendiri, atau bahkan jika kau
beruntung, kau bisa langsung menemukan soulmate yang tercipta untukmu. Cara untuk
mengetahui seseorang adalah pasangan kita, sebenarnya tidak bisa dibilang mudah dan tidak
bisa dianggap sulit juga. Tergantung pada individu itu sendiri, kalau kata Ibu Jieun dulu.
“Kau akan mengetahui kalau dia adalah belahan jiwamu, ketika kau mencintainya
lebih dari tiga ratus enam puluh lima hari. Kalau kau memang mengakui perasaanmu
padanya, maka tanda belahan jiwamu akan terlihat dengan sendirinya.”

Awalnya, Jieun tidak percaya. Seiring waktu berjalan, sekarang setiap kali dia sedang
mencoba untuk berkencan dengan seseorang, dirinya akan selalu membeli kalender dan
menghitung hari. Malah jadi terkesan memaksakan keadaan, tanda belahan jiwa itu tidak
pernah muncul di pergelangan tangannya.

Jieun tidak pernah bisa melihat seperti apa tanda belahan jiwa yang sering orang-orang
terlihatkan kepadanya. Jieun tidak pernah bisa merasakan jantungnya berdegup dengan
kencang untuk pertama kali ketika merasakan rasa hangat ketika tanda itu muncul di
pergelangan tangannya. Jieun tidak pernah bisa menikah seperti teman-temannya yang
mendapatkan soulmate mereka di usia sebelum tiga puluh tahun.

Apakah ini semua memang kutukan darinya?

Sial, dia kembali memikirkan itu lagi. Kenapa pikiran yang telah lama Jieun usahakan
untuk dihapus dari otaknya, malah kembali muncul beberapa hari ini? Kenapa dia masih saja
berpikir bahwa penolakannya bertahun-tahun lalu adalah kutukan yang menjadikannya
sendirian seperti sekarang?

“Maaf, apakah aku boleh duduk disini?”

Suara itu. Aku kenal suara itu.

“Tidak boleh?” orang itu kembali bertanya pada Jieun. “Disana sangat ramai, aku tidak
mungkin duduk di sebelah sana karena—”

Jieun perlahan mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk. Dia sedikit menaikkan
topinya untuk memperjelas penglihatannya, dia ingin tahu siapa pemiliki suara yang sangat
dirinya kenali itu. Hatinya berharap kalau dirinya hanya sedang berhalusinasi saja, tidak
mungkin—

“Noona?”

Mata mereka bertemu, mereka saling menatap satu sama lain. Laki-laki yang Jieun
harapkan bukan seseorang dari masa lalunya, adalah…laki-laki masa lalunya. Sosok tinggi itu
berdiri di hadapannya, menggunakan topi seperti Jieun supaya tidak ada orang yang menyadari
keberadaannya.

“Dohyun?”

Dia tersenyum simpul kepada Jieun dan memberikan salam dengan sopan. “Maaf, aku
tidak mengenalimu karena kau juga berpenampilan sepertiku disini.”

Jieun menggelengkan kepalanya. “Ah, tidak masalah.” Ucapnya yang kemudian


menepuk bangku di sebelahnya. “Silahkan, tempat ini kosong.”

Dohyun tersenyum lagi dan berterima kasih kepada Jieun, lalu duduk di sampingnya.
Pergerakannya terlihat sangat santai, seolah tidak pernah ada sesuatu di antara mereka.
Berbeda sekali dengan Jieun yang malah merasa canggung, telapak tangannya mulai terasa
basah.

Baru beberapa detik lalu, Jieun memikirkan orang itu. Sekarang orang itu malah
muncul dengan tiba-tiba dan membuatnya ingin segera berlari dari sini. Seketika dia ingin
segera mendengar pengumuman dari pihak bandara bahwa pesawatnya sudah bisa dinaiki. Tapi
sayangnya, itu masih sekitar tiga puluh menit lagi. Dan sekarang yang hanya Jieun bisa lakukan
hanyalah duduk berdua dengan Dohyun sambil menunggu panggilan keberangkatannya.
“Kemana tujuanmu?” tanya Dohyun pada Jieun yang sejak tadi memalingkan
pandangannya ke samping.

“Macau,” jawab Jieun. “Kau?”

“Hongkong.”

“Urusan pekerjaan?”

Dohyun menggeleng. “Bukan, pernikahan temanku.”

“Sama, aku juga ke pernikahan temanku.” Jieun berdecak karena kebetulan yang
sangat aneh di antara mereka berdua.

“Kau sendirian saja? Hanteo Hyung kemana?”

“Ini pernikahan teman kecilku, tidak perlu mengejak manager kan?” jawab Jieun.
Kemudian sebuah rasa penasaran muncul dalam benaknya, dia langsung bertanya lagi pada
Dohyun. “Kalau kau, juga sendirian? Teman dekat juga yang menikah?”

Dohyun menghela nafasnya, lalu menjawab, “Teman sekolahku di SMA dulu, kita tidak
begitu dekat tadinya tapi karena dia memohon-mohon kepadaku untuk datang jadilah aku
datang. Kebetulan aku sedang ingin berlibur juga.”

Refleks, Jieun langsung berdecak. “Ternyata kau masih memikirkan kepentingan orang
lain seperti dulu rupanya.”

Ucapan Jieun barusan membuat Dohyun menoleh untuk menatapnya.

“Ah, maaf, aku tidak bermaksud…”

Dohyun menaikkan sebelah ujung bibirnya, masih menatap Jieun dengan sama. “Kau
juga sama. Masih tahu kebiasaan burukku padahal bukankah seharusnya kau sudah lupa?”

Jieun tertegun. Dia tidak tahu harus merespon apa.

“Sudahlah, tidak perlu kau pikirkan. Aku hanya bercanda.” Kata Dohyun lagi.

Kenapa kau bodoh sekali, Lee Jieun? Kenapa kau berucap seperti tadi padanya?

Keheningan kembali mengisi di antara mereka. Dohyun sibuk dengan ponselnya, entah
apa yang bisa membuatnya sangat betah memainkan benda itu. Dan Jieun? Apa yang dia
lakukan? Dia mengunci mulutnya, dan memperhatikan Dohyun secara diam-diam. Menelusuri
apa saja yang telah dia lewati sejak hari terakhir mereka bertemu.

Cukup banyak yang telah berubah dari Dohyun. Pembawaannya, cara dia bersikap dan
penampilannya pun sangat berbeda. Tidak seperti dulu ketika Jieun pertama kali bertemu
dengannya yang saat itu masih sangat “baru” dan penuh semangat. Dohyun yang sekarang
berada di sampingnya, sama sekali tidak terlihat seperti yang dia kenali bertahun-tahun lalu.

“Jangan menatapku seperti itu, jika ada yang ingin kau bicarakan bersamaku,
bicarakan saja.” Kata Dohyun tanpa melepas pandangannya dari ponselnya.

Jieun berdeham. “Kau berbeda sekali sekarang rupanya….” Ucapnya dengan jujur.
“Berbeda dengan yang dulu selalu menggangguku setiap malam.”

“Tenang saja, aku tidak akan menganggumu lagi,” Dohyun merespon cepat. “Itu kan
yang selalu kau inginkan?” dia melirik pada Jieun sebentar, sebelum akhirnya kembali
memperhatikan ponselnya.
Dohyun mengucapkan kalimat itu dengan sangat tenang, seperti tidak ada yang salah.
Seperti semuanya benar-benar telah berlalu. Seharusnya Jieun tidak perlu merasakan perasaan
aneh di dalam dadanya ketika mendengar ucapan Dohyun barusan.

“Sepertinya kau masih marah kepadaku…” ujar Jieun, berusaha supaya pertemuan
mereka setelah bertahun-tahun lamanya ini tidak berakhir meninggalkan kesan yang buruk.
“Atau kau ingin aku pindah saja dari sini? Aku bisa mencari tempat lain supaya—”

Dohyun menoleh, lalu tertawa pelan pada Jieun. “—kenapa kau harus pindah? Kau yang
lebih dulu disini,” katanya. “Dan tidak. Aku tidak lagi kecewa padamu, jika itu yang kau
pikirkan sejak awal aku menegurmu disini.”

Jieun kembali tertegun, mendengar kata kecewa dari mulut Dohyun, dia tidak tahu
harus berbuat apa.

“Bagaimana dengan mencoba membicarakan hal-hal menyenangkan? Aku lupa


menanyakan kabarmu juga,” Dohyun kembali bersuara. Kali ini dia terdengar lebih santai, dia
menyandarkan tubuhnya di bangku. “Apa kabarmu, Noona? Kau sedang sibuk apa sekarang?”

Dalam hitungan detik, Dohyun kembali menunjukkan sisi dirinya yang Jieun kenal dulu.
Sesaat yang lalu suasana dingin yang tercipta di antara terhapus begitu saja oleh Dohyun. Laki-
laki itu kembali bersikap seperti seseorang yang dulu selalu berusaha mengisi hari-hari Jieun,
walau hanya dengan menanyakan kabar dan menghubunginya melalui pesan-pesan singkat.

“Aku sedang dalam masa rehat,” jawab Jieun.

“Terakhir aku mendengar kabarmu, kau waktu itu baru saja selesai konser asia ya?”
Dohyun merespon. “Beberapa temanku di lokasi syuting bercerita kepadaku kalau mereka
sangat terhormat bisa mendapatkan kesempatan datang ke konsermu. Biasalah, ujung-
ujungnya mereka akan mengungkit keberuntunganku bisa mengenalmu lewat drama kita dulu.”

Jieun memaksakan senyumannya, begitu mendengar cerita Dohyun. Entah apa yang ada
di dalam hatinya sekarang, tapi yang Jieun tahu dirinya sekarang merasakan ada perasaan aneh
yang hadir secara tiba-tiba.

“Lalu kau jawab apa?” tanya Jieun sedikit ragu.

Dohyun tersenyum. “Aku jawab, tentu saja aku sangat beruntung bisa bertemu
denganmu. Semua orang masih menganggap kita dekat, aku biarkan saja mereka berspekulasi
seperti itu.”

Kali ini benar-benar tidak ada nada yang mencurigakan dari cara Dohyun berucap.
Sama sekali tidak ada maksud untuk menyinggung apa-apa. Jieun tahu itu, dia bisa melihat
dari cara Dohyun berbicara kepadanya tadi.

“Kau yang menghilang dan memutuskan kontak denganku lebih dulu, Dohyun-ah,” kata
Jieun sambil membalas senyuman laki-laki itu.

Dia menganggukkan kepalanya. “Benar, aku yang pergi lebih dulu.” Katanya tanpa
menunda. “Empat tahun kurang lebih?”

“Iya,” Jieun mengiyakan. “Empat tahun, terhitung dengan tahun ini.”

“Karena sudah empat tahun, berarti aku sudah boleh menanyakan ini kepadamu kan?”
tanya Dohyun.

Jieun terheran. “Bertanya apa?”


Jeda untuk beberapa detik, sebelum akhirnya Dohyun membuka mulutnya untuk
bertanya. “Kau sudah menemukan orang yang kau percaya sebagai soulmate mu? Apakah
selama aku pergi dari hidupmu, kau sudah menemukan orangnya?”

Terkadang, ada sebuah jawaban yang tidak perlu kau pikirkan berlama-lama hanya
karena kau sudah terlalu lama menyimpan jawaban itu untuk orang yang ingin kau
perdengarkan. Jieun tidak pernah menyangka bahwa orang yang ingin dia perdengarkan
rupanya adalah laki-laki yang sedang duduk di sebelahnya. Laki-laki yang dulu pernah mengisi
segala ruang dan waktu dalam hidupnya. Laki-laki yang dia kira tidak akan pernah mungkin
ingin dia perdengarkan bahwa dirinya sampai detik ini belum bisa menemukan belahan jiwa
itu.

Jieun menggelengkan kepalanya. “Belum, aku belum menemukannya.”

Dohyun hanya menganggukkan kepalanya, lalu perlahan dia menarik lengan baju
sebelah kanannya. Memperlihatkan sebuah tanda yang ada di pergelangan tangannya, tepat di
atas nadinya yang berdetak. Tanda bunga lilac kecil berwarna keunguan.

“Bagus, tidak?” tanyanya pada Jieun.

Sontak Jieun langsung merasakan rasa sesak dalam hatinya semakin menjadi. Mengapa
saat dia melihat tanda yang ada di pergelangan tangan Dohyun, hatinya merasa sakit?

Dia sudah menemukan belahan jiwanya.

“Iya, bagus sekali. Kau sudah menemukannya rupanya…”

Dohyun tersenyum dan mengelus tanda di pergelangan tangannya dengan pelan. “Aku
sudah lama mendapatkan ini. Sudah lama sekali, tapi sayangnya tanda ini sempat menghilang,”
dia berhenti sebentar untuk menatap Jieun. “Anehnya, siang ini aku kembali mendapatkan
tanda ini lagi.”

Jieun terdiam, mendengarkan penjelasan yang Dohyun ingin lanjutkan.

“Mungkin karena setelah bertahun-tahun menghilang dan berbohong pada diriku


sendiri, akhirnya semua itu terkalahkan dengan pertemuan singkatku denganmu siang ini.”

Hah?

“Apa maksudnya?” tanya Jieun tidak mengerti.

Dohyun tersenyum pada Jieun. “Tanda ini kau yang berikan padaku. Tanda ini hanya
akan muncul ketika aku berada di dekatmu. Dan tanda ini hanya akan muncul jika aku kembali
mengakui kalau aku masih memiliki perasaan kepadamu, seperti dulu.”

Tiba-tiba suara pengumuman dari pihak bandara memutuskan konsentrasi mereka.


Pihak bandara mengumumukan kalau pesawat keberangkatan menuju Hongkong sudah bisa
untuk dimasuki. Dohyun harus pergi sekarang.

Dia menghela nafasnya dengan panjang. “Ah, sudah waktunya untukku pergi,” katanya
sambil kembali menggulung baju lengan panjang yang dia gunakan agar tanda di pergelangan
tangannya tertutup. “Paling tidak aku sudah pernah memberitahukan orang yang ingin
kujadikan soulmate bahwa aku telah memiliki tanda ini. Sayang sekali aku tidak bisa bercerita
banyak denganmu. Mungkin lain kali? Kalau kita bertemu lagi?”

Dohyun berdiri dan mengulurkan tangannya pada Jieun. Mengajaknya untuk bersalaman
bersama. “Berdamai?” katanya masih dengan senyuman yang sama.
Jieun terdiam, dia tidak bisa merasakan apa-apa sejak tadi mendengar pengakuan
Dohyun akan tanda yang selama ini laki-laki tersebut miliki. Dia hanya bisa merasakan
perasaan sesaknya tergantikan oleh sebuah perasaan hangat yang belum pernah dirinya
rasakan sebelumnya. Pergelangan tangan sebelah kanannya pun ikut memanas, pertama
kalinya setelah seumur hidup Jieun tidak pernah merasakan itu.

“Noona? Kenapa kau diam saja?” tanya Dohyun.

Tanpa membalas pertanyaan laki-laki itu, Jieun perlahan menarik lengan baju
panjangnya untuk memastikan bahwa yang kali ini dia rasakan bukanlah sebuah kegagalan.
Jieun tidak ingin menyesal lagi, hanya sekarang waktu yang tepat untuk membuktikan bahwa
selama ini dia hanya sedang dikutuk.

Begitu pergelangan tangannya terlihat, Jieun terkejut. Tidak hanya dia, namun Dohyun
pun juga ikut terkejut melihat sesuatu yang bersinar dengan terang berbentuk awan kebiruan
tepat di atas nadi Jieun.

“Tunggu dulu. Itu tanda…yang kau miliki?” Dohyun terdengar tidak percaya.

Jieun mengangguk dengan lemas. “Ini pertama kalinya muncul….”

“Kau serius? Kau yakin dengan ucapanmu barusan?”

Jieun mengangguk lagi. Lebih yakin dari yang sebelumnya.

“Dohyun-ah…ini tanda yang kau berikan untukku!” serunya dengan kencang.

Mendengar itu, Dohyun langsung tertawa dan menarik Jieun ke dalam pelukannya. Dia
memeluknya dengan erat, seperti yang dulu pernah dirinya lakukan.

“Benar yang dulu aku bilang kan? Kau hanya perlu percaya denganku, jujur pada
perasaanmu dan kau akan menemukan jawaban yang selama ini menjadi pertanyaan
untukmu,” kata Dohyun di telinga Jieun.

Jieun menganggukkan kepalanya, merasakan sebuah kehangatan dan kelegaan yang


telah lama tidak bisa dia dapatkan. “Maafkan aku, Dohyun-ah. Seharusnya aku tidak
menolakmu. Seharusnya aku bisa lebih jujur pada diriku sendiri.”

“Tidak apa-apa, yang terpenting sekarang kita sudah sama-sama memperbaiki


kegagalan di masa lalu itu.”

-Fin.

24. Rebirth

(By : Astawwy)

Ada beberapa hubungan yang lebih dari sekedar persahabatan sejati, hubungan yang
tidak semua manusia miliki. Hubungan yang tidak memiliki nama, tidak memiliki derajat,
namun tetap mengandalkan perasaan. Hubungan yang tidak ada dinding pembatas, tidak ada
jarak. Hubungan yang lebih dari sekedar persahabatan sejati, hubungan cinta sejati, hubungan
antara dirimu dan mereka yang menyayangimu tanpa harus memiliki alasan jelas mengapa
mereka memilihmu sebagai orang kesayangan mereka. Tidak pernah ada perjanjian tertulis
ketika Go Wooyoung dipilih untuk diasuh sejak pertama kali dia bertemu dengan Hae Won
Maek, atau panggilan yang sering orang panggil, Lee Shin.
Go Wooyoung tidak pernah mempertanyakan mengapa dirinya bisa dipilih dan
mendapat hidup yang lebih dari kata cukup seperti sekarang bersama Hae Won Maek. Yang dia
tahu, Hae Won Maek memilihnya karena “pria tua” itu percaya padanya. Percaya akan apa?

Percaya, kalau Go Wooyoung akan mengunci mulutnya rapat, tidak diperbolehkan


untuk sekali pun memberitahu kepada orang lain mengenai hal-hal yang manusia tidak boleh
tahu. Sebutan Hae Won Maek saja, hanya boleh Go Wooyoung gunakan ketika mereka sedang di
rumah atau sedang berdua tanpa ada orang lain di sekitar mereka. Mengapa begitu? Karena
sebutan itu pemberian dari….apa ya? Sepertinya nanti saja dijelaskannya, sulit untuk
dijelaskan. Intinya, Hae Won Maek memiliki tujuan dalam hidupnya di bumi. Eksistensinya di
bumi memiliki alasan. Dan untuk menyelesaikan tujuan hidupnya, Hae Won Maek
mempekerjakan Go Wooyoung supaya bisa membantunya dalam urusan lain. Contohnya,
mengurus pembayaran tagihan sehari-hari mereka, membayar pajak, mengurus surat-surat
kuasa, dan masih banyak lagi.

Imbalan apa yang Go Wooyoung dapatkan dari bekerja sebagai “tangan kanan” seorang
Hae Won Maek? Banyak. Kehidupan yang layak, keluarga yang tidak pernah Go Wooyoung
dapatkan, pendidikan yang baik, uang yang berlimpah, adalah beberapa dari sekian banyak
yang telah dia dapatkan dari bekerja dengan Hae Won Maek.

“Semua urusan yang kau berikan kemarin, sudah selesai. Ini beberapa surat kuasa dari
perjanjian pembelian gedung dengan Mr. Kwon,” kata Wooyoung.

Seperti malam-malam kemarin, ketika Hae Won Maek sudah selesai “melakukan tugas”
dan kembali ke rumah, Go Wooyoung harus melaporkan semua pekerjaan yang diberikan
kepadanya. Pekerjaan yang membuatnya selama seminggu belakangan ini harus mengalah demi
menyelesaikan semua tanggung jawab dari Hae Won Maek. Membuat Go Wooyoung gagal untuk
mendatangi seseorang yang selalu menarik perhatiannya. Dan malam ini, setelah selesai
menyelesaikan urusannya dengan Hae Won Maek, dia ingin segera menghampiri orang itu. Di
tempat mereka selalu bertemu.

“Kau sudah pastikan kalau mereka tidak akan mencoba untuk mengetahui apa pun
tentangku?” tanya Hae Won Maek sambil menaikkan kedua kakinya ke atas meja kerjanya. Dia
mengambil pulpennya, lalu membuka tutup pulpennya dengan giginya.

Wooyoung mengacungkan jempolnya, lalu menjawab, “Tenang saja. Beres semuanya


denganku. Sekarang cepatlah tanda tangan supaya besok pagi bisa aku kirim lewat pos.”

“Aigoo, apakah semua anak muda jaman sekarang selalu terburu-buru setiap kali
malam datang? Kau ingin membuat masalah dimana lagi malam ini? Hah?” tanya Hae Won Maek
dengan santai tanpa melihat Wooyoung karena sibuk mendatangani surat kuasa.

Wooyoung tertawa singkat.

“Urus saja urusanmu sendiri, Hyung. Bukankah kau juga sering mengatakan itu
kepadaku?”

Mendengar Wooyoung memanggilnya Hyung, Hae Won Maek berhenti melakukan


kegiatannya sejenak. Dia terdiam beberapa saat.

Lalu, dia menatap Wooyoung dengan tajam.

“Kau ingin apa dariku? Cepatlah, aku sedang tidak ingin kau ganggu. Manusia yang aku
antar kemarin menyusahkanku. Aku tidak ingin berhadapan juga dengan kau malam ini, cepat
katakan. Kau ingin apa?”
Wooyoung tertawa dan menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku tidak menginginkan
apa-apa darimu. Aku hanya ingin memanggilmu Hyung. Bukankah kita sudah sepakat kalau aku
sudah boleh memanggilmu seperti itu di hadapan orang-orang?”

“Tapi sekarang tidak ada orang-orang. Jangan panggil aku Hyung. Aku bukan Hyung
mu.”

Perdebatan mereka akhirnya selesai ketika Wooyoung memutuskan mengalah saja dan
menunggu Hae Won Maek menandatangani semua dokumen yang harus dia tanda tangani.

“Oke, besok aku akan mengirim semuanya. Sekarang, biarkan aku pergi dan bersenang-
senang. Jangan hubungi aku, Hae Won Maek.” Kata Wooyoung.

Hae Won Maek berdecak. “Dasar tidak tahu diri.”

“Ah, aku lupa bilang,” kata Wooyoung lagi sebelum dia keluar dari ruangan. “Aku akan
menggunakan mobil merahmu. Oke?”

“Ya, Go Wooyoung! Jangan berbuat onar dengan mobil kesayanganku!”

--

Malam ini tujuan Wooyoung datang ke club tempat dia biasa menghabiskan waktu
bersama teman-temannya bukan untuk bermain-main atau membuat masalah dengan orang
lain, bukan juga untuk mencoba menghabiskan malam dengan perempuan-perempuan bodoh
yang selalu menggodanya dan memohon untuk menghabiskan malam dengannya. Dia memiliki
tujuan lain.

“Kau gila? Kau ingin mencoba lagi? Dengan perempuan itu?” ucap Seungyoun tidak
percaya dengan ucapan Wooyoung.

Wooyoung menghembuskan nafasnya dan mengeluarkan asap dari sepuntung rokok yang
dia hisap. Dia menoleh untuk menatap sahabatnya yang masih tidak percaya dengan niatnya.
“Kenapa tidak? Aku hanya ingin mengajaknya berbicara denganku.”

“Sekarang kau benar-benar terdengar seperti lelaki bodoh yang terbutakan cinta pada
pandangan pertama. Menjijikan sekali.”

Dia berdecak dan kembali menghisap rokoknya. “Aku memang jatuh cinta padanya,
Seungyoun-ah. Jadi bersabarlah, dan tahan saja rasa jijikmu,” ucapnya sambil menghembuskan
asap rokoknya di hadapan wajah Seungyoun.

“Aku bukannya ingin membuatmu putus semangat, tapi ingatlah kalau Ji Eun bukan
perempuan yang bisa kau goda dan dengan mudahnya masuk ke dalam genggamanmu. Kau
sudah tiga kali dia abaikan. Kau dipermalukan pula olehnya di kampus. Kenapa kau masih
ngotot untuk mendekatinya?”

“Justru itu, aku semakin tertarik,” kata Wooyoung. “Kau disini saja dengan yang lain.
Meja kita sudah aku bayar. Aku ingin mencari Ji Eun.”

Tanpa mendengar ucapan Seungyoun lagi, Wooyoung berdiri dan pergi untuk
menjalankan rencananya untuk kembali mencoba mendekati perempuan yang menarik
perhatiannya sejak pertama kali mereka bertemu.

--

Wooyoung menyusuri seluruh club yang begitu ramai malam ini. Dia ikut bergoyang
dengan orang-orang sedang sibuk berdansa bersama iringan musik dan lampu yang juga
mengikuti alunan lagu dari DJ malam ini. Wooyoung memperhatikan satu persatu perempuan
yang dia temui di lantai dansa, dia juga mengecek setiap meja untuk memastikan dia tidak
melewatkan Ji Eun. Namun, sosok yang Wooyoug cari malam ini tidak dirinya temukan.

“Kemana dia malam ini? Hampir setiap malam dia selalu kesini,” ujar Wooyoung.

Tidak lama kemudian, matanya melihat seorang perempuan baru saja keluar dari toilet
wanita menggunakan gaun merah bermotif bunga-bunga. Perempuan itu terlihat membawa tas
selempang yang cukup besar dan dia membuang puntung rokoknya yang sudah memendek dari
tangannya. Perempuan yang itu melihat Wooyoung, mata mereka bertemu untuk sesaat.

Kau disana rupanya.

Begitu Wooyoung hendak menghampirinya, perempuan itu langsung memutar balik


badannya dan bergegas pergi dengan cepat. Dia menghindari Wooyoung lagi.

--

“Ya, lee Jieun! Lee Jieun!”

“Lee Jieun!”

Wooyoung terus memanggil perempuan itu dari belakanganya. Mereka sekarang sudah
berada di luar club. Menyusuri jalanan Itaewon yang malam ini tidak seramai biasanya. Hanya
ada beberapa pelajan kaki yang sedang sibuk dengan urusan masing-masing.

“Lee Jieun! Kalau kau berjalan seperti itu, tandanya kau mengenalku.”

Langkah perempuan itu berhenti.

“Sekarang kau berhenti. Kau tidak mengenalku.”

Perempuan itu akhirnya membalikkan tubuhnya dan menatap Wooyoung dengan tajam.
Dia tidak berekspresi sama sekali. Matanya bersinar di bawah sinar bulan malam ini. Bibirnya
yang merah, membuat wajahnya yang tidak menggunakan banyak riasan wajah terlihat sangat
manis. Wooyoung tersenyum karena akhirnya bisa mendapatkan perhatian dari Jieun malam
ini.

“Apa yang kau inginkan dariku? Aku sedang tidak memiliki seseorang yang bisa aku
tawarkan untukmu malam ini,” ucap Jieun dengan datar.

Wooyoung berjalan mendekati perempuan itu.

“Aku tidak menginginkan siapa-siapa. Aku hanya ingin berkenalan denganmu,”


jawabnya sambil terus berjalan mendekat.

Jieun tidak bergeming. Dia masih diam dan menatap Wooyoung. “Kau sudah
mengetahui namaku. Entah dari mana kau bisa tahu namaku.”

“Ah, benar juga,” jawab Wooyoung. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam
kantung celana jeans yang dia gunakan. “Kalau begitu, bagaimana dengan aku menemanimu
berjalan malam ini? Tidak baik perempuan berjalan sendirian. Ini sudah lewat dari tengah
malam.”

Ada yang lain tatapan mata Jieun padanya ketika dia mendengar ucapan yang
dikatakan Wooyoung barusan. Katakanlah sekarang Wooyoung sedang berkhayal, namun dia
bisa merasakan ada yang lain dari cara Jieun menatapnya. Jieun sama sekali tidak terlihat
terganggu, tidak terlihat sedang membenci Wooyoung yang selalu menganggu dirinya setiap
kali mereka bertemu di kampus atau pun di luar kampus. Itulah mengapa Wooyoung selalu
percaya, bahwa kesempatan untuk dirinya mendekati Jieun selalu ada.
“Terserah kau saja,” kata Jieun yang langsung berbalik dan berjalan.

Wooyoung tersenyum, dia berjalan cepat untuk bisa berdiri bersebelahan dengan
perempuan itu.

--

“Kau tinggal dengan siapa jika aku boleh tahu?” tanya Wooyoung.

“Sendiri.”

“Aku juga sendiri. Terkadang aku tinggal berdua dengan Hyung ku. Tergantung saja,
kapan pun Hyung membutuhkanku dan merindukanku, dia pasti akan pulang dan berusaha
mencariku.”

Jieun seketika memberhentikan langkah kakinya. Membuat Wooyoung juga melakukan


hal yang sama.

“Kenapa kau berhenti tiba-tiba?”

Jieun tidak menjawab pertanyaan Wooyoung barusan. Dia hanya menyibak rambutnya
dan mencoba untuk membuka pembicaraan lain.

“Maaf, tadi kau berkata apa? Hyung? Kau memiliki Hyung?” tanya Jieun.

Wooyoung mengangguk. “Iya, aku memiliki Hyung. Kenapa memangnya?”

“Tidak, aku kira kau tinggal sendiri di apartemen mahal seperti orang-orang kaya
lainnya.” Jawab Jieun seadanya.

Wooyoung tertawa karena jawaban Jieun. “Tidak, aku tidak memiliki keluarga lagi.
Hanya Hyung yang aku miliki, walaupun dia tidak suka jika aku panggil Hyung. Tapi bagiku, dia
tetap Hyung terbaik yang pernah aku miliki.”

“Ke—” Jieun berdeham. “Kenapa begitu?”

