Anda di halaman 1dari 2

“In learning you will teach, and in teaching you will learn”

Begitulah lirik dari lagu “Son Of Man – Phill Chollins” yang menjadi Soundtrack film anak-anak yang berjudul
“Tarzan”, yang juga mejadi kaset VCD ke- 3 hadiah dari Bapak saya sewaktu saya masih kecil.
Oke, berlanjut ke kutipan diatas saya ingin menulis sebuah keresahan-keresahan saya sebagai guru setelah lulus
kuliah dan mendapat amanah benama “Sarjana” sekaligus menceritakan kenyataan sebenarnya gelar/ 3 Huruf
yang diperjuangin 4 tahun dengan biaya yang mahal dan banyak dijadikan meme para mahasiswa milenial ini
tidak begitu penting-penting amat.
Sejak lulus SMA dan gagal masuk Kebidanan Negeri saya mengisi waktu luang saya dengan membantu jadi
tukang bersih-bersih dan ngangkatin bangku dengan upah 50 ribu per-bulan di RA (Setingkat TK) yang ada
dirumah saya , 6 bulan kemudian saya ditawari jadi guru pendamping di SDS kelas 2 yang isinya anak laki-laki
semua dan alhamdulillah juga aktif semua. Saya tidak terlalu suka ngajar SD, entah kenapa bawaan saya tidak
ingin mengajar jadinya ingin main terus, saya benci dengan fullday school, buku-buku pelajarannya juga yang
tebal-tebal harus dibawa dalam tas dan ditopang oleh pundak kecil anak-anak, belum lagi didalamya ada bekal
makan siang. Bisa bayangin ? atau mungkin kita engga ngeuh sama yang begitu karena punya pemikiran “masa
kecil harus banyak diajari”, supaya besar banyak duit.
Setelah jelang 1 tahun mengajar akhirnya saya memilih keluar karena kebetulan juga saya masih proses
penyembuhan batu ginjal dan menjalani kuliah semester susulan. Karena waktu pagi saya luang akhirnya saya
ngajar di rumah saya lagi, dan ternyata mengajar tingkatan RA itu lebih parah dari SD. Yang pertama orang tua
murid yang nuntut banget gurunya biar ngajar yang bener. Kedua, orang tua murid nuntut anaknya supaya cepat
belajar dan akhirnya marah-marah dikelas dan anaknya dicubitin. Ketiga, saya dikritik ibu-ibu karena setiap
anaknya ngajar cuma saya ajari menyanyi dan games, dan yang terakhir adalah masa terberat dimana ada
masalah pribadi saya yang buat saya suka tidak bisa tahan tangis ketika sedang mengajar, ya guru juga manusia
adakalanya masalah cinta suka teringat akhirnya berdampak tidak baik untuk performa mengajar, sampai akhirnya
saya memutuskan untuk mengajar cukup 1 tahun saja dan fokus kuliah dan organisasi.
Sampai diakhir semester saya ditawari oleh teman ibu saya untuk kembali mencoba mengajar di SMP yang baru
benar-benar merintis dengan murid 13, Alhamdulillah perjuangan saya tidak sia-sia akhirnya bisa mencoba ngajar
disekolah baru dan mencoba semua role model kurikulum dan pelaksanaan kegiatan. Mengajar hanya 3 hari yaitu
Senin, Rabu, Kamis. Dan selesai jam 9.50 bisa pulang dan melanjutkan nganggur shift 2. Namun ada sebagian
hidup yang membuat saya menderita dan menjadikan seolah hidup saya ini tidak ada artinya. Saya bingung, saya
hanya ingin hidup saya berhenti sampai disana. Saya diledekin diorganisasi karena mereka semua menganggap
lucu perempuan yang cintanya bertepuk sebelah tangan dan ditolak, andai mereka tahu cerita lengkapnya
mungkin merekapun tak kuat. Harus berproses dengan orang yang membuat hidup kita seolah tidak berarti. Harus
bertatap wajah dengan orang membuang kita seenaknya. Belum lagi ketika diri hanya dijadikan angin lewat dan
disapa ketika ada sesuatu yang penting saja. Tapi saya menerima, saya menerima hinaan dari sekitar saya yang
tidak tahu, saya menerima untuk tidak ditanya seumur hidup saya, saya menerima untuk menahan perih setiap
kali ada dilingkungan sana. Sebab saya masih punya bagian meskipun sangat kecil dan sering terlupakan juga
sebenarnya, yaitu “Ingin Belajar”.
Saya hanya menceritakan kepedihan ini kepada salah satu sahabat saya, saya bercerita bahwa saya sering
mendoakan orang yang menyakiti hidup saya ini, tapi dia minta untuk saya berhenti mendoakannya, dia meminta
saya untuk berhenti posting-posting sedih yang ia bilang itu alay, dia bilang saya ini cuma perlu liburan. Hahaha....,
mengapa kehidupan saya menderita sekali bahkan untuk mendoakan orang yang mungkin saya cintai saja saya
harus paksakan berhenti, terkadang kata-kata di facebook dari fanspage syariah tidak selalu benar “Mencintaimu
