Anda di halaman 1dari 7

“Kau, yang melukai Junghoon?

“Ya. Saya melukainya,” satu seringai muncul di bibir Junwoo sementara Ginger berusaha
menahan tak melempar dirinya untuk mencekik anak tersebut, “tapi sayang sekali dia
selamat.”

“Kau—yang membuat Oh Junghoon terbaring di rumah sakit selama berhari-hari.” Ginger


berkata berat, “kau?”

Tak ada jawaban dari Junwoo, pemuda itu hanya menatap Ginger dengan pandangan tak
mengerti. Tapi kemudian wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut, “Anda mengenal
Junghoon? Mengenal dekat?”

“Tidak.” Jawab Ginger hampir-hampir menggertakkan gigi, “mungkin dia adalah salah satu
pasienku.”

Junwoo terkekeh sebentar. “Imo,” panggilnya lembut seperti tengah bicara dengan anak kecil,
terdengar nada prihatin disana, “saya tahu Anda sedang berbohong. Saya tahu Anda
mengenal Oh Junghoon. Saya bisa melihat kebencian di mata Anda sama seperti pemuda
yang berada di persidangan itu. Saya mengenal sorot mata itu.”

“Aku tak mengenalnya, Junwoo.”

“Buktikan pada saya.”

Ginger menggeleng perlahan dan tertawa kecil, “aku tak tahu bagaimana aku bisa
membuktikan padamu bahwa aku tak mengenal Junghoon.”

“Dan kalau begitu, Anda pasti berbohong pada saya.” Kata Junwoo.

Mereka berdua saling bertatapan, tak ada yang bicara diantara mereka. Selain licik, Junwoo
adalah orang yang keras kepala. Ginger akhirnya menghembuskan nafas kalah.

“Dengar, ini semakin rumit rupanya,” Ginger berdiri mendekati meja dan memunggungi
Junwoo, ia mengetuk-ketukkan jemari diatas lapisan kayu tersebut. “Kau tak bisa berlama-
lama disini, Nak. Masa depanmu masih panjang.”

Ginger berbalik dan melihat Junwoo juga berdiri menatapnya dengan kedua tangan berada
dibalik punggung. Wajahnya terlihat menyesal tapi ia tak berkata apa-apa, jadi Ginger
melanjutkan kalimatnya, “jadi tolong, tolong sekali. Minumlah obat-obat ini, Junwoo.
Mereka akan membantumu. Paling tidak, biarkan mereka membantumu.”

“Anda dan saya punya persepektif yang berbeda tentang bagaimana mereka membantu saya,”
kata Junwoo menatap Ginger lurus-lurus. “Anda memang satu-satunya yang akan saya
biarkan untuk melakukan perawatan apapun pada saya, tapi tidak dengan mereka.”

“Junwoo mengertilah,” Ginger berusaha sekuat tenaga agar tak terdengar meminta, “kau dan
aku hanya sekali bertemu di IGD waktu itu. Aku hanya membantumu sekali, kenapa kau
bertindak sejauh ini?”

Mereka berdua terdiam, tidak ada yang berbicara atau bergerak. Kemudian bagaikan petir
menyambar belakang kepalanya, Ginger terlonjak. Semua perkiraannya tiba-tiba saling
terhubung menjadi satu. Ginger merasa dadanya bergemuruh hebat, matanya berlarian kesana
dan kemari. Ketika Junwoo bicara tentang keluarganya, tentang suaminya, bahkan masa
lalunya, Ginger masih belum mengerti kalau informasi yang di dapat pemuda itu lebih dari
apa yang internet bisa lakukan. Tapi kemudian mereka membicarakan kehidupan SMA
Junwoo dan Junghoon, Ginger baru sadar. Jika Junwoo bisa tahu tentang jabang bayinya
yang tak sempat mampir kedunia, harusnya Ginger juga paham kalau Junwoo sudah tahu apa
hubungannya dengan Oh Junghoon saat ia pertama kali menyebut nama anak itu.

