Anda di halaman 1dari 5

Malam hari di apartemen, Joe dan Jesslyn berdua di meja makan, menyantap hidangan yang mereka

pesan dari luar.

Joe terus bercerita mengenai kegiatannya hari ini. Dia sudah sangat tidak sabar menantikan acara
peresmian besok. Hampir seperti anak-anak, dia terlihat sangat bersemangat. Meski persiapan yang
dilakukan mengerahkan banyak tenaga dan tidak mudah, tetap saja, Joe senang karena karirnya
terus menanjak naik.

Walau begitu, di tengah suasana hatinya yang bahagia, tanggapan dari istrinya justru tidak sesuai
dengan dugaannya, dan hal itu terasa sedikit mengganggu. Mungkin saja ada hubungannya dengan
suasana rumah yang terkesan kurang nyaman akhir-akhir ini.

“… yang … Sayang, kamu dengar?” tanya Joe karena sejak tadi Jesslyn sama sekali tidak memberi
tanggapan. Hanya duduk di meja makan sembari menunduk, membiarkan makanan di hadapannya
menjadi dingin.

Lamunan Jesslyn buyar. Matanya mengerjap, berusaha mengembalikan fokus. “Maaf, aku tidak
menyimak. A, ada apa?” Sikap Jesslyn yang tidak alami membuat Joe bertanya-tanya.

“Kamu baik-baik saja?” Joe terlihat khawatir. Dia merasa bersalah karena terlalu sibuk dengan
dirinya sendiri. Perhatiannya terhadap sang istri sepertinya sangat berkurang karena terlalu sibuk
dengan urusan kerja.

Sebaliknya, Jesslyn berusaha menutupi kegelisahannya. Dia tidak mau membuat Joe khawatir. Lagi
pula, dia tidak mungkin bilang kalau dirinya mendapat ancaman dari Aaron. Terlebih lagi, hal itu
berkaitan dengan Joe sendiri. Aaron yang memintanya untuk mengacaukan acara Joe benar-benar
tidak bisa dimaafkan. Padahal, hidup mereka sudah lebih tenteram. Namun, kalau dia tidak
melakukan hal tersebut, hidupnya yang akan hancur.

“Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah, kok. Tak perlu khawatir.” Jesslyn menunjukkan senyum tipis,
berusaha menyembunyikan perasaaannya yang sebenarnya.

Hanya saja, meski Jesslyn menunjukkan senyum ringan itu, entah bagaimana Joe bisa sedikit
merasakan perasaan getir yang tersirat dari senyum tersebut. Sebuah senyum yang menyisakan
teka-teki.

Setelah itu, Jesslyn segera beranjak dari kursi, tanpa menghabiskan makanannya, tanpa
mengucapkan sepatah kata. Hampir seperti ia menghindari Joe. Hal itu membuat Joe bertanya-
tanya, ada apa dengan istrinya?

Joe terheran-heran. Tidak biasanya Jesslyn bersikap seperti itu.

Karena mengaku kelelahan, Jesslyn masuk ke dalam kamar lebih dulu. Katanya, dia ingin beristirahat.
Padahal jam baru menunjukkan pukul sembilan malam. Sangat tidak biasa. Joe pun memakluminya
dan kembali kepada kesibukannya. Dia masih harus mengecek beberapa hal untuk acara besok.
Besok adalah hari penting. Dia tidak boleh melakukan satu kesalahan pun agar namanya tidak
tercoreng, dan agar dia tidak mengkhianati kepercayaan dan harapan para investor serta rekan
kerjanya. Pria itu akhirnya bergulat di meja kerjanya sembari mengutak-atik ponsel dan memeriksa
pidato singkat yang akan ia sampaikan besok.

Sementara itu, di kamar. Jesslyn duduk meringkuk di atas kasur, terlihat tidak tenang. Wanita itu
menggigit-gigit kukunya, tampak begitu khawatir. Wajahnya mulai terlihat pucat. Bukan hanya
karena dia tidak makan begitu banyak hari ini, tetapi karena tekanan dari Aaron benar-benar
membuatnya stres.

