Anda di halaman 1dari 7

CERPEN KASUR TANAH

Disusun Oleh:

Kelas:

SMP NEGERI 1 RANTAU PULUNG


TAHUN 2021
 Kasur Tanah
Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana,
menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas,
dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang
berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran
kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan
lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’
memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang
tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia
sekadar orang suruhan.

Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’
pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding
luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat
masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi
selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kembang
melati di belakang telinga masih sedikit terlihat.

Pada hari pernikahan sekaligus kematian ini, barangkali kau tidak merasa
bahwa embu’ sengaja menjadikan dirimu sebagai pengganti perabot sortana
yang pernah diperlakukan istimewa itu.

***

“Kegunaan sortana sebenarnya untuk apa sih, Bu’?” suatu senja, kau sengaja
menghampiri embu’ yang sedang mengelap cangkir dengan sobekan kain
beludru; bekas baju hantaran dari ayahmu waktu mereka menikah dulu. Mata
embu’ membeling dan gerakan tangannya sangat lambat. Ia sempat gugup
meski kau datang dengan langkah nyaris tak terdengar.

Terpercik pertanyaan besar di matamu, karena setiap ada orang meninggal,


keluarganya biasa menghaturkan berbagai macam perabot pada seorang kiai
atau guru ‘ngaji sebagai sortana. Apalagi, perabot pesanan yang sering embu’
lap itu katanya untuk dijadikan sortana juga.

“Selain bernilai sedekah jariyah, juga agar yang meninggal mudah diingat,”
jawab embu’ setelah berhasil menyisihkan kegugupannya.

“Berarti, walaupun kita sudah meninggal, dengan melihat sortananya orang


akan teringat pada kita?”
Beberapa saat embu’ terbatuk. Batuk yang sangat kering dan membuat tulang
rahangnya mencuat. “Iya, salah satu manfaatnya,” setelah batuknya reda.

“Oh.”

“Kalau sortana itu dipakai untuk kebaikan, tentu menambah nilai pahala bagi
yang meninggal. Itu sebab, mengapa dinamai sortana, mengambil dari kata
kasorra tana, atau kasur tanah.”

“Artinya, kasurnya orang yang sudah meninggal?”

Embu’ mengangguk, meletakkan cangkir yang sudah dilap, lalu mengambil


piring dan mengelapnya dengan gerakan halus. Sebentar embu’ terbatuk lagi.

Seminggu ini batuk embu’ tambah parah. Tubuhnya semakin ringkih. Bahkan
dua hari lalu ia mengaku batuk darah padaku. Namun ia memintaku
merahasiakannya darimu. Ia pun menolak dianggap dan diperlakukan
sebagaimana orang sakit.

Meskipun pekerjaan dapur sudah kau bereskan sejak sebelum subuh, dan
baju-baju kotornya kau cuci sebelum sinar matahari mengecup gorden jendela
kamarnya, embu’ masih bersikeras menyapu lantai dan halaman yang banyak
mengepulkan debu saat disapu, hingga berakibat napasnya kian sengal gara-
gara batuk panjang.

Sudah empat kali kau antar embu’ ke mantri desa, tidak ada perkembangan
sedikit pun. Ketika mencoba dibawa ke dukun, katanya embu’ kena teluh
yang dikirim oleh lelaki yang ditolak lamarannya setelah ayahmu meninggal.

Ah, tidak sedikit lamaran para duda yang embu’ tampik. Ia pun tidak mau
membidik sangka pada salah satu di antara mereka. Katanya, sehat dan sakit
adalah pemberian dari yang Mahakuasa, dan merupakan salah satu kemurahan
Tuhan untuk menggugurkan dosa-dosa si bersangkutan.

“Jika aku meninggal, haturkan perabot-perabot ini ke guru ’ngajimu,” lirih,


seolah Malaikat Jibril sudah menunggu embu’ di luar pintu, hingga
kecemasan kian membelukar di matamu.

“Embu’ tidak akan mati. Yakinlah, Embu’ akan cepat sembuh.”


“Sakit tidak ada hubungannya dengan kematian, Bhing! Yang namanya
makhluk hidup pasti akan mencicipi mati. Entah itu datangnya cepat atau
lambat, disebabkan sakit atau tidak, bila tiba waktunya tidak ada yang bisa
menolak,” dengan nada datar dan senyum tawar.

