Anda di halaman 1dari 10

INTERSTELLAR

Karya sebuah kisah..


Tentang perseteruan yang memutuskan tali darah persaudaraan
Tentang ikatan suci yang hancur oleh sebuah tragedy
Tentang mereka yang memiliki tekad sekokoh baja
Dan cita-cita seluas angkasa raya
Hanya sebuah cerita belaka
Yang menggambarkan dua kisah bersaudara
Yang akan melambangkan bintang
Dan apa yang ada diantara bintang-bintang
Ruang latihan pedang itu cukup luas. Mungkin bisa menampung ratusan prajurit untuk
berbaris rapi di dalamnya. Tapi untuk saat ini hanya ada seorang pemuda dengan surai coklat
hazel yang tengah berlatih sendirian. Ditemani hambusan angin akibat tebasan pedang
dengan satu sisi tajam scimitar di tangannya.
Ia berhenti saat suara ketukan pintu besar menggema, mengusik fokusnya sesaat. Sebelum
ia tahu ia tahu siapa yang berani mengganggu latihannya. Orang suruhan kakaknya.
“Masuk!” Perintahnya.
Tak lama kemudian seorang pria dengan seragam formal membuka pintu. Sedikit
menunduk hormat sebelum mengatakan tujuan kedatangannya.
“”Maaf mengganggu waktu Voivode, Yang Mulia meminta anda untuk menemuinya di
ruang bersantai.”
Pemuda itu menghembuskan nafas pelan,”katakan padanya aku segera dating.”
“Baik, saya permisi.” Pria itu segera hilang dari balik pintu besar setelah membungkuk
hormat terlebih dulu.
Pemuda itu menghela nafas. Memikirkan kemungkinan dari alasan pemanggilannya.
Pertama kakaknya itu akan memerintahkannya ini-itu, sesuatu yang merepotkan dan
seringkali tak penting. Atau yang kedua, dia akan disuruh duduk menemani kakaknya dan
kemungkinan terakhir dia harus melakukan dua-duanya.
Ia menepis semua pikiran anehnya itu jauh-jauh, berjalan keluar setelah menyarungkan
scimitarnya kembali. Bersiap menemui kakaknya.
Seorang pemuda tengah duduk santai di taman dalam ruangan berdinding kaca. Di luar
sana terlihatdedaunan musim gugur berjatuhan menutupi tanah. Sehingga Nampak seperti
karpet alam yang indah dengan gradasi jingga-kuning. Pintu ruangan itu terbuka,
memperlihatkan pemuda lain dengan wajah lumayan mirip dengannya, sang adik.
“Kau lama,” ujar pemuda yang tadi menunggu.
Pemuda yang baru dating hanay menatapnya datar, berjalan menuju kursi di depan
kakaknya. Lalu duduk setelah melepas jubbah jubbah sewarna tanahnya.
“sepertinya kau berlatih dengan keras lagi. Bukankah sudah kubilang jangan memaksakan
diri?” Interogasi sang kakak.
“Sepertinya kau juga perlu cermin.” Sahut sang adik.
“sejak kapan kau berbicara tak sopan seperti ini pada kakakmu?”
“dan kakak mana yang menyuruh adiknya keluar dimana suhu udaranya super dingin
seperti ini?”
Sang kakak hanya tersenyum licik mendengarnya,”kau peka sekali kalau aku akan
menyuruhmu keluar conolvis.”
Conolvis mendengus jengah, manik hazelnya menelisik pakaian yang dikenakan sang
kakak, tak wajar untuk musim peralihan dengan cuaca dingin seperti ini. Dia hanya memakai
kemeja satin dan celana hitam tipis. Juga sepatu boot sebetis. Tidak lebih.
“kau tidak sedang berniat untuk mati kedinginan bukan?”celetuk Conolvis.
Galbarent, Sang kakak yang saat itu sedang meneguk cairan bening dari gelasnya sontak
melempar adiknya dengan tatapan kaget.

@@@@@
-CONOLVIS-
“Hei ucapanmu jelek sekali.” Semburnya.
“kalau begitu apa-apaan dengan pakaianmu-“ Kalimat Conolvis terputus saat ia baru saja
menyadari sesuatu. Pandangannya menyorok tak suka pada gelas yang dipegang kuat oleh
kakaknya, tepatnya pada isi gelas kaca itu yang berupa cairan bening mirip air minum
biasanya, namun yang satu ini beda.