Jesslyn tidak ingin menghancurkan karir sang suami. Dia tidak tega melakukan hal sejahat itu.
Namun, membayangkan foto tidak senonoh dari dirinya tersebar di jagat maya membuatnya benar-
benar ketakutan.

Ketahuan kalau tubuhnya dilihat oleh pria lain selain suaminya saja sudah sangat memalukan.
Apalagi kalau foto itu tersebar dan dilihat oleh semua orang. Jesslyn mungkin tidak akan sanggup
menatap wajah siapa-siapa lagi saking malunya. Dia bahkan mulai memikirkan hal yang tidak-tidak,
seperti mengakhiri hidup kalau foto itu memang sampai tersebar.

Beberapa lama Jesslyn bergulat dengan pikirannya, tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Jesslyn
terkesiap saat Joe muncul di ambang pintu. Mata mereka sempat berpapasan. Namun, wanita itu
segera masuk ke dalam selimut dan berbaring membelakangi sang suami.

Joe yang melihat adegan tersebut mengangkat sebelah alisnya. Sikap Jesslyn sepertinya memang
berbeda dari biasanya.

Joe berjalan mendekat, duduk di sisi kasur yang berseberangan dari Jesslyn. Pria itu melihat
punggung sang istri yang terkesan dingin. Agak sulit memulai percakapan, tetapi Joe mencoba untuk
bercerita, sama seperti malam-malam yang sering mereka lalui selama ini.

“Besok, aku berharap semuanya lancar. Sejauh ini memang tidak ada hambatan, tetapi yang
namanya kekhawatiran sepertinya memang sulit dihindari, ya,” jelas Joe kemudian tertawa kecil.

Jesslyn pun hanya menimpalinya dengan suara lirih, “Mmm….” Tanggapannya itu memberi isyarat
kalau dirinya tidak berniat untuk berbicara lebih jauh. Joe merasa sedikit kesepian. Pria itu berharap
bisa membagi perasaannya malam ini, tetapi dirinya tidak mendapat respons yang sesuai dengan
harapan.

Sebaliknya, tanggapan dari Jesslyn itu justru membuat Joe semakin mencemskan kondisi sang istri.
“Sayang, kamu baik-baik saja?”

Jesslyn hanya mengagguk sekali.

Joe mengerutkan alis. Jangan-jangan, dia sudah melakukan sesuatu yang salah sehingga istrinya
marah. Pria itu akhirnya mengulurkan tangannya, menyentuh pipi sang istri. “Kamu yakin?”

Jesslyn yang bisa merasakan kehangatan tangan suaminya menggigit bibir. Dia tidak bisa
mengatakan keresahannya. Hal itu benar-benar menyakitkan.

Akhirnya, Jesslyn berbalik. Kali ini, dengan menggenggam tangan Joe, ia menatap mata pria itu lekat
sembari menunjukkan senyum tipis.

“Aku baik-baik saja. Serius. Aku hanya sedikit lelah karena habis bekerja. Maaf, ya. Aku tidak
bermaksud membuatmu cemas.” Jesslyn berusaha meyakinkan Joe.

Melihat istrinya seperti itu, Joe pun memutuskan untuk mempercayai istrinya. Dia tidak lagi bertanya
maupun bercerita. Pria itu hanya mengecup kening sang istri dan memberi tahunya agar tidur lebih
cepat. Semoga dengan begitu, Jesslyn bisa kembali menjadi Jesslyn yang biasanya esok hari.
Walau begitu, di balik selimut, di saat Jesslyn kembali memunggungi sang suami, air mata yang sejak
tadi berusaha ia bendung tiba-tiba terjatuh. Di samping suaminya, Jesslyn pun menangis dalam
diam, mencoba menahan semua rasa sakit yang sedang ia rasakan.

Maaf. Maaf. Jesslyn mengucapkan hal itu di dalam hati berulang kali.