Dia menoleh pada Jieun. “Lain kali, kalau kita bertemu lagi, aku akan menceritakan
semua tentang hidupku kepadamu.”

“Aku tidak mau bertemu lagi denganmu.”

--

Mereka akhirnya sampai di tempat tinggal Jieun setelah berbincang-bincang selama


tiga puluh menit. Walaupun lebih banyak Wooyoung yang berbicara pada Jieun, akan tetapi ini
sudah lebih dari cukup. Paling tidak, untuk malam ini Wooyoung sudah berhasil untuk membuat
Jieun mengenal dirinya dan mereka bisa berbicara cukup panjang. Semoga setelah ini, Jieun
tidak lagi menghindar darinya.

“Aku tinggal di atas sana,” kata Jieun menunjuk ke arah rumah paling atas. Mereka
berdiri di hadapan sebuah tangga yang memiliki anak tangga cukup banyak. “Terima kasih
karena sudah menemaniku berjalan, Go Wooyoung.”

Wooyoung mengangguk dan tersenyum pada Jieun. “Dengan senang hati. Aku juga
berterima kasih karena tidak mengabaikanku lagi.”

Jieun hanya bisa berdecak.

“Kalau kita bertemu di kampus, jangan menghindar lagi dariku. Aku ingin berteman
dekat denganmu,” kata Wooyoung.
Tidak. Kita tidak bisa berteman dekat.

Namun, Jieun hanya menganggukkan kepalanya dan menurut. Dia sudah terlalu lelah
malam ini untuk memikirkan hal-hal yang tidak ingin membuatnya sulit untuk tertidur.

“Ya sudah kalau begitu pergi sana,” usir Jieun.

Wooyoung tertawa. “Iya, iya, aku langsung diusir rupanya. Aku kira aku akan kau minta
untuk menemanimu tidur.”

“Jangan bermimpi yang tidak mungkin, Go Wooyoung.”

“Baiklah, kalau begitu. Selamat malam, Lee Jieun.” Ucap Wooyoung yang masih
tersenyum padanya. “Temui aku di mimpi indahmu malam ini.”

Jieun berusaha keras mengabaikan ucapan terakhir Wooyoung. Dia menunggu laki-laki
tinggi itu berlalu dan berjalan menjauh darinya. Jieun menyaksikan punggung Wooyoung
semakin jauh dari pandangannya.

Ketika Wooyoung sudah menghilang darinya, Jieun meletakkan telapak kanannya tepat
di jantungnya yang berdegup dengan kencang setiap kali bertemu dan melihat laki-laki
bernama Go Wooyoung itu. Laki-laki yang setiap malam memang selalu hadir di dalam
mimpinya.

Laki-laki yang dia kenali sebagai Lee Hyun, di dalam mimpinya.

Laki-laki yang di dalam mimpi Jieun, mencintai dirinya dan memiliki nasib yang
malang.

Laki-laki yang ternyata, di kehidupan sekarang memiliki seorang kakak laki-laki. Yang
Jieun harap tidak seperti di kehidupan sebelumnya. Jieun berharap, kehidupan Go Wooyoung
tidak seperti Lee Hyun.

“Kita bertemu lagi, Lee Hyun.”

-Fin.

25. Breaking Away


26. Forever and a day
27. Lost and Found
28. Light
29. Dark
30. Faith
31. Colors
32. Exploration

33. Seeing Red

(by : Astawwy)

Pertemuan seseorang dalam hidup mereka, selalu memiliki cerita tersendiri. Karena
pada dasarnya, seperti yang sering dikatakan oleh para penyair, pertemuan manusia satu
dengan manusia lainnya selalu memiliki misteri. Memiliki arti yang tersembunyi, tidak selalu
memiliki jawaban atas setiap pertanyaan yang hadir ketika mereka berbicara lalu berpisah dan
waktu sendiri yang akan menentukan apakah mereka berjodoh untuk bertemu lagi atau tidak.
Konsep itu tadinya hanyalah pemikiran pintar yang tidak pernah bisa Dohyun pamahi dan
percaya. Sampai akhirnya, hidup yang memaksa dirinya untuk memahami dan mempercayai
itu.

Hidup seorang Lee Dohyun tidak istimewa, jauh dari kata sempurna.

Sendirian di Seoul tanpa keluarga atau kerabat dekat yang akan menyambutnya ketika
dia pulang. Dia hanya sendirian disini, merantau untuk menyelesaikan kuliahnya lalu bekerja.
Rencananya memang begitu. Namun, setelah lulus sekitar dua tahun yang lalu, hingga detik ini
Dohyun masih bekerja paruh waktu di berbagai macam tempat. Dia enggan waktu pulang,
enggan untuk bertemu keluarganya yang…memang masih sangat mengandalkan dirinya. Mereka
sangat bergantung padanya, walaupun sebenarnya keluarganya disana memiliki restoran kecil.

Jadi tidak ada pilihan lain, selain menjalani hidup di Seoul dan tetap bekerja paruh
waktu seperti yang sudah dia lakukan selama hampir dua tahun belakangan ini. Dohyun selalu
pulang ketika semua orang akan terbangun dari tidur malam mereka. Dalam sehari, dia bekerja
di tiga tempat berbeda. Dan di antara tiga tempat itu, Dohyun paling mengandalkan
pekerjaannya di tempat yang terakhir.

Dia hanya harus berdiri di kasir, mengecek persediaan barang, dan menjaga supaya
tempat itu tidak dimalingi oleh orang lain. Hanya itu.

Terdengar mudah bukan? Tapi sebenarnya, yang membuat Dohyun senang dengan
pekerjaan itu karena dia bisa bertemu dengan orang banyak. Dari anak sekolah yang baru
selesai belajar, anak muda yang baru mencoba untuk membeli alkohol dan rokok, sampai
orang-orang aneh yang hanya ingin membuat kekacauan. Dunia Dohyun sempit, hanya berputar
dalam satu poros dan dia tidak bisa pergi kemana-mana. Satu-satunya cara untuknya membuka
pikiran adalah melalui manusia.

Berbicara dengan bermacam-macam karakter, menghadapi orang yang suka diajak


bicara atau tidak, berhadapan dengan orang yang berusaha mengancamnya, semuanya sudah
pernah Dohyun hadapi. Dia ingat siapa saja orang-orang yang sudah pernah berbelanja di
minimarket tempatnya bekerja.

Hingga malam ini, tidak, maksudnya lewat tengah malam menuju pagi ini, Dohyun
bertemu dengan seorang perempuan. Dia terlihat sangat…menarik? Mungkin.

Perempuan itu membuka pintu masuk minimarket dan berjalan dengan kakinya yang
penuh dengan luka. Dohyun belum sempat mengucapkan selama datang, perempuan itu sudah
berlalu dan berjalan menuju lemari pendingin. Sudah pasti, perempuan itu akan mengambil
alkohol.

Namun, ternyata dugaannya salah.

“Hanya ini, nona?” tanyanya dengan ramah.

Rupanya perempuan itu hanya membeli sebotol air mineral.

Perempuan itu melihat Dohyun untuk sesaat, lalu tangannya meraih sebungkus Onigiri
yang terpajang di dekat meja kasir. Dia memberikan itu kepada Dohyun dan menunjuk ke
kotak rokok yang berada di belakang kepala Dohyun. “Mint. Yang biasa orang lain beli.”

Dohyun mengangguk dan mengambil rokok yang dimaksud oleh perempuan di


hadapannya. Dia menghitung semua belanjaan perempuan itu, “Totalnya—”

Perempuan itu memberikan uang dengan nominal yang sangat besar. “Ambil saja
semuanya,” ucapnya lalu mengambil semua belanjaannya dan hendak keluar dari minimarket.

“Tunggu. Ini terlalu banyak—”


Dia berhenti melangkah dan menoleh pada Dohyun dengan wajah datarnya. Bibir
perempuan itu terpoles dengan lipstick merah menyala, membuat dia terlihat sangat cantik.
Apalagi jika tersenyum.

…apa?

“Ambil saja untukmu. Mungkin bisa kau gunakan untuk jajan di sekolah.” Ucap
perempuan itu. Suaranya yang halus dan sedikit dalam, membuat Dohyun tertarik untuk
mengajaknya bicara. Kebetulan perempuan itu sekarang sedang berdiri dan mengeluarkan
sepuntung rokoknya.

Perempuan itu menoleh lagi pada Dohyun. “Kau ada korek api?”

Dohyun mengangguk. Lalu memberikan korek api miliknya pribadi kepada perempuan
itu.

“Terima kasih,” kata dia yang kemudian langsung menyalakan rokoknya. Dia menghisap
sebatang rokoknya dan menghembuskan asap dengan nafas panjangnya. “Ah, maaf. Aku tidak
seharusnya menikmati ini disini.”

“Tidak masalah. Kebetulan sebentar lagi aku akan bergantian dengan temanku,” jawab
Dohyun berusaha untuk terdengar santai.

Perempuan itu menganggukkan kepalanya. Dia membenarkan posisi jaket kulit


hitamnya dan kembali melanjutkan kegiatan merokoknya.

“Kau masih sekolah?” tanya perempuan itu pada Dohyun.

Dohyun berdecak. “Tidak, aku sudah lulus kuliah.”

“Oh ya? Maaf, wajahmu seperti anak muda,” kata perempuan itu. Dia mengangkat
korek api yang Dohyun berikan kepadanya. “Jadi ini milikmu?”

“Iya, itu milikku.”

Perempuan itu menyeringai Dohyun. “Kau tahu aku apa?” tanyanya.

Dohyun mengangguk. “Perempuan.”

“Perempuan jalang maksudmu?” ucap perempuan itu dengan santai. Seolah dia sudah
terbiasa diperlakukan seperti sampah. “Siapa pun yang bertemu denganku di waktu seperti ini,
dalam keadaan seperti ini, pasti sudah tahu apa pekerjaanku. Tapi, berhubung kau adalah laki-
laki yang baik, aku anggap kau sedang berusaha sopan kepadaku.”

“Jangan besar kepala, nona.” Jawab Dohyun.

Perempuan itu melihat Dohyun dari ujung matanya.

“Aku menganggap semua orang yang datang kesini sama. Pelanggan.”

Mendengar ucapan Dohyun barusan, perempuan itu langsung berjalan dan berdiri di
hadapannya. Dia mendekati wajah Dohyun, memperlihatkan wajah cantiknya beserta lipstick
merah yang membuat bibirnya semakin menarik untuk di pandang.

“Kita rupanya sama-sama melayani pelanggan ya,” ucapnya pada Dohyun. “Bedanya,
cara kau dan aku berbeda.”

“Kau terpaksa? Atau memang keinginanmu?” tanya Dohyun.

Perempuan itu tersenyum. “Dua-duanya.”


“Sama, aku pun begitu.”

Mereka sama-sama tertawa dan saling melihat satu sama lain untuk beberapa saat.

“Tunggu, dulu…” kata perempuan itu, memecahkan keheningan di antara mereka. “Aku
sepertinya pernah melihatmu.”

Dohyun tidak ingat kapan dia pernah bertemu dengan perempuan di hadapannya. Yang
dia tahu, baru malam ini dirinya melihat wanita cantik berlipstick merah yang sedang berdiri di
hadapannya.

“Kau…laki-laki yang waktu itu ada di rumah sakit ya?” tanya perempuan itu.

Apa?

“Maksudku, kita pernah beberapa kali bertemu di rumah sakit. Kau bersama dengan
saudaramu kan? Aku juga waktu itu sedang mengantar Ibuku di rumah sakit.”

Setiap beberapa bulan sekali, Donghyuk dan kedua orang tuanya memang datang ke
Seoul untuk mengecek kesehatan. Adiknya memang berkebutuhan lebih, dan rumah sakit
terbaik yang menyediakan akses untuk orang yang memiliki ekonomi terbatas hanya ada di
Seoul. Mungkin disana, perempuan itu beberapa kali melihat Dohyun.

Tunggu. Untuk apa perempuan itu disana bersama Ibunya?

“Aku mungkin tidak melihatmu, tapi jika kau melihatku di Jungil Hospital, itu benar
aku yang sedang menemani adikku berobat,” kata Dohyun.

Perempuan itu tersenyum padanya. “Kita rupanya memiliki kesamaan ya. Hidup untuk
orang lain, mengais untuk orang lain. Bagaimana pun caranya.”

Dohyun berdecak. “Kalau kau dengan Ibumu…?”

“Iya, Ibuku memang sedikit bermasalah dengan kejiwaannya semenjak bercerai dengan
Ayahku yang abusive. Untuk dia sudah mati membusuk di penjara. Sekarang hanya aku yang
harus memenuhi kebutuh Eomma dan sekolah kuliah adikku.”

Dohyun melihat ada yang lain dari tatapan mata perempuan di hadapannya. Tidak
seperti tatapan ketika perempuan itu baru masuk di minimarket ini. Matanya tidak terlihat
lelah dan kosong seperti tadi.

“Senang bertemu denganmu,” kata Dohyun.

Perempuan itu tersenyum pada Dohyun. “Iya, senang bertemu dengan orang yang sama
sepertiku.”

“Kau ingin pulang?” tanya Dohyun memberanikan diri. “Kebetulan aku akan mengunci
tempat ini karena pergantian shift dengan temanku.”

Senyuman di wajah perempuan itu semakin merekah. “Kau ingin mengantarku pulang?”

Dohyun berdecak. “Hmm, jika kau berkenan. Tapi hanya dengan menggunakan kedua
kakiku saja.”

“Tidak masalah, aku juga masih ingin bersama denganmu.” Ucap perempuan itu tanpa
ada keraguan. Dia mengulurkan tangannya pada Dohyun. “Jieun. Lee Jieun.”

Dohyun tersenyum dan menerima jabatan tangan Jieun. “Dohyun. Lee Dohyun.”

Seperti itulah, pertemuan Dohyun malam ini dengan pelanggan minimarketnya. Tidak
ada yang pernah menebak, apakah setelah pertemuannya ini akan berlanjut atau tidak sama
sekali. Karena pertemuan seseorang adalah misteri, menyimpan rahasia dan mungkin akan
menuntun mereka ke hidup yang lebih baik. Bersama-sama.

-Fin.

34. Shades of Grey


35. Forgotten

36. Dreamer

(by Astawwy)

Choi Michaela membetulkan posisi mantel dan syal yang dirinya gunakan, sebelum ia
kembali melanjutkan langkahnya menyusuri Central Park sore hari ini. Banyak hal yang terjadi
hari ini dan membuatnya ingin mencari kesenangan sendiri. Setidaknya sampai ia bisa
menenangkan dirinya kembali, ia tidak ingin kembali ke kampusnya dulu untuk berhadapan
dengan pelatihnya atau pihak-pihak yang sudah menuntut banyak hal kepadanya sejak
beberapa bulan lalu.

Pikiran Michaela begitu penat, kakinya juga sudah mulai terasa lelah untuk berjinjit
dan memutar, begitu banyak tuntutan dan tekanan yang orang-orang berikan kepadanya
selama beberapa bulan belakangan ini. Ia paham, mereka hanya ingin semuanya berjalan
dengan baik dan luar biasa, tapi Michaela hanya ingin keinginannya didengar. Setelah sekian
lama ia mengejar mimpinya di New York, jauh dari rumahnya yang sebenarnya, dan Michaela
sudah berada di titik yang seperti sekarang, semua orang justru berlomba untuk mengaturnya
terus,

Pikirannya yang begitu berantakan membawa kedua kakinya melangkah ke sebuah


kerumunan orang-orang yang sedang berkumpul. Keramaian itu membuat Michaela menjadi
penasaran, ia pun mencari tahu apa yang membuat semua orang berkumpul.

Semakin dekat langkah kakinya, Michaela dapat mendengar suara seorang gadis dan
suara biola yang begitu merdu.

“Ah, penyanyi jalanan rupaya,” ujar Michaela yang berujung ikut menonton
pertunjukan kecil tersebut.

Pertunjukan jalanan yang selalu ada setiap sore di beberapa sudut Central Park.
Terkadang kumpulan anak kecil yang menyanyi bersama-sama sambil memainkan alat musik
buatan mereka sendiri seperti botol yang diisi oleh pasir, terkadang beberapa penari yang
menari dengan begitu luar biasa lincahnya, terkadang juga seperti sekarang yang sedang
Michaela saksikan. Seorang perempuan muda bernyanyi dengan merdu dan diiringi dengan
seorang pria dewasa yang memainkan biola.

Michaela tersenyum melihat perempuan itu menyanyi dengan begitu merdu, tanpa
beban dan begitu lepas. Pria dewasa yang memainkan biola untuk mengiringi perempuan itu
juga sangat menarik, dia tersenyum kepada semua penonton yang menyaksikan mereka.

Di akhir penampilan mereka, sang pria mempersilahkan penonton untuk memberikan


uang di tempat biolanya. Semua orang bertepuk tangan dan menaruh uang mereka dengan
senang. Michaela juga melakukan hal yang sama dengan mereka. Dia tersenyum melihat pria
yang memainkan biola tadi berjongkok untuk mengumpulkan semua uang yang terkumpul di
tempat biolanya dan memberikan uang itu kepada perempuan muda yang tadi dia iringi.

Saat itu juga, Michaela tersadar ada yang aneh.


Ah, ternyata perempuan itu buta.

Dan…pria itu meninggalkannya setelah dia memberikan semua uang hasil mereka
menyanyi.

Michaela mengejar pria yang pergi dengan membawa biolanya. Pria itu menggunakan
jaket kulit berwarna hitam dan topi yang menutupi beberapa bagian rambutnya. Dia bertubuh
tinggi, dan langkah kakinya sangat cepat. Membuat Michaela kesulitan untuk mengejarnya.

Dia sedikit berlari ketika mengejar pria itu, tapi langkahnya seketika berhenti.

Pria itu membalikkan tubuhnya dan melihat Michaela dengan heran. “Kau mengikutiku
dari tadi?” tanyanya dengan aksen Americanya yang terdengar sangat kental.

Michaela menjadi salah tingkah, dia hanya bisa berkata, “Maaf, aku tidak bermaksud
apa-apa. Aku hanya ingin bertanya saja.”

Pria itu tidak terlihat terganggu sama sekali sebetulnya, dia justru terlihat sangat
tenang. Tapi, suaranya yang membuat Michaela tertarik dan…entah, dia hanya ingin mengikuti
pria itu.

“Bertanya apa?” ucapnya bertanya-tanya.

Michaela tersenyum malu. “Mengapa kau meninggalkan perempuan tadi? Aku pikir,
kalian saling mengenal.”

“Ah, itu,” kata pria tinggi itu. “Aku hanya membantunya saja.”

“Membantu?”

Pria tinggi itu menatap Michaela untuk beberapa detik, sebelum akhirnya dia berkata,
“Kau ingin duduk dulu? Kebetulan bangku di hadapan kita kosong dan kau terlihat cukup
lelah.”

Michaela memerah karena merasa semakin malu diperlakukan dengan begitu baik oleh
pria di hadapannya yang sudah terduduk dan menunggunya untuk duduk di sebelahnya.

Saat mereka sudah terduduk, pria itu menghela nafasnya dengan panjang. “Kau
sepertinya bukan orang asli sini ya?” dia bertanya dengan Michaela. “Hanguk saram?” ucapnya
lagi kali ini dengan aksen Korea.

Michaela terkejut. “Iya!” ia menjawab dengan semangat. “Akhirnya, aku bisa berbicara
dengan orang Korea baru.”

“Hah? Orang Korea baru? Maksudnya?” tanya pria itu.

“Iya, orang-orang Korea yang aku temui disini hanya sedikit. Atau lebih tepatnya teman
satu kampusku,” kata Michaela. “Julliard.”

Mendengar kata Julliard yang keluar dari mulut Michaela, ekspresi wajah pria itu
berubah. Dia tersenyum dan berkata, “Kau musisi?”

Michaela menggelengkan kepalanya. “Aku menari. Ballet.”

“Ballet? Julliard? Wah, bukankah penari ballet Korea yang berhasil masuk Julliard
hanya sedikit? Kau hebat sekali,” ucap pria itu. “Berarti kau sudah beberapa kali mengikuti
konser yang diselenggarakan oleh Julliard. Iya kan?”

“Hmm, lumayan. Tahun ini aku mendapatkan solo,” kata Michaela. “Tapi, sayangnya
solo yang sudah aku perjuangkan bertahun-tahun harus aku bagi dengan orang lain.”
Pria itu berdecak. “Solo tidak bisa dibagi,” katanya. “Kau tidak ingin diiringi oleh
pemain musik? Kau lebih senang dengan alunan music yang disetel dari belakang panggung
saja?”

“Ini mimpiku. Setelah sekian lama, akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk
memperlihatkan penampilan soloku. Tapi, aku harus kembali membagi spotlight dengan musisi
yang katanya sudah sangat berpengalaman dari Kanada. Aku hanya ingin tampil sebagai diriku
saja bukan sebagai orang yang mempercantik permainan musik orang lain,” kata Michaela
panjang lebar.

Tidak ada balasan dari pria di sampingnya. Pria itu malah terdiam dan memperhatikan
Michaela dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

“Aku terdengar menyebalkan ya?” tanya Michaela yang merasa tidak enak kepada pria
di sampingnya.

Pria itu hanya berdecak dan tertawa. “Tidak kok,” katanya. “Aku mengerti, sangattttt
mengerti maksud dari ceritamu barusan.”

Karena tidak ingin merusak suasana, akhirnya Michaela menggantikan topik


pembicarannya. “Ngomong-ngomong, kau belum menjawab pertanyaanku,” dia memulai topik
baru. “Kau membantu perempuan yang tadi menyanyi disana?”

“Iya, kebetulan aku sedang bingung mau melakukan apa disini. Lalu aku bertemu
dengan gadis itu. Dia bernyanyi sendirian, namun tidak ada orang yang menonton
pertunjukkannya. Matanya buta, jadi dia tidak tahu ada berapa banyak orang yang
menyaksikan dia. Bayangkan saja jika saat dia sudah selesai menyanyi, kemudian dia mengecek
di kotak uang yang dia letakkan di tanah ternyata kosong. Kasihan sekali kan?” pria itu
berhenti untuk melihat Michaela sesaat. “Untuk itu, aku menawarkan dia supaya diiringi
dengan biola yang sedang aku bawa ini. Ternyata dia mau dan orang-orang juga sedikit demi
sedikit ada yang menonton dan akhirnya menjadi ramai seperti tadi.”

Mendengar cerita pria di sampingnya membuat perasaan Michaela menghangat. “Dia


pasti sangat berterima kasih kepadamu,” katanya.

“Dia hanya berkata, ‘terima kasih, semoga aku bisa mendengar pertunjukanmu suatu
hari nanti’ begitu.”

Michaela tersenyum. “Kau sepertinya senang ya mengiringi orang untuk bernyanyi?”

Pria itu menatap Michaela. “Tentu saja, aku akan sangat senang membantu orang yang
aku iringi dengan biolaku. Membantu pertunjukkan mereka supaya terlihat semakin indah,”
ujarnya.

“Kalau begitu seharusnya kau saja yang mengiringiku nanti saat tampil.” Kata Michaela.

“Loh? Tadi bukannya kau tidak mau membagi spotlight?”

Pertanyaan pria itu seakan-akan langsung menampar Michaela. Benar juga.

“Tapi, caramu mengiringi penyanyi tadi tidak egois. Kau justru membantu dia untuk
terlihat lebih menonjol dengan kehadiranmu di sampingnya.”

Pria itu tersenyum. “Karena itu memang tugasku,” katanya. “Tugas seorang pemusik
selain membuat musik yang bagus, mereka juga harus bisa mengiringi penampilan orang lain
dengan baik.”

Pikiran penat Michaela tadi perlahan-lahan menghilang, ketika mendengar ucapan pria
disampingnya barusan.
Tiba-tiba, pria itu berdiri. “Aku harus pergi sekarang. Hari semakin malam, perutku
mulai berbunyi,” katanya kepada Michaela yang juga ikut berdiri.

“Baiklah kalau begitu, terima kasih sudah mendengar ceritaku yang mungkin
menyebalkan untukmu.” Kata Michaela dengan malu.

“Santai saja, aku mengerti. Itu impianmu, dan ketika ada orang lain yang berusaha
menganggu impianmu, pasti sangat menyebalkan.”

Michaela menganggukkan kepalanya dengan ragu.

“Sampai jumpa lagi, senang bertemu denganmu.” kata pria itu, dia kemudian
membalikkan tubuhnya.

“Tunggu dulu,” kata Michaela yang langsung mencegat langkah pria itu.

Pria itu menatap Michaela dengan tatapan penuh arti.

“Kita belum berkenalan,” kata Michaela.

Pria itu tertawa. “Paul,” katanya. “Paul Ahn.”

“Ah, senang bertemu denganmu, Paul,” kata Michaela. “Namaku—”

“Choi Michaela,” ucap Paul. “Aku tahu,” kemudian dia benar-benar pergi.

Michaela yang masih terheran dan juga terkejut karena Paul mengetahui namanya,
tiba-tiba mendapatkan satu pesan dari pelatihnya.

From : Mrs. Watson

Besok kau akan bertemu dengannya. Paul Ahn. Dia sudah sampai disini tadi siang, jadi
jangan mengecewakannya.

Dan saat itu juga, Michaela benar-benar tidak tahu harus berbuat apa selain ingin
segera bertemu lagi dengan Paul dan meminta maaf.

“Baiklah, bantu aku untuk mewujudkan impianku. Jika itu memang tugasmu, Paul Ahn-
sshi.”

-Fin.

37. Mist
38. Burning

39. Out of Time

(by Astawwy)

Man Wol tahu, ketika dia membalikkan badannya dan berjalan lurus ke depan, semua
ingatannya akan menghilang satu persatu bersamaan dengan derap langkahnya yang semakin
bertambah. Tidak ada lagi kenangan buruk yang tersisa dalam ingatan Man Wol. Tergantikan
dengan semua kenangan yang benar-benar ingin dia ingat sampai nanti dirinya sampai di ujung
jembatan.
Ini sudah bukan tentang berapa lama Man Wol diberi waktu untuk memilih apa saja
kenangan yang ingin dia simpan, tapi tentang bagaimana semua ingatan itu bisa bertahan
sampai nanti Man Wol benar-benar sudah di ujung jembatan dan bertemu dengan takdirnya
yang baru.

Semua yang telah ia habiskan di bumi, perlahan-lahan menghilang. Semakin dekat di


penghujung jalan yang Man Wol lewati, semakin berkurang pula ingatan yang ada di dalam
pikiran dan hatinya.

“Haruskah aku memanggilmu, Nui?”

“Semua yang kau lihat akan berbeda karena kau bersamaku.”

“Aku akan ikut denganmu jika kau memintaku untuk bersamamu.”

“Kau sudah berhasil merebut yang ada disini, pergilah.”

“Kau mengingat tulisan namamu dengan baik, Man Wol-ah…”

“Aku akan menjadi bulan yang akan selalu menjagamu…”

Kedua air mata Man Wol menetes. Dia tidak menyangka, bahwa sampai saat dirinya
hampir sampai di ujung jembatan, hanya ingatan tentang Go Chungmyung yang masih bertahan
dan membuatnya tidak merasa sepi. Man Wol tidak mengerti, mengapa hanya ingatan itu yang
berada di dalam benaknya?

“Kita adalah satu, Man Wol-ah…kau akan kembali menemukanku di antara ruang dan
waktu yang berbeda. Dan jika aku tidak mengingatmu lagi, ingatkanlah aku kembali. Aku
ingin mencintaimu lagi…”

Ucapan terakhir yang Chungmyung ucapkan dalam hatinya sebelum akhirnya dia benar-
benar ditinggalkan oleh Man Wol beberapa waktu lalu, berdengung di dalam pikiran Man Wol.

Apakah ini yang dimakan…eternal love? Yang pernah Ma Go katakan kepadamu?

Man Wol sampai di ujung jembatan. Dan ingatan terakhir yang bertahan di dalam
benaknya adalah…

“Kau menyambutku dengan gaun pengantinmu dan aku berkata bahwa aku
merindukanmu sambil menyentuh wajahmu dengan lembut…”

Sebelum semuanya menghilang, Man Wol hanya bisa merekam wajah Chungmyung dan
perasaan cintanya yang ternyata selama ini tidak pernah berubah.

Setelah itu, semuanya berubah menjadi putih. Ada cahaya terang yang menyilaukan
pandangan Man Wol. Dia tidak bisa bersuara, bergerak, atau pun mengedipkan mata. Dia
mematung selama beberapa saat.

Kemudian pandangannya berubah menjadi ribuan orang yang sedang berjalan dengan
cepat. Man Wol sudah berganti pakaian, tidak lagi menggunakan pakaian yang dia gunakan
ketika menelusuri jembatan. Dia menggunakan dress kuno bercorak bunga-bunga, rambutnya
berwarna hitam dan sedikit keunguan. Man Wol tidak mengenali siapa pun, padahal banyak
sekali orang yang melihat ke arahnya untuk beberapa saat.

Apakah mereka pernah berkenalan denganku dulu?

Aku dimana? Aku tidak tahu apa-apa.

Dia terus berjalan tanpa arah, menelusuri orang-orang yang berlalu-lalang.


Tiba-tiba semua orang menghentikan langkah kakinya. Begitu juga dengan Man Wol.
Mereka saling melihat satu sama lain, berjalan dan saling memilih. Ada yang memilih dua
orang, tiga orang, empat orang, dan masih banyak lagi. Man Wol yang masih bingung dengan
dirinya sendiri hanya bisa terdiam. Dia ingin memilih juga, tapi dia tidak tahu harus memilih
siapa.

Kedua mata Man Wol melihat sosok pria bertubuh tinggi dan tegap. Pria itu juga
terlihat kebingungan. Rambutnya dipotong dan disisir dengan rapih, dia menggunakan jas dan
celana berwarna coklat muda. Mata pria itu begitu teduh, Man Wol seperti pernah
mengenalnya. Hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis, mengingatkan Man Wol pada
sosok yang wajahnya menjadi ingatan terakhirnya di ujung jembatan.

