Anda di halaman 1dari 4

"Poison, ayo keluar denganku sekarang.

"

Poison, si pemuda berambut hitam itu, hanya mengangkat wajahnya sebentar dari
mikroskopnya. Ia memandang wajah Killer Claws lalu terkekeh pelan, kembali
memusatkan pikiran ke mikroba dibawah lensa mikroskop. Tak terganggu dengan
ajakan wanita cantik di seberang mejanya.

Merasa tak mendapatkan balasan, maka Claws lalu berjalan memutari meja
menghampiri Poison. Ia mendorong pundak Poison, membuatnya menjauh dari
mikroskopnya. Tentu saja langkah ang ahli biologi itu terkejut sebentar,

“Ap—”

“Terkadang bergaul dengan plankton tak membuatmu semakin pintar, Jirongie.”

Lalu Claws mencengkeram kerah kemeja Poison, menabrakkan bibirnya dengan


pemuda itu. Ciuman itu menuntut, tak sopan dan bergairah. Posion tersenyum dalam
sela-sela lumatan bibir Claws padanya, ia menarik berani pinggang mungil Claws
sementara wanita itu mulai mengeluarkan ujung kemeja Poison yang rapi dibalik
sabuknya. Poison akan melempar jas putih labnya dan melanjutkan kegiatan mereka ke
tingkat yang lebih tinggi kalau saja tak ada suara pintu terbuka dan orang berkata
dengan suara berat,

“Oh astaga, ini laboratorium, kawan-kawan. Bukan motel.”

Tentu saja itu membuat keduanya melepaskan ciuman panas mereka, tapi tak
menjauhkan tubuh mereka dari satu sama lain. Saling berpandangan geli sebentar,
Poison melihat siapa saja yang baru masuk; Jeff dan Blizzard. Poison melemparkan
senyum miringnya kepada Jeff yang menyilangkan tangan di depan dada menunggu
kedua tersangka itu meminta maaf. Namun, Poison tetaplah Poison yang selalu
mengganggu Jeff lahir dan batin.

“Aku tak mau meminta maaf, hyung,” kata Poison kekanakan, saat Claws melepaskan
diri sambil terkekeh pelan. “Aku boleh mencium pacarku dimanapun dan kapapun.”

Jeff mengangkat satu alisnya dan mengarahkan pandangan pada Claws, sementara
wanita itu hanya melompat duduk di tepi meja dan menunjukkan wajah tak bersalah.

Blizzard tak tertarik dengan Jeff yang tengah menegur kedua anggotanya, Claws dan
Poison memang terkenal suka make out dimanapun, jadi menurut Blizzard, tak ada
gunanya Jeff menghabiskan waktu hanya untuk menceramahi Poison tidak
mencecerkan sperma dimana saja.

“Hei, Bliz, mau keluar?” tanya Poison, sepertinya sudah selesai mendengarkan ceramah
Jeff dengan hanya berkata ‘ya, hyung’, ‘salahkan hormon’, dan ‘cari pacar sana!’
Pemuda berparas campuran itu hanya mengangguk, diantara keempat orang disana,
Blizzard adalah anggota paling tak banyak bicara. Tapi Jeff tak akan menanyakan
bagaimana ketangguhannya di lapangan, dia mengagumkan. Atasan sendiri percaya
bahwa setelah Jeff—si Soul Snatcher—Blizzard anggota tak manusiawi nomor dua kalau
sudah urusan habis-menghabisi.

“Apa kau mau kencan lagi, Markie?” kata Claws dengan suara tingginya, menggoda.
Blizzard yang masih sibuk menaruh beberapa senjata di rak-rak tak menjawab,
membuat Claws tertawa pelan.

“Mau bertemu dengan perawat itu lagi?” kali ini suara Jeff. Blizzard tak bisa
mengacuhkannya, jadi ia menoleh pada Jeff.

“Kau tahu.” Mark tak bertanya, dia menyatakan. Jeff hanya mengangkat kedua alisnya
sekilas dan menghela nafas.

“Maaf, protokol.”

Protokol sialan. Kedongkolan Mark dilampiaskan dengan menaruh salah satu senjata
agak keras pada pegangannya. Agensi bisa saja lebih tahu apa yang tidak diketahui
Mark tentang Ginger, dan itu mengganggunya. Ia telah berusaha, sekuat mungkin,
untuk tidak mendekati Ginger dengan banyak informasi yang didapatkan karena itu
akan sangat tidak sopan. Mark berusaha mendekati Ginger layaknya seorang pemuda
yang mengaguminya, tapi Agensi menghancurkannya.

Di sisi lain, Mark setengah mati menahan keinginan untuk bertanya pada Jeff apa yang
mereka sudah tahu.

“Seorang gadis menarik, Mark. Kau memilih gadis yang tak biasa,” kata Jeff lagi. Mark
masih marah padanya.

“Aku tak memilihnya.”

“Kau bertemu gadis yang tak biasa, Markie,” cicit Claws begitu senang. “Senangnya lihat
Jack Frost kita sudah menemukan Elsa-nya!”