Keesokan harinya, Jesslyn bangun lebih pagi. Dia bisa melihat sosok sang suami yang tertidur pulas di
sampingnya. Wanita itu sudah memikirkannya semalaman. Di bawah matanya terlihat lingkaran
hitam. Dia hampir tidak tidur sama sekali. Jesslyn akhirnya membuat keputusan. Hari ini, dia akan
menahan Joe agar tidak bisa menghadari acara peresmian perumahan. Keputusan mengerikan itu
dia ambil karena dirinya kalah dari rasa takut. Meski harus melakukan hal tercela itu, Jesslyn sudah
siap dibenci oleh sang suami seumur hidupnya ketimbang fotonya tersebar di internet.

Jesslyn beranjak dari kasur. Wanita itu menyiapkan pakaian yang harus Joe kenakan hari ini. Dia ingin
agar kecurigaan Joe sedikit berkurang, dan tidak segera menyadari rencana yang sedang ia jalankan.
Dengan begitu, Joe pasti tidak bisa datang ke gedung peresmian.

Usai menyiapkan setelan Joe, Jesslyn mengambil ponsel sang suami yang diletakkan di atas nakas.
Setelahnya, dia diam-diam keluar dari kamar sembari membawa kunci. Lalu, wanita itu pun
mengunci pintu dari luar. Dengan begini, Joe akan tertahan dan tidak akan sempat menghadiri acara
itu.

Saat mengunci pintu, tangan Jesslyn tidak berhenti gemetaran. Dia tahu bahwa yang dilakukannya
saat ini benar-benar sebuah kesalahan. Namun, dirinya tak lagi sanggup berpikir jernih. Aaron adalah
pria yang licik. Pria itu sangat egois dan tidak peduli dengan cara apa pun yang ia gunakan asalkan
keinginannya tercapai. Ancaman terkait foto tersebut sudah dipastikan akan ia jalankan. Jesslyn
tidak punya pilihan lain selain cara ini. Demi melindungi dirinya sendiri, dia rela menyakit Joe.

“Maaf… Maafkan aku….” Air mata Jesslyn tidak berhenti mengalir. Dia sadar bahwa hal yang tengah
ia lakukan sekarang adalah sekali lagi menghancurkan karir suaminya.

Tidak lama kemudian, Joe akhirnya bangun. Pukul delapan dia sudah harus berangkat, jadi dia
bangun lebih pagi hari ini. Joe melihat kalau tempat Jesslyn tidur sudah rapi. Pria itu tidak curiga
sama sekali. Pikirnya, Jesslyn mungkin tengah menyiapkan sarapan pagi.

Joe beranjak dari kasur lalu segera menuju ke kamar mandi. Pria itu memabasuh wajahnya. Setelah
itu, dia langsung mandi dan bersiap-siap.

Sesuai rencana Jesslyn, Joe tidak segera menyadari apa yang sedang terjadi. Padahal, pintu kamar
sudah dikunci, dan Joe masih belum tahu apa-apa mengenai hal tersebut. Sebaliknya, pria itu
bersiap-siap dengan suasana hati yang baik. Dia betul-betul bersemangat memulai hari ini.

Namun, saat Joe akhirnya selesai mengenakan setelan jasnya dan segera menuju ke arah ambang
pintu, pria itu pun mulai menyadari sesuatu yang aneh. Joe menarik gagang pintu, tetapi pintu
tersebut tidak kunjung terbuka.

“Ada apa ini?”

Joe masih belum curiga. Pria tersebut mengira kalau pintunya sedang bermasalah. Berulang kali dia
menarik gagang pintu, tetapi pintu tersebut masih tetap tertutup rapat. Akan tetapi, saat dirinya
mulai meneriakkan nama sang istri, dia pun sadar bahwa pintu yang dikunci sepertinya memang
disengaja.

“Jesslyn! Jesslyn!”
Tak ada yang menyahut padahal Joe yakin sekali kalau Jesslyn harusnya belum berangkat kerja. Joe
pun mulai panik. Waktu terus berjalan, dan dia masih tetap terkunci di dalam kamar. Padahal, tadi
dia masih punya banyak luang. Dia masih sempat sarapan. Dia tidak harus terburu-buru ke tempat
acara karena dia memang sengaja bangun lebih awal. Namun, dia terlalu banyak menghabiskan
waktu di dalam kamar. Berulang kali dia menggedor pintu.