Kedua kaki Man Wol melangkah ke arah pria itu.

“Kau sendirian?” tanya Man Wol.

Pria itu menatap Man Wol dengan terkejut. Dia seperti baru pertama kali melihat Man
Wol, kecantikannya membuat pria itu terpanah.

Man Wol tersenyum. Dia seperti pernah merasakan kejadian seperti ini.

“Kau ingin pergi bersamaku?” tanya Man Wol.

Pria itu tersenyum pada Man Wol.

Dan saat itu juga, Man Wol tahu mengapa ia memilih pria yang sedang tersenyum
kepadanya. “Sepertinya, kita kembali bertemu?”

Lalu, pria itu menganggukkan kepalanya.

Mereka kembali bertemu. Di dimensi yang baru, di antara ruang dan waktu.

-Fin.

40. Knowing How


41. Fork in the road
42. Start
43. Nature’s Fury
44. At Peace
45. Heart Song
46. Reflection
47. Perfection

48. Everyday Magic

(by Rixxanna)

Sebenarnya apa arti Valentine’s day bagi pasangan Park Chanyeol dan Byun Baekhyun? Banyak
orang yang menanyakan hal tersebut pada pasangan tujuh tahun itu. Pasangan yang kalau
menurut lingkar pertemanan mereka adalah pasangan yang selalu hidup di fase honeymoon.
Bagaimana tidak? Tujuh tahun Chanyeol dan Baekhyun bersama – dua tahun berpacaran semasa
kuliah, satu tahun berpacaran sehabis lulus kuliah, empat tahun pernikahan – rasanya mereka
selalu bisa menunjukkan bahwa rasa cinta mereka seakan tidak berkurang maupun terkikis.
Melihat Chanyeol dan Baekhyun seperti melihat pasangan yang baru pulang bulan madu.

Lantas, jika dalam keseharian mereka sudah dipenuhi dengan cinta. Makna apalagi yang tersisa
untuk Valentine’s day?
Baik Chanyeol dan Baekhyun setuju bahwa tidak perlu hari kasih sayang untuk menunjukkan
rasa cinta. Setiap hari adalah hari penuh kasih sayang jika kamu mau meluangkan sedikit
waktumu untuk mengasihi orang yang kamu sayangi.

Namun jika ditanya, apa yang Chanyeol dan Baekhyun lakukan untuk satu sama lain ketika
Valentine’s Day? Jawabannya….. sederhana. Pasangan itu bekerja di industry yang berbeda.
Baekhyun adalah fashion designer sebuah clothing line ternama Prive, sedangkan Chanyeol
adalah banker yang berhadapan dengan nasabah-nasabah besar. Dan di tanggal 14 Februari
penuh kasih sayang ini mereka berdua harus berpisah karena tanggung jawab pekerjaan
masing-masing.

Biarkan Baekhyun bercerita terlebih dahulu..

Dalam sebuah wawancara ditengah acara fashion show ada seorang wartawan langsung
menembak Baekhyun dengan sebuah pertanyaan (yang ingin diketahui oleh banyak orang):

Q: “Apakah Byun Baekhyun memiliki rencana Valentine’s Day? Di tengah kesibukan Fashion
Week pasti menemukan waktu yang tepat dengan pasangan sulit sekali..

B: *tersenyum, lalu tertawa kecil* “Valentine’s Day hanya satu hari dari 365 hari. Why bother
to find right time to date when every little things he did I consider as a date? Kebetulan
Chanyeol juga sedang trip ke Singapura hari ini, jadi kalau untuk tradisi Valentine’s Day yang
spesifik, kami sih tidak ada..”

B: “Tapi jika kalian penasaran, aku bisa bercerita sedikit tentang our kind of valentine.
Februari ini Chanyeol memang sibuk sekali dengan pekerjaannya. Jadi untuk meng-makeup
waktu yang ia habiskan untuk mengurus klien, dia bikin 29 kupon untuk bulan februari. Aku
bisa memintanya melakukan apa saja selama februari. Aku paham dia tidak berbuat banyak
meski kuponnya ada 29 buah. Jadi, aku memanfaatkannya untuk membuat Chanyeol
beristirahat selama tiga jam setiap kali ia hendak lembur di rumah.”

Q: “That’s so considerate!”

B: “Kita selalu mencoba untuk saling melengkapi dan menyokong dalam hal ini. Ah! Tapi ada
lagi hal yang selalu ia lalukan selama 14 hari ini..”

Q: “Wah, apa itu?”

B: “Dia selalu membuat sarapan untuk kami, setiap pagi! Dia memang sempat bermimpi jadi
chef dan dia tahu betapa aku mencintai masakannya, jadi ya…” *tertawa* Kadang aku kasihan
juga kalau Chanyeol harus bangun lebih pagi untuk memasak sarapan untuk kami berdua. Tapi
dia memaksa… dan he says that’s the least he can do in midst of hecticness”

Q: “Jadi valentine kalian tidak ada ritual khusus?”

B: *menggeleng* “Tidak ada. Lebih baik kami isi dengan hal-hal manis di kegiatan sehari-hari,
toh kami punya seumur hidup untuk menghabiskan waktu bersama. Kalau kegiatan sehari-hari,
lantas bagaimana kita mewarnainya agar tidak bosan? Percayalah, hal-hal biasa yang kalian
lakukan bersama…jika diberi sedikit sprinkle pasti akan lebih spesial dan dare I say…magical!”

Sedangkan di ketinggian 35.000 kaki diatas permukaan laut…

Park Chanyeol menyeka air mata yang hendak turun di ujung mata kanannya. Ia paling benci
terbang sendirian (karena trip kali ini tanpa staf kantor lainnya) dan ia juga benci
meninggalkan Baekhyun di saat Valentine’s Day seperti hari ini. Pada dasarnya, Chanyeol benci
pergi meninggalkan Baekhyun sendirian. Pintarnya, sang kekasihnya itu menggunakan kupon
yang ia buat untuk 14 Februari untuk permintaan yang cukup sederhana tapi agak sulit
dilakukan Chanyeol

Kupon 14 Februari – Kau jangan menangis selama perjalanan. Pap selfie setiap 2 jam, aku
tahu kalau kau habis menangis. Jadi jangan coba-coba.

Do well on your job, Xo

-B

Ps: Please open your agenda. I left something for you.

Tidak butuh waktu lama untuk Chanyeol menemukan amplop warna lavender terselip di tengah
buku agenda miliknya.

Dear my dear…

Begitu bunyi tulisan di depan amplop lavender itu. Dengan cepat Chanyeol membuka isi
amplop tersebut…

Hai, Chanyeol

Happy Valentine’s Day.

Ini sudah 14 Februari kita yang…ke berapa ya? I think I might have lost count. Mungkin karena
setiap hari bersamamu selalu berwarna dan sama.

Jika kamu berpikir ini adalah surat cinta, well kamu salah… ini surat permohonan maaf.

Maaf, karena kamu harus bangun lebih pagi untuk memasak.

Maaf, karena kamu harus berputar 3 km lebih jauh untuk menjemputku kalau sudah malam.

Maaf, kalau kamu harus mendadak menjadi model Prive.

Maaf, karena kamu sering terbangun tengah malam karena dengkuran anehku.

Maaf, karena kamu harus pusing memikirkan bagaimana Toben dan Mongmongi tenang dan
tidak bertengkar.

Maaf, karena kamu harus mengalah memilih cat rumah dengan warna favoritku.

Maaf, karena mobilmu harus rusak karena aku menabrak pembatas jalan, (bodoh sekali, iya
aku tahu).

Maaf, karena kita tidak bisa bersama hari ini.

Maaf, karena kamu harus menghabiskan seumur hidup denganku.

Tetapi..

Terima kasih, karena sudah mau bersabar..

Terima kasih, karena sudah mau setia, setua, seumur hidup..

Terima kasih, karena sudah memilihku..

Terima kasih, karena tidak perlu satu hari di tanggal 14 Februari untuk mendapatkan kasih
sayang.

Terima kasih, karenamu, aku pikir sihir tidak lagi ada karena entah trik apa yang kamu
lakukan.. setiap hari bersamamu menjadi sebuah warna dan dunia baru yang ingin aku
tempati selamanya.
FIN.

49. Umbrella

(by Rixxanna)

Sore itu hari sedang hujan, terlihat seorang gadis muda menggunakan cardigan coklat, gadis itu
membawa ransel yang sama dengan warna kacamatanya. Gadis itu membetulkan posisi
kacamatanya sambil mengetuk-ngetukkan kakinya pada aspal halte bus. Sesekali dia melirik
jam tangannya untuk sekedar melihat waktu.

Dia gelisah karena hujan tidak memberikan tanda-tanda untuk segera berhenti dan bus nomor
861 tidak kunjung datang. Dia harus mengejar kelas umum Prof. Han, dosen yang sangat tidak
metolerir mahasiswanya yang datang terlambat. Jam tangannya telah menunjukkan pukul
14.15 dan dia hanya mempunyai waktu kurang dari empat puluh lima menit untuk bisa sampai
di auditorium tepat waktu.

Di sela-sela kegelisahannya, terdengar suara pluit yang memekakkan telinga dan cukup
membuyarkan lamunan gadis yang masih berdiri di halte bus tersebut.

Suara pluit itu dibunyikan oleh sesosok pria dengan figur tinggi yang kerap mengarahkan mobil-
mobil yang melintas untuk menghidari konstruksi perbaikan jalan yang sedang dilakukan. Entah
mengapa, seketika pandangan gadis itu terarah pada pria yang sedang bekerja keras di tengah
hujan tersebut.

Perasaan empati yang timbul di dalam hati gadis itu membuatnya membuka ransel gendongnya
untuk mengambil payung kuning yang sudah dia persiapkan untuk menghadapi cuaca yang
kerap hujan seperti sekarang ini. Ketika payung kuning itu sudah terbuka, kedua kaki gadis itu
berjalan ke arah pria yang masih sibuk bekerja mengarahkan mobil-mobil dengan tongkat
rambunya.

Merasa ada yang menutupi tubuhnya dengan sebuah payung, pria itu seketika menoleh dan
berkata, “Jae?”

“Oh…” ucap gadis itu ketika akhirnya mereka saling melihat satu sama lain. Dia memayungi
dirinya dan pria yang ada di hadapannya sekarang. Pria yang sedari tadi bekerja di tengah
hujan tersebut, ternyata ialah seseorang yang dia kenali.

Pantas saja aku merasa familiar, pikir gadis yang dipanggil Jae oleh pria tinggi itu. Dia merasa
dirinya terus ditatap oleh sang pria.

“Kau tidak datang ke Prof Han?” tanyanya sambil menundukkan kepala untuk menghindar dari
tatapan dari pria itu.

Dan setelah Jae bertanya, hujan seketika mereda, matahari perlahan memantulkan cahayanya
dibalik payung kuning Jae.

Astaga, Jae. Kau sedang berbuat apa?

Akhirnya, dia memutuskan untuk pergi saja dan hendak membalikkan badannya. Namun,
sayangnya pergerakkan pria itu lebih cepat. Pria itu meraih lengan kanan Jae, mencegahnya
untuk pergi dan berkata,

“Ayo, kelas Prof Han, ya kan?”


Lengan Jae ditarik oleh sang pria yang masih kebasahan untuk ikut berlari bersamanya. Ini
sangat aneh, jantung Jae juga seakan ikut berlari dan matanya tidak bisa lepas dari genggaman
tangan pria itu.

“Tunggu sebentar, disini.” Kata pria itu ketika mereka sudah sampai di tempat yang lebih
teduh, kemdian dia berlari entah kemana meninggalkan Jae sendirian.

Jae menghentak-hentakkan kakinya di aspal sembari menunggu pria itu. Dan tidak sampai 10
menit pria itu telah berganti baju dengan balutan kaus hitam polos yang di lapis dengan jaket
abu-abu datang dengan skuter kecil dari sebuah restaurant ramyun.

“Jin-ah…” ujar Jae tidak percaya dengan apa yang sedang ia lihat di hadapannya.

“Ayo, naik. Kita hanya memiliki waktu sekitar lima belas menit untuk datang tanpa terlambat.
Aku bisa mengusahakan sepuluh menit sampai, Ayo, Jae..” kata Jin pada Jae.

Hatinya seakan terhempas entah karena apa. Jae terduduk di skuter ramyun itu, melingkarkan
satu lengannya di jaket milik Jin, dan angin seakan membawa hatinya pergi, pipinya terasa
panas (meski cuaca cukup dingin saat itu), dan payung kuning yang ia bawa pun ikut terhempas
terbang, namun Jae tidak memikirkan apa-apa lagi saat itu.

Ia hanya merasa hangat.

Fin.

50. Party
51. Troubling Thoughts

52. Stirring of the Wind

(by Rixxanna)

“Ibu ingin bercerita, cerita tentang seorang pria pemberani yang pernah Ibu temui,” sembari
menatap langit dan tersenyum kecil ia melanjutkan, “Pertemuan Ibu dengannya tidak begitu
istimewa. Kali itu Ibu bukan seorang wanita yang baik. Kamu percaya tidak kalau Ibu pernah
mencuri? Kalau dipikir-pikir lucu juga mengingat Ibu pernah mencuri barang, sutra dan kadang
emas untuk bertahan hidup. Tapi Ibu tidak pernah menyesal pernah melakukan hal itu karena
jika Ibu tidak pernah mencuri, mungkin Ibu tidak akan pernah bertemu dengannya.

Hari itu begitu terik dan entah dengan kekuatan apa, pria itu bisa mendorong Ibu terjatuh dari
kuda. Iya, dia mengejar Ibu yang saat itu menyerang tempatnya bekerja. Namun, setelah
semua itu berlalu perlahan Ibu mengenal pria berani itu. Si tampan, begitu Ibu menyebutnya
dulu. Ia sering kesal jika Ibu panggil dengan sebutan si tampan. Bagaimana tidak? Ia gagah
berani, bekerja melindungi banyak orang, loyal dan setia, memiliki pendirian, digandrungi
banyak wanita, dan juga baik hati. Sayangnya, dia banyak bicara. Tetapi, mungkin dia orang
terpintar yang pernah Ibu dan pamanmu temui.

Dia yang mengajari Ibu menulis, pelan-pelan Ibu juga belajar membaca. Katanya, agar Ibu bisa
bekerja dengan jujur dan menghasilkan uang lebih banyak tanpa bantuannya. Meski dia datang
dari keluarga bangsawan, si tampan ini selalu menghabiskan waktu dengan Ibu dan pamanmu.
Ia juga sering membawa makanan untuk teman-teman Ibu yang lain. Kadang Ibu
mempertanyakan kebaikannya…”

“Tetapi suatu hari pamanmu terluka dan Ibu tidak bisa berbuat apa-apa untuk Pamanmu itu,”
ujar sang wanita sembari melihat ke dalam rumah dengan tatapan penuh arti, “Lalu, ia pria ini
dengan segala kekuatan dan kemampuannya menyelamatkan pamanmu. Saat itu, Ibu benar-
benar tahu ia orang yang tulus dan baik. Si tampan itu selalu bisa membuat orang disekitarnya
tersenyum, kau tahu, Nak?”

“Ibu punya tempat rahasia untuk Ibu menenangkan pikiran. Tiba-tiba pria itu datang,
mengambil wine milik Ibu dan duduk. Ia mengatakan bahwa paling baik membagi keresahan
dengan orang lain dan beban itu perlahan akan menguap seperti debu. Ia juga bilang bahwa
Ibu tidak akan pernah melupakan momen itu karena semua hal akan terasa berbeda jika ada
dirinya. Dan dia juga memastikan bahwa Ibu akan terus mencarinya ketika suatu hari ia tidak
datang..”

“Si tampan itu selalu datang tiap kali Ibu bersembunyi di tempat rahasia itu. Namun, seakan
ucapannya punya mantra, ketika suatu malam ia tidak muncul Ibu menemukan kaki Ibu
berjalan ke tempatnya bekerja. Ibu ke istana, menyelinap. Entah apa yang Ibu lakukan malam
itu. Hampir putus asa ketika melihat Tuan Putri, Ibu beranjak pulang. Sayangnya, langkah Ibu
dihentikan oleh Si Tampan ini. Ia menarik Ibu ke suatu ruangan dan mungkin itu momen
terindah yang pernah Ibu alami.”

“Setelahnya Ibu sadar, Ibu telah jatuh ke dalam perangkapnya. Ibu jatuh hati si tampan
penjaga istana.” Perempuan itu tersenyum sendu. “Ibu selalu merasa aman didekapnya, Ibu
bahkan benar-benar mengakui kalau ia tampan kala itu, Ibu juga bisa gila kalau melihat
senyumnya. Tetapi, Ibu sadar kalau kita berdua datang dari lingkungan yang berbeda. Namun,
ia selalu mengingatkan bahwa semua hal yang kita lakukan bersama akan terasa berbeda.
Suatu hari, kondisi Ibu melemah. Si tampan itu adalah orang yang panik dan bergegas
memanggil seorang tabib, dan Ibu tidak pernah melupakan senyuman termanis yang pernah Ibu
lihat terukir di wajah pria itu.”

“Namun, senyumnya cepat menghilang ketika Pamanmu berkata pria itu dipanggil oleh istana.
Wajahnya berubah 180 derajat dan ia bergegas ke istana. Dan perasaan Ibu tidak pernah salah,
saat itu mungkin saat terakhir Ibu bisa bertemu dengannya. Dengan semua kekuatan yang Ibu
punya, Ibu berlari mengejar Si tampan yang belum terlalu jauh. Ia menghentikan kudanya dan
memeluk Ibu seat yang ia bisa. Ia rengkuh dengan khasnya, lalu ia berbisik kau harus ingat
bahwa aku akan terus bersamamu, aku akan menjagamu, dan jika aku tidak kembali, ingatlah
aku selalu menyimpanmu di hatiku dan aku akan menjadi bulan yang tidak pernah jatuh dan
gagal untuk menjagamu.”

“Setelah itu, Ibu tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Pamanmu mengajak Ibu untuk naik ke
kapal dan pindah ke pulau ini. Pulau ini begitu indah, kau tahu, Nak? Sepertinya Ibu pernah
bercerita pada pria itu kalau Ibu ingin di hidup di pulau yang seperti ini..”

Perempuan itu kali ini mengusap benih air mata yang muncul di pelupuk matanya yang kecil.
“Mungkin itu yang membuat Pamanmu dititipi pulau ini oleh pria itu. Agar aku bisa hidup baik
bersamamu. Pamanmu juga langsung kembali hendak mencari kabar tentang ayahmu. Aku
sudah tahu entah hunusan pedang atau tusukan panah yang ia dapat karena tidak lama setelah
itu pamanmu kembali dan hanya membawa ikat kepala khas yang dikenakan ayahmu itu. Aku
yakin, ia sudah berada di tempat terbaiknya.”

“Wol-ah, sudah malam. Masuk ke dalam rumah saja, menghangatkan diri.” ujar Yeonwoo, sang
paman, yang muncul dari ujung pintu rumah.

Wanita yang dipanggil Wol mengangguk kecil sembari mengusap perutnya yang kini semakin
besar. “Lain kali, Ibu akan bercerita lebih banyak tentang Ayahmu.” Yang dijawab dengan
tendangan kecil dari perutnya.

“Kalau perempuan, aku rasa Go Eun Byul adalah nama yang bagus, untuknya. Kau setuju, kan?”
Tidak ada jawaban melainkan hembusan angin yang bersemilir sedikit kencang yang lantas
membuat Wol memandang bulan yang malam itu bersinar lebih dari biasanya. Si tampan itu
ada, dan ia setuju.

Fin.

53. Future

(by Astawwy)

Damar keluar dari gate keberangkatan internasional sambil menguap. Penerbangan


Andara kali ini cukup pagi. Jadinya, dia harus ikut bangun pagi dan mengantarkan istrinya ke
bandara setelah shalat subuh tadi. Andara diharuskan untuk menuntaskan urusannya dengan
klien yang satu ini demi bisa mendapatkan jadwal cuti selama sebulan. Setelah itu, mereka
akan benar-benar bisa fokus untuk menikmati masa liburan sebagai suami istri dan mungkin
mereka akan bisa lebih santai dengan program yang sudah mereka “rencanakan” sejak tahun
lalu.

Dia berniat untuk sarapan di luar saja pagi ini. Tidak ada sisa makanan di rumah,
semalam Andara tidak bisa memasak banyak-banyak karena dia sudah lelah pulang dari kantor
dan harus segera beristirahat. Jadinya, Damar pagi ini harus mencari tempat makan dulu
sebelum nantinya dia kembali ke kantor hanya untuk menandatangani beberapa surat kuasa
yang orang-orang minta kepadanya.

“Damar?”

Tiba-tiba ada seseorang yang memanggilnya. Damar menoleh, dan langsung terkejut
melihat orang yang tadi memanggil namanya.

“Riza? Riza temen gue nih?” tanya Damar sambil menunjuk Riza yang berdiri di
hadapannya sambil cengangas-cengenges tidak jelas.

Riza tertawa. “Apa sih, jangan berlebihan. Lo doang yang paling jarang nongol di grup
kalau kita lagi pada mau ngumpul. Sibuk banget sih bapak Notaris, mentang-mentang duitnya
banyak,” katanya yang langsung di rangkul oleh Damar.

“Nggak gitu, gan. Kerjaan gue beneran banyak nih, maafin deh ya. Lain kali gue ngikut
dah kalau kalian ada acara lagi,” kata Damar merasa bersalah.

“Santai aja, bercanda doang gue, Mar.” kata Riza. “Nih, ngomong-ngomong, lo mau
berangkat apa nganterin bini?”

Damar menguap dulu. “Nganterin lah, lo tahu kan kerjaannya Dara kayak apa.”

“Asli, gue sering sih lihat dia nge-post di Instagram ketemu klien di Singapur lah,
minggu depan di Bangkok, besokannya udah di Bali aje sama lo,” kemudian Riza berbisik. “Lo
awasin gak tuh si Andara? Nanti kliennya naksir…”

“Eits, gila. Nggak mungkin lah. Dari SMA gue sama Dara lempeng-lempeng aja kan,”
kata Damar. “Udah ah, gue mau makan dulu. Mau ngikut gue gak?”

“Boleh deh. Gue juga mau makan sih abis nganterin bini juga nih gue kayak elo,” kata
Riza.

“Oh iya, Sinta kan pramugari ya? Lupa banget gue. Pantesan lo jam segini udah
nangkring dimari,” kata Damar yang langsung mengajak Riza ke parkiran bersama. “Cerita-
ceritnya pas makan aja ya. Ini mau makan dimana ngomong-ngomong?”
“Bubur ayam Sukabumi masih sepi sih jam segini. Situ aja yuk, gue kepengen banget
dari kemaren,” ajak Riza.

Damar mengeluarkan kunci mobilnya. “Oke, yang di tebet kan?”

“Yoi, sampai ketemu disana!”

Mereka memesan bubur, pempek, dan beberapa gorengan yang bisa mereka jadikan
untuk menyantap bubur. Percakapan dimulai dari topik mengenai pekerjaan masing-masing,
Damar sebagai Notaris dan Riza sebagai Produser Musik. Mereka membahas bagaimana hidup
mereka dipenuhi dengan segala macam persoalan yang akhirnya membawa topik pembicaraan
berubah menjadi nostalgia masa SMA dulu.

“Gila ya, kalau gue pikir-pikir, keren juga lo sama Andara. Jadiannya dari SMA kelas
sebelas, pacarana lama banget terus nikah,” kata Riza. “Nggak pernah kedengeran nasib
hubungan lo berdua setelah lulus, nongol-nongol udah tunangan. Bisa gitu lo, Mar.”

Damar sambil mengunyah menjawab, “Padahal dulu waktu gue bilang mau deketin
kakak kelas yang ngomelin gue pas ospek, lo ngiranya gue lagi ngibul kan? Hahahaha, gak
pernah main-main gue kalau udah niat.”

“Ya gimana nggak kaget? Lu ngedeketin Kak Andara loh. Cewek paling cakep, paling
mulus, paling pinter, paling galak juga tapi. Hahahaha, kagak tau nya dia mau sama adek kelas
dekil kayak elo. Gantengan juga gue, Mar dulu dibandingin sama elo,” kata Riza.

“Bener sih, Ja. Gue sama lo, emang gantengan elo pas SMA. Mantan aja banyakan elo
dibanding gue,” kata Damar. “Tapi, itu kok lo bisa nemu aja tuh modelan kayak Sinta? Kenal
dari mana emangnya kalian?”

Damar mengambil sate ati ampelanya dan menyantapnya dengan lahap. “Dikenalin
sama bokap,” katanya sambil menguyah. “Bokap gue ngebet banget gue kawin. Dia khawatir
gue kena gossip sama artis-artis yang rekaman sama label gue. Ya udahlah gue ikutin aja mau
dia, kasihan juga sih gue sama bokap. Udah tua belum bisa lihat gue ngelamar cewek. Eh, pas
gue ketemu sama Sinta, ternyata menarik banget cuy. Kenal, kenal, pacaran, ya udah jadi deh
kayak sekarang.”

“Pernah khawatir gak sih lo ngelepasin dia terbang? Maksudnya, lo paham kan resiko
pekerjaannya dia kayak apa?” tanya Damar.

Riza menganggukkan kepala. “Paham banget dan khawatir banget. Tapi, gue nggak bisa
lah nyuruh dia berhenti kerja. Paling nggak sampai kita punya anak dulu, baru deh nanti gue
coba-coba bujuk buat setidaknya dia mengurangi kerjaan dia,” kata Riza. “Kalau lo? Gimana?
Kan lebih lama elo nih yang nikah…”

“Apaan? Anak?” Damar langsung menembak saja. Dia sudah tahu maksud dari arah
pembicaraan yang Riza ingin bahas.

Riza menganggukkan kepalanya. “Kalau lo mau bahas aja sih, kalau nggak mau juga
santai aja. Gue gak penasaran kok.” Ucapnya.

“Ini sebenarnya udah program dari tahun lalu, Ja. Cuman belum menang terus,
mungkin karena gue sama Dara terlalu sibuk kali ya? Jadinya gue sama dia kayak lagi lomba,
nggak kerasa cuy enaknya. Mungkin emang harus bulan madu kedua sih,” kata Damar.
“Makanya, ini si Dara lagi usaha menangin klien dulu. Biar atasannya kasih dia jatah cuti
sebulan.”
Ternyata rasanya masih sama. Bercerita dengan sahabat karib sewaktu SMA memang
paling nyaman. Semenjak menikah, Damar hanya fokus pada dunianya dan lupa untuk berbagi
masalah dengan teman. Hanya selalu kepada Andara saja, hanya satu pandangan yang bisa dia
dengar. Kalau seperti sekarang, dia bisa didengarkan oleh orang lain. Untung sekali Damar
bertemu dengan Riza hari ini.

“Tenang aja, Mar. Nikah tuh bukan urusan anak, nikah tuh urusan dua kepala jadi satu.
Gue aja belum kepikiran mau program kapan. Kita masih muda Mar, jangan dipaksain. Kasihan
nanti Andara,” ujar Riza.

“Karena gue sama Dara nikahnya udah lama, jadinya itu juga yang bikin gue sama dia
agak kepikiran. Padahal orang-orang nggak ada yang ngeburu-buruin kita sih,” kata Damar.

Riza mengangguk. “Itu dia, tadi gue bilang kan jangan dipikirin banget. Pokoknya
santai aja santai. Ntar juga dapet. Anak tuh kayak jodoh menurut gue.”

“Asli, sekarang lo makin bener otaknya, Ja. Kemana nih Rija yang demen masuk ruang
BK? Nggak kenal gue nih sama yang sekarang lagi nguyah bakwan.” Canda Damar.

“Yeee, serius ini gue, Mar. Sialan juga lo.”

Mungkin, seharusnya Damar lebih sering berbicara dengan teman-temannya. Supaya


pikirannya lebih tenang dan bebannya bisa terasa lebih ringan.

Begitu mereka mau pulang, Damar yang membayar semua pesanan mereka. Dia ingin
sekali-sekali bisa berkontribusi dalam urusan menaktir teman. Dia jarang sekali melakukan ini.

“Ja, makasih banget ya. Masih seru ternyata nongkrong sama lo. Kapan-kapan lagi kali
ya? Gantian lo yang bayarin gue. Tapi makannya di Ootoya dong hahaha…”

Riza tertawa. “Sama-sama, Ja. Nanti gue teraktir Ootoya sampai kenyang, asal elo mau
ya gue suruh tanda tanganin surat pemindahan kepemilikan tanah punya bokap gue di
Kalimantan.”

“Yakali!”

-Fin.

54. Health and Healing

(by Rixxanna)

Pernikahan yang dilakukan oleh Lea dengan Andra mungkin hanya sebatas marriage of
convenience. Pernikahan yang disusun oleh kedua orang tua Lea dan Andra yang ingin
meintegrasikan bisnis mereka yang linier. Lea dan Andra awalnya menolak untuk melakukan
pernikahan yang hanya menguntungkan kedua orang tua mereka masing-masing. Seakan-akan
Lea dan Andra tidak memiliki perasaan atau hubungan asmara dengan orang lain. Baik Lea
maupun Andra menjalani dua dunia yang berbeda dengan kedua orang tua mereka yang
pebisnis.

Lea menjalani kehidupan sebagai aktris dan Andra menjadi seorang dokter. Keduanya terlalu
mencintai pekerjaan mereka masing-masing dan mundur dari pekerjaan yang sudah menjadi
bagian besar dari hidup mereka untuk melanjutkan bisnis kedua orang tua mereka sebagai
suksesor bukanlah sebuah pilihan.

