Anda di halaman 1dari 193

Love Playlist

Posted originally on the Archive of Our Own at http://archiveofourown.org/works/25965295.

Rating: Teen And Up Audiences


Archive Warning: Choose Not To Use Archive Warnings
Category: F/M
Fandom: | Hospital Playlist (TV)
Relationship: Ahn Jeong Won/Jang Gyeo-ul
Character: Ahn Jeong Won, Jang Gyeo-ul, Lee Ik Jun (Hospital Playlist), Chae
Song Hwa (Hospital Playlist), Kim Jun Wan (Hospital Playlist), Yang
Seok Hyeong, Chu Min Ha, Bong Kwang Hyeon, Jung Rosa (Hospital
Playlist)
Additional Tags: Fluff, Slice of Life, Romance, Fluff and Humor
Stats: Published: 2020-08-18 Updated: 2021-06-13 Chapters: 17/? Words:
65141

Love Playlist
by anntarixas

Summary

Ahn Jeong Won memutuskan untuk 'menetap' sebagai pilihan akhirnya. Seluruh momen
yang ia lewati layaknya alunan lagu dengan warna yang berbeda tiap detiknya. Semua hal
baru, suka maupun duka, kini menunggunya di daftar putar.

Notes

Akhirnya setelah beberapa pertimbangan, tulisan ini aku publish. My second fanfic. Cerita
yang terjadi setelah Jang Gyeoul confess ke Profesor Ahn Jeong Won. Ya, walau masih
banyak kekurangan atau mungkin nggak sesuai ekspetasi, semoga cerita ini bisa ngisi
waktu luang untuk nunggu Season 2. So, hope you guys like it.

Di setiap chapter akan ada satu lagu yang iringin cerita ini. Bisa dibilang, setiap lagu punya
makna sendiri dan jadi pondasi dalam alurnya. Mungkin bisa sambil diputar, dan semoga,
lagu yang aku pilih dan saranin easy listening di telinga kalian~

So, for first chapter, prologue special for wintergarden, our national anthem. Confession is
not Flashy ( ) - Kyuhyun. Selamat membaca~
Confession is not Flashy

Yulje, 25 Desember 2019

True love.

Pepatah mengatakan, jika sepasang kekasih mendapat ciuman di hari pertama salju turun, maka
perjalanan cinta mereka akan diberkahi keberuntungan hingga akhir cerita nanti.

Tentu banyak orang yang mengharapkan hal indah menghampiri mereka di saat-saat bahagia,
layaknya hari natal. Bak salju yang turun satu persatu ke permukaan bumi, putih bening dan suci.

Pergi bersama rekan kerja, keluarga, dan orang yang spesial adalah anugerah dari Tuhan yang tak
bisa dilewatkan, salah satu momen menyenangkan bagi setiap individu.

Namun, apa boleh buat. Pemikiran-pemikiran itu sudah tertinggal pada masanya bagi Ahn Jeong
Won, seorang bedah pediatrik berusia 40 tahun yang menghabiskan waktunya di rumah sakit.
Mendedikasikan hari spesialnya untuk menyelamatkan banyak nyawa dan mendapat senyuman
indah dari para malaikat kecil sebagai balasan. Tak ada imbalan lain. Tak ada yang lebih indah dari
pada itu.

Tidak ada cinta di usianya yang ke-20. Tidak ada ketenaran di usinya yang ke-30. Dan tidak ada
yang lebih cerah dari keinginan terbesarnya untuk menjadi seorang pastor. Beberapa orang
mungkin menertawakan pria tampan nan gemilang tersebut karena menjadi seorang chaebol yang
hidup dalam sendok dan sumpit emas, namun lebih memilih berjalan diam-diam menuju jalur
setapak penuh duri.

Menurutnya, semua akan berjalan sesuai rencanya. Rasa lelah yang ia alami 20 tahun terakhir,
akan sampai pada bagian penutup. Sekarang ia tak memiliki banyak waktu. Ia harus merapatkan
dindingnya, agar tak ada lagi hal lain yang menghalangi tujuan utamanya, menjadi pastor.

Sayangnya, Tuhan berkata lain. Ketika semua rencananya sudah tersusun rapi, sebuah perasaan
aneh tiba-tiba muncul dan kemudian, tanpa tahu malu terus mengusik diri Ahn Jeong Won.

Membuatnya terbodohi dengan sikapnya yang goyah mendadak. Membuatnya terus melakukan hal
asing yang diluar kendali dirinya. Membuatnya terus ragu untuk melangkah pergi. Membuatnya
terus bertanya-tanya apakah semua keputusan ini adalah pilihan yang tepat untuknya?

Ahn Jeong Won terlalu takut dengan rasa ini, perasaan baru yang tak pernah ia kenal sebelumnya.
Tertekan? Apa istilah itu pantas untuk semua ini? Tidak.

Apakah ia tertekan karena sudah memutuskan untuk mengabdi pada Tuhan? Tidak.

Lalu apa? Pemikiran-pemikiran lain mulai tumbuh. Semakin ia membuang semua pemahaman itu,
semakin pula ia terjerumus ke dalamnya. Sampai pada titik dimana ia bertanya.

“Apakah ini hal yang tepat untuk dirinya? Jika tidak, akankah Tuhan merestui dirnya untuk
menetap?” Bila kalimat ini sudah muncul, bukankah itu bertanda hati dan otaknya tidak lagi
sejalan?

***

Hari itu, Rabu, 25 Desember 2019, Ahn Jeong Won melangkahkan kakinya menuju kantor setelah
memastikan seluruh pasien kecilnya baik-baik saja. Waktu kerjanya telah usai. Ia merapikan
peralatan di atas meja kerja. Tak lupa mematikan komputer dan mengganti scrub biru dengan
pakaian biasa. Memakai mantel hitam untuk menghangatkan badannya sejak musim dingin yang
panjang tiba. Ya, musim dingin.

Suara ketukan pintu menghentikan aktivitasnya sejenak.

“Siapa itu?” tanyanya pada orang diluar sana.

“Gyeoul,” jawab seseorang dengan suara yang sangat ia kenal. Tubuhnya berhenti sepersekian
detik sebagai respon. Tanpa terlalu banyak berpikir, ia menjawab.

“Oh... Masuklah,” ucapnya. Pun lisannya kini tak lagi bisa ia kendalikan. Secara otomatis
berbicara informal pada bawahannya.

Jeong Won duduk di tepi meja, menunggu hal yang ingin Gyeoul bicarakan. Seakan-akan
mendapat sinyal bahwa apa yang akan diutarakan dokter muda itu adalah perihal penting, Ahn
Jeong Won memberikannya ruang. Gadis itu datang dengan jas putih dan scrub seperti biasanya.
Rambut coklatnya diikat kuda, menyisakan poni panjang yang menutupi sebagian kecil sisi kanan
wajahnya.

“Ada masalah apa?” tanya Jeong Won pada satu-satunya residen departemen bedah umum
tersebut. Wajahnya tertunduk dengan tangan saling bertaut di depan tubuhnya. Kedua matanya
merah berair seperti menahan tangis.

Apakah seseorang menyakitinya?

“Profesor,” ia mulai berbicara. Perlahan dan terbata-bata. Bibirnya mulai bergetar kecil.
“Profesor... aku...” lanjutnya lagi tertahan.

Entah apa yang akan ia katakan, tapi rasa beban di dada Jeong Won tiba-tiba datang menghantam
dirinya. Melihat gadis itu berkaca-kaca entah mengapa membuatnya sakit. Lelaki itu menunduk,
menghela nafas berat. Sesak.

Bola mata residen wanita itu sekan-akan berlari kesana kamari. Bibirnya gemetar tak karuan.
“Profesor, aku.. suka padamu,” tuturnya lemah.

Mendengarnya, Jeong Won tertegun. Ia mengangkat kepalanya perlahan, memandang lurus ke arah
wanita di hadapannya. Jang Gyeo-Ul langsung memutuskan tatapannya. Menghindar.

“Maafkan aku,” ujarnya. “Kenapa aku menangis?” tanyanya sendiri dengan mata yang berair.

Sesak.

Mengetahui gadis itu menangis karena dirinya, membuat hatinya tertekan.

“Maafkan aku,” ucapnya sekali lagi. Setiap kalimat maaf yang ia lontarkan, membuat Ahn Jeong
Won merasa sangat bersalah. Kenapa ia meminta maaf?

Seseorang tiba-tiba meminta maaf kepadamu hanya karena ia tak bisa menahan diri untuk
menyukaimu. Apakah itu salah?

“Maafkan aku,” dan lagi. Kenapa ia meminta maaf? Apa karena menyukainya adalah sebuah
tindak kejahatan? Apa ia meminta maaf atas keberaniannya untuk mengetuk pintu dan melakukan
pengakuan sekali lagi setelah Ahn Jeong Won menolaknya beberapa waktu lalu?
Kenapa ia meminta maaf? Jeong Won jelas-jelas tahu siapa yang seharusnya meminta maaf disini.
Seseorang yang telah memperlakukan wanita itu dengan dingin tanpa ampun, dan mendorongnya
jauh-jauh dari dirinya sendiri. Ahn Jeong Won kembali menunduk, merasakan nyeri yang tak ada
hentinya.

“Aku tahu ini lancang,” ucapnya lagi, “tapi, tak bisakah kau tetap bekerja di rumah sakit dan
jangan menjadi pastor?”

“Kumohon tetap disampingku, alih-alih di samping Tuhan, Profesor,” pintanya sembari menahan
tangisnya agar tidak pecah. Ahn Jeong Won menatapnya dalam. Jang Gyeo-Ul yang mengetahui
itu kembali menempatkan pandangannya kebawah, “maafkan aku.”

“Maafkan aku, Profesor.” Gadis itu meminta maaf kesekian kalinya. Tidak tahu apa yang harus ia
lakukan setelahnya. Kalut? Semua perasaan tercampur aduk dalam emosinya. Ia tak bisa
menuangkannya dengan kalimat, bahkan sepatah kata pun.

Dear my love

I’ll silently promise you

Until your tears dry

I’ll protect you

Far ahead in the future, if only we can reminisce these days

If I could give you a little kiss

Dan Ahn Jeong Won hanya tak bisa lagi menahan semuanya. Mendengar isak tangis gadis itu
diantara heningnya ruangan, membuat ia merasa tertikam. Pria itu dihujani dengan rasa bersalah.

Ia berdiri, melangkahkan kakinya perlahan menuju satu-satunya residen di bawah tangannya.


Pandangannya memanas dipenuhi air di kedua kelopak matanya. Menegakan badannya tepat di
hadapan wanita yang rapuh dibuatnya.

Ahn Jeong Won meletakkan tangan kanannya di atas helai rambut Gyeoul. Menggerakan telapak
dan ibu jarinya dengan lembut seakan-akan manusia di hadapannya adalah kaca yang mudah pecah.
Rapuh.

Ekspresi kecil tanda terkejut muncul di wajahnya. Membuatnya mengangkat muka, menatap Jeong
Won, yang sudah menurunkan tangannya ke sisi telinga Gyeoul. Seolah bertanya apa maksud dari
semua ini?

Pandangan mereka bertemu. Mata Jeong Won menyiratkan sesuatu.

Perlahan, Jeong Won mendekatkan wajahnya, dan kemudian menyentuhkan kedua bibirnya di atas
bibir Gyeoul. Residen itu menjatuhkan kedua tangannya ke samping badan, terkejut dengan apa
yang ia terima. Jantungnya berdetak amat kencang tak karuan. Matanya mengerjap beberapa kali
tak tahu harus merespon apa. Karena ini adalah ciuman pertamanya.

Tidak. Bukan. Ciuman pertama mereka.

Ahn Jeong Won tak bisa merangkai kalimat panjang untuk menjelaskan semua hal yang ingin ia
sampaikan pada Gyeoul. Rasa bersalahnya. Permintaan maafnya. Rasa tertekannya. Ia hanya
mengikuti kata hati dan nalurinya sebagai seorang lelaki. Menurutnya, ini adalah tindakan yang
paling tepat untuk menjabarkan setiap bagian dari dirinya dan seluruh perasaan peliknya.

Maaf.

Maaf.

Maaf.

Kecupan pertama sebagai permohonan maaf yang tak pernah ia sampaikan sebelumnya. Semua
rasa bersalah bercampur menjadi satu, meraup dalam perasaan Ahn Jeong Won. Meluruh, tapi tak
jua raib sepenuhnya. Gyeoul menutup kedua matanya, merasakan pahit manis pesan yang lelaki itu
kirimkan padanya. Berharap setiap inchi kalimat dan penggalan kata tersirat akan sampai pada
perasaan wanita di hadapannya.

Jeong Won melepas tautan di kedua bibirnya. Memandang Gyeoul yang tak lagi tahu harus berbuat
apa dengan mata yang sudah basah. Mengangguk kasat, mengiyakan segala permintaan Jang
Gyeoul tadi.

Dengan kedua tangan di leher sang gadis, ia kemudian kembali menempelkan bibirnya perlahan.
Gyeoul masih setia mencengkram jas putihnya. Tak percaya bahwa semua hal yang ia alami ini
bukanlah mimpi.

Dan ciuman kedua melambangkan janji untuk wanitanya. Janji sebagai jawaban bahwa Ahn Jeong
Won akan terus berada di sampingnya.

Iya.

Bahkan sebelum Gyeoul meminta, Jeong Won sudah memutuskan untuk menetap. Memikirkan
waktu yang pas untuk memberikannya kabar bahwa ia telah memilih jalan terbaik. Sampai ia tiba
pada titik buntu, bingung bagaimana cara mengutarakan semuanya pada wanita itu. Membuatnya
kembali menahan keinginannya dan memakan waktu yang lama untuk segera menghubunginya.
Terus berpikir.

Dan penjelasan ini pun bukan berarti ia menyingkirkan Tuhan dan memastikan Gyeoul sebagai
pemenang, tetapi ia membuat rencana lain dalam keputusannya. Mengikuti takdir dan restu dari
Tuhan untuk menyelamatkan lebih banyak jiwa bersama orang yang ia sayangi, Jang Gyeoul. Tak
ada jalan yang lebih bahagia daripada itu.

Ahn Jeong Won merangkul tubuh kecil Gyeoul di dalam pundak lebarnya. Menaruh wajahnya di
bahu kecil dokter itu. Membiarkan kepala mungil wanita itu tenggelam dalam dekapannya.
Mengeratkan pelukan hangat di awal musim dingin yang berbeda tahun ini. Tak habis pikir,
seberapa besar anugerah yang Tuhan hadiahkan padanya. Mendapatkan ciuman pertama di hari
salju turun. Mendapatkan pendamping hidup di hari natalnya. Dan Jeong Won tak akan pernah
melepaskan apa yang Tuhan berikan padanya mulai dari sekarang.

“Gyeoul-ah, let’s get along well this winter.”

In this big world

Throughout this long time

Among all these people

I only love you

In this big world

Throughout this long time

Among all these people

I’m so thankful that i met you


Do You Have a Moment?
Chapter Summary

Ahn Jeong Won asked Jang Gyeoul to have dinner.

Chapter Notes

Mungkin, kebanyakan lagu yang aku pilih lebih ke genre korean indie, jadi maaf untuk
yang beda selera T_T

Chapter kali ini, aku kasih lagu yang dinyanyiin Jang Jane & Suho – Do You Have a
Moment ( ). Hope you guys like it! So, happy reading~

See the end of the chapter for more notes

I start the day late

The bitter taste of coffee wakes me up

I sit on the same spot

I unintentionally throw a look and you come in my eyes

I’m curious about the incense on the table

Ini tepat hari ke-3 Dr. Jang menetap di rumah sakit untuk bekerja, bahkan saat orang lain berlibur
untuk merayakan hari natal. Jang Gyeoul membuka kelopak matanya, menatap jendela ruang medis
depertemen bedah umum pagi itu. Berembun. Salju turun lebih deras membuat suhu mulai turun
perlahan. Berbanding terbalik dengan hatinya yang terus menghangat setiap kali ia memikirkan
kejadian malam natal. Semuanya tampak tak nyata.

Jantungnya terus berpacu cepat mengingat bagaimana ia mendapat ciuman pertama dari orang
yang ia suka. Tapi, bagian utamanya, bukanlah itu. Keputusan Prof. Ahn untuk menetap di rumah
sakit adalah cerita paling penting yang membuat bebannya luntur begitu saja dari pundaknya.

Pipinya memerah saat memorinya memutar lagi kenangan tersebut. Sebetulnya Prof. Ahn belum
memberi kejelasan yang benar-benar membuatnya paham dengan apa yang terjadi di antara mereka
sekarang ini. Mengingatnya membuat Gyeoul meletakan kepala di atas meja, menghela napas
berat. Perutnya mengaung kencang, merasa lapar karena belum mendapat jatah sarapan.
Because of heavy eyelids and boring daily life

in
I dropped by this café

I’m excited in my imagination

That I fall in love with the person

Over there I’m looking at

Ketika itu, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Ia menoleh ke sumber suara dan mendapati seseorang
yang ia pikirkan berdiri di sana menatapnya. Pandangan mereka bertemu. Sepersekian detik yang
terasa sangat lama. Badan mereka saling terdiam di tempat sebagai respon. Entahlah, mereka hanya
tak tahu bagaimana cara bersikap satu sama lain setelah kejadian itu.

“Annyeonghaseyo, Profesor.” Gyeoul memberi salam formal seperti biasanya. Sesegera mungkin
setelah ia tersadar.

“Annyeonghaseyo,” jawabnya dengan tatapan berbeda dari biasanya, sembari berjalan menuju
Gyeoul dan memberikan tiga buah sandwitch double bacon favorit residennya itu serta segelas
latte hangat. “Ini makan, kau belum sarapan bukan?” tambahnya lagi. Jeong Won berusaha
bersikap seperti sebelumnya, menutupi rasa gugup dan khawatir akan Dr. Jang yang bekerja tanpa
henti di hari natal.

Gyeoul menerimanya sembari mengucap terima kasih. Sejujurnya Gyeoul belum terbiasa dengan
perlakuan Prof. Ahn padanya.

Ahn Jeong Won memutuskan untuk duduk di kursi kosong tepat depan Gyeoul. Libur natal dan
tahun baru masih berjalan, sehingga rumah sakit tak terlalu ramai seperti hari biasa. Beberapa
profesor dan karyawan masih dalam liburannya, menghabiskan waktu bersama keluarga mereka,
walaupun sesekali kembali untuk mengecek pasien, ataupun melakukan panggilan operasi. Tak
heran ruang kerja medis sangat kosong dan hanya menyisakan mereka berdua.

Melihat residennya makan dengan lahap membuatnya merasa senang. Apapun keadaannya,
siapapun yang bersama dengannya, Jang Gyeoul akan tetap makan dengan baik. Dan Ahn Jeong
Won bersyukur akan hal itu. Ia tak akan cemas dibuatnya.

“Profesor, kenapa kau kembali cepat? Aku sudah mengecek pasien di PICU dan mereka baik baik
saja. Tidak ada panggilan darurat. Apa ada sesuatu?” tanya Gyeoul lumayan panjang pada dokter
bedah perdiatrik di depannya. Mengesampingkan kejadian tempo hari yang sudah merubah sesuatu
di antara mereka.

Ahn Jeong Won terdiam, lupa akan tujuan utamanya datang ke rumah sakit.

“Ah, tentang...”
Belum selesai Jeong Won berbicara, pintu ruangan kembali terbuka sedikit keras.

“GOOD MORN ̶ “ Lee Ikjun tidak menyelesaikan kalimatnya setelah menemukan dua manusia
yang langka ia temui duduk bersama, sekarang tengah berhadapan satu sama lain. "Apa ini?”
tanyanya dengan tatapan selidik dibumbui senyuman mengolok.

Gyeoul berdiri, membungkuk kemudian mengucap salam tanpa suara pada profesornya, jelas
karena mulutnya penuh dengan makanan.

“Kenapa kau disini?” tanya Jeong Won dengan tatapan blank pada Lee Ikjun. Lawan bicaranya
curiga.

“Kau sendiri?”

“Aku? Ada pasien di PICU yang harus kulihat,” Jeong Won menjawab ragu, sedikit melirik ke
arah Gyeoul yang terdiam mendengar alasan palsunya. “Bukankah kau pergi ke Changwon
bersama Uju? Kenapa disini?”

“Aku ada jadwal operasi siang ini. Sekaligus mau mengecek keadaan pasien dan tentu saja,
memeriksa residen satu-satunya kita yang sudah bekerja keras bahkan di hari natal yang dingin ini,
dingin seperti orangnya, Jang Gyeoul,” ia membalas dengan panjang kali lebar. “Ah iya, Dr. Jang,
apa kau bisa menemaniku berkeliling?” Lee Ikjun memutuskan untuk duduk di kursi sampingnya,
mengambil satu sandwitch double bacon dari dalam plastik.

Jeong Won yang mengetahuinya langsung berkata, “Ya! Biarkan dia makan tanpa gangguan!
Lagipula itu punya Dr. Jang, kenapa kau ambil seenak jidat?!”

Lee Ikjun tampak tak bisa berkata-kata. Sejak kapan Jeong Won peduli dengan Jang Gyeoul seperti
ini? Jang Gyeoul yang melihatnya pun nampak terkejut.

“Araseo, araseo! Kenapa kau yang marah? Aku tak akan menyuruhnya berkeliling sekarang. Tentu
saja ia harus menghabiskan sarapannya dahulu,” jawab Lee Ikjun kesal. “Sejak kapan kau peduli
seperti ini padanya? Aigoo!” Lee Ikjun bergumam kecil, namun kalimat itu masih bisa ditangkap
jelas Ahn Jeong Won.

“Gyeoul-ah, makanlah yang banyak. Habiskan dengan tenang. Biarkan aku menggantikan
sandwitchmu yang ini nanti siang. Kau tak usah jadi asistenku di operasi kali ini, kau perlu
istirahat,” ucap Lee Ikjun tersenyum hangat pada Jang Gyeoul. Lalu ia memberikan tatapan tajam
pada Ahn Jeong Won. “Setidaknya biarkan aku makan satuuu saja, aku datang dari Changwon
tidak makan sama sekali tau!” tambahnya lagi pada Jeong Won yang terdiam dengan pikiran yang
sudah terlempar entah kemana.

Perkataan Lee Ikjun tiba-tiba menusuk dalam benaknya. Apakah ia benar-benar tak pernah
sepeduli ini dengan Gyeoul sebelumnya? Sampai-sampai Ikjun berbicara seprti itu?

Sebelum ia berhasil menemukan jawaban pertanyaannya, gadis itu sudah menghabiskan kedua
sandwitch kesukaannya tanpa sisa. Membuat Jeong Won melupakan alasan mengapa ia datang
kemari sepagi ini untuk menemui Jang Gyeoul.

What do you think?


On the face when our eyes met

***

What would you like?

Would you feel the same with me?

가 가가
Shall I come closer first?


Then, would we grow apart?

“Aku masih berhutang makan malam padamu. Aku ingin membelikanmu makan
malam. Apa kau ada waktu?”

From: Profesor Ahn Jeong Won.

Pesan tersebut dibuka oleh Gyeoul setelah berjam-jam ia tak membuka ponsel dan kini, ia sedang
berjalan kembali menuju ruang kerja departemen bedah umum. Membacanya saja berhasil
membuat wajah residen tahun ketiga itu memanas. Ia tak tahu harus menjawab apa.

Sebelum sempat memikirkan balasan, ia menemukan sang pengirim pesan tengah duduk di depan
komputer dalam ruangan ketika wanita itu membuka pintu ruangan.

“Annyeonghaseyo, Profesor,” sapa Gyeoul membuat Jeong Won berhenti dari aktivitasnya sejenak.
Ia menghadap Gyeoul dengan kedua mata coklatnya.

“Ah, ne, Gyeoul-ah,” balasnya sedikit kaget. Jeong Won terdiam sebentar, mengawasi sekeliling.

“Hmm, apa kau sudah membaca pesanku?” tanya Ahn Jeong Won sedikit gugup setelah jeda antar
kalimatnya. Gyeoul sedikit tersentak dengan pertanyaan to the point-nya. Ia mengangguk sebagai
jawaban.

“Sebenarnya profesor, itu, tidak apa-apa. Kau tidak perlu repot-repot mentraktirku makan malam.
Lagipula itu ide dokter anastesi. Ji-Hyeon sudah pulih sejak lama, dan itu tak masalah bagiku,”
Jang Gyeoul menjawab jujur. Ia sungguh tak menanggapi ucapan Prof. Ahn dan dokter anastesi
secara serius di ruang operasi saat itu. Ya, walaupun pasti ada secuil rasa harap. Namun, ia tak
ingin Profesornya terbebani karenanya. Mengingat ia pernah menolak ajakan Gyeoul makan
malam.

“Bukan seperti itu ̶ ”

Perkataan Jeong Won lagi-lagi terpotong oleh panggilan dari ponselnya. Jang Gyeoul menjawab
panggilan tesebut.
What can I say?

How about this?

I just swallowed it

“Ah iya, Profesor. Tidak, aku baru saja selesai. Aku akan segera kesana.” Residen itu menutup
sambungan panggilannya, menatap Jeong Won dengan sorot mata bersalah.

“Maaf, Profesor. Tapi aku harus segera pergi lagi. Prof. Kwon datang memanggilku,” jelas Gyeoul.

“Kapan kau akan istirahat?” tanyanya secara langsung. “Ini sudah hari ketiga kau disini, kau harus
istirahat.” Gyeoul tertegun saat menyadari atasannya itu tahu tentang jadwalnya.

“Nanti sore, jam kerja tiga hariku tepat selesai, Profesor.”

“Kalau begitu ayo makan malam bersama.”

“Ne?”

Excuse me

(Do you have a moment?)

“Aku mengajakmu makan malam. Berdua saja. Di luar. Dengan baju kasual, bukan pakai baju ini.
Dan ini bukan karena aku berhutang padamu.”

***

After this ambiguous moment

If I just pass by you

I don’t want to see you

In so many streets

Without getting to know about you


Jeong Won memutuskan untuk mentraktir Jang Gyeoul samgyeopsal malam itu di restoran yang
pernah ia kunjungi dengan ke-empat sahabatnya. Sejujurnya, ia tak tahu harus memilih makan apa
dan dimana saat itu. Satu-satunya jalan keluar baginya adalah bertanya pada Song Hwa dan
meminta sarannya.

“Aku yakin Jang Gyeoul bukanlah wanita yang suka kemewahan. Dia akan makan apa saja
dengan baik, apalagi bila kau yang memberinya. Yang harus kau lakukan hanyalah membawanya
ke tempat yang bagus dan nyaman.”

Dan disinilah mereka berdua berakhir. Tempat biasa Ahn Jeong Won makan, karena menurutnya,
tempat itu cukup bagus. Tidak mewah, dan tidak terlalu sederhana. Ia sudah merasakan menu dan
makanannya. Pas di lidahnya dan bahkan sesuai dengan selera sahabat-sahabatnya.

Mereka memesan satu taxi bersama. Jeong Won bahkan menunggu shift Gyeoul hingga selesai hari
itu, walau ini tanpa sepengetahuan Gyeoul. Seperti biasa, wanita itu mengenakan denim birunya,
dibalut dengan mantel luar berwarna nude. Saat mereka sampai, Gyeoul terkejut dengan tempat
yang Jeong Won pilih.

“Profesor, bagaimana kau tahu tempat ini?”

“Aku sering makan disini dengan teman-temanku. Kenapa? Apa ada masalah?”

“Tidak, aku juga sering makan disini.” Dan saat itu Jeong Won menyembunyikan senyumnya.
Merasa benar-benar lega dengan pilihan yang ia ambil. Jeong Won pun masuk bersama Gyeoul,
duduk menuju meja yang telah di booking sebelumnya. Ahn Jeong Won menempatkan dirinya di
seberang Gyeoul. Suasana restoran tak terlalu ramai seperti biasanya. Cukup kosong, mungkin
karena orang-orang lebih memilih menghabiskan waktu di rumah dibanding keluar saat cuaca
dingin seperti ini.

“Nona Jang? Annyeonghaseyo! Sudah lama tak berkunjung!” sapa pelayan wanita paruh baya saat
ia melewati meja Gyeoul dan Jeong Won. Jang Gyeoul tersenyum dan menjawab ramah, tak
seperti sikap biasanya yang dingin.

“Kau datang tak sendiri? Omo ̶ “ pelayan itu menatap Jeong Won kaget. “Tuan? Tuan yang saat itu
membantu saya bukan? Tumben tidak bersama dengan teman-teman Anda?” Jeong Won terkejut
dengan pernyataan mendadak wanita tersebut, dokter itu pun berusaha mengingat apa yang ia
katakan. Takjub dengan ingatan sang pelayan, ia tersenyum ramah dan ikut menjawab.

“Ah, jadi kalian rekan kerja?”

Jeong Won dan Gyeoul mengangguk serempak. Mereka berbincang sembari memesan. Setelah
pelayan itu pergi, keduanya hanya bisa terdiam. Beberapa kali berbicara soal pekerjaan untuk
memecah canggung di antara mereka.

“Selamat menikmati!” ucap pelayan ketika pesanan mereka datang. Keduanya berterima kasih dan
mulai memanggang dagingnya. Hening. Hanya suara makanan yang ada diantara mereka.
Kejadian yang sama seperti saat di dalam taxi.

Ahn Jeong Won melirik ke arah Jang Gyeoul yang fokus menatap daging. Lelaki itu memindahkan
potongan pertama yang telah masak ke piring milik Jang Gyeoul. Dan wanita itu lagi-lagi tertegun,
melihat sedikit demi sedikit perlakuan Prof. Ahn yang berubah padanya.

“Makanlah, aku tau kau lapar.”


“Terima kasih, Profesor. Tapi aku akan menunggumu,” jawabnya lembut. Ahn Jeong Won
tersenyum, ia kemudian mengambil potongannya, berucap selamat makan, dan menyantapnya
bersamaan dengan Gyeoul.

Setelah suasana mereka cukup santai, Ahn Jeong Won pun menaruh sumpitnya. Mereka selesai
makan. Lelaki itu memandang Gyeoul lama dengan sorot yang teduh. Dari dalam pasang matanya,
dapat ditemukan keseriusan yang mendalam.

“Gyeoul-ah. Aku tak tau harus bagaimana mengucapkan dan menjelaskan ini, tapi kuharap kau
mengerti keadaan kita sekarang,” ujar Jeong Won memulai percakapan. Ada jeda di antara mereka,
Gyeoul mematung tak tahu harus menjawab apa.

“Profesor, aku ingin berterima kasih padamu sudah memutuskan menetap dan terus menjadi dokter
disini. Aku tak tahu harus bicara apalagi. Dan untuk makan malam ini, terima kasih banyak,
Profesor.”

“Tentang makan malam, aku minta maaf telah menolaknya saat itu. Sejujurnya saat itu... aku
berbohong.”

“Itu tidak apa-apa, Profesor. Aku sudah tahu akan hal itu. Tapi kuharap, lain kali, kau bisa
menjawab ‘tidak’, dibanding harus berbohong padaku,” ia tersenyum getir. Perkataan yang ia
lontarkan kontras dengan wajahnya yang tentu tak baik-baik saja. Berterus terang seperti biasanya.
Inilah Jang Gyeoul.

Matanya sedikit berkaca-kaca seperti yang ia lihat pada kejadian beberapa waktu lalu. Layaknya
orang yang menyembunyikan sesuatu, ia tak berani menatap mata Ahn Jeong Won. Pandangannya
terus menghindar.

Ah, sudah berapa kali aku membuatnya menangis?

Ahn Jeong Won tentu tak akan pernah bisa memaafkan dirinya yang dulu. Yang membuat wanita
di hadapannya merasa trauma. Sakit dan sengsara. Menderita dengan perasaannya sendiri karena
sudah jatuh cinta dengan lelaki pengecut sepertinya. Ia menatap Gyeoul lama. Berusaha menyusun
rangkaian kata yang ingin sekali ia ucapkan, walau beberapa kali buyar dalam benaknya.

“Terima kasih sudah mengakuinya. Malam natal itu, aku tahu, butuh banyak sekali keberanian
yang harus kau kumpulkan untuk melakukannya. Apalagi setelah seberapa keras perlakuanku
padamu.” Jeong Won menunduk, rasa sesal sudah membuncah di dadanya.

“Profesor, boleh aku bertanya suatu hal?”

“Silakan,”

“Kenapa profesor melakukannya?” Gyeoul menunduk menyembunyikan kesedihannya. “Kalau


memang profesor tak menyukaiku, profesor bisa langsung bilang padaku, aku bisa menyerah
kapanpun bila itu keinginanmu, profesor.” Tutur wanita itu tanpa basi-basi, dan memang inilah
sifat yang tertanam dalam dirinya. Jeong Won tercekat, perasaannya seperti tertusuk setelah
mendengar penuturan dokter residen di depannya. Ia berpikir sejenak.

“Aku bukannya tidak menyukaimu.”

“Itu semua karena aku juga berada di keadaan tersulitku, Gyeoul-ah,” jawab Jeong Won.
Sesungguhnya ia benci mengatakan hal ini. Jeong Won bukanlah orang yang bisa memperlihatkan
kasih sayang dengan kata-katanya.
Dibanding dengan itu, lelaki berumur 40 tahun tersebut, lebih suka menunjukannya dengan
tindakan. Dan perlakuan terbaliknya pada Gyeoul dulu, adalah sebuah tanda penolakan dari dalam
dirinya yang takut untuk merasakan hal baru.

“Antara dokter dan pastor, memutuskan untuk menetap, atau pergi,” ia menjawab singkat tanpa
penjelasan lain. Ia hanya bisa menatap Gyeoul dengan seribu pesan tak tersirat dari matanya.
Sendu.

Dan Gyeoul paham atas semua yang ia maksud.

Jeong Won menghindar dari Gyeoul, mengantisipasi perasaan yang tumbuh dari dalam dirinya. Ia
takut, suatu saat, perasaan itu menahannya untuk pergi dari panggilan Tuhan.

Sayangnya, semakin ia menjauh, semakin ia menarik diri dari Gyeoul, semakin besar perasaannya
pada wanita itu. Ia tak bisa berhenti memikirkannya. Dan rasa bersalah itu semakin menumpuk
dalam dirinya, menunggu, entah kapan mereka akan meledak.

Jang Gyeoul menekan kedua bibirnya, merasa bersalah. Karena permintaan egoisnya, Ahn Jeong
Won bahkan merelakan mimpi terbesarnya.

“Maafkan aku, profesor. Aku ̶ “

”Tidak. Kau tidak bersalah. Kau tak pernah melakukan kesalahan apapun. Berhentilah meminta
maaf.”

“Tapi...”

“Aku sudah memutuskan untuk menetap disini dan menjadi dokter sejak lama. Bahkan sebelum
dirimu meminta.”

Gyeoul mengangkat wajahnya, melihat lurus ke arah Jeong Won. “Aku sadar, panggilan Tuhan
untukku bukanlah menjadikan diriku sebagai pastor. Tapi Tuhan memberiku isyarat agar aku tetap
di rumah sakit, merawat lebih banyak pasien, menyelamatkan banyak nyawa...” Ia terdiam,
menggantungkan kalimatnya. Setelah jeda yang ia rasa cukup, ia melanjutkan ucapannya, “dan
menetap disini. Melakukan semuanya bersamamu.”

Jang Gyeoul terhenyak dengan ucapan profesornya. Ia tak menyangka dokter bedah pedriatik itu
memiliki sisi lain seperti ini dalam kepribadiannya. Ia kadang tak yakin bahwa Ahn Jeong Won, di
usianya yang ke-40, belum pernah jatuh cinta sebelumnya, seperti kata Prof. Lee atau pun kata dr.
Bong.

Gyeoul merasa pipinya memanas, bahkan naik hingga ke telinga. Ia tak percaya skenario ini terjadi
di hadapannya, ia bahkan tak pernah berani membayangkan semua ini sebelumnya.

Sayangnya, momen itu tak bertahan lama. Pelayan wanita paruh baya tersebut kembali. Dengan
membawa sebuah teko dan beberapa gelas di nampan, ia berjalan menuju meja Gyeoul dan Jeong
Won.

“Permisi, saya ingin memberi bonus jus kudzu yang saya petik sendiri sebagai hadiah natal untuk
para pelanggan. Apa tuan dan Nona Jang ingin?”

Mereka berdua kompak mengangguk, tak mungkin menolak. Pelayan tersebut senang dengan
respon antusias keduanya, memberikan dua gelas besar dengan jus kudzu di dalamnya.

“Untuk rekan kerja, para dokter yang sudah bekerja keras di hari natal. Selamat menikmati!” Ia
memberi ucapan pemanis pada kedua dokter muda tersebut. Jeong Won melirik ke arahnya.

“Permisi, maaf, tapi kami bukan rekan kerja,” tutur Jeong Won pada pelayan tersebut, mereka
saling memandang.

“Kami adalah pasangan.”

Now I want to show my everything

So that my feelings can reach your heart

***

Kedua pasangan itu telah selesai dengan makan malamnya dan mengobrol cukup lama tentang
banyak hal. Mereka keluar dari restoran dengan perasaan campur aduk serta simpul di bibir yang
tak berhenti muncul. Gyeoul kembali mengikat rambutnya yang terasa kurang kencang. Selama
cuaca dingin ataupun hujan, Gyeoul akan terus mengikat rambutnya, untuk menghindari rambut
lepek sebab lembab. Tapi mau bagaimana pun, helaian itu sudah kering dari awal.

Suhu diluar membuat mereka membeku. Mereka merapatkan mantel masing-masing, merasa
dingin. Jeong Won memperhatikan Gyeoul di sampingnya. Ia merasa bersalah karen sudah
membawanya makan malam dengan taxi, bukan dengan mobil. Setidaknya Gyeoul tak akan
kedinginan kalau ia meminjam kendaraan Kim Junwan ataupun Lee Ikjun.

Setiap Ahn Jeong Won melihat ke arahnya, perlakuan lelaki itu padanya dulu, terputar automatis
layaknya kaset kusut yang tak mau berhenti. Ia menunduk menghela nafas berat. Ingatannya
terhempas pada perkataan Songhwa dan Ikjun saat mereka menghabiskan waktu makan siang di
kantor dokter bedah syaraf tersebut beberapa bulan yang lalu.

“Lee Ikjun, apa Jang Gyeoul baik-baik saja?” tanya Songhwa pada lelaki beranak satu
itu. Yang ditanya mengangkat wajahnya tak mengerti. “Tadi siang aku tak sengaja melihatnya
berlari sambil membawa kotak besar, kurasa itu organ donor. Apa kau habis melakukan operasi
transplantasi lagi?”

“Hm. Jeong Won juga ikut mengoperasi,” Ikjun menjawab sembari melahap kue beras
di tangannya. “Apa dia terluka?” Lee Ikjun bertanya dengan nada khawatir.

“Ah, bukan.” Songhwa tersenyum mengingat gadis itu. “Ia berlari dari pintu masuk
dengan cepat. Namun terjadi kendala di lift, jadi ia menggunakan tangga darurat, bahkan juga
sambil berlari. Wah, dia benar-benar sesuatu.”

“Kalian harus perilakukan dia dengan baik!” seru Songhwa pada ke-dua profesor yang
nampak bodoh di depan matanya, tak percaya mereka bekerja dalam satu depertemen. “Kau
tahu? Aku ingat saat ia berusaha keras berlari mengejar seorang lelaki yang saat itu juga
ditangkap pihak keamanan.”

“Kau melihatnya?” tanya Jeong Won yang berhenti menyendokan kue beras ke
mulutnya. Menyetel ulang kejadian ayah yang melakukan tindak kekerasan pada ke dua anak
kembarnya.
“Iya. Lelaki itu bahkan membuat Dr. Jang terjatuh lalu menendangnya dibagian leher, hampir
saja mengenai wajahnya,” paparnya dengan serius. Mendengarnya, Ahn Jeong Won menaruh
sumpit, menghentikan aktivitas makannya saat ia tiba-tiba saja kehilangan selera.

“Jeong Won-ah, kau harus benar-benar baik padanya!” tambah Songhwa lagi. Ikjun melirik ke
arah pria itu, mengamati perubahan ekspresi Jeong Won yang sangat jelas. Merasa bersalah dan
cemas.

Ia mengingat apa yang sudah ia lakukan setelah Jang Gyeoul berhasil menangkap bajingan itu.
Jeong Won tak memuji atas kerja kerasnya, bahkan tak menanyakan keadaannya sama sekali.

‘Apakah kau baik-baik saja?’ tidak bisakah lisannya mengucapkan hal itu sekali saja pada Jang
Gyeoul? Lebih parahnya lagi, ia kemudian malah menyuruh Gyeoul untuk menyiapkan ruang
operasi.

Ahn Jeong Won tak sadar Lee Ikjun sedari tadi memperhatikannya, menggeleng kecil sebagai
respon terhadap tingkah sahabatnya yang sulit dipahami.

“Ya! sekali saja. Traktir dia makan. Apa susahnya mengapresiasi kerja keras residen kita? Dasar
kau pelit brengsek!” seru Lee Ikjun sambil mengumpat pada Ahn Jeong Won, tak habis pikir.
Kapan lelaki itu akan sadar bahwa semua perlakuannya adalah hal bodoh yang akan ia sesali
nantinya?

Dan mungkin inilah waktunya. Pikiran Lee Ikjun saat itu benar-benar menjadi nyata. Rasa bersalah
Jeong Won bahkan lebih besar dari yang Ikjun prediksikan.

“Profesor? Apa kau baik-baik saja?” tanya Gyeoul memecah lamunan Ahn Jeong Won saat
mereka bersama melangkahkan kakinya di halaman restoran menuju halte tedekat.

“Ah, iya.” Pria itu tersentak, mengerjapkan matanya dan memandang Jang Gyeoul sekilas.
Menyadari wanita itu berjarak lebih dekat dari sebelumnya.

Would you like me? Would you feel the same with me?

가 가 가

Can I become closer to you and be together?

“Sepertinya kau kelelahan. Apa ada sesuatu yang mengganjal di pikiranmu?” ujar Gyeoul pada
Jeong Won. Bagaimana bisa wanita di sebelahnya berpikir seperti itu ketika dirinya sendiri bahkan
belum istirahat setelah bekerja tiga hari berturut-turut dengan rasio istirahat yang sedikit. Lelaki itu
menghentikan langkahnya, membuat Gyeoul juga ikut berhenti.

Is this the perfect time?

“Apa kalau aku katakan, kau akan mendengarkannya?” tanya Jeong Won ragu. Sudah cukup
keberanian Gyeoul membuatnya malu. Kini biarkan ia yang akan melewati garis dan menjemput
wanita itu lebih dulu. Ia yang akan memimpin semuanya mulai sekarang.

“Tentu.”

Ahn Jeong Won memutar badannya ke arah Gyeoul hingga mereka berhadapan. Jang Gyeoul
bingung harus berbuat apa, ia hanya bisa menahan buncahan jantung di dadanya. Merasakan
pipinya yang kembali merona.

Is this the perfect time?

“Gyeoul-ah. Aku tau ini terlambat, tapi maafkan aku yang sudah memperlakukanmu dengan keras
dan dingin. Maafkan aku yang telah berbohong padamu. Maaf ̶ ”

Tak pernah seumur hidupnya residen bedah umum itu membayangkan adegan seperti ini.
Mendengarnya Jang Gyeoul merasa tersentuh. Rasanya ia ingin menangis. Tapi ia harus menahan
semuanya.

Tidak di tempat ini. Gyeoul mencoba tersenyum. Ia mengambangkan lengkungan tulus dan
manisnya, menampakan sepasang lesung di pipinya.

“Aku tak tahu harus berbuat apa untuk menebusnya. Kurasa kata maaf saja tidak cukup ̶ ”

“Profesor, itu semua sudah terjadi. Dan bukan hanya aku yang menjalani hal-hal sulit, tetapi
dirimu juga. Aku mungkin tidak akan mampu jika diriku yang berada di posisimu. Menjaga
semuanya dan bertahan di antara dua pilihan yang sulit.”

Jeong Won kehabisan kata-kata.

“Tak ada yang perlu disesali. Yang terpenting, sekarang kau berada disini.”

Ahn Jeong Won memberikan simpul tulus di bibirnya perlahan. Simpul yang hanya akan dilihat
Gyeoul seterusnya. Tak pernah seumur hidupnya ia merasakan terima kasih sebesar ini. Dokter
bedah pedriatik tersebut memang tak pernah salah memilih.

We said each other excuse me

Since the day

We’ve excused each other

Chapter End Notes

Entah kenapa aku belum bisa naruh banyak skinship diantara Gyeoul - Jeongwon,
walau mereka pernah lakuin ciuman. Menurutku Jeongwon akan lakuin semuanya
pelan-pelan dan gak buru-buru dalam hubungannya sama Gyeoul. Semacam 'lambat
tapi pasti'? But who knows di season 2 nanti~

Anyways, terima kasih sudah baca cerita ini! Have a nice day, guys~
I Like You
Chapter Summary

After christmas.

Chapter Notes

Tulisan yang satu ini sudah lama tersimpan dalam laptopku~ Kukira cerita ini (yang
dulunya hanya sekedar one shoot) gak akan pernah ku publish, tapi lagi-lagi setelah
beberapa pertimbangan, aku akhirnya post bab ini. Oh iya, ini juga terinspirasi dari
salah satu fanfic dgn judul 'If You Know, You Know' karya Cappers.

Lagu kali ini kuambil dari OST Crash Landing on You, Like You ( ) by So Soobin
ft. Sohee. Hope you enjoy, guys~

Selamat hari minggu!

See the end of the chapter for more notes

Because I’m thinking of you

I’m closing my eyes

I can see you so clearly

So I’m smiling

Even when my head is down low

My smile explodes

I can’t hide it

Yulje, 29 Desember 2019


“Kau tak jadi pergi ke Itali, iya bukan?” Kim Junwan berhasil mengejutkan Ahn Joeng Won yang
tengah tertidur di kasur lipat kantor mereka pagi itu. Lelaki itu menjauhkan wajah Junwan dari
hadapannya. Tau dari mana dia?

Junwan yang melihat ekspresi Jeong Won tentu paham. Ia tak butuh jawaban. Seperti buku yang
terbuka, Jeong Won adalah orang yang mudah dibaca hanya dari wajahnya.

“Aku melihatnya,” ujar Junwan sebagai penjelasan mengapa ia tak perlu lagi bertanya.
Mendengarnya Jeong Won langsung tampak gugup dan tegang.

Apa yang ia lihat? Maksudnya, apa ia melihat apa yang aku lakukan pada Gyeoul malam itu?

“Kalau kau memang berangkat, seharusnya kau sudah berpamitan dan mengemas barangmu
sekarang, bodoh!” seru Junwan membuat Joeng Won merasa lega, ini bukan tentang kejadian
malam natalnya. “Dan itu, aku tak sengaja membuka laci mejamu.”

“Apa?”

“Kau sudah membereskan kitab-kitabmu,” jelasnya singkat, ia pun meiringkan wajahnya, “Kapan
kau memutuskan untuk tidak pergi? Apa alasannya? Kenapa tiba-tiba?” Junwan menghujani Jeong
Won dengan pertanyaan beruntun yang tak ada habisnya. Baru kali ini ia melihat seorang Thanos
penasaran dengan urusan orang lain. Jeong Won tahu, Junwan bukanlah tipe orang yang suka ikut
campur dengan kehidupan orang lain.

“Nanti. Nanti kuberi tau saat semuanya sudah kumpul,” Joeng Won mengangguk sebagai jawaban.
Kim Junwan hanya melihatnya dengan tatapan sebal.

“Araseo. Aku tahu hal ini akan tejadi padamu lagi, dasar brengsek,” ujarnya sembari
meninggalkan Jeong Won dengan jas putih dan scrub yang sudah rapi ia pakai. Ia kemudian
menoleh, “sadarlah, bodoh. Usiamu sudah 40. Tak usah seperti anak kecil yang suka bermain prank
pada kita semua.”

***

The sunshine that was the same

Feels especially warm today

Should I go outside?

Should I start to daydream?

“Ya, aku tak percaya sekarang kau populer di kalangan para residen, Gwang Hyeon-ah,” ujar Lee
Ikjun ketika ia duduk bersama dr. Bong di cafetaria untuk istirahat makan siang. Ia kemudian
melihat ke arah teman seangkatannya itu.
“Dari mana kau tahu?”

“Memangnya ada hal yang aku tak tahu?” Ikjun menjawab dengan percaya diri. Ia kemudian
menggeser segelas air mineral pada dr. Bong secara tiba-tiba. “Jadi, apa yang mereka sering
bicarakan denganmu? Aku ingin tahu tipsnya agar bisa dekat dengan mereka.”

Bong Gwang Hyeon tampak sedikit cemas, ia persis seperti pencuri yang tertangkap basah. “Ya,
sesuatu yang mereka ingin ketahui,” jawabnya berpura-pura santai. “Lagipula untuk apa kau
bertanya tips padaku? Kaulah orang yang paling populer dari seluruh depertemen rumah sakit!”

Ikjun menghela napas dan menyandarkan punggungnya ke kursi, merasa ucapan rekan kerjanya itu
berlebihan. Walau ada sedikit rasa bangga dalam hatinya, tentu.

“Kalau kau ingin tahu, berikan aku es latte atau pun kopi panas. Maka aku akan menceritakan
semuanya padamu,” kata dr. Bong bernegosiasi. “Air putih tak akan dihitung.”

“Aish, padahal aku hanya ingin bertanya beberapa hal tentang residenku. Aku ingin mengundang
mereka sesekali untuk menonton latihan band kami,” Ikjun mengeluarkan alasannya. “Setidaknya
aku tau kau beritahu mereka bahwa kami adalah komedian konyol yang bermain band.”

“Kau sendiri yang mendaftarkan band-mu ke klub komedian, aku tak menceritakan hal yang tak
sesuai fakta.” Dr. Bong berusaha membela dirinya. “Ada perayaan apa sampai-sampai kau ingin
mengundang mereka?”

“Aku hanya ingin mengapresiasi kerja mereka, sekaligus merayakan tahun baru. Kurasa mereka
akan suka.”

“Entahlah mereka bisa datang atau tidak. Mungkin ada beberapa yang mendapat shift saat tahun
baru. Kurasa Dr. Chu Min Ha sedang sibuk mengencani pacarnya semenjak ia patah hati kemarin.”

“Kencan?” tanya Yang Seok Hyeong mencondongkan kepalanya pada Gwang Hyeon. Baik dokter
Bong maupun Lee Ikjun terkejut atas kehadiran Seok Hyeong yang tiba-tiba. Sejak kapan dokter
obstetri-ginekologi tersebut ada disana dengan mereka. “Dr. Chu Min Ha berkencan?” tanya Seok
Hyeong kembali memastikan.

“Iya, ia berkencan dengan pacarnya, BTS,” jawab Bong Gwang Hyeon santai. Lee Ikjun dan Yang
Seok Hyeong kembali menghempaskan punggung dan kepala mereka, tak percaya atas apa yang
mereka dengarkan. Mereka kira itu adalah hal serius. “Sepertimu yang berpacaran dengan televisi,
bukan begitu?” sambung dokter IGD tersebut.

“Iya, terserah apa katamu.” Seok Hyeong memasukan roti ke dalam mulutnya. Mungkin diam
adalah hal terbaik yang harus ia lakukan mulai dari sekarang.

“Bagiamana dengan Jang Gyeoul? Apa dia bisa?” Lee Ikjun bertanya lagi pada Bong Gwang
Hyeon, yang ditanya hanya bisa memutarkan bola matanya.

“Dia residenmu, kau tanya saja sendiri.” Sungguh Dr. Bong ingin sekali menyantap makanannya
dengan tenang kali ini.

“Yah, pokoknya Dr. Jang harus ikut nanti, tak boleh tidak ikut. Residenku satu-satunya harus
diberi hadiah atas kerja kerasnya selama ini.”

“Kalau kau mau beri ia hadiah, belikan saja ia tiket konser. Berikan pertunjukan luar biasa dari
idolanya, bukan pertunjukan komedi. Atau setidaknya, kau atur kencan buta untuknya, agar cinta
tak terbalasnya itu berakhir,” saran Gwang Hyeon, “ah matta, bukankah ia berkencan? Apa ia
masih bersama dengan pria chaebol yang selalu berganti mobil itu?”

Ikjun kemudian terkekeh atas pertanyaannya. “Sebenernya pria itu bukan pacarnya. Lagipula Jang
Gyeoul mana mungkin punya waktu berkencan dengan chaebol.”

“Dr. Jang tak punya waktu berkencan dengan chaebol?” tanya chaebol lain yang ikut masuk ke
dalam percakapan tiba-tiba. Ahn Jeong Won menaruh makanannya ke meja kali ini. “Kenapa ia tak
berkencan dengan chaebol? Apa ia tak bisa?” Jeong Won bertanya tanpa berpikir panjang.
Pertanyaan yang sesungguhnya ia beri sebagai cerminan ‘apakah seorang Ahn Jeong Won
memenuhi kriteria pasangan Jang Gyeoul?’

Lee Ikjun menatapnya dengan curiga. Ada apa dengan Buddha itu akhir-akhir ini? “Bukan.
Bukannya ia tak bisa, Jeong Won-ah. Baik itu chaebol, ataupun bukan, Jang Gyeoul terlalu sibuk
bekerja, dan ia tak punya waktu untuk pacaran.”

Ahn Jeong Won mengangguk paham. Mereka bertiga menyorotkan mata mereka pada Jeong Won
yang terlihat aneh.

“Kecuali kalau chaebol sepertimu mau mengencaninya,” bisik Lee Ikjun di telinga temannya.

Ahn Jeong Won menjauhkan telinganya dari mulut Lee Ikjun, mendelik pada Lee Ikjun. “Ya, kau
sendiri yang bilang ia sibuk,” ucapnya sebagai balasan. Gwang Hyeon terkekeh melihat tingkah
teman dokternya yang benar-benar tak berubah sejak dulu.

“Sudah, sudah. Semua orang tahu Jang Gyeoul sibuk. Bahkan di hari natalnya saja ia masih setia di
rumah sakit.” Dokter Bong Gwang Hyeon menengahi. Ahn Jeong Won menenggelamkan dirinya
pada kue coklat yang ia bawa, berusaha menghindar dari topik Jang Gyeoul yang ia bawa sendiri.
Mereka hanya tak tahu apa yang terjadi saat malam natal kemarin.

"Do Jaehak? Bagaimana dengannya?” Lee Ikjun menyebut residen departemen bedah toraks
sebagai list tamu selanjutnya. “Apa ia juga dapat shift?”

“Entahlah. Aku tak tahu kabarnya. Mungkin kalau ia mendapat jatah libur pun, ia akan
menghabiskan waktu dengan istrinya di kampung halaman mereka.” Dr. Bong memberi alasan
yang cukup logis mengingat Jaehak sangat menyayangi teman hidup dan matinya itu. Ia kemudian
menghela nafas berat. “Aku selalu sedih setiap menyebut istrinya. Kalau sudah seperti ini, pasti
kasus penipuan rumah itu selalu terputar ulang di ingatanku.”

Ya, walau kasus itu sudah lama, tapi tetap saja, berat bagi mereka untuk mendengarnya. “Aigo,
Jaehaki,” Lee Ikjun ikut menghela napas. “Kenapa ia selalu mendapat hal sulit? Aku akan banyak-
banyak berdoa untuknya lain kali,”

“Benar juga. Ia memilih departemen toraks dan kardio, kini ia berada di bawah Prof. Cheon Myon
Tae dan Kim Junwan, sungguh malang.”

“Ya! Memangnya aku seburuk itu sebagai atasannya?!” Kim Jun Wan menyerang dokter Bong.
Perhatian keempat dokter itu langsung menuju ke arah sumber seruan. Mengerutkan kening dan
bahkan mengerjapkan mata mereka berkali-kali. Kapan pria ini datang bersama makanannya yang
sudah habis setengah?

“Terus, apa salahnya seseorang memilih departemen toraks?!” Ia kemudian menambahkan


protesnya.

Lee Ikjun menutup mulutnya yang ternganga. Tak habis pikir. Terheran-heran mengapa profesor-
profesor ini datang satu persatu ketika nama residen mereka disebut. Ia kemudian melirik ke arah
Gwang Hyeon yang juga memiliki pemikiran sama dengan Ikjun.

Apakah ini yang disebut sebagai kekuatan ‘Bong Salon’? Kalau begitu, ia benar-benar ingin
meminta tips dan trik pada rekannya itu agar julukan ‘inssa’nya tak tersaingi.

Apakah sekarang ia harus menyebut nama ‘Yong Seok Min’, ‘Ahn Chi Hong’, atau bahkan ‘Heo
Seon Bin’ agar Songhwa mendadak muncul dari Sokcho?

Menyadari mereka semua terdiam, Kim Jun Wan pun berbicara, “yasudahlah. Terserah kalian. Aku
tak mau mendengar urusan orang lain.” Ia menyantap sisa kuenya yang tiba-tiba saja sudah dicuri
gigitannya oleh Seok Hyeong.

“Kalian sendiri? Apa tidak sibuk? Kenapa berkumpul disini?” Gwang Hyeon kembali mengangkat
suara. “Ini akhir tahun, dan kalian masih berada di rumah sakit?”

“Pertanyaan itu cocok kau tanyakan pada seseorang yang bilang hanya ingin bekerja sampai akhir
tahun ini dan berhenti, lalu pergi ke suatu tempat. Tapi nyatanya ia masih ada disini,” jawab Lee
Ikjun melirik ke arah Ahn Jeong Won yang tentu saja paham benar apa maksud ucapannya. Yang
Seok Hyeong kemudian ikut menatap Jeong Won yang belum juga membalas kalimat Ikjun.

“Benar juga. Kapan kau pergi? Apa itu tidak jadi?” tanya Seok Hyeong serius. Ahn Jeong Won
terdiam, melihat ke arah Junwan yang tak peduli dengan topik mereka. Sebelum mantan-calon
pastor itu menjawab, ponsel Yang Seok Hyeong berbunyi kencang. Dokter obstetri-ginekologi
tersebut cabut pergi dengan cepat kilat setelah sambungan telponnya mati. Ah panggilan darurat
pastinya.

Beberapa saat kemudian, ponsel canggih Kim Junwan berdering memperlihatkan pesan masuk.
Pria itu kemudian tersenyum menggelikan di depan layar kaca. Tahu temannya masih disana, ia
pun pergi mencari ruang sendiri tepat saat kuenya habis.

“Sampai kapan ia akan seperti itu di usianya?” Lee Ikjun menggeleng pada tingkah Kim Junwan.

“Semua orang yang dimabuk cinta selalu seperti itu bukan?” Dr. Bong menimpali. Tepat saat
kalimatnya selesai, ponsel Ahn Jeong Won kini berdering. Melihat nama yang muncul di layar
kaca, Ahn Jeong Won sejurus kemudian langsung mengangkatnya.

Ada senyum ganjil yang terselip ketika ia berbicara dalam sambungannya. Sadar Lee Ikjun dan
Bong Gwang Hyeon memperhatikan, ia kemudian pergi begitu saja meninggalkan kue coklatnya
yang masih tersisa. Bong Gwang Hyeon dan Lee Ikjun saling memandang. Terkejut atas apa yang
ia lihat dalam diri Ahn Jeong Won. Lagi-lagi pemikiran mereka kompak kali ini.

“Gwang Hyeon-ah, haruskah kita menonton baseball dan membuat taruhan lagi?”

Tomorrow and the day after

I’m sure it won’t be different


But you’re here
***

I wanna walk with you

I want you to know this feeling

With a small voice that just touches you

I want to let you hear me

Jeong Won mengembangkan simpul di bibirnya sembari berjalan dengan langkah lebarnya. Kedua
tangannya ia masukkan ke dalam saku jas putih, memegang dua buah chocopie yang tentu akan ia
berikan pada seseorang nantinya. Tangannya memencet tombol lift lalu menunggu beberapa saat
sampai kedua pintu kaca tersebut terbuka di hadapannya.

Pria itu tak bisa menyembunyikan senyumnya ketika ia berhasil menemukan siapa seseorang di
dalam sana.

“Annyeonghaseyo, profesor,” Jang Gyeoul membungkuk saat Jeong Won melangkah masuk dan
berdiri tepat di samping kanan wanita itu. Tak ada orang selain mereka berdua di dalam membuat
suasana terasa hening sesaat. Dengan penuh keberanian, saat pintu kembali tertutup otomatis,
Jeong Won memperpendek jarak di antara mereka, menggeserkan kakinya mendekati Gyeoul
hingga lengan atas mereka saling bersentuhan.

가 가

We’re slowly getting closer, you and me

Now we’re walking on this path together

Again today like this

And tomorrow

Menyadari hal itu, Gyeoul mendongakan kepalanya untuk melihat ke arah Jeong Won yang cukup
tinggi. Namun orang yang ditengok tak menoleh sedikitpun ke arahnya dan hanya menampilkan
sisi samping wajahnya, yang tak bisa Gyeoul bantah, sangat tampan. Jaraknya yang cukup dekat
membuat jantung Gyeoul lagi-lagi berdebar tak karuan. Ah, ternyata ini rasanya jatuh cinta.
Residen bedah umum itu tak pernah tahu bahwa situasi kecil ini akan sangat menyenangkan
baginya.

Selang beberapa detik kemudian, Jeong Won memiringkan kepalanya ke arah Gyeoul, lagi-lagi
tanpa menoleh. Hal ini tentu membuatnya sedikit tersentak, tapi anehnya, tubuh wanita itu bahkan
tak menolak sedikit pun.

“Kau sudah makan siang?” tanya Jeong Won pelan, lebih terdengar seperti bisikan. Mendengarnya
Jang Gyeoul tersenyum lebar, membuat tangannya langsung memegang ka arah pipinya yang
terasa panas tiba-tiba.

Gyeoul menggeleng. Ia baru saja selesai menemani Prof. Kwon melakukan pemeriksaan rutin
untuk pasien rawat jalan. Perutnya sedari tadi merengek meminta asupan, waktu makan siangnya
kali ini sedikit terlambat dari jadwal biasanya. “Belum, kalau kau profesor?”

Alih-alih menjawab, Jeong Won mengeluarkan dua buah chocopie dengan satu tangannya, lalu
memasukkannya ke saku kiri jas putih wanita di sampingnya. Gyeoul terpaku, menundukan
kepalanya melihat perlakuan Jeong Won yang mendadak. Dirinya mematung, menekan kedua
bibirnya untuk tidak tersenyum.

“Kau harus makan, jangan sampai terlambat,” ujar lelaki itu singkat, belum juga menggeserkan
tubuhnya untuk menjauh. Jang Gyeoul tak berani mengangkat kepalanya, ia takut Jeong Won
menangkap wajah merah dokter muda itu. Profesornnya mungkin tak tahu seberapa keras usaha
residen itu untuk menutupi suara detak jantung yang kini terdengar di telinganya sendiri.

“Terima kasih, profesor,” ucap Gyeoul setelah jeda singkat. Ia benar-benar tak bisa mengendalikan
emosinya ketika Jeong Won berada di sekelilingnya. Wanita itu gemas dengan tingkah Ahn Jeong
Won yang seolah-olah tengah ‘berkencan diam-diam’ di antara banyak orang, padahal di ruangan
tersebut hanya ada dirinya dengan Jang Gyeoul.

Gyeoul terus menunduk sambil menarik sudut bibirnya, tak tahu harus berkata apalagi.
Terperangkap dengan pria tersebut, Gyeoul hanya bisa melihat ke arah sisi sendal mereka yang
bersentuhan. Ukuran kaki Jeong Won yang besar membuatnya kakinya tampak sangat kecil. Ia
tersenyum melihat tempelan stiker lucu di atas sandal crocs yang dokter pediatrik itu kenakan.

Seingatnya, sandal profesor tersebut memiliki hiasan kecil atau semacam tempelan bergambarkan
bola baseball. Tapi kini tempelan tersebut terlihat absen bersama teman-temannya. Ia malah
menemukan hiasan berbentuk daun maple, matahari, bunga sakura, dan salju di salah satu
pasangannya.

“Oh, kau mengganti sandalmu, profesor?” Gyeoul tak bisa menahan keinginannya untuk bertanya.
Terlepas dari itu, ia pun harus membawa topik lain untuk menetralkan gejolak yang ada dalam
dirinya setelah Jeong Won berhasil membuatnya merona dengan perhatian kecilnya.

Kedua dokter itu mengalihkan perhatiannya pada sepasang sendal Jeong Won. Lelaki itu menoleh
ke arah Jang Gyeoul yang membuatnya kagum dengan kesadarannya akan perubahan kecil yang
Jeong Won lakukan.

Profesor itu menganggukan kepalanya, “aku hanya memakai sandal lain, sandal sebelumnya ada di
kantorku. Bagaimana kau bisa tahu?”

Gyeoul memberikan simpul tipis, menampilkan kedua lesung di pipinya. “Hiasannya berbeda. Apa
ini baru?” Sebelah alisnya terangkat, membuat Jeong Won sadar betapa imutnya setiap fitur kecil
di wajahnya.
“Kau ingat Eunji? Pasien rawat inap yang baru keluar beberapa minggu lalu?” Jeong Won kembali
bertanya. Jang Gyeoul mengangguk, tentu saja ia ingat. Gadis kecil yang dirawat beberapa minggu
itu selalu mencari Dokter Ahn ketika ia melakukan cek rutin. Sepertinya seorang anak TK bahkan
termakan pesona lelaki di hadapannya.

“Eunji sangat suka tempelan stiker dan mainan. Ibunya selalu memberikan stiker sebagai hadiah
padanya bila ia mau melakukan ganti infus ataupun suntik obat tanpa menangis,” cerita Jeong Won
sembari tersenyum hangat, mengingat kembali pasien lamanya yang kini sudah sembuh.

Gyeoul memandangnya ketika itu. Menyaksikan pancaran kasih sayang dari mata Jeong Won
setiap kali lelaki itu bicara soal pasiennya, sukses membuat hatinya tersentuh.

“Di hari sebelum Eunji pulang, ia tiba-tiba menghampiriku dan memberikan semua stiker dari
ibunya yang ternyata ia kumpulkan. Ia bilang itu hadiah untukku,” sambungnya lagi dengan mata
yang sedikit basah karena haru. Jeong Won mengingat bagaimana perempuan itu berlari dan
memeluknya sebelum ia pergi dari rumah sakit. Melihatnya sembuh membuat Jeong Won bahagia
dan bersyukur kala itu.

“Kurasa ini yang bisa kulakukan untuk mengingatnya. Menempelkan stikernya di sendal crocs, ya,
walaupun aku tahu ini tak akan bertahan lama bila terkena air, dibandingkan dengan sendal
satunya.”

Gyeoul ikut tersenyum hangat menatap matanya. “Kau adalah dokter terbaik yang pernah kutemui,
Profesor,” pujinya tulus, sukses membuat lelaki itu kini memerah tersipu.

“Aniya... masih banyak dokter yang lebih hebat dariku.”

Gyeoul terkekeh kecil mengetahui ekspresi malu Jeong Won, ia pun menggeleng. “Aku serius
dengan perkataanku, Profesor.” Ia kemudian membungkukan badannya lagi untuk melihat lebih
jelas gambar apa saja yang tertempel di sana. Kalau bisa dibilang, ia bahkan membengkokan
badannya hampir sembilan puluh derajat seperti sedang memberi salam.

Jeong Won kembali gemas melihat badan mungilnya.

“Lihat! Ini cantik sekali, Profesor!” serunya antusias sembari menunjukan telunjuknya pada stiker
berbentuk bunga dan salju. “Waah, kuharap aku juga bisa mendapatkan ini dari pasienku nanti,” ia
tertawa ringan, membuat badan kecilnya bergetar di sampingnya.

Lelaki itu pun ikut menundukan badannya agar setara dengan ketinggian Gyeoul. Ia melihat ke
arah sandalnya, “iya, kau benar ternyata,” ujarnya menimpali ucapan residen di sampingnya
sembari memperhatikan setiap stiker di sandalnya.

Ia pun menoleh ke arah Gyeoul, menangkap kedua matanya, berpandangan lurus tetap pada
posisinya sembari berkata, “ini cantik.”

Ada maksud lain di kalimat ini.

Kini pria itu bisa menangkap rona merah di pipinya. Poni di bagian kanannya yang terjatuh,
membuat tangan Jeong Won gatal untuk tidak menyentuhnya.

Pria itu pun akhirnya menyelipkan helaian rambut Gyeoul ke belakang telinganya. Membuatnya
kini bisa menyaksikan jelas ekspresi dalam wajahnya. Residen itu mematung, tak tahu harus
merespon apa.

“Dr. Jang, kau pasti akan menjadi dokter yang lebih baik dariku nantinya,” ujar Jeong Won
padanya. Waktu terasa berhenti saat itu. Mata Gyeoul tak bisa lepas dari Jeong Won untuk
beberapa saat. Seakan-akan dunia hanya milik berdua, sepasang kekasih itu tak sadar pintu lift
terbuka. Bahkan mereka masih sama-sama membungkukan badan mereka.

“Permisi, apa kalian sedang mencari barang yang hilang? Atau uang yang terjatuh?”

Suara Perawat Song Subin berhasil menghentikan kejadian tersebut, membuat Gyeoul dan Jeong
Won terlonjak dari posisinya dan menjauh satu sama lain. Semoga saja, mereka tak dicurigai oleh
perawat Yulje itu setelah tertangkap basah dalam kejadian barusan.

When tomorrow comes

My feelings will probably have grown more

I’m not really sure what this is

I’m sure you don’t either

But I think you’ll like it

That’s why I like you

Chapter End Notes

Terima kasih sudah menyempatkan waktumu untuk membaca, have a nice day!
You Always
Chapter Summary

Yulje's doctors made their own party that night.