Di luar, Jesslyn hanya menangis tersedu-sedu, menutup telinganya menggunakan kedua tangan agar
tidak mendengar suara teriakan sang suami.

“Jesslyn!”

Joe mulai kesal, Sial, batinnya. Pria itu segera mencari ponselnya yang seharusnya ia letakkan di atas
nakas di samping kasur. Namun, saat mencari benda tersebut, dia idak menemukannya di mana pun.

“Di mana pula ponselku?” gerutu Joe dengan nada kesal. Pria itu mulai berkacak pinggang. Hari ini
adalah hari penting, dia tidak boleh tidak hadir. Namun, harinya dimulai dengan kekacauan.

Tidak lama setelah itu, suara ponselnya terdengar dari luar. Perhatian Joe pun terarah ke ambang
pintu. Dia yakin istrinya berada di luar. Yang tidak ia mengerti, mengapa istrinya melakukan hal
seperti ini.

Terdapat panggilan masuk dari sekretaris perusahaan Joe. Pria itu sudah dicari-cari. Waktu sudah
menunjukkan pukul delapan. Sudah seharusnya Joe tiba di gedung peresmian. Jesslyn yang panik
melihat panggilan tiba-tiba itu refleks mematikannya. Bersamaan dengan itu, suara suaminya yang
terkurung di dalam kamar terdengar semakin keras.

“Buka pintunya!”

Karena tidak tahan lagi, Joe akhirnya mengambil inisiatif mendobrak pintu. Itu adalah jalan terakhir
yang sebelumnya tidak sempat terpikirkan.

Jesslyn mulai panik. Terdengar dentuman keras dari arah pintu kamar. Joe berusaha menerobos
keluar. Jesslyn ingin menghentikannya. Akan tetapi, Jesslyn tiba-tiba mengingat wajah Joe. Senyum
ringan yang ditunjukkan pria itu. Kehangatan yang diberikannya. Semua hal yang mereka lalui
selama ini. Mengingat bahwa hal yang dia lakukan saat ini memang sudah salah, Jesslyn akhirnya
berubah pikiran. Meski takut. Meski fotonya harus tersebar. Membayangkan Joe yang terpuruk
membuat dada Jesslyn terasa sakit. Tangan Jesslyn akhirnya terulur ke arah pintu. Dengan
sendirinya, wanita itu memilih membukakan pintu.

Tepat setelah pintu kamar terbuka, sosok Joe yang tersengal-sengalt terlihat. Wajah pria itu
berwarna merah dan dipenuhi oleh keringat. Joe terlihat sedikit kebingungan karena pintu tiba-tiba
saja terbuka. Akan tetapi, ekspresi mukanya seketika berubah.

“Apa yang kamu lakukan?!” Joe membentak Jesslyn. Dia ingin menceramahinya. Namun, sekarang
bukan waktunya untuk itu. Pria itu pun mengambil ponselnya yang dipegang oleh sang istri lalu
berlari dengan terburu-buru.

Joe tidak mengerti mengapa Jesslyn melakukan tindakan semacam itu. Dia tidak bisa membayangkan
kalau istrinya memiliki niat jahat kepada dirinya. Terlebih lagi, ekspresi Jesslyn saat di depan pintu,
Joe tidak bisa untuk tidak merasa terganggu. Istrinya menangis. Air mata membanjiri pipinya. Jesslyn
tidak mungkin seperti itu kecuali dirinya benar-benar tertekan.

Joe berdecak kesal. Dia marah kepada dirinya sendiri. Jesslyn memang sudah bertingkah aneh.
Wanita itu beberapa kali berusaha menghindarinya. Seharusnya, dia bisa segera sadar. Tapi, semua
urusan kerjaan ini menyita begitu banyak perhatiannya sampai-sampai dia tidak punya waktu untuk
istrinya sendiri. Joe pun tersadar, dia bukannya percaya kalau semalam, Jesslyn lelah karena kerjaan.
Dia hanya ingin berusaha berpikir seperti itu karena itu lebih mudah. Sekarang, dia bisa tahu kalau
Jesslyn pasti sedang menyembunyikan hal besar.

Anda mungkin juga menyukai