“Kau...” bisik Ginger sambil menggeleng perlahan, “kau merencanakan semua ini.”

“Sebetulnya dibilang ‘rencana’ itu terlalu dibesar-besarkan,” kata Junwoo tersenyum samar
dengan pandangan tak lepas dari wanita tersebut, “saya hanya akan bilang kalau semua itu
hanya kebetulan.”

“Kebetulan,” beo Ginger dan Junwoo mengangguk setuju. Masih dengan senyum yang sama,
Junwoo melanjutkan,

“Saya hanya mencari tahu siapa Anda karena saya berterimakasih Anda telah menolong saya
di IGD waktu dulu. Lalu saya menemukan banyak hal, sahabat-sahabat Anda, contohnya
yang sedang berdiri dibalik pintu sekarang,” Junwoo mengerling sebentar begitu pula juga
Ginger. Bayangan Jaebum masih berada disana dengan punggung bersandar di pintu tak lagi
membuat Ginger tenang, “atau perawat yang—saya benar-benar sangat menyesal—harus
kena pukulan saya. Perawat Jinyoung.”

“Aku mungkin bahkan tak perlu memberitahumu tentang Jimin unnie, bukan begitu?”
“Perawat Jimin datang setidaknya sebulan sekali untuk para lansia dengan gangguan mental
di ruang rekreasi. Saya tentunya tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.”

“Junwoo, you are better than this,” kata Ginger menghela nafas sebentar dan bersandar ke
meja selagi pemuda itu bergerak mendekat. “Kau menggunakan kelebihanmu di tempat yang
salah, Junwoo. Aku sudah melihat banyak sekali orang hidup dalam dendam mereka, dan tak
ada satupun dari mereka yang berakhir bahagia.”

“An eye for an eye, and a tooth for a tooth.” Junwoo berdesis.

“Kau tahu aku tak menyukai kalimat itu, meskipun dengan fakta mereka ada di kertas kitab
suci.”

Kejadian selanjutnya terjadi begitu cepat. Tangan kanan Junwoo melayang ke arah Ginger,
namun wanita itu lebih cepat menangkisnya membuat meja bergerak berlebihan dan satu
gelas jatuh ke lantai. Tapi karena terlalu fokus pada serangan pertama, Ginger melewatkan
sebelah tangan Junwoo yang lain. Yang dirasakan oleh Ginger sekarang hanyalah perih
menjalar di bawah mata kanannya dan cairan pekat berbau besi mulai meleleh di pipi Ginger.

Mereka berhenti sebentar, Ginger mengusap pipinya yang bersimbah darah hingga menetes di
lantai dan mengerling pisau metal yang kini sudah terpercik warna merah darah.

“Darimana kau mendapatkannya?” Ginger mengangkat kedua tangan dan bergerak menjauhi
meja.

“Pagi ini,” Junwoo mengulurkan tangannya seperti mengancam menusukkan pisaunya lagi.
“Menunya steak daging.”

“Junwoo, berhentilah.” Kata Ginger sambil melangkah menjauhi Junwoo membuat pemuda
itu memunggungi pintu kamar. “Kau tahu kau tak ingin melakukan ini. Berhentilah Junwoo,
Eun Soo sudah tenang disana.”

Nafas Junwoo semakin cepat, dadanya naik turun dan pandangannya semakin bengis. Ginger
harus mengakui lukanya cukup dalam dan darah mulai mengalir ke lehernya, tapi dia tak bisa
melumpuhkan anak ini. Bagaimana pun Junwoo tersesat, harus ada yang menolongnya.

“Junwoo—”
“DIAM!” bentak Junwoo, kali ini mengarahkan pisau tak ke mata tapi ke leher Ginger,
“Anda harus tahu bagaimana rasanya! Anda harus tahu sakitnya penderitaan yang saya
alami!”

Junwoo mengacungkan pisaunya, tapi Ginger menggeleng.

“Junwoo.” Kata Ginger. “Biarkan aku membantumu.”