Chapter Notes

Lagu kali ini, OST Hospital Playlist, J Rabbit – You Always ( )! Selamat
membaca!

See the end of the chapter for more notes

Day by day , it grows

My longing for you

The pain is always new


But you still go on your way

31 Desember 2019

"Kau benar jadi mengundang mereka?" Tanya Seok Hyeong sambil menyesap minumannya di
meja. Sebagai jawaban, Lee Ikjun mengangguk, menyuap ramyeon ke dalam mulutnya.

"Undangan apa? Mengundang siapa?" Songhwa tampak bingung. Ia sudah menghabiskan makan
malamya sedari tadi. Junwan dengan piringnya yang telah bersih pun ikut menyimak.

"Teman-temanku," jawabnya santai dan singkat.

"Siapa saja yang bisa datang? Kurasa beberapa dari mereka tak bisa karena dapat jadwal?" ucap
Seok Hyeong lagi.

"Semuanya bisa, kecuali Ahn Chi Hong, dia ada shift malam ini. Chu Min Ha dan Yong Seok Min
tak ada jadwal," jelasnya di sela-sela gigitannya. "Do Jaehak menetap dengan istrinya di kota,"
tambahnya lagi. Jeong won merasa lega nama residennya tak ikut disebut, ia kembali melahap kue
beras di hadapannya.

"Jang Gyeoul juga,” sambung Ikjun membuat Jeongwon berhenti mengunyah. Ia langsung
menatap temannya. Gyeoul tak bilang pada lelaki itu kalau dia akan datang ke latihan band
mereka.

"Ya! Kalian belum menjawab pertanyaanku! Undangan apa maksudnya?" Tanya Song Hwa yang
tak berhasil mendapat clue apapun.

"Si sialan ini mengundang para residen untuk menonton latihan band kita," Junwan memaparkan
dengan nada pasrah.

"Apa?!" Songhwa terkejut.

"Jam berapa mereka datang?" Seok Hyeong menyerobot. Setidaknya ia harus menyiapkan jamuan
untuk tamu Lee Ikjun.

"Kurasa beberapa menit lagi sampai. Seok Hyeong-ah, bisa kau kirimkan lokasi rumahmu padaku?
Yong Seok Min meminta." Ikjun membuka ponselnya.

"Arraseo."

"Ya! Kalian mengundangnya tanpa bilang padaku?" Songhwa terlihat kacau dan gugup. Ikjun
membeberkan alasannya. Seperti biasa adu mulut pun tak terelakan, keributan pun terjadi
kemudian. Di tengah-tengah kerusuhan, seorang Jeongwon nampak terdiam dalam posisi
duduknya. Rasa gugup dan tegang muncul jelas di permukaan wajahnya.

Bagaimana kalau sahabat-sahabatnya curiga akan dirinya dan Gyeoul? Jeong Won mengerti itu
hanya kecemasannya, tetapi, lelaki itu sadar bahwa dirinya sangat mudah ditebak oleh sahabat-
sahabatnya. Sangat sulit untuk berpura-pura. Bagaiamana kalau ia salah berbuat nanti? Membuat
keduanya tertangkap basah di depan mereka semua? Ia dan Gyeoul belum persiapkan diri untuk
mengumumkannya. Bukannya tak ingin mereka tahu, hanya saja ia merasa telalu cepat untuk
diberi tahu sekarang. Jeong won dan Gyeoul sudah berjanji untuk menjalankan semua ini perlahan.

Tak terburu-buru, mereka merasa hubungan diam-diam dan rahasia akan jauh lebih baik untuk
sementara waktu. Lagipula, Jeongwon pun belum benar-benar menjelaskannya pada Ibu dan
teman-temannya perihal batalnya perjalanan ia ke Itali.

If you want, I can wait

I’m still the same

Because you’re the only one who left

So it’s just you who needs to come back

"Profesor, aku tak tahu kalau kau orang yang seperti itu," ujar Gyeoul pelan pada Jeongwon
selepas makan malam beberapa hari yang lalu.

"Seperti apa?"
"Itu.. yang kau ucap pada pemilik restaurant tadi," Gyeoul ragu-ragu mengatakannya. Ia takut
Jeong Won melihat rona merah di pipinya yang memanas akibat mengingat kejadian dimana
Jeong Won mengaku sebagai pasangan Gyeoul terang-terangan.

"Ah, itu. E.. entahlah, itu hanya spontan keluar dari mulutku,” jawab Jeong Won ragu. “Hmm,
kalau kau tidak nyaman dengan itu, beritahu aku,” lengkapnya dengan nada gugup.

“Tidak, Profesor. Bukannya tak nyaman. Aku hanya kaget,” Gyeoul membantah.

“Gyeoul-ah, aku sebenarnya.. aku bukan orang yang seperti itu,” Jeong Won berterus terang.
“Aku mengatakannya untuk meluruskan sesuatu yang mengganjal di pikiranku, mungkin saja hal
ini juga menyangkut di pikiranmu?” Jeong Won mencuri pandang pada Gyeoul yang duduk di
sampingnya. Pipi Gyeoul kembali memanas, mengerti pasti apa yang pria itu katakan.

“Lagipula, kita tak akan bertemu dengannya setiap hari bukan?” Jeong Won terkekeh, berusaha
mencairkan suasana. Simpul manisnya membuat jantung Gyeoul berdetak lebih keras “Kecuali
kalau kau benar-benar mau makan malam dengan samgyeopsal setiap hari.”.

“Ah, ne.” Wanita itu mengangguk setuju. Ia tertawa dengan gurauan Jeong Won. Karena pemilik
restoran tadi bukanlah siapa-siapa, mereka bisa dengan mudah memperlihatkan sesuatu yang
bersifat rahasia.

“Tapi untuk saat ini, mari kita tunggu kesiapan diri kita untuk beri tahu yang lain,” Joeng Won
menatap Gyeoul dengan kesungguhan. Ia tahu hanya dari sorot matanya, Jeong Won bukanlah
orang yang suka bermain-main akan sesuatu. Gyeoul percaya Jeong Won. Mereka pasti akan
mengabarkan berita ini pada yang lain ketika mereka berdua siap. Semua tidak perlu dilakukan
dengan cepat, yang penting, perlahan tapi pasti.

“Jeong Won-ah, ada yang mau diucapkan pada Gyeoul?” tanya Lee Ikjun memutus lamunan pria
itu ketika mereka semua sudah berkumpul. Jeong Won sudah duduk di tempat biasanya sebagai
drumer. Ikjun menjadi vokalis hari ini, karena berbahaya kalau saja Songhwa yang menyanyi.

Tatapan Jeong Won menuju pada seorang wanita berkacamata dengan rambut dikucir kuda, tengah
duduk di kursi penonton. Lee Ikjun sebagai tuan rumah (walau rumah yang mereka tempati adalah
rumah Seok Hyeong) menjadi MC. Dokter bedah umum itu mendorong para profesor untuk
mengucapkan sepatah dua patah kata sebagai penyemangat pada residen yang sudah bersemayam
rapi di kursinya masing-masing.

Songhwa menitipkan salam pada Yong Seokmin untuk para staff di departemennya. Seok Hyeong
menyemangati Chu Minha untuk tugasnya dan mengingatkannya agar tetap menjadi seorang yang
bertanggung jawab. Junwan memuji kerja keras Jaehak dengan sedikit ‘umpatan’, dan Ikjun
memberikan penuturan panjang lebar untuk putri kesayangannya, residen satu-satunya di
departemen bedah umum, Jang Gyeoul.

“Sekarang giliranmu, bodoh! Kenapa diam saja? Apa kau gugup?” ujar Ikjun pada Jeongwon yang
masih mematung dengan pemandangan di depannya. Ia lantas menatap Ikjun dengan tatapan ‘awas
kau ya nanti!’, lalu kembali menyaksikan kembali tamu Lee Ikjun. Songhwa yang jelas tahu
kondisi sulit Jeong Won hanya bisa menyimpulkan bibirnya, berdoa agar Jeong Won bisa hadapi
situasi krisis tersebut.

Ia terdiam sebentar. Berusaha merangkai kalimat yang pas karena ia tak ingin salah ucap. Gyeoul
disana bersimpuh, memandangnya dengan ekspresi penuh tanya bercampur gugup. Ah, setidaknya
Jeong Won tak sendiri merasakan kegelisahan tersebut. Semua usahanya dalam menyusun kalimat
kini gagal. Dengan terbata-bata, ia berusaha mengangkat suara yang tertelan di tenggorokannya.
If you blame me

It won’t be too late even after you come back

“Dokter Jang Gyeoul,” tuturnya dengan jeda yang agak lama. Jang Gyeoul menelan ludahnya,
cemas. Chu Minha tak bisa menahan senyum ketika ia melihat tatapan Gyeoul tak bisa lepas dari
sosok profesor idamannya itu. Ikut senang atas pemandangan yang ia saksikan.

Dengan lengkungan tulus di bibirnya, Jeong Won menatap dalam Jang Gyeoul. Tak bisa banyak
bicara, ia mulai mengeuarkan tiga kata yang sudah mewakili seluruh pesannya.

“Terima kasih banyak.”

Dengan Seok Hyeong yang mulai menekan tuts keyboard, pertunjukan spesial pada malam tahun
baru pun, akhirnya ditampilkan.

There’s still time

***

“Wah, Dokter Chu memang licik, bagaimana bisa ia menempatkan Ahn Jeong Won dan Jang
Gyeoul di satu tim? Keduanya sama-sama payah dalam hal berbohong,” ujar Lee Ikjun bergurau
sembari mengejek Jeong Won dan Songhwa yang kalah dalam permainan mafia.

Setelah mereka selesai dengan urusan band dan makan malam, para dokter tersebut memutuskan
untuk bermain sebuah game. Awalnya, sebagian dari mereka menolak, terutama Junwan. Namun,
Lee Ikjun sukses menarik mereka semua untuk turut ikut andil dalam permainan tersebut. Mereka
memutuskan untuk bermain truh or dare, tetapi, orang yang melakukannya adalah tim yang kalah
dalam permainan mafia di ronde pertama.

Aish, padahal pria inilah yang kemarin berkata pada Songhwa bahwa permainan tersebut sudah tak
lagi zaman. Kejadian saat kedua profesor dan residen depertemen bedah syaraf tersebut berkumpul
untuk minum di malam hari.

Sebenarnya permainan itu terdengar sedikit kekanak-kanakan, tapi entah kenapa, mereka semua
hanya ingin bersenang-senang saat itu, merayakan tahun baru bersama rekan kerja. Sembari
berjaga-jaga, barangkali panggilan darurat menanti mereka di rumah sakit. Bersiap sedia melalui
ponsel mereka.

Chu Minha kali ini menjadi pemimpin permainan, sehingga anggota permainan dibagi menjadi
beberapa orang. Lee Ikjun, Kim Junwan, Do Jaehak, Yong Seokmin, dan Yang Seok Hyeong
berada di tim warga desa. Sedangkan sisanya, Ahn Jeong Won, Chae Songhwa, dan Jang Gyeoul
berada di tim mafia.

“Benar juga, baru kali ini aku melihat Songhwa mendapat kekalahan telak. Biasanya ia selalu
menang dan berakhir sempurna,” Junwan meledek, ikut memanas-manasi. Songhwa terlihat
frustasi.
“Aniyo, Profesor. Aku menaruh Profesor Chae sebagai penolong di tim mafia. Aku bahkan mengira
tim mafia akan menang karena kehadirannya,” Chu Minha mengelak, “Lagi pula di tim warga desa
ada Dokter Do, jadi kurasa ini imbang,” tambahnya lagi.

“Tunggu? Aku? Kenapa aku? Jadi secara tak langsung aku payah begitu maksudmu?” tanya Do
Jaehak pada Chu Minha yang diiringi tawa para penonton. Yong Seokmin mengangguk setuju. Do
Jaehak bahkan terbunuh lebih dahulu karena tak tahu cara bermainnya. Semua orang mengira ia
adalah mafia yang berpura-pura.

Namun pada akhirnya, tim yang dikomandoi Songhwa kalah, dengan dirinya sebagai anggota yang
tertangkap paling akhir, dan kini Jeong Won tampak frustasi.

“Ayo jalankan hukumannya,” Lee Ikjun bersemangat. Menyaksikan Andrea menghela napas berat
dan Songhwa dengan tatapan ingin membunuhnya. Gyeoul hanya bisa diam dengan ekspresi
bingungnya.

“Siapa yang mau jalankan truth or dare pertama?” tanya Chu Min Ha seolah-olah mengintimidasi
Profesor Chae, Profesor Ahn, dan tentu sahabatnya Dokter Jang Gyeoul.

“Ahn Jeong Won saja, dia satu-satunya laki-laki disitu,” sorak Lee Ikjun dengan mata berapi-api.
Kim Junwan yang sebenarnya tak terlalu tertarik dengan permainan itu kini menegakan badannya.
Senang melihat kawannya susah.

“Benar juga,” Seok Hyeong menyetujui.

“Kenapa tidak?”

Seluruh pasang mata dan perhatian beralih pada dokter bedah pediatrik tersebut. Sorot interogasi
seakan-akan memenuhi atmosfer ruangan di rumah Seok Hyeong.

“Profesor, pilih truth or dare?” tanya Chu Minha dengan tatapan tajam, seakan-akan ia seorang
detektif.

“Dare,” Jeong Won menjawab. Ketiga temannya langsung menghempaskan punggungnya ke


sandaran kursi, sedangkan Seok Hyeong tetap pada posisinya. Mereka tahu pasti Jeong Won pilih
hal itu karena ia tak bisa berbohong. Pun kalau ia mengucapkan sesuatu, semua sudah terlihat di
mukanya, jadi sangat mudah menabak apa yang ia ucapkan itu asli atau palsu.

“Serahkan padaku, Minha-ya,” ujar Lee Ikjun mengambil alih permainan. Semua orang menoleh
pada Ikjun. Dan Jeong Won pasrah, mungkin ini adalah hari akhir untuknya.

“Ahn Jeong Won-ssi.”

“Seperti yang kita tahu, Jeong won-ie, adalah ‘Buddha’ yang sangat baik, ramah, dan sopan. Aku
belum pernah melihatnya bicara banmal pada sembarang orang, termasuk para residen dan bahkan
sekarang ini,” jelas Ikjun bertele-tele yang diiringi dengan gelengan kecil Jeong Won. Dan Ikjun
membual, sebenarnya ia pernah melihat Andrea bicara ‘annyeong’ pada Gyeoul sekali. Ia sekarang
hanya ingin membuat Jeong Won memakan omongannya yang saat dulu menyangkal perlakuannya
terhadap Jang Gyeoul.

“Jeong Won-ah, cobalah untuk lebih santai sekarang ini. Ucapkan apa yang ingin kau ucapkan. Tak
usah sungkan di depan para tamuku,” Ikjun memegang pundak Jeong Won. “Termasuk Jang
Gyeoul,” sambungnya lagi membuat jantung Ahn Jeong Won berpacu dua kali lebih cepat.

“Cobalah bicara banmal pada Gyeoul kita. Jangan hanya bilang terima kasih seperti tadi, ia sudah
bekerja keras selama tiga tahun atau bahkan lebih? Ini tantangannya untukmu.” Ikjun mengangkat
alisnya, menatap Gyeoul yang mematung di kursinya. Mereka semua terdiam.

Semua staff rumah sakit tahu bahwa Profesor Ahn adalah orang yang tak pernah melepaskan
keformalan pada siapapun, kecuali keempat temannya. Mungkin permintaan ini bukanlah apa-apa
dimata profesor lain, tapi untuk Ahn Jeong Won, itu adalah tantangan besar yang cukup sulit.
Songhwa yang menyaksikannya tersenyum pada Ikjun, terkadang pria itu ada benarnya.

Ruangan menjadi lengang, mereka menuunggu Jeong Won bicara. Dokter yang tadinya
memandang ke arah lain itu, kini mengangkat kepalanya, menatap ke arah Gyeoul yang berada di
seberangnya, duduk di antara Chu Min Ha dan Yong Seok Min. Ahn Jeong Won tidak pernah
sepengecut ini sebelumnya. Ia yakin ia pasti bisa.

Just as you left me

I’ll stay right here

I don’t want to comfort myself with lies anymore

"Gyeoul-ah.” Ia membuka suaranya, memandang Gyeoul seakan-akan hanya mereka berdua yang
berada di ruangan tersebut.

“Gomawo,” tutur Jeong Won pelan namun tetap mampu terdengar oleh semua telinga di dalam
sana. “Untuk semua kerja keras yang sudah kau lakukan di departemen bedah umum. Kau tak
pernah mengeluh dan sudah melaksanakan segalanya dengan sempurna. Kuharap, kedepannya kau
akan lebih baik lagi.” Ada jeda di antara kalimatnya. Ia berusaha berpikir lagi. Merangkai kalimat
tulus dari lubuk hatinya.

“Aku percaya padamu, kau pasti bisa menjadi dokter yang hebat, Gyeoul-ah,”

“Karena itu, teruslah belajar dan jangan menyerah. Semangat!”

I knew what love was for the first time

I will find you again


I finally realized

That I live for you

Jeong Won memutus pandangannya, menunduk. Melihat ke arah sekeliling yang membeku.
Mereka semua seperti patung yang membatu, kehabisan kata-kata. Chu Minha seperti terbawa arus
mendengar ucapan Profesor Ahn. Do Jaehak dan Yong Seok Min membuka bibirnya. Sepasang
mata Junwan melebar dan Seok Hyeong mematung. Songhwa kembali menyunggihkan senyumnya
dan Lee Ikjun, nyawanya bak terangkat.

Ikjun lah yang akhirnya pertama kali bertepuk tangan, disambut beberapa tepukan lain dari para
residen.

“Lihatlah, sialan ini pintar berbicaranya rupanya,” umpat Kim Junwan pada Jeong Won.

“Wah, itu tadi seperti healing, ya, healing,” ujar Seokmin merasa deja vu, mengingat momen Prof.
Chae mengumpat di ruang pertemuan bersama departemen bedah syaraf dulu.

Yang lain mengangguk setuju. Lee Ikjun kembali mendapat nyawanya, ia pun berpura-pura
menangis haru di pundak Jeong Won. Mereka semua tertawa.

Sedangkan Jang Gyeoul? Ia masih terperanjat dalam benaknya. Detak jantungnya berdetak cepat
seakan-akan ia baru saja selesai lari sprint bolak-balik.

“Baiklah, sekarang siapa selanjutnya? Profesor Chae atau Dokter Jang?” Chu Minha kembali
memberikan sorot nakalnya. Mereka semua kemudian menggeserkan perhatiannya dari Jeong Won
ke arah dua wanita tersebut. Permainan itu kemudian terhenti ketika ponsel Jeong Won berdering
kencang.

You Always

***

“Profesor Ahn, maaf menganggu malam-malam. Kondisi Kim Jun Hee, pasien dengan
tracheoesophageal fistula kembali memburuk di PICU. Kondisi vitalnya menurun. Junhee kesulitan
bernapas lagi, badannya membiru, dan beberapa saat lalu keluar busa dari mulutnya, sepertinya
operasi harus segera dilaksanakan, Profesor,” ucap perawat yang mendapat shift malam hari itu.

Jeong Won menyuruhnya untuk kembali melakukan pengecekan terhadap seluruh organ dalam
tubuh bayi dan menghubungi wali, sebelum mereka benar-benar memutuskan untuk lakukan
operasi serta menyiapkan ruangannya. Memintanya menunggu sampai ia datang disana dalam
bebearapa menit. Lelaki itu berdiri dan berpamitan pada teman-temannya karena panggilan darurat.
Lee Ikjun menawarkan mobilnya sebagai kendaraan, agar ia tak perlu repot-repot menghubungi
taxi tengah malam.

“Profesor, apa kau butuh bantuanku?” tanya Jang Gyeoul pada Ahn Jeong Won yang tengah
bergegas mengenakan mantel tebalnya. Jeong Won melihat ke arah Gyeoul, ingin menolak,
bagaimanapun hal itu bukanlah termasuk tugasnya dan ia butuh istirahat atau hiburan disini.

Tapi sorot mata Gyeoul tampak memohon agar Jeong Won membawa residen itu bersamanya.
Menyaksikan ia dalam keadaan krisis dimana dirinya bisa saja ditanyakan hal macam-macam,
Jeong Won pun bertanya, “Apa tidak apa-apa?”

Ia melirik ke arah Lee Ikjun, seakan-akan meminta izin pada sang ayah untuk membawa putrinya.

“Tidak apa-apa,” Gyeoul menjawab spontan, tak mau menunggu jawaban Prof. Lee Ikjun. “Aku
tidak keberatan.”
Dan disinilah mereka berakhir. Dalam mobil yang sama menuju rumah sakit setelah perdebatan
kecil di rumah Seok Hyeong. Berdoa agar lalu lintas tak terlalu padat di malam tahun barunya.
Jeong Won menyetir dengan Gyeoul yang duduk di sampingnya, hanya berdua.

Di sela-sela heningnya, Jeong Won mencuri pandang ke arah Gyeoul yang nampak diam, melihat
ke arah jendela sedari tadi. Membuatnya merasa bersalah.

If you blame me

It won’t be too late even after you come back

There’s still time

“Gyeoul-ah,” panggil Jeong Won pelan, membuat residen itu menoleh ke sudut pengemudi.
“Maafkan aku,” ujar Jeong Won pelan.

“Kenapa minta maaf, Profesor? Apa ada sesuatu?”

“Aku belum bisa memberitahu mereka keadaan kita yang sebenarnya,” ujar Jeong Won dengan
tatapan yang masih fokus ke lalu lintas.

“Aniyo, tidak apa-apa, Profesor. Bukan kesalahanmu. Lagipula itu kesepakatan yang kita buat
bersama, kita akan memberi tahu mereka nanti. Ketika kita siap,” jawab Gyeoul membuat Jeong
Won tersenyum getir. Rasa bersalah itu sedikit menguap. Iya, dia tak sendirian. Ada Jang Gyeoul
di sampingnya. Ia kembali mengedarkan pandangannya pada wanita di sampingnya.

“Dan juga, maafkan aku. Kita... bahkan di malam tahun baru, kita harus bekerja sampai malam,”
Jeong Won menatap lurus jalanan. “Maafkan aku tak bisa membawamu ke tempat yang bagus, tak
bisa meihat kembang api bersamamu, atau kencan indah seperti orang-orang,” Jeong Won
menggenggam erat stir kemudi, rasa bersalah terasa dalam nada bicaranya.

Seisi mobil terasa lengang. Hanya terdengar suara mesin. Lelaki itu pun melihat ke arah Gyeoul
dari kaca dashboard. Jang Gyeoul tengah menatapnya sekarang. Menampilkan side profil Ahn
Jeong Won yang menawan di mata Gyeoul.

Just as you left me

I’ll stay right here

I don’t want to comfort myself with lies anymore

“Profesor, kau tahu? Malam ini adalah satu dari banyak malam terindah di hidupku,” tutur Gyeoul
pada Jeong Won. “Kalau bukan karenamu dan Prof. Lee, mungkin sekarang aku sedang tertidur di
ruang kantor bedah umum? Atau membaca setumpuk buku?”

Jeong Won terkekeh kecil mendengarnya. Residen itu selalu bekerja keras dan rajin dimanapun dan
kapanpun.

“Melihat para profesor bermain alat musik, melihat rekan kerjaku tertawa bersama, melihatmu
bermain drum, membuatku takjub. Aku bahkan tak pernah membayangkan akan menyaksikan
semua ini,” ceritanya lagi. “Apalagi mendengar pesanmu untukku tadi di depan semua orang, aku
terkejut.” Gyeoul menunduk, mengingat ucapan Jeong Won yang membuatnya benar-benar
tersentuh sampai kehabisan kata-kata. Ia tersenyum lebar. Mungkin ia harus mengucapkan banyak-
banyak terima kasih untuk Prof. Lee nantinya.

Jang Gyeoul mengangkat wajahnya, menangkap visual Jeong Won dari samping.

“Aku tak keberatan dengan hal apapun, Profesor. Begini saja sudah indah. Sudah membuatku
berterima kasih pada Tuhan. Lagipula, rumah sakit atau ruang oprerasi juga tempat yang tak buruk
untuk berkencan bukan?” Ia terkekeh kecil di sela candaannya.

“Berada di sampingmu seperti ini, sudah membuatku bersyukur.”

Mobil tersebut berhenti di persimpangan, tepat saat lampu merah menyala. “Profesor, kau ingat
kata-kataku bukan? Yang terpenting adalah kau berada disini sekarang.”

“Dan aku sungguh serius tentang hal itu.”

I knew what love was for the first time

I will find you again

Ahn Jeong Won menatap Jang Gyeoul lamat-lamat. Pandangannya mendalam, lurus menuju kedua
bola mata coklat Jang Gyeoul. Seakan-akan waktu dibuat berhenti olehnya. Atas semua perhatian
dan ucapannya, Jeong Won ingin sekali memeluk wanita itu. Namun tidak untuk keadaan genting
seperti ini.

“Terima kasih banyak sudah bersamaku, Gyeoul-ah,” tuturnya tulus. Ia lalu melihat ke arah jam
tangan. Tepat pukul 00.00. Kembang api di langit terlihat dari kejauhan.

“Selamat tahun baru, semoga kau diberkati dengan kebahagiaan sepanjang tahun ini.”

“Selamat tahun baru juga, Profesor. Ayo kita bahagia bersama.”


I finally realized

That I live for you

Mereka sama-sama tersenyum. Hanya dengan saling memandang, sudah membuat mereka bahagia.
Tak perlu hal mewah, sederhana saja seperti ini.
Cahaya di bagian dalam lampu merah lalu lintas pun mati, bergeser ke arah bagian hijau.

“Sekarang, ayo kita selamatkan nyawa seseorang lagi.”

You Always

Chapter End Notes

Terima kasih sudah menyempatkan waktumu untuk membaca! Have a good day~
Introduce Me a Good Person
Chapter Summary

The happiness of Jung Rosa.

Chapter Notes

Huehue akhirnya bisa up lagi~ Maafkan aku, lama banget updatenya:( Lagu kali ini,
(Introduce Me A Good Person) - (Joy)! Selamat membaca~

See the end of the chapter for more notes

If there is a good person, please introduce me

Sometimes like water, sometimes like fire

Who can only love me sincerely

I would like a mature and sincere person

Jung Rosa menatap ponselnya lama setelah beberapa notif muncul memperlihatkan pesan dari
putra bungsunya. Ia mengabaikan isi dari kirimannya dan melanjutkan langkah menuju taman
tengah rumah sakit. Kedatangannya ke pusat medis Yulje tak ia kabarkan pada Ahn Jeong Won. Ia
tak ingin menganggu pekerjaan putranya pagi itu.

Kali ini ia berangkat sendiri, dengan mobil pribadinya tanpa Jo Jungsu. Ia memaksa sahabatnya
untuk beristirahat di rumah dan melarangnya untuk ikut. Kalau saja ia bersamanya, mungkin pak
tua itu sudah membujuk Rosa untuk berhenti berjuang dan membiarkan Jeong Won mengambil
keputusannya pergi ke Itali.

Rosa menghela nafasnya panjang. Nyatanya wanita berumur tersebut memang menjejakkan
kakinya kemari untuk menyerah akan usahanya. Sepertinya, segala jerih payah yang ia lakukan
sudah tak mempan. Ia tak bisa lagi menghindar dari Jeong Won. Ibu lima anak itu merindukan
putra bungsunya. Mungkin, ia harus mengalah dan lebih sering menengok anaknya di Seoul
sebelum ia benar-benar pergi jauh. Karena itulah keputusan yang harus ia terima.

Setelah Rosa berhasil mengunjungi PICU (yang tentu wanita itu harus bertanya ke beberapa staff
disana untuk mengetahui dimana keberadaannya) dan mengintip putranya dari jauh, ia langsung
kabur secepat mungkin agar Jeong Won tak berhasil menangkap keberadaannya. Ia lega setelah
rencananya berjalan lancar. Rosa merasa kerinduannya sudah terpenuhi setelah melihat bahu lebar
dan senyum manis putranya di depan pasien yang tengah ia tangani barusan. Dan itu semua cukup
untuknya. Ia akan menemui bungsunya itu nanti, saat Jeong Won benar-benar memutuskan ingin
menghubunginya terlebih dulu. Entah kapan? Ia pun pensaran.

Di sisi lain, Jung Rosa merasakan keanehan dari putranya itu. Tahun 2019 sudah berlalu, namun
Jeong Won belum juga pamit padanya. Tak ada tanda-tanda kalau memang ia sungguh ingin pergi.
Baik di hari natal maupun tahun baru, Ahn Jeong Won tak juga mengunjunginya di Yangpyeong.
Ia harap keajaiban muncul dan Tuhan mengabulkan do’anya kali ini.

“Dr. Jang!” Rosa melambaikan tangannya pada seoang dokter muda berambut coklat yang tengah
berjalan beberapa langkah darinya. Wanita muda itu terlihat melebarkan matanya saat ia menoleh
ke sumber suara, ada ekspresi terkejut yang ia tampilkan. Beberapa saat kemudian ia langsung
membungkukan badannya, padahal jarak mereka masih terbilang jauh. Wanita itu tersenyum pada
Jung Rosa dan berjalan ke arahnya.

***

If there is a good person, please introduce me

There is practice even in love

Who cares about very small things

I wish I had a lot of love

“Aku tahu kau sibuk, jadi aku harus minta maaf karena menganggu waktumu lagi, Dr. Jang,” ujar
Jung Rosa pada Jang Gyeoul, keduanya tengah duduk bersama di kursi tepat samping jendela yang
menampilkan view taman. Di dalam ruangan, mereka menghindari dinginnya suhu di luar taman
sejak hari itu adalah musim salju.

Jang Gyeoul menggeleng untuk menanggapi pernyataan Rosa. “Tak apa-apa, Ma’am. Jadwalku
tidak terlalu padat hari ini,” ujar Jang Gyeoul ragu-ragu.

Sungguh ia bingung harus memanggil ibu dari pacarnya itu dengan sebutan apa?
Bagaimana ia harus bersikap? Apakah Jeong Won sudah mengabarkan ibunya itu?

Otaknya kurang lebih seperti kapal pecah dengan pertanyaan berhamburan yang tercecer dimana-
mana. Namun, Jang Gyeoul tetap Jang Gyeoul. Ia bisa menyembunyikan semuanya dalam ekspresi
tenang yang menjadi ciri khas ‘dingin’ yang ia punya.

“Sebenarnya hari ini aku datang untuk melihat Jeong Won, tapi kurasa ia sedang sibuk. Kebetulan
sekali aku bertemu denganmu Dr.Jang!” Jang Gyeoul tersenyum mendengar ucapan Rosa. Mereka
pun berbincang singkat mengenai kabar dan kegiatan mereka selama natal serta tahun baru. Sampai
akhirnya, Ibu lima anak itu mengeluarkan inti pembicaraan mereka.

“Dr. Jang, apakah kau sudah melakukan permintaanku beberapa waktu lalu?” Rosa bertanya pelan,
memastikan Jang Gyeoul mendengar ucapannya.

Wanita di hadapannya menelan ludahnya. Sorot mata ragu terpancar dalam wajahnya. Ia
mengangguk setelah beberapa saat. Ah, melihat tanggapan dokter muda itu membuat rasa percaya
diri Rosa akan keajaiban semakin turun. Sepertinya rencananya tak berjalan baik.

“Bagaimana tanggapannya?” Tanya Rosa penuh harap, menatap lurus ke kedua mata Dr.Jang.

Jang Gyeoul bungkam. Kini ia tak bisa berpikir apa jawaban yang harus ia ambil. Ia jelas dapat
menyimpulkan bahwa Jeong Won belum mengabari ibunya. Ia sebenarnya bisa saja memberi tahu
Rosa bahwa Jeong Won memutuskan untuk tinggal dan batal pergi, tapi Gyeoul tahu itu bukan
tempatnya. Ia tak akan melakukannya tanpa seizin Jeong Won.

Dan lebih parah lagi, tak mungkin Gyeoul secara terang-terangan menjawab bahwa Jeong Won
menciumnya sebagai tanggapan permintaannya. Itu gila bukan?

Menyaksikan Jang Gyeoul yang tak berkata-kata, Rosa tersenyum getir. Ia menangkup kedua
tangan Gyeoul dan menggenggamnya hangat. Ia tahu ini akan terjadi ̶ kekhawatirannya saat itu
tampak jelas.

I once cried in a broken heart

In the arms of a beautiful person

I want to be comforted

“Tak apa, tak usah dijawab kalau memang sulit."

“Maafkan aku Dr.Jang, aku sampai harus melibatkan dirimu untuk urusan pribadi dan keinginanku.
Aku kira instingku sebagai ibu benar, tapi sepertinya kali ini meleset," tuturnya dengan suara
bergetar.

“Maafkan permintaanku, pasti itu membebanimu bukan? Ah, kenapa aku tak memikirkan
posisimu.” Rosa berusaha menahan air matanya, separuh jiwanya tak bisa menerima situasi yang
ia hadapi. Bagaimanapun Dr.Jang adalah bawahan dari anaknya. Pasti sulit untuknya meminta
suatu hal yang personal, terkecuali bila memang ada sesuatu yang spesial di antara mereka.

Namun kalau tebakan wanita berusia itu salah? Ia harus apa?

“Tidak, bu-bukan begitu, Ma’am. Saya tidak keberatan sama sekali. Sungguh, itu tak pernah
membebani saya,” sangkal Jang Gyeoul panik. Dan ironisnya, itu hanya kalimat yang Gyeoul
gunakan untuk menenangkan Jung Rosa. Kenyataannya, permintaan sang ibu lima anak itu telah
menghantuinya beberapa bulan yang lalu. Namun, tak bisa dibantah, Gyeoul bersyukur bahwa
ibunda Jeong Won mendorongnya untuk menerjang putranya. Bila tidak diyakinkan, ia tak tahu
apakah pria itu akan tetap menjadi miliknya sekarang atau tidak. Akankah kebahagiaan yang ia
alami sekarang, tetap ia dapatkan? Ia sungguh tak tahu.

“Tetap saja, aku ingin mengucapkan maaf dan juga terima kasih untukmu,” ujar Rosa diiringi
beberapa bulir air mata yang tak terasa jatuh di pipinya.

Tentu hal itu membuat Gyeoul tersentak. Sejujurnya ia tak tega menyaksikan ini semua. Kedua
kalinya Jung Rosa menangis di depan dokter muda itu.

“Aish, kenapa pula aku menangis,” Rosa mengusap bersih kedua pipinya yang basah dengan
tangannya. Berusaha untuk tegar.

Jang Gyeoul gemas. Lisannya terasa gatal, ingin sekali mengutarakan semua kabar yang ia ketahui
tentang Jeong Won pada wanita di depannya. Ingin mengucapkan terima kasih sebanyak-banyak
karena melahirkan pria yang berhasil membuatnya jungkir balik setahun terakhir. Yang berhasil
membuatnya merasakan kupu-kupu terbang dalam perutnya setiap ia menangkap sosoknya.
Berhasil membuatnya jatuh cinta dan merasa dicintai beberapa minggu terakhir. Berhasil
membutanya merasakan semua hal baru untuk pertama kalinya.

Dan ingin ucapkan beribu maaf karena ia tak bisa begitu saja memberitahunya sekarang.

Mungkin beginilah penampakan Jang Gyeoul dulu. Rasa tak berdaya yang sama. Rasa putus asa
yang sama. Berharap akan ada kebajikan yang tiba-tiba muncul walau kemungkinannya amat
sangat kecil.

“Maafkan aku, Ma’am,” Gyeoul menunduk merasa bersalah karena kini tak tahu harus berbuat
apa. Yang Gyeoul tahu, dirinya adalah orang yang tanggap akan suatu situasi. Tak ragu akan
tindakan yang ia lakukan. Tapi sekarang, semua itu tampak tak berlaku pada Jang Gyeoul.

Huft payah.

“Kenapa kau meminta maaf, Dr. Jang? Kau tak perlu,” Rosa terkekeh kecil dalam kesedihannya.
Tawanya malah terdengar menusuk di hati Gyeoul. Sepertinya ia harus menyudahi semua ini, ia
tak mau berlama-lama membiarkan Jung Rosa tak berdaya.

Everything I’m tired of being alone

I left it to someone with a good hand

If you can forget loneliness

“T-tapi, Ma’am, sebenarnya ̶ “

“Eomma?"

***
Jeong Won mengecek ponselnya, menghela nafas berat saat tahu ibunya belum juga membalas
pesannya. Ia mengambil jas dokternya dan akan melangkah menuju pintu otomatis untuk keluar
PICU sebelum seorang perawat memanggilnya.

“Profesor, sepertinya tadi ada wanita yang mencarimu,” ujar perawat yang baru saja datang untuk
masuk ke dalam ruang dari arah berlawanan.

Ahn Jeong Won mengerutkan keningnya bingung. “Siapa?”

“Ah, beliau tak memberitahu dirinya siapa. Ia hanya datang dan menanyakanmu. Lalu setelah
beberapa saat ia pergi.”

“Apa ia menitipkan pesan atau sesuatu?” tanya Jeong Won masih belum mendapat bayangan
siapakah wanita yang perawat tersebut maksud.

“Kurasa tidak,” jawabnya tanpa keraguan. Rasa penasaran semakin menjadi-jadi. Sebelum pria itu
berhasil mengeluarkan beberapa pertanyaan lagi, ponselnya kini berdering, menampilkan nama
Lee Ikjun di layarnya. Ia pun membungkuk dan meninggalkan sang perawat, berjalan keluar
sembari mengangkat sambungan telepon.

“Jeong Won-ah, apakah ibumu ada jadwal check up hari ini?” tanya Ikjun tiba-tiba membuat pria
itu kebingungan. Ia refleks menggeleng. Wajahnya tampak berpikir. Berhasil menyimpulkan siapa
yang mencarinya tadi. Aish, ibunya selalu saja datang tanpa memberi kabar.

“Ani, kenapa? Apa kau melihatnya?”

“Aish, aku kira kau tahu! Tadi aku sempat melihatnya dan sepertinya ia juga melihatku dari jauh.
Tapi aku tak bisa menghampirinya karena tadi ada pasien darurat. Jadi aku hanya melambaikan
tangan lalu masuk ke IGD.”

“Apa kau tahu dimana ibuku sekarang?”

“Ya! Kalau aku tahu, aku tak akan menelponmu. Aku tadinya ingin menitipkan salam kalau kau
sekarang sedang bersamanya,” ujar Ikjun dengan santai. Jeong Won memutarkan bola matanya,
temannya yang satu itu benar-benar bergaul dengan siapa saja termasuk ibunya.

“Oh, baiklah, aku akan mencarinya.” Ia pun menutup telepon setelah beberapa kalimat terakhir.

***

If there is a good person, please introduce me

Rather than dwell on the encounter itself

Even if you meet once,

I wish anyone who wanted to do their best


I have a sore wound

Those who have no past are burdensome

“Eomma?” Kedua wanita itu sontak menoleh mendengar suara berat seseorang yang sangat
familiar. Jeong Won mengerutkan keningnya setelah menemukan wanita yang sangat ia kenal dan
ia cintai sama-sama duduk saling berhadapan di tempat kerjanya.

Rasa panik timbul di wajah Jung Rosa dan tentu saja, Jang Gyeoul hanya menampilkan ekspresi
blanknya. Jung Rosa sontak berdiri dari tempat duduknya diikuti dengan Gyeoul yang
membungkuk mengucapkan salam formal pada sang profesor.

“Ah, Jeong Won-ah! Kenapa kau disini? Apakah pekerjaanmu sudah selesai?”

“Bukankah aku yang harusnya bertanya? Kenapa Eomma ada disini?”’

“Kenapa? Kau tak suka Eomma datang? Apa salahnya aku datang ke rumah sakitku? Aku juga
ingin melihat putraku yang sudah lama tak mengunjungiku!” Jung Rosa tampak merajuk, berusaha
menyelamatkan diri dari kecurigaan anaknya.

“Ani, bukan begitu, Eomma. Kenapa kau tak bilang kalau ingin datang? Kau bahkan tak membalas
pesanku!” Jeong Won tak kalah berdebat. Ia pun memandang Jang Gyeoul yang tampak terdiam
(yang sebenarnya sudah ia awasi daritadi).

“Terus, kenapa kau bersama Dr. Jang? Apa kalian saling kenal?”

Seperti tertangkap basah, Rosa menatap Gyeoul yang linglung.

“Kau kenal dengan Dr. Jang?” Kini Jung Rosa memulai sandiwaranya. Ia mengerlingkan matanya
pada Gyeoul, mengode dokter muda itu untuk mengikuti dramanya.

“Tentu, aku kenal,” jawab Jeong Won spontan. Membuat Gyeoul mengangkat alisnya setelah
mendengar kalimat profesornya itu.

“Eomma juga kenal Dr. Jang, kita beberapa kali bertemu dan berbincang dengannya di taman. Tapi
aku tak tahu kalau kau juga mengenalinya!” Rosa mengangkat bahunya. “Bukan begitu Dr. Jang?”

Gyeoul tersentak, tergagap menjawab, “a.. ah- ye,” diiringi dengan anggukan. Jeong Won menatap
keduanya curiga. Itu adalah hal aneh yang baru ia tahu. Bagaimana bisa? Sejak kapan? Mengapa ia
tak tahu? Kenapa Gyeoul tak memberi tahunya?

“Tapi, Eomma ̶ "

“Jeong Won-ah, kenapa kau tak mengenalkan Dr. Jang pada Eomma?” pertanyaan Ibu dari pria itu
jelas membuat Jeong Won tersentak. Tak tahu harus merespon apa. Ia melihat ke arah Gyeoul.
Yang ditatap hanya menunduk. Diam-diam wanita itu sedang mengontrol detak jantungnya yang
berpacu cepat.

“Bukankah Eomma sudah kenal dengan Dr. Jang?” Jeong Won mengerutkan keningnya bersusah
payah menemukan kalimat yang tepat.
“Aigoo! Bukan begitu maksud Eomma!” ia memukul pundak Jeong Won. Lelaki itu meringis kecil.

Aish, jebbal, bagaimana bisa ibunya bertindak seperti itu pada seorang Jeong Won tepat di
hadapan bawahannya?

Gyeoul hanya bisa menahan tawanya dengan menekan kedua bibirnya, menampilkan kedua lesung
mungil di sudut pipinya. Dan Jeong Won tentu gemas dengan ekspresi yang ia temukan di wajah
pasangannya itu. Ia pun menuruti perintah ibunya.

“Perkanalkan, ini Dokter Jang Gyeoul, satu-satunya residen di departemen bedah umum. Ia masih
satu departemen dengan Ikjun. Dan ia juga masuk ke departemen bedah pediatrik sama denganku.”

Gyeoul tampak diam sesaat lalu membungkuk pada Jung Rosa lagi sebagai bentuk formalitas
perkenalannya. Jeong Won menangkap sedikit ekspresi asing dalam wajah Gyeoul. Entah itu
gelisah atau kecewa?

“Aigo! Dr. Jang, benarkah kau satu-satunya dokter di departemen bedah umum? Wah, kau sungguh
hebat! Pantas kau benar-benar sibuk!” Jung Rosa tak henti-hentinya memuji Gyeoul. Membuat
dokter itu sedikit-banyak tersipu atas ucapannya dan membantah sekaliguas mengucap terima
kasih.

“Kuharap pekerjaanmu tak membuatmu menjadi gila, Dr. Jang. Lihatlah profesormu! Ia selalu
sibuk dengan pasiennya! Sampai sekarang usianya hampir 40 tahun ia bahkan belum mempunyai
pacar.”

“Ah, cam! Eomma!” Jeong Won benar-benar harus membawa pergi ibunya sebelum ia berhasil
mengatakan hal aneh lebih banyak lagi. Dan tentu informasi-informasi lain yang tidak benar,
karena faktanya sekarang ia sudah mempunyai kekasih.

“Lain kali ayo kita berbincang lagi Dr. Jang! Akan kukenalkan kau dengan pria muda yang baik.
Aku tak akan membiarkanmu berakhir seperti putraku.”

“Tak usah.”

Jeong Won merespon cepat perkataan ibunya. Berhasil membuat Gyeoul dan Rosa mengangkatkan
kepala mereka bersamaan, menatap ke arahnya.

“Kenapa? Kenapa tak usah? Residenmu harus hidup Jeong Won-ah. Siapa tahu aku bisa
menjodohkannya dan ia bisa bahagia.”

“Aku bilang tak usah.” Jeong Won bersikeras dengan jawabannya. Pria itu jelas tampak terganggu.
Bahagia dengan orang lain? Oh, Tuhan, ia tak akan sanggup menyaksikannya.

“Bukan tak usah. Tak boleh.”

“Kenapa?” Jung Rosa mengerutkan keningnya tampak benar-benar bingung kali ini tanpa dibuat-
buat, tentu sama dengan Gyeoul yang tak terlalu paham kemana arah pembicaraan tersebut
berujung.

“Eomma, tolong berhenti bertanya atau bicara tentang kehidupan pribadi seseorang, dan juga...”

“..biar aku ulangi,” ujar Joeng Won. Mendekatkan dirinya ke samping Gyeoul. Membuat Gyeoul
bertanya-tanya.

“Eomma, perkenalkan, ini Jang Gyeoul, pacarku.”


Gyeoul mematung. Setelah berhasil mencerna kalimat Jeong Won, ia pun mendongak ke arah pria
tinggi itu. Matanya terbuka lebar tak percaya atas apa yang ia dengar. Tahu akan hal itu, ia pun
kembali menghadap ibu dari profesornya, membungkuk sembilan puluh derajat beberapa kali pada
Jung Rosa di depannya. Skenario yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya terjadi begitu
saja.

Dan wanita berusia lanjut itu tak bisa menahan keterkejutannya. Bahkan air matanya jatuh sekali
lagi karena keajaiban dengan kemungkinan kecil itu ternyata benar-benar menghampirinya.
Silahkan bayangkan bagaimana gembiranya Jung Rosa. Wanita itu bahkan lansung meminta
Gyeoul untuk memanggilnya ‘eommonim’, dan menyuruh Jeong Won untuk membawa Gyeoul ke
Yangpyeong secepatnya. Tersenyum dari telinga ke telinga, tanpa henti, bahkan selama jalan
pulang.

Sekarang, Rosa punya satu hal yang bisa ia pamerkan pada Jongsu. Tentu ia akan cerita langsung
pada pak tua itu panjang labar selekas pulang dari rumah sakit. Dan semoga, hal yang bisa ia
pamerkan ini terus bertamabah di kemudian hari.

Jung Rosa akan mimpi indah sepanjang tidurnya dan hidup penuh dengan senyuman setiap harinya.

Chapter End Notes

Terima kasih sudah sempatkan waktumu untuk membaca, xixixixi~ Hope you happy
today!
That's Ok
Chapter Summary

Jang Gyeoul for Ahn Jeong Won.

Chapter Notes

Huahhh ini adalah salah satu chapter yang cukup sulit untuk kubuat xixixixi, karena
disini Jang Gyeoul yang dominan bicara. Tapi syukurnya aku bisa selesain. Jadi aku
mau minta maaf dulu kalau masih banyak kekurangan di bab ini atau pun feelnya
kurang dapet T_T ~

Lagu kali ini D.O. (EXO) - (That’s Okay), aku bener-bener rekomendasi
lagu ini karena healing banget di aku, bisa bikin tenang~ Semoga kalian suka! Selamat
membaca:)

See the end of the chapter for more notes

Peristiwa itu sudah terjadi sekitar tujuh hari yang lalu. Skenario yang menuntun Gyeoul pada
kebiasaan barunya, yakni tersenyum tiba-tiba ketika ia sedang sendirian. Bukan tanpa sebab, tapi
setiap ia mengingatnya, ia seperti merasakan kupu-kupu mulai berterbangan di dalam perutnya.

Menurut Jang Gyeoul, berada di sisi Jeong Won, melihatnya dari jauh, dan menyaksikannya
merawat pasien merupakan hal indah yang lebih dari cukup. Apalagi bisa dicintai oleh pria itu,
mungkin itu adalah sebuah kemewahan tak terbayangkan di hidup Gyeoul. Tapi ternyata, Tuhan
sangat menyayangi wanita tersebut. Ia melimpahkan dokter muda itu dengan bonus menerima
banyak cinta dari ibunya. Gyeoul tak pernah tahu bahwa senyuman hangat Jung Rosa akan
membuatnya merasa sangat bahagia, sangat disayangi. Diterima apa adanya, membuatnya merasa
seperti manusia paling beruntung di dunia yang luas ini.

My senses are numbing

Because of the thick emotions passing

Now i’m used to

Hiding my heart
Tapi kebiasaan barunya, ternyata tak sampai pada hari ini. Senyuman itu sudah absen siang ini.
Yang nampak di wajahnya hanyalah rasa cemas dan gelisah.

Wanita itu kembali mengecek ponselnya setelah pekerjaannya selesai. Berharap seseorang
mengirimkannya pesan, namun, yang ditunggu-tunggu, tak kunjung datang. Ia melihat ke arah jam
tangannya. Sudah waktunya makan siang.

Apa ia sudah makan?

Jang Gyeoul bertanya dalam hati dan tanpa sadar telah mengeluarkan helaan nafas berat. Ia sudah
tahu ini pasti akan terjadi.

Hari-hari itu kembali. Jam-jam dimana profesornya akan murung seharian karena salah satu
kondisi pasiennya menurun. Moodnya memburuk. Dan ini pertama kalinya setelah ia menjadi
kekasihnya. Tentu ia sudah paham sejak lama kebiasaan Ahn Jeong Won yang satu ini, dan tentu ia
sudah khawatir sejak saat pertama kali ia tahu. Namun kali ini semuanya berbeda.

Dulu, Jang Gyeoul terlalu takut untuk melangkah dan berlari menujunya, karena ia tahu, dimana
tempat serta batasannya. Dimana posisinya. Siapa dirinya. Ia bukan siapa-siapa untuk Jeong Won
saat itu.

Sekarang, kehadiran Gyeoul berbeda. Ia merasa, itu sudah tugasnya untuk berada di samping Jeong
Won suka maupun duka. Bahwa ia akan bersamanya kapanpun dan apapun situasinya. Dan ia
harap, Jeong Won tahu akan hal itu.

Pagi tadi, mereka mendapat kabar bahwa salah satu pasien Jeong Won di PICU, Joon-Hyung,
kondisinya kembali alami penurunan. Gyeoul tahu persis, Joon-Hyung merupakan salah satu
pasien yang sudah lama mereka rawat dua minggu terakhir. Dan kali ini, ia tak menyangka Joon-
Hyung akan alami masa kritis setelah sempat membaik minggu kemarin. Itulah mengapa Jeong
Won terlihat lelah beberapa hari ke belakang. Tak tidur dengan baik, kehilangan selera makan, dan
senyumnya pun ikut memudar.

How far have i come?

I only ran forward

Jang Gyeoul mengenggam erat plastik berisi risotto di tangan kanannya sembari berdiri di dalam
lift. Setiap saat wanita itu terdiam, ia berdoa agar keadaan Joon-Hyung segera pulih, begitu pula
dengan keadaan profesornya. Saat dentingan kecil pintu terbuka, ia melangkahkan kaki keluar,
berjalan menuju ruang kantor Jeong Won. Tak mendapat jawaban pesan dari prianya, bukan berarti
Gyeoul akan mematung di tempat dan akan terus menanti lama, apalagi saat firasatnya mengatakan
Jeong Won belum juga mengisi perutnya.

Ia berinisiatif mengunjunginya walaupun ia tak tahu Jeong Won sekarang sedang bersama siapa.
Yang Jang Gyeoul lakukan hanyalah mengikuti instingnya.

Wanita itu mengintip ke dalam kantor melalui jendela kecil di pintu ketika lorong dalam keadaan
sepi. Dari sana ia bisa menyaksikan keberadaan Profesor Lee dan Profesor Kim tengah berdiri
menghadap Jeong Won yang terduduk di kursi.
Menyadari kedua profesor itu berjalan ke arah pintu, Jang Gyeoul sejurus kemudian bersembunyi
di balik dinding samping kantornya. Berharap kehadirannya tak diketahui oleh kedua orang dewasa
itu. Suara pintu dibuka, menghadirkan kedua sosok pria tinggi dengan jas putih.

“Jeong Won-ah, aku tahu kau sedih karenanya, tapi kau juga harus makan!” seru Ikjun yang berdiri
dari pintu pada seseorang di dalam sana.

“Ya, biarkanlah dia, aku sudah lelah melihatnya seperti itu,” timpal Junwan dengan nada yang
pasrah. Ikjun kemudian menambahkan satu dua kalimat pada sahabatnya.

“Aku duluan, ada operasi habis ini,” ujar Junwan pada Jeong Won diikuti oleh Ikjun yang pergi
bersama lelaki jangkung itu ke arah berlawanan dengan tempat Jang Gyeoul bersembunyi. Wanita
itu kembali mengintip, melangkah keluar setelah punggung kedua profesor tersebut hilang di
belokan. Ia terdiam sejenak.

Pandangannya menangkap sosok Jeong Won yang menundukan kepala di atas kursi. Sorot matanya
terlihat kosong. Mangkok berisi mie dan kue beras di meja hadapannya terlihat masih penuh dan
tak tersentuh. Ia melihat ke aras plastik risotto yang ia sendiri bawa.

So I’ m afraid to look back

On all the pushed back stories

Sekarang rasa bimbang itu kembali muncul. Rasa takut itu kembali tumpah mengguyur dirinya. Ia
tak pernah yakin bahwa kehadirannya akan memperbaiki suasana hati Jeong Won. Ia ragu ia akan
berhasil. Kedua sahabat profesornya, Lee Ikjun dan Kim Junwan saja, tampak tak mampu
membuat Ahn Jeong Won ‘sembuh’.

Bagaimana kalau ia gagal? Bagaimana kalau kedatangannya malah memperburuk suasana Jeong
Won?

Gyeoul melepaskan genggamannya dari gagang pintu. Menekan kedua bibirnya dan menunduk.
Beberapa saat kemudian ponsel di sakunya terasa bergetar. Menampilkan notif dari kekasihnya.
Dokter itu langsung melirik ke arah jendela, memastikan di dalam Jeong Won sedang
menggenggam ponsel juga.

Perlahan ia memencet kiriman tersebut. Membaca beberapa deret kalimat dari pria bermarga Ahn
itu.

“Maaf baru mengabarimu. Aku baik-baik saja, baru saja makan siang dengan
Junwan dan Ikjun. Kau tak perlu kemari, Gyeoul-ah, tidak usah khawatir^^

Kau juga jangan lupa makan siang. Aku sungguh tidak apa-apa, tolong beri aku waktu
sebentar ya.”

From: Profesor Ahn Jeong Won.

Ada sedikit rasa sesak yang menelusup ke dalam jiwa Jang Gyeoul setelah ia selesai membaca
pesannya. Ia kembali menatap sosok Jeong Won yang belum juga menyadari keberadaannya di
pintu.

Jauh di dalam hatinya, Gyeoul tahu apa yang Jeong Won katakan tidak sesuai fakta. Terhitung
kedua kali Jang Gyeoul menangkap basah pria itu berbohong. Dan kedua kalinya juga, ia tak
berdaya. Ia tahu, ia tak bisa memaksa kehendaknya.

Dengan langkah berat, ia kemudian menjauh dari tempatnya berpijak.

***

Like time passing

All the happy days

And all the heart-breaking days

I’ m naturally letting them go

Like the sun and moon that rises and sets

Lee Ikjun bersenandung ria setelah ia menerima telpon dari seseorang yang spesial dalam
hidupnya, siapa lagi kalau bukan Uju. Hehehe. Anak semata wayangnya itu baru saja bercerita
tentang semua hal yang ia lalui hari ini. Rasanya Ikjun tak sabar untuk pulang dan memeluk hangat
anak lelakinya itu. Lelahnya seketika hilang ketika ia berhasil mengingat Uju.

Ia membuka pintu kantor, menemukan Gyeoul yang tengah melamun dengan tatapan gelisah.
Dokter muda itu tak juga sadar Ikjun datang dan melangkah ke arahnya.

“Ya, apa hari ini adalah hari murung sedunia? Kenapa semua orang bersedih ketika aku sedang
merasa senang?” tanya Ikjun berhasil membuat nyawa Gyeoul kembali. Ia menengok ke arah Ikjun
tanpa tenaga.

“Ada apa dengan wajahmu itu? Cerita padaku sini!” Ikjun kemudian mengambil posisi di hadapan
residennya. Menatapnya curiga. “Akhir-akhir ini kau tidak banyak cerita, Gyeoul-ah.”

“Aku tak punya hal yang harus kuceritakan, Profesor,” jawab Gyeoul. Dan Lee Ikjun tentu berhasil
menangkap kebohongan dalam ucapannya.

“Sungguh?”

Gyeoul mengangguk.

“Kau tak apa-apa?”


Ia mengangguk lagi.

“Sungguh?”

“Aku tidak apa-apa.” Balasan Gyeoul tetap sama. Daripada menyangkal, ia lebih tampak seperti
berusaha meyakinkan dirinya sendiri jika ia tak apa-apa.

“Sungguh?” Kini Ikjun bertanya untuk tearakhir kalinya. Namun Jang Gyeoul terdiam, tak juga
menjawab. Wanita itu tampak lelah membual pada dirinya sendiri. Ia tahu ini tak benar. Dan ia
merasa sudah jauh dari jiwanya yang terbiasa berterus terang akan sesuatu.

“Aku benar ternyata. Ada sesuatu bukan? Ceritakanlah,” tutur Ikjun lembut layaknya bicara pada
gadis perempuannya. Jang Gyeoul nampak berpikir sejenak. Tentu Ikjun tahu siapa orang dibalik
perakara ini. Ia telah melihat pemandangan yang sama persis tadi siang ketika ia makan dengan
Kim Junwan.

“Profesor,” Gyeoul akhirnya mengeluarkan suaranya. Ikjun siap mendengarkan.

“Aa.. animida.” Dan pria di hadapannya sudah tahu ini akan terjadi. Dejavu.

“Aish apa? Ceritakan!”

“Aa.. aniyo,”Gyeoul kembali bungkam.

“Aaahh, kau sungguh sesuatu! Aku tahu ini tentang Jeong Won bukan?” Ikjun tampak gemas
dengan dokter muda di depannya. Gyeoul menggeleng pelan, mengelak.

“Lalu? Siapa lagi?” Gyeoul menghela nafasnya, menyerah, toh pada akhirnya ia akan bercerita
juga. Pada siapa lagi ia bisa berkonsultasi tentang masalah percintaannya di dunia yang gelap ini?

“Profesor, aku punya seorang teman.”

Ikjun tersenyum menyeringai. Ah, dia sudah hafal dengan semua ini. Ikjun berpura-pura
mengangguk mengerti, mendengarkan dengan seksama sembari melengkungkan bibirnya.
Mencerna setiap penggal kata yang keluar dari lisan dokter tersebut.

“Jadi apa yang harus temanku lakukan?” tanya Gyeoul dengan polos.

“Tunggu, temanmu ini teman yang mana?” Ikjun melontarkan pertanyaan pertamanya. Jelas
membuat Gyeoul tergagap kelabakan, mencari-cari alasan.

“Aah, pokoknya ada. Sungguh!!!”

“Araseo, araseo! Tak usah ‘nge-gas’ seperti itu!” Lee Ikjun memicingkan matanya pada Gyeoul.
Yang ditatap hanya mengangkat bahunya. Lagipula kalau ini masalah temannya, kenapa ia yang
terlihat sangat terbebani? “Jadi intinya, pacarmu kurang terbuka padamu, begitu bukan?”

“Pacarnya temanku,” Gyeoul mengoreksi sebelum ia hampir saja mengangguk.

“Ah, iya maksudku itu,” jawab Ikjun spontan. “Tapi sepertinya aku sangat kenal dengan temanmu
dan pacarnya temanmu ini,” lanjut Ikjun mencoba menggoda Gyeoul dan wanita itu hanya diam,
tampak sudah lelah akan sikap profesornya yang satu ini.

Pria itu terkekeh kecil sebelum akhirnya memberikan pendapat. “Gyeoul-ah, kunci dari suatu
hubungan adalah saling percaya dan komitmen. Dan semua itu dijembatani oleh komunikasi yang
baik. Kurasa temanmu belum saling terbuka satu sama lain hanya karena kurangnya komunikasi.”
“Jika kau ingin hubunganmu berjalan dengan lancar, maka kau harus saling memahami, saling
mengerti, dan saling mempertahankan. Kau harus berjuang untuknya, begitu pun dengannya.
Pasangan adalah pasangan. Mereka ber-dua, bukan sendiri atau satu. Mereka berjalan beriringan,
saling berdampingan, mengisi kekosongan satu sama lain, dan melengkapi.”

“Maka dari itu mereka akan selalu ada kapanpun dan dimanapun kau berada. Baik disaat mudah,
maupun susah. Suka maupun duka.”

Sometimes, I cried, sometimes i laughed

“Aku memang seorang pria yang telah bercerai. Tapi aku pernah berada di tempat yang sama.”

I was hopeful, I was in pain

“Kau tahu? Ketika seseorang berkata ia baik-baik saja dan ia butuh waktu sendiri, terkadang ia
berbohong. Tak ada yang akan membaik ketika kita sendirian. Pikiran-pikiran burukmu akan
menelanmu lebih dalam ketika kau menyendiri.”

“Aku yakin ia tidak baik-baik saja. Berbagi kesedihan tak pernah terlihat buruk di mataku. Malah
itu adalah salah satu momen yang berharga. Bukti bahwasannya kau bisa melewati apapun dengan
partner hidupmu. Semua akan terasa lebih ringan pada akhirnya bukan?”

“Jangan pernah pergi dan menghindar dari masalah. Setiap hal memang punya risiko, tapi bila kau
terus menjauh, bahkan mundur sebelum berperang, kau tak akan tahu hasilnya, Jang Gyeoul.”

Jang Gyeoul terdiam mendengar penuturan profesornya. Tak ada satupun perkataannya yang salah.
Justru dirinya yang salah. Iya, tidak benar menyalahkan diri sendiri memang. Tapi Gyeoul
tertampar kenyataan bahwa dirinya lah yang mundur sebelum memulai. Terlalu takut untuk
menghadap Jeong Won, terlalu banyak berpikir dengan asumsi yang tidak-tidak. Terlalu banyak
membayangkan hal buruk yang belum tentu terjadi ke depannya. Padahal dirinya saja belum
mengetuk pintu dan menginjakan kaki ke dalam sana.

Ia bahkan tahu persis Jeong Won sedang tidak baik-baik saja saat ini, tapi mengapa ia masih tetap
mematung di tempatnya? Apa yang sedang ia lakukan?

Bukankah ia kekasih Jeong Won? Ia sendiri yang berkata bahwa mereka akan terus bersama.
Senang maupun sedih. Ia tak boleh meninggalkan Jeong Won. Ia tahu dirinya tak pandai dalam hal
berbicara atau menenangkan orang. Tapi setidaknya ia bisa berada disana untuk Jeong Won,
bahkan tanpa mengucap sepatah katapun, mereka akan saling mengerti. Iya bukan?

“Gyeoul-ah,” panggil Ikjun memutuskan pikiran yang berkecamuk dalam benak Gyeoul. Ia
mengangkat wajahnya. “Kau tak akan pernah bisa berbohong padaku. Kau pikir kau hidup di dunia
mana lagi?”

Lee Ikjun tersenyum pada Jang Gyeoul.

“Pergilah padanya. Kurasa kaulah satu-satunya orang yang akan ia dengar. Karena semua
perkataanku, Junwan, Seok Hyeong, dan Songhwa sekalipun tak mempan di telinganya.”
“Dan juga, bila otakmu dan hatimu mengatakan dua hal yang berbeda, maka ikuti kata hatimu.”

My heart fluttered, my heart numbed

I followed my heart, just as it is

***

Like the countless stars

Always in the same place

Jeong Won terbangun dari tidurnya, lagi. Entah ini yang keberapa kalinya. Tidurnya benar-benar
tak nyenyak padahal pandangannya terasa amat berat. Ia tahu persis dirinya perlu istirahat setelah
terjaga beberapa malam. Kantung hitam di sekitar matanya membuat para perawat dan orang
disekelilingnya menyarankan agar ia beristirahat walau hanya sebentar. Ya, pada akhirnya ia pun
memaksakan diri untuk terlelap.

Ia menggeserkan tangannya yang terasa sedikit pegal, kemudian tak sengaja mengenai sesuatu di
samping tubuhnya yang kala itu terbaring di atas kasur lipat kantornya. Jeong Won mengedarkan
tatapannya dan menemukan sosok wanita sedang menaruh kepalanya di atas kasur. Kedua matanya
terpejam dan beberapa helai rambut menutupi sebagian wajahnya. Kacamatanya masih terpasang
dan penampilannya terlihat sedikit berantakan. Ia terkulai dalam keadaan terduduk di atas lantai,
sedangkan sebagian badan atasnya membungkuk, bersandar di kasur. Ia tetap terlihat cantik.

Jeong Won bangkit, ia pun memperhatikan Gyeoul sembari membelai pucuk kepalanya. Perasaan
bersalah seperti mengalir deras di dalam darahnya. Tidak seharusnya ia membiarkan Gyeoul dalam
keadaan seperti itu. Ia tahu betapa cemasnya wanita ini terhadapnya. Namun ia keras kepala dan
membuatnya menunggu. Ia berbohong agar dokter muda itu tak perlu mencemaskannya. Dan tentu
perbuatannya itu salah.

Ia menghela nafas sembari menyelipkan poni Gyeoul ke belakang telinganya, hal yang telah
menjadi hobinya baru-baru ini. Pria itu tersenyum mengingat reaksi Jang Gyeoul tiap ia
melakukannya.

Dan kini wanita di hadapannya mengerjapkan mata sebagai respon, ia terbangun.

“Aku membangunkanmu?” Jeong Won berbisik pelan dengan suara khas bangun tidurnya. Gyeoul
tersenyum seperti bayi, menggeleng pelan. Mereka terdiam lama, saling berhadapan. Sama-sama
menyaksikan betapa lelah diri mereka.

Disana. Mata Jeong Won masih menyiratkan kesedihan. Sinar yang biasa ia pancarkan redup di
mata Gyeoul.
“Profesor, apa tidurmu tidak nyenyak?” Gyeoul memecah hening di antara mereka. Menatap lurus
ke arah Jeong Won. Namun yang ditanya tak menjawab.

Iya. Tidurnya tidak nyenyak. Dari sekian detik yang dihabiskan Jeong Won untuk berusaha tidur,
baru tadi ia benar-benar terlelap walau singkat. Apa mungkin karena kehadiran Gyeoul di
sampingnya tanpa ia sadari?

Jeong Won tak mau mengatakan secara gamblang pada Gyeoul bahwa ia tak mendapat waktu tidur
yang baik. Ia tak mau Gyeoul-nya cemas. Namun, ia pun tak mau berbohong lagi. Jadi pria itu
lebih memilih diam. Gyeoul pun akan mengerti dengan bahasanya yang satu ini.

“Apa kau baik-baik saja?” Kini Gyeoul bertanya dengan suara yang lebih pelan.

Dan Jeong Won terdiam sejenak. Haruskah ia menjawabnya? Lagi-lagi mata mereka bertemu. Dan
mereka sama-sama larut dalam lengang dan sunyinya ruangan.

Gyeoul meraih tangan Jeong Won. Menggenggam tangannya erat, membiarkan tangan kecilnya
tenggelam di dalam tangan pria tersebut. Menghantarkan kehangatan yang mungkin bisa ia bawa.
Kadang, mereka tak perlu kata-kata untuk saling tahu perasaan masing-masing.

“Profesor, kau tahu? Ada seorang dokter pernah berkata padaku seperti ini, ‘hanya ada satu hal
pasti yang bisa dikatakan oleh seorang dokter, kami akan berusaha sebaik mungkin’.”

“Tapi kurasa, itu bukan hanya sekedar kata-kata biasa atau omong kosong. Itu adalah cerminan.
Bukti bahwa semua dokter melakukan segela usahanya, sebaik mungkin, semaksimal mungkin,
untuk keselamatan pasiennya. Tidak ada dokter yang ingin pasiennya memburuk atau bahkan
pergi.”

“Dan dokter yang bilang kepadaku itu, adalah dokter paling hebat yang pernah kutemui. Ia selalu
menolong pasiennya dengan sepenuh hati. Bahkan merelakan jam istirahatnya, waktu makannya,
dan tenaganya ̶ “

Gyeoul menghela nafas. "Bahkan di akhir pun, ia masih terus mendoakan pasiennya. Mengingat
seluruh nama pasien dan cerita-ceritanya. Aku tak pernah tahu ada dokter sebaik itu. Itulah
mengapa orang-orang di sekitarnya sangat menyayanginya."

"Dan orang-orang di sekitarnya juga cemas bila ia bersedih. Kuharap ia tahu, pasiennya juga akan
ikut sedih ketika tahu dokternya bersedih seperti ini.”

Jeong Won terdiam. Terhenyak dalam kalimat halur Gyeoul.

I’ll shine as much as i can

“Profesor, kau adalah dokter luar biasa itu. Kau sudah bekerja keras dan berusaha sebisa
mungkin,” lanjut Gyeoul terdiam. “Kau tak pernah menyerah pada setiap pasienmu.” Jeong Won
mendengarkannya dengan seksama. “Jadi kumohon jangan bersedih ataupun merasa dirimu
kurang kompeten sehingga kau merasa gagal menyelamatkan mereka.”

