Disusun Oleh:
Kelas:
Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’
pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding
luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat
masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi
selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kembang
melati di belakang telinga masih sedikit terlihat.
Pada hari pernikahan sekaligus kematian ini, barangkali kau tidak merasa
bahwa embu’ sengaja menjadikan dirimu sebagai pengganti perabot sortana
yang pernah diperlakukan istimewa itu.
***
“Kegunaan sortana sebenarnya untuk apa sih, Bu’?” suatu senja, kau sengaja
menghampiri embu’ yang sedang mengelap cangkir dengan sobekan kain
beludru; bekas baju hantaran dari ayahmu waktu mereka menikah dulu. Mata
embu’ membeling dan gerakan tangannya sangat lambat. Ia sempat gugup
meski kau datang dengan langkah nyaris tak terdengar.
“Selain bernilai sedekah jariyah, juga agar yang meninggal mudah diingat,”
jawab embu’ setelah berhasil menyisihkan kegugupannya.
“Oh.”
“Kalau sortana itu dipakai untuk kebaikan, tentu menambah nilai pahala bagi
yang meninggal. Itu sebab, mengapa dinamai sortana, mengambil dari kata
kasorra tana, atau kasur tanah.”
Seminggu ini batuk embu’ tambah parah. Tubuhnya semakin ringkih. Bahkan
dua hari lalu ia mengaku batuk darah padaku. Namun ia memintaku
merahasiakannya darimu. Ia pun menolak dianggap dan diperlakukan
sebagaimana orang sakit.
Meskipun pekerjaan dapur sudah kau bereskan sejak sebelum subuh, dan
baju-baju kotornya kau cuci sebelum sinar matahari mengecup gorden jendela
kamarnya, embu’ masih bersikeras menyapu lantai dan halaman yang banyak
mengepulkan debu saat disapu, hingga berakibat napasnya kian sengal gara-
gara batuk panjang.
Sudah empat kali kau antar embu’ ke mantri desa, tidak ada perkembangan
sedikit pun. Ketika mencoba dibawa ke dukun, katanya embu’ kena teluh
yang dikirim oleh lelaki yang ditolak lamarannya setelah ayahmu meninggal.
Ah, tidak sedikit lamaran para duda yang embu’ tampik. Ia pun tidak mau
membidik sangka pada salah satu di antara mereka. Katanya, sehat dan sakit
adalah pemberian dari yang Mahakuasa, dan merupakan salah satu kemurahan
Tuhan untuk menggugurkan dosa-dosa si bersangkutan.
“Tapi aku tidak ingin ditinggalkan Embu’,” rusuh di dadamu tergetar jelas
dari suaramu.
Setelah menikah, embu’ memilih setia pada ayahmu, yang telah menjadi
tunangannya sejak masih bayi dan memendam cintanya dalam-dalam.
Katanya, kehormatan seorang perempuan setelah menjadi istri berada pada
kesetiaannya. Bahkan, meskipun menjanda di usia cukup muda, embu’ tidak
pernah tergoda menikah lagi. Embu’ juga tidak suka memedulikan cibiran
sinis para tetangga yang merasa cemas suaminya larak-lirik.
Cinta rumit masa lalu membuat embu’ tegar dan bersikap lebih tenang.
Bahkan, embu’ juga menanggapi dengan santai saat kau adukan bisik-bisik
tetangga di warung mengenai dirimu.
“Kata orang aku bukan anak kandung ayah. Benarkah, Bu?” dengan wajah
kesal kau pulang dan menyemburkan pertanyaan itu.
Ayahmu memang sudah tua saat menikahi embu’, dan ia tidak memiliki
keturunan satu pun dari istri-istrinya terdahulu. Kakekmu terpaksa
menjodohkan embu’ yang baru lahir dengan lelaki kaya yang sudah beristri
tiga itu demi membalas budi setelah membantu biaya kelahiran embu’. Kata
kakekmu, ia tidak mau menanggung utang budi hingga mati.
“Apakah menikah dengan orang yang jauh lebih tua dari kita banyak
menimbulkan prasangka di kemudian hari, Bu?” tanyamu suatu malam,
sepulang dari langgar dan gulungan mukena masih terdekap di dada.
Alis embu’ terangkat hingga bola matanya tampak kian membulat. “Kenapa
kau bertanya demikian?”
“Kalau aku menikah dengan lelaki yang sudah seusia embu’, apa tidak
keberatan?”
“Kau masih muda. Pilihlah lelaki yang seusia atau lebih tua sedikit darimu.
Jangan sepertiku,” ada penyesalan berakar yang berusaha embu’ pendam di
antara desah napasnya.
“Seandainya jodoh yang ditentukan Tuhan untukku seusia embu’, apa kita
akan menggugat-Nya?”
Embu’ terbatuk, seolah tersedak oleh perkataannya sendiri. “Apa ia seorang
duda?” selidiknya kemudian.
Kau menggeleng.
Kau mengangguk dengan sudut bibir tertarik ke samping. Senyum yang gagal.
Embu’ terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Kalau sekiranya tidak akan
membuatmu menyesal di kemudian hari, terserah pada keputusanmu.”
“Siapa dia?”
Cangkir di tangan embu’ terlepas jatuh. Kau tersentak. Tatapan embu’ tiba-
tiba serupa bilik kosong yang sunyi meskipun sempat terbelalak sebentar dan
menatapmu penuh kejut. Wajah embu’ mendadak beku. Ia tidak memedulikan
cangkir yang berpuing di lantai. Lidahmu kelu. Kesunyian berkelindan. Kau
terpaku heran.
***
Tidak ada sortana berbahan keramik dan bergambar wajah embu’ yang bisa
dihaturkan ke rumah guru ‘ngaji. Perabot-perabot itu telah menjadi puing di
lantai ketika pagi tadi kau memeriksa kamar embu’ karena tak kau lihat ia
menyapu halaman seperti biasa, meskipun sinar matahari sudah mengecup
gorden jendela kamarnya setengah jam yang lalu. Gelas, cangkir, piring, baki,
mangkok, tatakan cangkir, tidak utuh lagi. Tidak ada yang tersisa. Puing-
puingnya berserak di lantai, dekat kaki pembaringan. Kau sempat histeris
mendapati tubuh embu’ terbujur kaku dengan wajah mengapas di atas
pembaringan. Raung tangismu menggegerkan para tetangga.
“Sesuatu apa?”
Kami, aku dan lelaki di sampingku, Keh Sakdulla, menukar tatap. Kau pun
menatap kami bergantian dengan kening berkerut.
***
Ada satu amanah lagi yang embu’ titipkan padaku; menjaga rahasianya.
Rahasia identitasmu. Kau dan siapa pun tidak boleh tahu, bahwa Keh
Sakdulla, lelaki yang baru saja menikahimu adalah ayah biologismu. Sebagai
perempuan yang dulu menjadi santri abdi di rumah Keh Sakdulla, akulah
saksi cinta mereka yang kandas karena status sosial dan tradisi perjodohan.