Bagi Lea, Andra bukanlah orang asing. Keduanya sudah saling mengenal semenjak remaja dan
sempat satu sekolah ketika SMA. Adalah Andra yang pertama kali menghubungi Lea untuk
membicarakan masalah ini dengan kepala dingin. Andra mengatakan ia tidak bisa mundur dari
pekerjaannya dan ingin bisnis garmen milik keluarganya di jalankan oleh sang Kakak. Tidak
jauh berbeda, Lea juga mengutarakan opininya tentang bisnis katun milik orang tuanya lebih
baik di pegang oleh sang Adik yang memang mengambil jurusan business management.

Their parents agree. But they need to take part in marriage. It’s the least they can do.

Merasa pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka tidak akan diusik jika mereka menyetujui
untuk menikah, Lea dan Andra pun setuju.

Pernikahan mereka berjalan sakral dan cepat. Tidak banyak yang mempertanyakan pernikahan
yang terkesan buru-buru karena baik Lea dan Andra merupakan pribadi yang private tentang
hubungan asmara masing-masing. Mungkin hanya teman-teman SMA Lea dan Andra yang
berkata, “Wah, kalian jadi juga ya! Gue bilang juga apa dulu, kalian itu cocok.”

Lea dan Andra hanya bisa tertawa canggung atau memberikan respon, “Ahahaha, iya ya?”

Saling toleransi dan menghormati mungkin itu pilar utama pernikahan Lea dan Andra. Lea
memahami jadwal praktek dan operasi Andra yang tidak tentu dan Andra memahami proses
syuting yang harus dijalani Lea sebagai aktris. Lea akan menyiapkan sarapan untuk Andra
setiap pagi, dan Andra bertugas mengurus laundry dan mobil. Andra tidak melarang Lea untuk
pergi kemana pun yang ia suka, berkenalan atau berkencan satu dua kali dengan orang lain,
asalkan Lea izin atau setidaknya memberikan kabar.

Kedamaian itu hanya bertahan hingga bulan keempat pernikahan mereka. Kali ini kedua orang
tua Lea dan Andra meminta hal lain yang cukup mengejutkan keduanya.

Kedua orang tua mereka menginginkan keturunan. Katanya, “kalau ada anggota keluarga yang
baru, pasti kalian bisa lebih mesra lagi.”

Tidak bisa dibohongi, sebagai pasangan suami istri, Lea dan Andra tidak mungkin tidak
mencoba untuk memberikan keturunan kepada orang tuanya. Mereka sudah menduga bahwa
cepat atau lambat kedua orang tua mereka akan meminta keturunan. Mereka hanya tidak
menduga bahwa hal itu akan datang begitu cepat. Dan sejujurnya, Lea dan Andra pun sudah
mencoba beberapa kali untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan sebagai
sepasang suami dan istri.

Dua garis merah itu hadir di bulan keenam pernikahan Lea dan Andra. Ternyata, ketika berita
Bahagia itu benar-benar terjadi, Lea menangis penuh haru tidak bisa menyembunyikan
kebahagiaan yang perlahan menyisipi hatinya. Andra hari itu pulang cepat dari rumah sakit
untuk merengkuh istrinya dengan penuh kehangatan.

Lea bisa melihat perubahan dalam diri Andra semenjak dirinya mengandung. Sang suami lebih
meluangkan waktu di rumah, mengurangi jadwal operasi, dan lebih sering memasak makanan
penuh gizi dan serat untuk istrinya. Lea tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa benar, Andra
adalah suami yang baik dan penuh perhatian. Ia sering mengajak calon bayi yang ada di perut
Lea berbicara dan seiring berjalannya kandungan Lea, perbincangan kecil yang selalu Andra
lakukan dijawab dengan tendangan kecil sang bayi.

Orang tua Andra dan Lea berlomba-lomba memberikan hal-hal yang dapat menyokong gizi dan
kesehatan Lea dan calon bayinya.

Pekerjaan Lea sebagai seorang aktris pun tetap berjalan meskipun jadwalnya sudah sangat
dikurangi. Dan malam itu, saat Lea sedang syuting, terjadi kecelakaan peralatan-peralatan
special effect yang mengacaukan set syuting. Lea menjadi salah satu korban kecelakaan set
tersebut langsung dilarikan ke rumah sakit.

Di malam Lea mengalami kecelakaan, di malam itu pula Andra harus mengambil keputusan
terbesar dalam hidupnya. Andra saat itu juga menyadari bahwa ia menyayangi Lea lebih dari
dirinya, ia juga menyayangi bayi yang belum sempat terlahir dan ia dengar tangisannya. Andra
harus tetap memilih, dan Andra memilih Lea.

Sayangnya, setelah peristiwa yang begitu menyedihkan bagi mereka, justru membuat hari-hari
Lea dan Andra berubah.

Lea seperti tidak mengenal Andra. Suaminya bagai orang asing yang hidup satu atap
dengannya. Lea tidak lagi tidur di kamar yang sama dengan Andra, ia memilih untuk tidur di
kamar berwarna biru muda yang sudah disiapkan untuk sang calon bayi yang tidak pernah hadir
dalam hidup mereka. Lea tidak pernah keluar rumah, ia hanya mengurung diri di kamar sang
bayi dan menangis.

Sebagai seorang dokter tentu Andra paham situasi yang dihadapi istrinya. Dirinya pun belum
sepenuhnya sembuh. Akan tetapi, sebagai seorang suami, hati Andra tercabik melihat Lea
kehilangan dirinya sendiri.

Mungkin waktu yang akan menjawab..

Di hari ke lima puluh sejak Lea keluar di rumah sakit, Andra akhirnya mengambil keputusan. Ia
membutuhkan Lea untuk menjalani hidup ini dan mungkin – walaupun hanya setitik – Lea juga
membutuhkan dirinya untuk terus hidup, mereka saling membutuhkan.

Andra mengetuk kamar sang calon bayi dengan getir dan menemukan Lea yang terduduk di
pojok kamar menekuk kedua kakinya.

“Tidak, Jangan-, Jangan menyentuhku.” Pekik Lea menghindar dari sentuhan halus dari sang
suami yang putus asa. Mata Lea menatap Andra dari sudut matanya dengan hampa, napasnya
berderu cepat. Tubuh Andra dan Lea gemetar karena rasa takut yang tidak diketahui datang
dari mana.

“Lea, aku tidak akan menyakitimu. Lea, ini aku.” Ucap Andra dengan lembut sembari meraih
tangan Lea, kemudian mengenggamnya dengan erat. Mata mereka bertemu. “Lea, dengarkan
aku. Lihat aku. Kamu tidak salah. Tidak ada yang menyalahkanmu. Aku disini, Lea. Aku tidak
akan membiarkan apapun menyakitimu.”

Andra bersumpah ia hampir mengira Lea akan menghempas tangannya dengan panik namun
diluar dugaannya, tangan istrinya perlahan rileks, air mata mulai berkumpul di pelupuk
matanya. Ia menarik napas karena dadanya yang sesak. “A-aku…”

“It’s okay,” ucap Andra dengam senyuman khasnya merengkuh Lea dalam pelukan yang kali ini
tidak dihempasnya. “Tidak apa-apa, Lea. Aku disini bersamamu.”

Maybe it is indeed take two to heal a heart. Lea and Andra are willing to learn to cope, to
fulfill each other. Somehow, this marriage means way more meaningful than before.

Fin.

55. Separation

(by Astawwy)

Berdiri di tempat seperti ini sampai hari kesekian tidak bisa dikatakan sebagai sebuah
kemahiran, melainkan sebuah keberuntungan. Setelah berpuluh-puluh orang terluka, ratusan
orang telah tewas, dan tersisa seribu lima ratus orang lagi yang masih hidup hingga sekarang,
lagi-lagi merupakan sebuah keberuntungan setiap pejuang yang ada disini. Bisa dibilang,
mereka yang berhasil bertarung dan bertahan hingga detik ini bukan saja bertahan untuk
negara, namun untuk keluarga yang sedang menunggu mereka di rumah.
Malam ini menjadi pertarungan terakhirnya dengan para sekutu yang masih
berdatangan untuk memberikan bantuan pada sesama pejuang. Tidak banyak kalimat yang
keluar dari mulut setiap manusia-manusia yang sedang bersembunyi di balik persembunyian
mereka. Hanya ada bunyi senapan serta angin malam yang bertiup dengan kencang mengisi
keheningan di sela-sela peperangan ini.

Mereka sedang menunggu aba-aba dari baris depan. Sebagian ada yang sudah siap di
posisi, ada yang masih memakai sepatu dan peralatan, ada yang sudah berdiri di posisi namun
terlihat lebih santai karena sambil memakan roti gula, dan masih banyak lagi.

Dong Hyun membetulkan posisi topinya dan memeriksa ulang senapan yang sudah dia
lingkarkan di tubuhnya. Setelah itu, dia meraih sebuah buku bersampul kulit warna coklat dan
membukanya. Terdapat tiga buah foto yang dia tempel erat. Dia tersenyum menatapi foto
tersebut.

“Istrimu?” tanya pria muda di sebelahnya yang mungkin umurnya sama dengan Dong
Hyun. Pria itu baru saja meminum air dari botol minumnya.

Dong Hyun mengangguk. “Iya, supaya pemandangan indah terakhir yang bisa kulihat
adalah senyuman istriku,” katanya dengan miris.

Pria itu mengintip foto yang ada di tangan Dong Hyun. “Itu foto sonogram?” tanyanya
lagi sambil menunjuk pada objek yang dimaksud.

“Iya,” jawab Dong Hyun. “Dia sedang hamil empat bulan sewaktu kutinggal kesini.
Mungkin sekarang dia sudah melahirkan.”

“Wah, selamat.”

Dong Hyun berdecak. “Jangan ucapkan itu dulu,” katanya. “Jepang belum menyerah,
belum saatnya kita bisa merayakan.”

Percakapan pendek itu berakhir sampai disitu saja. Sebelum akhirnya, perang benar-
benar dimulai. Dong Hyun melakukan perlawanan sebisa mungkin bersama orang-orang lainnya.
Kaki kirinya sudah terluka akibat pukulan kencang entah dari mana. Dia berlari, tiarap,
berguling, melakukan tembakan berkali-kali. Ini begitu melelahkan, namun dia harus tetap
berusaha untuk kembali pulang dan bertemu dengan Ji Eun.

Malam semakin larut, cahaya semakin berkurang. Dong Hyun sudah kehabisan peluru.
Dia hanya bisa bersembunyi dibalik kubangan yang cukup dalam. Tidak berhenti dia berdoa dan
berharap bala bantuan segera datang. Atau mungkin keajaiban, adanya pengumuman yang
memberi tahu bahwa mereka akan menunda waktu penyerangan selama beberapa jam. Dong
Hyun ingin segera keluar dari persembunyiannya untuk mendapatkan pengobatan pada kaki
kirinya. Sepertinya dia sudah tidak bisa berlari dengan kencang jika tiba-tiba ada musuh
datang untuk menyerang. Luka di kaki kirinya sudah cukup parah dan mungkin hampir infeksi.
Semoga tidak. Semoga.

Namun, suara tembakan kembali berbunyi. Dong Hyun semakin merendahkan posisinya
dan menahan nafasnya supaya tidak terdengar. Kali ini dia benar-benar tidak bisa melakukan
apa-apa selain berharap untuk adanya keajaiban.

Seseorang membekap mulut Dong Hyun dan menariknya pergi sambil terus menunduk.
Orang itu adalah pria yang tadi berbicara dengannya. Dong Hyun terdiam dan membiarkan pria
itu membawanya pergi ke suatu tempat yang lebih aman.
“Jepang sudah kalah. Namun sepertinya mereka akan melemparkan bom terakhir,”
bisik pria itu pada Dong Hyun.

“Jika kau yang selamat, kau ambil pluit yang ada dalam saku celana sebelah kananku.
Supaya pertolongan segera datang dan membawamu kembali pulang. Mengerti?”

Dong Hyun terheran. “Kita berdua harus selamat,” katanya dengan yakin.

“Harusnya memang begitu. Tapi, jika boleh bernegosiasi dengan nasib, lebih baik kau
saja yang selamat dan pulang.” Kata pria itu.

“Kenapa begitu?” tanya Dong Hyun yang semakin heran.

Pria itu menepuk pundah Dong Hyun. “Keluargamu menunggu di rumah. Putrimu atau
putramu belum sempat melihat Ayahnya. Bagimu, pulang adalah tanggung jawab. Bagiku,
pulang adalah keinginan. Sudahlah, jangan banyak bicara.”

Beberapa menit kemudian, semuanya menjadi gelap. Dong Hyun tidak bisa mendengar
apa-apa lagi selain kupingnya yang menjadi pengang seketika. Dia tahu tubuhnya terlempar
jauh. Dia tahu, dia terpisah oleh pria yang tadi berbicara kepadanya. Hanya itu yang ada di
dalam pikiran Dong Hyun sebelum semuanya menjadi gelap.

Ji Eun membuka sebuah amplop berwarna coklat yang bertuliskan, “Im Dong Hyun”.

Dia menghela nafasnya dengan panjang sebelum membaca isi surat tersebut.

Teruntuk, Lee Ji Eun yang sekarang mungkin sedang melewati masa paling bahagia
dalam hidupnya bersama bayi lucu di dekapannya.

Aku akan berusaha pulang untukmu. Kita sudah menang, saatnya pulang dan kembali
ke dalam pelukanmu. Aku merindukanmu, istriku.

Tapi, maafkan aku jika saat aku kembali, aku sudah tidak sesempurna yang dulu. Aku
kehilangan sebelah kakiku, dan aku tidak bisa mendengar dengan begitu baik. Dokter sedang
mengusahakan untuk memberiku alat pendengaran sampai nanti kemampuan mendengarku
kembali normal.

Jangan bersedih, aku akan pulang. Kali ini benar-benar pulang dan tidak akan
meninggalkanmu lagi.

Maafkan aku, karena tidak bisa ada di masa-masa sulit dan senangmu. Aku harap, kau
bisa mencintaiku dengan sama ketika nanti aku kembali.

Love, Im Dong Hyun.

-Fin.

56. Everything For You


57. Slow Down

58. Heartfelt Apology

(By: Astawwy)
Kita memang lebih sering memikirkan bagaimana tragisnya hati kita yang hancur
dibandingkan memikirkan bagaimana hati orang lain yang sudah pernah dihancurkan oleh kita.
Awalnya, aku tidak pernah berpikir bahwa penolakan beberapa tahun yang lalu aku lakukan
adalah sebuah kesalahan atau dosa. Aku tidak pernah berpikir, bahwa suatu hari nanti aku
akan melihat bagaimana sebuah penolakan yang aku lakukan akan berbalik kepada diriku
sendiri.

Orang seringkali menolak diriku. Entah karena apa, mungkin karena aku kurang
beruntung. Atau mungkin juga karena aku yang sebenarnya memang tidak se-berbakat itu
dalam urusan berakting. Berpuluh-puluh audisi sudah aku lakukan dan tidak ada yang mau
memberikanku kesempatan untuk menjadi seorang pemeran utama. Sekali pun ada yang ingin
mencoba kebolehanku sekali lagi, itu juga hanya menjadi pemeran pembantu.

Kembali lagi pada topik penolakan. Kali ini, aku berdiri dengan tegap setelah berhasil
menyelesaikan penampilanku barusan. Tubuhku berdiri dengan tegap, kedua mataku terkena
cahaya dari lampu sorot. Aku kembali mencoba untuk melakukan audisi. Aku sama sekali tidak
tahu siapa yang akan menjadi pemeran utama pria dalam pementasan teater ini. Yang aku
tahu, pemain utama pria nya sendiri yang akan melakukan audisi untuk menentukan siapa yang
pantas untuk menjadi lawan mainnya nanti. Tiba-tiba suara yang dulu selalu berusaha untuk
mengajakku berbicara, mengisi seluruh isi ruangan.

“Choi Sungkyung,” ucap suara itu dengan cukup kencang karena pengeras suara yang
berada di hadapannya. “Terima kasih untuk pementasannya tadi.”

Seketika, tubuhku bergetar. Tentu saja, aku tahu siapa pemilik suara yang sedang
berbicara denganku sekarang. Laki-laki itu duduk di mejanya sambil membaca-baca ulang
portofolio yang berisi semua data dan pengalamanku dalam dunia teater ini.

Apakah aku malu? Tentu saja. Portofolioku hanya berisikan peran-peran kecil yang
sudah pernah aku mainkan. Berbanding terbalik dengan dirinya yang entah sudah berapa kali
mendapatkan peran utama.

“Bisakah kau berikan alasan mengapa aku harus memilihmu untuk menjadi
pasanganku?” tanya laki-laki itu.

Ini seperti dejavu. Aku pernah mengatakan hal yang sama bertahun-tahun lalu.

“Maksudku,” laki-laki itu kembali bersuara. “Pasanganku dalam pementasan ini.”

“Ya, Park Segun. Bisakah kau berikan alasan mengapa aku harus menerimamu menjadi
kekasihku?”

Potongan adegan beberapa tahun lalu seketika muncul dalam benakku. Sekali lagi, aku
mencoba untuk memberikan jawaban yang sekiranya bisa membuatku selamat. Aku sudah tidak
berani berharap akan “terpilih” di pementasan ini. Jadi, aku memutuskan untuk mencari
jawaban yang masuk akal untuk menjawab pertanyaan sosok yang sedang menatapku dengan
datar dari mejanya. Dia menungguku untuk bersuara, masih dengan tatapan datarnya, yang
entah mengapa membuatku semakin sulit untuk bersuara.

“Apa pun yang sedang membuatmu gugup, mohon disingkirkan dulu. Kau sudah
melakukan pementasan yang luar biasa. Sayang sekali jika kau harus gagal hanya karena kau
tidak bisa menjawab pertanyaan yang mungkin sudah tidak asing lagi untukmu,” kata Se Gun.
“Kau tentu sudah sering mendapatkan pertanyaan ini bukan? Ketika sedang melakukan audisi.”

Nada suaranya yang tidak lagi seperti dulu membuatku semakin takut. Apalagi setelah
mendengar ucapannya barusan.

Tentu saja aku pertanyaan seperti itu tidak asing lagi untukku.
Aku berdeham. “Hanya ada satu jaminan yang bisa aku berikan jika aku terpilih,”
ujarku berusaha untuk tetap terlihat tenang.

Se Gun menyimak.

“Aku bisa membuktikan bahwa aku lebih baik dari semua orang yang telah berusaha
untuk berdiri disini. Tidak dengan pengalamanku, tapi dengan kemampuanku.”

Se Gun menganggukkan kepalanya dan menepuk tangannya beberapa kali.

“Terima kasih, Choi Sungkyung-sshi. Kau bisa menunggu kabar dariku minggu depan.”

Sebelum aku keluar dari auditorium, Se Gun memanggil namaku. Tapi tidak dengan
pengeras suara. Aku menoleh ke arahnya dengan takut.

“Sekarang giliranmu yang membuktikan kepadaku bahwa kau bisa menjadi seseorang
yang pantas,” ujarnya dengan santai. Dia tersenyum tipis, senyuman yang sama seperti
terakhir kali aku benar-benar menolaknya beberapa tahun lalu. “Angkat dagumu, kita teman
bukan?”

Teman.

“Kita tidak bisa bersama, Park Se Gun. Tapi, jika kau membutuhkanku, kau boleh
menghubungiku kapan saja. Kita teman bukan?”

Sungkyung menganggukkan kepalanya. “Iya, terima kasih, Park Se Gun-sshi.”

Aku tahu, penolakan-penolakan yang seringkali aku ucapkan tanpa sekali pun
mengucapkan kata maaf, membuat seorang Park Se Gun menjadi dirinya yang sekarang. Dan
rasanya, semua penolakan yang aku lakukan kepadanya dulu juga membuat diriku menjadi
seperti sekarang.

-Fin.

59. Challenged

60. Exhaustion

(by Astawwy)

Suara alarm membangunkan Ji Woo yang masih ingin menutup kedua matanya di pagi
hari ini. Namun, mengingat hari ini ia memiliki setumpuk pekerjaan yang sudah menunggunya
di kantor, Ji Woo tidak bisa mengikuti rasa malasnya terlalu lama. Cepat-cepat ia mandi,
berdandan seadanya, memilih pakaian yang rapih untuk ia gunakan ke kantor, dan membuat
sarapan dengan cepat supaya bisa langsung ia santap sampai habis. Ji Woo tentu tidak lupa
untuk membawa laptopnya karena ada dua presentasi yang harus ia tampilkan hari ini di
kantor.

Karena Ji Woo masih ingin membaca beberapa bahan untuk presentasinya hari ini,
akhirnya ia memutuskan untuk berangkat ke kantor dengan taksi saja. Supaya dirinya bisa lebih
santai di perjalanan menuju kantor.

Ji Woo membuka ruangannya yang baru saja dibersihkan oleh cleaning service. Ruangan
yang baru ia tempati selama tiga bulan belakangan ini memang jauh lebih besar dan nyaman.
Kenaikan pangkat Ji Woo beberapa bulan lalu membuatnya bisa mendapatkan tempat baru ini.
Belum ada lima belas Ji Woo duduk di bangkunya dan membuka laptop, pintu
ruangannya sudah diketuk. Ia mempersilahkan orang yang mengetuk pintu ruangannya dan
ternyata orang itu adalah Young Soo.

“Ada apa? Aku baru saja sampai,” kata Ji Woo tanpa menatap sahabatnya itu. Kedua
matanya masih sibuk membaca presentasinya di laptop.

Young Soo duduk di sofa yang tersedia di ruangan Ji Woo dengan nyaman. “Aku hanya
ingin mengingatkanmu kalau hari ini kita akan berkunjung ke KHPO,” katanya.

Mendengar kata KHPO, Ji Woo langsung berhenti melakukan kegiatannya. “Hah?


Memangnya jadi?”

Sahabatnya menganggukkan kepala. “Iya, memangnya kenapa? Bukannya kau selalu


senang kalau kita akan melakukan kunjungan kesana?” ucap Young Soo dengan nada menggoda
Ji Woo.

Ya, memang benar, Ji Woo akan sangat senang jika ingin melakukan kunjungan ke
KHPO. Alasannya adalah karena disana ia bisa bertemu dengan kekasihnya. Akan tetapi, untuk
hari ini, Ji Woo merasa sedikit malas untuk berkunjung kesana.

“Kalian bertengkar lagi?” tanya Young Soo lagi, dia selalu bisa membaca suasana hati Ji
Woo dengan tepat.

Ji Woo mengangkat pundaknya. “Entahlah, aku sedang tidak ingin bertemu dengannya
dulu,” ujarnya. “Belakangan hari ini, setiap kali kita bertemu, pasti perbincangan kita akan
berakhir dengan pertengkaran.”

Young Soo tertawa dan menggelengkan kepalanya. “Ji Woo-ya, aku sangat mengerti
kondisimu yang sering ditinggal oleh Haneul keluar kota atau bahkan keluar negeri. Tapi, kau
harus ingat kalau itu adalah—”

“—iya, iya. Itu memang pekerjaannya.” Ji Woo memotong ucapan Young Soo. Dia
menyenderkan tubuhnya di bangku kerjanya.

Young Soo berjalan menghampiri Ji Woo yang terlihat sangat kacau. Dia tersenyum dan
berkata, “Kalian sedang lelah dengan pekerjaan masing-masing. Jangan biarkan keterdiaman
yang ada di antara kalian ini berlangsung terlalu lama. Kau pasti tidak ingin menyesal di
kemudian hari kan?”

Mendengar ucapan Young Soo barusan, membuat Ji Woo sedikit kepikiran juga
sebenarnya. Menimbulkan perasaan yang tidak bisa ia pungkiri, memang sedang ia rasakan
sejak tiga hari yang lalu. Ia merindukan Haneul.

“Tapi, sepertinya dia benar-benar kesal kepadaku,” kata Ji Woo. “Dia bahkan tidak
menelpon sejak kemarin.”

“Haneul tidak menelponmu?” tanya love.

Ji Woo menganggukkan kepalanya.

“Kenapa kau diam saja? Kenapa harus dia yang menelponmu lebih dulu setiap kali
sedang bertengkar?” Young Soo mendekatkan wajahnya pada Ji Woo, “ingat, Haneul itu banyak
yang incar loh di kantornya…”

Benar juga…

“Jam berapa kita ke KHPO?” tanya Ji Woo dengan nada ketus.


Young Soo tertawa. “Sehabis makan siang. Tenang saja, presentasimu hari ini hanya
satu kok. Projek musim gugur biar aku saja yang menjelaskan. Kau berikan saja brief nya ke
email ku.”

--

Mereka sampai di KHPO sekitar setengah dua siang. Sesuai dengan janji yang sudah
dibuat oleh Young Soo, mereka akan bertemu dengan pihak KHPO pukul dua. Mood Ji Woo
untungnya sudah mulai bagus karena presentasi yang dia lakukan tadi pagi mendapat respon
yang baik dan sedang didiskusikan oleh Mr. Kang beserta rekan-rekannya yang memiliki posisi
lebih tinggi di KCHC. Tadi saat makan siang juga, Ji Woo mencoba untuk mengirimkan pesan
kepada Haneul. Sekedar menanyakan kabarnya dan bertanya apakah dia sudah makan siang
atau belum. Dan ternyata, pesannya langsung dibalas dengan oleh kekasihnya.

From : My Sky.

Aku sudah makan siang, hari ini boss ku mentraktir kita semua. Kau sudah?

Ternyata respon yang diberikan oleh Haneul tidak berubah. Mungkin benar yang
dikatakan oleh Young Soo tadi pagi. Mereka sedang sama-sama lelah, dan seharunya tidak
harus selalu Haneul yang memulai untuk menghubungi Ji Woo.

Dan juga, sebenarnya alasan mereka bertengkar beberapa hari yang lalu karena Ji Woo
yang tidak berkata jujur kepada Haneul. Seharusnya, Ji Woo jujur saja pada Haneul kalau dia
memang akan melakukan perjalanan bisnis dengan klien laki-laki. Walaupun, memang, Haneul
pada akhirnya akan tetap kesal karena laki-laki yang akan melakukan bisnis dengan Ji Woo
pernah memiliki hubungan spesial di masa lalu. Tapi setidaknya, Ji Woo harus tetap jujur
kepada Haneul.

“Loh? Kalian kesini?” suara yang sangat Ji Woo kenali membuyarkan pikirannya.

Hanuel berdiri di hadapannya dan Young Soo dengan wajah yang terlihat terkejut.
Kekasihnya itu langsung duduk di samping Ji Woo dan kembali bertanya, “Ada tugas apa lagi
yang harus kalian selesaikan dengan KHPO?”

“Biasalah, merapihkan dokumen projek bulan lalu dan membahas soal kesepakatan
pembagian dana. Sebenarnya aku saja yang ditugaskan, tapi Ji Woo ingin ikut kesini katanya,”
kata Young Soo mengarang cerita.

“Hah? Bukannya kau yang—”

Young Soo tidak membiarkan Ji Woo menyelesaikan ucapannya, dia langsung berdiri
dan kembali berbicara kepada Haneul. “Sepertinya aku sudah harus ke ruangan. Kau sedang
menanggurkan? Ji Woo bersamamu saja ya.”

Setelah itu, Young Soo meninggalkan Ji Woo berdua saja dengan Haneul.

Astaga, kenapa aku bodoh sekali. Kenapa aku mau saja dibohongi Young Soo.

Ji Woo merasa canggung. Entah karena apa. Dia tidak tahu harus berbuat apa, karena
Haneul pun juga terdiam dan tidak mengajaknya berbicara sama sekali.

Ini pertama kalinya mereka menjadi canggung seperti ini setelah sekian lama mereka
menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Terakhir kali mereka seperti ini mungkin dulu
sekali, ketika mereka baru saja berpacaran.
Di tengah kegelisahan hatinya, Ji Woo memutuskan untuk meraih tangan Haneul. Dia
memberanikan diri untuk menatap wajah kekasihnya. Dan saat Ji Woo melihat wajah laki-laki
yang sedang terduduk di sampingnya, dia langsung tahu alasan mengapa Haneul menjadi
sangat diam terhadap dirinya.

Haneul terlihat sangat lelah.

Ji Woo menggenggam tangan Haneul dan mengajaknya bicara. “Kau ingin membahas ini
denganku?” tanyanya dengan pelan.

Haneul menoleh dan wajah mereka akhirnya bertemu. Dia menatap Ji Woo untuk
beberapa saat, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya. Tangannya yang tidak digenggam
oleh Ji Woo bergerak untuk menyentuh pipi kanan Ji Woo.

“Nanti ya,” kata Haneul.

Ketika kekasihnya sudah memutuskan sesuatu, Ji Woo tidak bisa melakukan apa-apa
selain menuruti keinginannya saja.

“Aku ke apartemenmu ya nanti malam,” kata Ji Woo.

Haneul tersenyum. “Noona, kau tidak pernah mengatakan itu setiap kali kau ingin ke
apartemenku. Kau bahkan tahu passwordnya.”

Ah, benar juga.

“Jangan diam saja, makanya. Aku jadi seperti orang bodoh.”

Haneul tertawa singkat. “Ya sudah, iya aku tidak diam lagi. Nanti sore sebelum pulang,
kau ingin kemana dulu?”

Ini baru Lee Haneul.

“Hmm?” pikir Ji Woo. “Bagaimana kalau kita makan makanan kesukaanmu saja?”

“Oke, kita makan itu dulu baru kita pulang ya.”

Pulang. Ji Woo tersenyum dan perasaan gelisahnya telah berkurang walau sedikit.
Sepertinya, ia harus berterima kasih pada Young Soo.

- Fin.

61. Accuracy
62. Irregular Orbit
63. Cold Embrace
64. Frost
65. A Moment in Time
66. Dangerous Territory

67. Boundaries

(By: Rixxanna)

Berbicara mengenai sebuah batas tentu adalah sebuah hal yang semua. Batas dapat
dikatakan menjadi sesuatu yang konkrit apabila kamu dan pihak kedua selain dirimu membuat
sebuah kesepakatan tentang apa yang boleh apa yang tidak boleh. Adapula yang menyebut
batas sebagai sebuah prinsip. Prinsip yang dibuat dirimu sendiri, prinsip yang dirimu buat untuk
membatasi dirimu dari hal atau seorang yang dapat menggangu dirimu. Namun, sebuah batas
bagimu bukan tentu menjadi sebuah batas baginya. Sama seperti yang Lee Jieun lakukan
sekarang. Wanita berusia 28 tahun yang sekarang menjadi pebisnis muda itu sedang mendapati
dirinya memandangi pria yang sedang menjelaskan konsep landscape beauty space yang sedang
direncanakan oleh perusahaan miliknya.