“Joon-Hyung masih ada disini bersama kita, Profesor. Kita belum tahu apa yang terjadi
selanjutnya. Tak usah memikirkan hal yang tidak-tidak.”
Gyeoul menakan tangan Jeong Won, kemudian mengelusnya perlahan. “Kita masih harus
mengamatinya, kita masih punya harapan bukan?” Gyeoul tersenyum tulus nan manis. “Dan untuk
menyelamatkannya, Profesor juga butuh energi bukan?”

Senyuman yang berhasil membuat Jeong Won tertegun. Jang Gyeoul benar. Entah keberapa kali ia
melakukan ini pada dirinya sendiri. Sugesti yang mangarahkannya pada pikiran tak sehat. Yang
terus membuntuti fisik dan batinnya. Ia adalah dokter namun ia tak bisa memulihkan dirinya
sendiri. Kenapa ia seperti ini?

Apa mungkin Tuhan memang memberikan Gyeoul sebagai obat penawar baginya?

Di sisi lain, Jang Gyeoul tak percaya ia bisa berbicara sejauh ini pada Jeong Won. Ia tahu
kemampuan komunikasinya sangatlah payah, tetapi entah dari mana keajaiban itu datang, ketika ia
berhadapan dengan Jeong Won, kekuatan itu mengalir, menerobos, dan terus mendorongnya untuk
bicara terbuka.

Jeong Won mendekatkan tubuhnya ke arah Gyeoul. Menarik badan kecilnya untuk direngkuh ke
dalam pelukannya. Badan Gyeoul terasa hangat, selayaknya dekapan di musim salju yang dingin.

Wanita itu tampak terperanjat sebentar atas perilaku Jeong Won. Namun, tak lama kemudian ia
melingkarkan lengannya di bahu lebar milik Jeong Won, mengusap punggungnya. Pelukan mereka
semakin erat.

Jeong Won tak pernah tahu, bahwa dengan sebuah pelukan, beban di pundaknya serasa jatuh satu
per satu. Ia tak pernah tahu, bahwa dengan mendengar suara Jang Gyeoul, perasaannya akan terasa
lega sedikit demi sedikit. Ia tak pernah tahu, bahwa dengan sentuhannya, energi Jeong Won terasa
seperti terisi ulang.

Jeong Won merasa amat bersyukur. Apakah ia pantas menerima semua ini? Matanya terasa perih
berkaca-kaca.

“Profesor, sekarang aku ada di sampingmu. Maafkan aku, aku keras kepala,” ujar Gyeoul dalam
dekapannya. “Tapi aku tak bisa memberikanmu waktu. Aku tak bisa membiarkanmu sendirian,
Profesor.”

So don’t hide yourself, but show me

You, just you are

“Kita berjanji akan bahagia bersama bukan? Maka kita pun akan bersedih bersama. Kau bisa
berbagi apapun denganku,” tuturnya pelan tak beranjak dari posisi mereka. “Dibanding dibawa
berjalan sendirian, akan lebih menyenangkan untuk membawanya bersamaku dan kita jalan berdua.
Bahkan perjalanan panjang pun tak akan terasa bila dilakukan bersama.”

Iit’s alright, it’s alright


Dengan apa yang Gyeoul berikan, Jeong Won merasa lebih dari cukup. Ia percaya semua kan
terasa lebih ringan. Ia tak akan lagi memendam semuanya sendirian lagi.

“Aku akan selalu berlari cepat ke arahmu bila kau membutuhkan aku.” Dan itu kalimat terakhir
yang Gyeoul keluarkan.

I cried with you, I laughed with you

I had high hopes for you, I was pained because of you

I spilled out my all and loved you

However my heart led me

“Aku juga,” balas Jeong Won dalam senyap, terlalu takut memperlihatkan dirinya yang menangis
di depan Gyeoul. Ia menenggelamkan wajahnya di bahu wanita itu. Membiarkan dahinya bersandar
pada leher jenjangnya. Menghirup lamat-lamat aroma tubuh Gyeoul.

“Tolong, seperti ini lebih lama lagi. Aku perlu mengisi ulang energiku,” ujar Jeong Won setelah
mereka sama-sama terdiam beberapa menit. Gyeoul pun beranjak dari lantai tanpa melepas Jeong
Won. Wanita itu duduk di sampingnya, membenarkan posisi mereka, dan merangkul Jeong Won
lebih dalam dan lebih lama lagi. Diam-diam, mereka berharap waktu mampu berhenti.

All the unspoken worries

All the deeply paved scars

Time always passes at the same speed

It will wash it all away just like always

So you can just go with the flow, it’ s alright, it’s alright

Sampai suara perut seseorang menghentikan aksi mereka. Gyeoul terkekeh kecil mendengarnya.
“Profesor, sepertinya kita harus makan secepatnya. Pasienmu pasti akan sedih jika tahu dokternya
tak sempat makan saat bekerja,” ujar Gyeoul diikuti tawa renyah Jeong Won.

“Baiklah, Dr. Jang. Aku akan mentraktirmu kali ini,” balas Jeong Won cepat.

“Aku tadi membawakanmu risotto, tapi mungkin sekarang sudah dingin karena aku ketiduran. Apa
kita makan di luar saja? Aku takut Profesor Kim tiba-tiba datang kemari,” tutur Gyeoul dengan
wajah polosnya.

Jeong Won terlihat berpikir sejenak sebelum mengangkat suara, “apa kau keberatan bila Junwan
dan yang lainnya tahu?”

Gyeoul menggeleng cepat. “Sebenarnya sih tidak. Mereka adalah teman dekatmu dan mereka
berhak tahu. Tapi itu kembali kuserahkan padamu, Profesor,” jawabnya terus terang. “Lagipula
sepertinya Profesor Lee juga sudah tahu hubungan kita.”

“Lee Ikjun?”

Gyeoul mengangguk pelan, ada rasa bersalah yang ia lihat di tatapan Gyeoul.

“Gwenchana, Gyeoul-ah.”

“Kalau begitu biarkan mereka tahu,” ucap Jeong Won tegas. Ia kemudian mengusap pipi Jang
Gyeoul lembut dan lama dengan tangan kanannya. Membiarkan tatapan mereka lagi-lagi
bertautan. Pandangannya jatuh pada bibir Gyeoul. Jeong Won pun menundukan wajahnya,
mendekatkan bibirnya perlahan menuju kedua bibir Gyeoul. Merasakan hal tersebut, mereka sama-
sama menutup kedua mata. Sampai tiba-tiba ̶

"Jeong Won-ah, aku ̶ “ Dokter Ob-gyn berjas putih itu mematung menyaksikan pemandangan di
dalam setelah ia mendorong gagang pintu kantor. Gyeoul dan Jeong Won refleks saling menjauh
satu sama lain.

Mereka bertiga sama-sama terdiam membeku di tempat. Seok Hyeong mengerjapkan kelopak
matanya beberapa kali. Dengan pelan, ia mundur beberapa langkah ke belakang untuk melihat
papan nama di depan pintu, takut-takut salah masuk ruangan. Apa benar ini ruang kantor Ahn
Jeong Won dan Kim Junwan?

Ia kembali mengintip ke dalam ruangan yang sudah terbuka, mengecek kembali apa yang barusan
ia tangkap. Ketika nyawanya kembali masuk ke dalam tubuh dan otaknya juga balik berfungsi,
Seok Hyeong pun kembali mengerjap dan menyuarakan diri.

“Ah, mian.”

Pria itu pun keluar dan menutup pintu kantor jahanam milik Jeong Won. Meninggalkan Gyoul dan
Jeong Won yang masih shock di tempatnya masing-masing.

Chapter End Notes

Terima kasih sudah menyempatkan waktumu untuk membaca! Tolong jaga kesehatan
yaa~
Me to You, You to Me
Chapter Summary

Telling them.

Chapter Notes

Hari ini tepat satu bulan aku post fanfic ini~ Dan aku benar-benar kangen berat sama
hospital playlist, terutama 99z + wintergarden!

Chapter ini aku persembahkan untuk The Lacking Five, maaf banget kalau banyak
typo karena aku belum sempet cek ulang! Disini lebih banyak dialog dibanding narasi,
jadi semoga kalian gak keberatan. Aku berusaha keras ciptain kegaduhan mereka,
karena aku bener-bener lagi cari obat penawar rindu huhuhu. Lagu kali ini, spesial
dinyanyikan Mido and Falasol - Me to You, You to Me ( , ). SELAMAT
MEMBACA!~

See the end of the chapter for more notes

I hope that, to you, I will become

A perfect piece of memory like a sunset,

And will remain without regrets like a picture

Oh that reminds you of our precious green days

“Aigoo, apa yang membuatmu melamun pagi-pagi sekali Dr. Jang?” Yong Seok Min dengan wajah
lelahnya menghampiri Jang Gyeoul yang tengah menapakan kakinya di depan mesin minuman
otomatis. Wanita itu sedikit terkesiap mengetahui kehadiran residen departemen bedah syaraf
tersebut. “Kau belum memilih?” tanyanya lagi sembari mengedarkan pandangannya pada beberapa
softdrink di dalam kotak besar di hadapan mereka.

Residen departemen bedah umum tersebut bahkan tak sadar dirinya telah terdiam beberapa menit
di depan sana. Tubuhnya memang berpijak di lantai, tapi tidak dengan pikirannya. Ia baru saja
menyelesaikan jadwal malamnya, dan seharusnya ia mengambil waktu istirahat sekarang.
Sayangnya, tubuhnya terus terjaga hingga dini hari dan tak kunjung terlelap. Ada yang mengusik
benaknya.

Beberapa hari yang lalu, dirinya dan Ahn Jeong Won sepakat untuk memberitahu ke-empat sahabat
profesornya mengenai hubungan mereka. Awalnya, dokter bedah pediatrik tersebut nampak ragu
sesaat. Namun, Gyeoul berani meyakinkan bahwa ia akan baik-baik saja dengan hal tersebut.
Terkadang, Jang Gyeoul bersyukur dengan kepribadian Jeong Won yang berhati-hati. Pria itu
selalu bertanya dan memastikan semuanya sebelum melakukan sesuatu yang menyangkut dengan
mereka berdua. Cepat atau lambat semuanya akan tahu. Dan Gyeoul sungguh tak keberatan, malah
ia senang mendengarnya. Lagipula ia sudah tak sanggup berbohong di depan Profesor Lee.

Jeong Won mengabarkan Gyeoul bahwa mereka akan mengadakan makan malam bersama di luar
rumah sakit selepas shiftnya selesai. Dan, yup, tak salah lagi, waktunya jatuh pada hari ini. Inilah
alasan mengapa Jang Gyeoul merasa gugup. Membayangkannya pertemuan mereka saja sudah
membuat jantungnya berdebar tak karuan.

Bukannya ia tak mau ataupun takut. Tidak sama sekali. Lagipula dua dari mereka (Profesor Lee
Ikjun dan Profesor Yang Seok Hyeong) sudah mengetahui rahasia mereka. Ada hal lain yang terus
meningkatkan rasa gugup dalam jiwanya. Yaitu kenyataan bahwa kelima sahabat itu sangat dekat,
sudah seperti saudara satu sama lain. Mengenalkan Gyeoul pada mereka sama saja mengenalkan
dirinya pada keluarga Ahn Jeong Won (selain Mama Rosa tentunya). Sebenarnya ia tak perlu
banyak-banyak cemas. Toh, ia juga bisa menebak respon mereka satu persatu dan hafal betul
kepribadian mereka. Ia sudah banyak berguru pada dr. Bong. Dan lagi, ia harus diingatkan kembali
dengan fakta bahwa kelima-limanya adalah atasannya. Ia menghela nafas, mengembalikan
pikirannya ke tempat semula.

“Kopi lagi?” tanya dokter muda itu pada sesama residennya. “Sepagi ini?” Gyeoul berusaha
meyakinkan pertanyaannya pada Seok Min.

Lelaki tersebut hanya mengangguk sembari menghembuskan nafas berat. “Belajar membuatku
gila,” jelasnya singkat. “Aku butuh kopi sebagai penyelamat tercepat, terdekat, dan termurah.”

Gyeoul memberikan sorot mata khas miliknya, mengangkat sebelah alisnya. Seok Min yang
menangkap hal tersebut berdecak, “kau akan paham sebentar lagi.” Ia menekan tombol di mesin
tersebut setelah memasukan beberapa koin dan uang kertas. “Selamat menjalani tahun terakhirmu,
Dr. Jang! Aku yakin kau bisa melewatinya dengan baik.”

“Dan ketika waktunya datang, nikmati saja!” Seok Min menghela nafas, lagi, untuk kedua kalinya
dan mengambil kopi yang keluar secara otomatis dari benda di depan mereka. Ia pun menyesap
minuman yang berada tepat di tangan kanannya.

Belum sempat Jang Gyeoul menanggapi ucapan dokter tersebut, Seok Min telah menolehkan
kepalanya ke arah lain. “Eo? Profesor? Kau datang hari ini?”

Wanita tersebut ikut membalikan badannya ke arah mata Seok Min tertuju. Ia menemukan
badannya sedikit menegang saat tahu sosok yang ia kenal berjalan ke arah mereka. Disana,
Profesor Chae dengan baju kasualnya sedang tersenyum manis.

“Tentu saja. Apa aku tak boleh berkunjung?” Song Hwa menjawab dengan nada gurau. Ia pun
melihat ke arah Jang Gyeoul dan memberikan simpul di bibirnya seraya berkata, “lagipula aku ada
janji malam ini.”

“Aku kira kau datang karena merindukanku.” Seok Min pura-pura memasang wajah kecewa.
Kekehan kecil hadir di antara keduanya. Residen bedah umum tersebut memberi profesornya salam
formal, Songhwa membungkuk kecil sebagai jawaban.

“Kebetulan sekali aku bertemu denganmu. Kau baru selesai shift, Dr. Jang?” Jang Gyeoul
mengangguk menjawab pertanyaan dari Profesor bedah syaraf tersebut. Ia sedikit-banyak bertanya-
tanya mengapa Profesor Chae tampak penasaran dengan jadwalnya.
“Apa kau ada waktu sebentar? Mau sarapan di cafetaria? Aku yang mentraktir kali ini,” ajak
Songhwa dengan nada santai. Gyeoul mengiyakan setelah ragu sejenak. Lagipula siapa yang akan
menolak pemberian makan setelah dua puluh empat jam lelah bekerja tanpa henti? Itu bukan Jang
Gyeoul.

“Bagaimana denganku, Profesor? Apa kau tak mengajakku juga?” Seok Min membuka suaranya.

“Bukannya kau harus kembali belajar?” Mendengarnya, Seok Min kembali menjadi lesu.
Ekspresinya memelas. “Kau berhutang banyak cerita padaku Seok Min-ah. Aku akan mengajakmu
lain kali. Tapi, kalau kau tak keberatan menceritakan kisah hidupmu di depan Dr. Jang, kau boleh
ikut.”

“Ahh.” Seok Min kini mengangguk dan menekan bibirnya rapat-rapat. Ia tak akan pernah berhasil
melawan profesornya yang satu ini. Segala nasib karier dan urusan cintanya berada di tangan
Profesor Chae, dan pria itu memilih diam lalu mengalah sebelum Dr. Jang memberikannya tatapan
penasaran lebih jauh lagi.

“Ayo Dr. Jang, kau tidak lapar?” tanya Songhwa sebelum berjalan dan berputar balik. Disana, di
kedua matanya, tersirat tatapan hangat yang berbeda dari biasanya. Bukan kilatan yang ia dapat
dari seorang profesor pada residennya, bukan juga sorot mata yang diberikan atasan pada
bawahannya. "Dr. Jang?"

“Atau... boleh kupanggil Gyeoul?”

To me, you became the one ray of sunshine

That lit up my lonely hours gone by,

And became the promise of eternity

That glitters like a jewel upon your small white palm.

**

I hope that, to you, I will become

A perfect piece of memory like a sunset,

And will remain without regrets like a picture

Oh that reminds you of our precious green days


To me, you remain in my small heart


As a sad graduation song.

I want to become the countless stars

That glistened in your pretty eyes and shine forever.

“Siapa yang mentraktir malam ini?” tanya Kim Junwan seraya melipat coat coklat yang ia kenakan
dan menaruhnya di bawah kursi restoran. “Ah, benar, Ahn Jeong Won.” Lanjutnya setelah
menghempaskan badannya ke sandaran di punggung.

“Apa dia meminjam mobilmu? Kurasa tadi pagi kau memarkirkannya di basement?” Songhwa
bertanya pada Ikjun yang tengah sibuk dengan ponselnya. Ia pun mengangguk sebagai jawaban.

“Dia meminjamnya untuk membawa tamu malam ini,” ujar Ikjun memberi kode. Sayangnya yang
lain tampak tak memperhatikan apa yang ia sampaikan.

“Ah, jadi ini waktunya,” tutur Seok Hyeong pelan pada dirinya sendiri. Tahu akan hal apa yang
akan mereka hadapi.

“Apa kita sudah boleh memesan? Aku sungguh lapar,” ucap Kim Junwan sambil membuka buku
menu di depannya, tak sabar.

“Kita tunggu Jeong Won dan tamunya dulu, Junwan-ah,” tanggap Ikjun yang duduk tepat di
sebelah pria jangkung tersebut.

“Siapa tamu spesialnya ini, omong-omong?” Junwan berceloteh. “Kalau saja ia mengecewakanku,
maka ia harus mentraktir kita dengan banyak daging malam ini sebagai gantinya.”

"Sepertinya kita akan makan dengan kenyang malam ini," tutur Ikjun sambil tersenyum
menyeringai.

Lelaki bermarga Kim tersebut akhirnya memutuskan untuk memesan makanan kecil sebagai
hidangan pembuka bersama Songhwa. Berdiskusi akan berapa banyak porsinya (yang tentu
sebenarnya hanya cukup untuk mereka berdua, tanpa menghitung Ikjun dan Seok Hyeong apalagi
Jeong Won) mereka tampak sedikit berdebat. Tapi hal tersebut sudah menjadi pemandangan biasa
bagi mereka.

Perhatian mereka teralih ketika pintu restoran pun berbunyi tak lama kemudian. Sesosok pria tinggi
dengan bahu lebar, terlihat membukan pintu untuk wanita yang berjalan di belakangnya. Disana
Jang Gyeoul masuk ke dalam rumah makan dengan penampilan seperti biasanya. Kemeja denim
yang dikancing penuh sampai atas dengan dalaman kaos putih polos, dibalut dengan coat biru
dongker yang terlihat kebesaran di badan mungilnya. Kacamata bulat bertengger di hidungnya dan
rambut coklatnya rapi dikucir kuda.

Pasangan tersebut berjalan menuju kursi kosong yang tersisa di antara ke empat orang yang tengah
mematung memperhatikan mereka. Layaknya menonton film, mereka terdiam menyaksikan Jeong
Won yang menarikan kursi untuk residennya. Jang Gyeoul melepaskan coat yang ia pakai dan pria
di sampingnya melipatkan pakaian tersebut dengan telaten. Wanita itu tampak berterima kasih dan
duduk bersamaan dengannya beberapa saat kemudian. Ia pun menyapa satu per satu profesornya.

“Apa kalian sudah memesan?” Jeong Won bertanya memecah keheningan di antara mereka.
Menyadari kejanggalan atmosfer di sekitanya, kegugupan Jang Gyeoul semakin menjadi-jadi.

“Tidak usah terlalu gugup, Gyeoul-ah. Jangan dengarkan apapun yang mereka katakan.
Mereka tak pernah serius dengan ucapan mereka sendiri. Mereka hanya sekumpulan orang gila.
Terutama Kim Junwan.”

Kalimat Profesor Chae tadi pagi terputar ulang dalam benaknya. Wanita itu berusaha merilekskan
dirinya mengingat wewejangan tersebut. Ia duduk di apit oleh Profesor Ahn dan Profesor Chae di
sebelah kanannya. Sedangkan di hadapannya, Profesor Lee duduk di antara Profesor Yang di sisi
kirinya dan Profesor Kim di samping kanannya.

“Yah, aku sungguh tak percaya bisa melihat pemandang ini pada akhirnya sebelum aku mati,” ujar
Ikjun tiba-tiba setelah mereka semua mengerjapkan mata dan kembali pada kegiatan mereka
masing-masing. Beberapanya mulai mengenakan apron yang disediakan oleh tempat makan
tersebut.

“Kami sudah memesan makanan pembuka. Tapi makanan utama belum,” Songhwa menanggapi
pertanyaan Jeong Won yang tertahan sebelumnya.

“Karena hari ini kita kedatangan tamu spesial, maka biarkan Jang Gyeoul yang memilih makanan
utamanya,” ujar Ikjun antusias sembari mengoperkan buku menu padanya.

“Aku sungguh berharap bisa terlahir sebagai residenmu di kehidupanku selanjutnya, agar kau
memperlakukanku seperti kau memperlakukan residenmu,” kata Junwan sedikit sarkas pada Jeong
Won dan Ikjun.

“Tapi ia disini bukan sebagai residenku, Junwan-ah,” tegas Ahn Jeong Won menatap lurus kedua
mata Kim Junwan. Semua mata tertuju pada Jeong Won ketika itu.

“Lalu siapa? Sebagai residen Ikjun? Bukannya ia tamumu Jeong Won-ah?” Junwan merespon
cepat tanpa berpikir panjang. Kini pandangannya beralih pada Ikjun yang memicingkan kedua
matanya pada dokter bedah kardiotoraks tersebut.

“Apa kau seorang dokter? Kenapa kau tak menggunakan otak cerdasmu itu dengan baik, dasar
bodoh!” umpat Ikjun kesal. Junwan pun berpikir sejenak.

“Seolma..” Ia memiringkan kepalanya untuk berpikir, menghubungkan kembali perilaku Jang


Gyeoul dan Ahn Jeong Won yang terlihat berbeda dari awal. Cara Jeong Won membukakan pintu
dan menarikannya kursi. Coat biru dongker yang Gyeoul kenakan tampak familiar di ingatannya.
Tunggu, bukankah itu coat yang tersimpan di kantornya? Yang dipakai Jeong Won saat berangkat
kerja tadi pagi? Alasan mengapa Jeong Won sampai harus meminjam mobil Ikjun hanya untuk
mengantar residen?

“Kau? Kalian...” Junwan menjukan jarinya pada Jeong Won dengan ekspresi terkejut. Pria yang ia
sebut-sebut tak menggubris ucapan Junwan dan melanjutkan kegiatannya membagikan peralatan
makan pada orang di sekitarnya. “Tunggu, apa yang terjadi disini?”

"Jadi inikah alasanmu tak jadi ke Itali?" Junwan menyapukan pandangannya pada yang lain,
“kenapa kalian tidak terkejut?”

“Kenapa pula aku harus terkejut?” Ikjun merespon spontan. Gemas dengan reaksi Junwan yang
terbilang amat sangat telat. Ia pun mengalihkan pandangannya pada Songhwa dan Seok Hyeong.
“Kenapa kalian berdua biasa saja?”

Kedua profesor tersebut saling berpandangan. Sekan-akan berkata ‘Iya ya? Kenapa?’

“Jadi aku satu-satunya disini yang tak tahu apa-apa?!” seru Junwan protes tak terima pada Ahn
Jeong Won.

“Junwan-ah, aku yakin kau hanya terlambat menyadarinya. Lagipula aku tak pernah memberitahu
siapapun,” sangkal pria di samping Gyeoul tersebut.

“Aku profesornya Gyeoul. Tentu saja aku tahu dari Gyeoul, bukan dari Jeong Won!” ujar Ikjun
acuh tak acuh, lebih memperhatikan residen di hadapannya yang tampak bingung akan situasi
mereka. Junwan mengalihkan pandangannya pada Songhwa, meminta penjelasan.

“Aku? Kau tak tahu aku punya sebutan ‘hantu’? Aku tahu semuanya, bahkan sebelum mereka
berkencan!” Seluruh mata melirik ke arahnya, tak percaya akan apa yang Songhwa ucapkan.
Terkecuali Jeong Won dan Gyeoul yang tengah sibuk memilih makanan di buku menu.

“Aku teman masa kecil Ahn Jeong Won. Tidak ada yang tidak ku ketahui tentangnya.” Seok
Hyeong mengangkat kedua bahunya dengan wajah tanpa beban. Seakan-akan apa yang ia katakan
benar adanya.

“Ya! Kalau begitu aku juga temannya! Aku teman satu kampus, satu kantor, satu rumah, dan
bahkan si sialan ini juga bilang dia sudah seperti satu jiwa denganku. Tapi apa? Aku ternyata yang
terakhir tahu!” Juwan mengomel dengan satu tarikan nafas. Suaranya tidak keras, tapi terlalu cepat
untuk dicerna otak. Jang Gyeoul mengerjapkan matanya. Terkejut dengan sisi lain Kim Junwan
yang baru ia lihat barusan.

“Kenapa kau sangat marah? Kau sendiri yang bilang tak suka ikut campur urusan orang lain!” Ahn
Jeong Won kini angkat bicara.

“Mwo!?” Junwan meninggikan suaranya saat berseru.

“Sudah, sudah, sudah! Berhentilah Junwan-ah, Joeng Won-ah. Kalian bisa mengganggu pelanggan
yang lain,” Ikjun menengahi perdebatan mereka, tak kuat dengan bising yang semakin-makin.
“Aish, kenapa kalian mempermasalahkan hal kecil? Sungguh kekanak-kanakan! Apa kalian tak
malu dengan Gyeoul?”

Pertengkaran kecil mereka terhenti ketika pelayan mengantarkan pesanan Songhwa dan Junwan ke
meja mereka. Keadaan mulai terasa tentram ketika dua petarung makanan tersebut mulai
menyantap hidangan mereka. Di lain sisi, Jeong Won, Ikjun, dan Seok Hyeong pun mulai memesan
menu utama dan tambahan lainnya (karena Gyeoul menolak memilih menu dengan sopan).

Kim Junwan sempat memuji Jeong Won yang tiba-tiba saja meminta lebih banyak daging dan
mengeluarkan lebih banyak porsi untuk makan malam kali ini, tak seperti biasanya. Selang
beberapa menit kemudian menu utama mereka datang. Kedua profesor Gyeoul, mulai
memanggang daging di atas besi pemanggang.

“Kalau saja aku tahu bahwa Jang Gyeoul bisa membuatnya berhenti hidup seperti berandalan, aku
sudah pasti mencarimu dari awal, Dr. Jang,” tutur Junwan pada Gyeoul di sela-sela kesibukannya
menghabiskan hidangan.

“Makanlah Jang Gyeoul. Aku tahu kau lapar!” ujar Ikjun memberikan potongan pertama yang
matang pada residen kesayangannya. Dokter muda itu tanpa segan mulai melahap hidangan yang
tersaji di depannya.
“Ya, Ahn Jeong Won, kau harus memberikannya makanan yang enak. Awas saja kalau kau tak
memberinya makan dengan baik dan masih perhitungan!”

“Aish, sungguh! Kenapa kalian seperti ini padaku? Apa aku separah itu selama ini?!” seru Jeong
Won tak suka.

“Kau gila?” Kim Junwan menaruh sumpitnya dan memasang wajah serius. “Apa kau baru
menyadarinya sekarang?” tambahnya lagi. Kini ia menoleh ka arah Gyeoul, “aku sungguh kasihan
pada dirimu, Dr. Jang. Selama hidupku, aku belum pernah bertemu orang sepelit dia.”

“Jeong Won-ah, lekaslah hidup dengan baik dan bahagiakan Jang Gyeoul. Kau tak bisa terus-
terusan seperti ini. Cepatlah beli apartemen dan pindah sehabis ini!”

“Junwan ada betulnya. Cepatlah beli mobil baru. Aku tak ingin Gyeoulku naik taxi dan bis setiap
hari,” ujar Ikjun sembari mengangguk.

“Ikuti apa kataku saat itu. Cepatlah menikah, sesuai saranku,” Songhwa menimpali.

“Cepatlah kalian berdua datang ke ruang kerjaku bila ingin mengecek suatu hal, setelah kalian
melakukannya,” kini Seok Hyeong, selaku dokter kandungan, angkat bicara. Semua kepala
terangkat dan menoleh ke arahnya. Tak percaya dengan apa yang 'beruang gila' itu katakan.

Jang Gyeoul bahkan tersedak mendengar ucapan Profesor Yang Seok Hyeong. Joeng Won
membantu menepuk-nepuk punggungnya dan memberikannya segelas air putih untuk meredakan
batuknya.

“Apa?” Seok Hyeong memberikan mereka tatapan polos tak berdosa. “Jeong Won juga seorang
laki-laki. Aku tahu ia sama mesumnya seperti dirimu, Junwan-ah.”

“Aku? Siapa yang bilang aku mesum?!”

“Kau menyamakanku dengan dirinya? Aku jelas berbeda dengan Kim Junwan!” bantah Ahn Jeong
Won seraya melirik Jang Gyeoul was-was.

“Tapi aku bahkan menangkap basah kalian melakukan hal itu di kantor,” ucap Seok Hyeong
dengan wajah tanpa dosa. Jang Gyeoul lagi-lagi tersedak air putih yang baru saja ia mulai teguk
setelah menangkap kalimat Profesor Yang bulat-bulat. Kini mereka semua mengangkat wajah
mereka lebih tinggi lagi. Bergantian menatap Seok Hyeong, Jeong Won, dan Gyeoul.

“Pastor apanya!?”

Melihat telinga Jeong Won yang memerah dan pipi Gyeoul yang mulai merona, mereka pun yakin
apa yang dikatakan Seok Hyeong benar adanya. Jeong Won berusaha mengambil tisu dan mengisi
kembali gelas kosong dengan air mineral untuk Gyeoul. Songhwa kini membantu dokter muda itu
untuk menepuk punggungnya.

“Apa yang mereka telah lakukan?” suara Kim Junwan kini naik satu oktaf. Semangat balas
dendamnya kini berkobar-kobar. Ia telah muak menghadapi Jeong Won yang terus-terusan
mengancamnya dengan ‘Hawai’. Setidaknya kini ia harus tahu kelemahan apa yang mantan calon
pastor itu perbuat sehingga ia bisa berbalik mengancamnya suatu saat nanti. “Inilah kenapa aku
terus meminta kantor baru, Jeong Won-ah.”

“APA YANG TELAH KAU LAKUKAN PADA JANG GYEOUL?” Lee Ikjun menggertakkan
giginya sembari melipatkan kedua tangannya di depan dada. Memberikan tatapan sangar pada
Jeong Won. Yang ditatap malah memberikan Seok Hyeong tatapan kesal. Mungkin kalau Jeong
Won boleh membunuh, dua target utamanya adalah Junwan dan Seok Hyeong malam ini.

"Jangan dengarkan kata Seok Hyeong! Dia hanya melantur!"

Yang Seok Hyeong acuh tak acuh, lanjut menyuapkan makanan ke sendoknya. Tak peduli dengan
keributan apa yang terjadi di meja. Ia bahkan membiarkan Junwan mati penasaran.

“Ya! Sudah cukup! Biarkan mereka makan dengan tenang! Ada apa dengan kalian malam ini?”
Songhwa melerai, menenangkan kegaduhan yang terjadi di sana. “Duduklah Ikjun-ah. Mereka
sudah dewasa, itu urusan mereka. Biarkan!”

Lee Ikjun mengambil beberapa potongan daging dan menaruhnya di atas mangkuk Gyeoul, “lain
kali jangan lakukan hal aneh saat bekerja, Gyeoul-ah. Dan juga, jangan pernah memilih operasi
Jeong Won hanya karena dia pacarmu, oke?” Ikjun menasihati residennya dengan lembut, lalu
memberikan tatapan galak pada Jeong Won.

“Aniyo, Profesor. Aku akan memilih operasimu selanjutnya,” Gyeoul menjawab dengan mulut
penuh nasi.

“Aigoo! Aku tahu pasti suatu saat nanti kau akan berterima kasih padaku karena aku bekerja keras
untuk kesuksesan hubungan kalian!” Hati Ikjun kini merasa bahagia.

“Tapi mereka tak akan ‘jadi’ kalo Jeong Won tidak bertanya padaku!” Songhwa membantah, tak
mau kalah dari Ikjun.

“Tidak. Semua itu tak akan berjalan lancar kalau aku tak mendoakan Jeong Won pada Buddha
semenjak kita SD,” sangkal Seok Hyeong cepat setelah kalimat Songhwa selesai.

“Seok Hyeong-ah, Jeong Won seorang katolik,” koreksi Kim Junwan.

“Ahh.” Seok Hyeong menganggukan kepalanya pelan menyadari itu. Lee Ikjun dan Chae Songhwa
menggeleng kepala mereka bersamaan.

“Lagipula akulah yang selama ini memberikannya makan dan tempat tinggal. Jadi aku juga berjasa
disini!” Kim Junwan akhirnya memberikan pendapat.

“Kenapa kau sangat banyak bicara malam ini, Kim Junwan?” Jeong Won sudah tak tahan. Ingin
sekali ia mengambil nyawa temannya yang satu itu.

“Biarkanlah dia, dia hanya iri karena tak bisa memamerkan pacarnya pada kita. Jadi bagaiamana
Kim Junwan-ssi? Kapan kau akan mengenalkan Bidulgimu itu pada kami? Kini giliranmu!” Ikjun
membalikan keadaan hanya dengan memutar lagu lama langganan mereka.

“Bidulgi sibuk, ia tak bisa bertemu denganmu,” jawab Junwan singkat, tak mau membuat Ikjun
membahas hal tersebut lebih lama.

“Yahh, kau selalu mengatakan hal seperti itu! Kau kira Jang Gyeoul tidak sibuk? Setidaknya Ahn
Jeong Won lebih baik darimu, ia bahagia dan mengenalkan pacarnya. Tidak seperti seseorang!”

“Mwo?!”

“Wae? Apa aku harus mengulangi perkataanku dua kali?”

“YA! Lihatlah dirimu sendiri, bodoh! Kau juga tak punya pacar! Kau tak punya seseorang untuk
diperkenalkan!” Seru Junwan dengan percikan emosi.
“Apa kau bilang?! Siapa yang bilang aku tidak punya?!”

“Kau punya?!” Junwan terkejut sampai mencondongkan tubuhnya.

“Kau punya?” Seok Hyeong menolehkan badan ke arahnya.

“Kau punya?” timpal Jeong Won yang ikut penasaran.

“Kau punya, profesor?” Bahkan Jang Gyeoul tak bisa menahan rasa ingin tahunya kali ini. Ikjun
tergagap. Merasa tertangkap basah kelepasan bicara. Semua orang menatapnya serius, menanti
jawaban.

“SUDAH! SUDAH! SUDAH! Aish, sungguh. Apa kalian tak bisa makan dengan tertib sekali
saja?!” Songhwa menghentikan mereka sebelum Ikjun benar-benar diinterogasi lebih jauh. Ada
ekspresi panik dalam wajahnya yang berusaha ia sembunyikan.

Mereka akhirnya menyerah. Setidaknya mereka harus berhenti membuat keributan, berdebat
seperti anak kecil, dan mulai menghabiskan makanan mereka. “Maafkan kalau kami membuatmu
tak nyaman Gyeoul-ah.”

“Animida, Gyosunim. Aku sungguh baik-baik saja,” ujar Gyeoul sambil tersenyum simpul.
Sungguh, ia tak keberatan dengan semua ini. Ia bahkan menikmati pemandangan dan semua
kegaduhan yang ia lihat. Mengetahui para profesornya bertingkah seperti biasa, membuatnya
bersyukur, berarti mereka cukup nyaman dengan kehadiran Gyeoul.

“Jangan terlalu tegang ataupun formal. Kau disini bukan sebagai Dokter Jang. Kau adalah tamu
kita, pacar Joeng Won.”

Mendengar kalimat tersebut Gyeoul merasa pipinya memanas. Sungguh ia tak menyangka akan
merasakan hal ini dalam hidupnya. Ia mengangguk dan manarik sudut bibirnya lebar.
Menyibukkan dirinya pada semangkuk nasi yang harus ia habiskan agar orang-orang di sana tak
menyadari wajahnya memerah karena tersipu.

“Makanlah perlahan, tak usah terburu-buru. Nanti kau tersedak lagi,” Jeong Won tersenyum
memandangi wanita di sampingnya makan. Ia memberikan Gyeoul beberapa potong daging dan
mengisi kembali air minumnya.

“Terima kasih, Profesor,” ucap Gyeoul pada Ahn Joeng Won.

“Omong-omong, Gyeoul-ah. Sampai kapan kau akan memanggil Jeong Won dengan sebutan
‘Profesor’? Kita tidak lagi di rumah sakit,” ucap Ikjun mendadak setelah suasana tenang beberapa
saat.

“Kapan kau akan memanggilnya dengan sebutan ‘Jeong Won-ssi'?” tambahnya lagi melengkapi.
“Atau ‘Joeng Won-Oppa’?”

Gyeoul tersedak untuk ketiga kalinya malam itu setelah kata-kata terakhhir Lee Ikjun meluncur
mulus dari lisannya.

"Aish! Cam!" Sungguh Ahn Jeong Won sudah lelah dengan teman-temannya.

I hope that, to you, I will become


A perfect piece of memory like a sunset,

And will remain without regrets like a picture

Oh that reminds you of our precious green days

Chapter End Notes

Aku sempet nangis karena tiba-tiba bab ini hilang di laptopku dan setelah aku usahain
tetep tidak kembali T_T hueee. Padahal udah aku rencainain bakal aku post jam 8
malam, tapi berakhir jam 12 karena aku nulis ulang dari awal. Maaf!

Terima kasih udah baca ceritaku! Terima kasih sudah ninggalin komentar~ Akk,
komenan kalian memberiku kekuatan untuk terus lanjut nulis:) Tolong jaga kesehatan!
Love you all!

PS: setelah ini sepertinya Love Playlist bakal slow update. Aku minta maaf huhue.
Aku pasti bakal langsung nulis dan up kalau punya waktu senggang! Thank you
semua~
Mood Indigo
Chapter Summary

Their daily lives.

Chapter Notes

Maaf lama updatenya! Ukukukuku, aku kasih chapter yang agak panjang dan penuh
dengan fluff hari ini. Kali ini lagu favorit aku, CHEEZE - ' (Mood Indigo).
Hope you like it! Selamat membacaaaaaa!

When I fall in love

with you even the dreams that would soon disappear come to me sweetly

Right now

I believe in this moment

When I fall in love with you

“Sepertinya cuaca hari ini sedang saaangat bagus, Dr. Jang!” Chu Minha melingkarkan lengan
kanannya ke bahu Jang Gyeoul yang tengah melangkahkan kaki di lorong rumah sakit.

“Benarkah?” Gyeoul mengedarkan pandangannya ke dinding tembus pandang yang berjarak


beberapa meter dari tempat mereka melintas, tampak tak yakin dengan penampakan matahari yang
bersembunyi di balik awan. Mereka berjalan beriringan menuju arah yang sama setelah tiba-tiba
saja Minha muncul mengejutkan residen bedah umum tersebut.

“Bukan cuaca disana. Tapi cuaca disini,” Minha mengarahkan telapak tangannya ke tempat dimana
jantung temannya tersebut berdetak. Ia berusaha membuat Jang Gyeoul paham dengan kalimatnya
yang mengandung makna tersirat, hanya untuk disambut dengan tatapan tak mengerti Gyeoul.
“Kau tersenyum sepanjang jalan, apa kau sadar itu?”

“Kapan? Tidak.” Tertangkap basah akan kebiasaan barunya, dokter tersebut mengelak. Sepertinya
keahlian Ahn Jeong Won sekarang menular ke dalam dirinya.
“Aku melihatnya!” Minha membantah, tak ingin kalah karena ia benar-benar yakin akan fenomena
yang ia dapat barusan. “Yah, terserah apa katamu. Tapi suasana hati kita sepertinya sedang
berbeda.” Residen tahun kedua itu mengerucutkan bibirnya, berbicara dengan nada lesu.

“Apa terjadi sesuatu padamu?”

“Apa kau mau menemaniku makan siang?” Minha balik bertanya pada Jang Gyeoul.

“Aku baru saja selesai makan siang. Mian.” Sahabatnya tersebut memasang ekspresi kecewa,
mengeluarkan nafas berat dengan ekspresi muram.

“Padahal aku ingin bercerita sesuatu padamu kalau kau ada waktu,” jawab Minha membuat rasa
bersalah mendadak muncul dalam hati Gyeoul. “Aku sungguh tak punya teman makan siang hari
ini. Bahkan Prof. Yang pun tak ada di ruang kantornya untuk diajak pergi.”

“Prof. Yang sudah makan siang,” tutur Gyeoul spontan, sukses membuat wanita di sampingnya
menghentikan langkahnya. Minha menoleh ke arah sahabatnya dengan wajah bertanya—tanya.

“Bagaimana kau tahu?”

Sadar dirinya telah salah bicara, residen tahun akhir itu pun menghadap ke arah Minha, seraya
berucap, “a.. aku tadi melihatnya makan siang dengan Prof. Lee dan Prof Ahn.” Toh, Gyeoul tak
berbohong.

“Eo? Jepit rambutmu imut sekali!” Perhatian Minha teralihkan ketika pandangannya berhasil
menangkap tampilan baru yang Gyeoul kenakan. Sebelumnya, mereka hanya berdiri bersisian, jadi
Minha tak benar-benar memandang Jang Gyeoul secara keseluruhan. Dokter muda di hadapannya
sedikit terkesiap dengan seruan temannya itu.

Ah, bagaimana bisa aku lupa melepaskan ini?!

Jang Gyeoul meraba poni di sisi kanan kepala yang biasanya ia biarkan jatuh begitu saja. Kini anak
rambutnya terasa rapi dengan jepit tersebut.

“Tidak usah di lepas! Itu cocok denganmu,” Minha memajukan bibirnya, berusaha menghentikan
Gyeoul yang berupaya mencopot hiasan yang ia kekanakan. Sayangnya, pujiannya tersebut kalah
cepat dari gerakan tangan Dokter Jang.

Mata Gyeoul membulat berbinar ketika jepitan rambut yang ia lepas kini dapat ia lihat seluruhnya
tanpa celah. Gyeoul awalnya mengira benda pemberian ‘orang spesial’ tersebut, hanya aksesoris
polos pada umunya. Ternyata, ada sosok khusus yang tertempel di sana, karakter BT21 yang sukses
membuatnya memekik tiba-tiba.

“Van?!”

Minha mengerutkan keningnya, membuat kedua alisnya terlihat menyatu. Terheran-heran,


bagaimana bisa ada orang yang terkejut melihat barangnya sendiri setelah lama memakainya. “Kau
yakin itu punya dirimu?”

Gyeoul mengangkat wajahnya ke arah Minha, mengangguk dengan wajah tak percaya. Wanita
dengan julukan beruang itu memberikan sorot mata ‘lebih-tak-percaya’. Residen tersebut
mematung untuk beberapa saat, membuat Dokter Chu lagi-lagi bertanya ‘apa ia yakin benda
tersebut miliknya?’ untuk memastikan.

Menyadari tatapan janggal dari sesama army di sebelahnya, Gyeoul berusaha menetralkan air
mukanya. Ia melanjutkan jalannya, mengabaikan rasa ingin tahu Minha yang semakin meningkat.

“Dr. Jang, dimana kau mendapatkannya?” Pertanyaan Minha membuat Gyeoul memutar ulang
asal-usul jepit rambut tersebut. Dari mana aksesoris tersebut berasal?

“Tak usah buru-buru, Jang Gyeoul, kita masih punya waktu beberapa menit.” Ahn Jeong Won
mengelap kecap hitam yang tertinggal di bibir dokter tersebut. Pria itu pun mengeluarkan sesuatu
dari sakunya, kemudian melepas pulpen yang Gyeoul kenakan sebagai penjepit poni agar
rambutnya tidak mengenai makan siangnya, Jjajangmyeon. “Pakai ini setiap kau makan, ya?”
Jeong Won menyelipkan sesuatu di sana, membuat mata Gyeoul ikut melihat kemana arah tangan
profesornya menuju.

“Cantik.”

Mengingat kejadian tersebut, membuat pipi Gyeoul memerah. Ia mempercepat langkahnya.

“Dr. Jang? Kenapa kau tersenyum? Kau belum menjawab pertanyaanku! Dimana kau
membelinya?!”

Minha tampak semangat, berusaha mengejar rekan satu fandom-nya tersebut. Kini kedua
tangannya menyentuh pundak Jang Gyeoul dan mengguncangnya dengan semangat. Gyeoul hanya
bisa tersenyum lebar, menampilkan kedua lesung di dekat bibirnya. Pikirannya melayang pada
runtutan peristiwa hari ini. Yup, hal-hal kecil yang membuat cuacanya menjadi saaangat bagus.

**

Honestly, I’ m a bit afraid too

Will we have an end at last

Hold my hands tight

How warm it is walking with you

Pagi itu adalah salah satu dari banyak hari sibuk di Pusat Medis Yulje. Dokter Jang yang seperti
biasa mengenakan denim serta ransel biru di punggungnya, datang ke tempat kerja menaiki
kendaraan umum, dan ya, tanpa pacar yang menjemputnya, karena mobil Ahn Jeong Won masih
dalam tahap proses. Dan sungguh, ia tak mempermasalahkan hal itu.

Jang Gyeoul menempelkan pandangannya pada daftar menu cafe, sembari memegang dompet
birunya di tangan kanan. Berpikir kopi apa yang harus ia pesan karena pagi ini, ia tak sempat
sarapan, dan ia tak memiliki banyak waktu. Ia menyipitkan matanya, walaupun bersusah payah
memutuskan, pilihannya akan tetap jatuh pada menu yang sama setiap harinya, yaitu,

“Iced latte satu,” ujar seseorang dengan nada berat khasnya, yang tentu bukan suara Jang Gyeoul.
Suara itu berasal dari belakang antreannya, memotong kalimat Gyeoul yang bahkan belum sempat
keluarkan dari lisannya. Meninggalkan bibirnya yang masih terangkat. “Dan satu hot latte, ah,
tolong dibuat hangat saja,” tambahnya lagi dengan simpul manis pada staff cafe di akhir kalimat.

“Profesor?” Wajah Gyeoul terlihat lebih cerah setelah tahu pria yang berada tepat di sampingnya.
Jeong Won mengembangkan senyum lebar pada wanita di hadapannya.

“Good Morning, Dr. Jang!”

Jang Gyeoul menjawab salamnya dengan lengkungan cantik di kedua bibirnya, yang tentu berhasil
menarik jatuh hati dokter bedah pediatrik tersebut. Sembari pesanan mereka dibuat, Jeong Won
memulai percakapan singkat dengan residennya di depan meja kasir (oh tentu, mereka tak lupa
kalau mereka masih di rumah sakit).

“Apa kau ada jadwal operasi hari ini?”

“Ada, Profesor. Hanya operasi kecil, tak akan lama.” Jang Gyeoul berbicara sembari sedikit
mendongak. Berusaha menyamakan figur lelaki yang tinggi di sampingnya. Hal kecil ini berhasil
Jeong Won temukan beberapa kali setiap mereka berbicara. Menjadi hobi baru bagi Andrea
belakangan ini, tak lain dan tak salah lagi, bercengkerama dengan Jang Gyeoul.

Jadwal yang padat dan bertabrakan membuat mereka terkadang tak punya banyak waktu senggang
hanya untuk berbincang. Pasangan tersebut berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan setiap
celah untuk bertemu dan menghabiskannya bersama, walau hanya beberapa menit. Atau bahkan
dengan hanya saling bertatapan dari jauh ketika berpapasan, sudah membuat mereka merasa cukup.
Dan mereka melakukannya diam-diam.

“Nanti siang mau makan bersama di kantorku?” tanya Jeong Won yang tanpa Gyeoul sadari, sudah
memangkas jarak di antara mereka. Membiarkan pundak mereka saling bersentuhan.

“Ne,” Gyeoul mengangguk tanpa pikir panjang. Eh? Dokter tersebut baru ingat, hari ini ada rapat
kecil sebelum waktu istirahat, mungkin ia akan sedikit terlambat. “Tapi Profesor...”

“Ini pesanannya, apa ada tambahan?” Suara kasir memotong percakapan mereka. Gyeoul langsung
mengalihkan perhatiannya pada dompet yang ia pegang, mengeluarkan kartu atm. Di saat yang
bersamaan, Jeong Won juga menyerahkan kartunya pada kasir, yang tentu membuat staff cafe
tersebut bingung kartu mana yang harus ia ambil.

Jeong Won menyodorkan kartunya lebih depan dengan menaruhnya di meja kasir, ia kemudian
mengambil dua roti mini rasa coklat di keranjang dekatnya sambil berbicara, “ditambah ini.”

Tangan kanan Ahn Jeong Won menarik turun lengan Gyeoul yang masih mengulurkan kartu
miliknya, memberikannya aba-aba untuk menaruhnya kembali. Namun, anehnya, bukannya
dilepaskan, Jeong Won dengan sengaja terus menggenggamnya, menyembunyikannya di bawah
meja kasir. Pria itu kemudian memasukkan kedua roti yang ia beli ke saku jas dokter Gyeoul.
Setiap gerakan yang ia lakukan, sangat hati-hati, bahkan kalau boleh dibilang, orang-orang di
sekitarnya tak akan menyadarinya. Dan semua itu berhasil membuat pipi Gyeoul memerah hingga
ke telinga. Jeong Won menekan bibirnya, matanya berusaha fokus pada pesanan dan kasir di
hadapannya.

Setelah selesai melakukan pembayaran, barulah pria itu membebaskan tangannya dari Gyeoul. Ia
meraih latte pesanannya, dan memberikan minuman satunya lagi pada pacarnya.

“Selamat bekerja, Dr. Jang. Semoga harimu menyenangkan,” bisiknya tepat di samping telinga
sebelum pergi terlebih dahulu, membiarkan Gyeoul membeku di antrean cafe. Bersusah payah
wanita itu menenangkan debaran jantungnya yang berpacu kencang. Saat nyawanya kembali, ia
ingat, dirinya lupa memberi tahu Jeong Won kelanjutan kalimatnya yang belum selesai tadi.

***

Only great things will happen to us everyday

Just like your sweet smile

Dokter bedah pediatrik itu mendorong pintu ruang kantor departemen bedah umum sembari
menggenggam ponsel di tangan kanannya. Matanya menyapu ruangan hanya untuk menemukan
rekan kerja satu departemennya tengah memasang wajah serius, mengelilingi residen satu-satu
mereka, Jang Gyeoul.

“Aku yakin aku beruntung kali ini,” celetuk Ikjun membuat seluruh pasang mata di dalam sana
memandangnya garang.

“Dari mana kau tahu hal yang belum pasti!” Lee Jihoon berseru, memberikannya tatapan sengit.

“Mau bertaruh?” Lee Ikjun memberikan senyum menyeringai, menantang musuh bebuyutan yang
duduk di seberangnya itu. Mereka mulai berdebat dan tak menyadari kehadiran Ahn Jeong Won
yang mulai mengambil tempatnya di salah satu kursi.

“Kenapa kau ikut duduk?” Hwang Bae-Jin menatapnya curiga, tak biasanya Jeong Won mengikuti
kegiatan rutin yang mereka lakukan ini.

“Apa duduk disini dilarang?” Ahn Jeong Won membalas jawaban rekan kerjanya itu dengan
cemberut.

“Tidak juga. Tapi bukannya kau tak ada operasi dalam waktu dekat?”

Ahn Jeong Won memiringkan kepalanya sembari berkedip beberapa kali. Bingung harus
menjawab apa, karena sejujurnya ia kemari hanya untuk menjemput Jang Gyeoul ke kantornya.
Mereka sudah berjanji akan makan siang bersama. Di sisi lain, Lee Jihoon dan Lee Ikjun masih
memperdebatkan hal yang sama, berusaha menyingkirkan dua map di atas meja (tentu saja punya
mereka).

“Aish, sudah, sudah, sudah! Berhenti berdebat!” Profesor Myung menengahi, membuat kedua pria
tua yang sedang bertengkar seperti anak TK duduk kembali di tempatnya masing-masing.
Sosoknya pun menolong Ahn Jeong Won di saat bersamaan. “Dr. Jang, santai saja. Kau bebas
memilih,” tambah dokter tersebut, kini meyakinkan Gyeoul yang gugup ditatap atasannya.

Gyeoul melirik ke arah Jeong Won yang bediam beberapa kursi darinya. Memperhatikannya
dengan seksama sembari memberikan sorot mata meyakinkan. Dokter Jang menarik nafasnya,
berusaha bersikap tenang ketika mata-mata elang mengawasinya dengan tajam.

Ia mengarahkan kedua tangannya pada salah satu map kuning yang terletak tepat di depan Profesor
Lee Ikjun, kemudian menariknya mendekat ke hadapannya. Sejurus kemudian, Ikjun melompat
girang, mengepalkan tangan kanannya sambil mengucap syukur. Sedangkan sisinya, memasang
wajah frustasi, kecewa, dan menghempaskan punggung mereka ke sandaran kursi, kecuali Ahn
Jeong Won yang tetap menatapnya dengan sorot mata penuh pengakuan. Dan lagi-lagi, dua
profesor dengan marga yang sama, Profesor Lee, beradu argumen. Membuat ramai kantor, seakan-
akan mereka berada di medan perang saat itu.

“Sudahlah, terima saja hasilnya!” ujar Ikjun pada Jihoon dengan nada mengolok.

“Dah~ Sudah, sudah! Sekarang ayo kita makan siang, sebelum waktunya habis! Ayo!” Profesor
Sung menyerah, ia sudah lapar sekarang. Para profesor pun berdiri dari kursinya, membereskan
berkas di atas meja, mengambil map mereka masing-masing.

“Ah iya, Dr. Jang, apa kau mau ikut kami makan siang?” tanya Profesor Myung yang sudah berdiri
bersama Im Chang Min.

Jang Gyeoul menggeleng, menolak dengan sopan, beralasan bahwa ada beberapa data pasien yang
harus ia selesaikan sebentar lagi.

“Aigoo, uri Jang Gyeoul Seonsaeng, benar-benar bekerja keras. Jangan terlalu memorsir waktumu!
Kau juga harus makan!”

“Keuree~! Jangan membuat kami cemas, Dr. Jang,” Profesor Lee menimpali, membenarkan
nasihat teman satu departemennya itu. Lee Ikjun memperhatikan mereka semua dengan tatapan
penuh selidik, sembari menganggukkan kepala. Berusaha memikirkan skenario nakal yang akan ia
mainkan di meja kali ini. Entah untuk ke berapa kalinya.

“Aninde, kita sepertinya tak perlu mencemaskan Dr. Jang lagi sekarang ini,” Ikjun menggoda Jang
Gyeoul setelah berpikir beberapa saat. Sesekali pupil matanya melirik ke arah Ahn Jeong Won
yang duduk satu kursi darinya.

“Wae?”

“Ani~ Maksudku, Jang Gyeoul terlihat bahagia akhir-akhir ini. Jadi kurasa kita tak perlu banyak
khawatir. Atau...apa mungkin itu hanya perasaanku saja?” Ikjun menjelaskan sembari mengangkat
bahunya, memandang yang lain dengan sorot mata tenang. Aktingnya sungguh luar biasa natural.

"Sungguh?” Mereka saling bertatapan, bertanya satu sama lain.

“Tentu saja! Kita harus berharap yang terbaik untuk Dr. Jang, bukan? Ucapanmu adalah do’a!”
Semua orang di dalam sana menganggukkan wajahnya, sependapat.

“Kau sepertinya makin sibuk, tapi kuharap kau baik-baik saja. Pastikan kau bersenang-senang di
usia mudamu! Atau setidaknya kau punya waktu berkencan, Dr. Jang.”

“Aah benar! Apa mungkin kencanmu berjalan baik, Dr. Jang?” celetuk Lee Jihoon tiba-tiba. Ikjun
mengeluarkan seringainya, berhasil memancing salah satu dari mereka.

“Majja! Bagaimana kabar pacarmu? Yang mengirimkan buket bunga saat itu, Dr. Jang? Apa
semua berjalan lancar?”

Dokter-dokter tersebut mengurungkan niat mereka untuk pergi. Dengan wajah antusias, mereka
memutuskan untuk menetap sejenak, menantikan jawaban residen kesayangan mereka.

“Ah uhm... itu...” Gyeoul tergagap, melirik ke arah Jeong Won yang juga tampak tegang di
kursinya. Pria itu meluruskan punggungnya, berpura-pura ikut menunggu jawaban dari pertanyaan
yang dilontarkan padanya. Lee Ikjun memperhatikan pasangan tersebut dengan seksama, seakan-
akan menonton part terseru dari sebuah film layar lebar, ingin melihat bagaimana respon yang akan
mereka berikan.

“Itu se.. sebenarnya, aku sudah lama tak berhubungan dengannya.”

Pernyataan Gyeoul menghasilkan lenguhan kecewa dari para profesornya. Lee Ikjun pun bahkan
ikut memasang wajah frustasi, pura-pura meringis, membuat Jeong Won mengerutkan alisnya
sembari memberinya tatapan tajam dan kembali menghempaskan bahu lebarnya ke sandaran.

“Tak apa, Dr. Jang. Aku bisa mengenalkanmu dengan orang baik lain kali.” Profesor Myung
mengusulkan saran tak terduga, membuat yang lain mengangkat wajah mereka ke arah pria
tersebut.

“Ey, aku juga punya kenalan, Dr. Jang. Dia seorang dokter dan masih muda. Mungkin pasangan
sesama dokter akan berjalan lebih baik!” Kini Profesor Hwang menimpali, tak mau kalah.

“Tak usah jauh-jauh. Di departemen radiologi pun masih banyak lelaki lajang. Salah satu temanku
ada disana, dan dia orang yang sangat ideal untuk dijadikan pacar.” Profesor Lee Jihoon angkat
suara, membuat yang lain berdecak tak percaya. Tentu saja para dokter tahu siapa saja anggota
radiologi disana. Perdebatan pun tak bisa dihindari, Gyeoul hanya bisa diam memperhatikan
kebisingan di meja, sementara Jeong Won, dengan ekspresinya yang mudah dibaca, terlihat sama
sekali tidak senang. Ia terganggu dengan suasana disana.

Lee Ikjun yang biasanya ikut menjadi biang keributan, kini tak ikut campur. Menurutnya ada yang
lebih menarik daripada ikut beradu mulut. Lagi pula ia tak punya orang yang bisa disarankan untuk
Jang Gyeoul selain Ahn Jeong Won. Tentu saja, Ikjun adalah cupid yang paling sukses sejauh ini.
Jadi, untuk apa dia mengenalkan Gyeoul dengan orang baru kalau usahanya saja sudah
membuahkan hasil?

Kehebohan mereka usai ketika nada dering ambulans tiba-tiba berdenging di telinga. Tentu tak ada
yang tak tersentak dengan bunyi tersebut. Mereka tak percaya dokter bedah pedriatik tersebut
menggunakan sirine sebagai suara panggilan. Jeong Won dengan panik mengangkat ponsel
hitamnya yang ia taruh di saku kiri jas dokternya.

"Iya? Saya sendiri. Bagaimana keadaannya?” Pria itu menjawab sambungan telepon sementara
profesor lain kini melanjutkan obrolan mereka, yang tentu, tidak seramai tadi. Mereka lelah
menghabiskan energi mereka sedangkan mereka bahkan belum melahap jatah makan siang mereka.

“Dr. Jang, kau bisa temani saya? Ada panggilan darurat,” pinta Jeong Won setelah memutuskan
telepon dengan muka seriusnya.

“Ya! Jangan mengambil waktu makan siang Dr. Jang, Ahn Jeong Won,” Lee Ikjun mengeluarkan
kalimat dari lisannya setelah sekian menit terdiam.

“Tidak apa-apa, Profesor. Aku bisa mengatasi ini,” Jang Gyeoul tersenyum ke arah Profesor Lee,
berusaha meyakinkan.

“Tapi Dr. Jang, kau belum memberi kami jawaban!” Lee Jihoon dan Hwang Bae-Jin
memonyongkan bibirnya, merajuk.

“Sudahlah. Apa ini lebih penting dari panggilan darurat?” Ahn Jeong Won hampir kehilangan
kesabaran, ia menyembunyikan dua tangannya yang terkepal gemas ke dalam saku. Berusaha
menahan diri.

"Ahh, tentang itu... gwenchanayo, Gyosunim. Tidak perlu repot-repot memperkenalkan aku dengan
orang lain. Aku sudah menemukan orang yang jauh lebih baik sekarang ini. Doakan semoga kali
ini berjalan dengan lancar,” Jang Gyeoul menjawab dengan nada tegas sembari memberikan
senyuman tipis. Wanita itu berharap para atasannya mengerti dengan kalimat terakhirnya sebelum
ia meninggalkan ruangan tersebut bersama Ahn Jeong Won.

Mungkin lain kali. Iya, lain kali di waktu yang lebih tepat pasangan tersebut akan
mengumumkannya pada mereka. Mungkin tidak untuk sekarang ini.

I would no longer worry about our days

I just want to hug you now

***

“Profesor, maafkan aku soal yang tadi,” ujar Gyeoul ketika beberapa orang di dalam lift telah
keluar dari dalamnya, menyisakan mereka berdua yang berdiri berdampingan. Pandangannya tak
luput dari lantai, lebih tepatnya menunduk.

“Aniya. Bukan salahmu, kenapa kau yang minta maaf,” Jeong Won bergumam, menjawab ucapan
Gyeoul tanpa melihat ke arahnya. Dan hal itu berhasil membuat Gyeoul bingung akan sikapnya.

“Profesor?” Gyeoul memanggil Jeong Won sembari mengangkat wajah ke arahnya. Jeong Won
hanya membalas tanpa menoleh. Gyeoul coba mengulangi perkataannya sekali lagi.

“Profesor?”

Dan responnya tetap sama, Jeong Won mengeratkan jas putihnya dengan tangannya yang ia kubur
di dalam jas putih dokternya.

“Profesor, kau cemburu?” Gyeoul berterus terang, langsung ke inti pembicaraannya. Jeong Won
seperti tersiram air dingin, tiba-tiba membatu. Ia kemudian memutarkan badannya pada Gyeoul,
tapi matanya tak bisa memandang lurus ke kedua binarnya.

“Ani.” Pria itu menggeleng singkat.

“Kalau begitu maaf,” Gyeoul kembali menyembunyikan wajahnya, tak lagi berani menatap
kekasih sekaligus profesor yang tengah berdiri di depannya.

“Sudah kubilang, kau tidak salah. Seharusnya mereka yang minta maaf."

"Kenapa pula mereka penasaran sekali dengan pacarmu? Apa tak pernah terpikir oleh mereka
kalau aku ini pacarmu? Apa aku sungguh tak memenuhi kriteria?” Jeong Won akhirnya mengomel,
mengeluarkan unek-unek yang ingin sekali ia ucapkan.

Gyeoul terkekeh mendengarnya. Jadi seperti ini ‘jealous Ahn Jeong Won?’

“Bukan begitu, Profesor. Mereka pasti tak pernah terpikir hal itu karena mereka tahu kau tak
pernah dekat atau berkencan dengan siapa pun. Jadi... ya seperti itu,” papar Gyeoul sembari
tersenyum hangat pada lelaki jangkung dengan bahu lebar di hadapannya. Oh tidak, senyuman itu
adalah kelemahan Ahn Jeong Won.

“Ya sudah. Biarkan mereka berasumsi. Lagi pula aku tahu siapa pacarmu sebenarnya.” Jeong Won
memberikan tatapan sombong, membuat Jang Gyeoul lagi-lagi tertawa. “Terima kasih sudah
memberi tahu mereka bahwa kau telah menemukan orang lain di hatimu, Gyeoul-ah.” Dokter
bedah pediatrik itu mengembangkan simpul manis sebelum akhirnya melihat ke arah jam tangan.

“Sebelum waktu makan siang habis, ayo kita makan dulu.”

“Bukannya kita harus ke IGD?” Gyeoul mengerutkan keningnya, baru sadar bahwa Jeong Won
dari awal memang tidak memencet lantai menuju ruangan darurat tersebut.

“Siapa yang bilang kita akan ke IGD? Aku hanya bilang kita dapat panggilan darurat bukan?” Jelas
Jeong Won, membuat wanita tersebut mengernyitkan dahi. “Itu bukan panggilan dari ER. Akulah
yang dalam keadaan darurat tadi. Dan panggilannya berhasil menyelamatkan kita. Karena itu
kusebut panggilan darurat.”

“Dan darurat karena kita belum makan.”

Jeong Won lagi-lagi tersenyum mendengar kalimat residennya. Ia mengingat betapa tepat
waktunya staf yang bekerja untuk program daddy long legs-nya menelepon. Benaknya kini
menimbang, apa sekarang waktu yang tepat untuk memberitahu Jang Gyeoul tentang programnya
ini?

“Gyeoul-ah, aku ingin menceritakan sesuatu padamu. Tapi kurasa kita harus cepat-cepat makan
dulu sekarang,” Jeong Won kembali mengangkat pergelangan tangannya yang menampilkan jam
hitam. “Aku akan pesan Jjajangmyeon karena kita harus cepat-cepat, apa kau tidak apa-apa?”

Mendengar Jjajangmyeon, kedua bola mata Gyeoul pun berbinar. Semangatnya seperti terisi ulang,
ia pun berkata, “Aku suka.” Ia tersenyum antusias menampilkan lesung pipinya yang manis.

Jeong Won tak bisa menahan lagi untuk tidak menyentuh kedua lubang di dekat sudut bibirnya
tersebut. Ia pun menyentuh pipi Gyeoul dengan telunjuknya. Jang Gyeoul mendongak ke arah
Jeong Won yang sudah mendekatkan posisinya ke Gyeoul, gemas. Dengan menekan rahang atas
dan bawahnya, Jeong Won mencubit pipi kenyal Jang Gyeoul. Membuat kedua mata Gyeoul
spontan menyipit. Dan Jeong Won tentu menyukainya. Ternyata menyentuh pipi Gyeoul adalah
hal yang mengasyikkan untuknya. Terlalu asyik sampai lupa pintu lift sudah terbuka.

“Ah, mataku!” Kim Junwan merutuki pemandangan di hadapannya, ia kemudian berkata,


“haruskah kuberitahu kalian definisi kaca tembus pandang?”

“Lain kali, jangan pakai lift yang ini. Kalu bisa naik tangga saja!”

When I fall in love

with you even the dreams that would soon disappear come to me sweetly

Right now

I believe in this moment


Oh When I fall in love with you
Beautiful My Love
Chapter Summary

Ahn Jeong Won for Jang Gyeoul.

Chapter Notes

Maaf untuk slow updatenya huhuhu, aku lagi dalam minggu-minggu UTS kali ini,
mohon doanya~ Btw, makasi banyak untuk dukungan dan komen kalian, huhuhu, aku
udah baca berkali-kali, tapi maaf huee belum sempat kubalas.

Kali ini Urban Zakapa - Beautiful My Love ( )! Bab nya cukup panjang, jadi
selamat membaca~

“Selamat pagi, Dr. Jang!” Chu Minha meletakkan sarapannya tepat di hadapan Jang Gyeoul yang
sedang sibuk dengan aktivitas rutinnya pagi hari itu. Hiruk pikuk kantin di Pusat Medis Yulje
sudah terlihat di depan mata walaupun hari baru saja dimulai. Para staf rumah sakit tengah mengisi
perut mereka untuk memasok energi, agar mereka siap bekerja secara maksimal untuk hari yang
panjang seperti waktu yang lalu. Dan lagi, kedua dokter residen itu berhasil bertemu satu sama lain
di dalam lautan keramaian.

“Pagi,” Jang Gyeoul menjawab singkat tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel di tangan
kanannya. Ia memasang alarm dan mengecek kontak masuk, takut-takut Ahn Jeong Won
menghubunginya tiba-tiba ketika Gyeoul tidak sendiri.

“Aigoo, makanlah dengan benar, baru kau buka ponselmu!” ujar residen obgyn tersebut
menasehati Gyeoul yang tampak sibuk. “Kau shift tiga hari berturut-turut lagi?”

“Iya, aku sedang buru-buru. Sebentar lagi ada jadwal operasi dengan Profesor Kwon,” tutur Gyeoul
memberi alasan setelah menganggukan kepala. Chu Minha menggeleng, memberikan tatapan iba.
Dokter residen tahun ketiga itu tentu mengerti betapa lelahnya piket berhari-hari. Minha jelas
pernah mengalaminya saat salah seorang rekan satu departemennya lari dari tanggung jawabnya.
Mengakibatkan tugas yang ia dapat menumpuk berkali-kali lipat. Mengingatnya saja membuat
Minha menggertakan giginya karena emosi, ia bersumpah tak ingin menjalankan hari-hari
mengerikan itu lagi lain kali.

“Apa aku terlihat sangat berantakan?” Jang Gyeoul bertanya, merapikan rambutnya melalui
pantulan wajahnya di layar ponsel. Wanita bermarga Chu dihadapannya mengerutkan kening, tak
berkutik. Merasa aneh dengan Gyeoul yang tak biasa memperhatikan penampilannya.

“Sudah, sudah. Kau berantakan pun tetap terlihat cantik,” Minha menjawab, memuji Gyeoul yang
tampak begitu lelah, “tapi kenapa wajahmu pucat? Kau sedang datang bulan?” tambahnya lagi
dengan mata mengamati. Ia mulai hafal dengan kebiasaan temannya itu.

“ Ne . Ini hari pertamaku,” ujar Gyeoul kembali tenggelam dengan makanannya. Minha
memberikan sorot belas kasihan pada temannya. Wanita jelas mengerti betapa menyiksanya hal itu,
apalagi hari-hari pertama. Ugh. Menyakitkan.

“Apa kau sudah istirahat?” tanya Chu Minha lagi, Jang Gyeoul menggeleng sebagai balasan.