“Anda akan membantu saya?” tiba-tiba nada Junwoo melembut dan Ginger mengangguk
pelan.

Junwoo terlihat berpikir sejenak dan menurunkan lengannya, Ginger memandang jauh diatas
kepala pemuda itu. Junwoo mengangguk pelan dan bicara pada dirinya sendiri, “ya, ya. Anda
bisa membantu saya. Tentu saja! Anda yang saya cari selama ini.”

Junwoo memandang Ginger tiba-tiba penuh semangat. “Junghoon telah mengambil sesuatu
yang berharga dari saya. Ketika saya mencoba menyakiti gadis bodoh itu, tidak ada yang
terjadi. Dia saja tak cukup...”

Ginger menegang dalam diamnya, pikirannya langsung mengarah pada putri semata wayang
keluarga Choi. Senyum Junwoo melebar, tapi itu bukan tanda kebahagiaan. Ginger bisa
melihat kesedihan, amarah serta kesepian tercampur di wajah Junwoo. Pemuda itu mulai
terkekeh perlahan.

“Anda. Tentu saja. Saya harus mengambil Anda dari hidupnya. Maka semuanya—” Junwoo
mulai melayangkan lagi pisaunya, “AKAN IMPAS!”

Epilogue

Ginger masih menutup mata dan menyandarkan belakang kepalanya ke dinding ambulan.
Terkadang tubuhnya ikut terguncang saat mobil melewati jalanan yang tak rata. Nyeri
dibawah mata kanannya sudah mulai membaik, jadi sekarang ia memikirkan alasan masuk
akal yang akan ia berikan pada suaminya saat pulang kerja nanti. Seungho tidak akan suka
melihatnya pulang dengan dua jahitan dibawah mata, jadi mengarang alasan—diserang
seorang pemuda gangguan emosional dengan pisau steak itu bukan kalimat yang
menyenangkan—yang cukup membuat Seungho tak perlu ingin tahu lebih lanjut akan
membutuhkan waktu.

Namun faktanya, selain Seungho sepertinya ada satu orang lagi yang harus ditenangkan
pikirannya.

Wanita itu menajamkan pendengarannya. Tak ada suara lain lagi selain suara-suara mobil
menderu di luar sana dan gumaman lembut radio yang dinyalakan supir ambulan malam ini.
Jadi ia membuka pelan-pelan satu matanya sambil berucap,

“Are you done?”

Ia bertanya pada Jaebum, sahabat sekaligus teman kerja yang kini duduk diseberangnya
dengan wajah setengah marah. Ginger tak bisa bilang itu wajah amarah terbaik milik Jaebum
karena dia sudah pernah melihat bagaimana pemuda itu kehilangan emosinya, jadi setengah
marah dibilang cukup pantas menamai pandangan Jaebum sekarang padanya. Pemuda itu
nampaknya sudah selesai mengeluarkan kata-katanya dari mulai keluar dari kamar Junwoo
hingga masuk ke ambulan yang menjemput mereka.

“Kau lihat apa yang sudah kau lakukan?” desis Jaebum marah dan Ginger memutar matanya
malas. Kata-katanya barusan hanya membuat Jaebum membuka mulutnya untuk
mengeluarkan keberatannya lagi, “’hanya butuh bicara’? Hah! Kau tahu dia tidak stabil,
Ginger! Kenapa kau harus keras kepala dan membiarkan dia melukaimu!”

“Kau sudah menceramahiku sejak dokter Jung Soo Yeong menjahit lukaku. Aku hampir hafal
yang kau katakan, Jaebum. Berhentilah mengomel karena aku sudah disini sekarang!” Ginger
ikut-ikutan dongkol. Ia menghembuskan nafas agar tak memicu pertengkaran diantara
mereka. Ginger menatap Jaebum yang masih menunjukkan pandangan khawatir, jadi ia
tersenyum sambil berkata, “aku masih berterimakasih kau sudah menolongku.”