Sejak awal merencanakan untuk membuka beauty space bagi brand kosmetik indie
milik Lee Jieun, Jieunesse, dirinya sudah mempercayakan semua hal terkait konsep, bentuk,
hingga arsitektur pada Lee Beauty Team yang berisikan orang-orang kepercayaan Lee Jieun
dari awal ia memulai bisnisnya. Jieun sebagai CEO bertugas untuk meverifikasi dan memantau
jalannya proses pembuatan beauty space ini karena ia sudah berfokus pada pembuatan dan
formulasi produk. Semuanya berjalan lancar, hingga asistennya, Kim Suhyun, mengabarkan
bahwa arsitek desain interiornya akan datang ke kantor untuk sign contract dan membicarakan
mengenai konsep beauty space nya.

Jieun yang saat itu sedang sibuk dengan penyempurnaan produk baru bisa membaca
company profile serta profil nama perancang interior yang akan meeting dengan Lee Beauty
Team di hari yang sama. Jika saja refleks Jieun sedang buruk saat itu, mungkin cangkir teh
yang sedang ia pegang akan pecah ketika Jieun menemukan sebuah nama yang ia pikir telah ia
tinggalkan dan ia kubur di Los Angeles lima tahun lalu.

“Suhyun-ah, ini nama perancang interior kita?”

“Ah, iya Sajangnim!” jawab Suhyun dengan penuh senyuman, “Kita begitu beruntung berhasil
mendapatkan DH Interior Consultant untuk bekerja dengan Jieunesse. DHIC itu biasanya sulit
untuk approve client secepat ini, namun Hyunwoo dan Sooyoung-ssi berhasil meyakinkan DHIC
untuk bekerja dengan kita. Bisa dilihat dari profile perusahaannya…-”

Suhyun terus mengoceh, menjelaskan bagaimana hebatnya prospek perusahaan DHIC yang
bagus dan minimalis di kalangan perusahaan-perusahaan serupa. Dan sejujurnya Jieun sudah
tidak peduli mengenai hal itu hingga akhirnya, ia memberanikan untuk bertanya.

“Lalu, untuk perancang interior yang in charge untuk Jieunesse?” ujarnya sembari menunjuk
profil sang perancang interior.

Suhyun menepuk kedua tangannya dengan senang. “Lee Dohyun-nim itu salah satu founder
DHIC yang masih turun lapangan untuk beberapa projek kalau menurut Hyunwoo. Kita, salah
satu klien yang beruntung bisa mendapat beliau. Sajangnim, katanya beliau itu bertangan
dingin loh, hasil akhir projek-projeknya selalu seamless dan kontemporer.”

Dan begitulah akhirnya Lee Jieun kembali bertemu dengan cinta pertamanya semasa kuliah,
Lee Dohyun yang kini sedang sibuk menjelaskan tentang konsep landcsape beauty, sisters and
friendships yang diusung oleh Jieunesse kepada tim arsitektur miliknya.

Masih jelas di kepala Jieun saat pria itu datang di meeting pertama antara DHIC dan Jieunesse.
Mereka berdua duduk berseberangan di meja rapat sementara Hyunwoo menjelaskan mengenai
konsep yang akan dibuat oleh beauty space milik Jieun. Seakan mengerti tentang apa yang
dimaksud oleh konsep Jieunesse, mata Dohyun yang fokus pada tablet miliknya langsung
beralih menatap Jieun dengan pandangan yang Jieun tidak bisa artikan, namun di saat yang
sama juga terasa familiar.

Usai meeting hari itu, rasanya Jieun masih terduduk di bangku ruang rapat hingga hampir
seluruh Lee Beauty Team keluar dari ruangan menyisakan dirinya dan Dohyun yang masih
membereskan proposal dan blueprint miliknya. Melihat Jieun yang masih terduduk, pria itu
menghela napas. “Jieun-ah..”

Lamunan Jieun sontak buyar.


“Uri hwisa jal buttakhae, Senang bertemu kembali.” ucap Dohyun dengan senyum simpulnya,
berjalan ke arah pintu keluar. “Sungguh.”

Semenjak saat hari itu, sesungguhnya Lee Jieun bingung harus menentukan sikap seperti apa
dalam menghadapi Dohyun. Bukan masalah cinta pertama, tapi mengenai sejarah antara
mereka berdua dan seorang lainnya yang sudah tenang nun jauh disana. Hatinya tidak bisa
berbohong bahwa ternyata kembali bertemu dengan Dohyun ia begitu merasa senang, dan
hangat. Entah kapan sejak terakhir kali Jieun bisa merasa demikian. Bahkan ia heran mengapa
dirinya masih mampu merasakan rasa senang yang seharusnya tidak boleh ada, setelah rasa
takut dan bersalah selalu menyelimuti dirinya.

Tapi otaknya merasa ia perlu membuat batas. Batas karena ia tidak boleh, tidak layak dan
tidak bisa berada di dekat Dohyun. Orang yang ia hancurkan kebahagiaannya atas keegoisannya
sendiri, orang yang masa depannya Jieun renggut. Namun, pria itu masih bisa berdiri disana,
tidak jauh dari tempat Jieun berdiri, sesekali memandang kosong beauty space Jieunesse yang
sedang ia tangani. Jieun tahu apa yang pria itu pikirkan. Dan itu, yang semakin membuat Jieun
membuat batas yang tidak boleh ia langgar lagi.

Namun bagaimana mungkin ia bisa mempertahankan prinsip dan pertahanannya, jika seketika
pria yang mengenakan kemeja bergaris biru – putih itu menoleh ke arahnya, sambil
memberikan senyum yang sama seperti lima tahun lalu.

“Jieun-ah, kau sudah makan siang? Kita pergi bersama, yuk?”

Masih bisa bersikap sama seperti semasa mereka kuliah, seakan kejadian itu tidak pernah
terjadi. Bagaimana Jieun bisa mempertahankan dinding yang ia bangun, batas yang ia gambar
sendiri… atau malah batas itu sebenarnya tidak pernah ada diantara mereka berdua? Bahkan
sejak dahulu kala?

FIN.

68. Unsettling Revelations


69. Shattered
70. Bitter Silence

71. The True You

(by: Astawwy)

Ada banyak kejadian yang terkadang terjadi tanpa pernah bisa manusia rencanakan.
Terkadang, bisa dibilang manusia tidak pernah diperbolehkan untuk merencakan semua yang
mereka harapkan akan terjadi. Semesta seakan sudah mengatur kejadian-kejadian apa saja
yang akan manusia hadapi di setiap harinya. Seperti yang sedang dihadapi oleh Septa sekarang.
Tadi pagi ia terlambat bangun karena ia harus menyelesaikan banyak tugas di kantor
tempatnya bekerja, maklumlah kalau hari Jumat pasti kerjaan menumpuk. Lalu
penderitaannya berlanjut saat ia berniat untuk membuat roti bakar yang ingin dirinya santap di
perjalanan nanti. Mesin pembakar rotinya rusak secara tiba-tiba. Dan sekarang, ketika ia sudah
berlari dengan kencang untuk mengejar kereta MRT, lagi-lagi ia terlambat.
Septa akhirnya terduduk sendirian di sebuah bangku depan pintu yang nantinya akan
terbuka dengan lebar saat kereta MRT nya datang.

10 menit lagi kereta selanjutnya sampai.


Ia melirik ke sebelahnya. Ada seorang perempuan berambut panjang sedada, terduduk
tidak jauh dari Septa. Perempuan itu menggunakan gaun berwarna merah jambu muda selutut
dan di sebelah kaki kanannya terdapat sebuah koper berwarna silver.

“Buru-buru juga, mbak?” tanya Septa berbasa-basi. Dia memperhatikan wajah


perempuan disampingnya. Cantik.

Perempuan itu menoleh untuk melihat Septa. Dia tersenyum dan menganggukkan
kepalanya untuk menjawab pertanyaan Septa barusan.

“Mau ke arah Bundaran HI?”

Perempuan itu kembali menganggukkan kepalanya. Membuat Septa menjadi penasaran


karena respon yang diberikan hanyalah anggukkan kepala saja.

Gue ganggu dia ya?

Tapi, Septa masih penasaran. “Jam segini biasanya kalau mau ke arah Bundaran HI
lumayan rame loh, mbak,” ucapnya lagi.

Ekspresi wajah perempuan di sampingnya berubah. Dia sedikit membesarkan kedua


bola matanya dan menatap wajah Septa. Membuat Septa menjadi gemas, karena akhirnya dia
mendapatkan respon yang berbeda.

“Mbak, baru pertama kali naik MRT?”

Dia melihat wajah Septa untuk beberapa detik, sebelum akhirnya dia kembali
menganggukkan kepalanya.

“Oh, pantesan…” kata Septa. “Ya sudah, mbak. Bareng saya aja, nanti pas di Bundaran
HI saya kasih tahu keluarnya harus ke arah mana. Soalnya di stasiun HI pintunya jauh dan ada
dua arah. Mbak mau kemana memangnya, kalau boleh tahu?”

Perempuan itu mengeluarkan handphonenya dan memperlihatkan aplikasi Trafi kepada


Septa. Dia terlihat mengetik sesuatu, sepertinya mengetik tempat yang dia maksud. Kemudian
ketika sudah selesai, perempuan itu memberikan handphonenya kepada Septa.

Pullman Hotel.

“Eh? Mau kesitu juga?”

Perempuan itu menganggukkan kepalanya. Dia tersenyum dengan malu kepada Septa.

“Saya juga mau kesitu sebenarnya. Tapi, saya harus menjemput seseorang dulu di
stasiun MRT Bundaran HI,” kata Septa. “Tenang saja, Mbak. Saya tetap bantuin kok pas udah
sampai disana.”

Tidak lama kemudian, kereta yang mereka tunggu sampai. Septa mengajak perempuan
itu untuk masuk bersamanya. Di dalam kereta, mereka mendapatkan satu kursi untuk diduduki.
Septa mempersilahkan perempuan itu untuk duduk dan dia memilih untuk berdiri di
hadapannya.

Sepanjang perjalanan, Septa terus menatapi wajah perempuan yang ada di


hadapannya. Ada sesuatu yang membuat perempuan itu menarik perhatiannya. Entah
wajahnya, entah tinggi badannya yang tidak terlalu jauh dari tubuh Septa yang cukup tinggi,
atau…karena Septa ingin mendengar suaranya? Dia juga tidak tahu. Pokoknya, dia senang
melihat perempuan yang sejak tadi ia tatapi.

Tiba-tiba, handphone Septa berbunyi. Perempuan itu melihat Septa dan memberikan
tatapan bahwa dia mempersilahkan Septa untuk mengangkat teleponnya.
“Halo, Ma?”

“Kak, Reika belum sampai di stasiun. Kamu tungguin dulu, kayaknya dia ketinggalan
kereta deh tadi.”

“Oh, ya udah, Ma. Nanti aku tungguin dulu si…eh siapa tadi namanya? Reika?”

“Iya. Nanti kamu panggil aja, Rei. Kamu buka wa dari Mama ya habis ini. Ada fotonya
si Rei. Biar kamu nggak bingung nyarinya.”

Selesai mengangkat telepon dari Mamanya, Septa langsung membuka whatsapp yang
dimaksud oleh Mamanya barusan. Dan ketika dia melihat foto yang dikirimkan oleh Mamanya,
dia terkejut bukan main.

Refleks dia langsung melihat ke arah perempuan yang sedang duduk terdiam di
hadapannya. Perempuan itu menyelipkan rambutnya ke telinga kirinya. Dan disitulah,
pertanyaan Septa akan perempuan yang sejak tadi selalu memberikan respon seadanya kepada
dirinya dan selalu menatap Septa dengan cermat, perempuan yang sedang ingin ia antarkan
ternyata perempuan yang juga akan ia temui.

Perempuan itu menatap Septa dengan heran. Septa langsung mengerti dan tersenyum
kepada perempuan itu.

‘Halo, Rei. Saya Septa. Saya yang akan menjadi teman kamu di Jakarta,’ ucap Septa
dengan bahasa isyarat yang sudah biasa dia lakukan ketika bertemu dengan pasien Mamanya.

Rei tersenyum dan menggerakkan tangannya. ‘Halo, Septa’, dia terbata-bata ketika
menyebutkan nama Septa. ‘Senang berkenalan dengan kamu.’

-Fin.

72. Pretense

73. Patience

74. Midnight

(by Astawwy)

“Dong Hyun-ah, ada satu pesan untukmu.”

“Tadi handphonemu berbunyi dua kali, tapi tidak berani aku angkat.”

“Nanti kalau sudah selesai, kau bisa menggunakan handphonemu lagi.”

“Masih ada empat scene yang harus kita shoot.”

“Besok kau bebas setelah makan malam, photoshoot yang harus kau jalani ada dua.”

“Dan lusanya kita akan ke Singapore, fanmeeting akan selesai pada Senin malam.”

Semua perkataan itu selalu Dong Hyun dengarkan setiap hari. Berulang-ulang dan
rasanya ia bisa menghafal semua pekerjaan yang harus dirinya kerjakan sampai setidaknya dua
bulan ke depan. Ada banyak hal yang harus Dong Hyun lakukan, sehingga membuatnya mulai
mengerti betapa melelahkan dan membosankannya kehidupan menjadi seorang aktor.

Tidak, ia sama sekali tidak mengeluh dengan hidupnya yang sekarang. Justru, ia sangat
bersyukur dan sangat senang karena sekarang semua orang selalu memberikan Dong Hyun
pekerjaan, ia juga senang bertemu dengan penggemar-penggemarnya, dan tentunya ia juga
berterima kasih karena banyak sekali brand serta majalah yang selalu berusaha untuk
menawarkannya pekerjaan baru.

Untuk mencapai semua itu, tentunya Dong Hyun sudah melewati banyak proses dan
puluhan kegagalan serta penolakan. Pasang surut karir dari bawah hingga menjadi seperti
sekarang, benar-benar memberikan banyak sekali pelajaran pada seorang aktor Im Dong Hyun.
Ada banyak hal yang sudah ia lewati, dan yang paling sulit adalah menyembunyikan kehidupan
“pribadi” nya sendiri. Wartawan seringkali berusaha untuk membayar entertainment Dong
Hyun supaya mereka bisa mendapatkan berita tentang kehidupan pribadinya. Namun, dari
pihak entertainment nya sendiri, langsung mengubris dan mengabaikan permintaan wartawan
terkait pemberitaan kehidupan pribadi Dong Hyun.

Keluarga, asmara, teman-teman terdekatnya, semua Dong Hyun simpan rapih. Ia tidak
ingin orang-orang yang ia sayangi ikut terbawa arus kehidupan selebriti. Biar dirinya sendiri
saja yang menghadapi itu semua, jangan orang-orang terdekat Dong Hyun yang ikut diganggu
oleh wartawan.

Sudah hampir lima tahun ia merintis karir, dan sudah lima tahun pula Dong Hyun
menyimpan salah satu rahasia yang tidak pernah ingin ia bagi kepada siapa pun selain manager
dan keluarga intinya. Hubungan persahabatannya dengan seseorang yang selama ini selalu
berada di dekatnya walaupun mereka jauh. Seseorang yang selalu mendukung dan memberikan
Dong Hyun semangat sejak pertama kali mereka bertemu.

Lee Ji Eun.

Semua orang mengenal dia. Atau orang-orang lebih sering memanggilnya, IU. Mereka
bertemu lima tahun yang lalu ketika mereka akan dipasangkan dalam drama Hotel Del Luna.
Sejak saat itu, mereka berteman dan selalu berhubungan satu sama lain hingga sekarang.

Sampai detik ini, masih banyak orang yang ingin melihat dirinya dan Ji Eun untuk
kembali bertemu di drama baru. Atau setidaknya Dong Hyun bisa menjadi model di video musik
IU, atau apa pun yang bisa orang jadikan bukti bahwa mereka masih berteman dekat. Dong
Hyun sudah pernah mengirimkan food truck kepada Ji Eun saat dia sedang melakukan
showcase comeback. Itu sekitar satu setengah tahun yang lalu, dan semua orang kembali
membicarakan mereka. Dong Hyun juga hadir di konser IU, begitu juga dengan IU yang hadir
saat Dong Hyun sedang bermain teater.

Dong Hyun rasa, itu semua sudah cukup untuk memberitahu kepada para penggemarnya
bahwa benar, ia memang masih berteman baik dengan Ji Eun.

Tapi, dibalik semua itu, ada banyak hal yang ia dan Ji Eun sembunyikan dari semua
orang. Salah satunya adalah seperti sekarang ini.

Dong Hyun baru saja selesai syuting dan sedang dalam perjalanan pulang. Ia langsung
meminta handphonenya pada sang manager, kemudian melihat dua panggilan tak terjawab dan
dua pesan masuk dari Ji Eun.

“Dia tadi menelponmu dua kali, tapi aku enggan mengangkatnya. Tidak nyaman jika
dilihat oleh crew dramamu,” kata sang manager.

Dong Hyun tersenyum. “Terima kasih, untung saja dia tidak memasang photo di profile
kakaonya.”

“Saat aku melihat ada telepon masuk dari ‘My Treasure’ aku tidak berani mengangkat.
Hahahaha…”

“Hahahaha, iya. Terima kasih, sudah menghargai privasiku.”


“Eyyy, jadi kalian memang memiliki hubungan spesial?”

Dong Hyun tersenyum. “Bisa iya, bisa tidak.”

Ketika sudah sampai di apartemennya, Dong Hyun langsung membersihkan diri. Selesai
ia mandi dan menggunakan pakaian tidurnya, ia melihat jam di dinding kamarnya. Sudah lewat
tengah malam, tidak mungkin jika ia ingin menelpon Ibunya.

Akhirnya, ia memutuskan untuk menelpon seseorang yang sejak tadi siang sudah
menelponnya.

“Ne, silahkan berbicara.”

Dong Hyun berdecak. Mendengar suara khas Ji Eun membuat lelahnya akan kegiatan
hari ini sedikit berkurang. “Seharusnya, kau bersikap formal dengan juniormu, Noona.”

Terdengar suara tawa Ji Eun dari ujung telepon. Dia bisa membayangkan sekarang pasti
Ji Eun sedang bermain gitar di kamarnya sambil meminum soda. Dan pertanyaan yang akan
keluar dari mulut Ji Eun pasti,

“Bagaimana harimu hari ini? Sepertinya kau sibuk sekali.”

Tepat sekali.

“Lumayan melelahkan. Hari ini aku harus melakukan beberapa adegan bela diri, dan
beberapa adegan yang mengharuskanku untuk berbicara dengan sangat formal.” Jawab Dong
Hyun menceritakan harinya yang ia habiskan untuk syuting.

“Dulu waktu kau menjadi Chung Myung, kau jarang mengeluh seperti ini. Berbeda
sekali dengan sekarang. Apa karena sekarang pekerjaanmu juga lebih banyak?”

Memang benar, dulu ketika ia masih sangat baru menjadi aktor, ketika diberikan
banyak tugas dan tuntutan, sekali pun dirinya tidak pernah mengeluh. Mengapa sekarang ia
menjadi seperti ini?

Dong Hyun mengusak wajahnya. “Bisa juga karena itu, Noona. Aku bisa menghitung
berapa jam durasi aku tidur dalam seminggu,” jawabnya.

“Jangan menyerah ya, ini semua akan bagus untuk portofoliomu di masa depan.”

Ia tersenyum. “Arasseo,” katanya. “Ngomong-ngomong, kau sedang apa sekarang?


Besok kau tidak ada jadwal memangnya?”

Sempat ada jeda saat Dong Hyun menanyakan pertanyaan itu. Ji Eun terdiam untuk
beberapa detik.

“Noona? Kau belum tertidur kan?”

“Tidak kok, tadi kau bertanya apa?”

Pasti, dia memikirkan itu lagi.

“Kau sedang apa sekarang?”

“Ah, sedang beristirahat saja. Kebetulan tadi aku baru saja mendapatkan email
terkait jadwalku sampai tiga bulan ke depan.”
Nada suara Ji Eun berubah, Dong Hyun pun langsung mengerti apa yang sedang
menganggu pikirannya. “Maafkan aku, kita belum bisa bertemu sampai bulan depan. Hari
Jumat ini aku harus ke Singapore.”

“Tidak apa-apa, Dong Hyun-ah. Mungkin nanti kalau kau sudah tidak sibuk lagi.”

Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Ji Eun, membuat Dong Hyun merasa sedih.
Dia tidak suka jika orang terdekatnya ada yang mulai merasa jauh olehnya.

“Minggu depan Dong Hyuk dan Ibu akan ke Jeju untuk melihat restoran disana. Katanya
mereka ingin melihat kondisi disana, sekaligus mengajak Dong Hyuk jalan-jalan. Kau ingin ikut?
Kemungkinan aku bisa menjemput kalian malamnya,” ujarnya mencoba menghibur Ji Eun
dengan mencoba untuk mengusahakan supaya mereka bisa bertemu walau hanya sebentar.

“Benarkah? Coba aku lihat dulu di kalenderku,” suara Ji Eun mulai terdengar lebih
ceria dari yang tadi. “Kosong. Okay, cool.”

Dong Hyun berdecak. “Nanti hubungi Eomma saja ya, seperti biasa.”

“Eomoni mau aku bawakan apa nanti?”

“Apa saja, dia apa pun yang kau bawa pasti suka.”

Ji Eun hanya bisa tertawa. “Dong Hyuk masih suka cinnamon roll? Kebetulan teman
Eomma ada yang baru saja membuka restoran kue dan enak sekali.”

Perasaan hangat menyelimuti hati Dong Hyun mendengar Ji Eun begitu perhatian
dengan keluarganya. “Iya, dia masih suka cinnamon roll. Dia juga sering menanyakan
kabarmu.”

“Wah, tunggu Noona ya Dong Hyuk.”

Dong Hyun akhirnya menguap dengan tidak sengaja. Dan dia langsung mendengar suara
tawa Ji Eun dari ujung telepon.

“Ya sudah kalau begitu. Kau tidur saja, besok pagi sekali kau harus bekerja lagi kan?”

“Iya,” katanya. “Noona, sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan kepadamu sebelum
kita menutup telepeon ini.”

“Hmm? Apa?”

Dong Hyun memejamkan matanya, kemudian menghela nafas panjang sebelum


mengatakan, “Terima kasih karena kau selalu ada di hidupku,” dia tersenyum sekilas untuk
membayangkan ekspresi wajah Ji Eun sekarang. “Aku berjanji akan menjagamu. Sabar sedikit
lagi ya, Noona. Akan datang harinya kita bisa benar-benar bersama.”

“Terima kasih juga karena selalu menyediakan waktumu untukku. Tenang saja, aku
juga tidak ingin terburu-buru.”

Dong Hyun merasa lega sekarang. “Baiklah, aku benar-benar harus tidur sekarang.
Kepalaku mulai terasa berat.”

“Okay, selamat malam.”

Dan di tempatnya berada, Ji Eun juga merasa lega. Setelah beberapa minggu sulit
untuk menghubungi Dong Hyun, akhirnya mereka bisa kembali melakukan kebiasaan rutin
mereka seperti dulu. Berbicara di tengah malam sambil melupakan hal-hal yang membuat
pikiran lelah.

- Fin.

75. Shadows
76. Summer Haze

77. Memories

(By Astawwy)

Betapa menyedihkannya, mengetahui bahwa orang pertama dan terakhir yang diriku
antar sampai sejauh ini adalah dia. Langkah kami tidak sama, tetapi kami berjalan bersamaan,
menatap lurus ke depan, dan tidak ada lagi suara yang kami ucapkan untuk satu sama lain.
Sejak dulu, sejak pertama aku menjalani hukumanku sebagai pemilik rumah singgah untuk
jiwa-jiwa yang belum tenang, tidak pernah terpikir dalam benakku akan datangnya hari ini.
Hari dimana, aku kembali berjalan dengannya, bersamaan, menuju tempat peristirahatan
terakhir.

Dulu, sebelum semua kekacauan yang terjadi di dalam hidupku dan hidupnya, pernah
sekali aku bermimpi untuk berjalan dengannya, bersamaan, menggunakan baju pengantin,
dengan senyuman kebahagiaan.

Dulu sekali, aku sering bermimpi. Membayangkan, akan menjadi apa aku dan dirinya
nanti. Apakah kami akan benar-benar bersama? Apakah kami adalah pasangan yang cocok?
Apakah aku bisa selalu bersamanya? Membayangkan, diriku akan menua bersama dengannya.
Membayangkan, aku dan dirinya akan menyaksikan anak-anak kami tumbuh dan menikahi orang
yang mereka pilih, kemudian beristirahat hingga salah satu dari kami ada yang harus
menghembuskan nafas terakhir.

Pikiranku, dahulu kala, pernah dipenuhi oleh namanya. Tiada hari yang kulewati tanpa
mengharapkan kehadirannya di dekatku. Jika dia tidak muncul, aku yang akan berusaha untuk
mencarinya walaupun aku tahu, itu akan membahayakan diriku sendiri dan nyawa teman-
temanku. Tapi, aku merindukannya, sebisa mungkin aku berusaha untuk setidaknya bisa
melihat dirinya dari jauh. Hanya sebentar, aku tidak masalah. Hanya melihat tubuhnya yang
tinggi dan tegap dari belakang saja, itu sudah cukup bagiku.

Aku pernah mencintai sedalam dan sebodoh itu.

Tidak ada sesuatu yang berlebihan di antara kami. Cara kami menghabiskan waktu
bersama, cara kami saling menatap dan merekam semua kenangan bahagia yang kami lewati
bersama, dan cara kami mencintai pun, tidak berlebihan. Tidak pernah ada kata cinta yang
terucap dari mulutku atau dia. Hanya ada tatapan, senyuman, dan tindakan yang kami lakukan
untuk menunjukkan bahwa benar, aku menginginkan dirimu, kau menginginkan diriku.

Tunggu.

Dulu, aku seringkali berpikir, apakah dia juga merasakan hal yang sama denganku?
Apakah dia lebih tertarik dengan perempuan sekelas dirinya? Mengapa dia selalu baik
kepadaku? Apa maksud dari semua tindakannya?

Aku sering berpikiran seperti itu.


Karena bagiku, dia terlalu sempurna. Tidak pantas untuk seorang perempuan yang
berpenampilan seperti laki-laki. Terlalu sempurna untukku yang hanya bisa memberikannya
cinta dibandingkan hal-hal yang sudah pernah dia lakukan dan berikan kepadaku.

Tapi lagi-lagi, tatapan matanya, senyumannya ketika dia berbicara kepadaku, sikap-
sikap sederhana yang selalu membuatku merasa aman dan bahagia saat bersama dengannya,
membuatku berpikir dan percaya bahwa mungkin, diriku telah menempati tempat di dalam
hatinya yang tidak akan pernah bisa aku baca.

Semua ingatanku akan dirinya, terus berputar di saat kami sekarang sedang berjalan di
jembatan ini. Yang seharusnya semua ingatan tentang diriku dan dirinya menghilang, ingatan-
ingatan itu justru bermunculan. Mengisi keheningan yang hadir di antara kami menjadi semakin
terasa.

Langkah kakinya menjadi lebih cepat, dia berjalan lebih depan dariku.

Aku menatap belakang tubuhnya dengan perasaan yang tidak aku tebak apa
maksudnya.

Kemudian, dia berhenti berjalan dan membalikkan tubuhnya untuk berdiri berhadapan
denganku. Dia menatapku lekat, aku membalas tatapannya. Aku bisa melihat ada harapan di
dalam matanya. Aku tahu, apa yang sedang berusaha dia katakana kepadaku. Aku tahu.

Namun, aku tidak bisa memenuhi keinginannya. Aku tidak bisa.

Sebesar-besarnya keinginanku untuk ikut dengannya, aku tidak mungkin meninggalkan


mereka yang masih menungguku. Mereka dan Gu Chansung, mereka tetap menjadi tanggung
jawabku. Mereka yang selama ini menjadi sumber kekuatanku di saat-saat terberatku, biar
bagaimana pun mereka adalah orang-orang selalu menguatkanku dikala aku sedang merindukan
kehidupanku yang dulu. Aku tidak bisa meninggalkan mereka.

Tangannya yang terulur untukku, tidak kubalas. Aku hanya membalas dengan senyuman
tipis di bibirku. Dia menatapku dengan tatapan sedih, dan sekali lagi aku tahu bahwa aku tidak
boleh egois. Aku tidak bisa pergi bersamanya, aku tidak boleh menahannya lagi. Dia sudah
cukup tersiksa dengan hukumannya selama ini. Dia sudah cukup kesepian menemaniku,
berharap untuk mendapatkan maaf dariku dan menantiku untuk memanggil namanya. Dan
sekarang, aku tidak bisa menambah waktu untuknya menungguku.

Akhirnya, aku memutuskan untuk membalikkan tubuhku dan berjalan jauh,


meninggalkan dirinya.

Aku harus melakukan itu. Supaya dia bisa kembali melanjutkan perjalannya sampai
akhir.

Maafkan, Go Chungmyung.

Kali ini, aku yang meminta maaf kepadamu.

Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk membalas semua kebaikanmu. Selain
membiarkan dirimu pergi dengan tenang. Kita sudah berdamai, kita sudah selesai dengan cara
yang baik, walau harus menyiksa satu sama lain selama ribuan tahun.

Aku membalikkan tubuhku sekali lagi, untuk melihat tubuhnya yang semakin jauh.
Seperti dulu, menatapnya dari jauh dan berharap dia akan baik-baik saja.