Chu Minha menghela nafasnya berat, “kau butuh istirahat! Makan dan minumlah yang banyak Dr.
Jang. Di saat seperti ini kau butuh cairan yang melimpah,” nasihat Chu Minha lagi. “Oh iya,
jangan sembarang minum obat lagi!” peringatnya dengan ekspresi sedikit khawatir.

Bagaimanapun wanita bermarga Jang itu adalah seorang dokter, ia pun mengangguk paham. Ia
harus berhati-hati selama datang bulan. Mengingat kejadian beberapa bulan lalu ketika ia dilarikan
ke ER karena alergi yang dipicu obat menstruasi, membuatnya harus waspada. Ia tak ingin
kejadian tersebut terulang lagi. Terlebih sekarang ia tak sendirian, ada Jeong Won yang akan mati
cemas bila sesuatu tak baik menimpanya.

Kegiatan dua dokter tersebut terhenti ketika ponsel Jang Gyeoul berdering, menampilkan
panggilan dari Profesor Kwon. Wanita itu langsung bergegas merapikan makanannya yang belum
habis, tak lupa berpamitan dengan Chu Minha. Ternyata telepon yang ia tunggu lebih cepat
berdering daripada alarm yang ia pasang, dan ia harus mempersiapkan dirinya untuk kembali
bekerja.

“ Ya, Dr. Jang. Jangan lupa lepas jepit rambutmu sebelum masuk ruang operasi!”

**

“Kerja bagus semuanya. Oh iya, Dr. Jang, kau harus istirahat setelah ini,” ucap Profesor Kwon
sebelum pergi dari ruang operasi. Jang Gyeoul kini terduduk di kantor departemen bedah umum
dengan ponsel di mejanya. Ia tak menyangka operasi kali ini cukup memakan waktu.

Wanita itu menengok ke arah jam dinding, pukul dua siang, dan ia belum mendapatkan makan
siangnya. Kepala, punggung, pinggang, panggul, dan perutnya terasa nyeri. Begitu pula
tenggorokannya yang terasa perih. Komplit sudah anggota badannya menderita. Jadwal bulanannya
memang tak pernah berjalan baik. Pundak dan tengkuknya terasa pegal, akibat berdiri berjam-jam
di ruang operasi dan kerja siang-malam tanpa henti.

Badannya terasa remuk. Tapi ia tahu, setumpuk pekerjaan menantinya. Ada beberapa hal lagi
yang harus ia selesaikan. Wanita itu membuka ponsel dan memencet ikon obrolan di laman menu.
Tertera beberapa pesan dari Profesor Ahn yang belum ia baca. Lelaki itu mengatakan akan
langsung masuk ruang operasi sesampainya tiba di rumah sakit. Ia juga berpesan agar Gyeoul tak
telat makan dan istirahat setelah shift berakhir.

Gyeoul tersenyum hangat. Rasa lelahnya menguap selepas pesan tersebut sampai pada dirinya.
Walaupun hanya beberapa deret kalimat, dan ia belum bisa mendengar suara atau melihat wajah
Jeong Won, Gyeoul tetap bahagia. Jadwal yang padat dan kadang bertabrakan, membuat dirinya
dan Jeong Won seringkali tak bertemu walau bekerja di tempat yang sama.

Wanita itu menaruh kepalanya di atas meja dengan tangannya yang terlipat sebagai bantal.

Ia merindukan Jeong Won. Tidak bertemu dengannya sejak pagi membuat Gyeoul merasa
kekurangan pasokan energi dan semangat. Ia harap, operasi Jeong Won berjalan dengan lancar dan
cepat selesai.

“Gyeoul-ah,” panggilan seseorang dari arah pintu membuat Gyeoul tersentak. Ia menolehkan
kepalanya ke arah Profesor Lee Ikjun yang tengah berdiri dengan beberapa map di tangannya. Ah
iya, Gyeoul ingat, habis ini jadwalnya berkeliling dengan Profesor Lee.

“Kenapa kau melamun? Aku panggil beberapa kali tapi kau tak menengok sama sekali,” ujar Lee
Ikjun berjalan ke arah Jang Gyeoul. “Ada sesuatu yang mengganggumu?”

Gyeoul menggeleng. Tidak ada. Semuanya baik-baik saja tanpa ada sedikit masalah.

“Apa kau sudah istirahat? Lihat! Kau sangat pucat!” tanya Ikjun sembari memperhatikan
residennya yang mulai membaca setumpuk chart yang Ikjun beri, kembali bekerja.

“Aku tidak apa-apa, Profesor. Ini hanya akibat dari datang bulanku,” ujarnya mengelak sembari
tersenyum. Kini kepalanya bertambah pening dan badannya terasa lebih hangat.

“Kau sudah makan siang? Mau kupanggilkan Jeong Won?” tanya Lee Ikjun lagi khawatir.

“Tidak usah, Profesor. Lagipula Profesor Ahn sedang ada operasi dan sebentar lagi kita akan
berkeliling,” jawab Gyeoul lagi, berusaha meyakinkan Lee Ikjun yang tampak cemas.

“ Arasseo ,” Ikjun menyerah. “Tapi kau sudah makan siang kan?” Ikjun kembali memastikan.
Gyeoul hanya diam tak menggubris.

“Kau tak kuperbolehkan keliling bila tak makan siang,” ancam Lee Ikjun pada Gyeoul dengan
wajah serius, tak ada nada main-main dalam kalimatnya.

“Dr. Jang, tugasmu sebagai seorang dokter memang menyelamatkan dan merawat pasien. Tapi,
sebelum melakukan hal itu, kau juga harus merawat dan peduli dengan dirimu sendiri dulu,” ucap
profesor bedah umum itu pada residennya. “Mau aku belikan sandwich di bawah?”

Gyeoul memberikan lengkungan di bibirnya. Ia bersyukur mempunyai mentor seperti Profesor Lee
yang sangat perhatian. Sebenarnya, seluruh profesor pun menyayanginya dengan tulus, hanya saja,
Profesor Lee Ikjun sedikit berbeda dari mereka. Lee Ikjun bisa menjadi mentornya, sahabatnya,
ayahnya, manajernya, atau bahkan biro jodohnya. Dan Gyeoul merasa berterima kasih akan hal itu,
keberuntungan apalagi yang ia dapatkan?

Jang Gyeoul mengangguk pasrah. Tak bisa melawan ocehan Ikjun lagi. Lee Ikjun bahkan
melarangnya untuk ikut keluar bersamanya untuk membeli Egg Drop favorit mereka bersama-
sama. Sementara pria itu pergi, Gyeoul merebahkan kembali kepalanya. Kini rasa nyeri itu kembali
lagi. Bahkan lebih terasa dari sebelumnya.

Ketika Profesor Lee berada di sekitarnya, Gyeoul hanya mencoba menahan rasa sakitnya. Beban
di kepalanya lagi-lagi terasa amat berat. Penglihatannya sedikit buram karena matanya yang cukup
berair dan panas. Sepertinya suhu tubuhnya naik. Ia menempelkan punggung tangannya di dahi.
Badannya sedikit demam.

Ia harus bertahan, sebentar lagi tugasnya akan selesai. Gyeoul mencari air mineral di ruang kantor
dengan badannya yang ia seret lemas, namun ternyata airnya habis. Tak ada seorang pun disana
selain dirinya. Mungkin beristirahat sebentar, memejamkan matanya sembari menunggu Profesor
Lee, cukup untuk membuatnya sedikit pulih. Ia pun memilih hal tersebut, kembali duduk, dan
menutup kedua matanya. Dengan nafasnya yang tidak teratur, ia menjadikan kedua lengannya
sebagai bantalan di atas meja, entah tertidur ataupun tak sadarkan diri.

**

Lee Ikjun berjalan di lorong sembari membawa empat buah sandwich double bacon kesukaan Jang
Gyeoul di tangan kanannya. Ia kemudian membuka pintu kantor dan berhenti bersenandung ketika
menyaksikan residennya itu tertidur pulas dengan kepala di atas meja. Sepertinya ia menghabiskan
terlalu banyak waktu untuk sekedar memesan sandwich, sampai-sampai Gyeoul sudah jatuh
terlelap.

Lelaki empat puluh tahun itu menghela nafasnya, berjalan pelan, duduk di kursi, dan berusaha tak
membuat suara yang bisa membangunkan Jang Gyeoul. Alhasil ia hanya bisa menggeletakkan
makanannya di dekat Gyeoul.

Pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok lelaki berperawakan tinggi. Disana, Profesor Lee Ji
Hoon masuk sembari membawa beberapa dokumen.

“Dr. Jang tidur? Tak biasanya ia tertidur saat jam kerja,” ujar Profesor Lee memperhatikan Gyeoul
di hadapan Ikjun. Lee Ikjun mengangguk.

“Ia lelah. Wajar saja kalau tidur. Ini hari ketiganya bertugas,” bela Lee Ikjun seraya menatap iba
residennya. Menjadi satu-satunya dokter residen dan kepala residen di departemen bedah umum
membuatnya terus berlari kesana kemari. Wanita itu sekalipun tak pernah mengeluh atau kabur
dari pekerjaannya, “aigoo , ia bahkan lupa melepas kacamatanya saat tidur,” sambung Ikjun. Tak
biasanya Gyeoul tidur dengan sepasang lensa kaca di wajahnya, ia hafal dengan kebiasaan kecil
tersebut setelah beberapa kali melihat Gyeoul beristirahat disana.

Lee Ikjun mengamati wanita di hadapannya, kemudian menyadari sesuatu. Ia merasakan


keganjilan. Tak biasanya ia lupa melepas kacamata saat tertidur. Apa ia benar-benar lupa? Atau?

Tubuh Gyeoul mengeluarkan banyak keringat, banjir di kedua pelipis kanan dan kirinya.
Membasahi helaian poni dan anak rambut di sekitarnya. Beberapa kali ia terlihat menggigil atau
menggertakan giginya. Ia pun memandang Lee Jihoon yang juga melihat ke arah Lee Ikjun setelah
beberapa saat.

“Coba cek suhu tubuhnya,” ujar Lee Ji hoon paham akan tatapan Ikjun.

Lelaki itu menyentuh tangan Gyeoul yang berada lebih dekat dengannya. Mengetahui seberapa
hangat tangannya, Lee Ikjun segera bangkit dari kursinya. Menempelkan permukaan tangannya ke
dahi Jang Gyeoul.

Dengan cepat ia menoleh ke arah rekan kerjanya yang berdiri tak jauh darinya. Matanya melebar
merasakan suhu tubuh Gyeoul yang amat tinggi. Amat panas.

“Kita harus membawanya ke ER.”

**

가 가

I was getting tired from the world but then you came to me

가 가

And gave me sweet rain in my drought-filled heart

A song of hope that I forgot about newly sprouts


Now the days I live as I draw you out feels like a dream

Ahn Jeong Won membuka ponselnya tepat setelah ia selesai bicara dengan wali pasien mengenai
hasil operasi. Rasa senang di wajahnya mencerminkan betapa lancarnya operasi yang telah ia
lakukan. Walau prosedurnya memakan lebih banyak waktu kali ini, ia tetap bahagia karena
pasiennya menunjukan tanda-tanda pemulihan. Pria itu berjalan dengan scrubnya, mengecek
beberapa panggilan tak terjawab dari Lee Ikjun.

Ia pun membuka pesan masuk. Satu pesan balasan dari Jang Gyeoul dan setumpuk pesan baru dari
Lee Ikjun.

“ Semoga operasinya lancar, Profesor~ Aku akan segera berkeliling mengecek pasien rawat
inap dengan Profesor Lee. Sampai jumpa nanti^^”

Tidak terlalu panjang. Tapi cukup untuk membuat hatinya bergetar. Juga berhasil membuat Jeong
Won menarik kedua sudut bibirnya. Ia mulai mengetikan kalimat sebagai balasan. Kini lelaki itu
mengalihkan perhatiannya pada pesan paling atas, dari Lee Ikjun.

Apa yang terjadi dengan teman inssa-nya itu? Ia bahkan menelpon Jeong Won beberapa kali tadi.
Bukankah dokter pediatrik itu sudah beritahu padanya bahwa hari ini ada jadwal operasi? Ia juga
sudah menjelaskan bahwa dirinya tak akan ikut makan siang di kantor bersama teman-temannya.

Belum sempat ia memencet kiriman dari Lee Ikjun, panggilan masuk muncul di layar kacanya.
Bong Gwang Hyeon.

“Pasien berumur 6 tahun, alami nyeri dan rasa panas pada bagian perut dekat dada. Beberapa
kali sesak nafas dan batuk kering. Diagnosa awal terkena refluks gastroesofagus , tapi ibunya
bilang ia baru saja jatuh dari skuter mainannya. Dadanya terbentur stang cukup kencang, karena
takut ada hal lain, bisakah kau ke IGD dan mengeceknya?”

Jeong Won bergegas pergi menuju lift, melupakan pesan dari Lee Ikjun yang tadinya ingin ia buka.
Ketika dirinya sampai, matanya menyapu keseluruhan IGD, mencari dimana Dr. Bong berada,
sekaligus mengecek keberadaan Dr. Jang yang mungkin saja ada disana. Namun hasilnya nihil, ia
hanya menemukan teman sekolah kedokterannya itu.

Ahn Jeong Won berjalan melewati beberapa ruang dengan tirai tertutup. Ekor matanya menangkap
sosok wanita dengan seragam biru berbaring di salah satu ranjang melalui celah tirai. Tubuhnya
kurus dengan rambut coklat nampak familiar dari sisi samping. Pikirannya langsung terlempar
pada Jang Gyeoul.

Apa itu Jang Gyeoul?

Ia menggelengkan kepalanya. Aish , tak mungkin itu pacarnya. Jang Gyeoul sedang sibuk
berkeliling dengan Lee Ikjun sekarang, atau mungkin sudah selesai. Seharusnya seperti itu.
Keinginannya untuk melihat wajah Gyeoul sudah membuatnya berhalusinasi. Ia pasti salah lihat.

Menyingkirkan pemikirannya, ia pun langsung pergi ke arah Gwang Hyeon. Bertanya lebih rinci
tentang pasien dan berbicara pada sang wali.

“Kau sudah lakukan foto rontgen padanya?” Ahn Jeong Won bertanya pada Dr. Bong dengan
wajah sumringah. Bong Gwang Hyeon mengangguk sebagai jawaban. Mereka hanya perlu
mengecek keadaannya beberapa saat lagi setelah hasilnya keluar. Jeong Won menenangkan sang
wali dan pasien kecilnya dengan suara lembut.

Sambil menunggu beberapa saat, ia kembali mengecek keadaan pasien balita lainnya yang
mungkin masih berada di IGD. Selesai berkeliling, ia kembali menyalakan ponselnya. Melihat
layar kunci berlatar default, tak ada notif pesan masuk. Mungkin ia harus bertanya pada Ikjun
ataupun staf lain daripada mati penasaran tak menemukan keberadaan Jang Gyeoul.

“Jeong Won-ah, hasilnya sudah keluar,” panggil Gwang Hyeon berhasil mengurungkan niat Jeong
Won untuk membuka ponselnya. Ia memasukan kembali benda kotak tersebut ke dalam saku dan
melangkah menuju Gwang Hyeon.

“Tak ada luka parah atau serius di tubuh Jihyo, Bu. Hanya memar yang mungkin akan sedikit
membiru. Itu bisa diobati. Tapi Jihyo terkena refluks gastroesofagus . Itu sakit pada perut akibat
asam lambungnya naik. Hal ini membuatnya batuk, nyeri di dada, dan sakit saat menelan makanan.
Mungkin Jihyo juga akan merasa sakit saat berbaring, itu akan terasa nyeri,” papar Jeong Won
pada wali berusaha berhati-hati.

“Tapi tidak usah terlalu panik, Bu. Penyakit ini tak seserius yang dipikirkan. Apalagi ini masih
gejala ringan dan bisa diobati dengan baik,” Jeong Won berusaha menenangkan wali pasien. Sang
ibu yang merasa cemas berterima kasih pada dokter tersebut. Mereka berbincang beberapa saat
mengenai tahapan berikutnya untuk pemulihan pasien.

Jeong Won tersenyum setelah semuanya beres. Tak terasa hari sudah mulai sore. Ia harus
mengecek pasiennya di PICU dan pergi dari IGD. Sebelum beranjak, ia menyapukan kembali
pandangannya ke penjuru IGD. Belum ada tanda-tanda Jang Gyeoul disana.

“Mencari seseorang?” tanya Gwang Hyeon yang sadar akan gelagat Jeong Won sedari tadi. Hanya
dari wajahnya saja, ia dapat menebak apa yang Jeong Won tengah lakukan.

Dokter pediatrik itu menggeleng sebagai jawaban, berpura-pura membantah. Pria itu kembali
berdebat dengan pikirannya sendiri. Haruskah ia bertanya? Mungkin tidak aneh bila hanya
menanyakan keberadaan rekan kerjanya bukan?

“Gwang Hyeon-ah,” Jeong Won menghampiri Dr. Bong yang sudah berjalan beberapa langkah
lebih dulu darinya. “Apa kau lihat Dr. Jang? Aku tak bertemu dengannya dari tadi. Ada pasien
PICU yang harus kami cek beberapa saat lagi,” ia menambahkan sedikit alibi agar rekannya itu tak
curiga.

Gwang Hyeon mengerutkan keningnya, merasa bingung dengan pertanyaan Ahn Jeong Won. “Kau
tak tahu?” ucap dokter tersebut. Jeong Won tampak tak paham dengan kalimat Dr. Bong.

“Beberapa profesor sudah mengunjunginya. Tapi mungkin sebagian dari mereka juga belum dapat
kabar, sepertimu,” ujar Dr. Bong melipatkan kedua tangannya di depan dada. Perasaan tak enak
menyerang Jeong Won seketika. Dari kalimat Dr. Bong, tentu terdengar seperti suatu hal yang tak
beres menimpa Jang Gyeoulnya. Wajahnya tiba-tiba terasa kebas, memprediksikan sesuatu yang
tak baik terjadi.

“Dr. Jang Gyeoul alami demam tinggi. Badannya panas, dia tak sadarkan diri. Akibat kurang
istirahat, kram menstruasi, dan dehidrasi. Siang tadi Lee Ikjun dan Lee Jihoon membawanya
kemari,” jelas Bong Gwang Hyeon terus terang. Mendengar berita tersebut, kedua mata Jeong Won
melebar, terkejut. Badannya kaku membeku seperti disiram air es. Mengapa ia baru tahu hal ini?
Rasa cemas nampak begitu jelas dalam sorot matanya.
Apa mungkin?

“Kalau kau mencarinya, dia ada di ̶ ” belum selesai Bong Gwang Hyeon berbicara, Jeong Won
sudah melarikan dirinya, meninggalkan dokter tersebut dengan tatapan linglung. Lelaki itu
melangkahkan kakinya cepat menuju salah satu ranjang dengan tirai tertutup. Tirai dimana ia
melihat sekelebat bayangan wanita mirip Jang Gyeoul saat pertama kali tiba di ruang IGD.
Jantungnya berpacu kencang, bercampur aduk dengan perasaan tak karuan.

Perlahan ia menggeser tirai, memastikan pasien di dalamnya tak terganggu.

Dan tubuhnya mematung. Nafasnya tertahan ketika matanya menangkap seorang wanita dengan
scrub biru berada disana. Jang Gyoul terbaring di atas ranjang dengan mata terpejam. Wajahnya
cukup pucat dan terlihat amat lelah. Kedua tangannya tergeletak di atas perut. Bibirnya kering,
berwarna pucat, dan mengelupas.

Ahn Jeong Won terdiam lama, menggenggam erat tirai yang ia pegang.

Kini kedua lututnya terasa lemas.

Begitu juga dengan hatinya yang terasa sesak.

Dari kejauhan, Bong Gwang Hyeon tersenyum kecil, menggelengkan kepalanya. Sudah mengira
ini akan terjadi.

**

“Jeong Won-ah, Jang Gyeoul aku bawa ke IGD karena demam tinggi. Aku tak bisa
membawanya ke kantormu karena di sana tak ada yang menjaganya. Cepat datang kemari
setelah operasimu selesai.”

From : Lee Ikjun

**

When you can’t handle the weight of life

Though I am so lonely today

가 가

I can put aside my heart that crunched through a thorny forest

And help you to rest, my precious person

Jang Gyeoul terbangun dari tidur lelapnya yang (cukup) panjang. Ia mengusap indra
penglihatannya yang buram akibat bertelanjang tanpa kacamata. Badannya terasa lebih baik
dibanding beberapa waktu lalu. Kini otaknya berusaha memindai dimana lokasinya berada
sekarang dan ia sungguh tak ingat persis mengapa dirinya bisa berakhir di salah satu kasur ER
dengan tirai yang tertutup. Pikirannya ingat bagaimana ia dibawa kesana saat ia setengah sadar.

Ia menengok ke arah samping dan berhasil menemukan seseorang yang amat ia kenal tengah
menunduk di sana. Ahn Jeong Won menaruh kepalanya di atas kedua tangan yang ia lipat di
ranjang tempat Gyeoul berbaring. Jang Gyeoul terdiam cukup lama, untuk sekedar memperhatikan
pucuk rambut kekasihnya yang jarang sekali ia lihat. Terkadang, ia masih bertanya-tanya, apakah
ini adalah mimpi dan halusinasinya belaka akibat efek samping demam?

Wanita itu ingin sekali membelai dan merasakan rambut coklat Jeong Won dengan jari jemarinya
sendiri. Namun, ia sadar tempatnya. Mereka berdua masih berada di rumah sakit. Orang-orang bisa
melihatnya dan mengundang rasa curiga.

Mengurungkan niatnya, Gyeoul memutuskan untuk bangun dari posisi berbaringnya, berhasil
membuat Jeong Won mengangkatkan wajah.

“Ah, maaf Profesor. Aku membangunkanmu,” tutur Gyeoul perlahan, hampir berbisik. Kilatan rasa
bersalah muncul di antara kedua matanya yang terlihat merah dan lelah.

“Kau sudah bangun?” Jeong Won menggeleng setelah menyadari kalimat residennya. “Gwenchana,
aku memang tidak tidur.”

Gyeoul merasakan haus tiba-tiba, ia pun mencari keberadaan air putih yang mungkin bisa ia
minum. Beruntungnya, kedua mata Gyeoul berhasil menemukan segelas air di salah satu meja
dorong yang mungkin, sudah disiapkan oleh dokter IGD sejak ia tertidur, tempat yang sama
dimana barang-barang miliknya juga disimpan. Wanita tersebut bersusah payah mengambilnya
dengan tubuh yang lemas, namun usahanya tak kunjung berhasil.

Jeong Won yang menangkap keadaan tersebut beranjak dari tempatnya, membantu Jang Gyeoul
untuk meraih minum yang tak jauh dari tempatnya berada. “Ini.”

“Terima kasih banyak, Profesor.” Gyeoul mengambilnya dengan hati-hati. Sayangnya, kedua
tangannya terlihat bergetar dan kesulitan untuk meneguk air tersebut.

Jeong Won pun tersenyum, mengambil alih gelas yang dokter tersebut pegang, dan membantunya
mendekatkannya ke bibir pucat Gyeoul. Wanita itu lagi-lagi berterima kasih atas bantuan yang
Jeong Won berikan.

“Kau masih lemas. Sepertinya tanganmu bergetar karena kau belum makan, Gyeoul-ah. Aku akan
ambilkanmu sesuatu dulu,” Jeong Won pun dengan cepat berdiri, namun sepersekian detik
kemudian, langkahnya tertahan oleh tangan Gyeoul yang menarik lengannya.

“Terima kasih, Profesor. Tapi tidak usah repot-repot, aku belum ingin makan.”

“Ini sudah jam 7 malam dan kau belum makan dari pagi. Kau harus mengisi perutmu dulu, jangan
biarkan mereka kosong.” Jeong Won menurunkan genggaman Gyeoul di lengan bawahnya dengan
perlahan. "Setelah makan kau bisa minum obat."

“Tidak apa, Profesor. Aku bisa mengambil makan sendiri nanti ke kantin. Profesor tak usah
khawatir. Aku pasti sudah banyak memberatkanmu dan profesor lainnya hari ini.”

Jeong Won menghadapkan tubuhnya ke arah wanita tersebut, memiringkan kepalanya. "Hey, itu
tidak benar. Dan, Jang Gyeoul, jangan berbohong! Mana mungkin kau bisa mengambil makan
sendiri ke kantin dengan tubuh seperti ini!" Jeong Won berucap tegas.
"Andwae, akan kupastikan kau makan!" Gyeoul hanya bisa menekan kedua bibirnya, ia terdiam
masih dengan jari-jemari yang bergantung di pergelangan tangan Ahn Jeong Won. Profesor
tersebut memperhatikan hal tersebut dengan seksama, akhirnya membuat keputusan. “Baiklah,
kalau begitu aku akan tetap disini dan meminta Ikjun untuk bawakan bekal dari kantin ke sini.”
Dokter pediatrik itu berancang-ancang mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Ikjun. Tapi
Gyeoul lagi-lagi menarik sikunya.

“Jangan, tak usah memanggil Profesor Lee. Ia sudah membelikan sandwich untukku siang ini. Aku
tidak mau merepotkannya lagi.”

Jeong Won menatap Gyeoul serba salah dengan ekspresi bercampur aduk. Menangkap hal itu,
Gyeoul akhirnya meminta maaf, “Joesonghamnida, Gyosunim.”

“Ya ! Kau ini bicara apa? Berhenti meminta maaf. Kau sama sekali tidak merepotkan siapapun.”
Jeong Won mengerutkan alisnya setelah memotong kalimat Gyeoul. Ia tampak terganggu dengan
pernyataan yang Gyeoul lontarkan. Dan mungkin, ini untuk pertama kalinya, Jang Gyeoul
merasakan omelan Ahn Jeong Won (lagi) setelah lelaki itu resmi menjadi kekasihnya. “Seharusnya
aku yang minta maaf karena aku tak bisa memperhatikan dan menjagamu dengan baik,” lanjutnya
dengan nada bersalah, menatap Gyeoul dengan wajahnya yang sudah merona akibat ucapannya
barusan.

“Aniyo , Profesor. Ini semua bukan salah Profesor. Kau berada disini saja sudah sangat berarti
bagiku.” Gyeoul menunduk setelah menggeleng pelan.

“Profesor, aku hanya merasa bersalah. Sesungguhnya kejadian terakhir kali saat aku dilarikan ke
IGD karena alergi membuatku trauma. Aku tak mau lagi menyusahkan banyak profesor seperti
saat itu.”

Mendengar penuturan Gyeoul, Ahn Jeong Won menatap tegas kedua mata residennya itu. “Jang
Gyeoul. Sudah kewajiban kami menjagamu. Tak ada yang akan merasa terbebani karena
mengurusmu. Bahkan pada kenyataannya kaulah yang berhasil mengurus ke-13 profesormu. Kami
dengan sepenuh hati akan membantumu apapun kondisinya. Dan sudah menjadi keharusan bagiku
berada di sampingmu. Apalagi saat keadaanmu seperti ini. Jangan pernah mengucapkan kalimat itu
lagi, ya?”

"Tidak ada salahnya meminta bantuan. Kau tidak haru melakukan semuanya sendiri." Lelaki itu
menggenggam tangan Gyeoul erat sembari menekannya lembut. “Lain kali, kalau kau sudah
merasakan tanda-tanda tak enak badan, jangan memaksakan diri. Cepat beritahu aku bila terjadi
sesuatu.”

Gyeoul mengangguk sebagai tanda janji selepas mendengarnya, tak lagi menanggapi kalimat Jeong
Won sebagai balasan. Memperhatikan dan membiarkan jari jemari mereka saling bertautan satu
sama lain. Ia berusaha mengisi ulang energinya yang hilang serta menggantikannya dengan yang
baru melalui sentuhan tangan mereka. Lelaki itu tersenyum, pandangan mereka bertemu, dan Jeong
Won membuka bibirnya.

“Apa kau sudah lebih baik? Apa masih ada yang sakit?” Jeong Won akhirnya mengeluarkan
pertanyaan penting yang sudah ia tahan beberapa kali.

Gyeoul menggeleng sebagai jawaban, “aku baik-baik saja, Profesor. Ini hanya demam ringan dan
kelelahan. Tak usah terlalu cemas.”

Jeong Won tak yakin dengan apa yang Gyeoul ucapkan. Hal itu berhasil dokter muda itu tangkap
dari kilatan khawatir di wajahnya.
“Jeongmal mianhae,” ujarnya tanpa mengeluarkan suara setelah diam beberapa saat.
Mengisyaratkan betapa besar rasa cemas dan bersalah yang ia miliki terhadap Gyeoul yang
tumbang begitu saja tanpa sepengetahuannya. Ia menggeleng, tentu saja ini bukan salahmu,
Profesor Ahn.

Gyeoul menghela nafasnya pelan. Skenario yang tak diinginkannya akhirnya terulang. Kini ia
kembali ke IGD sekali lagi sebagai pasien, bukan sebagai dokter. Dan hal itu berhasil membuat
perasaannya campur aduk tak karuan, betapa lemahnya ia.

“Profesor, bisakah kita keluar dari sini? Aku tak mau berlama-lama di IGD.” Gyeoul
mengerucutkan bibirnya, berusaha menampilkan puppy eyesnya agar lelaki itu mengabulkan
permohonannya. “Masih ada beberapa hal lagi yang harus kukerjakan.”

“Dr. Jang Gyeoul, cemaskan dirimu dulu sebelum tugasmu! Kesehatanmu jauh lebih penting
daripada itu semua!” Jeong Won melipat kedua tangannya di depan dada, tak setuju dengan
Gyeoul.

“Tapi, Profesor, apa… tidak ada yang curiga kau ada disini? Kau bicara banmal dan kita masih
berada di rumah sakit…” ujar Gyeoul merendahkan volume suaranya. Ia berterus terang sambil
memasang wajah polosnya. Menyapu pandangannya ke arah tirai yang setengahnya terbuka, tak
sepenuhnya tertutup.

Hal itu berhasil membuat Jeong Won berkedip beberapa kali, bola matanya bergetar kesana
kemari, sembari mencerna kalimat yang lawan bicaranya katakan. Ia tersadar akan perlakuannya
yang sudah tak bisa lagi dikendalikan secara sempurna di depan Jang Gyeoul.

“Apa itu penting sekarang?” Jeong Won menyerah, tak berhasil menemukan balasan yang tepat
untuk dijadikan alasan sebagai tameng sikapnya. Melihat profesornya kebingungan, Gyeoul hanya
bisa menahan kekehannya. Ponsel dokter pediatrik itu pun berdering, menandakan panggilan dari
PICU. Setelah ia bicara singkat dan menutup sambungan, tatapannya kembali ke tempat Gyeoul
berada.

“Jangan kemana-mana, Dr. Jang! Setelah ini kau akan kuantar pulang dan kau harus istirahat di
rumah. Aku akan kembali setelah selesai cek pasien di PICU, aku tak akan lama,” ancam Jeong
Won pada Gyeoul yang menahan senyumnya sembari mengangguk, mengiyakan kalimat pria yang
tiba-tiba saja, kembali berubah dengan susunan bahasa formal. Ahn Jeong Won pun tersenyum
beberapa saat sebelum pergi meninggalkan Gyeoul.

You are my love, whom I’m thankful for

You are like a dream of May sunshine

Nights waiting for you, why do they feel so long?

You are my love, whom I’m thankful for


**

“Apakah keadaanmu sudah membaik, Dr. Jang?” Perawat Hui Sui membuka tirai saat mendatangi
Gyeoul yang tengah terduduk merapikan barang-barang dari atas ranjang IGD-nya. Dokter muda
itu mengangguk, bersiap untuk berdiri dan meninggalkan tempatnya. Gyeoul memutuskan untuk
mengabari Jeong Won bahwa dirinya tak mau berlama-lama di sana dan memutuskan akan pindah
ke on-call room. Ia lebih memilih memberikan tempat itu untuk pasien yang lebih membutuhkan,
takut-takut IGD kekurangan kasur untuk kasus darurat. “Syukurlah, kalau begitu.”

“Kali ini tampaknya para profesor tidak sepanik beberapa bulan yang lalu, saat dirimu pingsan
karena alergi, Dr. Jang,” ucap Perawat Hui Sui pelan pada Jang Gyeoul.

“Ye?”

“Ah, kemarin, saat Dokter Jang sakit dan dilarikan ke IGD, banyak sekali yang mengunjungimu,”
jelas Hui Sui singkat. “Sampai semua profesor departemen bedah umum datang satu persatu.”

Gyeoul mengangkat wajahnya setelah mendengar kalimat terakhir yang perawat cantik tersebut
ucapkan. “Se.. semuanya?” tanya Gyeoul memastikan. Salah satu alisnya terangkat tanpa ia sadari.

“Iya. Semuanya,” Hui Sui menjawab dengan yakin sembari tersenyum, tapi tiba-tiba ekspresinya
sedikit berubah saat ia mengingat sesuatu. “Ah, ada satu yang tak masuk ke dalam IGD, tapi ia
terus menunggu dari luar untuk beberapa jam. Ia bahkan menitipkan pesan padaku untuk
menjagamu.”

“Siapa itu kalau boleh tahu?”

“Profesor Ahn Jeong Won.”

Jawaban sang perawat berhasil membuat jantung Gyeoul berdetak lebih cepat sekejap setelah nama
Profesor Ahn disebut. Kini ia bahkan menahan nafasnya saat wanita muda berseragam lavender
tersebut menatapnya dengan lembut.

Perawat Hui Sui tersenyum hangat mengingatnya. “Ia terlihat sangat khawatir. Tapi anehnya, ia tak
juga melangkah masuk.” Hui Sui memasang ekspresi herannya. Berusaha berpikir alasan yang
tepat, namun tak juga berhasil memahami perlakuan profesor pediatrik tersebut.

Tak berhasil menemukan jawaban, wanita itu pun menggeleng, “tapi syukurlah, sekarang ia
bahkan mengunjungimu dan menunggumu lama, Dr. Jang.”

Ucapan perawat itu berhasil membuat Gyeuol panik dan memerah secara bersamaan. Jantungnya
berdebar kencang mengetahui fakta mengejutkan yang baru saja ia dapat. Benaknya memutar kilas
balik saat ia tertidur di atas kasur IGD setelah terkena anafilaksis lalu mengingat ucapan Minha
saat itu,

'Bila ia menyukaimu, ia seharusnya datang.’

“Baiklah. Jaga kesehatanmu Dr. Jang. Aku pergi dulu.” Hui Sui membungkukan badannya pada
Gyeoul yang masih mematung. Wanita itu hanya bisa membalas bungkukannya dengan anggukan
kepala singkat. Pikirannya sudah jauh melayang dari tubuhnya. Menerka-nerka.

Semua yang diucapkan Perawat Hui Sui membuat Gyeoul bertanya-tanya, apa benar hal itu
terjadi?

Kalau begitu, sejak kapan Profesor Ahn mulai menyukainya?


You are my love, whom I’m thankful for

You are like a dream of May sunshine

Nights waiting for you, why do they feel so long?

You are my love, whom I’m thankful for


Just One Day
Chapter Summary

Between doctor and partner.

Chapter Notes

Setelah sekian lama, aku akhirnya keluarin lagu BTS di playlist ini. Sebenarnya ada
banyak lagu BTS yang aku dengerin pas chapter ini dibuat, tapi mungkin ini yang
cocok? Ini chapter terpanjang yang pernah kubuat, semoga gak cape ya bacanya :"

BTS( ) - Just One Day( )! Selamat membaca~

See the end of the chapter for more notes

If only I had just one day

I want to peacefully fall asleep

intoxicated with your sweet scent

“Ini,” Jeong Won mengoper sebuah paper bag dari genggamannya ke jari jemari lentik Jang
Gyeoul tepat setelah wanita itu memutus perhatiannya dari beberapa bingkai foto yang tertata rapi
di meja kerja Ahn Jeong Won.

“ Kamsahamnida , Profesor. Tapi sebenarnya kau tak usah membawakanku-”

"Sshhtt , kau kan sudah berjanji tidak mengatakan itu,” Jeong Won menaruh telunjuknya tepat
beberapa inci dari bibir Gyeoul sembari memotong ucapannya. “Dan ini, latte untuk
menghangatkan perut.”

Gyeoul mengambilnya lalu mengembangkan senyuman pada pria berbahu lebar tersebut, sekali
lagi mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya menyesap minuman yang profesornya berikan.
Matanya kembali terfokus pada beberapa potret gambar di atas sana sambil sedikit memainkan
kursi beroda milik Jeong Won di kantornya.

Sudah kesekian kali Jeong Won membawakan dokter residen tersebut ‘mini package’ berisi
barang-barang yang ia butuhkan saat Gyeoul mendapatkan jadwal bulanan nya. Katanya itu
‘bekal’ khusus untuk Dr. Jang yang akan menemani hari-hari sulit tatkala Ahn Jeong Won tak bisa
hadir di sisinya.
Awalnya wanita itu sedikit terkejut saat seseorang tiba-tiba saja meninggalkan sebuah benda
misterius di atas mejanya, tapi mana mungkin ia tak tahu siapa pengirimnya ketika ia berhasil
temukan selembar kecil surat berisi tulisan tangan tertinggal di dalamnya.

Tak mau menyangkal, Jang Gyeoul mengakuinya, ia merasa berbunga-bunga. Sensasi aneh yang ia
sendiri juluki sebagai ‘mulas’, Gyeoul dapatkan setiap detik dirinya tersipu. Tak pernah absen
sekalipun, seolah-olah membuat perutnya tergelitik lalu menghamburkan segala jenis kupu-kupu
yang berterbangan di dalam sana. Itu yang mungkin novel-novel katakan bukan? Ada kupu-kupu
berterbangan di perut. Seperti seorang remaja yang baru saja jatuh cinta (faktanya begitu), ia
mengulang kalimatnya. Ah entahlah , Gyeoul tak bisa menahan senyuman tatkala bahunya
terangkat spontan memikirkan satu nama yang tak pernah hilang dari otaknya.

Dua buah sandwich, satu lusin choco pie, dan sebotol jus. Plus, untuk hari ini ia mendapat spesial
latte kesukaannya dalam kondisi hangat. Yup , Jeong Won tahu bahwa terlalu banyak kafein dan
minuman dingin tak baik untuk Gyeoul di masa-masa seperti ini, apalagi di hari-hari awal datang
bulannya.

Disamping itu, terkadang Jang Gyeoul merasa tak enak karena membuat Jeong Won terus
membawakannya ‘bekal’ , merepotkannya, kemudian mengirimkan padanya tak luput dengan
simpul manis di bibirnya sebagai penghantar. Terkadang Gyeoul terus bertanya-tanya mengapa ia
bisa mendapatkan lelaki sebaik Ahn Jeong Won dalam hidupnya.

Gyeoul merasa bersalah karena se-pemikirannya, dirinya belum bisa berbuat banyak hal untuk
Jeong Won, yang menurutnya adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Tuhan (Dan
sungguh hanya Gyeoul yang berpikir begitu, karena ya, siapa yang tidak berpikir demikian saat
sedang dimabuk cinta).

“Kau sudah melihatnya untuk beberapa kali, apa kau tidak bosan?” tanya Jeong Won
memperhatikan Jang Gyeoul dengan lengkungan di bibirnya yang tak pernah luntur walau
sedetikpun. “Haruskah ku buang saja foto-foto itu, biar kau bisa fokus padaku? Sepertinya mereka
lebih menarik dariku.”

Gyeoul menghentikan perhatiannya dari bingkai-bingkai tersebut, memutarkan kursinya ke arah


Jeong Won yang kini duduk di sofa. “Kau sekarang sedang menggodaku, Profesor?” tanya Gyeoul
dengan mata bulatnya, ditemani ekspresi blank polos andalannya.

“Apa aku terdengar seperti itu?”

“Kalau benar iya, berarti kemampuanmu sangat payah.”

Jeong Won mengerucutkan bibirnya, merajuk pada Jang Gyeoul yang kembali sibuk menjelajahi
meja kerja Profesor Ahn di hadapannya. Junwan sedang menjalankan operasi pagi itu, Jeong Won
pun akhirnya memanggil Gyeoul agar mereka bisa menghabiskan sarapan bersama.

“Profesor, kau benar-benar mempunyai banyak hobi, ternyata,” tutur Gyeoul mengangkat salah
satu pigura coklat dengan dirinya yang tengah mengenakan perlengkapan hiking, tersenyum
menghadap ke arah kamera. Ah, foto yang ia ambil ketika ia menghabiskan salah satu hari liburnya
di musim gugur beberapa tahun lalu, tepatnya di Gunung Naejangsan, Provinsi Jeolla Utara. Ia
harus menempuh sekitar tiga sampai lima jam dari Kota Seoul untuk mencapai tempat indah
tersebut.

If there’s a chance in my busy schedule


I want to put my body in your warm and deep eyes

Jeong Won berdiri, ikut memperhatikan benda yang ia sengaja pajang di dekat komputernya.
Ingatannya kembali memutar kenangan-kenangan saat gambar-gambar tersebut diambil. Betapa
bagus suasana hatinya kala itu, dipenuhi dengan hal-hal yang menurutnya menyenangkan,
menggantikan rasa lelah sesaat karena pekerjaan yang tak pernah ada habisnya. Matanya kini
bergeser ke arah figur mungil yang duduk manis di kursinya, mengamati setiap potret tersebut
dengan seksama.

Rasa bersalah mendadak muncul dalam dadanya. Dirinya dan Gyeoul tak pernah menghabiskan
banyak waktu diluar, untuk berkencan atau sekedar berjalan-jalan. Banyak hal belum mereka
lakukan sejauh ini. Jadwal mereka yang padat menyebabkan mereka jarang menemukan waktu
yang pas untuk keluar bersama. Bahkan bila mereka mendapatkan hari libur, keduanya lebih
memilih untuk beristirahat di apartemen setelah berlelah-lelah di rumah sakit. Cara itu juga
berguna tuk menyimpan energi mereka di hari esok. Dan, ya, bisa dibilang Jeong Won jarang
mengajak Gyeoul untuk sebuah kencan yang normalnya pasangan lakukan.

‘Aigoo, Ahn Jeong Won, kau adalah pacar yang buruk,’ rutuknya dalam hati pada dirinya sendiri.

“Sepertinya aku harus benar-benar membuang foto-foto ini,” ucap Jeong Won dengan nada serius.
Wajahnya sudah berada di samping Gyeoul, kedua pasang mata mereka masih sama-sama terfokus
pada benda persegi panjang tersebut.

“ Waeyo? Andwaeyo!” Gyeoul mengerutkan keningnya heran, sedikit terkejut saat wajah Jeong
Won hanya berjarak beberapa inci dari dirinya. Jeong Won hanya membalasnya dengan seulas
senyum tanpa berkata-kata.

Ia harus menyingkirkan foto-foto ini dan mengisinya dengan potret baru bersama Gyeoul..
Membayangkan banyak kegiatan yang akan mereka lakukan berdua membuatnya merasa
bersemangat untuk merencanakan hal-hal yang belum mereka coba. Pria itu punya seribu hobi
yang belum bisa ia lakukan dengan Gyeoul. Kenapa tidak mereka berbagi hal yang menyenangkan
di sela-sela kesibukan mereka?

“Jeong Won-ah, bawalah Gyeoul ke tempat yang bagus ketika kalian berlibur. Aku tak mau terus-
terusan melihat dirinya berkeliaran di rumah sakit tanpa henti bahkan saat jam kerjanya sudah
selesai. Bila kau butuh saran untuk tempat berkencan, kau bisa datang kapanpun padaku.”

Kata-kata Lee Ikjun saat mereka makan siang beberapa minggu lalu mendadak terdengar di
telinganya. Terkadang teman gilanya memang ada benarnya. Jeong Won belum tahu banyak hal
yang disukai oleh Gyeoul, bahkan ia terkadang merasa iri pada Ikjun yang seperti tahu berbagai hal
- bahkan hal tak penting sekalipun - tentang residen kesayangan mereka tersebut.

I want to know you more

An explorer venturing through your deep forest of mystery


I appreciate the masterpiece that is you

because your existence alone is art

I imagine this all night every day

because it’s a meaningless dream anyway

Belajar untuk mengetahui satu sama lain lebih dalam adalah bagian dari berkencan. Dan Jeong
Won sedang berusaha untuk mengetahui segalanya tentang Jang Gyeoul, diam-diam tanpa ingin
diketahui langsung oleh wanita itu. Dalam hidup Jeong Won, semua ini merupakan pengalaman
pertamanya, dan ia wajib berhati-hati dalam melangkah.

Definisi berkencan bagi seorang Ahn Jeong Won yang sudah menginjak usia empat puluh tahun,
terkadang masih terlihat buram. Tak heran bila ia terkadang terus bertanya, ‘ apa ini benar? apa
yang ia lakukan salah? apa ia akan menyukainya?’ . Rasa ingin bertanya pada keempat sahabatnya
tentu sesekali terlewat dalam benaknya. Tapi, untuk mengetahui hal sensitif seperti itu, terkadang
membuatnya mundur, dan lebih memilih memendamnya.

Sekali lagi, tak banyak hal yang ia lakukan dengan Gyeoul selama waktu dua bulan lebih sebagai
pasangan. Artian berkencan di luar rumah sakit dalam kamus Gyeoul-Jeong Won sebagai sesama
dokter adalah mengantarkan Gyeoul pulang dari tempat kerja (secara sembunyi-sembunyi
tentunya), makan bersama di restoran, mengajak Gyeoul ikut menonton latihan band mereka, dan
menghabiskan waktu libur di apartemen Gyeoul atau pun Jeong Won saat Kim Junwan tidak ada
dengan istirahat atau kegiatan ringan.

Dan faktanya, Jeong Won pun sudah beberapa kali bertemu dengan adik laki-laki Gyeoul,
Yeoreum, yang terus menyebabkan hadirnya pening di kepala Gyeoul ketika kedua lelaki tersebut
sudah bertemu dan berada di satu tempat. (Tapi itu cerita untuk lain waktu, hehe.)

Bagaimana pun keadaan mereka, Gyeoul tak pernah mengeluh. Selama mereka tetap bersama, hal
kecil pun terasa menyenangkan.

Maka dari itu, definisi kencan menurut Gyeoul dan Jeong Won adalah hal yang sederhana.
Menghabiskan waktu bersama dan bahagia, sudah cukup untuk keduanya.

Just one day, if I can be with you

Just one day, if I can hold your hands

Just one day, if I can be with you


Just one day, just one day

If only we can be together

Do it, do it, do it

party party

Having a party party with only you

**

Musim semi mulai memasuki bulan Maret tahun 2020 saat itu. Daun-daun hijau yang terlihat segar
dihiasi dengan bunga-bunga cantik bermekaran di jalanan Kota Seoul yang cukup padat.

Jeong Won mengencangkan ikat tali sepatunya sembari melihat ke arah Gyeoul yang tengah
meregangkan badannya. Keduanya mengenakan kaos putih berlengan pendek lengkap dengan
bawahan khusus olahraga mereka.

“Gyeoul-ah, kau serius akan ikut?”

Gyeoul tersenyum lebar dan mengangkat sebelah alisnya, seolah-olah tak terima diremehkan oleh
profesornya. Mereka kembali bersiap-siap setelah mengambil beberapa foto berdua menggunakan
kamera ponsel Ahn Jeong Won.

“Kenapa kita harus berhenti setelah jauh-jauh kesini? Aku tak pernah sesemangat ini, Profesor!”
Wanita itu melihat ke arah sekelilingnya, mereka berdiri di garis start bersama dengan peserta
maraton lainnya pagi itu.

Ya, disinilah mereka berada. Keduanya memutuskan memakai libur mereka di akhir pekan untuk
ikut lomba maraton seperti hobi rutin yang Jeong Won lakukan di tahun-tahun sebelumnya. Jeong
Won cukup terkejut saat tahu fakta bahwa Gyeoul adalah sprinter saat ia duduk di bangku sekolah
dulu. Tak heran kala itu, ia berhasil mengejar seorang ayah yang melakukan kekerasan pada
anaknya yang kembar di rumah sakit.

If only I could do that, how nice would it be

If only we could go anywhere

to eat and watch a movie comfortably


girl

I would do anything girl

Sebenarnya mengajak Gyeoul dalam salah satu kegiatan tahunan tersebut bukanlah salah satu dari
list keinginan Jeong Won. Bukan berarti pria itu tak ingin berbagi kegiatan menyenangkan, hanya
saja, maraton cukup menguras tenaga untuk dilakukan. Mungkin bila ada pilihan lain, Jeong Won
akan membawa Gyeoul ke taman, piknik, ataupun aktivitas lain yang jauh lebih ringan. Walaupun
sesungguhnya ia sudah beberapa kali mengajaknya menonton, entah itu di apartemen mereka atau
di bioskop, Jeong Won rasa itu belum cukup.

Maraton hanyalah sebuah ide yang tiba-tiba muncul di otaknya dan tanpa sengaja, rencana itu
keluar dari lisannya. Mengejutkan, Jang Gyeoul tampak setuju dengan kalimat yang Jeong Won
‘tak serius’ katakan saat itu. Benar kata Junwan, wanita memang sulit ditebak.

Beberapa kali Jeong Won bertanya pada Gyeoul untuk memastikan keyakinannya. Bagaimanapun
maraton dan sprint adalah dua hal yang berbeda, walaupun pada dasarnya mereka melakukan
gerakan lari. Tapi Jang Gyeoul dengan santai menjawab bahwa ia bersedia, dan ia sangat ingin
mencoba hal baru. Terlebih ia akan pergi bersama Profesor Ahn.

Jeong Won pun menyetujuinya. Lagipula, libur di akhir pekan dengan waktu singkat, membuat
mereka tak bisa pergi jauh dari Kota Seoul maupun rumah sakit.

“Mau bertaruh siapa yang menang?” Gyeoul menantang pria di hadapannya, membuat Jeong Won
mengeluarkan seringai kecil di bibirnya. Akhir-akhir ini Jeong Won merasa bersyukur karena sikap
Gyeoul terlihat jauh lebih santai saat bersama dengannya, tak terlalu kaku seperti saat awal mereka
berkencan. Yah, walaupun sampai saat ini Gyeoul masih terus memanggilnya ‘Profesor’, Jeong
Won tak pernah memaksa dokter muda itu menyebutnya dengan panggilan lain. Ia tak pernah
keberatan selagi Gyeoul nyaman dengan hal tersebut.

“ Kol. ” Jeong Won pura-pura membuat wajah ambisius nya, yang berhasil mengundang gelak
tawa Jang Gyeoul sepersekian detik setelahnya. Ah, mungkin suara itu menjadi musik di
pendengaran Ahn Jeong Won karena sekarang lelaki itu sedang tersenyum dari telinga ke telinga
selepas sukses membuat pacarnya terkikik kencang. Tapi, sungguh dalam hatinya, ia tak berniat
menang atau mencetak rekor kali ini. Ia hanya ingin menggunakan waktunya dengan Gyeoul
sampai hari mereka benar-benar habis dan kembali terlempar pada pekerjaan yang akan
membuatnya lebih lelah di hari esok. Lagipula, ia sudah pernah menjadi orang yang pertama
melewati garis finish di perlombaan tersebut beberapa tahun lalu.

Suara seorang lelaki terdengar dari pengeras suara, mendorong mereka untuk bersiap sedia,
menghadapkan badan ke depan.

Sayang seribu sayang, ternyata hari itu bukanlah milik mereka berdua.

Dering dari ponsel Jeong Won memutus perhatian mereka berdua. Dokter bedah pediatrik tersebut
bersusah payah mengeluarkan benda pintarnya dari armband yang ia kenakan.

“Baik, aku akan kesana.”

“Gyeoul-ah..” Jeong Won mengeluarkan wajah sedih tepat setelah ia menutup sambungan telepon.
Jang Gyeoul paham apa yang ingin dikatakan profesornya walau lelaki tersebut tak mengeluarkan
sepatah kata selain namanya. Baru saja ia mendapat panggilan darurat dari IGD, seorang anak
mengalami kecelakaan lalu lintas. Membuatnya pria itu mau tak mau harus kembali ke pusat medis
Yulje secepatnya. Tapi, tak mungkin ia meninggalkan Gyeoul berlari sendiri bukan? Apakah
Gyeoul baik-baik saja ia ajak ke rumah sakit walaupun ini hari liburnya?

“ Gwenchanayo , Profesor. Ayo kita pergi ke rumah sakit sebelum terlambat. Mereka pasti sedang
menunggumu,” jawab Gyeoul dengan tulus. Tak ada nada keberatan yang bisa Jeong Won deteksi
dari kalimatnya. Jeong Won menghela nafas, merasa bersalah karena tak berhasil menuntaskan
rencana mereka.

Why? God why?

Padahal, Jeong Won jarang sekali melihat ekspresi Gyeoul yang sangat semangat seperti tadi. Ia
takut mengecewakan Gyeoul kali ini.

Sadarlah, Ahn Jeong Won, ada seorang malaikat yang sedang kesulitan disana. Jeong Won
menunduk.

“Akan cukup sulit keluar dari sini,” ucap Jeong Won dengan wajah yang panik dipenuhi dengan
kecemasan. Berada di antara lautan manusia, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mereka
melepaskan diri dari sana. Matanya menyapu celah-celah kosong yang berpeluang untuk bisa
mereka lewati sebagai jalan keluar.

“Gyeoul-ah, mianhae .” Tak mau membuang waktu lagi, Jeong Won bergegas mengambil
pergelangan tangan Gyeoul dan menggenggamnya erat. Dengan hati-hati dan cakap ia menariknya
dari tempat mereka berdiri kemudian menuntunnya ke belakang, melawan arus.

Sesampainya mereka di barisan paling akhir, tepat bersamaan para peserta mulai bergerak ke
depan, keduanya saling bertatapan. Merasa sukses setelah lulus dari tantangan pertama.

“Sepertinya kita harus lomba lari dari sini sampai tempat parkir mobil,” Jeong Won tersenyum
setelah melepas tautan tangannya dari Gyeoul.

3… 2… 1

Di hitungan terakhir, setelah mereka saling berpandangan, tanpa bersuara dan mengucapkan
apapun, mereka melangkah bersamaan, mulai berlari kencang berlawanan dengan arah peserta lain
berlari.

Tanpa diduga-duga, Jang Gyeoul berhasil lari lebih jauh, mendahului Ahn Jeong Won beberapa
meter di belakangnya. Kali ini, Jeong Won bahkan tidak berusaha untuk mengalah pada wanita
yang menyalipnya berusan. Keduanya sama-sama berlari sekuat tenaga, hingga sampai pada garis
finish yang mereka tentukan.

Ada perasaan bangga tersendiri yang mereka dapat saat bisa lari bersama-sama. Hal yang tidak
bisa dijelaskan dengan kata-kata pada orang lain. Entah itu karena tugas seorang dokter yang
mereka emban dengan tulus tanpa imbalan di pundak mereka, atau karena mereka memiliki
pasangan yang saling mendukung di sisi mereka dalam situasi apapun, istilah tersebut tak bisa
mereka namakan.

“Profesor, apa kataku.” Gyeoul tersenyum, berusaha mengatur nafasnya yang masih terengah-
engah sambil melihat ke arah belakang, dimana Ahn Jeong Won berada.

“Aku menang.”

Lomba lari maraton mereka berubah menjadi lomba lari jarak pendek dalam sekejap pagi itu.

Just one day, if I can be with you

Just one day, if I can hold your hands

Just one day, if I can be with you

Just one day, just one day

If only we can be together

**

“Apa kondisi Hayoung sudah lebih baik?” tanya Gyeoul yang sedang duduk di kasur lipat kantor
Jeong Won, setelah pria itu membuka pintu dan masuk ke dalam. Dokter pediatrik tersebut
membuka jas putih yang ia kenakan dan menaruhnya di kursi, dengan scrub biru yang biasa
mereka kenakan, Ahn Jeong Won melemparkan tubuhnya ke atas kasur, tepat di samping Gyeoul.

“Ia terlihat baik-baik saja sekarang,” Jeong Won menutup matanya sebentar merasa bersyukur
dengan keadaan pasien kecilnya yang berhasil membuatnya khawatir dari pagi. “Luka di perutnya
memang akan lama kering, tapi kurasa itu akan berangsur membaik.”

Gyeoul mengedarkan pandangannya pada profesornya yang tengah berbaring miring. “Syukurlah,”
gumamnya dengan suara kecil. Dokter residen tersebut memutuskan untuk bekerja hari itu,
mengganti bajunya dengan scrub dan menemani Jeong Won di PICU setelah jalani operasi darurat.
Selanjutnya mereka mengecek beberapa pasien lainnya, Gyeoul kembali ke kantor departemen
bedah umum untuk merapikan beberapa rekam medis yang ingin ia selesaikan, agar esok, tugasnya
jauh lebih longgar. Bertepatan saat dirinya menyelesaikan tugasnya, Dr. Jang kemudian membantu
salah satu kasus darurat di IGD bersama dengan Profesor Sung.

Dan disinilah mereka berakhir, kembali lagi di rumah sakit dimana mereka menghabiskan waktu
mereka bersama-sama. Tak terasa matahari mulai tenggelam saat pekerjaan Jeong Won sempurna
selesai. Ekspresi lelah mereka kembali tertanam saat satu ‘hari libur’ yang cukup panjang berhasil
mereka lewati. Setelah mereka memesan makan malam bersama, Jeong Won menyuruh Gyeoul
untuk tetap di kantornya dan membiarkan dirinya sendiri yang pergi ke tempat dimana Hayoung
berada. Bagaimanapun, Jeong Won merasa bersalah karena menggunakan waktu libur Gyeoul
untuk menetap di rumah sakit.

Siang tadi, Jeong Won menawarkan Gyeoul agar ia bisa diantarkan pulang, tapi wanita itu
menolak. Benar apa kata Ikjun, residen mereka cukup sulit untuk diatur kalau masalah pekerjaan.
Keras kepala.

Gyeoul kemudian ikut merebahkan tubuhnya di samping Jeong Won. Membuat mereka berdua
sama-sama menatap langit-langit kantor yang terlihat sangat kosong dengan kedua tangan di atas
perut mereka masing-masing. Kim Junwan hari ini tidak datang ke rumah sakit karena dokter itu
sedang pulang ke Changwon untuk menengok ibunya.

“Gyeoul-ah, maafkan aku,” tutur Jeong Won setelah hening menyelimuti mereka untuk beberapa
saat. Wanita itu memutar kepalanya ke arah pria di sampingnya, memandangnya dengan seksama.
Tak bisa mengalihkan matanya dari side profile yang Ahn Jeong Won tampilkan dari jarak
beberapa inci, hanya untuk seorang Jang Gyeoul.

“Untuk?”

“Untuk semuanya. Untuk hari ini, dan untuk kemarin-kemarin. Aku belum bisa mengajakmu
berkencan ke tempat indah. Dan… hari ini pun rencana kita gagal lagi.” Jeong Won menghela
nafasnya berat saat kalimat itu akhirnya berhasil keluar setelah terkurung berjam-jam di benaknya
hari ini.

“Tidak,” jawabnya singkat dan tegas, mendorong Jeong Won untuk menolehkan kepalanya ke
samping, membuat tatapan mereka bertemu. “Tidak ada yang gagal hari ini. Menurutku hari ini
sangat menyenangkan,” jawabnya dengan lembut.

“Untuk apa kau meminta maaf, Profesor. Kau bahkan tak membuat kesalahan sama sekali,” ia
meyakinkan pria di hadapannya, membuat lelaki itu berhasil tenggelam dalam lautan hitam bola
mata Gyeoul yang teduh. Ahn Jeong Won berhasil menangkap rasa lelah dalam dirinya, bersamaan
dengan kedua kelopaknya yang mulai sayu. “Sudah menjadi pekerjaan dokter bersiap sedia untuk
membantu pasien yang sakit. Dan ini jalan yang kita pilih, jadi tak ada hal yang perlu disalahkan.”

“Terima kasih banyak, Dr. Jang.” Jeong Won memiringkan badannya lalu mengusap rambut
Gyeoul perlahan. Apa yang ia lakukan di kehidupan sebelumnya sampai-sampai ia menemukan
wanita sempurna yang berhasil mengerti sepenuhnya dengan keadaannya?

“Gyeoul-ah.”

“ Ne?”

“Kau harus istirahat dan kembali ke apartemenmu. Kau terlihat sangat lelah. Aku antarkan pulang
ya?”

“Bagaimana denganmu, Profesor?”

Jeong Won tersenyum, “aku akan menetap disini untuk berjaga-jaga. Takutnya kondisi Hayoung
kembali memburuk.”

“Aku yakin Hayoung akan baik-baik saja, Profesor.”

“Akupun begitu. Tapi tetap saja, kau harus pulang dan kembali esok pagi, Jang Gyeoul,” nasihat
Jeong Won pada Gyeoul, kembali pada permintaan awalnya yang mulai melenceng dari topik. Kini
giliran dokter residen tersebut yang memiringkan badannya, membuat mereka saling berhadapan di
atas kasur lipat mereka.

“Apakah aku terlihat begitu lelah?”

“ Ne . Tapi.. kau cantik.”

Gyeoul mendesis pelan, tertawa atas pujian Jeong Won yang tiba-tiba. Sejujurnya, ia berusaha
keras untuk menutupi perasaan tersipu dan warna merah merona yang hadir di pipinya. “Baiklah-
baiklah, aku akan pulang denganmu beberapa saat lagi,” Gyeoul akhirnya menurut, mengiyakan
permohonan Jeong Won. “Tapi, Profesor, biarkan aku istirahat sebentar saja disini.”

가 , let’s go time

If you are and I are together, let’s go time

24 hours

24 hours, if I could only be with you

“Aku ingin bersamamu lebih lama.” Gyeoul memajukan bibirnya. Dengan puppy eyes yang ia buat
agar Jeong Won luluh akan keinginannya, namun lebih dari itu, membongkar perasaan buncah
yang Ahn Jeong Won miliki dalam sekejap, karena kalimat yang tanpa aba-aba keluar dari
lisannya.

“Aku ingin tidur disini denganmu.”

“Ba..baiklah, ” Jeong Won tergagap dan berkedip beberapa kali dengan ucapan yang Gyeoul
lontarkan. Gugup. Senyap yang mencekat mendadak menyelimuti sepasang kekasih tersebut. Hawa
yang panas entah dari mana sumbernya, membuat mereka berhenti bicara. Tersadar akan salah
bicara, Gyeoul tak tahu harus melakukan apa. Di sisinya, Jeong Won bersusah payah menenangkan
diri, memaki dirinya sendiri bahwa ia yakin tak ada maksud lain dari perkataan Jang Gyeoul. Tak
ada makna denotasi di dalam permintaannya.

“ Geundaeyo … profesor, badanku terasa sakit tidur seperti ini.” Mendengar kalimat polos Jang
Gyeoul, Jeong Won pun terkekeh kecil. Membuat ketegangan di antara mereka menyurut seketika.

Menyadari posisi mereka yang belum benar, karena jelas keduanya berbaring melintang di atas
kasur, Jeong Won pun bangun dari rebahannya dan mengangkat Gyeoul dengan dua tangannya.
Gerakan yang berhasil membuat Gyeou terperanjat beberapa saat. Pria itu dengan lembut
menggesernya ke tengah dan menempatkan tubuh mungil Gyoeul yang ringan searah dengan
kasurnya. Ia pun berdiri dan berjalan untuk mematikan lampu kantornya.

“ Chaa .. sekarang tidurlah.” Jeong Won duduk di samping Gyeoul, tidak menaikan tubuhnya ke
atas kasur. Gyeoul menggeleng, menggerakkan tubuhnya ke samping, bergeser untuk menyisakan
tempat di sebelahnya.

Gyeoul menepuk bagian kosong di sampingnya dengan wajahnya yang mulai mengantuk,
mengisyaratkan pria itu untuk ikut beristirahat disana.

Jeong Won pun tersenyum, akhirnya memutuskan untuk ikut naik ke atas kasur yang terasa sempit
bila digunakan berdua. Sama-sama memiringkan badan mereka, keduanya saling berhadapan di
dalam kantornya yang cukup gelap.

“Profesor?”

“Eung?”

“Kau tidur?”

“Ani.”

“Tidurlah, kau terlihat lelah.”

Jeong Won terkekeh mendengar kalimat Gyeoul, ia pun menundukan pandangannya, berhasil
menemukan wajah Gyeoul yang tengah mendongak melihat ke arahnya. “Kau lah yang seharusnya
tidur. Kau bilang mau tidur. Matamu sudah merah.”

“Memangnya kau bisa melihatnya? Bukankah disini gelap?”

“Ah.. kau benar.” Jeong Won mengangguk, tertangkap basah berbohong. Mereka pun
mengeluarkan kikikan kecil. Jeong Won kemudian meraih kacamata yang Jang Gyeoul pakai,
melepasnya, lalu menaruhnya di atas lantai. Sejujurnya, ruangan tersebut bisa dibilang redup, tidak
begitu gelap karena lampu di meja Jeong Won masih menyala.

Lelaki itu pun mengangkat kepala Gyeoul dan menyelipkan lengannya agar bisa wanita itu
gunakan sebagai bantal.

Jang Gyeoul tak mampu menahan dirinya untuk tidak menguburkan wajahnya dalam dada Ahn
Jeong Won. Pria tersebut mengusap punggung Gyeoul perlahan, membuat Gyeoul mempererat
pelukannya pada badan profesor di sampingnya. Membiarkan dirinya yang mulai mengantuk,
teracuni harum yang keluar dari tubuh pasangannya, bercampur dengan aroma khas rumah sakit.

Jauh di dalam diri mereka masing-masing, keduanya sibuk berusaha menormalkan detak jantung
mereka yang tak beraturan. Berusaha mengusir pikiran-pikiran lain yang membuat pipi mereka
terasa panas. Membiarkan mereka sama-sama istirahat dengan benar untuk kali ini saja. Karena
mungkin, ini pertama kalinya mereka berada di atas ranjang yang sama setelah beberapa bulan
menjalin hubungan.

“Profesor, terima kasih banyak untuk hari ini,” bisik Gyeoul pelan, kata-katanya mulai habis di
akhir kalimat. Sungguh berterima kasih atas kesempatan yang mereka dapatkan hari ini.

“Terima kasih kembali,” jawab Jeong Won dengan suara yang lebih berat dari biasanya.

“ Jal ja, Gyeoulie.”

“ Jal ja, Oppa.”

Mata Jeong Won melebar, tatkala sebutan tersebut meluncur mulus dari lisan Jang Gyeoul.
Perasaan menggelitik dan bersemangat itu kembali lagi, membuat ia mengusap rambut Gyeoul
perlahan kemudian mengacak-ngacaknya dengan sengaja.

I’d kiss you starting from the morning

Can’t forget to grab some brunch

I’d hold your hand and soak up the sun

Pria itu mengecup dahinya setelah berhasil menanamkan ciuman singkat di bibir merah muda milik
Gyeoul sebelum mereka jatuh tertidur pulas, hingga fajar mulai menyingsing. Menyambut kedua
insan yang siap kembali bekerja sebagai dokter dengan energi penuh. (Oh, tentu dengan Jeong
Won beberapa kali bangun untuk mengecek keadaan Hayoungie tanpa membuat Jang Gyeoul
membuka matanya.)

It’s not over yet, in the middle of a beautiful night

I’ll confess to you, with the moon as our light

All of these things tell me

“ 가 ”

“If I have just one day, it’s possible”

Di hari esok, potret sepasang dokter, tidak dengan scrub mereka, mengenakan baju kasual, di luar
rumah sakit, dan tersenyum menghadap kamera, sudah terbingkai dengan pigura coklat. Terpajang
rapi di meja Ahn Jeong Won bersama buku-buku dan benda pribadi lainnya. Siapapun yang
melihatnya akan ikut tersenyum manis dibuatnya.

Can you please stay with me?

Chapter End Notes

Aku mau bilang makasi banyak untuk yang udah baca cerita ini dari awal sampai
sekarang huhuhue. Gak nyangka bakal dapat dukungan sebanyak ini T_T

Sekali lagi maaf kalau masih ada kekurangan dalam ff yang kubuat. Aku bener-bener
lagi belajar dan perbaiki tulisan aku. Semoga aku bisa namatin cerita ini sebelum
season 2 tayang~

Aku juga mau pesen, tolong jaga kesehatannya, jangan sampai sakit, dan hati-hati
kemanapun kita pergi. Kalau gak mendesak, jangan keluar rumah ya~ Semoga
semuanya baik-baik terus dan bisa sama-sama ketemu saat Season 2 dan seterusnya
tayang :)

Terima kasih untuk @littlebirdwritings untuk saran lagunya dan untuk @alohomora
yang udah dukung aku di setiap bab! Love you all~ Have a sweet night!
The Wind is Blowing
Chapter Summary

Ahn Jeong Won and Jang Gyeoul's father.

Chapter Notes

Lee Sora [ ] - The Wind Is Blowing [ ]! Aku mau apresiasi lagu ini untuk
orang-orang baik sekitar Jang Gyeoul, termasuk Ahn Jeong Won dan 12 profesor
lainnya. This song is for Andrea, because he is so kind~

Hope you enjoy this chapter!

See the end of the chapter for more notes

Tragedi itu terjadi di pagi hari, ketika Gyeoul memutuskan untuk beristirahat di kantor Ahn Jeong
Won yang bermalam di rumah sakit.

Profesor Lee Jihoon datang lebih awal dari jadwalnya karena salah satu pasiennya di ICU kembali
memasuki kondisi kritis pasca operasi dua hari lalu. Tak lama setelah ia sampai, pria berusia 40
tahun itu bertemu dengan perawat dan mendapat informasi bahwa Dr. Jang Gyeoul juga sudah
menetap di rumah sakit sejak kemarin hari. Sepengetahuan Lee Jihoon, kemarin merupakan hari
libur Dr. Jang Gyeoul. Bagaimana bisa residen kesayangan mereka tetap berada disana bahkan
ketika ia harus menghabiskan waktunya untuk beristirahat di rumah?