“Tapi aku tidak ingin ditinggalkan Embu’,” rusuh di dadamu tergetar jelas
dari suaramu.

Embu’ menatapmu. Bibirnya melengkung tipis. “Sekarang kau sudah besar.


Sebelum mati, aku ingin melihatmu menikah.”

Menikah? Kautatap embu’ lekat-lekat. Meskipun wajahnya tampak pucat dan


bibirnya retak-retak, gurat kecantikan masih tersisa jelas. Semasih muda
embu’ memang lebih cantik darimu. Ia menjadi perawan desa yang
diperebutkan. Namun, perbedaan status sosial, tradisi pertunangan sejak bayi,
hingga martabat yang harus dijunjung tinggi telah menumbalkan sebiji cinta
yang dimilikinya. Tidak ada pilihan baginya kecuali tunduk di hadapan
orangtua. Pada tradisi takdir perjodohan bayi.

Setelah menikah, embu’ memilih setia pada ayahmu, yang telah menjadi
tunangannya sejak masih bayi dan memendam cintanya dalam-dalam.
Katanya, kehormatan seorang perempuan setelah menjadi istri berada pada
kesetiaannya. Bahkan, meskipun menjanda di usia cukup muda, embu’ tidak
pernah tergoda menikah lagi. Embu’ juga tidak suka memedulikan cibiran
sinis para tetangga yang merasa cemas suaminya larak-lirik.

Cinta rumit masa lalu membuat embu’ tegar dan bersikap lebih tenang.
Bahkan, embu’ juga menanggapi dengan santai saat kau adukan bisik-bisik
tetangga di warung mengenai dirimu.

“Kata orang aku bukan anak kandung ayah. Benarkah, Bu?” dengan wajah
kesal kau pulang dan menyemburkan pertanyaan itu.

Ayahmu memang sudah tua saat menikahi embu’, dan ia tidak memiliki
keturunan satu pun dari istri-istrinya terdahulu. Kakekmu terpaksa
menjodohkan embu’ yang baru lahir dengan lelaki kaya yang sudah beristri
tiga itu demi membalas budi setelah membantu biaya kelahiran embu’. Kata
kakekmu, ia tidak mau menanggung utang budi hingga mati.
“Apakah menikah dengan orang yang jauh lebih tua dari kita banyak
menimbulkan prasangka di kemudian hari, Bu?” tanyamu suatu malam,
sepulang dari langgar dan gulungan mukena masih terdekap di dada.

Alis embu’ terangkat hingga bola matanya tampak kian membulat. “Kenapa
kau bertanya demikian?”

Kau menggeleng ragu. Tentu bayangan waktu kecil merimbun di kepalamu.


Setiap ada pertemuan wali santri di sekolah menjelang haflatul imtihan,
teman-teman kerap meledekmu, mengatakan ayahmu lebih pantas kau panggil
kakek.

“Jodoh sudah ditentukan sebelum kita lahir. Manusia tinggal menjalani,


kecuali masih ingin menggugat Tuhan, dan itu pekerjaan sia-sia,” embu’
menyentuh pundakmu lembut. Tangan satunya memegang cangkir. Tidak
sedang dilap. Saat kau menghambur masuk ke kamarnya, kau lihat ia sedang
memandangi cangkir itu lekat.

“Kalau aku menikah dengan lelaki yang sudah seusia embu’, apa tidak
keberatan?”

Embu’ menatap matamu, seolah ingin menyelami hingga ke dasar hatimu.


“Dulu aku tidak setuju kau dijodohkan sejak bayi, supaya kau bebas memilih
akan menikah dengan siapa. Tidak peduli orang-orang menganggapmu
sebagai anak perempuan yang tidak cepat laku,” sudut bibirnya tertarik
sedikit.

Risiko menolak tradisi perjodohan bayi, selain dipandang sebagai anak


perempuan tidak laku, ujung-ujungnya kelak ia menikah dengan orang dari
luar daerahnya.

“Apa kau sudah punya pilihan?”

Kau tak segera menjawab.

“Kau masih muda. Pilihlah lelaki yang seusia atau lebih tua sedikit darimu.
Jangan sepertiku,” ada penyesalan berakar yang berusaha embu’ pendam di
antara desah napasnya.