Begitu pun sekarang, aku mendoakan kebahagiaan yang abadi untuknya. Semoga di
kehidupan yang selanjutnya, kita bisa kembali bertemu dan aku bisa melihatmu mendapatkan
hidup yang baik.
Dia semakin jauh, semakin jauh, dan sosoknya menghilang.

Tanpa kusadari, aku sudah meneteskan air mataku.

Seketika, aku teringat kembali akan semua kenangan yang telah aku jalani bersama
dengan Chungmyung. Kenangan yang tidak pernah satu orang pun tahu. Hanya aku dan dia
yang tahu.

“Yeon Woo berkata kepadaku, dia akan membuatkanku rumah supaya aku bisa menua
disana.”

Chungmyung tersenyum. Dia yang sedang mendayung perahu kami, menatapku dan
berkata, “Wah…dia baik sekali. Kalau begitu aku akan menemani sampai menua. Jangan
menyusahkan Yeon Woo lagi. Hiduplah denganku.”

Man Wol memutar bola matanya untuk menyembunyikan rasa malunya. “Eyyy,
memangnya kau ingin hidupku? Jangan berbohong.”

“Tentu saja. Aku akan hidup denganmu untuk ribuan tahun. Aku akan menjagamu,
selamanya, Nui.”

Man Wol tersenyum. Dia sudah mengantarkan Chungmyung sampai sejauh ini. Mungkin,
mereka hanya belum bisa bersama sekarang.

“Apakah aku akan tetap mencintaimu, jika aku mengetahui semua kebenaran
tentangmu sebelum ada Gu Changsung?”

Man Wol memejamkan matanya.

“Yang aku tahu, selama ini kau tetap berada di tetap terapih di dalam hatiku.
Walaupun aku membenci selama ribuan tahun, kau tetap berada disana, Go Chungmyung.”

Terakhir kalinya, Man Wol membuka matanya dan berkata, “Bahagialah, Go


Chungmyung. Semoga kita bertemu lagi.”

- Fin.

78. Change in the Weather


79. Illogical
80. Only Human

81. A Place to Belong

(by Astawwy)

Setiap hari, selalu ada berita menggembirakan dan menyedihkan bagi setiap keluarga
yang ditinggalkan oleh mereka yang berjuang untuk negara. Setiap hari, selalu ada berita yang
memberikan kabar bagaimana keadaan di medan perang, sudah sejauh apa Jepang menyerang,
apa saja yang akan dilakukan oleh pemerintah untuk mempertahankan pertahanan negara
serta para pejuang yang sampai detik ini masih berada disana.

Jangankan untuk makan, memejamkan mata saja Sung Kyung tidak mampu. Menunggu
sesuatu yang belum pasti tanpa henti adalah hal yang akan selalu ia lakukan. Ia tidak tahu
apakah Hyo Seop akan pulang suatu hari nanti atau tidak. Yang pasti, dalam keadaan yang utuh
atau tidak, ia hanya ingin Hyo Seop kembali dengan selamat.

Entah sudah hari keberapa Sung Kyung berdiri di stasiun kereta dari matahari terbit
sampai kereta terakhir yang mengantar para pejuang datang. Entah sudah berapa kali Sung
Kyung bertanya kepada para petugas kereta apakah nama kekasihnya ada di dalam daftar
kepulangan pejuang.

Dan hari ini, Sung Kyung kembali untuk melakukan hal yang sama seperti hari-hari
sebelumnya. Menunggu dari matahari terbit di stasiun kereta dan berharap kembalinya Hyo
Seop ke dalam pelukannya. Ia masih menggunakan cincin yang kekasihnya berikan kepadanya
dua hari sebelum kepergiannya ke markas perang.

“Kita yang menunggu juga berperang seperti mereka disana.”

Sung Kyung menoleh ke sampingnya, atau lebih tepatnya ke arah suara yang tadi
berbicara kepadanya. Ada seorang wanita terduduk di sampingnya sambil menggendong
seorang bayi perempuan. Ia tersenyum kepada perempuan itu dan berkata, “Kita berperang
dengan batin. Menunggu mereka untuk pulang.”

Wanita itu tersenyum tipis. “Rasanya rindu ingin bertemu tertutupi dengan
kekhawatiran. Iya kan?”

Tentu saja, Sung Kyung sangat setuju dengan pertanyaan yang ucapkan oleh wanita itu.
“Dan lebih menyedihkannya lagi, kita tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu dan percaya
bahwa mereka akan benar-benar kembali,” ujar Sung Kyung dengan suara yang lemas.

“Kau sudah mendengar berita terbaru dari sana?” tanya wanita itu.

Sung Kyung menganggukkan kepalanya. “Akhirnya, mereka menyerah. Tapi itu tidak
akan membuatku mengurangi rasa takut yang hinggap di dalam diriku. Surat terakhir yang dia
kirimkan kepadaku sekitar dua bulan yang lalu.”

Wanita itu mengelus pundak Sung Kyung dengan lembut. “Mungkin suratmu terselip,”
katanya berusaha menenangkan. “Aku juga mendapatkan surat dari suamiku sekitar duas
minggu yang lalu.”

“Dua minggu yang lalu? Wah, kemungkinan besar dia sekarang pasti sudah dalam
perjalanan kesini.” Kata Sung Kyung.

Tidak ada yang wanita itu katakana kepada Sung Kyung selain anggukan kepala.

Sung Kyung melihat bayi perempuan yang ada di dalam rengkuhan wanita itu. Bayi itu
tertidur dengan tenang. “Dia belum bertemu dengan sang Ayah ya?” tanya Sung Kyung.

“Iya, dia belum memiliki nama. Aku ingin Ayahnya saja yang memberikan nama
untuknya,” jawab wanita itu.

Percakapan singkat Sung Kyung dengan wanita itu berlanjut dengan membicarakan
seputar berita-berita yang mereka dengar di radio. Melihat wanita di sampingnya begitu
bahagia dapat melahirkan bayi di tengah keadaan yang sedang kacau seperti sekarang,
membuat Sung Kyung merasakan hampa dalam hatinya. Ada banyak hal yang ingin ia
sampaikan kepada kekasihnya, dan hal pertama yang ingin Sung Kyung katakan ketika mereka
kembali bertemu adalah dirinya telah siap untuk menghabiskan hidupnya dengan Hyo Seop.

“Kereta pertama akan segera masuk. Kereta pertama.”


Pengumuman di stasiun kereta membuyarkan pikiran Sung Kyung dan orang-orang yang
sedang menunggu kedatangan para pejuang dari medan perang. Seketika suasana menjadi
sangat ricuh ketika suara kereta mulai terdengar.

Dan ketika kereta pertama sampai, semua orang saling mencari satu sama lain. Sung
Kyung berdiri di tempatnya sambil berjinjit. Kedua matanya mencoba untuk menelusuri orang-
orang yang turun dari kereta satu persatu. Wanita di samping Sung Kyung juga melakukan hal
yang sama seperti Sung Kyung.

“Lee Ji Eun!”

Wanita di samping Sung Kyung menoleh ke arah suara yang memanggil namanya dengan
kencang. Seorang pria bertubuh tinggi berjalan dengan pincang dan menggunakan tongkat di
lengan kirinya, dia menghampiri wanita di samping Sung Kyung. Mereka berpelukan erat dan
pria itu langsung mencium kening istrinya untuk beberapa detik. Kemudian dia menatap bayi
perempuan yang sekarang sudah tidak tertidur lagi dan mencium wajahnya berkali-kali. Pria
itu menangis bahagia, dia telah kembali dengan selamat.

Sung Kyung melihat pemandangan di sampingnya, pandangannya memburam karena air


mata yang mulai memenuhi pelepuk matanya. Perasaan bahagia dan haru juga ikut ia rasakan
melihat keluarga kecil itu telah bersatu. Inilah yang selalu Sung Kyung rasakan setiap hari,
setiap ia menunggu kedatangan Hyo Seop di stasiun. Melihat orang lain kembali bersatu dengan
orang yang mereka sayangi.

Ia juga ingin merasakan itu.

Wanita bernama Ji Eun itu melihat Sung Kyung yang sedang menatapnya dengan
pemandangan penuh harap. Dia tersenyum kepadanya dan berkata, “Bersabarlah, dia akan
kembali.”

Suami Ji Eun tersenyum kecil kepada Sung Kyung. “Apakah kau memiliki foto orang
yang sedang kau tunggu? Barangkali aku mengenalnya,” ucapnya ramah.

Sung Kyung menganggukkan kepalanya dan langsung mengeluarkan satu-satunya foto


Hyo Seop yang ia miliki dari dalam tas kecil yang ia gunakan.

Ketika suami Ji Eun melihat foto yang Sung Kyung perlihatkan, ekspresi wajah pria itu
berubah. Sung Kyung mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres, jantungnya berdebar.
“Kau mengenalnya? Atau mungkin kalian pernah bertemu?” tanyanya penuh harap.

Pria itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Aku yakin, dia selamat.”

Ucapan terakhir yang dikatakan oleh suami Ji Eun beberapa jam yang lalu membuat
Sung Kyung tidak bisa memikirkan apa-apa lagi. Dia sudah tidak bisa mengharapkan apa-apa, ia
hanya ingin Hyo Seop untuk pulang.

Ketika semua orang mulai menyuruhnya untuk berhenti menunggu, Sung Kyung tetap
menunggu. Setiap pagi, ketika Sung Kyung membuka kedua matanya, hal pertama yang ia
harapkan adalah kepulangan kekasihnya. Semua orang di sekitarnya mulai menyuruhnya untuk
membuka hati untuk orang lain, tapi Sung Kyung tidak melakukan itu. Dia percaya, dan akan
selalu percaya, Hyo Seop akan kembali dan melihat cincin yang ia berikan kepada Sung Kyung
masih melingkar di jari manisnya.

Setiap kali Sung Kyung merasa kesepian melihat pemandangan orang-orang yang telah
bertemu dengan orang yang mereka sayangi, dia hanya bisa berdoa untuk keselamatan Hyo
Seop.
Sung Kyung masih mengingat semua yang Hyo Seop tulis terakhir di suratnya.

“Aku akan pulang, bagaimana pun caranya.”

Dan itu yang membuat Sung Kyung masih bertahan di tempat duduknya menunggu
kedatangan kereta selanjutnya.

Sung Kyung meneteskan air matanya. Dia merindukan Hyo Seop.

“Rumah yang kau beli untuk kita, sudah terisi. Pulanglah,” bisiknya di sela tangisnya
yang mulai terdengar seperti orang yang putus asa.

“Benarkah?”

Suara itu.

Sung Kyung mengangkat wajahnya yang menunduk.

Ia tidak bisa mempercayai apa yang sedang ada di hadapannya. Refleks, ia langsung
berdiri dan kedua tangannya menangkup wajah orang sedang berdiri di hadapannya.

“Ah, jangan terlalu kencang. Lukanya masih basah,” ujar pria itu kepada Sung Kyung.

“Ini benar kau kan?” tanya Sung Kyung. “Hyo Seop?”

Kekasihnya berdecak. “Itu hal pertama yang kau katakan kepadaku saat aku sudah
pulang?” ucap Hyo Seop.

Sung Kyung menangis dan memeluk Hyo Seop dengan erat. “Aku pikir, aku tidak akan
pernah bisa melihatmu lagi.”

Hyo Seop mengelus punggung Sung Kyung. “Aku pulang, Sung Kyung.”

Sung Kyung masih menangis di dalam pelukan kekasihnya. Dia berterima kasih kepada
Tuhan karena sudah melindungi Hyo Seop dan telah membuatnya kembali.

“Sudahlah,” kata Hyo Seop yang perlahan-lahan melepas pelukan Sung Kyung. “Ayo,
kita pulang?”

Mereka pulang, kembali ke rumah yang sudah mereka bangun bersama-sama. Hyo Seop
menggenggam tangan Sung Kyung dengan erat. Dia mengecup punggung tangan kekasihnya
yang masih menangis. Dia teringat perjuangannya di malam terakhir ketika bom dari Jepang
diledakkan. Sesungguhnya, Hyo Seop tidak tahu apa yang membuatnya bisa berlari dengan
kencang mencari pertolongan di saat seluruh tubuhnya terluka. Yang ia tahu, pulang adalah
keinginan terbesarnya. Dan ia tahu, Sung Kyung sudah menunggu dirinya.

“Aku sudah benar-benar pulang,” ujarnya. “Terima kasih, karena selalu menungguku.”

-Fin.

82. Advantage
83. Breakfast
84. Echoes
85. Falling

86. Picking up the Pieces


(By Astawwy)

Pertemuan Jae Won dan Ji An malam itu berakhir dengan bertukar nomor telepon
masing-masing serta perjanjian untuk bertemu lagi secepatnya. Ji An kembali ke Incheon
bersama Jung Hee dan perasaan hangat yang ada di dalam hatinya. Dia masih tidak bisa
percaya bahwa pertemuannya dengan Jae Won sama sekali tidak canggung, justru mereka
berdua seperti dua orang teman baik yang sudah lama tidak berjumpa. Banyak sekali yang
ingin Ji An tanyakan kepada Jae Won, begitu juga sebaliknya. Namun, sayangnya Jae Won
malam itu harus menghadiri pesta perayaan kemenangan JK Dragons, sehingga percakapan
mereka berhenti.

Sebisa mungkin Ji An menahan senyuman yang selalu muncul setiap kali mengingat
Kwak Jae Won. Tidak bisa ia jelaskan bagaimana perasaan yang ada di dalam hatinya ketika
bertemu kembali dengan laki-laki yang tadinya ia kira tidak akan pernah bisa Ji An temui lagi.
Tentu saja, Ji An bahagia dan berharap bahwa pertemuan mereka adalah sebuah awal yang
baru.

Sudah menginjak hari ketiga belas sejak pertemuannya dengan laki-laki itu, dan tidak
ada satu hari pun Ji An habiskan tanpa menerima telepon malam atau menjawab pesan-pesan
saingkat dari Jae Won. Mereka terus berkomunikasi, Jae Won juga memberitahu kepada Ji An
bahwa dia akan datang menghampiri Ji An ke Incheon pada hari Sabtu nanti.

Kabar kedatangan Jae Won itu membuat Ji An tidak sabar untuk menunggu datangnya
hari Sabtu. Dia menghitung hari dengan menjalani kegiatannya sehari-hari dengan semangat.

Jung Hee tidak pernah sekali pun menanyakan mengenai bagaimana kemajuan
hubungan Ji An dan Jae Won. Dia hanya sesekali menggoda Ji An seperti, “kau sekarang jadi
lebih sering tertawa ya” atau “apa lagi yang hari Jae Won ceritakan kepadamu?”. Pertanyaan-
pertanyaan yang semakin membuat Ji An merasa bahagia.

Dan sore ini, Ji An sedang dalam perjalanan menuju rumahnya. Setiap hari Jumat,
seperti biasa jadwal mengajar Ji An akan berakhir lebih awal. Maka dari itu, Ji An bisa pulang
ke rumah dengan lebih santai sambil mengelilingi lingkungan sekitaran rumahnya dengan
sepedanya. Menikmati udara segar di sore hari, sesekali ada orang yang akan menyapa Ji An,
terkadang ada juga orang menyapa Ji An untuk menanyakan apakah nanti malam restorannya
bisa disewa untuk berpesta soju atau tidak. Rutinitas yang seperti ini terasa sangat
menyenangkan bagi Ji An dan ia akan selalu bersukur untuk semua yang sudah dirinya dapatkan
dalam hidupnya sampai detik ini.

Ji An mengayuh sepedanya menuju rumah kecilnya dan Jung Hee setelah puas
berkeliling-keliling. Saat dia hampir sampai di depan rumahnya, tiba-tiba ada sesuatu yang
menarik perhatian Ji An.

“Mobil siapa itu? Bukankah restoranku baru buka sekitar tiga puluh yang lalu? Biasanya
pelanggan dari Seoul selalu datang setiap pukul tujuh…” ujar Ji An yang sudah turun dari
sepedanya dan berjalan ke rumahnya sambil mendorong sepedanya.

Ketika langkah Ji An semakin dekat dengan mobil yang terparkir di depan rumahnnya,
tiba-tiba pintu mobil tersebut terbuka. Ji An memberhentikan langkahnya untuk melihat orang
yang keluar dari mobil itu.

“Sulit sekali rupanya mencari alamatmu,” kata seseorang keluar dari mobil itu.

Ji An refleks langsung menjatuhkan sepedanya. Dia terkejut.

“Jae Won? Bukannya besok?” Ji An tidak percaya dengan sosok yang sekarang sudah
berdiri di hadapannya sambil tersenyum.
“Kenapa? Kau tidak senang ya aku datang lebih awal? Hmm?” tanya Jae Won.

Bertemu kembali dengan Jae Won setelah pertemuan terakhir mereka di stadion, tanpa
persiapan apa-apa membuat Ji An jadi salah tingkah. Apa lagi hari ini Jae Won terlihat sangat
segar dan santai. Dia hanya menggunakan jeans serta kaus lengan panjang hangat dan sepatu
vans yang membuatnya terlihat sangat menarik.

“Kenapa kau menatapku seperti itu?” goda Jae Won.

Ji An langsung berdeham untuk menyembunyikan pipi merahnya. “Tidak,” katanya.


“Aku hanya heran saja kenapa kau bisa datang lebih cepat. Bukankah kata kau hari ini masih
ada urusan yang harus kau selesaikan di Seoul?”

“Oh itu,” kata Jae Won yang bersender di mobilnya. Membuatnya terlihat semakin
menarik dan…jantung Ji An semakin tidak karuan melihat tingkah Jae Won. “Ternyata
negosiasi gajiku berjalan dengan cepat. Semua sudah diurus oleh orang-orang club, aku juga
setuju dengan nominal uangnya. Jadi tidak ada yang harus aku diskusikan terlalu lama disana.”

“Negosiasi gaji?” tanya Ji An. Kali ini dia serius bertanya karena dia tidak mengerti
maksud perkataan Jae Won barusan.

Jae Won berdecak. “Sudahlah, nanti juga kau menikmati hasil negosiasi gajiku,”
katanya kembali menggoda Ji An.

“Maksudmu?”

“Ini kita harus sampai kapan ya membahas soal gajiku? Kau tidak merindukanku
memangnya? Hmm?” Jae Won tersenyum kepada Ji An.

Astaga, dia sengaja melakukan itu pasti.

Ji An memutar bola matanya. Dia tidak menjawab pertanyaan Jae Won melainkan dia
berjalan mendekati Jae Won dan membalas senyuman laki-laki itu. “Sepertinya kita harus
memindahkan mobilmu dulu. Nanti pelangganku tidak bisa masuk ke dalam.”

“Ah, iya. Maaf, aku tidak tahu harus memarkir dimana soalnya.”

--

Kedatangan Kwak Jae Won tentu saja membuat Jung Hee senang. Dia langsung
menyiapkan kamar supaya bisa digunakan untuk istirahat oleh Jae Won nanti malam. Beberapa
orang yang datang ke restoran Ji An ada yang mengenal Jae Won, ada juga yang ternyata
penggemar berat Jae Won, dan semuanya ingin berbicara dengan pemain baseball itu.
Awalnya, Ji An menolak beberapa permintaan pelanggannya yang ingin berfoto dan meminta
tanda tangan Jae Won. Tapi, lama-kelamaan, Jae Won merasa tidak enak. Akhirnya, dia
membolehkan beberapa orang untuk berfoto dengannya dan juga memberikan tanda tangan
untuk mereka.

“Datang lagi kesini untuk makan malam, supaya bisa bertemu denganku.”

Kalimat itu yang Jae Won katakan pada pelanggan-pelanggan Ji An dan Jung Hee.
Mereka semua pulang dengan perut kenyang dan perasaan yang bahagia karena sudah bertemu
idola mereka dari JK Dragons. Melihat Jae Won memiliki banyak penggemar sebenarnya sudah
tidak asing untuk Ji An, sebab sejak dulu ia baru mengenal Jae Won di sekolah, laki-laki itu
sudah sering menjadi bahan pembicaraan orang-orang dan banyak sekali perempuan yang
selalu ingin mencoba mendekati Jae Won. Namun, sekarang terasa lebih berbeda karena
respon yang Jae Won berikan ke penggemar-penggemarnya begitu positif dan membuat Ji An
senang melihatnya.
“Wah, kau benar-benar memiliki semua jersey pemain JK Dragons? Terima kasih karena
sudah mendukung kami semua.”

Melihat Jae Won yang sekarang bisa berbicara dengan penggemar-penggemarnya


dengan ramah, tentu saja Ji An merasa sangat bahagia. Dia bukan lagi Jae Won yang seperti
dulu. Dia tidak lagi putus asa, dia tidak lagi ingin membunuh dirinya, dia tidak mengunci diri
dari semua orang yang perduli kepadanya. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari melihat
Jae Won sekarang sudah berubah menjadi lebih baik.

Ji An menghampiri Jae Won yang baru saja mengantarkan pelanggan terakhirnya malam
ini. Dia mencolek pundak laki-laki tinggi itu, Jae Won menoleh kepadanya.

“Kenapa?” tanyanya.

Ji An tersenyum melihat Jae Won. Rambutnya sedikit berantakan karena terkena angin
malam. “Ingin berjalan-jalan denganku?” katanya menawarkan kepada Jae Won.

Jae Won mengaggukkan kepalanya, menerima ajakan dari Ji An.

--

“Kau tidak apa-apa kalau foto-fotomu malam ini tersebar?” tanya Ji An. “Tadi banyak
sekali yang berfoto denganmu soalnya.”

“Tidak masalah. Orang-orang di club membolehkanku dan pemain yang lain untuk
menujukkan diri setelah sekian lama fokus berlatih.” Jawab Jae Won. Dia memasukkan kedua
tangannya ke dalam saku celana jeans yang dia gunakan.

Ji An menunjuk ke bangku yang ada di pinggir jalan. “Duduk disana saja yuk,” ajaknya.

Mereka duduk berdua sambil menatap langit malam. Selain mereka, ada beberapa
orang yang sedang berjalan dengan teman atau pasangannya masing-masing. Ada juga
beberapa yang sendirian.

“Ji An-ah,” panggil Jae Won.

Dia menoleh untuk menatap laki-laki yang memanggil namanya.

“Adakah yang ingin kau tanyakan kepadaku?”

Ada. Banyak.

Ji An berdecak. “Dulu kau sangat benci kalau aku ingin mengetahui urusanmu.”

“Iya ya?” kata Jae Won. “Mungkin karena sekarang, aku ingin kau mengetahui semua
tentangku?”

Mendengar pertanyaan Jae Won barusan, Ji An menghela nafasnya dengan panjang.

“Ada banyak yang ingin aku tanyakan kepadamu sebenarnya,” kata Ji An. Dia menoleh
dan langsung bertemu dengan wajah Jae Won yang terlihat sedang menyimak dirinya
berbicara. “Aku ingin tahu kabar Eomma mu, Choco, Kyung Woo. Aku ingin tahu apa saja yang
telah kau lewati tanpa diriku. Aku ingin tahu siapa yang berada disampingmu di saat kau
sedang hancur karena diriku. Aku ingin tahu seberapa menyiksanya dirimu saat melakukan
pengobatan. Semuanya, aku ingin tahu, Kwak Jae Won.”

Jae Won tertawa. “Hahaha, kau masih memanggilku Kwak Jae Won. Kau pikir ini
sekolah? Jangan memanggilku seperti itu lagi.”

“Tidak mau,” kata Ji An. “Aku suka memanggilmu seperti itu.”


“Ya sudah, iya, silahkan.” Jae Won mengalah. Kemudian dia kembali bersuara,
“Eomma dan Choco baik-baik saja. Kyung Woo juga sekarang sudah mendapatkan posisi terbaik
di JK Dragons. Tidak ada yang tahu mengenai statusku dan Kyung Woo yang sebenarnya,
sampai saat ini. Kami berdamai, kau tahu kan? Aku tidak bisa benar-benar membenci orang
yang perduli kepadaku.”

Ji An menganggukkan kepalanya. “Lalu?”

“Lalu, hmm apa lagi ya? Oh, siapa yang berada disampingku saat aku sedang hancur
karena….” Jae Won berhenti untuk menatap Ji An.

“Tidak apa-apa, Jae Won. Katakan saja, itu benar. Aku yang membuatmu—”

Jae Won menghentikan ucapan Ji An dengan mencium pipi kanan Ji An. Dia tersenyum
kepada perempuan itu. “Sudah ya? Jangan dibahas terus.”

“Tapi, aku tetap ingin tahu, Siapa yang ada di dekatmu selama aku tidak ada.”

Jae Won mengelus pipi Ji An. “Tidak ada yang benar-benar ada di dekatku. Pada
akhirnya, aku harus berjuang sendirian. Mereka hanya bisa mendukungku saja.”

“Kalau pengobatanmu? Bagaimana?” Ji An masih penasaran. Tangannya mengelus


punggung dan lengan Jae Won. “Sekarang sudah aman kan?”

“Panjang sekali ceritanya kalau pengobatan. Tapi singkat cerita, aku melakukan proses
selama kurang lebih satu setengah tahun. Pemulihannya tidak lama kok. Tubuhku cukup kuat
untuk melewati efek samping setelah operasi. Sekarang, aku sudah normal kembali.” Kata Jae
Won menjelaskan. “Aku memilih untuk menjadi Batter, karena kata seseorang aku ini keren
kalau menjadi Batter.”

Ji An memukul pelan punggung Jae Won. “Jangan memulai.”

“Kalau begitu, gentian aku yang bertanya,” kata Jae Won.

“Silahkan.”

“Bagaimana kau bisa bertemu dengan Jung Hee? Bagaimana kau bisa membuka bisnis
sendiri dan bisa mengajar seperti sekarang?” tanya Jae Won. “Aku ingin bertanya banyak
kepadamu, tapi paling penasaran dengan pertanyaan itu.”

Ji An berdeham. “Hmm, Jung Hee itu dulu atasanku. Aku pernah bekerja dengan dia
sebelum akhirnya aku pindah untuk membantu keluarga Hong Joo. Aku bertemu Jung Hee lagi
juga karena tidak sengaja. Saat itu dia sudah bercerai, dia ingin memulai kehidupan yang baru,
dan kebetulannya lagi dia bertemu dengan orang yang juga sedang ingin berusaha memulai
kehidupan yang baru. Aku ingin pergi sejauh mungkin dari hadapanmu, aku tidak ingin kau
melihatku lagi.”

“Uang yang Kyung Woo berikan kepadaku, jumlahnya begitu besar. Aku tidak ingin uang itu
habis sia-sia. Sebagian aku depositokan, sebagian lagi aku gunakan untuk memulai bisnis,
mendaftar ujian paket C, dan untuk memenuhi kebutuhan pribadiku. Jung Hee mungkin tahu,
aku tidak bisa mencari uang hanya dari bisnis restoran yang saat itu belum begitu ramai.
Akhirnya, dia menawarkanku pekerjaan untuk mengajar.”

“Pernahkah kau memikirkanku? Atau mungkin, merindukanku?” Jae Won bertanya lagi.

Ji An menatap lurus ke depan, enggan untuk menoleh kesebelahnya. Dia tidak ingin Jae
Won melihat kesedihan di wajahnya.
“Aku berusaha untuk tidak memikirkanmu terlalu sering. Karena aku pikir, aku tidak
boleh terus-menerus memikirkan seseorang yang sudah pernah aku sakiti,” ucap Ji An.

“Ji An, jangan begitu terus…”

“Tapi, setelah melihat dirimu berhasil dan memenuhi janjimu kepadaku dulu, perlahan
aku kembali memikirkanmu. Aku berharap, suatu hari nanti aku bisa kembali bertemu dirimu
dengan bangga. Aku ingin menyaksikan keberhasilan yang sudah kau berhasil kau raih tanpa
diriku di sampingmu.” Ji An kemudian kembali menoleh dan melihat Jae Won yang masih
menatap dirinya.

“Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Kau memang berbohong, kau memang salah.
Tapi, tanpa semua itu, kita tidak mungkin menjadi seperti sekarang, Ji An.” Kata Jae Won.

Ji An tersenyum. “Iya, aku tahu. Sekarang, kau sudah mendapatkan semua yang kau
mau. Penggemarmu juga ada dimana-mana, semua orang mengenalmu.”

“Kata siapa aku sudah mendapatkan semua yang aku mau? Belum semuanya aku
dapatkan,” Jae Won memajukan mulutnya dengan lucu.

“Apa lagi? Gaji saja bisa kau negosiasikan.”

Jae Won memutar bola matanya. “Jangan berpura-pura bodoh. Aku tahu, kau tahu.”

Tentu saja, Ji An tahu. Ji An sangat tahu. Tapi, dia memilih untuk menggoda Jae Won.
“Aku tidak tahu apa-apa.”

“Benar ya? Kau tidak mau memangnya? Dulu kau sampai menyadap handphoneku
seperti mata-mata. Sekarang, kau bisa dengan bebas menggunakan handphoneku sesuka
hatimu,” Jae Won kemudian mendekati telingan Ji An. “Mau kan?”

Ji An ingin tertawa, namun dia berusaha menahannya. “Jangan dekat-dekat.”

“Aku serius, Lee Ji An.”

Ekspresi wajah Jae Won kembali menjadi serius. Dia menunggu Ji An untuk merespon
ucapannya barusan.

“Aku juga tidak pernah tidak serius denganmu, Kwak Jae Won. Kapan aku bermain-
main denganmu? Hmm?”

Tanpa berlama-lama lagi, Jae Won langsung menangkup wajah Ji An dan mendaratkan
kecupan lembut di bibirnya. Dia menyesap bibir Ji An secara perlahan, tidak terburu-buru dan
membiarkan Ji An untuk membalasnya. Mereka bergerak seirama, meluapkan semua perasaan
yang tertahan selama bertahun-tahun. Tidak memperdulikan siapa pun yang mungkin sekarang
melihat mereka.