Sayang seribu sayang, Jang Gyeoul tidak bisa dihubungi dan tak ditemukan di manapun, termasuk
kantor dan IGD. Atau mungkin dokter tersebut berada di on-call room? Lee Jihoon mengecek jam
di tangannya, masih terlalu pagi untuk memulai jadwal keliling rutin, wajar jika Dr. Jang belum
stand by di kantor mereka.

Profesor Lee Jihoon memutuskan untuk menyerah dan melangkah mencari Ahn Jeong Won yang
menurut staf, juga sedang berjaga di rumah sakit karena pasien kecilnya. Lelaki itu ingin
menanyakan beberapa kasus terkait pasiennya dan mengembalikan USB yang ia pinjam beberapa
hari lalu karena ia lupa membawa miliknya, sekadar untuk memindahkan data presentasi yang
disiapkan. Ia telah mengirimkan pesan melalui ponselnya yang juga belum dibalas, dan mengambil
keputusan untuk kunjungi kantornya.

Dokter berjas putih itu mengintip dari bilik jendela kecil pintu kantor Jeong Won dan menemukan
sosok yang ia cari sedang bersimpuh di kursinya sembari membuka beberapa lembar berkas di atas
meja. Ia mengetuk beberapa kali lalu tanpa menunggu balasan, Lee Jihoon mendorong pintu
berwarna coklat tersebut dan kemudian menginjakkan kakinya ke dalam.

Belum sempat ia membuka mulutnya untuk bersuara dan menyapa Jeong Won, kedua pasang
matanya menatap lurus ke satu titik. Ia berhasil menangkap seorang dokter muda yang tadinya ia
cari, tengah terlelap di kasur lipat berwarna biru tua dalam kantornya.
Jeong Won yang saat itu duduk memunggungi pintu, terperanjat akan kehadiran rekan satu
departemennya yang muncul tanpa aba-aba. Kalau saja itu Lee Ikjun, maka ia akan menghujaninya
dengan omelan setelah membuatnya jantungan mendadak di pagi hari.

Tapi, dugaannya salah. Pria yang datang adalah Lee Jihoon, yang kini tengah memiringkan
kepalanya dengan ekspresi kebingungan melihat Jang Gyeoul tertidur di kantor atasannya dengan
pulas dan nyaman. Dan mereka hanya berdua. Tanpa ada Lee Ikjun ataupun Kim Junwan yang
Jihoon tahu dekat dengan pria tersebut.

Lee Jihoon mengerti profesor di departemen bedah umum menganggap Dr. Jang seperti putri
mereka sendiri. Mereka akan memperlakukan Gyeoul dengan sangat baik layaknya buah hati yang
sangat berharga dan mereka cintai.

Namun, mengingat Ahn Jeong Won yang dari awal bersikap ‘berbeda’ dan menyadari dirinya yang
tidak sedekat itu dengan Jang Gyeoul, membuat profesor bermarga Lee tersebut merasakan
kejanggalan di keadaan mereka sekarang ini. Pria itu mengerutkan alisnya, menatap Jang Gyeoul
yang masih menutup matanya.

Mereka berdua terdiam lama dan saling berpandangan.

Ahh, ini akan menjadi pembahasan yang panjang.

***

“Aku tak pernah berpikir bahwa seseorang yang Jang Gyeoul temukan ternyata adalah Profesor
Ahn Jeong Won,” ujar Lee Jihoon setelah menyandarkan punggungnya ke salah satu kursi hitam
kantor departemen bedah umum.

“ Nado ,” timpal Hwang Baejin tak lama setelah kalimat tersebut keluar dari bibir rekan kerjanya.

“Kalian terlihat seperti kecewa. Yah , Ahn Jeong Won tidak seburuk itu!” Lee Ikjun melipat kedua
tangannya didepan dada seraya melirik ke arah Jeong Won yang masih membisu mendengar
penuturan kedua profesor di hadapannya.

“ Yah yah yah! Bukan begitu maksudku!” respon Lee Jihoon cepat, mengerutkan alisnya. Ia
menatap Ikjun sambil menggertakan giginya kecil, tidak setuju dengan ucapan dokter bedah
tersebut. “Aku tidak bermaksud menyinggungmu Ahn Gyosu , hanya saja aku cukup terkejut saat
tahu kau berkencan dengan Dr. Jang,” tambahnya mengklarifikasi, menghindari kesalahpahaman
seperti yang Ikjun pikirkan.

“ Majayo,” Profesor Hwang mengangguk sesudahnya.

“Ahn Gyosunim bukan orang yang buruk. Lagipula kita semua tahu, Ahn Jeong Won adalah dokter
yang cakap dan baik hati. Bisa dibilang, ia sempurna untuk seorang manusia,” Profesor Hong
akhirnya membuka mulut, memberikan tatapan meyakinkan pada Jeong Won yang sedari tadi tak
tahu harus berbuat apa. Pria itu tampak kewalahan dengan segala kalimat yang ia terima, termasuk
pujian dari senior departemennya.

“ Animida , itu tidak benar.” Jeong Won berusaha tersenyum, merendah hati. Ia menyapukan
pandangannya pada Ikjun yang tampak santai memperhatikan dirinya dari jauh, memberikan
cengiran yang tak bisa diartikan oleh dokter bedah pediatrik tersebut.

“Kami tidak kecewa, Profesor Ahn. Kami hanya sedikit shock saat tahu tentang hal itu.” Profesor
Myeong kini memberikan suaranya, menoleh ke arah Jeong Won. “Kami tidak mengira kau
berkencan.”
“Aku juga terkejut sekaligus salut dengan kalian. Bagaimana bisa kalian menyembunyikan ini
sebaik mungkin?” Timpal Profesor Park berpihak pro dengan Profesor Myeong. Kedua pasang
mata itu tampak penasaran menatap Jeong Won. “Memangnya kalau boleh tahu sejak kapan kalian
bersama?” tambahnya lagi setelah berpikir beberapa saat atas pertanyaan awal yang ia ajukan.

“Kalau begitu, bisa kau ceritakan bagaimana bisa kalian berkencan?” Hwang Baejin bertanya
secara gamblang, membuat Ikjun menoleh ke arahnya.

“Aku dengar kau berencana untuk mengundurkan diri dan pergi ke seminar? Bagaimana dengan
Jang Gyeoul bila kau pergi nanti?” susul Profesor Myeong dengan cepat. Ia berhasil membuat
semua pasang mata memusatkan perhatian mereka ke tempatnya duduk. Beberapa dari mereka
memberikan ekspresi terkejut atas pernyataan yang ia ucapkan.

Disisi lain, Ahn Jeong Won sekali lagi tampak kewalahan. Pertanyaan tak terduga yang keluar
begitu saja membuat otaknya bingung untuk tanggap merespon.

“Pelan-pelan, Tuan-tuan. Kenapa kalian terlihat sangat penasaran dengan kisah cinta mereka?
Biarkan mereka dan kehidupan kencan mereka sendiri, bukankah itu hal privasi?” Lee Ikjun
memutuskan untuk menanggapi setelah mengamati sahabatnya terombang-ambing di kondisi
krisis.

“Aku berani bertaruh kau sudah tahu semuanya bukan Lee Ikjun? Jadi kau tak merasa penasaran,”
Jihoon menatap sengit Lee Ikjun di sebelahnya, melipatkan tangannya mengikuti gestur dokter
spesialis bedah HPD tersebut.

“ Aninde! Kau kira hanya kau yang penasaran? Aku juga!” Ikjun melotot, membantah keras
tuduhannya. Bagaimanapun, Jeong Won dan Gyeoul memang termasuk pasangan tertutup yang
jarang menceritakan banyak hal selama mereka berkencan, sekalipun pada dirinya, cupid nomor
satu yang mendorong keduanya untuk bersama.

Terkadang Ikjun dibuat mati penasaran bagaimana dua insan tersebut menjalankan peran masing-
masing sebagai pasangan, menolak lupa fakta bahwa pasangan tersebut sama-sama belum
berpengalaman masalah cinta. Apalagi Ahn Jeong Won yang memiliki riwayat ‘tak-pernah-
bersama-wanita’ sepanjang sejarah hidupnya.

“Ini pertama kalinya Jeong Won jatuh hati seperti ini,” gumam Ikjun pada dirinya sendiri, namun
kalimatnya masih bisa ditangkap jelas oleh telinga-telinga di sekelilingnya.

“Sungguh?” ujar Profesor Lee, Profesor Hwang, dan Profesor Park kompak bersamaan. Mereka
tampak terperanjat dan tak percaya akan TMI yang baru saja mereka dapat.

“ Aigoo yah , aku paham betul dengan rasa menggebu-gebu itu. Kuharap aku bisa kembali ke
masa-masa itu. Dasar anak muda.” Profesor Hong menghela nafasnya, menyesap minuman yang ia
pegang menggunakan salah satu gelas kertas yang terletak di atas meja.

“Apa yang bisa kita lakukan? Mereka sedang dimabuk cinta. Sebaiknya kita ikut bahagia untuk
mereka,” Ikjun tersenyum sambil mengangkat kedua bahunya, sekali lagi mencuri pandang ke arah
Jeong Won yang terlihat ingin memangsanya. Pipi dan daun telinganya mulai terlihat merona.
Semua profesor mengiyakan serempak, mengeluarkan suara dan mengangguk setuju dengan
ucapan Ikjun. Satu per satu, lengkungan di bibir mereka mulai terbentuk.

“Sekarang aku merasa bersalah karena saat itu sempat berencana untuk memasangkan Gyeoul
dengan salah satu dokter di departemen radiologi,” Lee Jihoon terkekeh kecil mengingat
pertemuan mereka beberapa bulan yang lalu, baru menyadari betapa merahnya wajah dokter bedah
pediatrik tersebut saat itu.

“Kau pasti kesal saat itu Profesor Ahn , jeongmal mianhaeyo, ” ujar Profesor Myeong mendahului
Lee Jihoon yang sudah berancang-ancang meminta maaf. Jeong Won tersenyum tipis, ekspresinya
melembut saat suasana di sekitar mereka mulai terasa lebih ringan.

“ Aniyo, Gyosunim . Saat itu tidak banyak orang yang tahu tentang kami, jadi itu hal wajar.
Seharusnya saya yang meminta maaf disini.”

Mereka semua menggeleng, mengerti mengapa keduanya berusaha menyembunyikan hubungan


mereka dari muka publik. Status mereka sebagai profesor-residen di tempat kerja membuat
keduanya harus bekerja secara profesional. Hubungan diam-diam termasuk cara yang ampuh untuk
menghindari segala pandangan buruk orang dan prasangka atau isu yang tak diinginkan (takut-
takut hal tersebut terjadi).

Tidak mengumumkan hubungan juga salah satu solusi yang baik. Tidak terburu-buru. Lagipula,
mengumbar kemesraan di depan banyak orang juga hal yang tak etis dilakukan. Bagaimanapun
rumah sakit adalah tempat mereka bekerja, waktu untuk berkonsentrasi akan peran dan profesi
mereka. Keduanya harus mengesampingkan kehidupan pribadi mereka disana.

“Beberapa orang bilang, akan lebih baik dokter berkencan dengan sesama dokter. Mereka mudah
mengerti keadaan satu sama lain,” ujar Profesor Hwang di tengah obrolan mereka.

“Menurutku itu tak selalu benar. Tapi kurasa pernyataan tentang saling mengerti, aku setuju,”
respon Profesor Myeong pada ucapannya.

“Apakah menyenangkan memiliki pasangan yang berada di satu tempat kerja?” tanya Profesor Lee
Jihoon tiba-tiba.

“Aku yakin ada baik dan buruknya,” Profesor Park membalas setelah berpikir sejenak. “Tapi
kurasa itu bukan hal yang mudah,” lengkapnya di akhir.

“Bukankah itu sedikit sulit untuk bersikap profesional dengan pasanganmu di tempat kerja?”

“Sesulit apapun itu, aku yakin mereka bisa mengatasinya,” ujar Profesor Myeong menatap yakin
Ahn Jeong Won yang tersenyum menunduk, memperhatikan jari-jemari tangannya yang tertaut di
atas pahanya. Pria itu menjadi jauh lebih diam dibandingkan dengan perbincangan yang biasa
mereka lakukan.

“Apapun hubungan kalian, bagaimanapun kondisi kalian nantinya, kuharap kalian berdua tetap
bekerja dengan maksimal,” tutur Profesor Hong seraya menyisipkan pesan dalam ucapannya. “Dan
kalian harus bisa membedakan urusan kantor dengan urusan pribadi,” lengkapnya dengan nada
serius.

Mereka memberikan tatapan berarti pada Ahn Jeong Won, pria itu pun akhirnya mengerti dan
mengangguk. Kini gilirannya membuka suara, “kalian semua dapat meminta bantuan Dr. Jang di
sini, di rumah sakit selama bekerja. Saya berjanji untuk tidak menghalangi siapapun apalagi
memonopolinya."

“Aku pun yakin Jang Gyeoul tak akan melakukan hal seperti memilih kasus pediatri dan selalu
bekerja dengannya hanya karena Jeong Won adalah pasangannya. Gyeoul pasti memilih sesuatu
berdasarkan pemikiran rasionalnya.”

“Benar. Dr. Jang adalah dokter yang kompeten, ia selalu bertindak secara logis. Lagipula kalian
berdua sudah dewasa dan pasti mengerti akan hal ini. Baik dirimu maupun Jang Gyeoul pasti bisa
menempatkan sesuatu dengan benar,” ujar Profesor Sung, setuju dengan ucapan Ikjun sebelumnya.

“Dr. Jang jarang melakukan kesalahan selama ia bekerja. Ia bahkan bisa bertahan selama tiga tahun
disini tanpa bantuan dokter residen lainnya. Caranya bekerja membuatku kagum padanya,”
Profesor Park menambahkan, menatap kosong ke arah meja yang dipenuhi beberapa barang. Ia pun
tersenyum, memberikan tatapan bangga.

“Aku bahkan baru sadar sekarang, akhir-akhir ini Dr. Jang lebih banyak tersenyum dan lebih
semangat saat bekerja. Tak seperti biasanya. Ia bahagia, Ahn Gyosunim .” Mereka mengangguk,
setuju dengan pernyataan tersebut, melihat ke arah Jeong Won yang tersipu.

“Kadang aku berpikir, apakah residen kami memiliki waktu istirahat dan makan dengan teratur?
Melihatnya terus bertugas, belajar siang dan malam, membuatku bertanya-tanya apa ia juga punya
waktu untuk bersenang-senang? Ia selalu terlihat di rumah sakit.” Profesor Lee menghela nafasnya,
seolah-olah menumpahkan keresahan yang ia simpan di benaknya setelah sekian lama.

Seusai jeda yang diiringi dengan keheningan untuk beberapa saat, Lee Jihoon pun terkekeh kecil.
“Tak kusangka, Dr. Jang juga berkencan selama ini. Bagaimana bisa ia melakukan semuanya
sekaligus secara sempurna? Aku sungguh kagum. Dr. Jang adalah sesuatu. Ya , kau sungguh
beruntung Ahn Jeong Won.”

Jeong Won kembali menunduk, melihat ke arah kakinya, menekan kedua bibirnya bersamaan
untuk tidak tersenyum.

Benar. Ia sungguh beruntung telah menemukan Jang Gyeoul. Ia harus lebih bersyukur kedepannya
setelah ini.

Living is a mysterious blessing

There is a clear reason

No need in the world

There are no people

“Profesor Ahn, aku tahu ini sedikit lancang. Tapi aku ingin menyampaikan sebuah permintaan
padamu.” Profesor Hong menghela nafasnya, memberi jarak di sela kalimatnya. “Kau pasti tahu,
tahun ini adalah tahun terakhir Dokter Jang menjadi residen. Kuharap, kau bisa menemani dan
menjaganya dengan baik, Profesor Ahn. Pastikan ia tidak sedih ataupun sakit.”

“Tolong bimbing Jang Gyeoul di tahun keempat ini. Kami ingin ia berhasil menuntaskan semuanya
dengan baik sampai titik terakhirnya. Perhatikan dan pikirkan matang-matang setiap langkah yang
akan kalian ambil ke depannya.”

“Anak itu, sudah bekerja sangat keras untuk meraih semua ini, Ahn Jeong Won. Mungkin kau baru
melihat Jang Gyeoul selama setahun, dan mungkin kau terheran-heran mengapa kami bersikap
seperti ini pada Dr. Jang.” Profesor Myeong tersenyum pada dokter bedah pediatrik tersebut, “kau
akan mengerti bila dirimu mengetahui segala upayanya sejak pertama kali ia datang kesini, tiga
tahun lalu.”

Jeong Won mengangguk, ia paham dengan hal itu. Bahkan belum genap satu tahun, pria tersebut
sudah dibuat amaze dan jatuh hati pada kemampuan yang Jang Gyeoul punya.

“Menurutku, hal ini tidak sesederhana Dr. Jang memilih kasus untuk ia ikuti dan menjadi asisten di
ruang operasi, Profesor Ahn. Tapi ini adalah sesuatu yang lebih rumit bila dipikirkan. Ini tentang
bagaimana Dr. Jang akhirnya memutuskan untuk bersama dengan rekan kerjanya, atasannya
sendiri, di rumah sakit.”

“Dr. Jang harus bisa berkepala dingin dengan segala keputusan yang ia ambil untuk masa
depannya, tanpa terpengaruh olehmu sedikitpun.”

“Banyak hal yang tidak disangka-sangka terjadi di dunia ini, Profesor Ahn. Bukannya aku
mendoakan yang tidak-tidak, tapi aku ingin ia tak akan pernah menyesal dengan apa yang ia ambil,
jikalau, kalau saja… sesuatu yang buruk terjadi di tengah perjalanan kalian.”

Lengang mengisi ruangan tersebut setelah nasehat terakhir mengalir dari bibir Profesor Myeong.
Mereka semua terdiam, tak saling menatap, meresapi setiap kata yang senior mereka ucapkan.
Suasana yang terasa cukup berat membuat mereka tak berani berbicara kala itu.

Open your mind

And face to face

In this first-born star

Let’s hold hands together

“Selama ini, aku mengenal Ahn Jeong Won, aku tahu persis bahwa ia adalah orang yang penuh
dengan rencana. Setiap hal yang ia ambil, tak pernah tanpa petimbangan. Ia adalah orang yang
serius dan tidak pernah main-main, aku yakin pasti akan hal itu.” Lee Ikjun akhirnya membuka
suara, menatap lurus Jeong Won dengan penuh pengakuan. Lelaki itu pun mengangguk, percaya
pada sahabatnya. “Jang Gyeoul memilih orang yang tepat.”

Ahn Jeong Won sudah berjanji tidak akan lagi menjadi pengecut, menghindar, dan menarik dirinya
lagi setelah ia bersanding dengan Jang Gyeoul. Ia tak akan lagi bungkam dan membeku di
tempatnya. Ini saatnya ia membuktikan bahwa dirinya pantas untuk Dr. Jang sebagaimana ia
mengakui Jang Gyeoul selama ini. Bukan hanya di depan wanita itu, namun di hadapan orang-
orang yang menyayanginya.

“Aku sungguh berjanji tidak akan menyakitinya. Aku tahu hal itu. Sudah kewajibanku untuk
menjaganya. Aku peduli padanya seperti kalian peduli pada Dr. Jang. Dan lebih dari itu, aku peduli
padanya, bukan hanya sebagai atasannya, tapi sebagai partner pribadi di kehidupannya.”
“Mungkin kalian tidak melihatnya secara langsung dan gamblang. Tapi percayalah perasaan peduli
ini jauh lebih daripada itu, jauh lebih besar dari yang kalian kira. Jadi kumohon jangan khawatir.”

Jeong Won menuturkan semuanya dengan tegas. Tak ada keraguan yang bisa dideteksi dalam
nadanya. Perasaan lega tumpah dalam rongga dadanya setelah ia berhasil menyelesaikan
kalimatnya. Beban yang terselip mendadak hilang, ia sadar bahwa dirinya sudah tak ingin
menyembunyikan lagi hubungannya dengan Jang Gyeoul. Lelaki itu tak mau lagi berpura-pura dan
berbohong.

“Kami mendukungmu Ahn Gyosunim . Kami ikut berbahagia atas kalian.”

Para profesor pun mengangguk, mengembangkan simpul lebar di sudut bibir mereka. Tatapan
percaya kini hadir di wajah mereka masing-masing.

“Ahn Jeong Won, jal haesseo ,” Ikjun berbisik tanpa suara pada Jeong Won dari kursinya. Ikut
mengangguk bahagia.

“Kenapa suasananya jadi tegang begini? Bukankah kita seharusnya berbahagia?” Ikjun berdiri dari
kursinya, mencairkan atmosfer berat yang yang mengudara di ruangan.

“ Cha cha cha … lebih baik kita merayakan ini.” Jihoon ikut berdiri dan mulai membagikan gelas
kertas di meja, membuka soft drink dan cola yang tersedia di atasnya.

“Untuk Ahn Jeong Won dan Jang Gyeoul, gonbae !”

“GONBAE! ”

Suara gaduh dan tawa para profesor memenuhi ruangan, bahkan terdengar dari lorong kantor.
Mereka bergembira untuk kesekian kalinya di sela-sela kesibukan rumah sakit, departemen bedah
umum memang sungguh sesuatu.

Beruntung Jang Gyeoul tidak ada di sana saat itu. Ah, wanita itu bahkan tak tahu kegaduhan yang
diciptakan para profesornya di luar sana. Yang ia tahu, ia harus tetap fokus pada operasi
transplantasi hati yang tengah ia jalani dengan Profesor Kwon di saat telinganya terasa panas tanpa
sebab.

Di akhir hari, Jang Gyeoul tetaplah Jang Gyeoul yang sibuk bekerja dan menjalankan tugasnya
sebagai residen di departemen bedah umum, tepatnya di pusat medis Yulje.

Chapter End Notes

Jujur, ini chapter yang cukup sulit untuk ditulis. Jadi aku minta maaf sekali lagi kalau
masih ada kekurangan dan pesannya belum ngena. Mohon maaf juga karena tak ada
scene fluff antara gyeoul-jeongwon disini, ixixixixi. Terima kasih banyak untuk
komen di chapter sebelumnya!

Sehat terus ya guys, see you next chapter! Have a great day!
Every Day With You
Chapter Summary

Jang Gyeoul and Ahn Jeong Won's Mother.

Chapter Notes

Lagu kali ini, ost Reply 1988, Sojin ( ) – Everyday With You ( )! Happy
reading~

See the end of the chapter for more notes

Rosa mengamati dua lembar kartu merah bergambar yang sudah terbuka di atas kain biru. Dua
pasang mata lainnya memperhatikan dengan seksama, tak melepaskan pandangan mereka dari
permainan sengit yang tengah berlangsung. Ahn Jeong Won memandang awas wanita berusia tujuh
puluh tahun di hadapannya, dan bergantian melirik ke arah dokter muda dengan wajah datar di
sebelahnya.

Jung Rosa kembali mengecek sisa kartu Go Stop yang berada di genggamannya, begitu pun
dengan anak bungsunya. Detik-detik akhir permainan berada di tangan mereka. Jeong Won
mengadahkan kepalanya, mendekatkan jarinya ke arah dahi kemudian dada, setelahnya ke bahu
kiri dan kanan. Terakhir menautkan kesepuluh jemarinya, simbol berdoa. Memohon pada
Tuhannya agar ia menang, setidaknya untuk sekali ini saja.

Kalau saja, ibunya berhasil mengambil kartu pi yang satu jenis dengan kartu Jeong Won, maka
kartu gwang di tangannya akan menyelesaikan permainan di ronde ketiga kali ini.

Rosa meraih satu lembar kartu merah di atas tumpukan kartu lainnya yang masih tertutup. “Aigoo,
yahh!” ucapnya sembari membalikan kartunya, memperlihatkan lukisan pohon kapas yang sekilas
seperti kembar dengan kartu lainnya.

Kartu Pi. Ahn Jeong Won mengepalkan tangannya, permintaannya terkabul!

“Asaa, Eomma, sepertinya ini giliranku menang!” Jeong Won memamerkan kartu gwang yang ia
selipkan di antara jari tengah dan telunjuknya. Pria itu tersenyum lebar, siap mengeluarkan sorak
sorai panjang, sebelum Rosa-

“Changkaman, adeul,” Rosa kini tersenyum miring.

“ N...ne?”

“Kartu Eomma, sama kali ini.”

“Sepertinya hari ini kau sedang tidak beruntung Jeong Won-ah.” Ibu lima anak tersebut
mengeluarkan kartu terakhirnya. Dengan wajah bangga dan ekspresi sombong yang ia tampilkan,
Rosa memandang anaknya, “Eomma menang. Kkeut! Stop. ”
Suara tepuk tangan mengisi ruang tengah rumah Jung Rosa yang udaranya terasa berat karena
pertandingan panas sebelumnya. Jang Gyeoul tersenyum lebar, memandang kagum Rosa di
sebelahnya lalu memberikan dua jempol yang ia punya sebagai pujian. Mereka tersenyum puas di
hadapan Jeong Won yang tampak frustasi setelah memainkan empat ronde go stop berturut-turut.
Dan lebih memalukannya lagi, ia kalah telak dari Jang Gyeoul tiga kali tanpa ampun. Di ronde
terakhir, Gyeoul memilih untuk tidak ikut dan membiarkan ibu dan anak tersebut bermain berdua.

Ketiga orang dewasa tersebut memutuskan untuk bermain go stop beberapa jam yang lalu untuk
sekadar bersenang-senang. Awalnya, Jang Gyeoul berkata bahwa ia hanya pernah memainkan go
stop beberapa kali seumur hidupnya.

“Jangan khawatir, Gyeoul-ah. Aku akan mengajarimu. Kita akan bermain pelan-pelan,” ujar Jeong
Won dengan senyumnya, Gyeoul mengangguk menurut.

Namun, pada kenyataannya, dokter bedah pediatrik tersebut seperti tertampar dengan ucapannya
sendiri. Jang Gyeoul bahkan memenangkan ronde awal dengan cepat setelah mencetak skor tiga
poin. Jeong Won beranggapan bahwa itu hanyalah keberuntungan pemula. Tapi, lagi-lagi, di ronde
kedua pun, pria tersebut menjadi urutan terakhir setelah Eomma dan Gyeoul.

Putra bungsu Jung Rosa tersebut menegakkan punggungnya di awal ronda ketiga. Kini ia akan
bermain dengan serius dan tak menganggap remeh kedua lawannya.

Sayang seribu sayang, kemalangan sedang menimpa, Jeong Won pun kembali keok di bawah Jang
Gyeoul dan Jung Rosa.

“Gwenchanayo, Oppa. Lain kali Oppa pasti menang.” Gyeoul menepuk-nepuk pundak Jeong Won
yang tengah memanyunkan bibirnya sambil menunduk. Kini ia mulai terbiasa memanggil
'gyosunim'-nya oppa.

Topi baseball yang sengaja Jeong Won kenakan terbalik dan sweater hijau pastel yang ia pakai
semakin membuatnya terlihat seperti anak kecil yang sedang merajuk. Gyeoul tak bisa menahan
senyum ketika menemukan sisi imut profesornya tersebut.

Ini merupakan kunjungan kedua Gyeoul dan Jeongwon ke Yangpyeong setelah sebulan yang lalu
pria berusia empat puluh tahun tersebut membawa kekasihnya ke rumah sang ibu. Jang Gyeoul
yang awalnya tampak gugup di pertemuan pertama, kini terlihat lebih santai.

Pertama kali dokter residen tersebut berkunjung, Rosa memasak banyak sekali makanan untuk Jang
Gyeoul hingga Jeong Won mengira ibunya mengadakan pesta. Gyeoul yang saat itu tak
membawakan apapun selain buah, membuatnya merasa telah merepotkan Rosa yang menyiapkan
semuanya sendirian.

Kini di kedatangan kedua mereka, Jeong Won meminta sang ibu untuk tidak membuat banyak
hidangan. Kalaupun ingin memasak, maka anak bungsunya akan datang dan membantu sang ibu.
Gyeoul pun tak lupa membawakan Yukjeon dari Gwangju yang dibuat orang tuanya. Tak
terbayang betapa senangnya Rosa saat pasangan tersebut mengetuk pintu dan tersenyum manis di
hadapannya. Apalagi melihat Jang Gyeoul yang memakan makan siangnya dengan lahap tanpa
sisa. Membuat Jeong Won beberapa kali berkata, “Eomma, kalau kau terus memandang Gyeoul
seperti itu, Gyeoul akan takut dan kabur.”
Every day, I want to see the morning sun with you

Every day, I want to open my eyes with you

Every day, I want to be with you

Every day, I want to talk to you

Menurut Rosa, apa yang ia alami sekarang terasa seperti mimpi. Menonton anak bungsunya
menyelipkan rambut Gyeoul ke daun telinganya seraya menyarankan agar kekasihnya itu
menikmati makannya perlahan, membuat hati Rosa terasa hangat.

Ia tak meminta banyak pada Tuhan, selain membuat putra termudanya tinggal di Korea, dekat
dalam jarak dan jangkauannya. Kalaupun ada hal lain, maka ia akan menyimpannya untuk hari
nanti. Namun Tuhan tampaknya sangat menyayangi Rosa, ia memberikan apa yang ibu itu
inginkan secepat kilat.

Kalau seperti ini, Rosa rasa, bila ia mati sekarang pun, ia akan tenang.

Ah tidak, Ibu tersebut menggeleng.

Tapi tentu tidak. Tidak sebelum ia melihat anaknya mengenakan jas pengantin, berdiri sebagai
mempelai pria. Walaupun bayangan itu terlihat masih sangat jauh, ia yakin suatu hari nanti semua
impiannya akan terwujud. Satu per satu. Ia hanya butuh bersabar. Hanya saja, ia tak tahu sampai
kapan harus bersabar bila berkaitan dengan Ahn Jeong Won. Tsk, anak nakal itu .

The rainy streets at dawn

The fiery evening sky

I want to share everything that surrounds us

“Cuaca hari ini sangat bagus bukan? Neomu jota,” Rosa memandang langit dari tempatnya duduk,
di dekat pintu.

“Ne, Eomoni.” Jang Gyeoul mengangguk setuju sembari memetik daun perilla di pekarangan. Tak
terasa, waktu makan siang telah tiba selepas mereka bermain Go Stop. Rosa baru saja ingat bahwa
setengah persediaan dapurnya sudah habis setelah Jongsu mendadak mampir subuh sekali untuk
meminta bekal karena ia akan pergi piknik bersama cucunya. Sebenarnya, bila untuk makan siang
saja, persediaan yang ia punya, cukup untuk dimakan bersama. Tetapi, Rosa ingin sekali membuat
beberapa stok simpanan kulkas sebagai oleh-oleh untuk Gyeoul bawa ke Seoul.

“Untuk Gyeoul? Untukku juga ada ‘kan?” Jeong Won bertanya pada ibunya dengan wajah polos,
mengeluarkan puppy eyes agar ibunya juga menyiapkan makanan untuk dirinya.

“Kau? Kau punya banyak uang untuk membeli makanan, atau tidak, buatlah sendiri. Bukankah
Eomma sudah mengirimkanmu stok kimchi bukan dua hari yang lalu?” Rosa menjawab santai
tanpa melihat ke wajah Jeong Won yang memelas. Kini ia sadar, posisinya sebagai anak bungsu
sudah dikalahkan oleh Jang Gyeoul.

“Eomma, aku kan tidak tinggal sendirian. Eomma tahukan Junwan kalau makan bagaimana?”

“Ya! Kau yang seharusnya keluar dari rumah Junwan dan cari apartemenmu sendiri! Kenapa kau
masih menumpang dengannya ketika kalian berdua sama-sama sudah memiliki pacar?” Rosa
mengomel ketika wanita itu meminta anak bungsunya untuk pergi ke supermarket membeli bahan,
sementara dirinya dan Gyeoul akan mengambil sayuran hasil kebun yang ia tanam sendiri di kebun
mininya. “Kau memang baru saja membeli mobil, tapi kita bahkan tak sebangkrut itu untuk
membeli apartemen di waktu yang sama,” gerutunya lagi dengan volume suara yang lebih rendah.

Every day, I want to be in your arms at night

Every day, I want to fall asleep with you

Jeong Won mengerucutkan bibirnya, okey , ia kalah kali ini, lebih baik cepat-cepat beranjak dari
sana. Pria itu bersiap pergi dari tempatnya ketika Rosa kembali bicara, “ah matta. Kenapa kau
tidak tinggal dengan Jang Gyeoul saja? Agar Eomma tak usah repot-repot membuat dua bekal
terpisah.”

“Ah Eomma!” Jeong Won spontan melebarkan matanya setelah kalimat sang ibu berhasil masuk ke
dalam kepalanya. Bagaimana bisa ibunya membiarkan seorang pria dan wanita tanpa ikatan tinggal
satu atap? Baiklah, baiklah, itu memang bukan hal aneh atau hal baru di Korea. Tapi bagi Ahn
Jeong Won, itu tergolong hal tabu dan mungkin terkesan terburu-buru karena mereka masih bisa
dibilang pasangan baru. Terlebih lagi, Jeong Won tahu, Gyeoul kini tinggal dengan adik laki-
lakinya.

“Araseo, araseo. Kka!” Rosa yang tahu pasti dengan jawaban Jeong Won memilih untuk
menyudahi perang mulut mereka sebelum Jang Gyeoul mendengar. Jeong Won pun melangkahkan
kakinya dari dapur untuk keluar karena tak mau membiarkan perut mereka kosong lebih lama.
Saatnya pergi ke supermarket!

Menunggu Jeong Won pulang, Rosa dan Gyeoul pun menyibukkan diri mereka di kebun. Jang
Gyeoul berinisiatif untuk mengambil bahan-bahan yang mereka perlukan dan meminta Rosa untuk
duduk di teras agar ibu dari kekasihnya tak perlu membungkuk untuk memetik. Ibu dari lima anak
itu mengembangkan lengkungan di wajahnya, tersentuh dengan kebaikan yang wanita muda
tersebut miliki.

“Gyeoul-ah, apakah kau lahir di musim dingin sehingga namamu ‘Jang Gyeoul’ ?” Rosa tiba-tiba
bertanya, membuka topik obrolan berdua di antara mereka. Merasa penasaran dengan arti nama
dari wanita cantik yang menjadi malaikat di kehidupannya.

Jang Gyeoul tersenyum, mengingat cukup banyak pertanyaan serupa yang dilontarkan kepadanya
selama ia hidup. Ia pun menggeleng. “Banyak yang mengira seperti itu, Eomoni. Tapi sebenarnya
bukan.”

“Appa dan eomma bertemu untuk pertama kalinya di musim dingin. Mereka akhirnya jatuh cinta
dan menamakanku ‘Gyeoul’ untuk mengingat kenangan mereka.” Gyeoul menjelaskan alasan klise
yang pernah ayahnya ceritakan semasa ia remaja. “Selain itu, saat aku lahir, turun gerimis kecil
yang tak henti sepanjang hari. Akibatnya suhu hari itu lumayan dingin. Appa bilang, hari itu
dingin sekali, rasanya seperti salju akan turun.”

“Jang Gyeoul. Nama dengan makna yang sangat indah.” Rosa menimpal setelah jeda beberapa
saat. “Pasti orang tuamu saling mencintai satu sama lain,” tambahnya lagi dengan senyum tipis dan
ekspresi yang tak dapat dibaca Gyeoul. Mengingat kisah lama dalam hidupnya yang telah layu.

“Kalau begitu kau lahir di musim apa?” Rosa membuang ekspresi sedihnya, mengganti topik
dengan sesuatu yang lebih menyenangkan.

“Musim semi.”

“Sungguh? Jeong Won pun lahir di musim semi!” Rosa berseru riang, mengetahui hal tersebut.

“Ne. Tanggal lahir kita memang beda satu hari.”

“Jeongmal?” Rosa hampir loncat dari kursinya, kemudian menepukkan tangannya, “woah, apa ini
kebetulan? Kalau begitu, kau harus datang kesini bersama Jeong Won saat salah satu dari kalian
ulang tahun! Kita harus merayakannya bersama.”

Gyeoul mengangguk cepat dan tersenyum amat lebar, mengiyakan saran Jung Rosa. Menampilkan
kedua lesung manis di pipinya.

Every day, I want to see the morning sun with you

Every day, I want to open my eyes with you

Every day, I want to be with you

Every day, I want to talk to you


“Aigoo, andai saja Profesor Ahn sering membawamu kemari Dr. Jang. Aku yakin suasana hatiku
akan cerah setiap hari. Kuharap jadwal kalian tak begitu padat,” ujar Rosa setelah memperhatikan
Gyeoul, dokter tersebut mulai memetik selada yang terletak dekat dengan tempatnya duduk. “Anak
itu bahkan sulit mengunjungi ibunya semenjak ia menjadi profesor,” gumam Rosa pada dirinya
sendiri.

“Ye?” Gyeoul mengangkat kepalanya, tak berhasil menangkap ucapan terakhir Rosa.

“Ani, ani.” Rosa menggeleng kecil, ia pun menyapu pemandangan di sekitarnya dan menghela
nafas. “Kau tahu kenapa aku menamakan putra bungsuku, ‘Jeong Won’ ?” tanyanya pelan yang
spontan dijawab dengan gelengan kepala Jang Gyeoul, rasa penasaran tersorot jelas dari kedua
mata bulatnya.

Rosa mengeluarkan simpul di sudut bibirnya, “layaknya musim semi saat ia dilahirkan, aku ingin
anak terakhirku mekar indah seperti bunga-bunga di taman. Kami ingin ia menjadi anak yang baik
dan memberikan kenyamanan pada semua orang.”

“Taman. Ketika kau merasa benakmu amat penuh, datanglah ke tempat tersebut dan beristirahatlah
sebentar. Kau akan menemukan ketenangan yang meredakan segala rasa tertekan dan gelisah yang
kau miliki.”

“Aku ingin anak bungsuku menjadi tempat yang kuat untuk orang-orang di sekitarnya. Dan untuk
dirinya sendiri.” Rosa tersenyum, memandang ke arah tangannya yang kini saling bertaut. Ia
menyandarkan punggungnya ke kursi lalu melihat ke arah Jang Gyeoul.

“Tapi lihatlah ia,” Rosa menggeleng dan terkekeh kecil, “anak nakal itu malah tumbuh menjadi
orang yang keras kepala, tidak menurut, dan sangat sensitif.”

“Pikiran dan perasaannya sangat mudah ditebak dari wajahnya,” lanjutnya Rosa menatap Gyeoul,
“selalu membuatku cemas.”

“Dan dia saaangat cengeng,” tambahnya lagi.

“Gyeoul-ah, kau mungkin tidak tahu seberapa sering aku bertengkar dengannya.” Rosa memajukan
wajahnya pada Jang Gyeoul yang sedari tadi berjongkok dan mendengarkannya lamat-lamat.
“Kuharap kau akan tahan dengan sikapnya. Aku tahu kalian akan cocok. Aku tahu pasti akan hal
itu.” Jung Rosa tertawa kecil, melihat Gyeoul yang mengedipkan matanya beberapa kali.

“Walaupun begitu, ialah yang terbaik di antara kakak-kakaknya. Ia cerdas dan sangat pengertian. Ia
memiliki kepribadian yang lembut dan hangat.” Rosa sekali lagi memberikan senyuman tulus,
“beruntung sekali ia telah menemukan musim dinginnya sekarang. Kau tahu? Aku saaangat lega.”

“Profesor itu memperlakukanmu dengan baik ‘kan, Dr. Jang? Awas saja bila tidak. Bilang saja
padaku kalau ia berperilaku buruk!” Jang Gyeoul tersenyum dan mengangguk.

“Jangan khawatir, Eomoni. Oppa sangat baik padaku. Aku bahkan kewalahan dengan sifatnya
yang sangat hangat dan perhatian.”

Jang Gyeoul terdiam sejenak, “Kadang aku bertanya, bagaimana ada orang dengan hati selembut
miliknya?” Ia kemudian menatap lurus kedua mata Rosa, “aku rasa kini aku tahu, itu semua dari
dirimu, Eomoni.”

“Aigoo, chakkada. Terima kasih banyak Jang Gyeoul. Kau sungguh malaikat bagiku.” Rosa
menangkup wajah kecil Jang Gyeoul yang membuat wanita itu sedikit mundur karena terperanjat.
“Aku tak tahu apa yang terjadi bila kau tak datang. Apakah Jeong Won masih ada di sisiku, atau
mungkin seharusnya sekarang ia ada di sisi Tuhan? Aku tak tahu betapa sedihnya diriku bila ia
benar-benar pergi. Berkat dirimu aku bisa tersenyum bahagia sekarang. Sekali lagi, terima kasih
sudah datang.”

“Aniyo, Emoni. Itu bukan karenaku. Oppa memang sudah memilih untuk tetap di Seoul atas
keputusannya sendiri. Aku hanya datang di waktu bersamaan.”

“Tapi tetap saja. Berkatmu aku berhasil melihat sisi Ahn Jeong Won yang tak pernah kulihat
sebelumnya. Jeongmal jeongmal gomawo. ”

Gyeoul mengangguk sambil melengkungkan bibirnya amat lebar.

Satu bulir air mata yang tanpa sadar jatuh di pipi kanannya. “Kenapa aku menangis?” Rosa
berusaha tertawa dan mengelap kedua kelopak matanya yang basah menggunakan punggung
tangannya. Rasa haru tiba-tiba menyelimuti jiwanya, membuatnya emosional mendadak.

Jang Gyeoul hanya bisa tersenyum, mengerti dengan apa yang Rosa rasakan.

Ah, ia juga pernah menangisi orang yang sama. Ia bahkan menangis lebih kencang lagi setelah
lelaki yang ia tangisi mengecup bibirnya. Air matanya berhasil membanjiri coat biru dongker yang
Jeong Won kenakan saat mereka saling memeluk erat satu sama lain.

Jangankan Rosa yang sudah melahirkan dan membesarkannya, pasien yang baru bertemu
dengannya dalam kurun waktu seminggu saja tak mau berpisah dengan Dokter Ahn. Jang Gyeoul
yakin, Profesor Lee yang suka melontarkan lelucon dan tawa setiap saat pun pasti diam - diam juga
menangis saat tahu sahabatnya memilih untuk melepas jas dokternya dan menggantinya dengan
jubah pastor.

Bayangan - bayangannya akan terus ada. Dokter tersebut selalu bercengkrama dengan pengunjung
kecil, berjalan dengan menjingkatkan kakinya perlahan setiap malam hanya untuk memastikan
mereka sudah terlelap di bangsal anak-anak, hanya untuk memastikan mereka tak terganggu dalam
tidurnya, memastikan mereka semua baik-baik saja.

Mengorbankan waktunya untuk merawat mereka dengan penuh kasih sayang, dengan sepenuh hati.
Semua itu akan menghantui ingatan Gyeoul bila dirinya melepaskan Profesor Ahn begitu saja.
Maka dari itu, sebelum ia terlambat, sebelum ia menyesal nantinya, ia memutuskan untuk
mengungkapkan semuanya, walau ia tahu ia belum tentu berhasil saat itu. Setidaknya ia telah
mencoba.

Lamunan Gyeoul terpecah saat mendengar bunyi pintu terbuka. Keduanya berpandangan dan
berbicara tanpa suara, ‘Jeong Won pulang.’ Rosa membantu Gyeoul membawa hasil kebun yang ia
petik untuk dibawa ke dalam.

Wanita itu berdiri, seraya berkata, “tumben cepat sekali belanjanya, Maknae-ah…”

Kedua wanita itu terdiam tatkala tahu orang yang berdiri disana bukan pria yang mereka kira.

“Eo?”

“Eomma? Kau habis menangis?” Pria itu berdiri di pintu masuk kebun kecil Rosa sambil
menjinjing bungkusan plastik di tangan kanannya.

***
“Jadi kau wanita yang Andrea ceritakan?” Dong Il memastikan sembari menyantap makan siang
rumahan ala dapur Jung Rosa.

“Ne?” Gyeoul spontan melebarkan matanya sesaat setelah benaknya berhasil mencerna ucapan
pastor tersebut.

“Andrea beberapa waktu yang lalu… kalau tidak salah… sekitar akhir tahun. Akhir tahun kah?”
Pastor itu tampak berpikir, mengingat-ingat. “Ahh iya benar. Saat itu beberapa hari sebelum natal.
Dia selalu datang ke gereja,” pria paruh baya tersebut menjelaskan kepada dokter muda yang
tampak kebingungan. “Dia datang padaku dan minta maaf beberapa kali.”

“Kenapa anak itu meminta maaf?” Rosa menyerobot penasaran, tak sabar dengan cerita anak
sulungnya yang terlalu lambat.

“Ia bercerita ia tak bisa pergi ke Italia karena ia ragu. Andrea bilang, hatinya ada di rumah sakit,”
Dong Il menyuap sedikit nasi ke mulutnya, ia lapar. Sayangnya kedua pasang mata wanita yang
dipenuhi rasa ingin tahu tersebut, tak mengizinkannya menikmati hidangan dengan bebas.

“Aku kira Andrea mengidap suatu penyakit jadi ia tak bisa pergi. Atau aku pikir ia ingin
mendonorkan hatinya.” Dong Il memelankan suaranya ketika Ahn Jeong Won mulai duduk tepat di
hadapannya membawa nampan berisi teko air yang penuh.

Pria yang mereka bicarakan mendelik ke arah Dong Il, mencium bau pembicaraan tidak beres yang
terjadi sesaat ketika ia pergi meninggalkan ketiga orang tersebut di ruang tengah.

Mengetahui adik paling kecilnya menatap tajam, Dong Il kembali diam dan mengambil sumpitnya,
tak melanjutkan sesi dongengnya.

“Lalu?” Jung Rosa memaksa, tak ingin ceritanya terpotong. Putra sulungnya menggeleng, yang
dibalas dengan pelototan oleh Rosa. “Jangan membuat saya penasaran, Sinbunim! ”

“Aku kira Andrea bangkrut dan akhirnya menjual hatinya ke rumah sakit,” ulangnya lagi, dan diam
beberapa saat. “Tapi ternyata hatinya telah dicuri seorang dokter.”

Rosa melepaskan tawanya bersamaan dengan Gyeoul yang menunduk menahan senyum. Kedua
pipinya terasa hangat ketika kakak sulung Jeong Won (kompak bersama sang ibu) menggodanya.

“Ah, Hyung… berhentilah!” Jeong Won merajuk sembari menuangkan air ke dalam gelas, dibantu
oleh Gyeoul yang tentu memerlukan sesuatu untuk dipegang agar ia bisa menyembunyikan rasa
gugup dan salah tingkahnya. Dokter muda tersebut bahkan tak menyangka seorang pastor bisa
mengucapkan hal tersebut.

“Apa tidak ada cerita lagi?” Rosa kembali memulai setelah ruangan tersebut hening untuk
beberapa menit, hanya dipenuhi dengan suara alat makan mereka. Dong Il kembali terdiam,
mengeluarkan ekspresi ‘berusaha mengingat’-nya.

“Andrea saat itu datang padaku karena tak tahu harus datang kemana lagi. Ia meminta petunjuk
karena sangat bingung bagaimana cara mengungkapkan perasaannya pada-”

“Hyung gumanhae jinjja!” Andrea memasukan yukjeon yang dibungkus dengan selada ke mulut
kakak tertuanya, menyumpal mulutnya dengan makanan agar ia berhenti bicara.

“Ya! Ahn Jeong Won, hyung-mu sedang bicara!” Jung Rosa mengomeli anak bungsunya sembari
menahan tawanya. Gyeoul kembali menunduk menggigit bibirnya agar ia tak mengeluarkan
senyumnya. Dong Il hanya bisa berbicara dengan suara tak jelas dengan mulut penuhnya setelah ia
terkejut untuk beberapa saat.

“Eomma bersekongkol dengan Hyung? Eomma tahu ‘kan membicarakan orang itu tidak baik.”
Jeong Won mengotot sembari melirik pada Jang Gyeoul yang sudah merona karena merah
wajahnya. Daun telinga lelaki itu juga sudah tampak seperti kepiting rebus karena malu.

“Benar, membicarakan orang itu tidak baik, tapi kau bukanlah ‘orang ’ di mata kami, kau hanyalah
maknae kami.” Kini Rosa yang mulai membuat gulungan makanan besar dengan daun perilla,
“Maknae-ah, kita memang tidak boleh membicarakan seseorang, di belakangnya.”

“Karena itu kita harus membicarakan orang, di depan orang tersebut.” Wanita berusia 70 tahun itu
pun menyuapkan bungkusan yang ia buat ke dalam mulut Ahn Jeong Won yang sudah membuka,
siap membantah ucapan Rosa dengan perkataan apapun yang ada di otaknya.

Mulut Jeong Won kini sibuk dengan suapan yang baru saja ibunya berikan, sedangkan Dong Il
tampak tersedak. Makanan yang tak berhasil ia kunyah dengan baik masuk ke dalam pipa yang
salah di kerongkongannya. Rosa pun mengoper gelas berisi air ke depan Dong Il, yang dengan
cepat, Jeong Won ambil terlebih dahulu sebelum kakaknya dan meminumnya agar mulutnya
kosong.

“Eomma!”

“Ya!”

Kedua pria itu berseru kompak, membuat Rosa menutup matanya sebagai respon. Dong Il yang
belum juga minum terbatuk beberapa kali, melempar daun selada ke arah adiknya lalu mengambil
gelas berisi air di sisi kiri Jeong Won (tentu sebenarnya itu milik Jeong Won).

“Hyung, apakah seorang pastor diajarkan untuk melempar makanan? Ini pemberian dari Tuhan!”

“Kau sendiri? Bagaimana bisa seorang dokter membiarkan kakaknya tersedak? Kau ingin
kakakmu mati?”

“Aish, geumanhae, geumanhae!”

“Ah Eomma!” Mereka serempak mengadu pada Rosa, wanita itu menutup kedua telinga karena
ribut yang mereka buat.

“Yah stop! Kalian berdua kalau masih berisik, keluar dari rumah ini!”

“Jangan panggil aku Eomma, Eomma, Eomma ! Anakku hanya Jang Gyeoul sekarang!” Wanita itu
mengambil daging dan menaruhnya ke atas nasi Jang Gyeoul. “Makanlah dengan lahap Gyeoul-ah,
jangan hiraukan mereka.”

“Eomma!”

Rumah Rosa yang biasanya hening dan sepi, kala itu kembali diisi dengan keributan yang sama
seperti tiga puluh tahun yang lalu.

The rainy streets at dawn


The fiery evening sky

I want to share everything that surrounds us

Everyday with you

Everyday with you

Chapter End Notes

Aku mau minta maaf sebelumnya kalau Dong Il disini mungkin agak keluar dari
karakternya yang kalem sebagai pastor wkwkwk. Tapi aku punya firasat, walaupun dia
pastor, dia tetap jadi anak bagi ibunya dan tetap jadi kakak yang jahil untuk adiknya.
Aku ga bisa ninggalin image kocak Dong Il gitu aja walaupun dia jadi pastor di drama
ini. Aku juga pakai nama sama tanggal lahir asli karakternya. Semoga tetap enjoy ya~
Masih banyak kekurangan disini, jadi maafkan :"

Have a nice day! Jaga kesehatan! Jan lupa habiskan waktu bersama keluarga di akhir
pekan~

Terima kasih sudah membaca.


Something Happens In This Afternoon
Chapter Summary

Bong Salon.

Chapter Notes

Maaf untuk update yang terlambat huhuhuee! Semoga malam minggumu


menyenangkan! ~ Chapter kali ini, didedikasikan untuk Bong Salon dan anggotanya.
Lagu yang kupilih (SBGB) – (Feat. (NaktaCho2)) Something
Happens In This Afternoon, cukup ringan untuk di dengar. Semoga bab ini gak
kepanjangan, ga bosenin, dan masuk akal ya kawan:"

Selamat membaca~

See the end of the chapter for more notes

Bong Gwang Hyeon selalu berpikir ada yang berbeda dengan Ahn Jeong Won.

Bukan, ia menggeleng.

Bukan tentang bagaimana pria sempurna yang satu sekolah dengannya dahulu itu, sekarang
berubah dari segi skill, penampilan, dan budi pekerti. Ia masih menjadi Andrea yang sama seperti
yang ia kenal. Tak melupakan betapa rendah hatinya pria itu bila Gwang Hyeon tahu kebenaran
bahwa Jeong Won merupakan pewaris perusahaan tempatnya bekerja, Yulje.

Anak nakal ini terkadang membuatnya merasa iri, betapa beruntung hidupnya. Pesonanya berhasil
membuat siapapun tertarik oleh gaya gravitasi yang seolah-olah ia punya. Sayangnya, ia rasa
semua itu sia-sia untuk Jeon Won. Karena, sampai saat ini, tak pernah ada yang berhasil membuat
pria itu terpikat.

Jangankan mengejar apalagi bertekuk lutut, untuk membuatnya mengajak seorang wanita pergi
makan malam berdua ,pun, belum tertulis dalam catatan sejarahnya.

Profesor Ahn Jeong Won, itulah yang staf rumah sakit panggil. Memang bukanlah orang yang
dingin, anti sosial, dan tak tertarik dengan wanita. Sebaliknya, menurut Gwang Hyeon, ia adalah
orang yang ramah, sangat sopan, hangat, dan termasuk pribadi yang mudah bergaul dengan
siapapun. Caranya berinteraksi dengan anak-anak membuat insan manapun jatuh hati pada dirinya
dalam sekali tepuk. Pria itu bahkan mampu mentraktir seluruh dokter di satu departemen bila
seseorang sengaja memintanya, tanpa alasan yang khusus. Tapi, tidak ada satupun 'orang luar'
yang sukses melewati batas tak kasat mata yang telah Ahn Jeong Won buat.

Sedikit-banyak ia tahu, Jeong Won adalah seorang yang memiliki sifat kontradiksi terhadap teman
dan keluarganya. Bong Gwang Hyeon yakin, setiap orang memiliki kekurangan di bawah limpahan
kelebihan yang mereka punya. Terlepas dari itu, ‘Emergency Medicine doctor’ tersebut tetap
mengakui betapa hebatnya Ahn Jeong Won sebagai seorang bedah pediatrik.
Gwang Hyeon menyilangkan tangannya memperhatikan Jeong Won yang tengah mengecek salah
satu pasien kecilnya di IGD. Kembali lagi pada pernyataan awalnya, Bong Gwang Hyeon selalu
berpikir ada yang berbeda dengan tingkah Ahn Jeong Won.

Bukan pada orang-orang di sekitarnya ataupun pada seluruh staf rumah sakit. Tapi hanya pada
satu-satunya residen di departemen bedah umum, Dokter Jang Gyeoul.

Oleh karena itu akhir-akhir ini, Gwang Hyeon percaya, ada sesuatu yang terjadi di antara
keduanya.

Jeong Won memang sudah bersikap diluar kebiasaannya pada Dr. Jang semenjak awal. Ia
menyadarinya setelah beberapa kali melihat langsung interaksi di antara mereka. Profesor Ahn
yang orang tahu, merupakan orang yang tak pernah marah dan lemah lembut pada siapapun.
Namun, Gwang Hyeon berhasil menangkap betapa berbedanya Ahn Jeong Won yang ia kenal di
hadapan Jang Gyeoul.

Apa mungkin seperti itu cara dirinya memperlakukan seorang bawahan dan kolega kerja?

Gwang Hyeon pernah berpikir demikian. Bagaimanapun, ia baru melihatnya beberapa kali bekerja
disana setelah pria itu pindah dari RS Kangwoon bersama Kim Junwan. Ketegangan yang ada di
antara mereka setiap kali Gwang Hyeon berada di sekelilingnya terasa tak tertahankan. Ia terus
mengingat kejadian dimana dirinya menangkap basah Jeong Won yang sedang menegur Gyeoul di
balik tirai IGD. Itu untuk pertama kalinya untuk seorang Bong Gwang Hyeon melihat Ahn Jeong
Won marah.

Seperti dijungkir balik, Gwang Hyeon dibuat bingung dengan ekspresi ganjil Jeong Won saat Dr.
Jang menangani pasien penuh belatung dengan tangan kosongnya, dan bagaimana khawatirnya pria
itu saat residennya berlari tanpa alas mengejar seorang ayah yang melakukan kekerasan pada
sepasang anak kembarnya. Gwang Hyeon tentu paham aksi Dr. Jang memang tak dibenarkan,
Jeong Won bisa saja marah jika ia terluka, karena bagaimanapun residen tersebut sedang berada di
bawah tanggung jawabnya.

Geez, sekali lagi, Bong Gwang Hyeon menentang bila ia dilabeli sebagai orang yang cerewet dan
suka bergosip. Dirinya bahkan tidak lebih berisik dari Lee Ikjun. Dokter berusia 40 tahun tersebut
hanya pandai membaca ekspresi wajah seseorang dan mudah mengingat banyak informasi tentang
orang-orang di lingkungannya. Ia tak akan banyak omong bila para residen dari berbagai
departemen tersebut tidak memintanya. Lagipula Bong Salon ada karena ketidak-sengajaan. Apa
yang bisa ia lakukan di waktu luangnya? Sungguh ia hanya merasa bosan. Dan dongeng tentang
lima sekawan bertajuk ‘the lacking five ’ adalah cerita andalannya, pengantar istirahat di sela-sela
jadwal sibuk mereka.

Dengan cerita favorit mereka, Bong Gwang Hyeon bisa tahu dan mampu lebih dekat dengan para
residen, tak luput dari pengamatannya pada rasa penasaran dokter-dokter residen yang tentu ada
sangkut pautnya pada hal pribadi yang mereka sembunyikan.

Berbeda dengan yang lain, menurut Gwang Hyeon, Jang Gyeoul adalah dokter yang tak berusaha
keras menutupinya. Bagaimana sepasang mata wanita itu berbinar ketika nama Ahn Jeong Won
disebut bersamaan dengan respon alami tubuhnya, mendorong rasa ingin tahunya atas apa yang
terjadi dengan keduanya.

“Siapa sebenarnya pacar Jang Gyeoul?” Dr. Bong Gwang Hyeon bertanya pada Lee Ikjun yang
duduk di sampingnya. Matanya masih tidak bisa lepas dari Jeong Won yang baru saja membuka
pintu taxi di bawah hujan. Gambaran Jeong Won yang mati kutu saat Jang Gyeoul turun diantar
oleh pria muda tampan yang terus berganti mobil setiap harinya, masih terbayang segar di
kepalanya.

Sejujurnya, ia sendiri tak yakin Dr. Jang memiliki pacar. Menilik dari bagaimana wanita itu selalu
sibuk di rumah sakit, menjadi asisten dari tiga belas profesor, dan menanggung tugas residen
departemen bedah umum sendirian, membuatnya kagum bagaimana ia bisa mengatur waktunya
dengan baik. Apa ia bisa menyisihkan waktunya untuk berkencan?

Aish, jangan meremehkan seseorang, Bong Gwang Hyeon! Lelaki itu melirik Lee Ikjun di
sampingnya. Jauh di lubuk hatinya, Gwang Hyeon tahu, Ikjun juga pasti menyadari keganjilan
yang terjadi di antara mereka. Tanpa diminta pun, rekan gila di sampingnya pasti sudah
merencanakan sesuatu dalam otaknya menyangkut sepasang dokter yang bertingkah bodoh di
hadapan satu sama lain tersebut. Gwang Hyeon hanya tak ingin ikut campur.

Selama ia mengenal Jeong Won, Gwang Hyeon tak pernah menyangka lelaki itu pada akhirnya
akan menyukai seorang wanita.

Yup, ia menyimpulkannya demikian. Hanya dengan mengamati keduanya, pria bermarga Bong
tersebut dapat melihat apa yang mereka coba sembunyikan. Pasangan cocok yang mampu
melengkapi kekurangan satu sama lain.

Dan Gwang Hyeon yakin, sesuatu telah benar-benar telah terjadi di antara Gyeoul-Jeong Won
hanya dengan mengingat bagaimana Jeong Won berubah menjadi jauh jauh jauh lebih aneh lagi
pada Jang Gyeoul akhir-akhir ini.

Apakah Jeong Won bisa menjelaskan apa maksud dari ekspresinya itu saat Jang Gyeoul jatuh
sakit? Sejak kapan Gyeoul menjadi sangat dekat dengan anggota lacking five selain Jeong Won dan
Lee Ikjun? Bagaimana bisa mereka sering datang ke IGD bersamaan?

Dan kini Bong Gwang Hyeon terus bertanya tentang absennya Jang Gyeoul di sesi Bong Salonnya
tanpa alasan yang pasti.

***

This boring morning

I diligently opened my eyes again

“Bagaimana rasanya bekerja dengan Dr. Seo?”

“Dr. Seo?” Gyeoul mengerutkan keningnya setelah mendengar Minha menyebutkan dokter fellow
baru di departemennya. “Dia dokter yang hebat,” jawab residen bedah umum tersebut
menyendokkan nasi ke dalam mulutnya.

“Lalu?”

“Lalu?” Gyeoul kembali berpikir saat temannya itu berusaha mengganggu makan siangnya di
kantin tersebut. “Dia baik.” Gyeoul mengangguk, menjawab apa adanya.

“Hanya itu?” Minha menggigit bibir bawahnya gemas saat Gyeoul mengangkat bahunya dan
menjawab ‘ya’ dengan polosnya.

Minha kini menyandarkan punggungnya ke kursi, membiarkan food tray -nya yang masih terisi
penuh dengan lauk pauk dan nasi begitu saja. “Aku sempat melihat kalian tertawa bersama di IGD
tadi. Apa yang kalian bicarakan?” Residen obgyn tersebut memberikan senyum ganjil, berhasil
membuat Gyeoul berhenti mengunyah.

“Bukan apa-apa,” Gyeoul menjawab singkat setelah berhasil mengingat apa kejadian yang Dr. Chu
maksud. Ia kemudian melanjutkan aktivitasnya, tak berhasil menemukan makna terselubung
dibalik kalimat Minha. Mendengar jawaban janggal Gyeoul, Minha pun mendekatkan wajahnya
pada sahabatnya, mengamati lamat-lamat kedua bola mata Dr. Jang yang mulai menghindar. Ada
sesuatu yang wanita itu sembunyikan.

“Dia muda, tampan, dan kompeten,” ucap Minha tak melepaskan tatapan tajamnya. “Kau cukup
cocok dengannya.”

Gyeoul memutarkan bola matanya, tak mengerti dengan apa yang kawannya itu katakan.
Sepertinya, usaha Minha untuk menjodohkannya dengan lelaki selain Profesor Ahn belum juga
selesai. Dan kini, ia bahkan menanyakan pendapat dirinya tentang Dr. Seo.

Penilaian Dr. Chu memang tidak salah tentang dokter bedah vaskular baru di departemen bedah
umum mereka. Seo Woojin, dokter fellow pindahan, tahun kedua tersebut memang cakap dalam
pekerjaannya. Menurut staf dan dokter lain pun, Dr. Seo adalah pria muda yang memiliki paras
rupawan. Tubuhnya tinggi dan kulitnya putih. Ia memiliki senyum manis di wajahnya dengan
kedua lesung pipi mungil di dekat lengkungan bibirnya, dan kelebihan itu mampu membuat pasien
wanita jatuh tersipu, bahkan yang sudah lansia sekalipun. Cukup imut kata mereka.

Tapi tetap saja, dia bukan tipe ideal Jang Gyeoul. Seo Woojin bukanlah pria yang ia sukai. Hanya
karena pria itu berbeda dua tahun dengannya, dan mereka adalah dokter termuda di departemen
bedah umum (terlepas dari intern Im Chang Min), bukan berarti keduanya terlihat cocok.

“Tapi itu yang staf katakan. Kalian cocok. Dr. Seo bukanlah orang yang mudah tertawa dengan
siapapun tahu!” Minha bersikukuh dengan argumennya. Sekali lagi wanita itu benar. Walaupun
Dr. Seo memiliki simpul manis yang sungguh Jang Gyeoul tidak pernah sadari, Dr. Seo ternyata
mempunyai kepribadian yang tak jauh berbeda dengan Jang Gyeoul.

Pria itu tidak seperti Prof. Lee Ikjun yang banyak bicara dan mudah bergaul, juga tidak seperti
Prof. Ahn yang sangat ramah dan hangat. Dr. Seo tidak banyak bicara dan tergolong dalam
manusia ‘yang tersenyum seperlunya’. Kesan pertama orang-orang akan menyangkanya sebagai
dokter yang jutek dan sinis, walaupun sebenarnya, tentu tidak karena ia cukup ramah. Mungkin
inilah salah satu alasan mengapa Gyeoul mampu berteman baik dengannya. Dan Gyeoul memang
sudah mengenal Dr. Seo.

Seo Woojin di matanya adalah dokter yang andal dan kompeten. Sunbae yang pantas dijadikan
panutan dan salah satu mentor yang baik.

Di atas itu semua, Jang Gyeoul sudah memiliki seorang yang sempurna di sisinya. Maka dari itu, ia
tak perlu repot-repot melirik orang lain. Ia sudah dibutakan. Kini Gyeoul menggigit bibir bawahnya
mengingat Profesor Ahn Jeong Won. Perasaan kupu-kupu itu selalu muncul di perutnya dan hal itu
tak bisa dihentikan semaunya. Ia tak bisa memerintahkan isi hatinya.
Minha yang mengamati hal tersebut memberikan tatapan curiga. Apa yang terjadi dengan Dr. Jang
sebenarnya?

Jang Gyeoul yang sadar akan tatapan Minha pun menghembuskan nafasnya, mungkin sudah
saatnya ia memberi tahu Minha bagaimana kondisi percintaannya sekarang. Bukannya ia ingin
merahasiakan hal ini lebih lama pada teman dekat di tempat kerjanya itu, toh, Profesor Ahn pun
tak pernah melarangnya, pria itu tak pernah keberatan sebab ia tahu Minha memang berteman baik
dengan Gyeoul. Ditambah lagi, Jeong Won telah mengabarkan keempat teman dekatnya dari lama,
hanya saja…

“Dr. Chu, itu… sebenarnya... “

Sebelum kalimat dokter muda itu tersampaikan, percakapan mereka terpotong dengan kehadiran
Dr. Bong dan Dr. Ahn yang mendarat di meja yang sama dengan kedua wanita tersebut.

What is today’s gossip?

***

From her mouth to her mouth

Words that grow bigger

If you spin one wheel without mind

“Jadi kau benar-benar tak tahu siapa pacarnya?” Chu Minha menatap serius Dr. Bong, meyakinkan
untuk kesekian kalinya. Ketiga pasang mata residen tersebut memperhatikan gerak-gerik Gwang
Hyeon. Dua diantara mereka terlihat menyelidik sedangkan sisanya memberikan tatapan pasrah.

Dokter senior itu kembali melirik Jang Gyeoul yang tampak gelisah. Sedari tadi, residen bedah
umum tersebut belum banyak bicara, hal janggal yang sudah diduga akan terjadi dari awal. Dr.
Jang Gyeoul mulai menutup mulutnya rapat-rapat ketika topik tersebut mulai dibuka.

Siang itu, pertemuan Bong Salon terjadi mendadak tanpa direncanakan. Mereka berbincang seperti
biasa hingga salah satu dari ketiganya membawa gosip tentang profesor terbaik mereka, Ahn Jeong
Won. Berita burung yang tersebar di antara para dokter rumah sakit.

Rumor tersebut disangka-sangka berasal dari insiden salah seorang profesor GS ‘keceplosan’
bicara mengenai Jeong Won yang tengah berkencan. Yah, walaupun kabar tersebut belum
diketahui banyak orang, pada akhirnya, gosip ini sampai di telinga salah satu residen di meja
persidangan Bong Salon.

Mereka bilang, profesor bedah pediatrik itu, kini telah memiliki seorang kekasih. Kebanyakan
orang yang mendengarnya terkejut, dan sebagian lainnya menganggap berita itu hanya angin lewat
biasa. Jikalau memang benar berita itu sesuai fakta, maka setiap orang akan bertanya-tanya,
siapakah wanita beruntung pemilik hati Profesor Ahn sekarang ini?

“Yah, aku kan sudah bilang, aku tidak tahu. Walaupun aku yakin dengan berita itu, aku tak pernah
bertanya langsung pada Ahn Jeong Won,” Bong Gwang Hyeong membantah pertanyaan Minha
yang terasa seperti investigasi.

“Kenapa kau yakin? Kalau kau yakin, harusnya kau penasaran dan cari tahu!” Minha mengerutkan
keningnya, rasa ingin tahunya sudah berada di ujung tanduk.

“Hm… entahlah. Aku hanya yakin.” Emergency doctor tersebut melayangkan pandangannya pada
Gyeoul secara singkat. Sebelum penglihatan Chu Minha berhasil menangkap kemana arah
matanya pergi, Gwang Hyeon pun menambahkan, “mungkin karena sampai saat ini Jeong Won
masih disini? Kurasa Ikjun pernah bilang ia akan pergi akhir tahun kemarin ke seminar di Italy.
Tapi apa yang membuatnya masih disini? Ia juga membeli mobil baru bukan?”

“Bukankah itu pertanda beliau akan berada di Korea lebih lama?” Chihong ikut menambahkan.
“Untuk apa membeli mobil baru bila ia akan tinggal lama di luar negeri?”