Ginger berjalan dari kamar ganti perawat dengan ringan, shift nya yang melelahkan
sudah berakhir dan dia ingin sekali pulang lalu berendam air hangat mengingat besok
dia dapat jatah libur. Rumah Sakit sudah sangat sepi pukul setengah sepuluh begini,
begitu kontras kalau dibandingkan dengan pagi hari apalagi dengan hari libur. Padahal
sama-sama malam, tapi Ginger selalu merasa keadaan malam Rumah Sakit pada akhir
minggu itu sangat sepi. Yeah, siapa yang mau menghabiskan Friday night mereka di
rumah sakit?

Ginger Goodwin jawabannya. Dan para perawat serta dokter jaga yang lain.

Saat ia keluar dari lift dan berjalan ke lobi, Ginger menangkap pemandangan seorang
pemuda yang familiar untuknya. Pemuda tinggi dengan rambut perak dengan aksen
putih berantankan seperti musim dingin, membawa sebuket bunga Anyelir dan Lily
tengah kebingungan mencari seseorang, dia sudah berdiri di konter penerimaan tamu
tapi tak ada seorang pun disana. Dengan langkah berhati-hati sambil mengingat-ingat,
Ginger mendekati pemuda yang melongok ke balik konter tanpa penunggu itu.

“Selamat malam,” kata Ginger, tentu saja itu membuat si pemuda berjengit dan segera
membalikkan badan. Ginger melemparkan senyum meminta maaf membuatnya
terkejut, “Mark... Ya? Mark Tuan?”

Si pemuda tersenyum lega, entah kenapa, saat Ginger menyebutkan namanya.

“Ya, ini aku.” Katanya, Ginger mengangguk mengerti. Gadis itu lalu mengerlingkan
pandangan pada buket yang Mark bawa.

“Kau mau menjenguk seseorang?” tanyanya. Mark mengangguk dengan wajah


menimbang-nimbang, ia menoleh pada konter dan menunjukkan dengan ibu jari,

“Kemana semua orang?” tanya Mark balik. Ginger hanya menggeleng dan
menggidikkan bahunya.

“Aku juga baru turun.” Kata Ginger.

Mark mengangguk mengerti, ia lalu bercerita pada Ginger kalau ia sebenarnya ingin
menjenguk seseorang tapi ia tak tahu dimana koleganya itu dirawat. Ginger lalu
menawarkan bantuan dengan berkata bisa mencarikan nama pasien yang dimaksud
pada database komputer penerima tamu.

“Apa boleh?” tanya Mark mengerutkan kening, “kau ‘kan perawat?”

“Aku pernah bekerja dua bulan di meja ini sebelum naik ke lantai bedah.” Kata Ginger
tersenyum pada Mark lalu menyalakan monitor PC, “boleh aku tahu siapa nama
pasiennya?”

“Wang. Jackson Wang.” Kata Mark cepat, ia kembali melongok ke konter berusaha
melihat apa yang dibaca Ginger di PC.
“Wah, sepertinya kau telat sehari. Jackson Wang sudah keluar dari rumah sakit kemarin,
dari bangsal penyakit dalam,” kata Ginger membaca monitor, ia lalu mendongak pada
Mark yang kini berwajah setengah kesal dan terbohongi. Ginger tertawa sambil
mengembalikan aplikasi PC seperti sebelumnya dan mematikan layar komputer.

“Seharusnya kau tanya dulu pada teman-temanmu yang lain, kasihan kau sudah repot-
repot kesini.” Kata Ginger. Mark lalu mendengus sebal, berkata kalau teman-temannya
sudah sering mengatakan joke macam begini.

“Bunganya sia-sia dong.” Kata Ginger saat ia sudah keluar dari konter dan mendekati
Mark. Pemuda itu mengangguk setuju, ia lalu memandangi lamat-lamat buket itu,
kemudian tersenyum miring.

“Tidak.” Katanya mantap, ia lalu menyurungkannya pada Ginger, “ini untukmu saja.”

“Oh terimakasih!” Ginger menerimanya dengan senyum manis, ia membawa bunga itu
untuk menghirup aromanya. Ia berkata kalau bunganya membuat rileks.

“Kau mau pulang?” tanya Mark.

“Iya, barusan jam kerjaku selesai.”

“Mau pulang denganku?”

Ginger terkejut dengan tawarannya, ia baru kenal Mark beberapa hari setelah pemuda
itu masuk Emergency Care dan beberapa kali kemari untuk chek up. Mark totally
stranger untuk Ginger dan dia menawarkan untuk pulang?

“Aku bukan orang jahat,” kata Mark seakan bisa membaca pikiran Ginger sambil
terkekeh dan menggosok tengkuknya kikuk. “Akan lebih berbahaya seorang gadis
pulang sendirian malam-malam. Kau tak tahu apa yang bisa kau temui di luar sana.”

Ginger tersenyum, “tentu saja. Tapi aku belum makan malam—mau temani aku dulu?”

Anda mungkin juga menyukai