“Kau minum ‘itu’ lagi,”Mata Conolvis menatap tajam Galbarent. Meminta penjelasan.
“Ah, ketahuan ya?” Bukannya menjawab adiknya, Galbarent malah balik bertanya, seulas
senyum tipis menghiasi wajahnya.
“Botol ke berapa?” Tanya Conolvis lagi.
“Keempat untuk hari ini,” Galbarent menjawab dengan santai. Conolvis menghela nafas
panjang.
“Ayah tak akan suka mendengarnya.”
Air muka Galbarent berubah seketika,”jangan memberitahunya.” Ujar Galbarent, ia
berbisik pelan. “Biarkan Ayah tenang di sana.”
Conolvis diam, merasa bersalah mengatakan hal yang berkaitan dengan Sang Ayah yang
telah tewas 2 tahun silam. Membuka luka lama Sang kakak.
Ekspresi Galbarent berubah cepat kembali tersenyum hangat. Tangannya bergerak lincah
hendak menuang white wine ke gelas, namun dengan cepat Conolvis mencegahnya. Ia
merebut gelas kaca dari tangan kakaknya.
“Hei!?”
“Sudah cukup untuk hari ini.” Ujar Conolvis.
“Aku baru meminumnya sedikit.” Galbarent tidak terima, tangannya berusaha menggapai
gelas kaca yang di bawa adiknya.
“Kurasa 4 botol itu terlalu banyak untuk dibilang sedikit, sudah cukup! Kau mabuk berat
sekarang.”
“Aku tidak mabuk!”
“Tidak ada orang mabuk yang sadar bahwa dia mabuk!”
“sudah kubilang cepat kembalikan!”
“Tidak akan!”
“Katakan saja jika kau iri tak kuat meminum sebanyak aku!” Cibir Galbarent kesal.
Conolvis mendelik tak terima ucapan kakaknya.
“Benarkan? Kau akan langsung tertidur hanya dengan segelas anggur merah, lalu bangun
sambil muntah hebat. Lambungmu memang tidak kuat.” Galbarent menyeringai penuh
kemenangan ketika melihat ekspresi adiknya yang berubah masam.
Conolvis dengan cepat menuangkan isi white wine yang baru saja ia ambil dari tangan
kakakknya, kemudian meneguknya sampai habis.
“Hei..hei..”Galbarent memandang adiknya terkejut.
Bagaimana tidak, pasalnya adik satu-satunya itu sama sekali tak pernah menyentuh wine,
bir, atau sejenisnya. Seingatnya Conolvis hanya sekali meminum dan itupun terpaksa, saat
acara penobatan raja itupun berakhir tragis dengan terbaringnya Conolvis di ranjang selama 1
minggu.
Conolvis meletakkan gelas ke meja setelah selesai meneguk cairan bening itu sampai
tandas tak tersisa. Tapi sepertinya itu bukan hal yang bagus untuk tubuhnya.
“Dasar gila!!”Ujar Galbarent. Ia masih tak percaya dengan kelakuan nekat adiknya.
“Tubuhmu bisa shock dengan kelakuan sembronomu itu!!”
Benar saja terlihat jelas muka Conolvis yang memerah dengan cepat, nafasnya ikut
menderu kencang,tapak kakinya mulai lemah tidak kuat berdiri tegap, tubuhnya pun mulai
terasa panas.
“sepertinya kau akan sakit sebulan penuh saat musim dingin nanti.”
Conolvis memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. Ia mulai mual, seakan seluruh isi
perutnya berontak ingin keluar tapi ia tahan mati-matian karena rasa gengsinya yang tinggi di
depan Galbarent.
“Hei kau baik-baik saja?” Tanya Galbarent, tersirat kekhawatiran di nada bicara
Galbarent.
Yang ditanya menggeeng pelan. Jujur Conolvis tak bisa mendengar jelas ucapan
Galbarent. Kepalanya yang semakin berdenyut dan nafasnya yang mulai tak beraturan
membuatnya oleng sebentar ke tanah.
Galbarent hendak bangkit saat tubuh Conolvis mulai tumbang, namun Conolvis lebih dulu
mencegahnya. ‘Aku bisa berdiri’ itu raut wajah Conolvis yang berhasil ditangkap Galbarent
saat detik-detik adiknya mulai tumbang.