dalam doa” , aku berhenti disini. Tapi juga saya sepenuhnya tahu kenapa teman saya sampai begitu, mungkin dia
melihat memang sudah tidak ada harapan apa-apa lagi namun ia terlalu sopan untuk mengatakan itu. Andai
sahabatku juga tahu bahwa sebenarnya saya juga tidak berharap, dengan badan segendut ini, sependek ini, dan
juga rupa yang tidak cantik tidak akan berharap banyak ada takdir yang berubah, jadi saya sejak dulu tahu diri.
Saya hanya menderita, bahkan sambil mengetik tulisan ini pun air mata saya masih jatuh.
Hey, Jude, don't make it bad
Take a sad song and make it better
Remember to let her into your heart
Then you can start to make it better
And anytime you feel the pain,
Hey, Jude, refrain
Don't carry the world upon your shoulders
For well you know that it's a fool
Who plays it cool
By making his world a little colder
Lirik lagu diatas sering sekali saya coba suarakan dalam nyanyian kesedihan disetiap pulang mengajar, namun
Fainnama'al 'usri yusro.. innama'al 'usru yusro. Sumber kekuatan saya tetaplah al Qur’an, setiap sebelum tidur
dan menangisi pedihnya hidup ini saya tidak pernah tahu dan berharap pagi itu seperti apa, apa yang akan saya
lakukan besok, apa yang akan terjadi, yang saya tahu hidup itu pahit. Pahit sekali, dan lebih baik mati, hidupku
pun tidak berarti. Masa akhir kuliahkupun berantakan sampai harus nunda sidang. Rather die dehhh tapi setiap
membaca Alqur;an air mata saya pecah lagi, sampai akhirnya saya sadar ini sudah nasib. Saya tidak boleh iri
dengan hidup orang lain yang serba mulus kisah-kisahnya. Allah selalu memberi yang terbaik buat hambanya,
saya selalu yakin dan menunggu sesuatu yang akan Allah SWT berikan sebagai pengganti air mata ini. Saya
menunggu... menungguu.....mungkin bertahan hidup dalam situasi sulit inilah rezeki yang Allah SWT beri. Dan
mungkin penerimaan dan keikhlasan adalah pembelajaran yang saya dapatkan disini, saya harus bijaksana, dan
melepaskan sesuatu adalah sebuah kebijaksanaan yang mutlak sedang kepedihan dan penderitaan adalah hal
yang normal dalam kehiupan. Yakin, seiring berjalannya waktu pasti akan berubah, seperti Heraclitus bilang :
Perubahan adalah satu-satunya hal konstan di dunia ini. Everything changes.
Dannnnn disinilah mata saya terbuka, saya mulai fokus mengajar sampai akhirnya 2 hari setelah itu baru
menyadari betapa sebenarnya tanggung jawab saya ini berat sekali. Anak murid laki-laki saya sudah mulai berani
merokok dan ironisnya di depan kelas, dan selama sebulan ada sebagian mereka sering bolos dan jarang sekali
membawa buku catatan. Ya Allah, apa yang telah saya lewatkan ? saya berfikir sejenak sedang kepala sekolah
masih begitu emosi karena mendengar anak didiknya merokok didepan sekolah.
Ya Allah, apa yang selama ini saya lewatkan ?
Ya, selama ini saya melewatkan kuliah saya, meskipun raga saya dikelas tapi hati dan fikiran saya tidak benar-
benar disini. Melayang entah kemana cita-cita ingin jadi dosen, penulis, jurnalis hilang semua karena rasa sedih
yang terlalu lama. Sehingga saat lulus, saya tidak punya sahabat yang bersedia memberikan pundaknya ketika
diri ini merasa kesepian.
Ya, selama ini pula saya tidak benar-benar serius diorganisasi, saya hanya berusaha menahan tekanan dari luar
untuk kemudian saya telan dan lupakan. Saya tidak mampu untuk benar-benar keluar dari organisasi demi
mengobati diri sendiri, saya malah memilih bertahan untuk orang-orang yang akhirnya tidak terurus bahkan
membuat surat saja masih berantakan. Ya Allah, ASTAGFIRULLAH !
Dan yang paling parah adalah saya melupakan anak-anak didik saya, saya melupakan mimpi-mimpi yang telah
saya tanami didiri mereka. Saya mengajar dan menasihati namun tak sampai kehati, sebab saya saat itu saja
hidupnya kosong. Saya telah gagal menjadi sahabat bagi murid-murid saya yang rambutnya sudah mulai pirang.
Karena saya yang hanya ada raganya dikelas, akhirnya murid saya lebih mencontoh anak-anak yang putus
sekolah dilingkungannya. Padahal dahulu saat mereka memutuskan untuk lanjut sekolah, mereka sudah sangat
bersemangat setelah sekian lamanya mereka harus putus sekolah selama setahun karena kendala biaya. Saya
sepenuhnya tidak mampu memberi hukuman kepada mereka.

Anda mungkin juga menyukai