Jae Won tersenyum di sela-sela ciumannya dengan Ji An. Dia ingin terus melakukan ini,
namun dia tahu nafas Ji An mulai habis. Perlahan, dia melepaskan ciumannya dan
menempelkan keningnya dengan Ji An. “Ini baru yang kedua kalinya kita begini, dan kau sudah
bisa melakukan seperti tadi?”

“Aku ini pintar, aku bisa belajar dengan cepat.” Ji An menjawab sambil mengatur nafas
dan detak jantunya yang menggebu.

“Ji An, kali ini aku ingin berbicara sungguh-sungguh,” bisik Jae Won.

Ji An menganggukkan kepalanya saja.


“Aku sekarang, sudah memiliki banyak tanggung jawab. Aku tidak bisa terlalu sering
menghampirimu. Akan ada masanya, aku harus terbang ke luar Korea untuk berlatih. Kau akan
sering aku tinggal, aku juga tidak bisa terus-menerus menghampirimu seperti ini. Tapi, aku
berjanji untuk selalu memberikanmu waktu untuk berbicara denganku walaupun hanya
sebentar,” kata Jae Won. “Kau bisa mengerti kan?”

“Apa aku harus menyadap handphonemu lagi ya supaya aku tahu kau sedang dimana
dan kau sedang berbicara dengan siapa?” goda Ji An.

Jae Won menyentil hidung Ji An. “Aku sedang serius. Jangan memulai dulu.”

Ji An tersenyum. “Iya, tidak apa-apa. Aku paham kok.”

Melihat senyuman Ji An, membuat Jae Won ingin memeluk perempuan itu. Dia menarik
lengan Ji An dan membawanya ke dalam pelukan hangat. “Sekarang kau sering tersenyum. Aku
senang melihatnya,” kata Jae Won yang kemudian mencium rambut Ji An.

“Karena aku kata seseorang, aku lebih cantik kalau tersenyum.” Ji An menyembunyikan
wajahnya di dada Jae Won.

Jae Won tertawa. “Terima kasih, Ji An. Kau selalu mengerti kondisiku.”

“Terima kasih kembali. Kau juga selalu ada untukku.”

Malam itu, ketika mereka sudah puas untuk menghabiskan malam bersama, Ji An mengajak Jae
Won untuk kembali ke rumah. Mereka harus beristirahat supaya besok bisa bangun lebih awal
dan bisa berangkat ke Seoul untuk berkunjung ke makam Halmeoni.

Sebelum tidur, Jae Won mengintip ke dalam kamar Ji An. Dia melihat perempuan itu sudah
tertidur dengan nyenyak.

“Sekarang, giliran aku yang akan menjagamu, Lee Ji An.”

-Fin.

87. Gunshot
88. Possession
89. Twilight
90. Nowhere and Nothing

91. Answers

(by : Astawwy)

Hening paling memekakkan adalah hening yang hadir di antara dua orang yang dulu
pernah memiliki cerita. Hari telah berlalu, musim berganti berulang kali, tak terasa bertahun-
tahun sudah berjalan semenjak perpisahan yang terjadi di antara mereka. Semuanya selalu
berakhir tanggung, tanpa jawaban dan penjelas jelas. Hingga akhirnya menyisakan
kecanggungan yang sekarang harus mereka hadapi bersama.

Aneh, dulu ketika pertama kali bertemu, rasanya tidak secanggung ini. Mungkin karena
dulu derajat keduanya masih jauh berbeda. Dohyun masih sangat baru dalam berbagai macam
hal, sedangkan Jieuh sudah memiliki banyak pengalaman. Berbeda dengan sekarang, dimana
keduanya sudah menjalani hidup masing-masing, Dohyun bersama popularitasnya yang sedang
tinggi dan sedang berada di puncak, Jieun bersama kesibukannya dalam mempertahankan
karirnya yang sampai detik ini masih sangat diperhitungkan oleh banyak orang.

Sudah terlalu banyak perbedaan dalam hidup mereka, sudah terlalu lama pertanyaan
dalam hati mereka yang tidak pernah sempat terjawab, dan dengan kedua aspek tersebut
membuat Dohyun dan Jieun sulit untuk terlihat baik-baik saja di hadapan orang-orang seperti
sekarang ini.

Pagi-pagi sekali dia terbangun dari tidurnya kurang tenangnya, Dohyun memang sudah
tahu kalau hari ini dia akan bertemu dengan perempuan yang sekian lamanya dia simpan di
tempat paling jauh dalam hatinya, Lee Jieun atau yang sering orang panggil sebagai IU. Sejak
minggu lalu, dia mendapat kabar dari manajernya kalau dirinya mendapat tawaran untuk
bermain drama dengan Jieun. Akan menjadi comeback yang sangat tepat bagi Dohyun setelah
dua tahun tidak bermain drama dan memilih untuk bermain film. Semenjak menyelesaikan
wajib militer, Dohyun kembali dengan puluhan tawaran dan pada akhirnya yang dia pilih
adalah film. Sejak saat itu, karirnya memang menjadi sangat naik, sehingga membuatnya tidak
pernah muncul lagi di layar kaca.

Sekarang, Dohyun memutuskan untuk kembali mencoba bermain drama lagi. Kebetulan
sekali lagi sutradaran dan penulis yang menawarkan drama ini kepadanya, memiliki reputasi
yang sangat baik di Korea. Dohyun pernah bekerja sama dengan mereka. Itulah sebabnya, dia
ingin mengambil tawaran itu. Namun, dia tidak pernah menyangka kalau lawan mainnya dalam
berlakon nanti sudah fix dan orang itu adalah Lee Jieun.

Dan disinilah mereka sekarang, di hadapan orang-orang yang sedang saling berkenalan
satu sama lain—akan melakukan script reading drama mereka bersama. Lee Dohyun dan Lee
Jieun resmi dinyatakan sebagai dua pemeran utama, namun media belum boleh merilis berita
ini sampai waktu yang telah ditentukan. Ada beberapa pemain senior dan juga pemain junior
yang berusaha menyapa Dohyun dengan sopan. Dohyun sudah berbicara dengan semua orang
yang hadir hari ini. Tinggal satu orang yang belum dia coba untuk ajak obrol.

“Dohyun-ah,”

Ah, rupanya dia yang memanggilku lebih dulu.

Dohyun menoleh, matanya berusaha untuk terlihat tenang dan tidak bergetar. Sebisa
mungkin dia menahan dirinya supaya tidak ketahuan kalau dia sedang gugup di hadapan Jieun.

Dia pikir, Jieun akan menanyakan kabarnya. Perkiraannya salah.

“Aku ingin mengajakmu melihat bagian pertama yang nanti harus kita bacakan. Aku
kebetulan sudah menandai apa yang harus aku diskusikan denganmu,” kata Jieun.

Rupanya Jieun langsung mengajaknya berdiskusi soal naskah.

“Boleh, bagian yang mana? Kebetulan aku sudah selesai membaca semuanya.”

Jieun tersenyum tanpa melihat Dohyun. “Aku tahu. Kau memang selalu membaca
semua bagianmu, seperti dulu.”

Kalau bukan sedang harus mendiskusikan hal penting, mungkin Dohyun akan langsung
terdistraksi dengan ucapan Jieun barusan. Akan tetapi rasanya sekarang bukan saat yang
tepat.

“Oh, kau masih ingat rupanya,” ujar Dohyun. “Noona.”

Tangan Jieun yang sedang membuka halaman-halaman naskah, berhenti saat


mendengar Dohyun memanggilnya seperti tadi.
“Tentu,” Jieun merespon. “Aku ingat. Dan akan selalu ingat.”

--

“Good work semuanya! Sampai bertemu di lokasi syuting!”

Pembacaan naskah sudah selesai. Selama satu jam lebih, pembacaan naskah berjalan
lancar tanpa hambatan. Dohyun, Jieun dan beberapa pemain lainnya memperkenalkan diri
mereka masing-masing, lalu semuanya berjalan dengan sangat cepat sampai akhirnya mereka
harus selesai dan melakukan sesi foto bersama.

Semua orang sudah selesai, satu persatu orang pergi dari ruangan. Menyisakan Dohyun
dan Jieun saja bersama dengan manajernya mereka masing-masing.

“Hyung, kau pulang duluan saja. Aku ingin menyelesaikan urusanku dulu,” kata Dohyun
pada manajernya.

Untung saja hari ini, dia tidak ada jadwal lain dan membawa mobilnya sendiri. Jadinya
dia bisa mencoba untuk “nekat” menyelesaikan urusan yang ingin dia selesaikan. Karena
setelah Dohyun pikirkan, rasanya dia harus mencoba untuk membicarakan ini dengan Jieun.
Supaya mereka bisa mendapatkan jawaban yang telah lama tertinggal, menggelantung tidak
terjawab dan menyesakkan dada mereka.

Dohyun menghampiri Jieun yang sedang berbicara dengan manajernya.

“Bisakah aku berbicara denganmu sebentar?” tanya Dohyun pada Jieun. “Kalau kau
tidak keberatan.”

Jieun menghela nafasnya, lalu tersenyum pada Dohyun. “Oke, tunggu sebentar.”

Kemudian dia berbicara pada manajernya dengan pelan selama beberapa saat. Dohyun
tentu saja mengenal manajernya Jieun, dulu mereka cukup akrab dan sering berbicara
beberapa kali.

Begitu selesai berbicara dengan manajernya, akhirnya Jieun ditinggal sendirian dengan
Dohyun. Sekarang hanya mereka berdua lagi.

“Ada apa?” tanya Jieun.

Dohyun tersenyum tipis padanya. “Sambil meminum kopi dan mungkin kau masih suka
memakan salad?”

Jieun berdecak. “Baiklah, lead the way.”

--

Disinilah mereka sekarang, di tempat yang dulu selalu menjadi pelarian mereka ketika
ingin sekedar bertemu dan berbicara sampai hari berganti. Di sebuah kafe yang Jieun kenalkan
kepada Dohyun bertahun-tahun lalu, yang selalu menjadi tempat Dohyun menghabiskan
waktunya merindukan perempuan itu.

“Aku tahu sepertinya ini terlambat untukku menyanakan ini kepadamu,” kata Dohyun
memulai percakapan mereka. “Bagaimana kabarmu selama ini?”

Jieun berhenti mengaduk kopinya, dia tersenyum pada Dohyun. “Kau serius
menanyakan itu kepadaku sekarang?”

Dohyun mengulum bibirnya sesaat.


“Eit, jangan lakukan itu. Aku tahu ketika kau melakukan itu, kau berarti sedang
memikirkan banyak hal dalam benakmu. Benar kan?” kata Jieun lagi, yang menyadari
kebiasaan lama Dohyun. Mengulum bibirnya.

“Lalu kau tidak ingin menjawab pertanyaanku?” tanya Dohyun kemudian.

Jieun menatap Dohyun. “Untuk apa kau bertanya kepadaku, kalau sepertinya kau sudah
tahu apa jawabannya?” jawabnya yang setelah itu menyenderkan punggung di bangku
tempatnya duduk. “Aku baik-baik saja, tanpamu. Tenang saja.”

Pada akhirnya, Jieun tetap menjawab.

“Aku minta maaf—”

Jieun mengangkat tangannya. “Tidak, jangan katakan itu. Aku sudah mengerti
sekarang.”

Dohyun mengeluarkan sebuah kotak kecil yang ada di dalam kantung celananya. Kotak
kecil yang selama ini tidak pernah sempat dia berikan pada Jieun. Kotak kecil yang hari ini
membuatnya kebingungan di pagi hari tadi, memikirkan haruskah dia membawa benda tersebut
atau tidak. Dohyun memberikan kotak itu kepada Jieun.

Jieun mengambil benda pemberian Dohyun, lalu membuka kotak tersebut untuk
melihat isinya.

Sebuah kalung berbentuk bulan.

“Ini untukku?” tanya Jieun.

Dohyun mengangguk. “Aku membeli itu dengan uang tabunganku, dulu. Tapi sepertinya
aku tidak pernah sempat memberikan itu kepadamu karena aku terlalu cepat mengambil
keputusan dan meninggalkanmu.”

Jieun terdiam. Dia mendengar Dohyun menjelaskan semuanya.

“Setelah lima tahun tidak bertemu denganmu secara langsung seperti ini, aku
menjalani banyak hal dan tersadar akan sesuatu. Bahwa memang, keputusanku saat itu
memang tidak sepenuhnya salah,” kata Dohyun. Dia berhenti untuk melihat kedua mata Jieun
secara langsung, lekat-lekat. “Yang salah ada caraku. Seharusnya aku tidak main mengambil
keputusan sepihak dan memutuskan semuanya. Dan sekarang, aku tersadar kalau ucapanmu
saat terakhir kali kita bertemu itu benar.”

Jieun masih terdiam.

“Kau bilang kepadaku saat itu, ‘tidak ada lagi orang sepertiku yang akan hadir di dalam
hidupmu. Tidak ada lagi orang yang akan mencintaimu sepertiku yang akan akan hadir di dalam
hidup.’ Aku ingat kan?”

“Dan aku benar. Iya kan?” tanya Jieun.

Dohyun menghela nafasnya dengan panjang. “Sayangnya, kau benar. Aku tidak
menemukan orang lain sepertimu, Noona.”

Jieun tertawa singkat, menyembunyikan kepahitan masa lalunya dengan Dohyun.

“Sampai sekarang, setiap kali aku mencoba untuk membencimu dan berkencan dengan
orang lain, lalu menemukan orang lain, ingatanku akan kembali mengingatkanku kepada hari-
hari ketika seseorang dengan sederhana dan polosnya mengajakku untuk makan malam di
warung pinggir jalan. Ingatanku membuatku tersadar kalau sebenarnya, keputusanmu
bertahun-tahun lalu itu tidak sepenuhnya salah,” kata Jieun. “Tapi sebagian hatiku marah,
hatiku marah karena kau berpikir kalau aku bisa mendapatkan orang yang lebih baik darimu di
kemudian hari. Padahal kenyataannya, sampai sekarang orang yang kau maksud itu tidak
pernah aku temukan.”

Dohyun menoleh keluar jendela melihat seorang laki-laki remaja sedang berjalan
dengan menenteng kotak yang berisikan banyak sekali jjajangmyeon.

“Noona, kau lihat anak laki-laki di luar sana?” kata Dohyun menunjuk pada objek yang
menarik perhatiannya.

Jieun mengangguk.

“Dulu, aku berjanji kepada diriku sendiri kalau aku tidak akan membiarkan kedua orang
tuaku mencari uang siang dan malam dengan kesusahan. Aku berjanji untuk terus bekerja
dengan baik, supaya bisa membayar semua utang mereka dan memenuhi kebutuhan
Donghyuk,” ucap Dohyun terkenang. Dia menoleh pada Jieun dan tersenyum. “Tapi kemudian,
ketika aku sudah mulai berada di tempat yang aku inginkan, aku tersadar kalau selama ini aku
bekerja bukan hanya untuk memberikan yang terbaik untuk keluargaku.”

“Apa?” tanya Jieun penasaran.

Dohyun meneguk kopi terlebih dahulu. “Aku tersadar, kalau selama ini aku bekerja
untuk bisa menjadi seseorang yang mampu membuatmu bangga. Aku juga ingin bisa menjadi
orang-orang yang bisa dengan mudahnya memberikanmu banyak hal, aku juga ingin
membuatmu bangga setiap kali mengingatku. Aku tidak pernah mengakui ini, tapi beberapa
hari belakangan ini aku tersadar kalau selama ini aku hanya terlalu takut kalah dari orang-
orang yang jauh lebih baik dariku di hidupmu.”

“Itukah jawaban dari semu pertanyaan yang ada dalam hatiku selama ini?” tanya Jieun
tanpa berlama-lama. “Mengapa dia begini? Mengapa dia begitu? Mengapa dia tidak pernah
merasa pantas? Apakah aku kurang? Itu yang selalu aku pertanyakan.”

Dohyun tersenyum miris pada Jieun. “Sekarang, terlalu egois untukku memintamu
kembali ke dalam hidupku. Aku hanya ingin berdamai denganmu, dan memulai semuanya dari
awal. Terlebih sekarang kita akan bermain drama besama, kau masih berhak untuk
mendapatkan penjelasan dariku. Dan aku harap, malam ini aku bisa menjawab semua
pertanyaanmu.”

“Lalu? Bagaimana dengan pertanyaan dalam hatimu? Kau tidak ingin mendengarnya
dariku?” tanya Jieun.

Dohyun hanya bisa menjawab, “Aku hanya punya satu pertanyaan untukmu. Dan kalau
pun aku boleh menanyakan itu, aku sudah tahu jawabannya.”

“Coba saja,” ucap Jieun sambil tersenyum. “Coba saja tanyakan padaku. Kau tidak
ingin kan bekerja denganku tapi pikiran dan hatimu tidak tenang?”

Haruskah? Haruskah aku benar-benar menanyakan ini kepadanya?

Kedua mata mereka saling menatap satu sama lain.

Perlahan, Jieun mendekati wajah Dohyun. Kemudian dia kembali tersenyum.

“Kau hanya punya kesempatan malam ini saja, Dohyun-ah,” ucap Jieun. “Setelah hari
ini, aku tidak ingin kau ganggu dengan keraguan dalam hatimu.”

Akhirnya dia berdeham, lalu ikut mendekati wajah Jieun.

“Apakah kau masih menyukaiku?” tanya Dohyun.


Jieun tersenyum. “Hanya itu? Hanya sebatas menyukaimu? Aku kira pertanyaannya
lebih dalam, ah…aku kecewa.”

“Kau mencintaiku?” tanya Dohyun lagi. “Jawab, Noona. Kesempatanku hanya hari ini
saja kan?”

Ekspresi wajah Jieun berubah, dia tidak lagi tersenyum. Melainkan tangannya berjalan
untuk meraih tangan Dohyun dan menggenggamnya.

“Ya, Lee Dohyun,” panggil Jieun. “Kau salah jika berpikir kalau dirimu tidak pernah
cukup untukku. Aku memang marah kepadamu, dan aku pun tersadar. Kalau saat itu kita
paksakan, sepertinya kita tidak akan berjalan lama. Sedangkan aku tidak menginginkan itu.
Aku tidak ingin kita berjalan lama.”

Dohyun terdiam.

“Aku bekerja, berusaha keras melupakanmu karena aku berharap kalau suatu hari nanti
kau akan kembali dan menagih semua jawaban dariku. Sekarang, harapanku terkabul. Kau
kembali, dan menagih semuanya kepadaku,” ucap Jieun.

“Jadi…?” tanya Dohyun. “Kau belum menjawab.”

Jieun tertawa. “Menurut kau saja, bodoh. Tidak mungkin aku tidak mencintaimu.”

Dohyun pun menghela nafasnya dan tertawa. Dia menangkup wajah Jieun dengan
kedua tangannya. “Terima kasih, aku tahu ini terlalu cepat, tapi sebaiknya kita simpan dulu
sampai project kita selesai. Bagaimana?”

“Tentu saja, kali ini kita pelan-pelan saja. Tapi, kau milikku.” Kata Jieun.

Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Jieun, hati Dohyun menghangat. “Iya, kau
bebas memiliku.”

-Fin.

92. Innocence

(by : Astawwy)

Nasib, memang menentukan jalan hidup manusia. Akan tetapi, tak selamanya nasib
benar-benar bersifat mutlak. Terkadang, beberapa orang mendapat kesempatan untuk
mengubah nasib mereka. Sama seperti yang terjadi pada hidup Seo Woo Jin. Beberapa orang,
yang dulu pernah bertemu dengan Woo Jin akan menatapnya dengan tatapan benci, dengki,
dan kasihan. Hidup sendiri tanpa keluarga, terlilit utang, dan selalu dipermainkan oleh
keadaan. Begitulah hidup yang Woo Jin jalani selama bertahun-tahun.

Hingga akhirnya, ia mendapatkan kesempatan untuk mengubah nasibnya. Ia bertemu


dengan seorang dokter yang orang biasa panggil, Kim Sabu.

Sejak itulah, jalan hidup seorang anak lelaki yang sejak lahir dirundung kemalangan
bernama Seo Woo Jin berubah.

“Kurang lebih seperti itu perjalanan hidupku,” kata Woo Jin kepada jurnalis pertama
yang akhirnya ia bolehkan untuk mewawancarai dirinya secara pribadi. “Tidak jauh berbeda
dengan kisah yang sudah kau baca di buku yang aku tulis, kan?”

Bisa dibilang ini pertama kalinya Seo Woo JIn membolehkan seorang jurnalis
memewancarai dirinya. Hampir tiga tahun setelah buku yang ia tulis menjadi top best seller di
Asia, tidak pernah sekali pun Woo Jin memberikan kesempatan kepada orang-orang untuk
mewawancarai dirinya. Alasannya, karena ia tahu, pertanyaan-pertanyaan yang akan mereka
tanyakan kepadanya pasti akan sama. Dan sebetulnya, mereka bisa mencari jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan itu dari dua buku yang sudah Woo Jin tulis. Semuanya lengkap, mulai
dari perjalanan hidupnya menjadi seorang dokter, terkait rumah sakit Doldam tempatnya
mengabdi hingga detik ini, orang-orang yang bekerja sama dengan Woo Jin di rumah sakit
Doldam, Kim Sabu, dan masih banyak lagi.

Namun, entah mengapa, sekarang Woo Jin merasa sudah saatnya dirinya memberikan
kesempatan untuk bertemu dengan paling tidak satu jurnalis supaya ada yang akan menuliskan
artikel khusus mengenai dirinya. Dan diantara sepuluh orang yang mengirimkan email untuk
melakukan wawancara dengan Woo Jin, pilihannya jatuh kepada jurnalis muda yang Woo Jin
tahu cukup memiliki nama dan dirinya pun tahu buku-buku yang sudah diterbitkan oleh Go Ha
Jin.

Go Ha Jin mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia tersenyum dengan ramah kepada Woo


Jin, kemudian kembali bertanya. “Tapi, selama bertahun-tahun kau mengabdikan dirimu
disini, apakah tidak pernah sekali pun terlintas di kepalamu untuk mencari tempat lain?”

Reaksi yang Woo Jin berikan hanyalah senyuman kecil. “Tidak pernah,” ucapnya tanpa
berpikir dua kali. “Ini rumahku, disini adalah tempatku untuk pulang.”

“Ah, begitu rupanya,” kata Ha Jin.

Wawancara yang berlangsung selama satu jam dengan Go Ha Jin ternyata berjalan
dengan sangat menyenangkan. Tidak ada pertanyaan yang membuat Seo Woo Jin merasa tidak
nyaman, cara Go Ha Jin menanyakan pertanyaan kepadanya juga sangat santai. Mereka terus
bercakap-cakap sampai waktu tidak terasa sudah berjalan selama enam puluh menit. Hingga
akhirnya, Go Ha Jin menanyakan pertanyaan terakhirnya dan tentu saja pertanyaan itu
langsung dijawab oleh Woo Jin dengan cepat, tanpa berpikir.

Ketika mereka sudah selesai, Go Ha Jin berjabatan tangan dengan Seo Woo Jin.
“Senang sekali bisa berbicara langsung denganmu. Aku merasa sangat terhormat menjadi yang
jurnalis pertama yang kau berikan kesempatan untuk diwawancarai,” ujarnya.

Woo Jin berdecak. “Senang juga bisa bertemu denganmu. Ternyata, aku tidak salah
memilih orang untuk mewawancaraiku disini. Maaf, merepotkanmu yang harus datang jauh-
jauh dari Seoul kesini.”

“Tidak masalah,” jawab Ha Jin. “Sekalian aku melihat rumah sakit Doldam yang sering
orang bicarakan.”

“Begitu ya,” kata Woo Jin. “Sayang sekali, Kim Sabu sedang tidak ada. Mungkin lain
kali kau bisa datang berobat kesini dan bertemu langsung dengannya.”

Ha Jin tertawa. “Hahaha, kuharap Kim Sabu sendiri yang akan mengobatiku. Atau
mungkin Seo Woo Jin-sshi bersedia untuk melakukannya kepadaku?”

“Bisa diatur. Tenang saja, Ms.Go,” kata Woo Jin, ia tersenyum. “Artikel itu akan dirilis
bulan depan?”

“Iya, bulan depan jika aku bisa cepat menulis semua percakapan panjang yang baru
saja kita lakukan.” Kata Go Ha Jin sambil membereskan barang-barang bawaannya.

Woo Jin mengangguk mengerti.

“Ngomong-ngomong, aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu. Jika kau masih


berkenan dan sedang tidak sibuk,” ucap Go Ha Jin yang sudah selesai membereskan barang
bawaannya. Dia mematikan alat perekam suaranya, dan tersenyum kepada Woo Jin.
“Bagaimana? Aku hanya sedikit penasaran.”

“Bertanya apa, Ms. Go?” tanya Woo Jin.

“Jika kau menganggap rumah sakit ini adalah rumahmu dan semua orang yang ada
disini adalah keluarga untukmu,” Ha Jin berhenti untuk menatap Woo Jin. “Lantas, apakah kau
juga pernah memiliki kisah cinta dengan seseorang yang spesial untukmu di rumah sakit ini?
Atau mungkin dengan orang lain yang tinggal di sekitaran Doldam?”

Saat itulah, Seo Woo Jin terdiam. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya saat
mendapat pertanyaan seperti barusan dari Go Ha Jin.

Karena tidak mendapat respon oleh Woo Jin, akhirnya Go Ha Jin kembali bersuara.
“Maaf, kalau pertanyaanku terlalu personal untukmu,” katanya. “Tidak perlu dijawab, aku
hanya penasaran saja.”

“Tidak kok, aku tidak masalah. Hanya saja tidak ada yang pernah menanyakan itu
kepadaku,” kata Woo Jin. “Setiap kali aku melakukan roadshow dan tanda tangan buku, aku
selalu melakukan wawancara di tempat. Tidak ada wartawan yang pernah menanyakan
pertanyaan itu kepadaku.”

Ha Jin menyadari perubahan suara Woo Jin. Seketika suara dokter itu berubah menjadi
lebih pelan, ekspresi wajahnya pun terlihat lebih sendu. “Aku hanya penasaran,” kata Ha Jin.
“Bagaimana mungkin kau bisa bertahan disini tanpa pernah terpikir untuk…berkompromi?”

Woo Jin menundukkan kepalanya dan menghela nafasnya. Dia terdiam untuk beberapa
saat. Entah apa yang membuat dirinya merasa senang berbicara dengan jurnalis di sebelahnya,
namun sekarang Woo Jin merasa tidak ada salahnya untuk membagikan ceritanya yang hampir
tidak pernah ia bicarakan lagi dengan orang lain.

Dia menoleh ke arah Go Ha Jin dan tersenyum kecil. “Apakah kau punya waktu untuk
mendengarkan ceritaku?”

“Tentu saja. Suamiku kemungkinan masih satu jam lagi baru bisa sampai disini,” jawab
Ha Jin.

--

Namanya, Cha Eun Jae.

Kami bukan teman, kami bukan musuh juga. Kami hanyalah…rekan kerja yang
kebetulan lulus dari universitas yang sama.

Aku jatuh cinta kepadanya yang pintar, cantik, dan polos. Awalnya, aku pikir ini
hanyalah cinta sesaat yang akan hilang ketika aku keluar dari universitas. Namun ternyata aku
salah.

Aku mencintainya. Aku senang berada di dekatnya yang pintar dan selalu melakukan
segala sesuatunya tanpa berpura-pura. Bagiku yang saat itu tidak memiliki siapa-siapa,
memiliki Cha Eun Jae yang berani mengajakku berbicara lebih dulu dan memintaku untuk
menjadi teman belajarnya, merupakan sebuah hadiah.

Diriku yang hampir memutuskan untuk berhenti berkuliah dan memutuskan mimpiku
menjadi dokter, akhirnya membatalkan semua rencana itu. Aku melanjutkan kuliahku,
meminjam uang dengan orang-orang itu, dan akhirnya, nasib membawaku bertemu lagi
dengan Eun Jae di Doldam.

--
“Astaga, apakah Cha Eun Jae-sshi masih ada disini?” tanya Ha Jin.

Woo Jin berdecak. “Kau ingin mendengarkan kelanjutannya?”

“Lanjutkan. Aku penasaran.”

Woo Jin berdiri dari tempatnya duduk. “Kau ingin sambil meminum kopi? Disini ada
mesin pembuat kopi yang menjadi favoritnya orang-orang di Doldam,” ucapnya menawarkan
kepada Ha Jin.

--

Ada banyak hal yang sudah pernah aku lakukan untuk mendapatkan hati Eun Jae. Akan
tetapi, dia selalu berkata, “Jangan melalui batas. Kita bahkan bukan teman, Seo Woo Jin.”

Aku tidak ingin membuat Eun Jae merasa tidak nyaman dengan kehadiranku di
sekitarnya. Orang lain boleh menatapku dengan takut dan benci, tapi tidak untuk Eun Jae. Dia
tidak boleh. Maka dari itu, aku selalu berusaha untuk bertindak sesuai dengan apa yang
dirinya inginkan.

Dengan begitu, kami bisa tetap bekerja dengan baik bersama-sama di Doldam.

Waktu terus berjalan, Eun Jae dan diriku semakin dekat. Dia semakin bisa membaca
diriku yang selalu berusaha menyembunyikan semua masalah hidupku dari orang lain.

“Ya, Seo Woo Jin. Bisakah kau mengerti sedikit? Buka matamu. Aku ini sedang
mengkhawatirkanmu…”

“Jangan lakukan itu, Seo Woo Jin. Itu hanya akan menyulitkanmu.”

“Apakah kau baik-baik saja?”

Jangan, Cha Eun Jae. Aku tidak ingin melewati batas yang sudah kau gambar tepat
diantara kita. Aku tidak ingin hubungan kita berubah.

Itu yang selalu ingin kukatakan kepadanya, setiap kali dia mengkhawatirkanku dan
berusaha untuk melindungiku dari semua masalah yang datang silih berganti. Tapi, lagi-lagi,
aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku senang dengan semua perhatian yang Eun Jae
berikan kepadaku.