Sebelum Junwoo berhasil menancapkan pisaunya, Jaebum mendobrak masuk bersama


Jinyoung dan dokter Jung dan ia langsung menyergap anak itu dari belakang. Jaebum
membelalak terkejut melihat Ginger bersandar di dinding dengan wajah bersimbah darah.
Jinyoung segera membawa Ginger keluar dari kamar sambil menekan lukanya saat dokter
Jung menyutikkan obat penenang pada Junwoo.

Dokter Jung berhasil membuat Junwoo tidak sadarkan diri dan lalu menyuruh beberapa
petugas dan perawat yang lain untuk memindahkan Junwoo ke ruangan lain yang dia tak bisa
jelaskan pada Jaebum dan Ginger. Setelah dokter rambut pirang itu melihat luka Ginger, ia
memutuskan untuk menjahitnya karena pisau itu menggoresnya cukup dalam. Sejak saat itu,
Jaebum tak berhenti memarahi Ginger dan perawat wanita itu juga terus memberikan
senyuman maklum pada dokter Jung.

Kembali ke bagian belakang ambulan, kedua orang disana terdiam cukup lama. Mungkin
membatasi diri agar tidak saling melempar kata dan emosi. Ginger lalu memilih topik yang
lain karena dia tak bisa hanya duduk diam dengan Jaebum.

“Dia yang melukai Junghoon.” Kata Ginger pelan.

“Aku tahu, aku mendengarnya.” Jaebum menghela nafas panjang sambil menyandarkan
tubuh lebih nyaman ke punggung kursi penumpang. “Dia berbahaya.”

“Dia hanya tersesat, Jaebum. Situasi di sekitar tak membantunya untuk sembuh.”

“Tidak ada tempat terbaik selain pusat rehabilitasi itu, Ji. Dia melakukan semua tindakan
kriminal itu karena ada sesuatu yang sudah tak bisa diperbaiki pada jiwanya. Kau tahu dia tak
akan kembali sembuh seperti para pasien di rumah sakit.” Kata Jaebum yang kini nadanya
sudah jauh lebih tenang, lelaki itu menatap sahabatnya lekat-lekat. Jaebum hafal betul sudah
perasaan Ginger sekarang, bagaimana jika ia dihadapkan pada fakta ia tak mampu menolong
seseorang. Jaebum lalu membugkukkan tubuh dan merentangkan lengan untuk menyentuh
punggung tangan Ginger, membuat atensi wanita itu beralih menatapnya.

“Kau tak bisa menolongnya, Ginger.”

Ginger tak mengatakan apapun, ia mengalihkan pandangan pada tangan hangat Jaebum yang
menggenggamnya. Perkataan Jaebum ada benarnya, tidak, perkataannya benar seluruhnya.
Lim Junwoo sudah jatuh pada jurang dalam, ia tak akan bisa merangkak kembali. Tak ada
dinding untuk merayap pulang, tak akan dasar yang menangkapnya jatuh. Wanita itu
mengangguk samar. Ia membiarkan tangan Jaebum mengelusnya, memberikan ketenangan
sementara yang Ginger butuhkan.
“Berjanjilah padaku kau akan merahasiakan ini dari suamiku.”

“You ruined the moment!” kata Jaebum kesal dan menarik cepat tangannya dari Ginger,
sementara wanita itu terkekeh, “kau menyalah artikan kebaikanku!”

“Ayolah, Jae. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu.” Ginger memohon sambil memasang
wajah memelas terbaiknya. Lelaki itu nampaknya mau tak mau menuruti keinginan
sahabatnya, tapi dengan satu syarat.

“Kau akan membelikanku sekotak donat dan segelas kopi, tidak, kopi kapan pun aku mau,
kalau kita berjaga shift yang sama dalam minggu ini.” Kata Jaebum tersenyum licik. Ginger
mengangkat kedua alisnya, sementara Jaebum masih dengan wajah take-it-or-leave-it nya.
Maka dengan dengusan tawa, ia menjawab,

“Deal.”

Anda mungkin juga menyukai