“Prof. Ahn pasti butuh mobil untuk mengantar pacarnya! Pasti ia sangat mencintainya sampai ia
beli mobil baru! Ah, siapa wanita ini ya?” Minha membalas dengan asumsinya sendiri, tersenyum
membayangkan Profesor Ahn yang baik hati jatuh cinta pada seorang wanita. Chihong pun
menoleh ke arah Dr. Bong yang hanya mengangkat bahunya, menonton tingkah Dr. Chu yang
sangat antusias. Sepertinya folder Profesor Yang Seok Hyeong tidak ditemukan dalam memori
otaknya hari ini.

“Ah, benar. Aku dengar seseorang sering melihat Prof. Ahn keluar dengan seorang wanita dari
mobilnya di basement,” Residen bedah obgyn itu bersuara lagi, mengeluarkan setiap informasi
yang ia punya untuk mengulik sahabat dari Profesor Yang.

“Itu memberikan kemungkinan kalau pacarnya juga bekerja di rumah sakit ini,” Dr. Ahn
memberikan wajah penuh selidik. “Atau mungkinkah seseorang yg kita kenal? Mungkinkah itu
Profesor Chae?”

“Songhwa punya mobil sendiri, kenapa ia harus menumpang mobil Jeong Won?” ujar Gwang
Hyeon dengan ekspresi santai. “Itu akan jauh lebih aneh kalau orangnya adalah Songhwa, dia ada
di Sokcho sekarang, jadi mustahil Jeong Won sering berada disini sedangkan Songhwa sendiri
jarang datang ke Seoul.”

“Majayo, Prof. Chae dan Prof. Ahn tidak pernah terlihat seperti lebih dari teman.” Minha setuju
dengan argumen kontra Dr. Bong, “terlebih lagi, menurutku mereka tampak seperti saudara, kakak
beradik.”

“Dr. Jang, tumben kau diam saja dan tidak bersemangat,” Gwang Hyeon mulai melempar
umpannya setelah jeda percakapan di meja, “kau tak apa?”

“Apakah makanan yang tadi kau makan tak enak? Kau sakit?” Kini giliran Ahn Chihong yang
duduk di sebelahnya menatapnya cemas.
Minha mengulurkan lengannya menyebrangi meja dan menepuk lembut bahu Gyeoul dengan
tangan kanannya. Ditinjau dari ekspresi sedihnya, dokter tersebut berusaha bersimpati dengan Jang
Gyeoul. Dr. Chu mengerti bagaimana perasaan sahabatnya itu.

“Aigo, pasti berat mengingat kisah cinta yang gagal,” kurang lebih seperti itulah apa yang Minha
pikirkan jauh dalam benaknya. Rasa bersalah tergambar di wajahnya, ahh seharusnya ia tak
membicarakan Profesor Ahn Jeong Won di depan Jang Gyeoul.

“Gwenchanayo,” Gyeoul membalas gugup, menyuarakan keadaannya bahwa mereka sungguh tak
usah khawatir karena dokter tersebut baik-baik saja dan tidak sakit (tapi entah mentalnya sakit atau
tidak).

Dr. Ahn Chihong yang tak tahu menahu mendadak bicara, “bagaimana kalau kita panggil Prof.
Lee untuk mengetahui hal ini? Bukankah lebih baik bila kita konfirmasi langsung dengannya?”

“Dr. Jang, apa kau tahu dimana dia?”

Gyeoul mengerutkan keningnya, otaknya kembali bekerja untuk mengingat dimana keberadaan
profesor yang suka berkeliaran kesana kemari, mendatangi seluruh sudut rumah sakit itu. Mungkin
saja topik ini bisa menggeser sedikit agenda tentang pacar Ahn Jeong Won. “Kurasa… ia tadi mau
menemui Prof Kim?”

“Omong-omong Prof. Kim, Dr. Do kemana? Tumben tak terlihat?” tanya Gwang Hyeon,
menghitung member salonnya yang semakin hari semakin sedikit setelah kepergian Yong Seok
Min.

“Dr. Do Jaehak sepertinya ada operasi darurat hari ini, ia mungkin memilih makan ramyeon di
kantor. Atau kalau masih ada waktu, ia mungkin akan menyusul,” jelas Dr. Ahn, teman dekatnya
yang satu itu sekarang terlihat jauh lebih sibuk, sudah seperti kembaran Jang Gyeoul. Gwang
Hyeon mengangguk, ah kenapa bisa ia lupa padahal dirinya selalu stay di IGD?

Layaknya mengingat sesuatu, punggung Ahn Chihong mendadak menegak setelah nama Jaehak
disebut.

“Dr. Do pernah bilang ia juga melihat foto wanita bersama Prof. Ahn di atas mejanya ketika ia
datang ke kantor Prof. Kim,” Chihong menatap serius Dr. Bong.

“Lalu? Siapa dia?” Dr. Chu mencondongkan badannya ke depan, setelah beberapa saat
punggungnya bersandar di kursi, menyerah dengan topik tersebut.

“Sayangnya, ia tak bisa melihat jauh lebih jelas. Ia tak tahu bisa siapa yang ia lihat di foto itu.”
Chihong menjawab dengan wajah polosnya, membuat Minha mengerucutkan bibirnya kecewa.
Sebaliknya, tanpa diketahui Minha, wanita di hadapannya tampak lega usai merasakan ketegangan
singkat akibat informasi dari residen bedah syaraf tersebut.

Bong Gwang Hyeon hanya terkekeh ringan mendengarkan informasi tak berguna yang Dr. Ahn
sampaikan. “Sepertinya mereka berempat sudah tahu pacar Ahn Jeong Won siapa. Atau mungkin
sudah bertemu? Hanya saja tumben sekali Ikjun menutup mulutnya rapat-rapat tentang ini.”

“Jeongmalyo? Kurasa kita benar-benar harus memanggil Profesor Lee Ikjun kesini!”

“Ada yang menyebut namaku?”

Keempat kepala tersebut langsung menoleh ke arah datangnya suara. Disana, Lee Ikjun sudah
bersiap menaruh tubuhnya di kursi kosong sebelah Bong Gwang Hyeon. Mereka semua terdiam
lama, terheran-heran sejak kapan pria itu sudah berdiri disana, sementara Gwang Hyeon yang
mengalami de javu, sudah berpengalaman dengan kehadiran orang-orang aneh di sekitarnya itu.

“Eoh, Ikjun-ah, kau disini?”

“Pas sekali, kami sedang membutuhkanmu Prof Lee.”

“Mwoya mwoya? Apa yang sudah aku lewatkan?” Lee Ikjun menyapu pandangannya dan
mengabsen orang-orang yang ada disana. “Ahh, inikah yang disebut ‘Infamous Bong Salon’ ?”
Ikjun menganggukkan kepalanya, menatap Gwang Hyeon dengan penuh selidik.

“Ya, ini Bong Salon. Tapi tidak pakai 'infamous’ .” Gwang Hyeon mengangguk. “Kalau kau ingin
bergabung, kau bisa belikan aku kopi.”

“Bukankah kalian yang mengundangku kesini? Aku tak butuh informasi apapun darimu, Gwang
Hyeon-ah! Aku-lah yang dibutuhkan disini tahu. Jadi kau yang seharusnya mentraktirku kopi.”
Lee Ikjun mendelikkan matanya ke arah Gwang Hyeon. Inssa yang satu itu tak mau kalah famous
dengan teman satu sekolahnya.

“Profesor Lee, apakah kau tahu gosip tentang… pacar Prof Ahn?” Chu Minha memotong
pertikaian kecil mereka, tak mau membuang waktu lebih banyak lagi, takut salah satu dari mereka
mendapatkan panggilan darurat.

“Pacar Profesor Ahn?!” Lee Ikjun memberikan ekspresi (pura-pura) terkejutnya, yang dibalas
dengan tatapan tak percaya residen di sekitarnya, tentu tak termasuk putri kesayangan dari
departemennya. Ikjun menahan tawanya, melirik sekilas ke arah Jang Gyeoul yang tampak diam di
tempat.

“Ikjun-ah, kami tahu kau sudah tahu. Jadi, berhenti berakting seperti kau tak tahu apa-apa,” Gwang
Hyeon menepuk punggung temannya itu.

“Araseo, araseo. Tapi, kenapa tiba-tiba? Kalian tahu darimana berita yang belum diketahui
faktanya ini?” Ikjun memiringkan kepalanya, menatap Minha dan Chihong bergantian.

“Salah satu profesor bedah umum tidak sengaja mengucapkannya,” ujar Dr. Chu cepat. “Lalu
beberapa staf melihat Prof. Ahn sering berjalan dengan seorang wanita di basement,” paparnnya
membeberkan isu yang ia dengar dari mulut ke mulut.

“Ah aku juga ingat, ada seseorang yang melihat seorang wanita keluar dari kantor Prof Ahn pukul
lima pagi beberapa minggu yang lalu,” Minha merendahkan volume suaranya hingga terdengar
seperti bisikan sembari mendekatkan badannya ke tengah meja.

Ikjun yang mendengarnya kembali melirik ke arah Gyeoul, dan wanita itu hanya membuang
pandangannya, menghindari tatapan selidik Lee Ikjun.

“Itu tidak mungkin. Bisa saja itu cleaning service? Atau jangan-jangan pencuri?” Ikjun
mengernyitkan dahinya, mengeluarkan alibi yang sesungguhnya tidak rasional.

“Tapi apa cleaning service bekerja sepagi itu?”

“Wanita itu keluar bersama Prof Ahn. Dan sepertinya ia staf rumah sakit.” Chu Minha
memperkuat ucapannya agar Profesor Lee tak lagi membuat alasan.

“Apa itu masuk akal?” Kini Ikjun bergumam lebih cepat lagi. “Minha-ya, kau seharusnya tidak
langsung percaya begitu saja gosip dari mulut ke mulut. Itu tidak benar.” Pria usia empat puluh
tahun itu menasehati sahabat kecilnya. “Lagipula kenapa kalian terlihat sangat penasaran dengan
kehidupan cinta Ahn Jeong Won?”

Without knowing what the story is

Suddenly heavy

When the morning passes by

What to wait

“Karena kau kan tahu, Prof. Ahn belum pernah berpacaran sekalipun. Berita ini muncul tiba-tiba
seperti keajaiban dari Tuhan- ani… apa mungkin Tuhan turun dan menjelma menjadi seorang
wanita? Karena tak ada yang bisa bersaing dengan Tuhan selain diri-Nya sendiri.” Minha berbicara
panjang lebar, membuat Gwang Hyeon menggeleng.

“Dan itu jauh lebih tidak masuk akal,” sahut Ikjun cepat setelah wanita itu selesai dengan
kalimatnya. Minha memajukan bibirnya, merajuk.

“Kau sungguh tak bisa menjadi narasumber yang baik hari ini Profesor,” tutur Dr. Chu meminum
sisa air mineral di gelasnya.

“Lalu aku harus bilang apa lagi? Hanya itu yang bisa kukatakan. Bukankah kalian seharusnya
bertanya Ahn Jeong Won langsung tentang ini?” Lee Ikjun memakan coklat cacao yang ia bawa,
tentu hasil curian dari laci Kim Junwan. Pandangannya kembali pada dokter residen bedah umum
yang masih menutup lisannya rapat-rapat, diam seribu bahasa.

Bong Gwang Hyeon yang berhasil menangkap gerak-gerik Ikjun mengeluarkan simpul kecilnya.
“Ah iya, Dr. Jang. Kau kan sering bekerja dengan Jeong Won beberapa waktu terakhir, kau juga
satu-satu residennya, apa mungkin kau tahu sesuatu tentang hal ini? Bisa jadi ia bercerita
padamu?” Gwang Hyeon bertanya santai, sama sekali tanpa gelagat mencurigakan.

Lee Ikjun kini memiringkan kepalanya seraya menggigit bibir menahan senyum, selalu antusias
menonton reaksi salah satu dari pasangan polos tersebut. Tentu kejadian seperti ini bukanlah yang
pertama kali baginya. Ia sudah sering menyaksikan salah satu dari mereka, baik Gyeoul, Jeong
Won, ataupun bahkan keduanya, menghadapi kondisi krisis.

“Ahh itu… uhm…”

***
I’m a little excited

A boring day

This afternoon i

I need something to lean on

Do Jaehak meregangkan otot di badannya sambil menunggu secangkir kopi panas yang tengah
dibuat mesin kopi otomatis di lantai satu. Badannya terasa sedikit pegal setelah berdiri cukup lama
di ruang operasi. Ia mengeluarkan ponsel pintarnya dari saku jas putih yang ia kenakan, menekan
ikon pesan di laman menu. Mungkin saja ia mendapatkan pesan dari istrinya, ia tersenyum tipis.

Dokter itu pun mengambil minuman hitam yang telah terseduh, lalu berjalan ke arah kantin setelah
menerima pesan dari Dr. Ahn Chihong bahwa para residen berkumpul di sana. Melewati koridor
dengan dinding kaca yang menampilkan pemandangan taman, ia sedikit menoleh untuk
menyegarkan matanya yang terasa lelah.

Pria (yang tampak seperti orang) tua tersebut menghela nafasnya setelah menguap lebar, matanya
sibuk menikmati daun hijau dan bunga-bunga cantik yang ditampilkan taman. Tangan kirinya
memegang bagian pinggulnya, kebiasaan yang ia lakukan setelah selesai melakukan operasi.

“Aigoo aigoo, cuaca yang bagus,” ucap lelaki itu lebih seperti bergumam. “Mengapa harus ada TA
di hari yang cerah seperti ini?” decaknya sebal, menggerutu sendirian. Jaehak melihat jam tangan
di pergelangan kanannya, tampaknya waktu selalu berjalan lebih cepat ketika ia sedang bersenang-
senang.

Lelaki itu akhirnya memutuskan untuk berbalik setelah bersantai singkat. Namun, gerakannya
terhenti ketika kedua matanya menangkap sepasang dokter yang ia kenal berdiri bersama seorang
wanita lanjut usia berpakaian cerah.

“Eo? ” Jaehak melangkah lebih dekat supaya mendapatkan view yang jelas untuk diambil indra
penglihatannya. Alisnya mengerut saat dirinya mengenali orang yang ia perhatikan.

Ia menggeleng dan mengusap matanya. Tidak. Ia tidak salah.

Itu adalah Profesor Ahn Jeongwon dan Dokter Jang Gyeoul bersama seseorang yang tidak ia
ketahui. Saat itu taman memang sedang sepi karena kebanyakan orang di jam-jam tersebut sedang
menikmati makan siangnya atau beristirahat di tempat yang jauh lebih teduh, daripada harus
terpapar sinar matahari yang cukup menyengat di luar gedung.

Apakah wanita tua itu salah satu pasien di rumah sakit? Pun, kalau beliau adalah pasien, bukankah
pasien Prof. Ahn Jeong Won adalah balita dan anak-anak. Apa ia adalah wali pasien?

Ani. Jaehak sepertinya pernah beberapa kali melihat wanita tersebut bersama Prof. Ahn.
Memang benar tidak ada yang salah dengan mereka. Hanya saja, di mata Dr. Do, situasi yang ada
di antara ketiganya tampak berbeda.

Mereka tampak... akrab disana.

Gestur yang diberikan Prof Ahn pada Dr. Jang bukanlah gestur yang seharusnya seorang mentor
berikan pada mentee-nya. Cara Prof. Ahn bercakap dan tersenyum pada Jang Gyeoul ditambah
tawa kecil wanita di sisinya tatkala bicara, membuat Dr. Do merasakan hal yang tak biasa.
Bagaimana Prof. Ahn menaruh tangannya di bahu dokter muda tersebut ketika mereka berdiri
bersamaan, dan respon Dr. Jang yang tak terganggu sama sekali, semuanya tampak natural.
Seakan-akan mereka memang sudah sering melakukannya.

Do Jaehak bukanlah orang kolot yang tak mengerti tanda-tanda terselubung yang mereka
sembunyikan.

Sepertinya dugaannya, tak akan salah kali ini. Otaknya terus mengingat kebetulan-kebetulan yang
ia dapatkan akhir-akhir ini.

Tentang foto wanita yang sekilas ia temukan di atas meja kerja Prof. Ahn.

Tentang kedekatan Prof. Kim dengan Dr. Jang beberapa bulan terakhir.

Dr. Jang yang sering ditemukan keluar dari kantor Prof. Ahn.

Bukan, bukan Prof. Kim yang punya hubungan dengan Dr. Jang. Jelas itu hal konyol.

Dan terakhir, rumor mengenai wanita misterius yang telah berhasil memenangkan hati dokter
bedah pediatrik tersebut.

“Seoulma…”

Do Jaehak memperlebar langkahnya sejurus kemudian. Kakinya berlari kecil menuju tempat
pertama yang ingin ia datangi. Kantin. Seakan-akan mendapat panggilan darurat, tubuhnya
bergerak secepat kilat ke arah teman-temannya berkumpul. Namun, kakinya mengerem mendadak
ketika ponsel di tangannya berdering, menampilkan pesan dari Chihong.

“Kami sudah tidak di kantin dari lima menit yang lalu.”

***

I think it’s a little fun

A hard day

This afternoon i
“Gyeoul-ah, kalau sudah selesai dengan urusanmu, susul aku di cafe. Let’s go makan kue
coklat sebagai dessert sebelum kita balik berperang~ Aku yang traktir!”

From: Profesor Lee.

“Jadwal operasi dengan Ikjun?” tanya Jeong Won yang berdiri tepat di sampingnya setelah
keduanya mengantar Rosa pulang dengan memanggil taxi. Kunjungan ibu dari Ahn Jeong Won
yang mendadak tersebut, sempat membuat mereka kelabakan.

Beruntung dokter bedah pediatrik itu tidak dalam jadwal operasi, ia bisa menyusul ibunya di jam
makan siang. Namun, sosok yang Rosa cari ternyata bukan anak bungsunya, melainkan residen
bedah umum yang kini berjalan beriringan dengannya, tak lain dan tak bukan Jang Gyeoul.

Rosa bersikukuh ingin menemui Gyeoul siang hari itu. Mau tak mau, Ahn Jeong Won pun
menelponnya dan cukup terkejut saat dokter muda tersebut merespon seperti kilat dan bergegas
datang, lebih cepat dari yang ia duga, membuatnya terheran-heran dengan apa yang sebenarnya
terjadi.

“Gyosunim, terima kasih sudah memanggilku di waktu yang sangat tepat. Aku tak tahu apa yang
terjadi bila kau telat satu detik menelponku.” Itulah yang ia ucapkan beberapa saat usai Rosa
menghilang dari jangkauan mereka di halaman depan rumah sakit. Jeong Won hanya bisa
memberikan ekspresi bingungnya yang dibalas dengan senyuman kecil. Dan Gyeoul melangkah ke
lobby mendahului kekasihnya. Menghindari pertanyaan yang akan menghujaninya beberapa detik
kemudian.

“Aniyo, konsul pasien rawat jalan,” jawab Gyeoul menoleh sekilas ke arah Jeong Won yang
mengangguk, mengingat Dr. Jang juga tak mengabarkan ada operasi di hari tersebut.

“Habis ini?” Jeong Won bertanya. “Bukankah jam praktek Ikjun tadi pagi?” Ingatan pria yang
berjalan seraya memegang tas kecil berisi kotak makan tersebut, memang tak bisa diragukan.

“Seharusnya tadi pagi, tapi Profesor Lee tidak bisa, jadi jadwal di ubah ke siang hari. Lagipula
pasiennya tidak banyak, hanya beberapa pasien yang sudah buat janji temu dengan Prof. Lee,” jelas
Gyeoul singkat yang dibalas dengan gerakan paham dari Jeong Won. Pria itu memutuskan untuk
ikut ke cafe setelah Jang Gyeoul menawarkannya.

Sejenak wanita itu berpikir, apakah teman-teman residennya dan Dr. Bong sudah pergi?

Tapi Prof. Lee menyuruhku untuk datang ke cafe, bukan kantin. Sepertinya mereka memang sudah
pergi.

Keduanya melangkah ke dalam cafe setelah Jeong Won membukakan pintu kaca cafe agar Gyeoul
masuk terlebih dahulu. Mata Gyeoul menyapu ruangan tersebut untuk mencari keberadaan
profesornya di antara meja-meja berisi pengunjung, namun, belum selesai ia mendeteksi kehadiran
Lee Ikjun (yang mejanya tepat di belakang mereka), suara Jeong Won menghentikan aktivitasnya.

“Gyeoul-ah, mianhae. Sepertinya aku harus segera ke PICU sekarang. Titipkan salamku untuk
Ikjun ya,” ujarnya lembut dengan nada sedikit bersalah sembari menggenggam ponsel di
tangannya. Dokter tersebut mengangguk paham. Pria itu keluar dari cafe secepat kilat setelah Jang
Gyeoul menyarankan padanya untuk cepat pergi.

Tepat sesudah ia tersenyum memandang punggung Jeong Won yang hilang, matanya menangkap
lima pasang mata yang perhatiannya berpusat pada tempatnya berdiri. Dua profesor plus tiga
residen kini tengah duduk di tempat yang jaraknya beberapa langkah dari tempatnya bertumpu.

Sorot mata mereka tak lepas menghujani Gyeoul tanda tanya dan rasa curiga, membuat keringat
dingin keluar dari pelipisnya. Tanpa sadar tangan kanannya mengusap tengkuk lehernya yang
basah. Tungkainya dengan berat bergerak perlahan ke meja tersebut. Mulutnya sudah terbuka,
berusaha menjelaskan dengan kata-kata yang sudah tertelan di ujung tenggorokannya.

Ah, padahal ia sudah berhasil kabur tadi.

Namun, sebelum Jang Gyeoul berhasil mengucapkan sepatah kata,

“Gyeoul, Gyeoul, Gyeoul.” Suara Jeong Won yang tergesa-gesa, datang dari arah pintu cafe
menghentikannya. Mata Gyeoul melebar, mulutnya yang terbuka seakan-akan mengatakan, ‘ada
apa? Kenapa kau kembali?’

“Aku lupa, tadi Eomma menitipkan ini untukmu. Aku harus langsung ke PICU,” Jeong Won
mengoperkan kotak makan yang secara tak sadar sudah ia bawa sejak mereka jalan dari lobby.
Gyeoul hanya bisa diam dengan tubuhnya yang tak berdaya, menerima perbekalan yang Rosa
siapkan dengan tangan kanannya lemas. “Dan ini.”

Jeong Won yang masih belum sadar tengah diperhatikan oleh kelima orang dari meja yang sama,
memasukan dua buah choco pie ke dalam saku jas putih Jang Gyeoul. “Jangan lupa dimakan.” Ia
membuat gestur kecil yang sudah menjadi kebiasaan sehari-harinya, seakan-akan hari Jeong Won
tak akan lengkap bila tak melakukannya.

Tak mendapat respon dari Jang Gyeoul seperti biasanya, Jeong Won pun akhirnya bertanya, “ada
apa?”

Perlahan Gyeoul memutarkan kepalanya ke arah meja yang kini penghuninya sudah diam tak
bersuara. Menonton tragedi mengejutkan tepat di siang bolong. Tatapan Jeong Won pun mengikut
ke arah yang sama dan berhasil menemukan mereka semua dalam keadaan terperanjat.

“Aku bilang apa!” Seru Do Jaehak yang berdiri sedari tadi, “benar apa yang kulihat,” tambahnya
lagi tanpa mengedipkan mata. “Siapa yang tadi tidak percaya dengan ucapanku kalau ada sesuatu
di antara mereka?” Jaehak mengotot.

“Heol, daebak, ” Chu Minha memandang ke arah Gyeoul, tak sedetikpun tatapan matanya
meninggalkan sepasang dokter tersebut. Mulutnya terbuka lebar tanpa ia sadari.

Di sisi lain, Ahn Chihong, terdiam dengan mata terbelalak, beberapa kali berkedip, memegang ice
latte di tangannya kanannya.

“Sudah kuduga.”

Bong Gwang Hyeon dan Lee Ikjun hanya bisa menggeleng menonton pertunjukan bunuh diri
tersebut.

“Annyeong, Ahn Jeong Won, Jang Gyeoul.”


Chapter End Notes

Ini spesial untukmu yang baru selesai main turnamen ww skskskkshdkjkl! Semoga
menghibur yahh~
PS: ada karakter baru, semoga tidak kaget ya.

Have a nice day all!


All With You
Chapter Summary

Hanya saja, bagi dokter bedah pediatrik itu, jarak yang kekasihnya buat semakin lama
semakin besar membuatnya tak sanggup menahan dirinya lebih jauh. Terkadang ia
ingin berlari kencang ke arahnya begitu saja dan meluapkan segala kekesalan karena
ia sudah tak bisa menahan keinginan untuk bersama dengannya, ia tak mau menjauh
darinya lebih lama lagi.

Chapter Notes

Taeyeon ( ) – All With You Lyrics (Moon Lovers: Scarlet Heart Ryeo ( –
)

Maa update-ku lama ixixixi. Lagi-lagi aku dapat tantangan untuk nulis chapter ini, jadi
aku mau minta maaf dulu kalau emosinya belum sampai.

Pokoknya, happy reading!

See the end of the chapter for more notes

“Ya, berhenti memandangnya seperti itu. Kau akan dikira penguntit!” Ikjun berdecak sekali lagi
ketika teman empat puluh tahunnya tersebut spontan mengalihkan sorot matanya dari objek yang
ia lihat. Pria bermarga Lee itu meneguk tetes terakhir kopi yang ia bawa di tangan kanannya,
menggigit gemas mulut gelas yang telah kosong sembari memperhatikan tingkah Ahn Jeong Won.
Keduanya kini berdiri di koridor lantai satu, menikmati pemandangan taman rumah sakit melalui
jendela bening tepat di hadapan mereka.

“Bila kau memang ingin mendatanginya, cepat pergi kesana sebelum waktu istirahat habis. Kau
sendiri tahu, Jang Gyeoul adalah orang tersibuk di rumah sakit ini,” tambahnya lagi seraya
menengok ke arah jam di pergelangan tangannya. Namun, perkataan Ikjun hanya direspon dengan
gelengan pelan, senyum tipis terukir di bibir dokter tersebut.

“Wae?”

Jeong Won menghela nafasnya dan menoleh ke arah duda di sampingnya. “Tidak bisa. Kita masih
di tempat kerja,” jawabnya singkat, acuh tak acuh.

“Terus kenapa? Ini jam istirahat dan tempat kerja ini ‘kan milikmu, paboya! Kau boss-nya, tidak
akan ada yang memarahi kalian.” Ikjun menggertakan rahangnya sebal pada chaebol tak tahu diri
tersebut. Tentu itu hal yang salah menurut Ahn Jeong Won, karena ia hanyalah dokter disana,
bukan direktur.

“Ini tidak seperti kalian masih pacaran diam-diam, bukan? Semua orang sudah tahu kalian adalah
pasangan. Aigoo.”
“Karena itu, kau ingin kupecat? Kita harus bekerja secara profesional. Rumah sakit adalah rumah
sakit, bukan tempat untuk berkencan.” Jeong Won melipatkan kedua lengannya di depan dada,
menghadap ke arah sahabatnya yang sedikit (sebenarnya memang) cerewet hari ini.

“Rumah sakit bukan tempat untuk pacaran!” Ikjun mengulangi perkataannya dengan gerakan bibir
dan suara yang dibuat-buat, sengaja mengolok-oloknya. “Katakan kalimat itu pada dirimu
sendiri!”

Namun kini, dokter bedah pediatrik itu tidak mendengarkan ucapannya. Matanya memang melihat
ke arah Ikjun, tetapi tidak dengan pikirannya. Jiwa pria itu seperti melayang, membuat Ikjun
mengerutkan alisnya, bertanya-tanya. Ekspresi gelisah tampak terselip di wajahnya yang tidak
fokus sejak mereka berjalan dari arah kantin.

Ikjun kembali mengedarkan pandangannya ke arah taman, memperhatikan Jang Gyeoul yang
terduduk sendiri di tengahnya sambil menggenggam ponsel putih yang ia punya. Awan hitam
seperti menggantung di antara dua pasangan yang sedang dimabuk cinta itu, membuat Ikjun kini
paham dengan Jeong Won yang mendadak jadi pendiam seharian penuh.

Apakah mereka sedang bertengkar?

“Jeong Won-ah, bila kau adalah masalah, kau boleh cerita padaku.” Ikjun menepuk pundak lebar
pria di sampingnya, berhasil membuat Jeong Won tersadar dari lamunan singkatnya. “Panggil aku
kalau ada apa-apa, aku harus pergi dahulu.” Ikjun melenggang cepat dari tempatnya selepas
mengecek kembali jam yang ia kenakan.

“Mwoya…” Jeong Won mendengus melihat perlakuan Ikjun yang berubah drastis hanya dalam
beberapa menit. Sepertinya lelaki itu mampu meramal suasana hati Jeong Won hanya dari
percakapan singkat yang mereka lakukan. Jeong Won menggeleng, mengeluarkan ponsel dari
sakunya.

“Aku sudah makan siang, Gyosunim~ Kau tidak perlu kemari, aku akan segera ke kantor
untuk membereskan chart pasien. Profesor, kau juga jangan lupa makan siang!^^”

From: Jang Gyeoul <3

Dokter itu membaca pesan yang dikirimkan kekasihnya beberapa menit yang lalu, ia kemudian
bergantian memandang wanita yang sama sedang terduduk murung di tengah taman. Jeong Won
memiringkan kepalanya, berpikir sejenak.

‘Bila kau ada masalah, kau boleh cerita padaku.’ Kalimat Ikjun seperti berputar kembali di
benaknya, membuat Jeong Won menunduk singkat dan menghela nafas. Pria itu memutuskan
untuk pergi menuju pintu taman dan mendorongnya pelan. Dengan langkah lebar, Jeong Won
mendekat ke tempat dimana Jang Gyeoul duduk, menampakkan punggungnya ke arah Jeong Won.

Sayangnya, ketika jarak mereka sudah dekat, ketika langkahnya sudah hampir mencapai tempat
dokter muda itu bersimpuh, seorang pria terlebih dahulu sampai di hadapan Jang Gyeoul. Jeong
Won spontan menghentikan langkahnya, mengerutkan kening untuk melihat siapa yang datang
menghampiri dokter residennya.

Dan benar dugaannya, ia adalah Dr. Seo Woojin. Pria itu membawa dua kaleng cola di tangannya,
memberikan salah satunya pada wanita yang mulai ia ajak bicara. Dr. Seo pun kini duduk di
samping Jang Gyeoul dengan santai, meluruskan kedua kakinya. Keduanya tampak akrab
berbincang, tak sadar membelakangi profesor pediatrik yang kini terdiam di tempat,
memperhatikan keduanya dari kejauhan.
Dan Jeong Won hanya mengeluarkan ekspresi yang tak bisa dibaca lalu menunduk singkat,
sebelum akhirnya memutar balikan langkahnya untuk kembali masuk ke dalam gedung.

***

I am happy that I’m by your side

I am happy that I’m by your side

Ahn Jeong Won melangkah masuk ke dalam kantor departemen bedah umum yang kosong,
sebagian lampu sudah dimatikan padam. Ruang senyap hanya menyisakan Jang Gyeoul dengan
pandangannya yang fokus ke arah komputer. Pria itu mendekat ke arahnya kemudian
membungkukan badan untuk meraih pundak residennya.

Wanita itu tampak tak berkutik sama sekali dari tempatnya, ia terus melanjutkan aktivitasnya
setelah menoleh sekali ke tempat pria berdiri.

Kedua mata Jeong Won memperhatikan layar kaca yang menampilkan data pasien tepat di hadapan
Gyeoul telah tersusun rapi sebagian. Menyadari betapa kerja keras mentee nya itu, dokter bedah
pediatrik tersebut memberikan senyum tulus.

Kini lengang diisi oleh suara ketikan dari jemari Gyeoul dan denting jarum jam. Dua gelas kopi
hitam tepat di sisi meja komputer Gyeoul terlihat sudah kosong.

Sorot mata Jeong Won beralih pada dokter yang masih terduduk manis dimana ia menaruh kedua
tangannya di pundak wanita itu. Pria itu hanya mampu menahan dirinya untuk tidak menaruh dagu
di pucuk kepala residennya, atau bahkan untuk menenggelamkan wajahnya di antara bahu dan
leher kekasihnya.

Fakta bahwa mereka masih berada di tempat kerja, membuatnya tak berani melewati batas tak
kasat mata yang mereka buat sebagai peraturan tak terucap. Disini, mereka masih berdiri sebagai
atasan dan bawahan, bahkan ketika tak ada orang lain selain keduanya dalam ruangan, mereka
mempertahankan sikap formal.

Kedua matanya memandang lamat-lamat punggung kekasihnya. Ia tak bisa berbohong, ia


merindukan Jang Gyeoul.

Entah itu hanya asumsinya saja, atau memang jadwal mereka yang padat, Jeong Won jarang sekali
bertemu Gyeoul beberapa hari terakhir. Wanita itu selalu ditemukan mengerjakan tugasnya atau
pergi dengan rekan kerjanya yang lain. Keberuntungan sedang tidak berpihak padanya, mereka
juga belum mendapat jadwal bersama entah itu karena jadwal rutin atau karena pasien darurat.

Baik itu sarapan, makan siang, dan makan malam, mereka habiskan dengan circle mereka masing-
masing. Banyaknya pasien membuat Gyeoul tidak kembali ke apartemen dan lebih memilih
bermalam di rumah sakit. Jeong Won tak punya kesempatan untuk mengantarnya pulang atau
sekedar menjemputnya di pagi hari.

Jauh di lubuk hatinya, bila Jeong Won memakai instingnya sebagai seorang pasangan, bila ia
diizinkan untuk memikirkan hal yang tidak-tidak, dan bila saja pria itu mengandalkan kepekaan
yang dirinya punya, Jeong Won tahu benar Gyeoul tengah membuat jarak di antara mereka saat
keduanya bekerja.
Hal ini terjadi sejak seminggu yang lalu ketika mereka akhirnya membiarkan orang-orang tahu
bahwa keduanya mempunyai hubungan spesial lebih dari sekedar atasan dan bawahan di tempat
kerja. Awalnya wanita itu tampak baik-baik saja, bahkan bisa dibilang sangat baik-baik saja,
namun tak tahu apa yang terjadi, Gyeoul bertingkah tidak biasa beberapa hari terakhir.

Ia mampu memahaminya dan dengan penuh hormat, Jeong Won menghargai keputusan tersirat
yang wanita itu buat jika ia lebih ingin menjauh sebentar. Gyeoul mungkin saja belum nyaman
dengan kondisi yang mereka hadapi saat ini, Jeong Won bisa memaklumi.

Ahn Jeong Won berpikir bahwa sikap pasangannya sekarang merupakan bentuk adaptasi setelah
hubungan mereka terkuak di muka publik. Mereka harus bertindak profesional di tempat mereka
bekerja sehingga mereka mulai mengurangi kebersamaan mereka di rumah sakit untuk menghindari
tatapan penuh rasa ingin tahu. Bagaimanapun Jeong Won adalah profesor dan Jang Gyeoul adalah
dokter residennya.

Semenjak itu, Jeong Won dapat merasakan secara tidak langsung bahwa Gyeoul memang sengaja
menghindar darinya melalui tumpukan tugas sebagai alasan.

Jeong Won tahu itu hanyalah prasangka buruk yang terus menyelimuti benaknya karena rasa
cemas menghampirinya secara berlebihan. Bagaimanapun, Jang Gyeoul ada di tahun terakhir
residennya. Wajar saja bila ia jauh lebih sibuk dari biasanya. Ia harus fokus dengan karirnya
ketimbang persoalan cinta dan hubungan romantis yang kini mereka jalani.

Jeong Won bisa menunggu.

Dan Ahn Jeong Won selalu merasa bersalah karena telah berpikir demikian. Ia tak ingin bersikap
egois. Maka dari itu ia ingin membuang jauh-jauh pikiran buruk dari kepalanya. Namun, seluruh
hal itu berhasil menjadi bumerang bagi jiwa sensitifnya. Semakin ia usir jauh hal-hal negatif di
kepalanya, semakin sering mereka kembali bahkan dengan membawa kawanan yang lebih besar.

Terkadang, ia ingin bertanya langsung pada Gyeoul tentang segala hal yang mengganjal di
pikirannya. Ia ingin selalu ada disisinya dan menjadi orang pertama yang ada saat wanita itu
menjalani hal sulit dalam hidupnya.

Namun seluruh kata-kata itu seperti menyangkut di ujung tenggorokannya ketika ia berhadapan
dengan Jang Gyeoul. Ia tak bisa menambah beban yang Gyeoul tanggung di pundaknya. Dokter
muda itu sudah lelah dengan tugasnya, dan Jeong Won tak mau ambil resiko dengan memulai topik
serius dan berat.

I can smile because i’m by your side

I pray again that you will be my person

Walau begitu Ahn Jeong Won tak bisa membantah bahwa dirinya, baik fisik maupun psikis selalu
ingin dekat dengan kekasihnya. Ia tak pernah menyangka bahwa gravitasi terbesar di alam
semestanya sudah berpindah pada seorang gadis yang kini tengah memunggunginya itu.

“Gyeoul, sudah larut,” Jeong Won memecah hening setelah mereka diam tanpa bicara sekian lama.
Pria itu mengambil tempat duduk di kursi kosong sisi kanan Jang Gyeoul. Tubuhnya kini
menghadap penuh ke arah Gyeoul. “Mari kita pulang. Ini bisa dilanjutkan besok.”
Wanita itu akhirnya menoleh ke sumber suara, ia merasa bersalah. “Maafkan aku, tapi masih ada
pasien yang harus dicek sebelum aku pulang, Profesor.” Dia melirik ke arah jam di komputernya
setelah berhasil memastikan tak ada pasiennya yang alami komplikasi, masih ada sekitar setengah
jam sebelum waktu rutin ia meninggalkan rumah sakit. “Kau bisa pulang duluan. Sepertinya ini tak
akan selesai dalam waktu cepat.”

Tapi Jeong Won tak beranjak dari tempatnya. Ia terus menemani Gyeoul yang tak memiliki tanda-
tanda akan menyelesaikan aktivitasnya.

“Profesor, kau tidak usah menungguku. Kau yang seharusnya pulang karena kau ada jadwal
mengajar besok.”

Jeong Won mengecek jam di pergelangan tangannya lalu berpikir sejenak untuk menghitung
waktu. “Tapi itu akan melewati batas jam kerjamu. Kau harus istirahat dan tidur, Jang Gyeoul. Ayo
pulang, aku akan mengantarmu.”

“Aku akan tidur setelah semuanya selesai,” jawabnya tanpa menoleh. “Dan aku bisa pulang
sendiri, kau tak usah khawatir.” Tapi kalimatnya kini tak ditanggapi oleh sepatah kata pun dari
Jeong Won.

Gyeoul akhirnya memutarkan badannya ke samping, merasa janggal dengan heningnya Ahn Jeong
Won. Ia melihat wajah profesornya yang sudah memancarkan ekspresi dingin dengan air muka
lelahnya.

“Profesor Ahn,” dia berucap dengan tegas, “pulanglah, kita akan bertemu besok.” Jang Gyeoul
bersikukuh untuk menetap disana. Wajah datarnya memberikan kesan berlawanan dari nadanya
berbicara. Ia tak bermaksud memerintah, tapi nada yang ia gunakan mampu membuat siapapun
salah paham.

Sedetik kemudian Jeong Won pun berdiri dengan ekspresi yang tak pernah Gyeoul lihat
sebelumnya. Pria itu menggapai tas yang ia bawa dan merapatkan mantel yang ia pakai sebelum
akhirnya berjalan menjauh menuju pintu.

“Kau bekerja berlebihan dan kau melewati batas kemampuanmu, Dr. Jang. Aku yakin kau sadar
akan hal itu.” Jeong Won berucap dengan nada monotonnya. Ia bahkan menggunakan jondaemal di
kalimat terakhir yang ia tahan sedari tadi.

Jang Gyeoul menutup kedua matanya yang kini mulai berair, entah lelah atau karena faktor lain di
antara percakapan alot keduanya. “Ini adalah pekerjaanku, Profesor. Aku sudah sering melakukan
hal ini sebelumnya. Dan aku juga sudah pernah melihatmu menetap di rumah sakit untuk waktu
yang lebih lama dariku. Apa bedanya kau dengan hal yang sedang aku lakukan sekarang?”

Baik Gyeoul maupun Jeong Won, keduanya terdiam lama. Pria itu tak membalas apapun sebagai
pembelaan, tapi dilihat dari ekspresinya yang berubah, perkataan Jang Gyeoul berhasil
menyinggung perasaannya. Jeong Won memutuskan pandangannya dari dua mata Gyeoul. Pria itu
akhirnya memutar knop pintu dan keluar dari ruangan tanpa membalas sepatah kata pun dari Jang
Gyeoul.

Jeong Won meninggalkannya di sana dengan keheningan yang Gyeoul dapatkan sebagai hukuman.
Kini beban di bahu Gyeoul terasa lebih berat bersamaan dengan rasa nyeri di dadanya yang mulai
menyebar ke seluruh titik di bagian tubuhnya.

Perasaannya yang rapuh sekarang dihantam batu besar usai ditikam beberapa kali melalui
perkataan yang tak ingin ia dengar. Rasa lelahnya kini bukanlah lagi satu-satunya hal yang jadi
penyebab seluruh badannya hancur berkeping-keping.

Tak ada ‘selamat malam’ dan ‘sampai jumpa’ yang biasa wanita itu dapatkan dari Ahn Jeong Won.
Sebelum ia bisa menghentikan langkah pria itu, setetes air mata jatuh diiringi isak tangis kecilnya
dalam sunyinya ruang. Tak mampu ia tahan lagi, Jang Gyeoul menangis.

***

If you see my heart

And feel my true heart

Jang Gyeoul berhasil menyelesaikan seluruh tugasnya satu setengah jam kemudian. Saat itu
seluruh punggungnya terasa pegal dan perutnya terasa nyeri. Ia sudah menghabiskan total lebih dari
tiga gelas kafein hari itu.

Dan ia mengkonsumsi dua kopi dengan perut kosongnya yang tak ia beri jatah makan malam.
Mungkin itu penyebab perutnya terasa tak enak dari beberapa jam yang lalu.

Kedua matanya bahkan sulit untuk dibuka, baik karena pusing akibat menatap layar komputer
terlalu lama atau karena sembab setelah menangis tanpa suara. Gyeoul memilih memesan taksi
ketimbang menunggu di halte dan naik bis dengan kondisi yang tidak memungkinkannya untuk
berjalan lebih jauh.

Ia telah mengirimkan pesan pada Jeong Won tapi tak ada satupun balon katanya yang dibalas.
Wanita itu tak berani menelponnya karena itu sudah terlalu larut dan ia tak ingin mengganggu
waktu tidurnya.

Dalam perjalanan pulangnya, Gyeoul tak mampu memejamkan mata walaupun seluruh tubuh
terasa amat letih. Pikirannya tertuju pada kalimat Jeong Won terakhir kali, ia merasa amat sangat
bersalah sedetik setelah perkataan yang menyinggung Jeong Won keluar dari lisannya.

Ahn Jeong Won benar. Gyeoul sudah melampaui batasnya, walaupun ia memiliki alasan untuk apa
ia melakukan hal tersebut. Dia terlalu sering mengabaikan kesehatannya padahal tugas utamanya
sebagai dokter adalah memastikan kesehatan orang lain. Dia kehilangan banyak waktu istirahat.
Pola makan yang tak teratur dengan kecenderungan makan terburu-buru ia dapatkan setelah
menjadi residen departemen bedah umum. Wanita itu rela berdiri berjam-jam karena operasi, dan
berlari kesana kemari ketika pasien membutuhkannya, semua itu ia pertaruhkan untuk karirnya. Ia
tak peduli dengan kondisinya hingga seseorang datang padanya dan mulai merawatnya.

If you see my heart

And find your way to me

Dokter itu berjalan sedikit terseok dari arah lift menuju pintu apartemennya. Nyeri itu bertambah
ketika ia berhasil menemukan pesannya hanya dibaca oleh Jeong Won tanpa dibalas. Jang Gyeoul
sedikit membungkuk menahan rasa sakit di perutnya, ia melanjutkan langkahnya sambil
berpegangan ke arah dinding di koridor gelap menuju tempat tinggalnya.

“Akhirnya kau pulang.”

Langkah Gyeoul terhenti ketika suara itu sampai di telinganya. Ia mengangkat wajahnya yang
menunduk, dan berhasil menemukan figur pria berperawakan tinggi serta bahu lebar tengah berdiri
disana.

Ahn Jeong Won, dokter itu menunggunya di depan pintu apartemen dengan senyuman hangat yang
biasa ia berikan. Kantong plastik putih tergantung di tangannya, entah apa isinya Jang Gyeoul pun
tak tahu. Melihat wajah terkejut, dokter bedah pediatrik itu akhirnya membuka mulutnya dan
berbicara.

“Maafkan aku. Kau tak beri aku kabar jadi aku datang kesini. Tadi aku bertemu Yeoreum, dia
bilang ia akan menginap di rumah temannya tapi kau belum pulang.”

Gyeoul masih terdiam di tempatnya. Wajah datarnya membuat Jeong Won lagi-lagi membeberkan
penjelasan.

“Aku tak membalas pesanmu karena baterai ponselku habis saat aku-”

Jeong Won tak bisa melanjutkan kalimatnya setelah ia sadar tangan Gyeoul terus memegangi
perutnya dan wajahnya terlihat pucat. “Gyeoul-ah, kau tidak apa-apa?”

Lelaki itu melangkah mendekatinya secepat mungkin, ia menyejajarkan pandangannya pada kedua
mata Gyeoul. “Ada yang sakit?”

Namun Gyeoul masih terdiam seribu bahasa. Ia menundukkan kepalanya, tak berani lagi menatap
lurus pada kedua mata Jeong Won yang tampak sangat khawatir. Dengan usaha terakhirnya, Jang
Gyeoul melangkah lebih dekat pada Jeong Won dan berbisik pada telinganya.

"Maafkan aku."

Langkah terakhir Gyeoul cepat dan tegas menggapai tubuh yang berdiri satu langkah darinya. Ia
membiarkan perutnya yang sakit tak lagi ia tahan dengan tangannya. Kedua lengannya melingkar
di tubuh Jeong Won, merangkul erat pria itu. Tangisnya pecah dalam pelukan.

Di sela-sela isakannya ia terus mengulang kalimat maaf yang terdengar perih di telinga Jeong Won.
Gyeoul tak tahu mengapa dirinya terus menangis. Ia sudah tak bisa menahan semuanya sendirian.

Jeong Won membalas pelukannya jauh lebih erat, memberikannya dekapan hangat untuk
menenangkan kekasihnya yang tak memberi tanda-tanda untuk berhenti tersedu. Telapak
tangannya menggosok punggung Gyeoul dan menepuk-nepuknya lembut. Ia membiarkan
mantelnya basah oleh air yang menetes dari bola mata pasangannya.

"Uljima..."

"Gwenchana..."

Pria itu menghapus jejak air mata di pipinya dan tersenyum menatap Gyeoul yang masih berusaha
menghentikan sisa isakan yang sulit berakhir. Jarinya mengelus lembut pipi wanita itu dan
merapikan anak rambutnya yang menutupi wajahnya. Perlahan ia menempelkan bibirnya di kening
Gyeoul tanpa melepaskan tautan lengan yang melingkar di tubuh mungilnya. Mereka memutuskan
untuk masuk ke dalam apartemen beberapa menit kemudian.

I want to give you all of my heart

If you can stay by my side forever

***

Tiga hari yang lalu…

Jang Gyeoul menaruh food tray berisi makan siangnya di atas meja kantin. Ia harus
menyelesaikan makannya sebelum pasien darurat tiba sekitar dua puluh menit yang akan datang.
Gyeoul mulai menyuap nasi ke dalam mulutnya dengan sumpit, namun gerakannya terhenti sesaat
ketika ia berhasil menangkap nama kekasihnya disebut samar. Ia menoleh sekilas pada dua
perawat yang juga sedang menikmati makan siang seraya berbincang di belakangnya.

“Profesor Ahn Jeong Won departemen bedah pediatrik bukan?”

“Iya.”

“Sungguh? Siapa pacarnya?”

“Mereka bilang dokter residen di departemen bedah umum.”

“Ahh, bukankah ia satu-satunya dokter residen di depertemen itu?”

“Ne, maja.” Dentang sumpit besi terdengar di antara percakapan mereka. Gyeoul kini
melanjutkan aktivitasnya setelah jeda lama di antara topik tadi. Ini bukan pertama kalinya bagi
Gyeoul untuk mendengar staf rumah sakit membicarakan hubungannya.

“Kau sungguh mendengarnya benar? Apa kau tak salah informasi?”

“Tapi itu yang mereka katakan. Wae-yo?”

“Aku hanya tidak percaya seseorang seperti Profesor Ahn berkencan dengan wanita sedingin dia.
Kau kenal dokter itu, ‘kan?”

“Bisa dibilang aku hanya tahu dirinya. Aku belum pernah bicara padanya. Tatapan dan
ekspresinya selalu membuatku takut untuk memulai obrolan dengannya. Dia tampak jutek.”

“Benar bukan? Aku pun merasakan hal yang sama. Ia berbeda jauh dengan Profesor Ahn.”

“Kalau menurutku, ada seseorang yang jauh lebih serasi bila disandingkan dengannya.”

“Ah, Profesor Chae Songhwa dari departemen bedah saraf maksudmu?”

“Apa kau cenayang? Bagaimana kau tahu apa yang kupikirkan?”

“Profesor Chae adalah wanita impian semua orang. Aku bahkan sebagai bisa jatuh cinta
dengannya. Dia terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Dia baik, berparas cantik, dan kompeten.”
Gyeoul berusaha menelan makanan di mulutnya yang belum tuntas ia kunyah. Tenggorokannya
mendadak serat selepas kalimat itu masuk ke dalam telinganya.

“Mereka sudah berteman lama bukan? Maksudku, Prof. Ahn dan Prof. Chae.”

“Benar. Mereka sudah sering ditemukan bersama, jadi orang-orang sebelumnya mengira ialah
wanita yang dikencani Profesor Ahn.”

“Kau benar. Mereka juga seumuran.”

“Maka dari itu, sejujurnya aku merasa aneh ketika melihat Profesor Ahn dan pacarnya berjalan
bersama. Aku tak mengerti mengapa Profesor Ahn menyukainya. Ia bahkan… tak cukup cantik
menurutku.” Dokter residen itu mengedipkan matanya sebagai respon. Ia menghirup nafas dalam-
dalam, tatapannya kini jatuh pada sisa makanannya yang tak terlihat menggiurkan lagi seperti
awalnya.

“Ahhh, kenapa dari semua orang, dokter itu yang menjadi pasangan Profesor Ahn,” sang perawat
mengerang pendek. Keduanya masih belum sadar orang yang mereka bicarakan berada tepat di
belakang mereka. Dengan punggung saling membelakangi, Gyeoul cepat-cepat membersihkan
makan siangnya. Ia hanya ingin mengisi perut kosongnya dan bergegas pergi dari tempat itu
sekarang juga.

“Aku harap ia tak mengencani Profesor Ahn agar ia bisa ‘dipermudah’ di tempatnya bekerja.
Bukankah mereka satu departemen? Mereka atasan dan bawahan ‘kan?”

“Kuharap juga begitu.”

Dokter residen bedah umum itu membeku di tempatnya, ia tak percaya dengan apa yang ia dengar.
Ia menghembuskan nafasnya dan langsung berdiri dari tempat ia duduk. Sungguh, ia bisa
menghadapi semua pendapat orang, tapi untuk pertama kalinya ia mendapat kalimat
menjengkelkan seperti ini.

“Aku percaya hubungan itu hanyalah hubungan singkat seumur jagung. Itu tak akan berlangsung
lama. Profesor Ahn pasti akan mencari seseorang yang kompeten dan satu level dengannya.” Jang
Gyeoul yang siap untuk pergi dari mejanya, tertegun mendengar kalimat tersebut. Ia merasa
dadanya seperti ditusuk pisau tajam yang membuatnya sesak dalam sekejap. Ia mempererat
pegangannya pada food tray yang ia angkat di depan dada seraya menunduk menggigit bibir
bawahnya.

“Profesor Ahn pasti akan bertemu seseorang yang benar-benar cocok dan membawanya ke
hubungan yang lebih serius.”

Kejadian itu secara otomatis terus berputar ulang di benaknya. Ia sudah memperkirakan hal ini
akan terjadi saat hubungannya dengan Profesor Ahn Jeong Won diketahui oleh banyak orang.
Wanita itu sudah menyiapkan tameng, ia yakin dirinya mampu menghadapi segala jenis penilaian
yang orang berikan.

Jang Gyeoul bukanlah orang yang mudah terpengaruh omongan orang lain. Ia membuktikannya
setelah berhasil mengatasi kejadian serupa sebelumnya.

Namun, setelah mendengar apa yang kedua perawat itu katakan, Gyeoul tak yakin dengan
kepribadian tahan bantingnya sekarang. Walaupun dokter tersebut tahu mereka adalah orang
asing yang tak mengenal dirinya seutuhnya, Gyeoul berbohong jikalau ia berkata ia tidak sakit
hati.
Kalimat itu menyakitinya.

Sejauh ini Jang Gyeoul berhasil bertahan dengan menghempas jauh semua hal negatif yang
berkecamuk di pikirannya. Ia memilih bungkam dan percaya semuanya akan baik-baik saja seiring
berlalunya waktu.

Gyeoul mencoba menyibukkan dirinya agar ia tak terus menerus memikirkannya. Ada sedikit rasa
amarah yang terselip di dadanya. Rasa itu mendorongnya bekerja lebih giat untuk
memperlihatkan bahwa ia bisa menjadi dokter kompeten dengan usahanya sendiri.

Ia akan melakukan segala hal yang ia bisa untuk menunjukkan bahwa kemampuannya bisa
memenuhi kriteria kompeten yang orang-orang inginkan. Walaupun ia tahu, ia tak akan mampu
mencapai level yang sama dengan Profesor Ahn terkait kecakapan dalam profesinya sebagai
seorang dokter bedah dan tenaga medis.

Maka dari itu ia terus menenggelamkan dirinya pada tumpukan tugas yang terus mengalir tanpa
jeda. Sebisa mungkin tidak pergi bersama dengan Profesor Ahn di tempatnya bekerja untuk
menghindari sorot perhatian orang-orang yang penasaran akan hubungan mereka. Siapa yang
akan suka dijadikan sebagai bahan obrolan?

Namun, apa yang ia dapat hanyalah rasa bersalah pada kekasihnya sebab mereka tak memiliki
banyak waktu berdua. Yang ia dapat hanyalah rasa rindu tak terbendung sebab ia secara tidak
langsung menciptakan jarak yang membentang di antara mereka. Yang ia dapat hanyalah Jang
Gyeoul tak lagi dirinya kenal sebagai orang yang berterus terang karena pada kenyataannya, ia
mahir membohongi perasaannya sendiri.

Dan jauh di dalam lubuk hatinya, Gyeoul paham benar semua yang ia lakukan ini sia-sia. Karena
ia tahu persis, segala hal tak akan pernah cukup bila ia terus mendengarkan apa kata orang lain
tentangnya. Ia tak akan bisa mensyukuri hal-hal penting yang sudah ia dapat dalam hidupnya.

***

“Oppa, kau tidak apa-apa?” Wanita itu memperhatikan Jeong Won yang terdiam lama dan terus
menunduk mendengarkan cerita Jang Gyeoul. Kedua tangannya sibuk memijat jari kanan Gyeoul
untuk menghilangkan nyeri di perutnya setelah dokter usia tiga puluh tahun tersebut meminum
obat tablet yang Jeong Won ambilkan.

Pasangan itu terduduk di sofa ruang tengah apartemen Gyeoul yang remang. Tak ada suara lain
selain denting jarum jam di dinding ruang.

“Jang Gyeoul, aku yang seharusnya bertanya itu.” Ahn Jeong Won akhirnya membuka suara usai
wanita di sampingnya menceritakan seluruh hal yang terjadi padanya.

Tentu tidak seluruhnya. Gyeoul sengaja menghilangkan beberapa bagian yang menurutnya tak
pantas untuk didengar dan terlalu kasar untuk diucapkan. Ia tak akan membiarkan Jeong Won
mendengar percakapan itu secara mentah tanpa Gyeoul saring sebelumnya.

“Aku tidak apa-apa. Kau tidak perlu khawatir, Oppa.” jawab Gyeoul diiringi dengan senyum di
bibirnya. Seluruh beban di pundaknya seakan jatuh meluruh dari badannya sejak pria di
hadapannya itu mendekapnya erat.

“Bagaimana bisa?” Jeong Won berhenti memijat tangannya lalu mengangkat kepalanya yang sedari
tadi fokus untuk memberikan sentuhan di jemari Gyeoul. Kedua rahangnya tampak mengeras
bersamaan dengan gertakan gigi yang ia lakukan. Sorot matanya penuh amarah bercampur rasa
bersalah. “Aku tak tahu apa yang akan terjadi pada mereka bila mereka bicara hal itu di depan
wajahku.”

Gyeoul tertawa kecil, berusaha menghilangkan rasa tegang yang menguap di antara atmosfer
ruangan itu. “Oppa, terkadang perkataan orang lain juga kita perlukan untuk introspeksi dan
melihat kekurangan dalam diri kita,” Gyeoul berbicara pelan, ada kilatan sedih yang tersembunyi
dalam matanya. Pandangan mereka bertemu dan Gyeoul bisa melihat dengan jelas rasa cemas yang
terpancar di kedua mata Ahn Jeong Won.

“Aku benar-benar baik-baik saja. Tak semua yang mereka katakan salah. Aku sudah sering
mendengar kalimat seperti itu dan aku bisa-”

Ucapan Gyeoul terpotong tepat saat Jeong Won menghentikan gerakan bibir Gyeoul menggunakan
kedua bibirnya. Dokter itu tersentak dengan perlakuan mendadak Jeong Won yang sangat cepat, ia
bahkan tak bisa mendeteksi sinyalnya. Namun, tubuhnya tak menghentikannya sedikitpun. Ia akan
membual jika dirinya mengatakan bahwa ia tak menginginkan sentuhannya.

Jang Gyeoul merindukan Ahn Jeong Won sebesar Ahn Jeong Won merindukan Jang Gyeoul.

Sentuhan itu lepas seusai pasangan tersebut memejamkan kedua mata mereka lama. Menikmati
setiap detik waktu yang mereka miliki hanya untuk bersama. Kedua telapak tangan Jeong Won
menangkup wajah mungil Jang Gyeoul, mengistirahatkan tangannya di daun telinga Gyeoul,
menipiskan jarak di antara keduanya.

Tidak. Ia tak ingin lagi ada jarak di antara mereka.

“Maka jangan biarkan dirimu terbiasa mendengar kalimat itu. Kau tidak pantas mendapatkan
penilaian mereka dan mereka tidak memiliki hak untuk menilaimu.” Ibu jari Jeong Won mengelus
lembut pipi wanita itu. “Kalau aku punya banyak tangan, maka akan kugunakan seluruhnya untuk
menutup mulut mereka.”

“Tapi aku hanya punya sepasang tangan,” pria itu menggeserkan jarinya untuk menutupi kedua
kuping Gyeoul. “Tak usah dengarkan apa kata mereka.”

“Kau adalah dokter yang hebat, Dokter Jang. Kau tak perlu pengakuan orang lain untuk menjadi
kompeten.”

“Kau adalah hadiah terbaik dari Tuhan untukku. Dan aku memilihmu.”

“Oleh karena itu terima kasih banyak sudah menjadi manusia yang kuat dan bertahan untukku.”

For being by my side

Thank you

***

“Kau boleh bercerita semuanya padaku. Aku siap mendengarkanmu kapanpun itu,” tutur Jong
Won mengulang obrolan mereka di sofa dengan suara yang lembut dan manis. “Kau juga harus
bekerja dengan santai, Dr. Jang.”

Jeong Won mengambil kantong putih yang ia bawa dan menyobek bungkusan patch pereda nyeri
yang ia keluarkan dari dalamnya.

Gyeoul memutarkan badannya, punggungnya menghadap ke arah Jeong Won. Ia mulai membuka
lapisan perekat yang menutup bagian lem pada patch berukuran besar tersebut.

“Seluruh departemen bedah umum akan lumpuh bila kau sakit.”

Pria itu membuat Gyeoul duduk di atas kasurnya setelah ia mandi dan mengganti bajunya dengan
piyama tidur. Profesor bedah pediatrik itu beralih profesi menjadi dokter pribadi Jang Gyeoul
dalam sekejap. Ia menempelkan patch berwarna kulit pada leher jenjang kekasihnya. Jarinya
menyentuh bagian sensitifnya. Gerakan kecil yang sukses membuat wanita itu sedikit tergelitik
akan sentuhannya yang terasa panas dan menyengat.

Jeong Won membenarkan kerah piyama Gyeoul yang sedikit tersampir di pangkal lehernya.
Lengang mengisi kamar tidur Gyeoul yang diterangi oleh lampu tidur.

“Waktunya tidur. Aku akan pulang sekarang,” ucap Jeong Won setelah jeda lama mendadak
muncul di antara obrolan keduanya.

“Oppa, ini sudah sangat larut. Bis terakhir sudah pergi setengah jam yang lalu.” Gyeoul
membalikan badannya dan menatap lurus kedua matanya tanpa keraguan.

“Aku membawa mobil.”

“Eoh.”

Gyeoul terdiam.

Jeong Won terdiam.

Keduanya sama-sama tak ingin berpisah tapi tak ada satupun kata yang mereka ucapkan. Pria itu
pun tersenyum dan mengacak-acak rambut Jang Gyeoul. Lengang itu kembali mampir di antara
sunyinya ruang. Bukan canggung yang mereka punya di kala hening menerpa. Justru dengan diam,
mereka bisa menikmati bagian kecil yang tak mampu mereka bahasakan. Tak ada suara, yang ada
hanya kompetisi menatap yang tak kunjung selesai.

Tak lagi kuat memandang kedua mata Jang Gyeoul, Jeong Won memutus tatapannya hanya untuk
menemukan kedua bibir Gyeoul. Kalau saja mereka tidak sedang di apartemen wanita tersebut,
Ahn Jeong Won pasti sudah mengambil vacuum cleaner ataupun pergi menuju wastafel untuk
mencuci piring. Menggosok segala hal yang ada di dapur untuk mengalihkan rasa panas yang
menggebu di dalam tubuhnya, membuat wajahnya merah dari telinga ke telinga.

“Oppa?” Gyeoul akhirnya memecah hening. Ia menelan ludahnya untuk memberanikan diri
menatap lurus pada sorot mata teduh milik Jeong Won.

“Hm?” Jeong Won spontan menjawab setelah menunduk lama.

“Apa kau ingin makan ramyeon denganku?”

Chapter End Notes


Terima kasi sudah membaca lebih dari 4500 kata di chapter ini. Have a good day all,
jaga kesehatan selalu~
Shelter
Chapter Summary

Long night in her apartement.

Chapter Notes

Heejin (GOOD DAY) – Shelter (Feat. OFA ( ))! Ini OST Because This is My
First Life yang menurutku bikin tenang kalau di dengar. Boleh coba diputar ixixixi!

Oh iya, aku juga puter lagu Serendipity - Jimin BTS pas buat chapter ini.

Selamat baca~

See the end of the chapter for more notes

The air is different from yesterday

Everything has changed

I’m different from yesterday

Where should I go?

“Ada apa dengan ekspresimu itu Dokter Jang?” Dokter Seo menghampirinya seraya menyodorkan
satu kaleng cola kesukaan Jang Gyeoul. Wanita itu mengangkat wajahnya dan menerima operan
softdrink dari dokter fellow satu departemennya.

“Tidak ada apa-apa,” respon Gyeoul mulai membuka penutup cola dengan tangan kanannya.
Keduanya tengah menghabiskan waktu istirahat selepas makan siang mereka di taman.

“Ada sesuatu yang salah denganmu, dan itu terlihat jelas,” Seo Woojin mendaratkan tubuhnya
tepat di samping Gyeoul, meneguk cola miliknya sambil memandang ke arah langit. “Kau bisa
bertanya padaku jika kau ingin.”

Residen departemen bedah umum itu menimang, sampai akhirnya memutuskan untuk membuka
mulutnya. “Sunbae.”

“Wae?”

“Apa kau dan pacarmu pernah ‘diam-diaman’?”

Woojin mengerutkan keningnya, “ah, perang dingin maksudmu?” Ia pun mengangguk beberapa
detik setelahnya. “Pernah, kau kan tahu kami sering tak akur.”

“Bukan. Kalau perang dingin ‘kan kalian bertengkar sebelumnya. Kalau yang ini hanya tak bicara
satu sama lain.”

Pria itu melengkungkan alisnya, tak mengerti dengan apa yang Gyeoul katakan. “Apa maksudmu
diam-diaman tanpa sebab?” Kini ia paham alasan hoobae-nya begitu murung hari ini. “Itu tidak
mungkin, Dokter Jang. Bila suatu pasangan tidak saling bicara, pasti ada faktor penyebabnya.”

“Kalian harus diskusikan penyebabnya sebelum itu menjadi masalah yang lebih besar. Kau tahu,
terkadang pertengkaran dimulai dari masalah yang sepele.”

“Tapi, aku hanya tak ingin katakan penyebabnya karena ini masalahku, bukan masalahnya. Aku
tak ingin memberikannya beban.”

“Tentu itu salah.”

Jang Gyeoul spontan menengok ke arah dokter di sebelahnya setelah mendengar respon cepatnya
tersebut. “Kau tak bisa seperti itu dalam suatu hubungan. Apapun masalahnya kalian harus saling
terbuka dan saling percaya.”

“Itu bukan berarti aku tidak percaya padanya. Aku hanya takut untuk memberitahunya.”

“Apa yang kau takuti?”

“Kalau aku bilang semua detail yang terlintas di otakku, aku takut ia tak bisa menangani
semuanya, ia merasa kewalahan, dan karena itu akhirnya ia melarikan diri dariku,” tuturnya
dengan volume suara rendah, tak ingin terlalu jelas di dengar. “Atau ketika ia akhirnya melihat
begitu banyak kekuranganku, ia pun sadar aku tidak lebih baik dibandingkan orang-orang di luar
sana, dan ia akan pergi begitu saja meninggalkanku.”

“Kau ini bicara apa, Jang Gyeoul?” Seo Woojin memutar badannya empat puluh lima derajat
mendekati Gyeoul.

“Begini, seorang pria dan wanita berkomitmen untuk menjadi pasangan bukan hanya untuk
memenuhi hasrat dan kepuasan mereka, bukan sekedar untuk sebuah pelukan atau ciuman
semata.” Woojin berusaha memaparkan dengan perlahan layaknya seorang ahli. “Mereka
menjalin hubungan serius karena mereka mau menerima pasangan mereka apapun
kekurangannya, menerimamu apapun keadaannya. Semuaaaa hal yang kau punya. Tak
terkecuali.”

“Bahkan hal yang kau benci tentang dirimu sendiri seperti kelemahanmu. Kau tak bisa
membandingkan dirimu dengan orang lain, Dokter Jang,” tambahnya lagi sembari menggeleng.

“Mereka, orang-orang di luar sana tak memiliki apa yang kau punya. Dan yang kau punya adalah
hal yang melengkapi kekurangan Profesor Ahn.”

“Kau ingin ia bergantung padamu dengan segala kekurangan yang ia punya, tapi kau tidak ingin
memperlihatkan sisi rapuh yang kau miliki itu padanya adalah salah satu sumber penyakit,” Seo
Woojin menatap kedua mata Jang Gyeoul. “Mungkin kau ingin bersikap mandiri dan tak mau
merepotkannya, tapi dengan pemikiran seperti itu, kau bisa menyakiti perasaan pasanganmu.”

“Coba, bayangkan Profesor Ahn yang tak tahu menahu, mencari apa kesalahan yang telah ia
lakukan padamu sehingga kau mendiamkannya, padahal dirimu sendiri yang bersikap aneh karena
suatu masalah yang tak mau kau ceritakan padanya. Apa kau tak kasihan padanya?” Woojin
menjelaskan panjang lebar dengan sarkas. Gyeoul menelan ludahnya, mencerna apa yang pria itu
katakan.

Residen tahun ke empat itu memang telah mengenal Dokter Seo sejak lama bahkan sebelum
mereka bertemu di tempat mereka bekerja sekarang ini, jadi wajar bila ia terbiasa dengan kata-
kata pedasnya.

“Ceritakan semua hal yang mengganjal di pikiranmu padanya, dan ia tak akan melarikan diri
darimu.”

I couldn’t even breathe, it was too much

I was lost and wandering, nowhere to go

***

Let me lend your warm shoulder for a moment

Please be my shelter for my exhausted soul

“Aku suka ini,” ucap Jang Gyeoul dengan suara yang terdengar seperti bisikan di telinga Jeong
Won. Gyeoul membiarkan matanya tertutup menikmati sepi ruang tengah apartemennya, tatkala
kepalanya bersandar di bahu kokoh milik Ahn Jeong Won. Pasangan itu masih terduduk di sofa
setelah obrolan serius antar keduanya.

Jari jemari saling bertaut, membiarkan tangan mereka menggenggam satu sama lain. Perasaan
hangat yang tidak jelas menguasai dirinya saat pria itu menggerakan ibu jarinya perlahan, mengelus
kulit Jang Gyeoul dengan pola perlahan.

“Suka apa? Katakan lebih rinci Jang Gyeol.” Jeong Won kembali bertanya, membiarkan sebagian
wajahnya menempel di pucuk kepala dan rambut Gyeoul. “Pundakku?”

“Aniyo,” jawab Gyeoul setelah jeda sesaat. “Semuanya.”