“Mau kemana?’ Tanya Conolvis setengah sadar, nyaris sebagian syarafnya mati rasa
karena alcohol yang nekat diminumnya.
“Memanggil dokter, kau tidak akan kuat menahan mabuk alcohol.” Sahut Galbarent.
“ku tidak sakit.”
“Belum, kutebak kau benar-benar akan terbaring di ranjang selama musim dingin nanti.
Aku tak habis piker kau jadi senekat ini.”
Entah apa yang lucu, Conolvis tiba-tiba tersenyum kecil. “Tidak, aku baik-baik saja, kau
bilang mau menyuruhku keluar kan, aku akan keluar sekarang.”
“Siapa orang bodoh yang menyuruh orang mabuk berat untuk berpatroli di luar?”
“Akan kulakukan.” Conolvis berdiri, tubuhnya otomatis terhuyung membuatnya harus
berpegangan kuat pada meja sebelum benar-benar terjatuh.
“Aku baik-baik saja.” Ujar Conolvis nyaris berbisik.
“Oh katakana saja itu pada benteng di luar sana.” Geram Galbarent. Galbarent menarik
tangan Conolvis berniat membawanya ke mansion.
Sedetik setelahnya Galbarent merasakan tubuhnya melayang sebelum menghantam lantai
batu, Conolvis membantingnya dengan cepat kemudian merebut kunci yang dikalungkan di
leher kakaknya. Dengan sisa kesadaran yang ada Conolvis berlari cepat keluar dari ruang
kaca itu, meninggalkan Galbarent yang meringis kesakitan sambil mengumpat atas kelakuan
adiknya yang tak beradab itu.
@@@@
Semak belukar terbelah seiring melajunya kuda berbulu kelam itu. Menebas keheningan
hutan musim gugur di senja yang mulai memerah di ufuk barat sana.
Conolvis menarik tali kekang kudanya tanpa perhitungan, mengakibatkan kuda yang ia
tunggangi meringkik kaget. Pemuda bernetra hazel itu segera berlari ke pepohonan terdekat
perutnya berguncang lebih parah, mengacuhkan kudanya yang berlarian meninggalkan
tuannya.
“Ahakk!!!!” Conolvis memuntahkan isi perutnya. Tangan kirinya mencengkram kuat kulit
kasar pohon, menahan beban tubuhnya yang limbung oleh pengaruh alcohol.
Ia menggelengkan kepala kuat, hendak mengusir baying-bayang aneh yang menghatuinya
membuat kepalanya semakin terasa berat.
Ia memaksa kakinya yang berat untuk melangkah. Kemanapun. Tak peduli. Asalkan ia
melangkah setidaknya ia bisa merasa bebas untuk sejenak tanpa belenggu gelar, ataupun
bayang-bayang ekspetasilangit dari orang sekitarnya.
Ya, untuk saat ini, ia berhasil keluar dari penjara emas yang selalu ia benci.
Conolvis mendongak. Kepalanya sungguh pening pandangannya buram dan kabur
sebelum akhirnya tubuhnya rubuh diantara dedaunan musim gugur. Bersama dengan
terbenamnya surge.
Padahal baru saja ia berhasil bebas. Nyatanya takdir tak membiarkannya lepas.
@@@@
Mata hazel conolvis mengerjap pelan, sinar surya yang berebut melewati celah-celah
dedaunan menjadi hal pertama yang dilihatnya. Ia menyingkirkan selembar kain yang
menyelimuti tubuhnya. Bergerak hendak duduk, namun terhalangi oleh sebuah sengatan di
kepalanya. Membuatnya kembali terbaring sembari memegang erat kepalanya.
“kau sudah bangun ruapanya.”
Conolvis membuka mata, mencari sumber suara ia mengernyit, mencoba memfokuskan
pandangannya pada sesosok buram. Di benaknya ia mulai menebak siapa orang itu.
“kau bisa bangun?” Tanya sosok itu.
Tanpa menjawab, conolvis dengan cepat bangun. Mensiagakan diri. Meski tubuhnya
sempat limbung karena terlelu memaksakan diri.
“jangan banyak bergerak dulu,” sosok itu membantunya kembali duduk. Bersandar pada
pohon yang tengah meranggas di belakangnya.
“minumlah ini dulu,” ia menyodorkan sebuah botol kulit.
Netra hazel Conolvis menatapnya curiga. Menelisik maksud sosok di depannya itu.
“tenang saja, aku tak berniat meracunimu.”