“Seandainya jodoh yang ditentukan Tuhan untukku seusia embu’, apa kita
akan menggugat-Nya?”
Embu’ terbatuk, seolah tersedak oleh perkataannya sendiri. “Apa ia seorang
duda?” selidiknya kemudian.

Kau menggeleng.

Kening embu’ berkerut, “belum menikah sama sekali?”

Kau mengangguk dengan sudut bibir tertarik ke samping. Senyum yang gagal.

“Ia serius padamu? Kenapa tidak datang kemari melamarmu?”

“Beliau memintaku untuk menanyakannya lebih dulu pada embu’, apakah


merestui atau tidak?”

Embu’ terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Kalau sekiranya tidak akan
membuatmu menyesal di kemudian hari, terserah pada keputusanmu.”

Kau tersenyum tawar. Namun ada bias kelegaan di matamu.

“Siapa dia?”

“Beliau…” Kau ragu sejenak, menelan ludah.

Alis embu’ terangkat, sebuah isyarat agar kau melanjutkan kalimat.

“Beliau adalah guru mengajiku, Keh Sakdulla!”

Cangkir di tangan embu’ terlepas jatuh. Kau tersentak. Tatapan embu’ tiba-
tiba serupa bilik kosong yang sunyi meskipun sempat terbelalak sebentar dan
menatapmu penuh kejut. Wajah embu’ mendadak beku. Ia tidak memedulikan
cangkir yang berpuing di lantai. Lidahmu kelu. Kesunyian berkelindan. Kau
terpaku heran.

***

Tidak ada sortana berbahan keramik dan bergambar wajah embu’ yang bisa
dihaturkan ke rumah guru ‘ngaji. Perabot-perabot itu telah menjadi puing di
lantai ketika pagi tadi kau memeriksa kamar embu’ karena tak kau lihat ia
menyapu halaman seperti biasa, meskipun sinar matahari sudah mengecup
gorden jendela kamarnya setengah jam yang lalu. Gelas, cangkir, piring, baki,
mangkok, tatakan cangkir, tidak utuh lagi. Tidak ada yang tersisa. Puing-
puingnya berserak di lantai, dekat kaki pembaringan. Kau sempat histeris
mendapati tubuh embu’ terbujur kaku dengan wajah mengapas di atas
pembaringan. Raung tangismu menggegerkan para tetangga.

Setibaku di sana bersama tetangga lain yang berduyun-duyun, kau telah


terkulai di lantai, di antara puing-puing perabot keramik yang berserakan. Kau
baru tersadar ketika embu’ sudah diusung ke pemandian. Hanya aku dan
lelaki itu yang menungguimu di kamar, menunggu kau tersadar.

“Embu’?” kau sapu ruangan dengan mata yang baru terbuka.

Kubantu kau bangun.

“Embu’ sedang dimandikan. Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan


denganmu,” kutahan pundakmu ketika kau bermaksud turun dari
pembaringan.

“Sesuatu apa?”

Kami, aku dan lelaki di sampingku, Keh Sakdulla, menukar tatap. Kau pun
menatap kami bergantian dengan kening berkerut.

***

Sebelum jenazah diantarkan ke pekuburan, akad pernikahanmu dilangsungkan


di samping keranda. Setelah akad nikah selesai, kita pun ikut mengantarkan
jenazah embu’.

Kaulah sortana bagi embu’. Keberadaanmu tentu semakin melekatkan ingatan


lelaki itu padanya. Pada cinta pertama mereka. Hari inilah hari kematian
embu’, sekaligus hari pernikahanmu. Memang demikian pesan yang embu’
titipkan padaku; menikahkanmu di dekat kerandanya.

Ada satu amanah lagi yang embu’ titipkan padaku; menjaga rahasianya.
Rahasia identitasmu. Kau dan siapa pun tidak boleh tahu, bahwa Keh
Sakdulla, lelaki yang baru saja menikahimu adalah ayah biologismu. Sebagai
perempuan yang dulu menjadi santri abdi di rumah Keh Sakdulla, akulah
saksi cinta mereka yang kandas karena status sosial dan tradisi perjodohan.

Anda mungkin juga menyukai