Ia bisa merasakan getaran tubuh Jeong Won ketika pria itu terkikik kecil mendengar jawabannya.
“Semuanya, berarti termasuk pundakku.”

"Ne,” ia menjawab jujur pada akhirnya.

“Pundakmu.”

“Tanganmu,” Gyeoul menyentuh punggung tangan kanan Jeong Won yang berhasil
menenggelamkan tangan kiri miliknya.

“Dirimu.”

“Dan obrolan kita.” Gyeoul mengangkat kepala dari pundaknya, mencari wajah Jeong Won yang
berhasil membuatnya mendongak. Sayang, belum sampai tiga detik ia memandang mukanya,
Jeong Won terlebih dahulu mengecup bibirnya cepat, membuat Gyeoul spontan menutup kedua
matanya sebagai gerak refleks.

Jeong Won tak bisa menahan tawanya melihat Gyeoul yang terkejut, semburat merah muda
memenuhi wajahnya.

“Kenapa kau begitu kaget, Jang Gyeoul?”

“Siapa yang tidak kaget ketika kau dicium tiba-tiba?”

“Tapi aku sudah sering menciummu, dan kau masih saja terkejut,” Jeong Won membalasnya
dengan santai. Apa yang pria itu katakan semakin membuat pipi Gyeoul merona.

“Kau malu?”

“Ani.” Gyeoul membantah, menyembunyikan warna pink di pipinya dengan menyusupkan


wajahnya di lengan atas Jeong Won, membuat suaranya terdengar seperti gumaman tidak jelas.
Wanita itu kembali membuat pria itu terkekeh dengan tingkah malu-malunya.

“Bohong,” pria itu menggoda Gyeoul yang menggelengkan kepalanya meski ia masih
menenggelamkan mukanya di tempat yang sama. “aku harus lebih sering menciummu kalau
begitu, agar kau tidak terkejut lagi.”

Mendengar celotehnya, Gyeoul memukul pelan dada Jeong Won dengan kepalan tangannya,
mengakibatkan Jeong Won tertawa lebih keras. Sepertinya menggoda Gyeoul menjadi hobi yang
baru ia temukan sekarang. Dokter itu pun mengelus halus rambutnya yang terurai.

“Kau benar, Jang Gyeoul. Kita harus lebih sering berbincang seperti ini,” tutur Jeong Won
menanggapi ucapan Gyeoul yang tertinggal. “Aku suka mendengar kau bicara.”

Gyeoul pun akhirnya mengangkat wajahnya, merasa kehabisan oksigen setelah terlalu lama
bersembunyi. Seperti telah menemukan rumah barunya, ia kembali menaruh kepalanya di bahu
Jeong Won. “Benar bukan?”

“Aku suka kita bicara apapun itu secara bebas dan terbuka. Tanpa harus menutupi atau
merahasiakan sesuatu karena merasa tak enak satu sama lain.”

Let me give you my scarred heart for a moment


You can just look at me once in a while

“Gyeoul-ah, kau harus terus memberitahuku hal-hal semacam ini, jangan pernah merasa aku akan
keberatan, mengerti?”

Jang Gyeoul mengangguk, “kau juga.”

“Arasseo, aku juga,” ujarnya kembali menyandarkan kepalanya di atas kepala Gyeoul.
Membiarkan keduanya berada dalam posisi nyaman mereka lebih lama.

***

Frozen in the dawn fog

The light has disappeared from the small hand

Dering ponsel Gyeoul di meja berbunyi untuk kedua kalinya ketika Jeong Won menunggu wanita
itu mengganti pakaiannya menjadi piyama di dalam kamar. Nama yang sama muncul di layar
kacanya, membuat Jeong Won bergegas mendekati pintu kamar Gyeoul, dan menyerahkan
handphone di genggaman pada pemiliknya.

“Gyeoul, Yeoreum menelpon,” ujar Jeong Won dari luar kamar sembari mengetuk pelan pintu
kayu yang tertutup.

“Oppa, masuk saja, pintunya tidak dikunci,” jawabnya seraya merapikan pakaian bekas yang ia
pakai pada lemari gantung.

Jeong Won memutar knop pintu dan memberikan ponsel yang masih mengeluarkan ringtone
familiarnya pada Gyeoul. Wanita itu mengangkat sambungan telepon tak lama kemudian sembari
memijat bahu kanannya dengan tangan kirinya yang kosong. Badannya terasa pegal setelah ia
bersandar dan hampir terlelap di sofa. Ahn Jeong Won memperhatikan gerakan kecil itu, segara
keluar dari kamar dan mengambil plastik yang ia bawa.

“Apa yang Yeoreum katakan?”

“Ia bilang ia tak akan pulang malam ini dan meminta maaf sudah habiskan stok makanan di
kulkas,” jawab Gyeoul ketika Jeong Won menarik pergelangan tangannya lembut untuk
menuntunnya duduk.

“Oppa, apa kau tadi di telpon Yeoreum?” tanya Gyeoul ketika mereka duduk di berhadapan di tepi
kasur. Jeong Won menggeleng.
“Pundakmu sakit?”

Gyeoul menurunkan tangannya yang tanpa sadar masih menggantung di pundak kanannya. Ia
berusaha menutupi rasa pegal yang muncul di antara lehernya, walau dirinya sadar bahwa Jeong
Won telah mengetahuinya. “Berbaliklah, aku akan pasangkan ini.”

“Aigoo, uri Jang Gyeoul sonsaengnim, kau bekerja terlalu keras,” ujarnya ketika punggung kecil
Jang Gyeoul sudah menghadap ke arahnya. “sampai kau pegal begini.”

"Gyeoul-ah, kau bisa meminta tolong padaku jika kau memiliki banyak tugas,” Jeong Won mencari
plastik putih yang ternyata ia taruh tepat di belakangnya. “Atau bila kau kesusahan, bilang saja
padaku.”

“Aigoo, gomawoyo, Gyosunim ,” Jang Gyeoul mengikuti nada bicara Ahn Jeong Won. “Tapi aku
tak boleh melakukan itu,” responnya berbarengan dengan tawa renyah, mendengar suara Jeong
Won yang dibuat seolah-olah sedang memeriksa pasien kecilnya di ruang praktek.

“Baiklah baiklah,” Jeong Won tak mau berhenti. “Tetap, kau boleh bercerita semuanya padaku.
Aku siap mendengarkanmu kapanpun itu,” tutur Jong Won mengulang obrolan mereka di sofa
dengan suara yang lembut dan manis. “Kau juga harus bekerja dengan santai, Dr. Jang.”

Badan Jeong Won seketika menegang saat jarinya bersentuhan dengan kulit Gyeoul yang terletak
tepat di bawah daun telinganya. Sungguh ini pertama kalinya bagi Andrea menyentuh kulit wanita
yang bukan pasiennya, atau hal lain yang berhubungan dengan praktik kedokterannya. Dokter itu
sangat berhati-hati dengan gerak-geriknya untuk menghindari rasa tidak nyaman pada wanita di
hadapannya.

“Seluruh departemen bedah umum akan lumpuh bila kau sakit,” cakapnya dengan upaya
mengalihkan hening yang hadir tanpa dipanggil. Ia dengan cepat mengusir lengang yang terjadi.

Jeong Won membenarkan kerah piyama Gyeoul yang sedikit tersampir di pangkal lehernya.
Senyap mengisi kamar tidur Gyeoul yang diterangi oleh cahaya dari lampu tidur.

“Waktunya tidur. Aku akan pulang sekarang,” ucap Jeong Won setelah jeda lama mendadak
muncul di antara obrolan keduanya. Ia beranjak berdiri dari tepi kasur Gyeoul dan mengenakan
sandal rumah yang sempat ia lepas.

“Oppa, ini sudah sangat larut. Bis terakhir sudah pergi setengah jam yang lalu.” Gyeoul
membalikan badannya dan menatap lurus kedua mata Jeong Won tanpa ragu.

“Aku membawa mobil,” jawabnya itu cepat. Ingin rasanya pria itu menutup matanya karena ia
bertingkah seperti orang bodoh. Kenapa pula ia bilang datang dengan mobilnya?

“Eoh,” respon Gyeoul yang mengangguk seperti anak kecil membuatnya tersenyum tipis.
Keduanya sama-sama diam hingga pria itu tak bisa menahan tangannya untuk mengacak-acak
rambut Gyeoul.

“Oppa?” Gyeoul akhirnya memecah hening. Ia menelan ludahnya untuk memberanikan diri
menatap lurus pada sorot mata teduh milik Jeong Won.

“Hm?” Jeong Won spontan menjawab setelah menunduk lama.

“Apa kau ingin makan ramyeon denganku?"

***
But a small flower blooms again

Let’s go find the morning sun

“Jang Gyeoul, apa kau serius?” Jeong Won kembali bertanya, meyakinkan Gyeoul yang berupaya
membuka sekaleng bir di tangan kanannya. Tiga bungkus ramyeon telah kandas di atas meja kecil
ruang makan apartemennya, menyisakan sampah mie instan tersebut yang sudah berpindah ke
sudut dapur. Panci dan peralatan makan yang mereka gunakan pun telah dicuci dan ditaruh
kembali ke tempat semulanya. Salahkan Jeong Won yang tak tahan melihat kotoran sekecil apa
pun dalam jangkau penglihatannya.

“Apa perutmu tidak akan kembung?”

Pasangan itu sekarang terduduk di atas karpet ruang tengah, kedua punggungnya menyender ke
bagian depan sofa.

“Aku sudah lama tidak minum,” Gyeoul mengerucutkan bibirnya memasang puppy eyes. Ia sukses
membuat Jeong Won tak berani melarangnya. “Dan aku besok tidak dalam panggilan, Oppa.”

“Baiklah, satu kaleng saja? Okey?” Jeong Won pun membiarkan Gyeoul menyesap minumannya
usai ia mengangguk menuruti perkataan profesornya yang terlihat khawatir. Jelas ini bukan
pertama kalinya mereka minum bersama. Pria itu tahu betul Jang Gyeoul tak bisa terlalu banyak
minum, toleransinya terhadap alkohol cukup rendah. Terakhir kali keduanya minum bersama,
semuanya berakhir dengan kacau dan tak ada satupun dari mereka yang ingat jelas detail kejadian
yang mereka lewati.

“Biasanya kau memilih es krim ketimbang bir,” ujar Jeong Won memperhatikannya yang telah
menghabiskan setengah isi minuman kaleng di genggamannya. “Apa ada yang ganggu pikiranku?
Apa kau begitu stress dengan pekerjaanmu?”

“Aku tidak stress,” balasnya cepat. “Kalau aku punya es krim di kulkas, maka aku memilih untuk
memakannya, Oppa.”

“Yeoreum memakan semua es krim di freezer,” Gyeoul memanyunkan bibirnya terlihat kesal. “Dia
bilang akan menggantikannya, tapi sampai sekarang ia belum menepati janjinya.”

Jeong Won terkekeh memandang kekasihnya yang merajuk. “Aku akan membelikanmu banyak es
krim nanti.”

“Tidak usah, Oppa. Kau akan bangkrut nantinya,” ucapnya dengan santai seraya bergurau. Jeong
Won pun akhirnya mengingat suatu hal yang sudah lama ingin ia beritahu Gyeoul namun lupa ia
bilang. Mungkin ini adalah waktu yang tepat sebelum ia kembali lupa akan hal itu.

“Gyeoul-ah, ada hal yang kuingin kau tahu,” ucapnya perlahan setelah jeda lama.

“Apa itu?”

“Sebenarnya aku memiliki suatu program yang sudah kujalani sejak lama,” ujarnya perlahan
dengan suara yang lembut. “Awalnya aku ingin menyerahkan program ini pada Songhwa, tapi
karena aku batal pergi ke Italy, aku mengambil alih program ini lagi, dan mengkoordinasikannya
dengan Songhwa karena ia sangat ingin melakukannya juga.”

“Kau tahu bantuan dana pusat bakti sosial daddy-long-legs ?”

Mata Gyeoul melebar sebagai tanggapan, terkejut akan apa yang kekasihnya itu katakan. Dilihat
dari mimik wajahnya, dokter muda itu tahu program yang Jeong Won sebutkan barusan.

“Itu kau…” suara Gyeoul menghilang di akhir kalimat.

“Iya, aku orang dibaliknya.”

“Oppa, apa lain kali aku saja yang membayar bensin mobilmu? Atau tagihan apartemenmu?”

“Ya, Jang Gyeoul! Kau tidak usah melakukan itu!” seru Jeong Won menolehkan badannya
sembilan puluh derajat pada kekasihnya. “Aku tidak bangkrut.”

“Aku punya jalan alternatif sebagai sumber dana untuk program itu.”

Gyeoul terkikik melihat reaksi Jeong Won, sebab berhasil membuatnya terpancing akan
gurauannya. Sejujurnya, wanita itu sudah tahu sejak lama bahwa dokter bedah pediatrik itu
memang memegang kegiatan bakti sosial yang ia ceritakan. Hal ini karena Jeong Won pernah
secara tak sengaja meninggalkan ponsel cadangannya di sisi Gyeoul ketika ia pergi ke toilet.
Dokter residen itu hanya menunggu waktu agar kekasihnya berani memberitahu langsung apa yang
ia kerjakan, dibanding bertanya padanya secara empat mata.

“Arasseoyo, aku hanya bercanda,” ucap Gyeoul setelah meneguk tiga per empat isi dari minuman
kalengnya.

“Kau tidak bertanya mengapa aku baru memberitahumu? Atau sejak kapan aku mulai
melakukannya? Atau bagaimana? Atau apapun itu yang membuatmu khawatir tentang hal ini?”

Gyeoul menggeleng dan memiringkan wajahnya, “Kenapa aku harus khawatir?”

“Justru aku bangga padamu, Oppa,” ucapnya lagi dengan pandangan berbinar. Ia kini memutarkan
badannya sembilan puluh derajat agar mereka saling berhadapan. Wanita itu pun memainkan
kaleng bir yang ia taruh di depan kakinya yang ia lipat bersila. Jeong Won hanya mampu
memberikan ekspresi seolah-olah berkata, ‘bagaimana bisa?’

“Aku kadang merasa aku sedang bermimpi,” dokter itu mengangkat kepalanya agar pandangannya
bisa menangkap mata Jeong Won yang tak berkedip memperhatikannya. Pria itu bak anak SMA
yang baru pertama kali jatuh hati lagi pada ciptaan Tuhan yang hadir di depannya.

“Mimpi apa?” tanyanya dengan senyum yang tak lepas, mengakui rasa kagumnya pada Jang
Gyeoul.

“Mimpi yang membuatku tak ingin terbangun,” jawabnya dengan cengiran kuda. “Aku rasa
menjadi pacarmu masih terasa tak nyata di mataku. Itu terasa seperti mimpi.”

Jeong Won terkekeh mendengarnya, seharusnya ia yang berkata sebaliknya pada Jang Gyeoul.
“Aku rasa menemukanmu di dunia ini juga terasa seperti keajaiban untukku.”

Dokter wanita yang giliran tertawa mendengar gombalannya. Rona merah di pipinya semakin
terlihat, bahkan hingga ke telinga sekarang. Entah itu karena tersipu, atau karena efek alkohol yang
ia konsumsi. Sepertinya pasangan bodoh ini benar-benar sedang dimabuk cinta. Darimana mereka
belajar menggombal cringe?

Let me lend your warm shoulder for a moment

Please be my shelter for my exhausted soul

“Aku pikir aku tak pantas mendapatkan ini,” tutur Gyeoul tiba-tiba, mendorong kerutan di dahi
Jeong Won. “Aku rasa aku tidak pantas mendapatkanmu,” kini mata Gyeoul mengedip sayu.

“Oppa, kau tahu? Kau terlalu sempurna untuk menjadi nyata,” ujarnya cepat, mendahului Jeong
Won yang sudah membuka mulutnya untuk membalas ucapannya dengan ribuan omelan. “Kau
orang baik, amat dermawan, dokter yang kompeten, penuh perhatian, sangat peduli dengan
perasaan orang lain di sekitarmu.”

“Dan kau tampan.” Jeong Won tak bisa menahan senyuman mendengar pengakuannya.

“Karena itu, kadang aku merasa tak percaya diri bila berdampingan denganmu,” ungkap Gyeoul
pada akhirnya, berhasil mengatakan semua hal yang ada di benaknya. “Aku takut aku tak mampu
menjadi pasangan yang baik untukmu.”

“Gyeoul-ah…”

Let me give you my scarred heart for a moment

You can just look at me once in a while

“Oppa, aku takut kau pergi dariku.”

Jeong Won terdiam mendengar pengakuannya kali ini. “Kau tahu bagaimana takutnya aku setelah
kejadian di kantor tadi? Aku takut kau pergi meninggalkanku karena aku bersikap egois dan
membuatmu marah.”

“Maafkan aku telah membuatmu takut,” Jeong Won mengelus pipi Jang Gyeoul, membuat wanita
itu memiringkan sebagian wajahnya untuk mengecup telapak tangan pria yang hampir
menenggelamkan separuh mukanya.

“Aku tahu masalah ini belum seberapa dibanding dengan tantangan lain yang akan kita hadapi
nantinya, tapi entah kenapa memikirkannya saja sudah membuatku sesak,” Gyeoul bergumam,
layaknya membisikan kalimat kulit pria itu. Rasa takut di dalam dirinya menjalar seakan-akan
membuatnya jatuh. Ia mengaku, ia tidak bisa mengatasi rasa takut yang menyertainya.
“Walaupun hal yang paling aku takuti sudah kita lewat, tetap saja. Aku merasa sedih setiap
mengingat rencanamu mengundurkan diri dari profesimu sebagai dokter, dan pergi meninggalkan
Korea.”

“Oppa, bagaimana kalau suatu hari nanti kau menyesali keputusanmu untuk menetap? Bagaimana
kalau suatu hari kau sadar bahwa ini bukan jalanmu dan pilihanmu ini membuatmu tak bahagia?”
Gyeoul bertanya sembari menyembunyikan wajahnya yang basah karena air mata.

Pikiran negatif itu semakin menerjangnya seperti banjir. Berhasil membangkitkan kecemasannya.
Takut akan kehilangan Ahn Jeong Won ketika pria itu melihatnya seperti ini; lemah dan cengeng.

Seluruh hal ini karena Gyeoul rasa, ia semakin jatuh lebih dalam pada pria di hadapannya dan
wanita itu mencoba melawan semuanya. Karena tidak seperti orang lain yang jatuh cinta,
pikirannya tidak langsung menyimpulkan bahwa kebahagiaan abadi dan happy ending bisa
langsung datang ke dalam hidupnya.

Dia selalu harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Dan untuk pertama
kalinya, Gyeoul merasa hal yang sangat ia inginkan datang padanya begitu saja seperti kebetulan.
Ia rasa kebahagiaan ini seperti khayalan, yang seharusnya bukan menjadi miliknya.

Serendipity.

Siapapun, bahkan Semesta bisa merebut semua itu kapan saja darinya.

Mendengar penuturan Gyeoul, membuat Jeong Won merasa sesak. Setiap kata yang ia keluarkan
seperti menusuk ke dalam ulu hatinya. Memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru pada akal pikiran
pria itu. Inikah apa yang Jang Gyeoul khawatirkan selama ini?

“Oppa, bila suatu hari nanti, bila suatu saat nanti, kau benar-benar ingin pergi dariku karena hal
itu, tolong katakan padaku? Ya?” Gyeoul memberikan senyuman getirnya membuat perasaan
Jeong Won teriris sekali lagi dengan kalimat yang ia katakan. “Aku akan mendukung apapun
keputusanmu kedepannya.”

“Kumohon jangan tinggalkan aku tanpa penjelasan.”

Pria itu menghapus jejak air mata yang jatuh di wajahnya, menatap matanya dengan tulus.
Menangkap segala kegelisahan yang selama ini wanita itu pendam.

Jeong Won sekali lagi merengkuh badan mungil Gyeoul, menenangkan segala keraguan yang
tertera di matanya. Memeluk semua kekurangan yang ia punya. Menerima segala kekurangan yang
ia tampilkan hanya di depannya.

Dan Jang Gyeoul membiarkan dirinya tertarik pada gravitasi hangat dalam tubuhnya. Melepaskan
penjagaannya agar pria itu yang ambil alih menangani segala kendali dalam dirinya.

***

“Kau hanya berjanji akan minum satu kaleng. Aku tak akan membiarkanmu meminum kaleng
ketiga kali ini.”

Jeong Won menarik bir di genggamannya, membuat Gyeoul mengerang marah. Wanita itu sudah
hampir jatuh pingsan di tempatnya tapi ia tetap bersikeras untuk menambah alkohol. Jang Gyeoul
membungkuk, menguburkan wajahnya yang sudah tampak sangat mabuk.

“Jang Gyeoul, ayo pindah ke kamar, sebelum kau tidur disini.”


Wanita itu tak menanggapi, ia hanya bergumam tak jelas yang membuat Jeong Won mau tak mau
mendekatkan telinganya pada mulut Gyeoul yang tak terlihat karena menunduk.

Gyeoul mengangkat wajahnya tanpa aba-aba, mengakibatkan Jeong Won terperanjat dan menarik
badannya menjauh secara spontan.

“Ya! Ahn Jeong Won.”

Kini Jeong Won tak tahu harus berbuat apa.

“Kau…”

“Kau mabuk Jang Gyeoul.”

“Ani! ” Dokter itu menggeleng keras dengan gerakan kepala yang tak teratur. “Aku tak pernah
mabuk.” Gyeoul mengacungkan telunjuknya dan melambaikannya di depan wajah profesornya.

Baiklah, sudah dipastikan Jang Gyeoul benar-benar mabuk sekarang.

“Ahn Jeong Won.”

“Wae? ” Pria bermarga Ahn itu tetap sabar membalasnya dengan nada lembut. Entah mengapa, ia
merasa gemas dengan tingkah mabuk Gyeoul yang lucu. Sisi lain dari wanita itu yang langka,
jarang sekali ia tunjukan. Apalagi, bagaimana cara dokter residen itu menyebut namanya tanpa
gelar kehormatan, mana mungkin Dokter Jang Gyeoul berani melakukannya dalam keadaan sadar.

“Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu sejak lama.”

“Apa itu?”

“Kau…?”

“Aku…?”

“Kau… sejak kapan kau menyukaiku?”

Jeong Won tercengang mendengar pertanyaan Gyeoul yang tak ia duga akan keluar dari lisannya
ketika ia mabuk.

“Apakah kau penasaran?” Pasangan dari wanita yang sedang mabuk itu mengangkat alisnya,
mencari akal agar Gyeoul bisa menuruti perkataannya usai wanita itu mengangguk sebagai respon
dari pertanyaannya.

“Kau tak pernah menunjukan tanda-tanda suka padaku. Bagaimana bisa kau langsung menciumku
begitu saja ketika aku menyatakan perasaanku padamu?!” Gyeoul berseru padanya membuat Jeong
Won terkekeh akan pengakuan tiba-tibanya. “Kau jahat.”

Kata terakhir yang ia keluarkan berhasil membuat Jeong Won merasa bersalah. “ Mianhae,
Gyeoulah.”

“Katakan! Sejak kapan kau suka padaku?”

“Kau begitu penasaran?” Gyeoul mengangguk lagi mendengarnya. “Tapi, kalau aku ceritakan
sekarang, kau tak akan mengingatnya setelah sadar.”

Gyeoul termenung mendengar apa yang Jeong Won katakan. Ada benarnya juga perkataan
profesornya itu. “Tapi aku ingin tahu…” Dokter itu memajukan bibir bawahnya merajuk, ia
kemudian melengkungkan kedua alisnya, membuatnya seolah bertemu.

“Kalau kau ingin tahu, sekarang ayo bangun dari sini. Dan kita pindah ke kamar. Kau harus
istirahat.”

“Tapi, kau janji akan beritahu aku?” Gyeoul mengacungkan jari kelingkingnya, membuat tanda
janji dengan menautkan jemarinya dengan kelingking Jeong Won.

Sejurus kemudian, Jeong Won mengangkat tubuh Gyeoul, memegang kedua lengan atasnya dengan
kuat sampai wanita itu berdiri tegak. Dengan langkah terseok, ia menuntun Jang Gyeoul untuk
masuk ke dalam kamarnya. Ahn Jeong Won merebahkannya di atas kasur dengan hati-hati.

Gyeoul mendarat di atas bantal dengan mata yang setengah tertutup. Hembusan nafasnya yang
terdengar jelas di pendengaran Jeong Won memberikan indikasi rasa lelah dalam tubuhnya.

Tampaknya Gyeoul hampir tenggelam dalam tidurnya ketika Jeong Won menarikan selimut untuk
menutupi tubuhnya. Pria itu berlutut di tepi kasur, menyandarkan sikunya sebagai tumpuan beban
untuk mengamati Jang Gyeoul lebih dekat.

Jeong Won mengecup kening Gyeoul usai menggeserkan poninya yang jatuh menutupi sebagian
wajah. Beberapa detik kemudian, tanpa ia duga, kedua kelopak mata wanita itu perlahan terbuka.

“Oppa, menginaplah disini malam ini,” pintanya lirih, memandang Jeong Won yang masih diam di
tempatnya.

“Arraseo.”

Pria itu menekan tombol lampu tidur yang masih menyala di atas nakas, menyesuaikan cahaya pada
kecerahan yang lebih redup, sebelum akhirnya merangkak pelan untuk tidur di samping Jang
Gyeoul.

“Tentang bagaimana aku bisa suka padamu, aku akan ceritakan lain waktu,” ujarnya setelah
mereka berbaring berhadapan, memandang satu sama lain dengan mata mengantuk. Gyeoul
mengangguk, mengiyakan apa yang Jeong Won katakan sebelum ia memeluknya dan menutup
mata.

“Jaljayo, Oppa.”

Jauh di dalam lubuk hati dan pikiran rasionalnya, Ahn Jeong Won tahu bahwa Gyeoul sudah
setengah sadar dari mabuknya bila ia kembali memanggil dirinya dengan sebutan Oppa.

“Jalja, Gyeoulie.”

The air is different from yesterday

Everything has changed


I’m different from yesterday

Where should I go

Chapter End Notes

Maaf untuk slow updatenya uhuhuhu! Aku baru selesai UAS. Btw, ada beberapa
percakapan yang terinspirasi dari fanfic lain. Semoga suka ya bab ini!

Ada yang bisa tebak gimana respon Jeong Won pas Gyeoul ngajak makan ramyeon?
(Aku bakal post kapan-kapan)

Tetap jaga kesehatan ya semuanyaa~


All About You
Chapter Summary

Long night in her room.

Chapter Notes

Chapter kali ini, lagu (Taeyeon) – (All About You / A Poem Titled You)
OST Hotel Del Luna.

Aku minta maaf untuk update yang sangat lama, aku harap kalian gak bingung sama
jalan ceritanya karena jarak update yang jauh hehehe (boleh dibaca chapter
sebelumnya kalau beneran lupa wkwkwk). Oh iya, sepertinya ini update pertama di
tahun 2021 yah~ Semoga kalian suka dengan chapter extra fluffffff kali ini. Selamat
membaca, smoga cerita ini bisa menjadi hiburan untuk pengantar lelahmu di hari
Senin!

WARNING: Hati-hati pusing dengan alur maju mundur di bagian awal dan di akhir.
Akan ada banyak obrolan cheesy antara Gyeoul-Jeong Won disini, kalau beberapa dari
kalian merasa 'cringe', lebih baik gunakan bahasa inggris untuk membacanya ixixixixi.

See the end of the chapter for more notes

Since when I saw you

Did you feel it was fate?

Like the stars in the night sky were shining

You've been around for a long time

Ahn Jeong Won tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia sudah bersusah payah untuk menutup matanya
tapi tubuhnya tidak bisa diajak berkompromi. Pria itu akan terbangun setiap empat puluh menit
dan menemukan Gyeoul terlelap pulas di sampingnya. Baik itu hanya memastikan wanita tersebut
dalam posisi nyaman, atau merapatkan selimut yang menutupi tubuhnya, Jeong Won selalu
melakukannya berulang kali. Mungkin itu adalah sebuah pengalihan yang tubuhnya refleks
lakukan karena tak bisa memejamkan matanya lagi, lalu kembali terjaga.
Pikirannya melayang kesana kemari walau tubuhnya terbaring di atas kasur. Otaknya bekerja
seperti kaset, mengulang kembali semua kejadian panjang yang mereka lalui di hari yang sama.
Hari yang panjang. Semua rincian kecil hingga percakapan panjang mendetail menjadi bagian
penting yang terlintas di benaknya.

Waktu berjalan begitu cepat tanpa manusia sadari. Bagaimana mereka berdua akhirnya menjadi
pasangan yang berakhir pada hubungan romantis masih tampak surealis di mata Jeong Won. Jang
Gyeoul adalah variabel tak terduga dalam hidupnya, yang membuatnya bertanya-tanya bagaimana
segala keinginan dan rasa tak mau kehilangan dapat muncul begitu besar di dunia ini.

Pria itu terus menatap Jang Gyeoul yang menutup kedua matanya dan bernafas dengan teratur. Ia
memperhatikan setiap lekuk dan garis wajah yang ditampilkan wanita itu melalui sisi sampingnya.
Sempurna tanpa kacamata besi yang biasa menghalanginya. Tangannya terangkat untuk merapikan
sehelai rambut yang mencuat di wajah kecilnya. Jarinya tertekuk, mengusap lembut pipi Gyeoul
menggunakan ruas jemarinya.

Sentuhannya perlahan turun, pada garis rahang yang terbentuk sempurna dan sudut bibir tipis yang
sukses membuat konsentrasinya terganggu setiap mereka sedang berbicara.

Bagaimana bisa bagian berwarna merah muda itu berhasil menarik dirinya, mendorongnya untuk
terus ingin mendaratkan bibirnya pada tempat yang detik itu juga tak bisa lepas dari
penglihatannya.

Dan dengan begitu saja, dengan segelintir pikiran itu, ia menghentikan gerakannya. Menarik
kembali bagian tubuhnya agar tidak pergi lebih jauh lagi. Berusaha menahan hawa panas yang
sedari tadi— tidak, sebenarnya, sejak awal, memang sudah menjalar di tubuhnya. Pria itu menarik
nafas panjang, memasok lebih banyak oksigen dalam tubuhnya setelah sadar ia menahan nafasnya
ketika kulitnya menyentuh Gyeoul. Menjaga dirinya agar tetap sadar, menjaga dirinya agar tetap
waras.

Dokter itu mengalihkan pandangannya pada dinding kamar Gyeoul. Mencari apa pun benda lain
yang bisa ia lihat, yang bisa mencuri perhatiannya.

Ahn Jeong Won telah bersusah payah. Ia selama ini bekerja dengan keras untuk menahan
keinginannya. Keinginan untuk menyentuhnya.

Apa yang ia harapkan?

Bagaimanapun Ahn Jeong Won adalah seorang pria. Ia pria dewasa berusia empat puluh satu tahun
yang sehat secara fisik maupun psikis. Meskipun ia adalah penganut taat katolik, ia masih seorang
manusia biasa. Untuk naik ke atas kasur berukuran queen size dan tidur di samping Gyeoul dengan
tenang saja, membuatnya khawatir bahwa mungkin ia akan melakukan sesuatu yang seharusnya
tidak dia lakukan.

Kebenaran yang sesungguhnya, iya. Mereka tidak pernah membicarakan hal ‘ini’ sebelumnya.
Jeong Won mengerti mereka berdua adalah manusia dewasa, dan membicarakan tentang hubungan
yang jauh lebih intim merupakan sesuatu yang dianggap sangat biasa di usia mereka.

Bukannya ia tak ingin melakukannya dengan Jang Gyeoul. Oh, hanya Tuhan yang tahu apa yang
ada dalam hatinya selama ini.

Tidur bersama wanita bukanlah hanya sekedar tidur bersama untuk Ahn Jeong Won. Mungkin ia
hidup dalam budaya yang menganggap seks pranikah merupakan hal umum, tapi Jeong Won
adalah Jeong Won, seorang mantan-calon-pastor yang tentu tahu itu adalah hal salah dan dosa
besar. Yang berarti ia melakukan tindakan amoral bertentangan dalam kitab biblenya secara sadar.

Dia bisa saja melakukannya. Tapi bagaimana kalau Jang Gyeoul belum siap? Bagaimana bila
dirinya pun belum siap? Bagaimana kalau mereka berdua belum siap?

Atau sebaliknya, bagaimana kalau ternyata hati dan akal sehatnya mengalahkan hawa nafsu. Bila
pada akhirnya ia adalah pria yang akan tetap pada prinsipnya untuk tidak melakukan hal tersebut
sebelum menikah, akankah Jang Gyeoul menerima keputusannya? Akankah Gyeoul tetap di sisinya
dan tak meninggalkannya?

Jeong Won kembali mencoba menutup matanya, untuk kembali masuk ke alam bawah sadarnya
setelah menengok ke arah jam di atas nakas. Namun, bukannya ia kembali tidur, sekelebat
bayangan kejadian beberapa jam yang lalu, kembali hadir. Bagaimana dirinya menghadapi Jang
Gyeoul, wanita di akhir usia dua puluh tahunnya yang sangat lugu.

Pertama dan terakhir kalinya mereka berbicara tentang hal yang sedikit menyeret dengan topik
yang berhasil membuatnya harus mandi dengan air dingin sepulang dari sini.

Dan persis seperti kata Lee Ikjun, mungkin mereka memang sempurna menjadi pasangan polos
yang teman gilanya itu juluki ‘virgin couple.’

Cih, padahal Ikjun jelas tahu bahwa Jeong Won tak sepolos yang mereka pikirkan.

“Oppa, ramyeon mokko kaleyo?” tanya Gyeoul dengan wajah polosnya.

Jeong Won mengedipkan matanya berkali-kali usai menjatuhkan plastik putih berisi sampah bekas
bungkus patch pereda nyeri yang ia pegang di tangannya. Respon alami yang ia lakukan spontan
saat ia tercengang. Jeong Won rasa jantungnya berhenti berdetak selepas Gyeoul melontarkan
kalimat yang mungkin wanita itu tak tahu makna dibaliknya.

Gyeoul memandang Jeong Won yang terdiam dengan tatapan bingungnya. Ia (berusaha) berdiri
sambil menyandarkan punggungnya ke papan lemari Gyeoul yang tepat berada di belakangnya.
Tangannya mencengkram erat ke saku celana seraya menatap Gyeoul sebelum akhirnya ia
membuang tatapannya ke arah lain. Ia harap telinganya tak memerah dan wanita di hadapannya tak
menangkap respon tubuhnya yang menegang.

Di lain sisi, Gyeoul tampak tak mengerti dengan suasana lengang yang muncul mendadak, efek
dari ajakan yang ia lontarkan pada Jeong Won. Dan pria itu kembali menatap Gyeoul seraya
memiringkan kepala, layaknya memproses pertanyaan itu dalam otaknya, walaupun hasil akhirnya,
Jeong Won tak mendapat apapun untuk menjawab pertanyaan Gyeoul.

“Oppa, a.. apa kau sedang diet?” pertanyaan Gyeoul membuat Jeong Won lebih terbelalak lagi.
“Tidak apa bila kau tak mau. Aku saja yang makan, kau duduk saja dan temani aku makan.”

Seperti ada bunyi lonceng dalam pertandingan tinju sebagai latar suara yang sengaja diputar dalam
pikirannya, Jeong Won terpukul jatuh.

Hapus pikiran liarmu Ahn Jeong Won!

“Ah, iya, iya. Tentu saja aku mau,” ia spontan menjawab usai tersadar telah terdiam lama. “Kenapa
ramyeon?” Jeong Won tak bisa berkata-kata, dua kata terakhirnya lebih terdengar seperti gumaman
tidak jelas yang keluar dari lisannya.

“Aku tak punya makanan lain. Seluruh stok makananku habis di kulkas, dan hanya tersisa ramyeon
di rak,” Gyeoul membalas perkataan Jeong Won yang tertangkap jelas di telinganya, masih dengan
wajah polosnya. “Apa kau ingin makan yang lain?” tanya Gyeoul lagi. “Haruskah kita pesan-antar
saja?”

“A...ni, ani,” pria itu menggeleng keras sesudah memberikan tatapan blank-nya beberapa detik
yang lalu. Berusaha mengusir pikiran lain yang sedang menguasai akal sehatnya. “Tidak apa. Kita
makan yang ada saja, apa ada resto yang masih buka jam segini?”

“Tentu saja ada. Di dekat sini ada tempat makan cepat saji yang buka 24 jam,” Gyeoul melirik ke
arah ponselnya lalu berganti ke arah profesornya.

Jeong Won berpikir sejenak, layaknya perangkat lunak yang sedang disegarkan dengan memencet
tombol ‘refresh’, ia berusaha membuang jauh segala hal yang dirasa melenceng dari
kewarasannya.

“Kita buat ramyeon saja,” keputusan akhir meluncur dari lisannya. “Lagipula aku sudah lama tidak
memasak untukmu.”

“Kaja,” Jeong Won mengangkat badan Gyeoul dari kasur dengan menarik kedua pergelangan
tangannya yang sudah terangkat membentang, meminta pria di hadapannya itu untuk
membawanya. Jeong Won menaruh kedua tangannya di bahu Gyeoul setelah kekasihnya berdiri
tegak, menuntunnya menuju pintu. Mereka berdua bergegas meninggalkan kamar Gyeoul sebelum
hal lain yang tak diinginkan (sebenarnya siapa yang tak ingin?) terjadi di dalamnya.

“Tapi, Gyeoul, apa kau tahu kalimat itu memiliki makna ganda?” tanya Jeong Won dengan kikuk
ketika mereka berjalan bersama menuju dapur. Ia rasa meninggalkan Gyeoul tanpa tahu kebenaran
adalah hal yang salah, bagaimanapun wanita itu harus tahu arti yang sebenarnya sebelum ia
melakukan kesalahan lainnya.

“Kalimat yang mana?” Gyeoul bertanya ketika tangannya menggapai satu bungkus ramyeon dalam
rak, yang membuat mata Jeong Won terkejut mengetahui seberapa banyak persediaan ramyeon
dalam kabinet dapurnya.

“Itu, Gyeoul, meminta seorang pria asing untuk makan ramyeon bersama di rumah... mungkin
bukan berarti apa yang menurutmu hanya berarti— " Jeong Won terhenti, merasa tak semestinya ia
melanjutkan penjelasan tersebut pada Gyeoul ketika bahasanya saja terdengar berbelit-belit.

“Tapi, Oppa, kau bukan pria asing untukku,” jawab Gyeoul membuat Jeong Won menggaruk
rambutnya yang tidak gatal. “Aku tak akan mengajak pria asing masuk ke dalam rumahku.”

“Baik, maksudnya bukan pria asing, pokoknya pria dewasa,” jelas Jeong Won dengan singkat
setelah berpikir sejenak. Pernyataannya membuat Gyeoul menyadari sesuatu.

“Memangnya apa arti lain dari kalimat itu?” tanya Gyeoul menghentikan gerakannya yang sibuk
membuka dua bungkus ramyeon. Ia pun menatap Jeong Won yang terdiam, kedua bola matanya
bergerak ke kanan dan ke kiri, berusaha mencari penjelasan yang tepat untuk menerangkannya pada
Gyeoul. Menunggu Jeong Won untuk menjawab, wanita itu berjalan ke sudut lain kemudian
mengambil panci kecil yang digantung di dinding rak.

“Secara harfiah, kalimat itu memang berarti mengajak seseorang untuk menikmati mie instan ini
bersamamu,” Jeong Won menjelaskan pelan, tangannya memilih sibuk membuka bumbu mie
instan di hadapannya ketika Gyeoul mengisi alat masak mereka dengan air dari wastafel. “Tapi,
sekarang ini pertanyaan itu memiliki arti kiasan yang terselip di dalamnya.”

“Kalimat ‘maukah kau makan ramyeon denganku?' bukan hanya sebuah ajakan biasa untuk makan
mie instan berdua. Itu sebuah rayuan atau cara untuk mengundang seseorang melakukan aktivitas
lain yang lebih intim— aktivitas lain lebih dari sekedar makan ramyeon bersama di rumah.”

Gyeoul spontan mematikan air yang mengalir dari kerannya ketika otaknya berhasil mencerna
penjelasan dari Jeong Won. Ia menelan ludahnya dan menengok ke arah Jeong Won yang ia
punggungi sedari tadi. Wanita itu tentu paham topik pembicaraan mereka tanpa harus dipaparkan
lebih detail ke mana arah penjelasan ini berujung.

Jeong Won melangkah mendekat ke arahnya untuk mengambil gunting yang berada di kabinet
tepat samping Gyeoul, dan pria itu berhasil menangkap rona merah di pipi Gyeoul yang beranjak
naik ke daun telinganya. Pundaknya yang terangkat menandakan ketegangan yang muncul dalam
tubuhnya, respon natural yang tak luput dari perhatian Jeong Won ketika pasangannya merasa
waspada.

“Aku panik,” celetuknya tiba-tiba setelah hening sesaat, mendahului Jeong Won yang sudah
membuka mulut bersiap bicara untuk menenangkannya. Pria itu menoleh ke arahnya yang kini
mematung tepat di sisinya. “Eotteokhajyo?”

“Apa yang ‘bagaimana’?” Jeong Won memiringkan wajahnya agar dapat memandang wajah
Gyeoul lebih jelas, tak mau melewatkan ekspresi malu dan panik Gyeoul yang begitu gemas di
matanya.

“Aku tak tahu ada arti itu. Oppa, aku tak bermaksud merayumu,” Gyeoul menggeleng sembari
menatap lurus ke arah matanya dengan wajah lugu. Jawaban terus terangnya membuat Jeong Won
terkekeh, meninggalkan Gyeoul yang masih diam terbingung akan tawa kecilnya.

“Ara…” Jeong Won akhirnya membuka suara, membawa gunting serta panci yang sudah terisi
dengan air di tangan Gyeoul untuk ia taruh ke atas kompor. “Karena itu aku beri tahu. Setidaknya
sekarang kau tahu arti dibalik kalimat itu, Jang Gyeoul,” lanjutnya sembari menyalakan kompor
elektrik ketika Gyeoul mengekorinya di belakang.

“Maka dari itu, jangan katakan hal itu ke sembarang orang atau mereka akan salah paham.
Arasseo~ ? ” ucap Jeong Won memutarkan badannya ke arah Gyeoul lalu mengusap kepalanya,
membuat rambutnya sedikit berantakan karena ulahnya.

Mengetahui wanita itu mulai mengendurkan rasa tegang di pundaknya dan mengingat respon lucu
Gyeoul, Jeong Won mengurungkan niatnya untuk berhenti menggodanya.

“Hogsi... kau pernah mengatakannya pada orang lain?” ujarnya lagi, kini dengan senyuman jahil.
Sesungguhnya ia tahu, Jang Gyeoul tidak mungkin melakukannya.

“Ne.”

Kini Jeong Won yang tersentak akan jawaban cepatnya. Usahanya untuk bermain dengan Gyeoul
malah kembali menjadi bumerang untuk dirinya. Tertangkap basah tercengang oleh wanita itu,
Jeong Won kini membeku di tempatnya.

Apa ia memang pernah mengajak— tunggu? Dengan siapa?

“Yeoreum-ie. Aku pernah mengatakannya pada Yeoreum,” ujar Gyeoul mengklarifikasi ucapannya
sambil terkikik kecil. “Apa itu terhitung aku merayu orang lain?”

Jeong Won mengedipkan matanya, tak percaya ia berhasil terpancing akan gurauannya. Tak mau
mengakuinya, Jeong Won mengambil semua hal itu dengan santai, menanggapinya dengan baik
seakan-akan membuat percakapan terus mengalir. “Lalu apa yang ia katakan?”

“Ia menjawab, ‘aku tidak ingin wajahku membengkak di pagi hari karena makan bersamamu. Kau
saja yang makan, Noona.’" jawabannya membuat Jeong Won tersenyum, menahan tawanya. “Atau
ia bilang, ‘berhentilah makan dua bungkus ramyeon di malam hari, kau akan terlihat seperti
babi.’"

Jeong Won terkekeh mendengarnya, mengangguk mengetahui kelakuan Jang Yeoreum pada
Nuna-nya itu. “Eo, ia tidak sepenuhnya salah, Jang Gyeoul. Kau harus berhenti makan makanan
instan. Itu tidak baik untuk kesehatanmu.”

“Lihat rak ini, bagaimana bisa kau mengisi satu kabinet penuh dengan ramyeon dan mie instan?”
Jeong Won memberinya omelan sembari menunjuk kembali brankas berharga milik Gyeoul. “Apa
kau sangat suka dengan ramyeon sampai membuat mereka berkembang biak disini?” Jeong Won
mengerutkan keningnya.

“Tidak terlalu, tapi aku suka,” Gyeoul mengangguk. “Itu hanya persediaan yang aku punya karena
aku sering lapar atau pergi terburu-buru ke rumah sakit,” tambahnya lagi memberi penjelasan.
“Beberapanya merupakan pemberian dari profesor.”

“Aigoo, bagaimana bisa mereka memberimu ini?” celetuk Jeong Won memperhatikan persediaan
makanan Gyeoul. “Seharusnya mereka memberimu stok makanan yang lebih sehat dan bergizi,”
oceh Jeong Won tanpa tanda-tanda akan diam.

“Oppa, apa kau juga mau buat satu?” tanya Gyeoul saat matanya menangkap Jeong Won
memperhatikan mie instan miliknya dengan seksama. “Aku akan buat tiga bila kau mau.”

Mata mereka bertemu, dan Jeong Won pun diam sejenak untuk memutuskan.

“Baiklah. Ayo buat tiga,” Jeong Won mengangguk setuju, lupa akan seluruh ocehan yang ia
lontarkan beberapa detik yang lalu. Mereka pun menyibukkan diri mereka dengan obrolan lain
seraya menunggu makan (larut) malam mereka matang.

Namun, suasana ceria, gelak tawa, dan obrolan ringan di sudut ruangan itu berubah seratus delapan
puluh derajat beberapa jam kemudian. Ketika isak tangis Gyeoul memenuhi ruangan tengah yang
terasa sangat hening. Ketika wanita itu menangis dalam pelukannya dan membuatnya memegang
erat Gyeoul di atas pangkuannya, tak berniat sekalipun mengendurkan apapun yang ada dalam
genggamannya.

Terhitung sudah dua kali ia membuat wanita itu menangis dalam satu malam yang sama (dan itu
yang ia tahu sejauh ini). Perasaan bersalah kembali menyusup ke ulu hatinya. Ia merasa sangat
jahat karena tak tahu apa yang selama ini Gyeoul pikirkan, apa yang selama ini Jang Gyeoul
cemaskan tentang dirinya, apa yang menjadi hantu dan beban dalam dirinya selama ia menjadi
bersanding di samping Jeong Won.

Bagaimana bisa ia menempatkan Gyeoul dalam posisi ‘tidak aman’ dalam hubungan mereka,
ketika Jeong Won jelas-jelas sudah jatuh sejatuh-jatuhnya pada Jang Gyeoul?

“Oppa, bagaimana kalau suatu hari nanti kau menyesali keputusanmu untuk menetap?
Bagaimana kalau suatu hari kau sadar bahwa ini bukan jalanmu dan pilihanmu ini membuatmu
tak bahagia?”

Sesungguhnya Jeong Won tak akan kaget bila dihadapkan dengan pertanyaan ini. Ia sudah
menyiapkan jawaban atas segala tanda tanya yang akan menyerbunya di kemudian hari. Yang
membuat Jeong Won terkejut adalah bagaimana pertanyaan itu didahului dengan pernyataan yang
tak pria itu sangka akan keluar dari lisan Jang Gyeoul.

“Aku takut kau pergi dariku.”

Kalimat itu membuatnya tertegun sesaat setelah serangkaian kata itu diucapkan secara gamblang
melalui lisan. Apa yang Gyeoul katakan seakan-akan membuktikan bahwa Jeong Won belum
benar-benar membuatnya yakin bahwa ia akan selalu berada di sisinya. Ahn Jeong Won belum
memberinya kepastian, bahwa ia benar-benar mencintainya dan tak akan melepaskannya dengan
mudah. Membiarkan Gyeoul terombang ambing di ambang keraguan.

Yang membuat Jeong Won terkejut lagi adalah bagaimana pertanyaan itu pada akhirnya
dilemparkan keluar dari hatinya bersamaan dengan air mata yang menetes di pipinya. Jeong Won
tak pernah menyangka ia akan berjanji ketika Jang Gyeoul menangis terisak dalam pelukannya.
Seolah-olah wanita itu sedang memohon agar Jeong Won menatap, lagi. Untuk kedua kalinya.

Bukan hal seperti ini yang ia bayangkan. Dahulu pria itu mengira akan menjelaskan semuanya
ketika Gyeoul akhirnya siap dan menanyakan persoalan itu padanya dengan senyum lebar di
bibirnya. Bukan di bawah langit malam tanpa bintang dengan suasana sedih yang mengudara di
ruang apartemennya. Jeong Won benar-benar menyesal.

Wanita itu tampak rapuh, namun sangat berani disaat bersamaan.

“Maafkan aku, Jang Gyeoul. Maafkan aku,” tuturnya lebih seperti bisikan ketika isakan Gyeoul
perlahan padam. “Aku minta maaf untuk membuatmu menunggu lama dan menanggung semua itu
sendirian. Maafkan aku karena butuh waktu lama untuk sampai ke titik ini.”

“Aku seharusnya menjelaskannya sejak awal untukmu, Gyeoul. Ini salahku.”

Jeong Won menarik tubuhnya dan memandang wajah Gyeoul yang sedari tadi bersembunyi di
dadanya.

“Aku tak akan meninggalkanmu.” Ahn Jeong Won mengusap jejak air mata di pipinya,
menatapnya lebih dalam dengan kata-kata yang mengalir tulus dari lisannya. “Oh God, bagaimana
bisa aku meninggalkanmu, Jang Gyeoul?” Pria itu menekankan kalimatnya bersamaan dengan
senyum getir. Bayangan ‘berpisah dengannya’ adalah pikiran yang tak pernah terlewat dalam
benaknya.

“Dan…” Jeong Won menjeda kalimatnya. Memastikan dirinya mengisi beribu keyakinan dalam
kalimat yang akan ia lanjutkan sesudahnya. “Aku tak menyesal dengan pilihanku untuk menetap.
Aku tak akan pernah menyesal.”

“Pilihanku untuk menetap bukan berarti aku berhenti akan keyakinanku. Aku tak setuju dengan
perkataan bahwa kau menghalangiku untuk menggapai mimpiku atau kau berhasil bersaing lalu
mengalahkan Tuhan untukku, karena kenyataannya, Tuhan yang selalu memberikanku jalan untuk
datang kepadamu. Tuhan selalu mendorongku untuk bersamamu, hanya saja aku yang keras
kepala.”

“Pada akhirnya aku akan terjebak dengan dirimu dan ribuan penyesalan lainnya jika aku tetap
memaksakan diriku untuk pergi ke Italy. Dan aku yakin, pada akhirnya, di tengah perjalananku,
pasti aku akan kembali.”

“Karena sejatinya, kau adalah rumahku. Tempatku untuk pulang, Jang Gyeoul.”

“Kini aku yang akan menyusulmu, diam di tempatmu, dan kau tak perlu khawatir akan rintangan
lain yang akan kita hadapi.”

Jang Gyeoul hanya mampu terdiam mendengar penjelasan panjangnya. Tak ada keraguan, tak ada
kebohongan, tak ada janji kosong yang wanita itu temukan di dalam matanya. Dan hal yang bisa
Gyeoul lakukan hanya memeluknya kembali. Menyembunyikan wajahnya dalam kehangatan tubuh
pria itu seraya melingkarkan tangannya di lehernya. Begitu pula dengan Jeong Won yang
menguncinya seakan-akan tak ada seorang pun yang boleh mengambil Gyeoul dari sisinya.

“Gomawoyo, Oppa,” bisiknya sangat pelan tepat di telinga Jeong Won tatkala keduanya menikmati
setiap detik waktu kebersamaan mereka.

Ia harap Jang Gyeoul tahu, Jeong Won selalu berpikir bahwa ia terlalu berharga untuk
dilepaskan.

Every time I think of a poem called 'you'

I want to memorize it so I can remember you

When the sad night comes, I'll protect you

Can you hear my heart?

Don't forget it

“Tidak percaya diri? Tentu saja aku pernah merasakannya,” ujar Jeong Won menjawab pertanyaan
dokter muda di depannya yang tanpa ragu menyuarakan apapun segala hal yang terlintas dalam
benaknya saat itu. Ia menatap sayu Jeong Won yang berada tepat di hadapannya ketika dirinya
menelan tegukan kaleng bir keduanya. “Kenapa tiba-tiba bertanya hal itu?”

Pria itu meneguk bir dari kaleng pertamanya, memutuskan untuk menemani Gyeoul minum.

Sungguh, ia bersumpah hanya akan minum sedikit. Ia hanya tak ingin Jang Gyeoul melakukannya
sendirian, dan mungkin butuh sedikit dorongan agar ia berani mengungkapkan segala hal yang
ingin ia ucap malam itu.
Jeong Won menyusuri setiap sudut mata rusa Jang Gyeoul, mencari alasan di balik pertanyaan
mendadak yang menurut nalurinya memiliki sangkut paut dengan perkara perasaan Gyeoul saat ini.
Ada siluet cemas dalam ekspresi wajahnya ketika pria itu tak berhasil menemukan banyak jawaban
atas rasa penasarannya. “Apa ada hal yang mengganggumu?”

“Aniyo. Aku hanya penasaran, apa kau juga merasakan hal yang biasa orang-orang pada umumnya
rasakan,” jawabnya seraya memutuskan pandangan dari Jeong Won.

Jeong Won mendengus hampir tertawa mendengar jawaban tak terduga dari Gyeoul. “Aku hanya
manusia biasa Jang Gyeoul. Kau mengira aku ini apa?”

“Buddha?” Gyeoul menjawab setelah berpikir sejenak. “Mereka menjulukimu itu,” lanjutnya
mengacu pada orang-orang sekitar tempat mereka bekerja.

“Sejujurnya aku tidak terlalu mengerti mengapa mereka menamaiku itu. Padahal sebagian dari
mereka tahu bahwa aku beragama katolik.”

Gyeoul menekan kedua bibirnya, membuatnya terlihat seperti lengkungan ke bawah, setelah
beberapa saat lalu mengercutkannya lucu. “Bukankah itu jelas? Karena kau adalah orang yang
sangat baik, ramah, selalu tersenyum, lembut, dan hangat.” Gyeoul menyebutkan sederet karakter
sempurnanya dengan nada datar dan tatapan sendu yang berhasil Jeong Won tangkap walau wanita
itu tak berusaha menampilkannya.

“Sangat kontras denganku,” tambahnya lagi dengan suara yang rendah, lebih terdengar layaknya
gumaman di telinga, tapi tetap, Jeong Won bisa mendengarnya dengan jelas. “Kadang aku
berpikir… apakah aku benar-benar pantas menjadi pendampingmu? Ada banyak orang di luar sana
—”

“Tapi tak ada satupun di luar sana yang sesempurna dirimu. Karena hanya kau yang pantas dan
hanya kau yang mampu melengkapiku.”

In the passing season my heart

I know it doesn't change

Just the way you look at me

I think you have the whole world

Jang Gyeoul yang mendengus hampir tertawa mendengarkan kalimat cheesy yang keluar dari
seorang mantan-calon-pastor di hadapannya. Terkadang ia tak percaya profesornya itu benar
mendaftarkan diri dalam seminar pastor bila dirinya saja sangat handal mengucapkan kata manis
untuknya.
“Kenapa tertawa?” Pria itu mendekatkan wajahnya pada Gyeoul seraya berkata, “Aku serius.”

“Jang Gyeoul, kau tidak sepenuhnya kontras denganku. Kau punya sisi lain yang tak kau sadari itu
membuatmu spesial. Mungkin orang-orang tak pandai menangkapnya dari dalam dirimu.” Jeong
Won memberikan jeda di antara kalimatnya. “Tapi aku bersyukur aku bisa menemukannya. Dan...
kuharap hanya aku yang bisa melihatnya.”

“Waeyo? Bukankah lebih baik bila orang-orang tahu bahwa aku tak sepenuhnya dingin?”

Giliran Jeong Won yang kini mendengus, hampir tertawa. “Aniya, yang terakhir itu cuma
bercanda.”

“Ini terdengar seperti kekanakan, tapi… kalau semua orang bisa melihatnya, mereka akan jatuh
cinta padamu. Dan aku akan bersaing dengan lebih banyak orang untuk mendapatkanmu.”

“Oppa, apa kau baru saja mengakui bahwa kau takut untuk bersaing?”

“Gyeoul-ah, setiap orang memiliki ketakutan,” tutur Jeong Won dengan nada bicara yang lembut.
“Rasa cemas, tak percaya diri, keraguan, dan rasa takut— tak ada seorangpun yang tak pernah
merasakannya. Sebagian dari mereka tampak terlihat tak memilikinya hanya karena mereka pandai
menyembunyikannya.”

“Apa kau termasuk ke dalamnya? Orang-orang yang pandai menyembunyikannya?”

“Tidak,” Jeong Won menjawab setelah menimbang sesaat. “Dahulu aku mengira aku bisa
menyembunyikan apa yang aku rasakan. Namun, orang-orang disekitarku tanpa kesulitan
mengetahui apa yang terjadi padaku. Ikjun bilang aku seperti buku terbuka, mudah untuk ditebak
hanya dalam sekali lihat ekspresi di wajahku.”

“Pada akhirnya mereka yang mengenalku dengan baik akan tahu sifat asliku. Dan itu termasuk
dirimu, kau menerimaku apa adanya dengan baik. Aku tidak sesempurna Buddha yang orang lain
katakan bukan?” Jeong Won terdiam sejenak. “Aku juga punya ketakutan, Jang Gyeoul. Ada
saatnya aku merasa tak percaya diri dan kurang.”

“Apa ketakutan terbesarmu?” Gyeoul memberanikan diri untuk bertanya, menatap lurus ke arah
kedua matanya saat Jeong Won sedari tadi sudah mengunci pandangannya pada wanita bermarga
Jang tersebut. “Selain... kehilangan pasienmu, tentu saja.”

Jeong Won bungkam sejenak, bukan. Bukan karena ia tak tahu akan jawabannya. Kalau saja
kalimat itu mudah untuk diucapkan, maka ia sudah menjawab pertanyaan Gyeoul tanpa pikir
panjang.

“Kehilanganmu—” Jeong Won terhenti, tak sanggup melanjutkan kalimatnya, seolah-olah ia


bahkan tak berani menyuarakan ketakutannya, dan menuangkannya dalam bentuk klausa.

Jang Gyeoul menelan ludahnya ketika ia tak berhasil menemukan gurauan di dalam mata sendu
dan tatapan teduh Jeong Won. “Jang Gyeoul… kau tahu? Aku selalu takut.”

“Aku selalu takut pada akhirnya kau terbangun dan sadar bahwa kau mungkin menyesal telah
menghabiskan waktu bersamaku, dan ide untuk menjalin hubungan denganku merupakan pilihan
yang buruk. Bahwa sebenarnya kau pantas mendapatkan orang yang lebih baik dariku. Bahwa kau
mungkin akan menemukan seseorang yang muda, tampan, dan jauh lebih baik dari ahjussi yang
cengeng ini.”

“Kenapa kau berbicara seperti itu, Oppa?” Gyeoul membalas cepat, tidak terlalu suka dengan apa
yang ia ucapkan.

“Karena bila suatu hari nanti hal itu benar terjadi, aku ingin membuktikan padamu bahwa
ketakutan itu memang ada, tetapi tak akan pernah bisa menghalangiku, dan membuatku
membiarkanmu pergi. Aku tak akan menyerahkanmu begitu saja tanpa usaha dan perlawanan.”

Perasaan Gyeoul meleleh mendengar ucapannya. Wanita itu menatapnya tanpa berkedip, sekali
lagi membiarkan hatinya melebur di atas penuturannya. Merekam setiap kalimat beserta tatapan
yang berikan kali itu dalam ingatannya.

Ia juga merasakannya, batin Gyeoul. Wanita itu selalu mengira bahwa ia satu-satunya yang terus
merasa tak percaya diri dan takut akan kehilangannya. Merasa tak pantas untuk menjadi pasangan
yang bisa membuatnya utuh. Merasa tak mampu untuk bersanding dengannya dengan segala
kekurangan yang ia punya, membuatnya merasa bak langit dan bumi dengan Profesor Ahn.

Every time I think of a poem called 'you'

I want to memorize it so I can remember you

Tapi seluruh kata-katanya malam itu membuatnya sadar, bahwa segala ketakutan itu bukanlah hal
yang penting selagi ia yakin. Jang Gyeoul akan mengingatnya, dan terus menyimpan ucapannya
untuk diputar setiap kali ombak keraguan berusaha menenggelamkannya.

“Jadi aku akui, aku memang takut akan banyak hal, tapi aku tak akan pernah melepaskanmu.”

When the sad night comes, I'll protect you

Can you hear my heart?

Don't forget it

Pria itu pada akhirnya mengambil gelang rosario yang ia lepas sebelum ia benar-benar tertidur.
Dengan gerakan halus, ia mencapai nakas di sampingnya dengan mengangkat salah satu sikunya
untuk menjadi tumpuan, berusaha agar tak mengganggu tidur Gyeoul. Namun sepertinya gerakan
yang ia buat berhasil dirasakan wanita di sampingnya hingga ia ikut beringsut merapat dan
mengganti posisinya.

Gyeoul kini menghadap Jeong Won dengan kedua mata yang perlahan terbuka, membuat kedua
pasang indera penglihatan mereka bertatapan, bertemu pada garis lurus yang sejajar dan berarahan.

“Apa aku membangunkanmu?” tanya Jeong Won amat sangat lembut sementara Gyeoul
mengedipkan matanya beberapa kali untuk mengumpulkan kesadarannya. “Maafkan aku telah
mengganggu tidurmu.”

“Tidak, Oppa. Aku terbangun bukan karenamu, kau tak perlu meminta maaf,” respon Gyeoul
dengan suara serak bekas tidurnya. “Apa kau tidak bisa tidur?” kini gilirannya yang bertanya,
penasaran mengapa pasangannya itu ditemukan terjaga di sebelahnya.

“Aku juga terbangun beberapa saat yang lalu, baru saja mencoba untuk tidur, tapi ternyata kau juga
bangun,” jelasnya dengan sedikit berbohong, nyatanya pria itu memang tak bisa tertidur. “Apa
tidurmu nyenyak?”

Gyeoul mengangguk dengan mata yang hampir hilang karena senyuman lebar di bibirnya, kedua
lesung manis tak absen dari dua sudut di pipinya.

“Lalu kenapa kau bangun? Kembalilah tidur, matahari belum terbit, Dokter Jang,” ujar Jeong Won
menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh menutupi wajahnya. Rambutnya coklatnya
tampak sangat berantakan, ada garis lipatan yang membekas di pipinya karena tertidur, dan
piyamanya terlihat kusut disana-sini.

Tetap, ia terlihat sangat cantik.

“Aku hanya ingin memastikan kau masih ada disini, Profesor Ahn,” ia mengikuti pria itu untuk
memanggilnya dengan sebutan yang biasa mereka gunakan di rumah sakit. Responnya berhasil
mendorong Jeong Won untuk memangkas jarak mereka dan menelan Gyeoul ke dalam pelukannya,
hingga wanita itu tenggelam hilang, tak bisa ditemukan tertutup tubuh besar Jeong Won.

“Oppa, aku tak bisa bernafas,” ujar Gyeoul setelah beberapa saat, menimbulkan getaran tubuh
Jeong Won karena tawa kecilnya.

“Ah, mian-mian.” Pria itu memutuskan untuk melepaskannya dari rangkulannya walau enggan. Ia
kemudian mengangkat kepala Gyeoul untuk menjadikan lengannya sendiri sebagai bantalan.

“Apa kepalamu tidak pusing?”

Gyeoul menggeleng.

“Apa perutmu terasa sakit?”

Gyeoul kembali menggeleng.

“Kau tidak merasa mual?”

Lagi-lagi ia menggeleng. “Tidak. Memangnya kenapa?”

“Syukurlah,” Jeong Won memejamkan matanya sesaat, sebelum menemukan Gyeoul yang
mengerutkan kening karena bingung. “Aku hanya khawatir, Jang Gyeoul. Kau sempat mabuk
tadi.”

“Kau sungguh baik-baik saja sekarang? Apa kau tidak merasa pengar?” Jeong Won kembali
memastikan, mengecek Gyeoul untuk yang kesekian kalinya.

Dengan ucapan bertubi-tubi dari pria itu, akhirnya Gyeoul membalikan pertanyaannya. “Apa kalau
aku bilang aku sudah sadar sepenuhnya, kau akan pergi? Aku akan jawab, aku masih mabuk kalau
begitu.”

Untuk menahanmu agar kau tetap disini, lanjutnya dalam hati masih menatap Jeong Won. Pria itu
tak habis pikir dengan keterus-terangannya yang terkadang masih sering membuatnya terkejut. Tak
apa, pun, ia tak pernah komplain, karena itu adalah salah satu alasan bagaimana ia bisa jatuh hati
pada wanita di hadapannya itu.

Even when the day comes when the flowers bloom and fall

Ahn Jeong Won masih tetap dalam posisinya, tak meluputkan pandangannya dari Gyeoul yang
juga kini menatapnya hanya dalam jarak beberapa inchi. Dengan tangan Gyeoul yang memeluk
pria itu di pinggangnya, dan salah satu tangan Jeong Won yang melingkar di pinggang kecilnya,
tak ada jarak lagi yang memisahkan mereka. Mendekap Gyeoul dalam peluknya mendatangkan
kembali kesadaran bahwa pria itu sangat beruntung telah menemukan belahan jiwa yang tepat
untuk memenuhi segala kekurangannya.

Fakta bahwa mereka saling melengkapi adalah suatu keajaiban yang berhasil mereka temukan.
Bagaimana karakteristik mereka berlawanan, membuat keduanya klop untuk mengisi rangka yang
rumpang agar menjadi bagian yang rampung. Begitulah bagaimana mereka bekerja.

Dingin yang pas untuk menetralkan emosi yang terlalu panas dan sensitif. Seseorang yang bergerak
cepat untuk mengimbangi partnernya yang terlalu banyak berpikir dan menimbang sebelum
bertindak. Manusia terang-terangan untuk dirinya yang terlalu berhati-hati pada tiap
perkataannya.

Dan begitu pula bagaimana Ahn Jeong Won menyadari dirinya jatuh cinta lagi untuk kesekian
kalinya pada Jang Gyeoul.

“Oppa, apa tadi saat aku mabuk…. apa aku menyusahkanmu lagi? Apa ada hal yang aneh yang
kukatakan?” Gyeoul merasa cemas ketika laki-laki itu hanya diam, menatapnya terlalu dalam,
membuatnya bertanya-tanya apa ia melakukan kesalahan hingga meninggalkan sendu dalam
keheningan yang pria itu ciptakan.

Namun, Jeong Won tetap bungkam tak membalas pertanyaannya

“Oppa?” Gyeoul mengguncangkan lengan atas Jeong Won dengan lembut.

Just remember about this one


My heart to you

“Saranghae, Jang Gyeoul.”

Gyeoul tertegun mendengar pengakuan Jeong Won, berusaha untuk tidak terlihat kaget dengan apa
yang pasangannya itu katakan. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya dan ia bisa
merasakan hal yang sama dari pria di hadapannya.

Memang ini bukan pertama kalinya bagi mereka untuk mengucapkan kalimat seperti ‘aku
mencintaimu’ atau ‘aku merindukanmu’ pada satu sama lain. Hanya saja dengan keadaan seperti
ini, ketika mereka berada dalam radius jarak yang amat dekat, dengan tubuh saling mendekap,
dengan deru dan nafas yang menggelitik di kulit, semuanya terasa berbeda. Bagaimana Jeong Won
menatapnya lamat-lamat, membuat Gyeoul bak terlarut dalam gelapnya bola mata pria itu di
bawah lampu remang kamarnya.

Kalimat itu memang jarang mereka katakan. Bukan karena mereka tak ingin mengucapkannya,
kembali lagi pada kenyataan bahwa mereka sangat ingin menghujani satu sama lain dengan kata-
kata tersebut setiap harinya. Namun, baik Gyeoul maupun Jeong Won bukanlah tipe orang yang
begitu romantis hingga mengungkapkan kalimat itu setiap harinya.

Tanpa harus mengutarakannya, perasaan mereka akan tetap sama besarnya setiap hari. Keduanya
hanya ingin ungkapan itu menjadi ucapan yang sakral hingga menjadi sangat berarti tatkala mereka
meluncur dari bibir satu sama lain.

Diam-diam Gyeoul-Jeong Won tahu bahwa ‘aku mencintaimu’ merupakan isyarat tertentu yang
mereka katakan ketika keduanya tak bisa lagi mendeskripsikan perasaan membuncah yang tak bisa
mereka tuangkan melalui kata-kata. Terlalu spesial untuk dimunculkan setiap hari, walaupun pada
dasarnya, bila kalimat itu lebih sering diucapkan pun, tidak akan mengurangi nilainya sama sekali.

Although we may grow apart one day

If it is you, I could wait

I'll be standing here in time

Dan mungkin, suatu hari nanti, mereka berdua akan mengatakannya setiap waktu. Setiap hari.
Sebelum mereka menutup mata dan tertidur lelap di malam hari, di samping satu sama lain. Dan
tepat setiap mereka terbangun bersama, bersebelahan di pagi hari. Sebagai bisikan di masing-
masing telinga, sebagai ucapan selamat malam dan selamat pagi. Mereka akan menunggu waktu
itu datang.