Conolvis menerima botol itu ragu, sesekali melirik sosok tadi yang masih setia tersenyum
padanya. Hidungnya mencium bau kuat dari botol. Sedikit meyakinkan untuk segera minum.
“bagaimana? Sudah baikan?”
Benar, pemuda ermanik hazel itu merasa lebih baik. Sepertinya pengaruh alcohol yang
kemarin ia minum mulai pudar.
“sepertinya kau terlalu banyak minum ya? Aku menemukanmu pingsan tak jauh dari sini.
Kondisimu juga buruk. Kau muntah-muntah dan mengingau tak jelassaat kupindahkan dan..”
“tak perlu diteruskan.” Potong conolvis cepat. Tak sanggup mendengar betapa
memalukannya dia saat mabuk. Sampai terkadang ia heran sendiri kenapa kakaknya tidak
pernah mabuk walaupun minum 4 botol lebih banyak dari dirinya.
Sosok itu terkikik pelan,”maaf. Jadi kau siapa? Sepertinya bukan dari sini.”
“Cuma pengembara biasa. Aku tersesat, disini.”
“Ah, kau berada di wilayah perbatasan Crossaven. Disini sedikit berbahaya. Dari
penuturanmu, sepertinya kau tak tahu wilayah disini, mau ikut denganku ke kota? Setidaknya
di sana lebih aman. Bagaimana?”
Conolvis berpikir sejenak. Beberapa pikiran negative hadir di benaknya.
“Apa aku bisa percaya pada orang bahkan tidak aku tahu namanya?”sindir conolvis tajam.
Lagi-lagi sosok itu tertawa pelan,”baik, ternyata kau orang yang penuh kecurigaan.
Kenalkan aku Hatim, panggil saja begitu. Aku pengembara sepertimu. Jadi kau siapa?”
“Smith.” Sahut Conolvis mengarang.
“itu bukan nama samara kan?”
Conolvis menatapnya sedikit terkejut, kemudian kembali menetralkan raut wajahnya.
Menyorotnya dingin.
“baik. Aku percaya.” Hatim bangkit.”kita akan pergi setelah aku sholat.”
“Apa?”
“sholat.” Ulang Hatim. “semacam ibadah, mungkin seperti misal jika kau Kristen.”
Jelasnya saat membaca raut penuh tanda Tanya di wajah Conolvis. Pemuda itu tak pandai
mengondisikan ekspresinya. Meski terkesan dingin, piker hatim.
“Oh.” Conolvis memalingkan wajah.”kalau begitu cepatlah.”
“baiklah.”
Conolvis, pangeran agung kerajaan Crovenhole itu tak pernah tahu, bahwa kelakuan anak
kecil ‘kabur dari rumah’ nya itu akan menciptakan efek domino dasyat bukan hanya baginya.
Tapi, bagi sejarah di masa depan.
HAZEL TAN: The Midnight School
“Teng..teng..teng”
Sebuah jam berdenting tiga kali, menandakan bahwa rembulan tengah penuh dalam
pekatnya malam. Begitu pula dengan hari yang berada dalam fase pergantian. Tepat sau detik
setelahnya.
“Krieett..drap..drap..drap..”
Sebuah pintu terbuka, menampilkan keberadaan seorang gadis muda yang sedang
menyibukkan rambut dengan mata sembab karena bangun tidur. Ia melangkah menuju sebuah
sofa yang terletak tepat di tengah ruangan. Ia memutuskan untuk duduk disana,
mengumpulkan kesadaran dan nyawa sesekali mengambil kudapan di depannya.
Hening, hanya ada suara kudapan yang ia kunyah pelan. Ia sendiri di ruangan, sampai
akhirnya ia mengambil segelas air dari teko. Langsung saja cairan kehidupan itu mengalir
menyejukkan kerongkongannya.
“Apa yang kau lakukan?”
“ Uhuk! Bu?”
Spontan ia menoleh ke belakang, tepat dimana ia merasa sumber suara berasal. Nihil, ia
ingat di ruangan itu hanya ada dia seorang diri.
“Kamu lalai, tidakkah kamu sadar!” suara itu tiba-tiba bersemilir di telinga gadis muda
yang tengah berjaga dari ketakutannya.
Ia menoleh ke samping, tidak, itu bukan suara ibunya. Suara itu berat menusuk rungunya.
“Siapa?!!”