Cha Eun Jae adalah matahari yang hadir di setiap pagiku. Alasanku untuk bertahan
hidup, sebelum aku bertemu dengan Kim Sabu dan semua orang di Doldam.

“Apakah kita harus terus bekerja disini terus? Di Doldam?”

“Haruskah…kita bertahan disini? Kau dan aku?”

Tanpa ada Eun Jae, aku akan tetap bertahan di Doldam. Aku tidak tahu dengan Eun
Jae. Apakah dia akan terus berada di Doldam? Jika iya, apakah karena diriku?

Aku tidak pernah berharap. Aku tidak pernah berharap. Aku tidak berharap.

Tapi, aku ingin yang terbaik untuk Eun Jae.

--

“Lalu? Apakah dia juga menyukaimu?” tanya Ha Jin. “Dia sudah melewati batas yang
dia tulis di antara kalian berdua.”

Woo Jin tersenyum. “Aku tahu,” katanya. “Tapi, aku tidak akan memaksakan, Eun
Jae.”
“Kau harus mencobanya. Katakanlah kepadanya, bahwa kau mencintainya.”

--

Kami masih sangat muda saat itu. Masih banyak yang harus kami kejar, dan mungkin
bagi Eun Jae, aku bukanlah sesuatu yang harus dirinya kejar.

Begitu pun, denganku.

Untuk saat itu, aku hanya ingin hidup di dekat Eun Jae tanpa harus menggenggamnya
dengan erat. Dan aku ingin menjalani hidupku dengan baik.

Kami sibuk dengan hidup yang kami jalani masing-masing di Doldam. Sesekali aku
mengajaknya untuk menghabiskan waktu bersama, berdua saja. Tapi, aku dan Eun Jae tidak
pernah membahas apa-apa terkait perasaan yang kami miliki masing-masing.

Begitu terus, sampai suatu hari Eun Jae bertanya kepadaku,

“Apa yang akan kau lakukan jika aku membolehkanmu untuk melewati batas itu?”

Seharusnya, aku menjawab, “Aku akan berlari dan menangkapmu,” tapi aku lebih dulu
mendengar kabar bahwa Eun Jae akan di pindah tugaskan ke rumah sakit lain. Yang letaknya
jauh dari sini.

Aku tidak ingin menghentikan langkah Eun Jae dalam mengejar mimpinya dengan
jawabanku.

Aku yang masih tidak bisa membedakan pilihan yang baik dan buruk, hanya diam.

Aku membiarkan Cha Eun Jae pergi tanpa mengejarnya.

Dan aku, sekarang tidak tahu apakah dia masih menginginkan diriku untuk melewati
batas itu atau tidak.

Sekali pun, Eun Jae tidak pernah berusaha menghubungiku.

--

“Kejar dia, Seo Woo Jin. Kau sekarang sudah berhasil mendapatkan apa yang kau
inginkan,” kata Ha Jin.

“Aku bahkan tidak tahu apakah dia sudah memiliki kekasih atau belum,” jawab Woo
Jin. “Tapi, aku yakin selama ini dia pasti masih berhubungan dengan aktif semua orang disini.”

Go Ha Jin kemudian menepuk pundak Seo Woo Jin. “Tidak ada perasaan yang tidak
tersampaikan, Seo Woo Jin-sshi. Cobalah untuk meminta kontaknya dan ajaklah dia untuk
bertemu.”

“Sepertinya akan sangat konyol,” kata Woo Jin. “Aku melepaskannya dan sekarang aku
berusaha untuk mengambilnya lagi.”

“Kenapa kau hopeless sekali?” ucap Ha Jin. “Bahkan kalian tidak pernah benar-benar
berpisah. Ini hanya masalah waktu, dan saat itu kau belum siap.”

“Mengapa kau sangat yakin, Ms. Go?” tanya Woo Jin. “Apa yang membuatmu yakin
bahwa Eun Jae akan membiarkan diriku untuk melewati batasnya?”

“Karena sampai kapan pun, kita harus selalu yakin dengan orang yang cintai.”

Seo Woo Jin terdiam. Dia hanya masih memikirkan sesuatu di dalam pikirannya.
“Bagaimana jika selama ini Cha Eun Jae memang menunggumu untuk melewati batas?
Bagaimana kalau selama ini dia memang mencintaimu dan masih menunggumu, Seo Woo Jin?”

Seo Woo Jin masih terdiam. Membuat Go Ha Jin merasa gemas.

“Kau ingin mendengarkan ceritaku? Mungkin jika kau mendengarkan ceritaku, kau
menjadi lebih yakin.”

Akhirnya, Seo Woo Jin merespon. “Ceritamu?”

-Fin.

93. Simplicity

(by: Rixxanna)

Banyak orang yang bertanya bagaimana seorang Byun Baekhyun – pria yang kesehariannya diisi
dengan mengajar music di sekolah dasar – dapat mengambil hati seorang Park Chanyeol. Park
Chanyeol adalah seorang CEO muda yang memiliki bisnis start-up bagi para pekerja industri
kreatif. Konsep bisnis yang unik serta target pasar yang tidak umum, rupanya menjadi suatu
berkah bagi Park Chanyeol dan menjadikannya sebagai salah satu pebisnis yang diperhitungkan
di Korea.

Park Chanyeol memiliki segalanya. Harta, rupa, dan kecerdasan diatas rata-rata. Apapun dapat
ia raih dengan mudah jika dia mau. Namun, jika ia ditanya apa hal yang paling berharga
baginya, maka dengan mudah ia akan menjawab

Byun Baekhyun.

Jika Chanyeol ditanya, apa hal yang paling kau tunggu setiap harinya ketika pagimu dimulai.
Maka jawaban yang ia beri adalah..

Menunggu waktu pulang ke rumah tiba agar ia bisa menghabiskan petang dengan kekasihnya
yang bernama Byun Baekhyun.

Banyak orang yang bertanya-tanya siapa sosok dibalik nama Byun Baekhyun yang sering kali
muncul di artikel-artikel Park Chanyeol. Sosok yang juga tidak pernah absen dari mulut CEO
muda itu ketika ia sedang melakukan interview di media. Ketika Chanyeol menghadiri acara-
acara resmi sering kali reporter bertanya, “Kemana, Byun Baekhyun?”

Maka, Park Chanyeol dengan simpul menjawab. “Dia tidak menyukai spotlight.”

Namun, disinilah Byun Baekhyun berada. Di kantor surat kabar milik Do Kyungsoo – sahabat SMA
Byun Baekhyun – siap untuk menceritakan sudut pandang dirinya bagaimana ia bisa
mendapatkan hati Park Chanyeol (jangan ditanya perlu berapa ratus kali Kyungsoo membujuk
Baekhyun untuk melakukan hal ini). Byun Baekhyun dengan senyum manisnya menghampiri
Kyungsoo di kantor siang hari itu, ia berkata. “Soo, aku siap bercerita. Mungkin ini akan biasa
saja tetapi setidaknya ini akan menjadi hadiah anniversary yang mengejutkan bagi Chanyeol.”

“Aku mencintai Park Chanyeol dengan sederhana. Pertemuan kami pun sederhana, kali itu aku
yang sedang bekerja di kedai pizza bertemu dengan pria yang sedang mengusak-usak rambut
karena mengerjakan tugas akhir kuliah. Lalu, aku kembali bertemu dengannya saat aku
sedang bekerja di pet shop dekat rumahnya tinggal. Kebetulan aku sering bertemu dengan
Toben, maka disitulah awal perkenalan kami. Aku mencintai Park Chanyeol dengan
sederhana, ia tidak perlu hadiah yang mewah karena ia sudah bisa mendapatkannya dengan
mudah. Aku mencintai Park Chanyeol dengan sederhana, sesederhana waktu yang kami
habiskan berdua untuk berbicara banyak hal tanpa harus ke tempat yang jauh. Aku mencintai
Park Chanyeol dengan sederhana. Sesederhana, genggaman jemari ketika dirimu sakit dan kau
menemukan sosok yang kamu cintai tidak meninggalkanmu serta hal-hal kecil yang ia buat
bisa dua kali lebih berarti ketimbang benda yang bisa menghilang kapan saja. Aku mencintai
Park Chanyeol dengan sederhana. Aku milknya seutuhnya, dan dia milikku seutuhnya. Dengan
itu, kami merasa cukup.”

Fin.

94. Reality

(By Rixxanna)

Terkadang sebuah kenyataan yang berada di depan mata dapat menyadarkan seseorang bahwa
Ah, mungkin Tuhan menggariskan hidupku dengannya atau Ah, mungkin aku tidak boleh lagi
berhubungan dengan orang itu. Namun, terkadang ada juga manusia yang terus menutup
matanya seakan menolak bahwa kenyataan selalu membuatnya kembali pada orang itu. Satu
orang spesifik yang entah bagaimana Tuhan selalu membawanya kembali dalam rotasi
kehidupan Sandra.

Kassandra Mahadewi, seorang chef dari restoran hotel berbintang lima harus rela terbaring di
rumah sakit karena overwork.

Old habit just won’t die.

Dan bukan bagian terburuk yang harus Sandra hadapi. Ia harus rela mendengarkan dua jam
ocehan dari dokter bedah umum dr. Paul Bara Andrian Sp. B atau yang lain dan tidak bukan
adalah mantan suami Sandra.

“Andra, kamu aware kan dengan darah rendah, kamu?”

“Andra, kenapa sih kamu selalu overworking?”

“Andra, memangnya kamu gak punya staff buat bagi kerjaan kamu itu? Iya, aku tahu kerjaan
kamu masak, bikin kue, segala macem harus kamu sendiri yang kontrol. Tapi buat apa punya
anak buah yang bisa masak kalau kamu-”

That nickname. Andra. It felt like he acts as if he still has authority to call me that. As if he
still belongs to me.

“Stop. Sandra. kamu harusnya manggil aku, Sandra, Ul.”

Pria 32 tahun yang masih mengenakan baju operasi itu mengacak rambutnya frustrasi lalu
meletakan kedua tangannya di pinggang. “Dari semua hal yang mestinya kamu pikirin, kamu
malah ngomongin panggilan, for real, Dra?”

“Ya, aku ngerti kok aku punya darah rendah. Aku ngerti kok aku gaboleh terlalu capek kalau
enggak mataku bisa berbayang, worst I could faint which I did today. Tapi, aku menghidupi
diriku sendiri, Ul, sekarang. Aku gabisa kabur dari tanggung jawabku sebagai head chef kayak
kamu yang jadiin rumah sakit jadi rumah beneran. Ini cuma karena ada wedding anak orang
penting, jadi memang aku-”

“That’s it. We are going home.” Ucap Paul kembali memotong ucapan Sandra.

“Hah, pulang? Pulang kemana?”

“Ya, pulang ke apart kamu. Aku tahu kamu gak pernah nyaman sama rumah sakit. Aku bakal
prescribe obat buat kamu abis itu aku antar kamu pulang. Aku gak mau kamu kenapa-napa,
Sandra. I’m still someone who knows you well dan aku tahu kamu lagi gak bisa berpikir
jernih.”
“Memangnya kamu gak ada jaga malam atau operasi lagi?” tanya Sandra penasaran because
there is always, ALWAYS, people looking up for his help whenever it is.

Paul menggelengkan kepalanya. “Gaada. Schedule aku baru saja kelar buat hari ini. That’s
being said, you are my last patient for the day.”

Ucapan Paul, mantan suaminya selama dua tahun itu, tidak pernah berubah. Selalu bersifat
final dan kenyataannya, Sandra tidak pernah bisa mengelak.

Jika Sandra berpikir bahwa Paul hanya akan mengantarkannya pulang, maka ia salah besar. Ia
lupa betapa protektifnya mantan suaminya itu. Tidak hanya kepada Sandra, Paul memang
sepenuhnya peduli dengan seluruh anggota keluarga Sandra. Bahkan tidak jarang Paul
membantu Martha, adik Sandra yang sedang co-ass untuk menjadi dokter. Mungkin karena Paul
besar sebagai yatim piatu, kasih sayang dan tenggang rasa dari keluarga Sandra memiliki
makna yang sangat besar untuk Paul.

Sandra dan Paul sudah berteman sejak enam tahun yang lalu berkat acara reuni alumni
fakultas kedokteran tempat Paul kuliah. Sandra saat itu masih menjadi staff chef dengan
sangat memalukannya pingsan ketika ia sedang membawa pastry ke meja tempat Paul duduk.
Insting dokter baru nya bekerja dan long story short mereka berkenalan.

“Paul, gausah pakai masak-masak segala deh,” oceh Sandra begitu melihat Paul berjalan ke
arah dapur.

Melihat langkah Sandra yang masih gontai sontak Paul berputar balik dan meraih bahu Sandra
untuk menuntun mantan istrinya itu masuk ke dalam kamar.

“Gimana caranya kamu mau minum obat kalau gaada isi di perutnya? Tunggu aja di kamar, I’ll
cook a simple dish for you. Gini-gini kamu juga ngefans kan sama dumpling buatanku?” jawab
Paul penuh kemenangan.

Entah pengaruh obat yang dibuat oleh Paul begitu kuat atau dirinya saja yang lelah, tidak lama
setelah Sandra meminum obat matanya langsung terasa berat. Tidak perlu waktu lama untuk
Sandra tertidur. Istirahat total memang hal yang ia butuhkan saat ini.

Sandra menduga dirinya akan terbangun pagi hari seperti biasa. Namun, lain dari biasanya
Sandra terbangun subuh. Jam di nakas tempat tidur Sandra menunjukkan pukul 04.30 pagi.
Kepalanya masih sangat berat dan ia membutuhkan air putih. Baru saja ia hendak bangun dari
tempat tidurnya, ia merasa tumpuan pahanya berat. Benar saja, Sandra menemukan Paul yang
tertidur beralaskan lengan kanannya yang bertumpu pada kaki kiri Sandra. Melihat dokter itu
tertidur, Sandra jadi teringat ucapan suster yang menghampirinya ketika sedang menunggu
Paul kembali.

“Mba Sandra, istirahat yang cukup ya Mba. Obatnya sedang dr. Paul siapkan..”

“Ah, iya Sus. Ini saya sedang menunggu beliau..”

“Mba Sandra saudaranya dr. Paul, ya?”

Sandra menaikkan satu alisnya, keheranan. Heran mengapa ia dikira saudara Paul atau
bingung kenapa perawat ini begitu penasaran. “Ah, bukan. Kenalannya, sih, memang.” Jawab
Sandra canggung.

“Pantas! Tadi beliau langsung lari ke ER sehabis operasi, loh Mba. Mungkin dr. Paul dihubungi
dr. Doni soalnya awalnya beliau yang menangani Mba Sandra.”
Sandra menghela napas sembari membetulkan posisi duduk di tempat tidurnya, masih
memperhatikan wajah sang mantan suami yang terlelap tidur. Sandra mengusap rambut Paul
yang semi ikal hampir menutupi dahi pria itu berpikir betapa Tuhan masih memberinya koneksi
dengan pria ini. Dokter yang pernah mengisi hari-harinya.

Kadang Sandra berpikir apa yang membuat mereka menikah saat itu? Keputusan apa yang
mereka buat saat itu? Lalu, apa yang mereka pikirkan ketika menandatangani surat perceraian?
Kenyataan apa yang mereka hadapi saat itu yang membuat mereka memutuskan untuk
berpisah?

Apakah idealisme mereka akan pekerjaan masing-masing?

Apakah ego mereka yang ingin sama-sama ingin lebih unggul?

Namun, kenyataan membawa mereka kembali meski sudah dua tahun berlalu. Kenyataan
bahwa Sandra tidak akan pernah jauh dari Paul. Kenyataan bahwa meski dua tahun berlalu,
belum ada orang lain yang bisa membuatnya nyaman seperti Paul. Kenyataan bahwa Paul
masih menjadi orang pertama yang Sandra cari jika ia sakit. Kenyataan bahwa perhatian-
perhatian yang Paul berikan selalu membuat hatinya bergetar.

Tetapi, apakah mereka mampu dan siap untuk mengarungi kehidupan bersama lagi? Atau
mereka harus tetap seperti ini? Saling mengisi kehidupan, saling mencari jika sama-sama
membutuhkan, saling mengerti tanpa perlu berbicara satu sama lain? Tanpa mengikat? Apakah
mereka bisa menjalani kenyataan itu?

FIN

95. Acceptance

96. Lesson

(by: Astawwy)

Berbicara dengan Seo Woo Jin ternyata membuat Go Ha Jin kembali membuka kisah
cintanya yang tidak pernah ia sangka akan berjalan seperti demikian. Mungkin karena ia
merasa ingin berbagi pengalaman hidupnya kepada Seo Woo Jin, atau mungkin juga karena
dirinya masih sering teringat akan masa-masa yang lalu. Dan sebenarnya, Ha Jin membagikan
cerita ini dengan orang yang baru saja ia temui hari ini adalah pertama kali untuknya.

“Jadi? Apa yang bisa aku dengar darimu?” tanya Seo Woo JIn.

Go Ha Jin memandang lurus ke depan, melihat sesosok wanita sedang menggendong


anak bayi. Sebuah senyuman hadir di bibir penulis muda itu, ia seperti melihat sebuah film
yang kembali berputar dalam ingatannya.

“Jika kau memiliki Cha Eun Jae dan kau tidak bisa menganggapnya teman atau bukan,
aku justru memiliki seorang teman yang bisa aku anggap kekasih,” ujar Ha Jin. Dia menoleh
sesaat untuk memlihat ekspresi Woo Jin yang terlihat sedang menyimak ceritanya. “Dulu, dulu
sekali, aku masih menganggapnya teman.”

“Bagaimana kalian bisa bertemu?” tanya Woo Jin.

“Melalui blind date saat kuliah,” jawab Ha Jin sambil tertawa. “Aku tahu ini sangat
konyol. Tapi kita justru tidak berkencan setelah blind date bodoh itu. Justru, kami berteman
dengan sangat dekat. Entah karena apa, kami merasa saling cocok dan selalu berusaha untuk
bertemu. Anehnya, kami hanya menganggap hubungan yang terjalan di antara kami sebatas
teman dekat saja.”
--

Banyak orang menyangka, bahwa aku akan berjodoh dengan Lee Eun Hyuk. Lelaki
pintar yang memiliki banyak penggemar di kampus. Orang yang selalu hadir dikala aku senang
dan sedih. Dia tidak pernah membicarakan apa-apa tentang perasaan yang mungkin hadir di
antara diriku dan dirinya.

Hingga suatu hari, saat aku berulang tahun yang dua puluh tiga, Eun Hyuk datang ke
rumahku dengan membawa sebuah hadiah untukku.

“Go Ha Jin, aku menginginkanmu.”

Dan kemudian, dia memintaku untuk menikahinya.

Anehnya lagi, aku tidak mempertimbangkan jawabanku terlebih dahulu. Aku


mengatakan iya kepada Eun Hyuk.

Sejak awal kami bertemu, memang tidak ada lagi laki-laki yang mencuri perhatianku
selain Lee Eun Hyuk. Kebaikannya, kecerdasannya, hal-hal lucu yang selalu dia ceritakan
kepadaku, dan semangatnya dalam menciptakan game atau aplikasi yang nantinya akan dia
jadikan bisnis untuk mencari uang, membuatku jatuh kepadanya.

Kami menikah dua tahun setelahnya. Disaat aku sudah mendapatkan pekerjaan di
salah satu perusahaan penerbitan buku terbaik dan Eun Hyuk yang sudah memulai karirnya di
perusahaan IT terbaik bahkan sebelum kami lulus dari universitas.

Di tahun pertama dan kedua kami menikah, semuanya berjalan dengan begitu baik.
Kami saling mencintai, bersama-sama melewati segala masalah yang ada dalam rumah tangga
yang kami bangun. Terkadang, aku dan Eun Hyuk bertengkar hebat, aku sering menentang
pendapat Eun Hyuk, begitu juga sebaliknya.

Tapi, pertengkaran kami seringkali mereda dan terlupakan oleh perasaan dan rindu
yang hadir dalam hati masing-masing. Aku dan Eun Hyuk kembali berdamai, kemudian
meneruskan keseharian kami seperti biasanya.

Banyak yang bilang, aku dan Eun Hyuk adalah dua orang yang tak terpisahkan. Kemana
pun aku pergi, Eun Hyuk akan selalu ada di dekatku. Kemana pun Eun Hyuk pergi, dia akan
selalu menceritakan tentang diriku kepada teman-teman dekatnya. Banyak yang bilang, kami
adalah pasangan muda yang akan selalu mesra sampai tua. Sangat berlebihan.

Namun, aku senang jika mereka mendoakan yang terbaik untukku dan Eun Hyuk.

Karena sebenarnya, dibalik semua kemesraan dan rasa cinta yang terlihat dari luar,
aku dan Eun Hyuk menyimpan kekhawatiran.

“Kapankah kita mendapatkan anak?”

“Padahal kita sudah sering mencoba.”

“Haruskah kita berhenti dari pekerjaan masing-masing dan menghabiskan waktu


berdua untuk fokus dalam menjalani program?”

Pertanyaan itu yang selalu hadir di setiap percakapan yang aku lakukan dengan Eun
Hyuk setiap malam.

Pertanyaan itu awalnya hanyalah sebuah pertanyaan yang hadir saat kami sedang lelah
atau saat kami sedang merasa tidak ada bahan pembicaraan yang bisa kami bicarakan.

Sayangnya, di tahun kelima kami menikah, pertanyaan itu mulai menjadi bumerang
untukku dan Eun Hyuk.
--

“Tunggu dulu,” kata Woo Jin.

Ha Jin menoleh untuk menatapnya dengan senyuman tipis. “Kenapa? Apa yang ada di
dalam kepalamu?”

“Ini tidak berakhir seperti yang aku prediksikan di kepalaku, kan?” tanya Woo Jin, ragu.

Ha Jin berdecak. “Terkadang, kita memang harus dicoba ketika sedang mencintai
seseorang. Dan kita tidak pernah bisa menebak apa pun yang akan terjadi dalam hidup kita
satu sampai sepuluh tahun ke depan.”

Seo Woo Jin berdeham. Dia tidak yakin dengan pertanyaan yang akan dia tanyakan
kepada jurnalis di sampingnya. “Nanti…yang akan menjemputmu kesini adalah Lee Eun Hyuk?”

“Bagaimana kalau aku lanjutkan lagi ceritaku?”

--

Topik “anak” sering ditanyakan oleh keluargaku dan keluarga Eun Hyuk. Teman-teman
kami pun menanyakan itu.

Aku dan Eun Hyuk sudah mencoba melakukan program, namun tidak ada hasilnya.

Kami sudah memakan makanan-makanan sehat, masih nihil hasil.

Kami frustasi. Perlahan, kami menjadi sering merasa asing dengan satu sama lain. Aku
semakin jauh dengan Eun Hyuk. Dia pun juga semakin sibuk dengan pekerjaannya yang
menjadi sangat banyak. Tidak ada lagi, aku dan Eun Hyuk yang dulu.

Kami hanyalah kami. Dua manusia yang hidup dalam satu apartemen bersama.

Aku merindukan Eun Hyuk yang dulu.

Semakin hari, dia semakin diam dan menjauh dariku. Mungkin hanya perasaanku saja,
tapi aku tahu betul suamiku.

Semakin hari, bukan kehadiran seorang anak yang aku inginkan. Melainkan Lee Eun
Hyuk yang dulu. Aku ingin dia kembali seperti dulu, aku ingin dia mencintaiku lagi.

“Apakah kau masih mencintaiku?” tanyaku malam itu.

Dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia mengeluarkan sebuah surat yang tidak pernah
aku lihat.

Aku takut, aku takut membuka surat itu.

Aku kira, itu adalah surat cerai.

Ternyata, aku salah. Sangat salah.

“Aku tidak bisa memberikanmu anak,” ucapnya. “Maafkan aku, Ha Jin-ah…”

“Sudah berapa lama kau menyembunyikan ini dariku, Lee Eun Hyuk?!”

“Tiga bulan yang lalu. Saat kau sedang pergi ke Busan, aku memutuskan untuk
memeriksakan diriku ke dokter.”

--

Woo Jin terpaku. Dia tidak bisa berkata apa-apa.


“Terkadang, laki-laki memang punya caranya sendiri untuk bersikap. Mereka diam,
berpikir untuk menentukan waktu yang tepat agar mereka bisa membicarakan rahasia yang
mereka simpan sendiri. Tapi, pada akhirnya, bukan waktu yang sebenarnya menghentikan
mereka untuk berkata jujur,” ujar Ha Jin. Dia menyeruput kopinya dulu, sebelum kembali
melanjutkan ucapannya. “Mereka hanya takut kehilangan.”

Go Ha Jin tersenyum dan menyenggol pundak kiri Woo Jin. “Pernahkah kau berkata
jujur kepada Cha Eun Jae-sshi?” tanyanya.

Ada jeda selama beberapa detik. “Aku tidak pernah jujur kepadanya. Aku selalu
menghindar…” ujar Woo Jin yang seketika tersadar akan semua yang telah terjadi kepadanya
dan Eun Jae selama ini.

“Tidak ada rahasia yang tidak terbongkar. Begitu pun dengan rasa yang kau simpan
sendiri, Seo Woo Jin-sshi,” kata Go Ha Jin.

“Tapi, kau belum selesai menceritakan ceritamu, Go Ha Jin-sshi.”

“Eyyy, kenapa kau penasaran sekali?”

“Aku hanya ingin tahu, bagaimana dengan nasibmu dan Lee Eun Hyuk-sshi.”

--

Kami menangis malam itu. Untuk pertama kalinya, aku dan Eun Hyuk takut.

Aku takut mengecewakan Eun Hyuk karena aku pikir, akulah penyebab kami tidak
pernah mendapatkan anak. Aku takut dia menceraikanku karena telah mendapatkan seseorang
yang lebih baik di luar sana, aku takut dia tidak mencitaiku lagi.

Sedangkan, Eun Hyuk, dia takut. Dia takut aku akan mencari orang lain yang bisa
memberikannya anak. Dia takut, aku marah. Itulah mengapa dia menyembunyikan semua ini
selama berbulan-bulan. Dengan alasan dia ingin mencari waktu yang tepat untuk
membicarakan kepadaku. Padahal, sebenarnya dia hanya takut. Seperti diriku yang takut
kehilangan dirinya.

--

“Dan malam itu juga, aku menyadari banyak hal. Tapi, yang bisa aku sampaikan
kepadamu hanyalah jangan takut untuk mencoba. Ada banyak ‘what if’ di dalam kepalamu,
dan itu yang akan menghancurkan semuanya,” kata Ha Jin.

Seo Woo Jin terdiam, dia terlihat sedang memikirkan sesuatu.

“Ah,” tiba-tiba Ha Jin berdiri dan berkata lagi, “rupanya dia sudah datang.”

“Hmm? Siapa?” tanya Woo Jin yang belum sepenuhnya tersadar. Terlalu banyak hal
yang sedang hadir dalam pikirannya.

“Lee Eun Hyuk,” kata Go Ha Jin yang menunjuk kepada sesosok pria bertubuh tinggi
yang sedang berjalan menghampirinya dan Woo Jin. “Aku masih bersamanya, Seo Woo Jin-sshi.
Sampai saat ini, aku masih memilihnya.”

Mereka bertiga bertemu dan Go Ha Jin memperkenalkan Eun Hyuk kepada Woo Jin. Mereka
sempat berbincang-bincang singkat, sebelum akhirnya Ha Jin berpamitan dan memberitahu
Woo Jin soal kapan artikel khusus terkait dengan wawancara yang sudah mereka lakukan hari
ini akan diterbitkan.
Melihat Go Ha Jin pergi bersama Lee Eun Hyuk, membuat Woo Jin ingin merasakan hal yang
sama seperti mereka.

Jika mereka bisa jujur dengan permasalahan yang lebih kompleks dan beresiko, mengapa Woo
Jin tidak bisa? Mengapa ia tidak pernah berusaha untuk mencoba untuk menghubungi Eun Jae?

“Seo Woo Jin seonsaeng,” panggil seseorang dari belakang.

Ia menoleh ke arah suara itu, “Ada apa, Eun Tak ssaem?” tanyanya. “Ada pasien yang akan
datang?”

Eun Tak ssaem menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Tidak, bukan itu,” ucapnya yang
kemudian tersenyum kepada Woo Jin. “Kau kedatangan tamu. Dia menunggumu di
ruanganmu.”

“Hmm? Tamu? Siapa lagi?” tanya Woo Jin ketika Eun Tak ssaem sudah menghilang dari
hadapannya. “Bukankah hari ini aku hanya memiliki janji bertemu dengan Go Ha Jin?”

Pertanyaan mengenai siapa tamu yang sedang menunggu dirinya terjawab ketika Woo Jin
membuka pintu ruangannya dan ia menemukan seorang perempuan sedang menunggu dirinya.

Perempuan itu berdiri sambil memperhatikan seluruh isi ruangan Woo Jin.

Perempuan itu berputar sampai akhirnya kedua matanya bertemu dengan mata Woo Jin.

“Oh!” seru perempuan itu dengan riang. “Seo Woo Jin, ini ruanganmu?”

Woo Jin tidak bisa mempercayai apa yang sedang ada di depan matanya. Tapi, kedua matanya
tidak bisa berhenti untuk menatap perempuan yang sekarang sedang berdiri di hadapannya
sambil tersenyum.

“Kenapa kau diam saja? Tidakkah kau merindukanku? Kau tidak rindu aku ganggu ya?”

Tentu saja.

Woo Jin tidak menjawab apa-apa, dia langsung memeluk perempuan itu dengan erat.

“Cha Eun Jae,” bisiknya. “Kali ini aku akan benar-benar melewati batas itu.”

-Fin.

97. Enthusiasm
98. Game
99. Friendship
100. Endings

Anda mungkin juga menyukai