Gyeoul menelan ludahnya atas angan-angan panjangnya. “Oppa, hari ini... aku sudah banyak
menyulitkanmu. Aku sudah membuatmu marah. Aku tak mendengarkan ucapanmu. Aku sudah
membuatmu kewalahan. Aku terus menangis—”

“Tetap,” Jeong Won memotongnya ketika Gyeoul tak bisa lagi meneruskan kalimatnya,
“Saranghamnida, Jang Gyeoul.”

Entah keberapa kalinya Gyeoul mendapat pengakuan malam ini, ia tak bisa menghitung berapa
kali hatinya meleleh, terbang, ataupun terbawa arus. Yang ia tahu, ia hanya ingin mengabadikan
semuanya dan menguncinya dalam memori otaknya.

“Bahkan saat penampilanku seperti ini? Saat aku terlihat sangat berantakan seperti ini?”

Jeong Won mengerutkan keningnya, tak mengerti dengan apa yang Gyeoul katakan. “Memangnya
ada apa dengan penampilanmu?” Jemarinya mengusap rambut wanita itu lama, tak mau kehilangan
momen dimana ia bisa menikmati muka bantalnya yang langka ia temukan di atas kasur. “Kau
terlihat sempurna sekarang. Aku suka penampilan apa adanya dirimu, Dokter Jang.”

“Itu adalah salah satu alasan mengapa aku menyukaimu. And that’s how I fell in love with you.”

Terhitung sudah tiga kali Ahn Jeong Won mengulang kalimat itu. Jang Gyeoul tak dapat
menghitung seberapa banyak rasa kupu-kupu berterbangan itu muncul lagi dan lagi dalam
perutnya. Itu… terlalu banyak.

Dan ketika Gyeoul hendak membalas ucapannya, Jeong Won lebih dulu memotongnya, tak ingin
membuatnya kehilangan poin mengapa pria itu tiba-tiba saja mengungkapkannya. Ia tak ingin lagi
membuat Gyeoul menjadi orang pertama yang menanyakan segala hal, membuatnya menanti dan
bertanya-tanya sendiri. Ia kini ingin menjadi orang yang pertama kali melangkah dan
memberikannya seluruh kepastian.

“Kau... mempunyai cara yang unik untuk membuat orang jatuh cinta padamu.”

Gyeoul menyipitkan matanya, membiarkan apapun yang pria itu katakan mengalir dalam
pikirannya. “Dan aku suka caramu membuatku terus menarikku ke arahmu.”

“Bagaimana?” tanya Gyeoul dengan seringai kecil di bibirnya. “Bagaimana caraku mengikatmu? ”
ulangnya sekali lagi, dengan perasaan menggebu. Mendorongnya untuk menjelaskan bagaimana
dokter bedah pediatrik yang murah senyum itu mampu menaruh hatinya pada residen bedah umum
yang lebih sering ditemukan tanpa ekspresi.

“Mungkin kau tidak tahu akan hal ini, tapi aku memiliki kesan pertama yang tidak cukup baik
terhadapmu. Kau ingat saat aku menegurmu di ER? Saat itu datang pasien TA dan kau bicara pada
wali pasien dengan cara bicara yang salah.”

“Aku ingat,” Gyeoul jernih mengingat kejadian itu. Kejadian untuk pertama kalinya Profesor Ahn
menegurnya, bahkan bisa dikatakan mentornya hampir dekat dengan memarahinya. “Terima kasih
sudah menegurku saat itu. Kalau saja kau tidak mengoreksi ku, mungkin sampai sekarang aku
masih melakukan kesalahan yang sama.”

Jeong Won tersenyum mendengarnya, “aku hanya melakukan tugasku sebagai mentor. Selebihnya
kau yang melakukan semuanya sendiri. Aku yang ingin minta maaf karena salah menilaimu saat
itu,” Jeong Won memberi jeda antar kalimatnya. “Kau yang berusaha dan mau bekerja keras untuk
memperbaiki dirimu, kau yang mau belajar dan ingin berubah.”

“Sejak itu, kau berhasil menarik perhatianku.”

Dan kau mampu membuatku terus memperhatikanmu dari jauh. Jeong Won meneruskan
kalimatnya dalam diam, ia menatap Gyeoul lamat-lamat, mengantarkan setiap pesan yang tak bisa
ia luncurkan dari lisannya melalui isyarat dan mata.

“Hingga akhirnya aku sampai di titik dimana aku tak bisa mengeluarkanmu dari pikiranku,”
ungkap Jeong Won tanpa ragu. “Sesungguhnya aku tak tahu tepatnya sejak kapan aku
menyukaimu, Jang Gyeoul.”

“Di umurku yang ke-40 tahun, aku bahkan tak mengerti apa perasaan yang muncul tiba-tiba di
dalam diriku. Yah, kalau boleh jujur aku bahkan tak sadar aku menyukaimu. Atau mungkin, aku
tak bisa mengetahuinya karena aku terlalu sibuk menyangkal semua itu. Saat itu aku tak bisa
menerima kenyataan bahwa aku telah mencintai seseorang selain Tuhan dalam hatiku. Maafkan
aku Jang Gyeoul, aku tidak jujur.”

“Kau tidak usah minta maaf padaku. Lebih baik kau datang ke gereja dan melakukan pengakuan
dosa, Oppa.”

“Aku sudah terlalu sering melakukannya, Jang Gyeoul,” ujar Jeong Won, “aku mungkin akan
diusir oleh hyung-ku bila ia tahu aku datang lagi dan lagi,” tambahnya lagi dan ini berhasil
membuat Gyeoul terkekeh mengingat percakapan mereka dengan Pastor Ahn saat mereka datang
ke Yangpyeong beberapa saat lalu.

“Aku serius, Oppa,” ucapnya beberapa saat setelah mengeluarkan tawanya, wajahnya kini berubah
serius. “Aku mengerti bagaimana rasanya mempercayai sesuatu yang begitu kuat hingga dirimu
merasa tak mungkin melepaskannya begitu saja dengan mudah. Apalagi itu sesuatu yang sudah
kau impikan sejak kau kecil, seperti diriku yang percaya dengan cita-citaku untuk menjadi dokter
dan ahli bedah.”

“Oh Tuhan, aku benar-benar jatuh cinta pada wanita yang luar biasa.”

Gyeoul memukul pelan lengannya, merasa tersipu untuk sekian kalinya dan menguburkan
mukanya ke lekukan leher pria itu. Sungguh, mau berapa kali kau melakukan hal ini Jeong Won?

“Aku bersungguh-sungguh, Jang Gyeoul. Aku menyukai sisi hangat yang kau punya,” Jeong Won
membelai kepala Gyeoul yang berada tepat di bawah dagunya.

“Apakah begitu? Apakah hal itu yang membuatmu menyukaiku, Profesor?” Gyeoul akhirnya
menarik dirinya dari pelukan, walaupun Jeong Won tetap kembali menariknya untuk mendekat.

“Tidak.” Jeong Won menggeleng cepat. “Itu hanya salah satu dari sekian banyak hal.”

“Lantas? Apa aku memiliki segudang hal lain yang bisa membuatmu terus bertahan berada di
sisiku?”

“Tentu.”

“Apa itu?”

“Aku menyukai kejujuranmu,” Jeong Won menjawab tanpa berpikir panjang.

“Orang-orang bilang aku terlalu blak-blakan.”

“Mungkin mereka merasa kau terlalu terang-terangan, tapi kejujuranmu selalu berawal pada
kebenaran dan berakar pada prinsip kuat untuk membenarkan orang lain yang salah. Bukan
begitu?”
Gyeoul mengangguk pelan, dia mengakuinya, apa yang Jeong Won katakan tidak salah sama
sekali. Dan begitulah dirinya. Bila Jeong Won bisa menerima dirinya apa adanya, maka Gyeoul
pun mampu melakukan hal yang sama.

Terkadang, perjalananmu dengan orang yang kau cintai bukan hanya tentang menghabiskan waktu
dan bertukar kalimat romantis sepanjang hari. Perjalananmu bersama pasanganmu juga merupakan
sebuah proses untuk tumbuh, belajar, dan dewasa bersama.

Jeong Won menarik wanita di pelukannya lebih erat dan menyilangkan kakinya dengan Gyeoul di
bawah selimut mereka. Membuat Gyeoul berbaring lebih nyaman dalam posisi mereka.

“Ada lagi yang kau suka dariku?”

“Uhmm… mari kita lihat~ Uri Gyeouli, sangat berani, sangat kompeten, bisa melakukan apapun.
Aku tak bisa menyebutkannya satu per satu.” Jeong Won menutup matanya menikmati setiap detik
waktu yang ia habiskan. Indera penciumannya menghirup aroma khas tubuh Gyeoul yang
mengelilingi tubuhnya, dari rambut, baju tidur, bantal, seprai, selimut, kasur, hingga menyebar di
seluruh ruangan. Jeong Won merasa aroma Gyeoul sangat akrab di hidungnya hingga menjadi
candu yang tak bisa ia hindari.

“Bagaimana denganmu? Apa yang kau suka dari diriku, Dokter Jang?”

Gyeoul mengembangkan lekukan manis di bibirnya, masih konsisten dengan jawabannya.


“Semuanya."

Dan dengan satu kata itu, Jeong Won merasa hatinya telah terbang di awan-awan. Ia tersenyum
seperti orang idiot, layaknya remaja usia tujuh belas tahun yang baru saja mendapatkan pengakuan
dari gadis yang ia sukai.

“Jang Gyeoul, yang aku tahu, kau satu-satunya wanita yang berhasil membuat aku merasakan hal
seperti ini untuk pertama kalinya. Kau berhasil membuatku berpikir berkali-kali saat itu, apakah
pilihanku menjadi pastor adalah jalan yang tepat untukku? Dan kau adalah jawaban yang aku
tunggu ketika aku berdo’a pada Tuhan di detik-detik terakhir keputusanku. Kau berhasil
membuatku yakin akan hal yang seharusnya menjadi jalanku. Melakukan apa yang tepat untukku.
Untuk kita.”

“Dan aku tidak akan pernah tahu bahwa aku bisa merasa sebahagia ini dalam hidupku. Aku tidak
tahu bahwa rasa cinta bisa muncul sebesar ini dalam diriku. Dan aku tak tahu bahwa semua itu
memang ada di dunia ini, walau aku yakin Tuhan memang telah menciptakannya.”

“Aku menyukaimu, karena itu kau. Tak ada orang lain yang bisa melakukan itu semua selain
dirimu.” Dan itu, itulah yang ingin Jeong Won ungkapkan pada Gyeoul malam itu. Mungkin cukup
sampai saat itu.

“Aku juga.” Gyeoul menjawab dengan senyuman tulusnya.

“Saranghaeyo, Oppa.”

Jeong Won menunduk untuk menempelkan keningnya di kening Jang Gyeoul. Sebelum matanya
menangkap kedua mata rusa miliknya yang berbinar cantik. Batang hidung menyentuh pucuk
hidung Gyeoul, dan tatapannya jatuh pada kedua bibir Gyeoul.

Ahn Jeong Won menggigit bibir bawahnya tanpa sadar. Pria itu menelan ludahnya sebelum
akhirnya ia bertanya, “bolehkah aku menciummu?”
“Kenapa kau bertanya?” rona kemerahan di pipi Gyeoul tak lepas dari pandangan Jeong Won
ketika wanita itu bersuara pelan, amat pelan hingga terdengar seperti bisikan yang menggelitik di
kulitnya.

“Aku tak ingin kau terkejut lagi. Seperti di sofa tadi. Atau seperti saat aku pertama kali
menciummu.”

“Kau tak perlu meminta izin untuk melakukannya. Aku sepenuhnya milikmu.”

Dan dengan begitu, Ahn Jeong Won mengusap kulit Gyeoul dengan jemarinya sebelum ujung jari
pria itu jatuh pada permukaan bibirnya. Ia menangkup wajahnya dengan satu tangan, dengan
perlahan, amat pelan sampai pada titik ia benar-benar menempelkan kedua bibirnya di antara bibir
atas Gyeoul.

Ketika mata mereka tertutup, kulit mereka bersentuhan. Amat sangat lembut dan halus gerakannya
hingga mereka merasa tak lagi berpijak di bumi. Seakan dunia hanya milik berdua, baik Gyeoul
maupun Jeong Won seolah-olah masuk ke dalam mimpi.

Ciuman yang membuat mereka berdua merasa dicintai satu sama lain.

Ibu jari Jeong Won bergerak melingkar di telinganya, memberikan sentuhan nyaman sekaligus
membakar bagi Gyeoul. Tangan Gyeoul perlahan bergerak naik, cengkraman baju yang ia pegang
kini wanita itu lepas. Jemarinya menggapai rahang Jeong Won untuk menariknya lebih dalam. Dan
dengan begitu, ciuman mereka bertahan lebih lama.

Ketika Jeong Won mulai memberikan gigitan kecil pada bibir bagian atas Gyeoul, mereka pun
akhirnya tahu, ciuman itu bukanlah sekedar ciuman biasa. Ciuman lembut itu akan lebih dari
sebuah kecupan lama. Lebih dari sentuhan halus yang biasa mereka lakukan. Sesuatu yang
membuat keduanya kehabisan nafas, dan tak seorang pun dari mereka tahu berapa lama waktu
yang mereka habiskan untuk sekedar beradu bibir.

Dan dengan begitu, malam pun dihabiskan dengan keduanya yang sama-sama terjaga.

Don't be hesitate

When that time comes

Chapter End Notes

Ramyeon mokko kaleyo? : Apa kau ingin makan ramyeon denganku?


Kaja : ayo
Eotteokhajyo : bagaimana ini?
Mian : maaf
Hogsi : jangan-jangan
Me: How many confessions do you want to make in this chapter?
Ahn Jeong Won: YES!

Sampai sini dulu chapter ini. Terima kasih sudah menunggu kelanjutan Love Playlist
dan membaca cerita ini sampai di chapter 16. Aku sendiri gak nyangka kita bisa
sampai disini, ini semua berkat kalian~

6.673 kata dan kita sudah mendekati ending cerita~


Stay healthy and have a nice day! Sampai jumpa di chapter berikutnya!

Nb: terima kasih banyak pada @thewindisblowing atas bantuannya di chapter ini~
The Night
Chapter Summary

Night talks.

Chapter Notes

Halo halo! Ixixixixi maaf sebelumnya sudah berbulan-bulan Love Playlist gak update-
update. Jeongmal jeosonghamnida.

Sebelumnya aku mau bilang terima kasih untuk pembaca yang masih setia sampai
chapter ini, mau tunggu dan digantung selama ini. Semoga, update-an ku kali ini,
cukup unuk memenuhi rasa rindu kalian (dan tentunya aku sendiri) ke wintergarden
yang akan kita temui dalam hitungan hari. H-4 lho, bestie! Gak terasa kita udah
bertahan dan melangkah sejauh ini. Btw, ini chapternya cukup panjang untuk dibaca,
maaf kalau masih ada kekurangan di setiap tulisanku. Terima kasih banyak untuk
dukunganmu.

Lagu kali ini, lagu Eric Nam – The Night ( )! Selamat membaca!

See the end of the chapter for more notes

The Night - Eric Nam

Salah satu hal baru yang Ahn Jeongwon pelajari setelah ia bersama dengan Jang Gyeoul dalam
kurun waktu yang cukup lama adalah pria itu menemukan dirinya membenci kalimat
‘annyeonghigaseyo’.

Jeongwon tidak pernah tahu bahwa mengucapkan kalimat ‘selamat tinggal’ dan ‘sampai berjumpa
lagi ’ bisa seberat ini sebelumnya, padahal ia tahu persis bahwa mereka pasti akan bertemu lagi di
keesokan hari. Hatinya selalu berkata, ‘tenanglah Jeongwon-ah, matahari akan terbit lagi besok dan
kau akan segera berjumpa dengan Gyeoul.’

Jang Gyeoul memiliki kebiasaan ini, pun sejak pertama mereka bertemu. ‘Annyeonghaseyo’ dan
‘annyeonghigaseyo’ adalah dua ucapan formal yang rutin ia katakan bahkan sebelum kisah mereka
dimulai. Tentu, itu adalah etika dasar untuk bersosialisasi antar sesama manusia. Namun, entah
mengapa, bahkan ketika status mereka berubah naik satu tingkat, menjadi jauh lebih romantis,
Gyeoul masih tetap mengucapkan kalimat tersebut setiap mereka berjumpa di awal hari maupun
berpisah di akhir hari, ketika mereka pulang menuju tempat tinggal masing-masing.

Dan Jeongwon membencinya.

Ada perasaan tak senang yang mengganjal di sudut hati Jeongwon ketika Gyeoul mengucapkan
‘good bye’, ketika ia mengantarkannya hingga depan pintu apartemen, atau ketika pria itu harus
meninggalkannya di rumah sakit karena jadwal piket malamnya. Jeongwon bisa memilih untuk
menemani Gyeoul bermalam, tapi residen tersebut akan terus memaksanya untuk istirahat dan
pulang ke rumah.

Jang Gyeoul akan mengucapkan kata keramat tersebut dengan nada monoton sambil sedikit
membungkukkan badannya, senyum kecil muncul di sudut bibirnya, terselip di antara wajah
lelahnya, dan dua lesung pipi manisnya.

Tidak. Ia jelas tidak membenci Gyeoul untuk melakukan hal itu, sesungguhnya.

Lebih tepatnya, Jeongwon benci mereka harus saling melontarkan ucapan perpisahan. Jeongwon
benci harus berpisah dengan Gyeoul. Apabila ucapan ‘sampai jumpa’ dan ‘selamat tinggal’, atau
‘hati-hati di jalan’ sudah keluar dari lisan kekasihnya, itu berarti, Jeongwon harus menunggu.
Menunggu untuk bertemu dengan Gyeoul lagi sepanjang malam, melewati jam-jam yang terasa
seperti selamanya. Menanti hari esok untuk mendengar suara Jang Gyeoul lagi secara langsung.
Bahkan mendengar suaranya dari sambungan telepon sebelum tidur tidak akan membantu lagi.

Mereka bahkan tidak memiliki banyak waktu bersama di rumah sakit, profesi dokter menuntut
keduanya untuk bekerja secara profesional. Ketika mereka pulang dalam keadaan letih, mereka
harus kembali beristirahat di apartemen masing-masing, karena tak ada banyak aktivitas yang bisa
dihabiskan dengan keadaan fisik yang lelah. Tatkala matahari terbit dan fajar menyingsing,
keduanya akan kembali tenggelam dalam kesibukannya masing-masing, walau masih bekerja di
tempat yang sama. ‘Bekerja bersama’ dan ‘hanya bersama’ adalah dua hal yang jauh berbeda.
Ketika ia hanya berdua dengan Gyeoul, Jeongwon tak perlu menjadi Profesor Ahn, tak perlu
memaksakan dirinya menjadi dokter profesional yang dikagumi banyak orang. Ia hanya perlu
menjadi Jeongwon, dan Gyeoul hanya perlu menjadi Gyeoul, menampakkan diri mereka apa
adanya, jauh dari harapan dan ekspektasi orang lain.

In fact, he can't get enough of her.

Terkadang ia merasa egois karena keinginan untuk terus berada di sisinya, berjalan beriringan
dengannya, memastikan ia terus berada dalam jangkauannya.

Pikiran bahwa ia ingin sekali Gyeoul menjadi orang pertama dan terakhir yang ia lihat selepas ia
terbangun dan sebelum ia tertidur, terus lewat dalam benaknya tak hanya satu atau dua kali. Sejak
hari dimana Jeongwon memutuskan untuk bermalam di apartemen Gyeoul, Jeongwon sadar,
terbangun di samping seseorang yang sangat ia cintai adalah sebuah momen tersendiri yang tak
bisa ia rangkai menggunakan kata-kata. Itu adalah hal yang sangat amat menyenangkan, perasaan
yang tak bisa dideskripsikan. Dan ia akan menyimpan rasa tersendiri itu dalam ingatannya.

Pagi itu adalah pagi terbaik yang pernah Jeongwon rasakan selama empat puluh tahun ia hidup. Ia
bahkan tersenyum sepanjang hari karena berbagai momen tak terlupakan yang mereka buat; ketika
wanita itu terbangun di sampingnya, membuat sarapan bersama, dan menghabiskan sisa hari
dengannya. Oh Tuhan, ia akan terus membayangkan hari-hari dimana ia akan terus melakukan
aktivitas rutin dengan Gyeoul, dan mungkin bayangan itu akan lebih sering menghampirinya lagi
dan lagi nantinya.

When love reflects in those eyes that look at me

Beautiful moments like the spilling stars


Seperti saat ini, di salah satu malam di musim gugur, ketika pasangan itu tengah asyik
menghabiskan waktu bersamanya sepulang kerja, dengan berjalan di sekitar kompleks apartemen
Gyeoul. Mereka pulang lebih cepat malam itu. Mungkin ‘kencan’ singkat di kedai kopi, dilanjut
berkeliling kecil sambil menikmati latte hangat akan memberikan sedikit momen manis di sela-sela
kesibukan mereka, menyempurnakan hari panjang yang mereka lalui bersama. Menengok langit
kota Seoul di malam tanpa bintang, menjadi penikmat kesibukan kota. Tentu sebelum Ahn
Jeongwon mengantarkan Gyeoul pulang dan mereka pun akhirnya berpisah.

I tell myself I’ll never let go of your hand

Rasa enggan itu kembali menghampirinya. Membuat Jeongwon tanpa sadar mencengkram lebih
keras tangan Gyeoul dalam genggaman jari jemari mereka yang tertaut. Hal ini lantas membuat
Gyeoul mengernyitkan dahinya, serentak dengan alis yang terangkat. Wanita itu berhenti
menyeruput kopi di tangan satunya dan menoleh ke arah Jeongwon yang berjalan beriringan di
sampingnya.

“Ada apa, Oppa?” tanya Gyeoul memiringkan kepalanya, mendongak untuk melihat ke arah
kekasihnya dengan perawakan yang jauh lebih tinggi.

“Eo?” Jeongwon sedikit tersentak dari lamunan ketika Gyeoul membuka suara. Ia menengok ke
arah wanita di sampingnya. Busa latte dari gelas yang sengaja dokter tersebut buka seluruh
tutupnya, membentuk kumis tipis di tepian bibir atasnya usai ia teguk.

Engrave it in my heart and color it in

Bola mata Jeongwon sedikit bergetar bingung. Gyeoul memperhatikan gerak-geriknya yang
memang sedikit aneh dari kemarin. Jeongwon terasa lebih pendiam dari biasanya. Pria itu akhirnya
mengangkat tangan mereka yang saling bergandeng dan memasukkannya ke dalam saku coat-nya
seraya bertanya, “apa kau kedinginan? Tanganmu terasa membeku, Gyeoul-ah.” Pertanyaan itu
dijawab dengan gelengan singkat, tapi Gyeoul tak pernah menolak untuk digenggam lebih erat.

Jeongwon terdiam sejenak, ia butuh waktu untuk berpikir, bagaimana cara yang tepat untuk
memulai pembicaraan ini dengan kekasihnya. Ada hal yang telah lama ingin ia tanyakan pada
Gyeoul, yang mengingatkannya pada obrolan serius pria berusia 41 tahun tersebut dengan
sahabatnya, Kim Junwan.

Itu adalah salah satu dari banyak hari ketika kondisi pasien kecil Jeongwon lagi-lagi alami
penurunan di PICU. Dokter bedah pediatrik itu sengaja berjaga beberapa hari terakhir untuknya,
atau lebih tepatnya fisik dan batinnya otomatis terjaga, buktinya ia tak mampu tidur dengan
nyenyak beberapa hari ke belakang.

Ahn Jeongwon tetaplah Ahn Jeongwon yang dulu, ia masih sama dengan pria yang kehilangan
waktu tidur sekaligus selera makan ketika kondisi pasiennya memburuk. Perbedaannya, sekarang,
Jeongwon telah memiliki Gyeoul yang akan terus menjaganya. Sosok yang akan menemaninya
ketika ia tak bisa lagi menanggung perasaan cemas dan sedihnya sendirian. Tempat ia berbagi
resah dan keluh kesah, tempat yang ia sebut sebagai rumah. Jeongwon tak perlu lagi menangis di
lorong yang sepi atau menunduk sendirian di taman dengan perasaan gelisah di hati.

Gyeoul akan datang dan menjadi tempatnya bersandar.

Dan malam itu, menjadi salah satu hari yang melelahkan hingga keduanya jatuh tertidur pulas di
kantor Jeongwon. Mereka tak berniat untuk tertidur di sana sebenarnya, keduanya berencana untuk
ambil istirahat singkat sebelum bergegas pulang atau bila malam terlalu larut, mereka akan
menginap di ruang panggilan.

“Jeongwon-ah! Ahn Jeongwon! Cepat bangunlah!” Junwan mengguncang bahu lebar pria itu di
sofa setelah dirinya berganti baju dan memakai scrub biru. Jeongwon tersentak kaget dan bangun
dari tidur pulasnya saat itu juga. Baju kusut, rambut berantakan, dan kantung mata hitam
terpampang jelas di wajahnya. Pria itu terbangun dan langsung menolehkan kepalanya ke arah
kasur lipat, mencari keberadaan seseorang yang seingatnya tertidur di sana. Tak menemukan sosok
yang ia cari, ia menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan. Jang Gyeoul tidak ada di kantornya
ketika ia terbangun.

“Kau mencari Jang Gyeoul?” Junwan menaruh kedua tangannya di pinggang dan memicingkan
matanya ke arah Jeongwon. Pria setengah sadar itu tak menjawab dan hanya mengerjapkan
matanya beberapa kali, memperhatikan teman satu kantornya yang siap mengomelinya dalam
hitungan detik.

“Kau masih beruntung karena aku yang masuk kedalam sini, saekki-ya. Bagaimana kalau orang
lain melihat kalian bermalam berdua disini?”

Jeongwon terdiam, toh ia memang pernah ketahuan oleh rekan satu departemennya.

“Apa kau yang sengaja membangunkan Gyeoul?” adalah jawaban pertama yang Jeongwon berikan
setelahnya. Junwan menggelengkan kepalanya setelah mendengar respon mantan-calon-pastor
tersebut. Sahabatnya menggelengkan kepala, menghembuskan nafas, menyerah dengan tingkah
Ahn Jeongwon. Oh sungguh, apakah orang ini benar-benar berpikir ia akan menjadi pastor suatu
hari nanti?

“Tidak. Tadi kami hampir bertabrakan di pintu. Ia ingin keluar dan aku baru saja datang,” jawabnya
cepat. “Ya! kau menginap lagi? Sudah berapa lama kau camping di ruangan ini?”

“Kenapa kau tak sekalian saja pindah ke rumah sakit dan jadikan Yulje sebagai tempat tinggalmu,
saekki-ya? ” tambahnya lagi, mengubur rasa cemas di dalam olokannya. Terkadang ia lebih
terdengar seperti ibu yang memarahi anaknya dengan meledak-ledak daripada seorang teman.

“Junwan-ah, kondisi Jin-gyeong memburuk dan aku tak bisa meninggalkan PICU,” Jeongwon
menghembuskan nafasnya membuat pembelaan, ekspresi suram itu kembali lagi ke wajahnya yang
lelah. “Setidaknya tidurku malam ini cukup pulas setelah beberapa hari berturut-turut aku terjaga,”
Jeongwon meluruskan kakinya yang terasa sedikit pegal, pria itu memejamkan matanya sejenak.

“Kau sendiri? Kenapa datang sepagi ini? Pasien? Operasi?” Jeongwon mengecek jam di
pergelangan tangan kanannya, tak biasanya Junwan datang seawal ini.

Ada sedikit rasa bersalah yang Junwan rasakan terhadap Jeongwon setelah ia mendengar
penuturannya. Dan lebih parahnya, pria itu tersadar ia telah membangunkannya dengan sedikit
kasar pagi itu. Dua puluh tahun berteman dengan Jeongwon, Kim Junwan tahu persis kebiasaan
Jeongwon, bila salah satu kondisi pasiennya drop , maka Jeongwon pun akan ikut menderita. Tapi,
fakta bahwa Jeongwon akhirnya bisa istirahat dengan baik walau hanya sebentar ketika Jang
Gyeoul ada di sampingnya, membuat Junwan merasa lega. Amat lega.

Banyak hal yang berubah setelah wanita itu datang ke dalam kehidupan Jeongwon. Junwan merasa
Jeongwon jadi lebih terbuka, lebih banyak berekspresi, kehidupannya jauh lebih teratur, dan
tampak ‘normal' . Jeongwon jadi jauh lebih bahagia, dan Junwan pun ikut bahagia
menyaksikannya.

Terkadang ia pun dibuat cemas di waktu yang bersamaan. Junwan tahu keduanya masih baru dalam
hal percintaan. Jeongwon dan Gyeoul sempurna lugu tanpa pengalaman dalam menjalin hubungan.
Walau ia benci untuk ikut campur dengan urusan orang lain, tapi ia tetap berharap Jeongwon
meminta bantuannya. Setidaknya, Jeongwon bertanya padanya satu-dua hal bila ia merasa tersesat
dan bingung dalam dunia yang baru ia pijak. Junwan tak memandang dirinya sendiri seorang ahli,
hanya saja, ia sedikit-banyak lebih tahu daripada Jeongwon. Jeongwon bukan ‘orang asing’ yang
bisa ia abaikan begitu saja.

Jeongwon memang sedikit lamban dalam memilih keputusan dan bertindak. Berbeda dengan
Junwan yang jauh lebih spontan, Jeongwon seorang pengamat. Dan Junwan kini mulai cemas,
apakah pria itu menempuh langkah yang benar? Sayangnya, Jeongwon mungkin tipe orang yang
lebih tertutup untuk hal yang bersangkut paut dengan hal itu. Junwan tak memiliki hak untuk
mengajarinya ketika Jeongwon bahkan tak meminta bantuannya sama sekali.

“Ya, kau tidak bisa seperti ini terus, Jeongwon-ah.” Tanpa sadar, Junwan menyuarakan pikirannya
keras-keras pada Jeongwon. “Kau tidak bisa terus-terusan menginap disini, itu tidak baik untukmu
dan Gyeoul.”

“Bila kau terus menetap disini, dan residenmu terus-terusan menghabiskan waktunya di rumah
sakit, siapa yang akan mengingatkan kalian untuk pulang dan istirahat? Dia butuh istirahat dengan
benar.”

Jeongwon mengangguk, “Aku tahu, kita saling mengingatkan tentang itu, kau tak usah khawatir,”
ucapnya terdengar yakin, berbeda dengan sorot mata tak berdayanya.

Junwan mendengus kesal mendengarnya, “jalhaesso, jalhaesso!” serunya sarkas pada Jeongwon.
“Katakan itu ketika kau bahkan jarang pulang ke apartemenmu, bodoh.”

“Ani … aku sering pulang!”

“Benar, hanya untuk mandi lalu pergi. Dan kemudian aku tak akan menemukanmu di pagi hari.”

“Yahhh , aku benar-benar pulang, kau sendiri yang jarang ada di rumah. Atau mungkin kau sudah
tidur saat aku pulang dan aku harus berangkat lebih awal. Kau bahkan tidak bangun ketika aku
bangunkan!” Jeongwon membuat pembelaan, pecah adu mulut di antara mereka.

“Berhentilah membual. Kau pikir aku anak kecil yang bisa dibohongi? Itulah kehidupan ketika kau
sudah memiliki pacar,” Junwan membalas tak mau kalah.

Jeongwon akhirnya beranjak bangun dari tempatnya duduk dan berjalan menuju wastafel untuk
membasuh mukanya. “Ada apa dengan dirimu? Kenapa kau datang pagi sekali dan cerewet seperti
ini? Kau kesepian? Kau merindukanku? Kau bertengkar dengan bidulgi -mu?”

Junwan memberikan tatapan jijik kedua matanya mengekori Jeongwon yang tengah membuka
sebotol air mineral dari dalam kulkas lalu meminumnya. “Jangan mengganti topik, ya saekki. Kau
tidur di rumah Jang Gyeoul kan?”

Jeongwon yang tak berhasil memadamkan rasa penasaran Junwan membuatnya berkata, “apa kau
sudah tidur dengannya?” ucapnya tanpa disaring. Mendengarnya kedua mata Jeongwon melebar,
dan menyemprotkan air yang belum sempat ia teguk dari dalam mulutnya.

“YA!” Jeongwon bahkan menepuk dadanya karena tersedak “KAU... Chingu-ya, jaga mulutmu!”
Dokter bedah pediatrik itu memberikan tatapan ‘bicara-sekali-lagi-atau-kau-akan-kubunuh’ pada
sahabatnya itu.

“Wae? Apa ada hal yang salah dengan pertanyaanku? Ya, kalian berdua sudah lama berpacaran.
Kau dan Jang Gyeoul — kalian adalah wanita dan pria dewasa, dan melakukannya adalah hal yang
wajar.”

“Tetap saja, kau—” Tetap saja, Jeongwon kehabisan kata-kata mendengar ucapan Junwan sepagi
itu.

“Sepertinya memang kalian belum pernah.” Junwan menyimpulkan, membuat Jeongwon


mendengus kesal.

Tanggapan itu malah membuat Junwan memperhatikannya dari atas sampai bawah, mengaktifkan
sinyal waspada Jeongwon hingga ia memperingatinya, “berhenti melihatku dengan tatapan
mesummu, Kim Junwan!”

Jeongwon mengarahkan air mineral dalam botol yang masih terbuka pada Junwan, seolah-olah ia
akan menyiram muka Kim Junwan dan melakukan pengusiran setan dengan air suci yang ia
pegang di tangannya.

“Arasseo saekkiya, aku pun jijik mendengarnya,” Junwan menyerah dan kembali ke mejanya untuk
mencari beberapa dokumen penting yang harus ia berikan pada Jaehak. “Lagi pula itu kehidupan
pribadimu, aku tak akan ikut campur tangan.”

Jeongwon pun duduk di kursi tengah, mengecek jadwal, dan membuka ponselnya. Junwan melirik
ke arah jam tangannya, masih ada sisa waktu sebelum apapun urusannya dengan Jaehak dimulai.

“Ya , Ahn Jeong Won,” Junwan memanggilnya dengan nada tegas. Pria itu kemudian ikut duduk di
kursi kosong yang berada tepat di sebelah Jeongwon. Tatapannya berubah menjadi serius ketika
Jeongwon akhirnya memindahkan pusat perhatiannya. “Ayo bicarakan hal ini, karena kita sungguh
bukan anak muda seperti sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Kau juga bukan lagi pemuda
yang datang ke tempatku dan berbohong bahwa kau akan menginap untuk semalam atau dua
malam di apartemenku walau pada akhirnya kau melakukannya selama bertahun-tahun.” Junwan
berbicara cepat dengan satu tarikan nafas, kalimatnya terasa seperti lirik lagu rap di telinga
siapapun yang mendengarnya.

Jeongwon terdiam dan berusaha berpikir ke mana arah obrolan ini akan dibawa. Namun sebelum
dirinya sempat menjawab, Junwan menambahkan, memotongnya terlebih dahulu dengan satu
kalimat tegas.

“Kau benar-benar harus pindah dari rumahku.”

“Dengarkan dan ingat ini, aku bukannya mengusirmu.” Junwan menggeleng, sorot matanya lurus
menatap Jeongwon layaknya ia bicara pada wali pasien tentang hal serius di ruang konsul. “Kau
sudah dewasa, kau tentu bisa mengerti. Kau berada di titik dimana kau sudah seharusnya belajar
untuk memikirkan tujuan hidup dan keadaan finansial untuk masa depanmu.”

“Aku bukannya bilang kau belum bisa mandiri, atau kau tidak pernah belajar untuk mandiri. Aku
tahu kau pasti memikirkannya karena jelas-jelas kau sudah berkepala empat sekarang,” tambahnya
lagi tak mau ada kesalahpahaman di antara mereka. Entah apa yang ada di pikiran Jeongwon saat
itu, tapi apapun yang berusaha ia cerna sekarang, Junwan ingin mengatakan segala hal yang telah
membuatnya cemas selama ini.

“Kau juga sudah memiliki Jang Gyeoul sekarang. Bisa dilihat dari wajahmu kau juga pasti
memikirkan masa depan dengannya bukan?” Jeongwon terdiam mendengar tebakan Junwan yang
tak salah lagi, tepat sasaran. “Seolma … apa kau tak mau menghabiskan sisa waktumu dengan Jang
—”

“Aniya,” Jeongwon langsung membantah kalimat Junwan yang bahkan belum selesai, “ dengan
siapa lagi aku bisa membayangkannya masa depanku bila tidak dengannya?”

Junwan memberikan ekspresi setengah jijik mendengar pengakuan Jeongwon yang tiba-tiba.

“Tapi masalahnya, aku—”

“Jeongwon-ah, aku tak menyuruhmu untuk pindah dengan pacarmu.” Junwan menggeleng, “jika
kalian belum siap, maka jangan dipaksakan. Aku tak memaksa. Lagipula siapa aku? Aku tak
berhak menyuruh kalian berdua melakukan ini-itu,” ujarnya lagi membaca pikiran Jeongwon.
“Kalian sudah sama-sama dewasa, sudah cukup matang dan kalian bisa memutuskan sendiri.”

“Nado arra… ” Jeongwon terdiam sejenak, pandangannya tak lagi pada kedua mata Junwan. Ia
menatap lurus ke arah meja di depannya dengan rasa cemas? Bercampur bingung? Entahlah
Junwan rasa sorot matanya memancarkan emosi yang campur aduk.

“Aku percaya padamu Jeong Won-ah.” Junwan meyakinkan sahabatnya. “Kau adalah orang yang
penuh persiapan dan rencana. Mungkin kau terlihat pelan, tapi aku tahu kau bukan orang yang
main-main. Kau pasti memikirkan ini dengan serius dan matang-matang.”

Jeongwon mengangguk setuju dan tersenyum mendengar kalimat terakhir yang Junwan ucapkan.
Terkadang kalimat Junwan terdengar kasar dan blak-blakan, tapi tak ada yang salah dari apa yang
ia katakan. Tak ada keraguan pada setiap pesan yang ditujukan kepadanya. Faktanya semua yang
Junwan katakan itu benar. Junwan mungkin bisa dikatakan sebagai manusia gila, kasar, dan tak
berperasaan bagi orang awam yang belum mengenalnya. Tapi kau akan tahu betapa hebatnya
insting dan kepekaan Junwan terhadap orang di sekitarnya, terlebih lagi pada orang yang ia
sayangi.

Mungkin selama ini Junwan tahu semua konflik yang dihadapi oleh teman-temannya, ia seorang
pengamat yang cerdas. Perhitungannya jarang meleset, tapi ia memutuskan untuk lebih banyak
diam dan tak banyak omong tentang urusan orang lain. Ia mungkin bisa menjadi orang yang
terakhir tahu, tapi bukan berarti dia bodoh. Karena seni ‘bodo-amat’ itulah Kim Junwan sering
menjadi orang yang ‘terakhir tahu’.

Ahn Jeongwon berani mengakui, Junwan terkadang jauh lebih dewasa dari dirinya.

Buktinya, ia bisa menebak apa yang akhir-akhir ini— bukan, lebih tepatnya, apa yang sejak awal
memang Jeong Won pikirkan. Semenjak Jeongwon memutuskan untuk menetap, pria itu sudah
memikirkan bagaimana caranya untuk meneruskan hidupnya agar lebih ‘layak’.

Bagaimana ia harus pindah dari apartemen Junwan, bagaimana ia harus membeli mobil untuknya
bekerja. Ia tak bisa terus-terusan mengandalkan angkutan umum dan mobil teman-temannya bila
panggilan darurat terjadi. Bagaimana ia menyisihkan sebagian uangnya untuk sang ibu (bahkan
bila ibunya tak memerlukan sebagian uang dari Jeongwon karena peninggalan mendiang ayahnya
bisa dibilang lebih dari cukup untuk kehidupan ibunya) dan bagaimana ia menabung untuk masa
depannya.

Bila ia tidak memikirkannya dan mengaturnya sejak awal, sebanyak apapun harta yang ia miliki,
semua akan kacau balau dan bisa habis pada akhirnya bila tak mengaturnya dengan benar.
Akankah Jang Gyeoul menerimanya dengan keadaan jatuh seperti itu? Tentu, ia tahu Gyeoul bukan
orang yang materialistis, ia akan menerima Jeongwon apa adanya bagaimanapun kondisinya.

Tapi jawaban Jeongwon adalah ‘tidak’. Ia tidak mau dan tak akan mengajak wanita yang ia cintai
untuk hidup susah bersamanya. Jang Gyeoul—

“Ya! Ahn Jeongwon!” Junwan memanggil pria tersebut, memecah lamunan panjangnya. Ia
menepuk pipi kanan Jeongwon, seakan-akan berusaha membuatnya bangun pasca tak sadarkan
diri. Menariknya setelah tenggelam dalam lautan pikirannya.

“Ya! Itu sakit,” Jeongwon mengerucutkan bibirnya merajuk, memegang pipi kanannya yang
‘ditampar’ oleh Junwan menggunakan telapak tangan kirinya.

“Kau sudah ku panggil beberapa kali tapi tak menyaut!” serunya kesal, “hey, aku tak menyuruhmu
untuk memikirkannya sekarang, disini, detik ini juga Jeongwon-ah. Kau bisa memikirkannya nanti.
Kalian berdua bisa mendiskusikannya, nanti.”

“Apa yang akan Gyeoul katakan...” Jeongwon tanpa sadar mengutarakan pertanyaan dalam
benaknya. Kalimatnya tersangkut di ujung tenggorokan.

“Bila kau merasa bingung. Kau hanya perlu bertanya. Tanyakan padanya.” Junwan mendelik,
“kau melamun seakan-akan aku menyuruhmu untuk menikahi Gyeoul hari ini juga.”

Jeongwon terdiam tak menggubris.

“Jangan-jangan kau sudah memikirkan skenario untuk menikahinya? Kau akan menikahinya?”
Junwan menggodanya lagi, ia kembali pada mode nakalnya. Jari-jarinya menutup mulutnya yang
sengaja ia buka lebar, seakan-akan terkejut dengan apa yang ada di benak Jeongwon.

“Haruskah kau menanyakannya? Iya. Aku ingin menikahinya. Siapa yang tak ingin?! Siapa orang
yang tidak pernah membayangkan sebuah pernikahan dengan pasangan yang ia cintai di dunia
ini?” Jeongwon menjawabnya dengan satu tarikan nafas, nada kesal terdengar dalam suaranya.

“Kaulah orang yang tak pernah membayangkan ini sebelumnya, paboya. Kau bahkan tidak tahu
hal ini akan datang ke hidupmu bukan?! Pastor apanya? Hah, cam.” Junwan menyeringai, ia
sungguh tak percaya bahwa dalam hidupnya, ia akan menyaksikan Jeongwon dilema karena
seorang wanita. Ia juga tak menyangka suatu saat dirinya akan mendengar kalimat tentang
pernikahan keluar langsung dari mulut seorang Andrea.

“Yah… aku sedang tidak bercanda, saekkiya ,” Jeongwon memandang Junwan kesal, “aku bertaruh
kau juga memikirkan hal itu dengan Bidulgi, bukan?”

Junwan spontan terdiam, mendadak ia mengingat percakapannya dengan Lee Iksun. Lengang tiba-
tiba mengisi ruangan mereka, ketika Junwan sudah bersiap untuk merespon dan membuka
mulutnya, Jeongwon terlebih dahulu memotong. “Tapi tentu saja tidak sekarang Junwan-ah. Ia
berada di puncak karirnya dan aku tidak mau memecah fokusnya. Menikah adalah tujuan lain, dan
aku belum ingin membebankannya dengan tanggungan sebagai seorang istri.”

“Ya, menikah bukan berarti kau menyuruhnya berhenti bekerja, bodoh. Menikah tidak akan jadi
halangan buat Jang Gyeoul untuk menjadi sukses.”
“Iya, aku mengerti akan hal itu. Tapi kita kan tidak tahu apa yang ada di depan kita. Tantangan
akan jauh lebih besar ketika kita memasuki jenjang yang lebih serius.” Jeongwon menghela
nafasnya. “Kau pun belum pernah merasakan menikah bukan?”

“Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Junwan, memastikan pria tersebut tidak salah
dalam memilih langkah. Ia juga ingin mendengar bagaimana cara Jeongwon pada akhirnya
mengekspresikan bahasa cintanya pada orang yang ia sayangi.

“Untuk sekarang ini, mungkin aku hanya akan menikmati waktuku dengannya?” Jeongwon
menaruh dagunya di tangan, “menjaga, mendukungnya dari belakang, dan menepati janji untuk
tetap disisinya? Mungkin itu cukup untuk saat ini.”

“Dan aku akan menunggunya.” Jeongwon tersenyum tulus, matanya memandang jendela kantor.
“Seperti kau menunggu bidulgi kembali,” tambahnya lagi kini tersenyum jahil.

Sepertinya, Jeongwon tahu sesuatu.

“Jeongwon-ah, Jang Gyeoul adalah wanita yang baik.” Junwan melipat kedua tangannya di depan
dada sembari menyandarkan punggungnya ke kursi. “Aku masih bertanya-tanya kenapa orang idiot
sepertimu bisa menemukannya. Kau sangat berkebalikan dengannya, tapi bagaimanapun juga...”
Junwan menghela nafas lega, “kalian mampu saling melengkapi.”

Jeongwon mendengus mendengar pesan Junwan yang lebih terasa seperti ejekan. Tapi tetap saja,
pria itu tersenyum pada akhirnya.

“Perlakukan dia dengan baik, saekkiya!”

“Tentu saja, tanpa kau beritahu pun aku pasti melakukannya,” Jeongwon sedikit menyombongkan
diri, membuat Junwan berdecak sebal mendengarnya.

Ruang kantor terasa lengang kala itu, mereka terdiam sejenak dengan atmosfer ganjil di sekitar
mereka. Keduanya tersadar, seberapa jarang mereka melakukan obrolan serius seperti ini sampai-
sampai mereka berada di titik canggung untuk melihat satu sama lain setelah percakapan panjang
barusan. Di waktu yang tepat, ponsel Junwan berdering nyaring, mendorongnya untuk segera
beranjak dari dalam sana.

“Aku pergi dulu, Jaehak sudah memanggil,” Junwan menggoyangkan layar ponselnya ke hadapan
wajah sobat dua puluh tahunnya itu. Tapi sebelum Junwan benar-benar pamit keluar sambil
mengangkat sambungan telepon dari residennya, Jeongwon memanggil namanya.

“Oy, Kim Junwan!”

Junwan menjauhkan ponsel dari telinganya seraya berbalik menoleh ke arah belakang dimana
Jeongwon masih bersimpuh di tempatnya. “Apa?”

“Ketika nanti aku pindah dari rumahmu, jangan merindukanku ya?”

Junwan mendelik sebal, merasa waktu beberapa detiknya terbuang sia-sia mendengar omong
kosong sahabatnya itu. “Bangunlah, manusia gila. Ini sudah siang! Stop memimpikan hal yang
tidak mungkin di siang bolong!”

Jeongwon hanya terkekeh menanggapi omelan Junwan ketika itu, tapi tidak dengan batinnya yang
terus mengulang ingatan percakapan mereka. Benar apa kata Junwan, ia harus membicarakannya
dengan Gyeoul semua hal yang mengganjal di pikirannya.
Secepatnya.

Oh I know I belong to you

Namun kenyataannya tak semudah itu. Seberapa besar pun usaha Jeongwon dalam merangkai kata-
kata, menyiapkan segala hal yang perlu ia bicarakan, ketika pria itu menangkap kehadiran figur
wanita tersebut di depan matanya, lidahnya mendadak kelu. Lisannya tiba-tiba bisu. Ah, sekarang
ia mengerti alasan mengapa seorang pria sangat gugup ketika harus melamar wanita yang ia
cintai.

Tapi tunggu, ia bahkan belum sampai tahap itu sekarang.

Di hari yang sama percakapan itu terjadi, ia mengantarkan Jang Gyeoul pulang ke rumahnya di
malam hari, dan wanita itu bahkan bisa merasakan kegelisahan Jeongwon ketika mereka sampai di
apartemen Gyeoul.

“Oppa, apa kau tidak apa-apa?” Gyeoul bertanya ketika mereka sampai di depan pintu rumahnya.
“Apa kepalamu sakit lagi? Haruskah ku ambilkan obat untukmu?”

Jeongwon menggeleng membantah, sedikit berbohong agar Gyeoul tidak lagi merasa khawatir.
Tapi ekspresi cemas dan kernyitan dahi itu tak juga kunjung hilang dari wajahnya, lantas hal
tersebut berhasil membuat Jeongwon merasa bersalah.

Pria itu akhirnya memberanikan diri, mungkin dengan duduk bersama sambil menikmati kafein,
obrolan tersebut akan mengalir begitu saja dari benaknya, menuntunnya pada percakapan serius
dengan Jang Gyeoul.

Permintaan itu menjadi sinyal untuk Gyeoul, indikasi bahwa Jeongwon sedang memiliki banyak
pikiran. Semenjak Gyeoul memutuskan untuk bersama dengan Jeongwon, wanita itu hafal setiap
kebiasaan kecil yang kekasihnya sering lakukan. Jeongwon punya beberapa kebiasaan baru yang ia
temukan dan kebiasaan lama yang Gyeoul sadari ia tinggalkan.

Kalau dipikir-pikir, Jeongwon sudah jarang sekali merasakan sakit kepala semenjak ia berkencan
dengan Gyeoul. Beban pikiran di pundaknya hilang dan segala halnya terasa lebih ringan
untuknya. Ahn Jeongwon juga tidak lagi merokok, ia memutuskan untuk berhenti semenjak ia
menjalin hubungan dengan dokter residen tahun keempat tersebut, padahal Gyeoul tak pernah
melarangnya. Bukan hanya dirinya yang memutuskan, tetapi secara tidak sadar, pria itu memang
tak lagi membutuhkan rokok saat ia bersedih, praktis Jeongwon lupa untuk membawa rokok dan
pemantik api di saku coat -nya, di balik jas dokternya, atau di kantong celananya.

Maka dari itu, Gyeoul sedikit bertanya-tanya, alasan mengapa Jeongwon mendadak sakit kepala.
Apakah masih karena kondisi pasiennya di PICU yang memburuk? Ataukah ada pikiran lain yang
mengusik benaknya?

“Apa tidak sebaiknya kau menginap disini?” ujar Gyeoul pada Jeongwon ketika keduanya duduk di
sofa. Mendengar tawaran Gyeoul, rasa gugup dalam dirinya semakin menjadi-jadi, kini otaknya
tak lagi mau berjalan lancar. Walaupun pria itu pernah beberapa kali menetap di sana, rasa tegang
selalu muncul saat Gyeoul mengajak hal yang sama. Gambaran menghabiskan malam bersama
dengan wanita di hadapannya memunculkan kembali sesuatu yang panas dalam dirinya.

Menyadari wajah Jeongwon yang mulai memerah, Gyeoul cepat-cepat mengklarifikasi ucapannya,
“maksudku, kau tidak bisa menyetir ketika kepalamu terasa sakit, Oppa.” Gyeoul mengedipkan
matanya beberapa kali. “Kau bisa memakai kamar Yeoreum bila kau mau. Aku akan memastikan
kau istirahat sehingga sakit kepalamu hilang.”

Mendengar penuturannya Jeongwon memberikan senyum hangat. Ia tak bisa berkata-kata akan
ketulusan Gyeoul. Ia bahkan tak mempercayai lisannya untuk bicara saat itu. Kedua mata
Jeongwon tak berhenti memindai wajah indah di hadapannya. Ia tak menyangka kini dirinya bisa
melihatnya dengan bebas, menghujaninya dengan segenap rasa sayang yang tak akan lagi ia tahan.
Pria itu berusaha mengingat setiap fitur dan lekukan di wajahnya. Seluruh rencananya buyar,
hilang tenggelam dalam gelapnya dua bola mata rusa Gyeoul.

Pecundang, rutuknya dalam hati. Jeongwon memang seorang lelaki yang membutuhkan waktu
untuk berpikir. Tapi yang ada, ia selalu bersembunyi di balik bayang-bayang waktu.

Moments I look at you I wish would last forever

I belong to you

Now I belong to you

Jang Gyeoul yang dipandang seperti itu terdiam, dirinya salah tingkah karena Jeongwon tak juga
membalasnya dengan sepatah katapun. Bahkan setelah mereka menjadi pasangan, Gyeoul merasa
kewalahan dengan seluruh affection yang Jeongwon tunjukan padanya. Terlalu banyak, dan ia tak
pernah komplain. Ia hanya tak tahu harus membalasnya dengan apa.

My heart for you keeps growing deeper

“Tunggu sebentar, akan kuambilkan obat sakit kepala di laci,” wanita itu beranjak berdiri dari sofa
ketika dirinya gugup, Jeongwon menahannya dan membuatnya kembali terduduk di sofa. Pria itu
menjatuhkan kepalanya di atas kedua paha Gyeoul tepat ketika wanita itu kembali bersandar di
sofa.

“Bolehkah aku melakukan ini?” tanya Jeongwon menatap mata berbinar Gyeoul dari bawah. Jang
Gyeoul yang masih tersentak dengan gerakan tiba-tiba kekasihnya kini tersenyum. Ia mengangguk
membiarkan Jeongwon menutup mata di atas pangkuannya.

“Aku akan beristirahat sebentar seperti ini sebelum aku pulang. Kau tak perlu merawatku
sepanjang malam karena kau juga butuh istirahat, dokter Jang,” ucapnya masih dengan mata yang
tertutup, “aku tak ingin mengganggumu.” Jeongwon tak menolak bila ditawarkan untuk menginap,
siapa pula yang tak mau? Ia hanya keberatan bila Gyeoul merawatnya sepanjang malam ketika
dirinya bahkan telah merawat belasan pasien lain di rumah sakit.

“Kau tak akan menggangguku. Justru aku senang melakukannya,” Gyeoul menjawab. “Saat itu aku
membiarkan diriku menjadi pasienmu. Sekarang giliranmu yang membiarkanku untuk
menjadikanmu sebagai pasienku, Oppa.”

Jeongwon terkekeh kecil mendengar permintaan Gyeoul, wanita itu kemudian menyentuh sepasang
alis rapi Jeongwon dan menekannya dengan halus. Telapak tangannya mulai membelai rambut
Jeongwon dan menyisirnya dengan gerakan yang nyaris membuat pria itu jatuh tertidur. Seolah-
olah setiap sentuhan dan suara lembut Gyeoul adalah lagu tidur dengan magic yang membuatnya
tersihir.

“Aigoo gomawoyo, Gyeoul Seonsaengnim,” tutur Jeongwon dengan suara lembutnya. Ia menikmati
setiap gerakan yang terasa di kepalanya, berusaha mengingat betapa lembutnya jari jemari dokter
yang biasa memegang pisau bedah di ruang operasi. Menikmati setiap detik, setiap waktu yang ia
habiskan dengan Gyeoul.

“Semoga sakit kepalamu cepat sembuh, Oppa.” Hening sejenak sebelum tiba-tiba Gyeoul
mendekatkan wajahnya dan memberi kecupan di kening Jeongwon. Hal itu sontak membuat
Jeongwon membuka kedua matanya, berusaha tidak terkejut dengan apa yang Gyeoul lakukan.

Sayangnya pria itu tak bisa menyembunyikan lekukan di bibirnya, senyum senangnya. Ia kembali
menutup matanya dan berucap, “aku akan sembuh ketika kau memberi aku dua.”

Gyeoul memukul lengan atas Jeongwon sebagai tanggapan dari permintaannya. Gyeoul punya
kebiasaan ini ketika dirinya merasa malu, bahkan ketika mereka hanya berdua. bisa-bisanya pria itu
menggodanya hingga ia salah tingkah. Tapi Gyeoul tentu menuruti permintaannya, dengan senang
hati. Ia mendaratkan kedua bibirnya di kening Jeongwon untuk kedua kali setelah wanita itu
menyibak lembut poni yang menutupi dahinya.

Ketika Gyeoul belum sempat menjauhkan wajah, Jeongwon membuka matanya dan pandangan
mereka bertemu dengan jarak yang hanya tertinggal beberapa inchi. Tarikan nafas mereka terasa
menggelitik di wajah satu sama lain. Aroma khas tubuh mereka tercium di hidung, berlama-lama
melekat di antara dua sisi wajah yang terus mendekat.

Tatapan pria itu akhirnya jatuh pada bibir Gyeoul, membuat Gyeoul mulai bergerak mengikuti
nalurinya, mengikuti apa yang tubuhnya inginkan. Seakan-akan bibir mereka menjadi kutub utara
dan selatan yang saling menarik, Jeongwon bersiap untuk menempelkan bibirnya pada Gyeoul
sebelum seorang pengganggu datang di tengah momen menegangkan mereka.

“Nuna.”

Sontak dahi mereka terbentur setelah sama-sama tersentak dengan suara yang muncul di tengah
keadaan hening ruang apartemennya. Gyeoul menjauh dari Jeongwon sebagai refleks dan
memegang dahinya yang sedikit nyeri, bersamaan dengan Jeongwon yang bangkit dari pangkuan
Gyeoul secepat kilat.

“Eo, Yeoreum-ah?” Gyeoul tergagu berdiri salah tingkah. “Ya, kenapa kau tidak mengetuk pintu
dulu?” lanjutnya bertanya lagi tanpa pikir panjang. Jang Gyeoul bahkan tak mengerti mengapa
pertanyaan bodoh itu tiba-tiba keluar dari mulutnya. Yeoreum patah-patah memandang ke arah
Gyeoul dan Jeongwon lalu bergantian ke arah pintu kamarnya. Ia memiringkan kepalanya,
berpikir dengan terheran-heran.

“Apa yang harus ku ketuk? Apa ada orang yang harus mengetuk pintu kamarnya ketika ia ingin
keluar kamar?” Pemuda itu mencibir pada kakaknya, “itu tidak masuk akal,” ia kemudian melirik
ke arah Jeongwon yang sedari tadi berdiri canggung belum ia sapa.

“Gyosunim kau juga ada disini ternyata. Annyeonghaseyo, Gyosunim,” pemuda itu
membungkukan badannya, berakting seakan-akan ia baru saja melihat penampakan pacar
kakaknya, kemudian memberinya salam formal.

“Ah, ne, annyeonghaseyo, Yeoreum,” pria itu hanya bisa membalasnya sembari memegang
tengkuknya yang basah karena keringat gugup. Merasakan atmosfer canggung di sekelilingnya
Gyeoul akhirnya angkat bicara.

“Sejak kapan kau berada di rumah?” Gyeoul langsung mengalihkan pembicaraannya, membuat
Yeoreum mau tak mau membiarkan pertanyaan aneh kakaknya lewat begitu saja.

“Temanku membatalkan acara kami, campingnya diundur, Nuna,” Yeoreum mengangkat kedua
bahunya. “Ah iya, aku hanya ingin bilang aku sudah menghangatkan kari dan memasak sedikit nasi
untukmu, aku takut kau belum makan malam.”

Gyeoul menoleh ke arah dapur dan menemukan penanak nasi yang menyala dan tudung saji di atas
meja makan. Ia mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada Yeoreum yang (tumben) cukup
perhatian dengan keadaannya. “Gyosunim , kau juga bisa makan malam dengan Nuna bila kau
mau. Aku pikir porsinya cukup untuk berdua,” ujar Yeoreum pada Jeongwon yang disambut
dengan penolakan halus dan ucapan terima kasih dari pria itu. “Tapi itu pun kalau Nuna tidak
kerasukan setan saat makan malam dan tak mengambil jatah porsimu.”

Yeoreum sontak menerima pukulan keras di bahu kanannya, membuat ia mengaduh kecil atas
perlakukan kakak perempuannya itu. Mata Gyeoul memicing, mengusirnya dari sana dengan cepat.
“Ah, aku minta maaf telah mengganggu kalian. Kalian bisa lanjutkan kegiatan kalian sebelumnya.
Anggap saja aku tidak ada,” Yeoreum mengalah, ia melambaikan kedua tangannya dan berjalan
kembali ke kamarnya, membuat Jeongwon mengantisipasi senyum nakal di bibir pemuda yang
terkikik menutup pintu ruangannya itu.

“Sepertinya aku harus segera pulang,” ujar Jeongwon saat Yeoreum menghilang dari
pandangannya. “Sudah malam dan kau harus istirahat.”

“Mianhaeyo, Oppa,” Gyeoul mengerucutkan bibirnya dengan wajah bersalah atas tingkah laku
adiknya. “Aku tak bisa merawatmu malam ini.” Jeongwon hanya terkekeh kecil dan menggeleng
melihat Gyeoul.

“Aniya, kau tidak berbuat salah apapun,” Jeongwon menyentuh pipi Gyeoul dengan buku jarinya.
Pria itu menghela nafas pelan agar Gyeoul tak menyadarinya, sebaiknya mereka membicarakan hal
itu lain kali. Ketika keduanya dalam keadaan sehat, segar, tidak kelelahan sepulang bekerja. Ketika
waktu, tempat, dan suasananya pun mendukung. Sepertinya nasib tidak berada di pihaknya,
Jeongwon sedang tidak beruntung malam itu.

Pria itu akhirnya pamit sembari mendengarkan beberapa kalimat Gyeoul yang berpesan agar
dokter bedah pediatrik itu makan teratur, minum obat, dan memiliki istirahat yang cukup. Ia tak
tahu bila Gyeoul bisa secerewet ini pada dirinya, dan ia tak akan komplain. Sebaliknya, ia
menyukainya sisi Gyeoul yang jarang ia tunjukkan pada orang lain kecuali dirinya seorang.

Tatkala keduanya sampai di pintu dan waktu berpisah telah datang, Jeongwon membuka
tangannya, memberikan isyarat agar Gyeoul memeluknya sebagai bagian dari ritual penting
sebelum mereka berpisah.

Sebuah pelukan. Penghargaan yang ia dapatkan untuk dirinya sendiri setelah pria itu bekerja keras
seharian di rumah sakit, begitupun dengan Gyeoul.

Karena dengan Gyeoul, Ahn Jeongwon berhasil menemukan kenyamanan di dalam hangat
dekapannya.

When your warmth passes through my heart

Mereka berpelukan entah berapa lama hingga ruangan terasa lengang, dan Jeongwon tak lagi mau
melepaskan wanita itu dari kedua lengannya yang sudah terkunci di tubuh kecil Gyeoul. Tak ada
sepatah katapun yang mereka lontarkan satu sama lain, dan Gyeoul mengerti Jeongwon sedang
tidak baik-baik saja.

Feelings keep growing that I can’t hide it

The smile you show me, each word you say

“Oppa, kau bisa memberitahuku apapun yang kau pikirkan. Kita sudah berjanji untuk berbagi
apapun itu,” ujar Gyeoul dalam rengkuhnya, suaranya terdengar seperti gumaman ketika wanita itu
berbicara tepat di depan dadanya. Jeongwon mengangguk menurut, dan Gyeoul berusaha
menjauhkan dirinya dari pria itu untuk melihat wajahnya. Hanya saja, Jeongwon tak memberikan
kesempatan untuk bergerak dan terus memeluknya lebih erat kali ini.

Engraves in my heart and colors it

Mereka menikmati waktu mereka yang terasa sangat singkat hingga sebuah suara membuat
keduanya refleks menoleh ke arah sumbernya. Keduanya memasang wajah waspada, berpikir
Yeoreum kembali keluar dari kamarnya namun sosok pemuda itu tak ada. Ternyata itu adalah
suara penanak nasi yang baru matang dan sepasang kekasih itu menghela nafas lega
mengetahuinya.

Ekspresi tegang di muka Jeongwon memudar bersamaan dengan dirinya yang menaruh dan
menyembunyikan wajahnya di pundak kecil Gyeoul. Di lain sisi, wanita itu hanya menertawakan
spontanisme keduanya dan menenangkan Jeongwon. Tangannya menepuk-nepuk kecil kedua
pundak lebar Jeongwon dengan kepala masih yang bersandar dan tubuh besarnya yang
membungkuk, menyejajarkan ketinggian Gyeoul.

“Annyeonghigaseyo, Gyosunim. Hati-hati di jalan,” Gyeoul membungkukan kepala, memberikan


senyum termanisnya sebelum wajah itu hilang di balik pintu.

Dan pada momen itulah Jeongwon membenci ucapan pisah.

‘Ini bahaya, aku harus segera membeli apartemen,’ rutuk pria itu dalam hati ketika sosok Gyeoul
hilang sempurna dari pandangannya.

Oh I know I belong to you

Moments I look at you I wish would last forever

I belong to you

Now I belong to you


My heart for you keeps growing deeper

Kembali lagi pada momen kencan singkat mereka. Ketika keduanya menghabiskan sisa waktu
mereka berkeliling komplek apartemen Gyeoul, ketika tangan Jeongwon menggenggam erat
tangan Gyeoul dalam saku coatnya, dengan jari jemari yang tertaut. Ketika pada akhirnya
Jeongwon tak lagi ingin mengulur-ulur waktu dan merasa hari itu adalah hari yang pas untuk
bertanya pada Gyeoul.

“Gyeoul-ah, apakah sebaiknya aku pindah dari rumah Junwan dan beli apartemen baru?”
Jeongwon memulai percakapan mereka, menjadikan pertanyaan tersebut sebagai titik awal
pembukaan obrolan serius mereka.

“Ne.” Gyeoul menjawabnya tanpa jeda, membuat kepala Jeongwon menoleh ke arahnya.

Memang, semua orang pun tahu itu pertanyaan bodoh karena Jeongwon seharusnya sudah
membeli apartemennya sendiri sejak awal. Tapi bukan itu pertanyaan utama dan maksud dari
Jeongwon.

“K- kurae?”

“Maafkan aku bila aku terus membuatmu tak nyaman dengan menetap di apartemenmu. Atau aku
membuatmu tak nyaman ketika kau harus datang ke apartemenku dan bertemu Junwan disana.”

“Ani, Oppa. Bukan itu, aku hanya merasa kasihan dengan dirimu yang terus diusir Profesor Kim.
Profesor Kim sepertinya sangat ingin kau keluar dari rumahnya. Mengingat apa yang ia katakan
ketika kau pertama kali memperkenalkan aku secara resmi pada mereka saat makan malam saat
itu.”

“Ah…” Jeongwon mengangguk paham.

“Aku hanya takut kedatanganku mengganggu Profesor Kim.”

“Aniya, dia tak mungkin merasa seperti itu. Kau tak perlu khawatir.”

“Kita tak tahu apa yang ada di dalam hati seseorang, Oppa. ” Gyeoul mengangkat kedua bahunya,
menatap Jeongwon ketika pria itu berusaha mengumpulkan keberanian untuk bertanya. “Apakah
kau pernah bertanya pada Profesor Kim tentang itu?”

Jeongwon berhenti berjalan, membuat Gyeoul juga berhenti di tempatnya. Wanita itu lantas
menoleh ke arah Jeongwon yang tampak gugup dari ekspresinya. Pria itu telah menghabiskan latte
yang ia bawa sedari tadi. Ia mencoba meraih pergelangan tangan Gyeoul yang masih memegang
kopi setengah habisnya. Keheningan jatuh di antara keduanya, sunyi malam mengisi jeda lengang
dengan desir angin yang menjadikan saksi bagaimana tatapan mata Jeongwon memancarkan
emosi. Bagaimana mata Jeongwon berusaha menyampaikan ribuan kalimat yang lisannya tak bisa
ucapkan.
Always in a place where you can reach

I want to make you feel that I’m by your side

Pria itu menggenggam jari mereka lebih erat, membuat tatapan mereka bertemu lebih dekat.

“Gyeoul-ah…"

“Jang Gyeoul, ketika… nanti aku memiliki apartemen baru. Maukah kau pindah dan ikut tinggal
bersamaku?”

“Bisakah kau berada di sisiku selamanya?"

Oh I know I belong to you

Moments I look at you I wish would last forever

I belong to you

Now I belong to you

My heart for you keeps growing deeper

Chapter End Notes

Semoga pesan dan feels di chapter ini tersampaikan ya. Jeongwon emang orang yang
banyak berpikir dan menimbang sebelum memutuskan sesuatu, aku harap kita semua
bisa memaklumi dan menghargai sifatnya Semua orang tidak bisa dipukul sama rata
dalam mengambil keputusan. Bagi Jeongwon tinggal bersama, bukan cuma 'tinggal
bersama' di satu atap. Btw, aku tau keknya lebih baik Jeongwon ngobrol sama Ikjun
yang emang berpengalaman tentang pernikahan atau rumah tangga. Atau mungkin
curhat dengan Songhwa yang kita tahu adalah konsultan yang baik. Tapi, aku pingin
banget sekali-kali lihat Jeongwon dan Junwan ngobrol heart-to-heart hal yang serius,
kalau gak salah di season 1 belum ada? Eh, atau aku yang lupa?
Kadang, semakin kita dekat dengan seorang teman, apalagi yang sudah seperti
keluarga sendiri, kita lebih gengsi untuk ngomongin hal serius. Kita cenderung
menghindar. Maka dari itu aku harap gardensatan ini gak berantem doang kerjaannya
di Season 2 ixixixixixi

Btw, kali ini ada cameo di cerita: ada Jang Cho-gyeoul a.k.a. Jang Yeoreum di chapter
ini wkwkwkwk. Aku harap Park Jungwoo (pemeran adik Jang Gyeoul) beneran
muncul lagi di season 2!

Sekian dulu kalimat aku yang panjang. Stay healthy, simpan tenaga karena kita akan
hadapi season 2 sebentar lagi!

6.220 kata dan terima kasih sudah membaca!


Love love dari Ann~

Please drop by the archive and comment to let the author know if you enjoyed their work!

Anda mungkin juga menyukai