Sergah gadis itu keheranan, tangannya meraba-raba udara kosong. Perlahan ia
memindahkan pandangannya lurus ke depan.
DENG!!
“KYAAAA!!!”
Sesosok bocah kecil berbusana putih dengan mata menghitam menatap tajam ke arahnya.
@@@@@
“Nona muda,apakah kita sudah bisa berangkat?”
Orang yang dipanggil nona muda menyungging senyum tipis.
“Panggil Hazel saja madam.”
Madam Lie, bersetelan semi resmi yang dipadukan dengan blazer coklat. Madam Lie
bertugas untuk menemani perjalanan Hazel. Pembawaan Madam Lie yang tenang serta
dewasa memang disiapkan untuk menemani Hazel.
“Apakah ibu memesan sesuatu pada Madam?”
“Tidak ada yang khusus Hazel, namun aku berharap kau bisa bertemu sedikit mengenai
apa yang kamu rasakan sekarang.”
Tutur Madam Lie sambil mengambil posisi duduk di samping Hazel, mengenakan safety
belt karena kendaraan yang mereka tumpangi akan segera lepas landas.
“Aku merasa baik belakangan ini Madam.”
“Bagaimana kalau saat ini? Apakah kau merasa aman di perjalanan udara ini?” Hazel
berpikir sejenak.
“ya.” Jawabnya singkat.
“Aku senang kau merasa aman, tidakkah ada rasa takut?”
“sedikit. Tapi aku percayakan ini pada pilot yang ada di depan, agar diriku merasa aman,
aku mengikuti apa yang pilot itu minta kepadaku sebagai penumpangnya.”
“Kau pernah melihat atau memandangnya Hazel?”
“Tidak.” Ucap Hzel sambil menggelengkan kepalanya.
“Madam, boleh kutanya, apakah kita akan sampai dengan selamat?”
“Hmm..aku tidak tahu pasti,namun yang bisa kita lakukan adalah memosisiskan diri agar
selamat dan berdo’a semoga semua baik-baik saja.”
Hazel mengangguk.
“Aku merasa ada bagian yang hilang dari diriku madam.”
“Aku harap kau segera menemukan sophrosyne-mu. Karena yang kulihat, kau memiliki
segalanya, bahkan di usiamu yang terbilang muda, kau memenangkan peluang profit tertinggi
ketika dunia perekonomian mengalami inflasi.”
“Sophrosyne madam?” Tanya Hazel bingung.
“pikiran yang sehat, pengendalian diri yang baik, yang membuatmu dapat mencapai
kebahagiaan sejati.”
“Dan kau harus menemukannya,” sambung madam Lie.
@@@@@
Angin malam berhembus lebih kencang,menyerobot diantara benak gadis muda yang
sedang terduduk diam, dengan peluh membanjiri pelipisnya.
“Hufft..ternyata aku bermimpi.”
Mungkin, angina malam yang juga ikut menyaksikan, ingin memberikan jeda untuk gadis
tersebut berpikir. Membiarkan suasana tenang untuk kesekian kalinya. Baginya, semua
keberadaan memiliki alas an. Termasuk perjalanan yang ia lakukan bersama Madam Lie
pecan lalu. Ia selalupenasaran, gemas, itu yang selalu ia rasakan. Ia teringat ketika ia meminta
perumpamaan kepada ibunya mengenai kepercayaan terhadap eksistensi tuhan. Ia sempat
berpikir tuhan menciptakan manusia hanya sebagai pion yang bisa diatur semaunya, namun
kali ini ia coba untuk berpikir bahwa tuhan memiliki alas an dibalik peraturan yang tuhan
buat.
Mengakui adanya tuhan seperti mengakui adanya seorang pilot dalam sebuah perjalanan
udara. Penumpang memang tidak mengetahui yang mana pilotnya, namun para penumpang
diminta untuk mematuhi peraturan ketika perjalanan, tak lain, agara para penumpang selamat
sampai tujuan.
Gadis tersebut beranjak menuju kamarnya, mengambil gawai dan menekan sebuah kontak
yang ditujukan untuk seseorang.
“Halo bu? Iya..besok pulang.”
Dear Hazel Tan, lupakan peluang, kembalilah. Ada kehidupan lain yang harus kamu
persiapkan. Percayalah, hidupmu akan tenang, dan jiwamu akan menemukan apa yang
sebenarnya kau cari.
-finish-

Anda mungkin juga menyukai