Anda di halaman 1dari 5

SPECIAL CHAPTER

SWEETHEART 16.03

RATE 20+

[]

Jun tahu dia sedang cemburu, tetapi bayangan itu kalah dengan apa yang dirinya dapatkan
sekarang. Moonala dalam pelukannya yang terasa hangat, sensasi hangat yang tidak bisa
digambarkan atau bahkan didapatkan dari orang lain. Hanya Moonala dan semuanya lengkap. Ah,
cinta. Mungkin itu yang membawa Jun bisa selemah ini. Harusnya dia marah, mengatakan bahwa
pemandangan yang dilihatnya di kafe yang si kaku tunjukkan membuat denyut jantungnya terasa
hampa tanpa detak untuk beberapa detik. Mengatakan bahwa Jun ingin sekali mematahkan tangan
si lelaki yang dengan mudahnya membawakan kue untuk Ola di mejanya dan bicara
dengan perempuannya begitu santai. Jun sangat tidak menyukainya!

Jadi, dengan segala hasrat yang ingin dia sumpah serapah karena kalah dengan rindu serta
aroma Ola. Sungguh, bibirnya yang bergerak menciumi tengkuk sang istri bukanlah sepenuhnya
bergerak dengan logika. Maksudnya bukan logika yang ada di kepalanya, tetapi intuisi dari
kepalanya yang lain.

“Ojun...” Moonala menggerakan kepalanya ke belakang. Ditatapnya mata sang suami yang
berkabut.

Jun membiarkan bagaimana Ola menyelami maniknya, tidak mengelak dan justru
memejamkan mata ketika usapan tangan Ola menyentuh wajahnya dengan lembut dan ringan
bagai sehelai bulu yang menyapa wajah Jun.

“Aku beneran kangen, Ojun.” Lirih Ola yang wajahnya sudah memerah dan bekas
tangisannya masih berada di pipi.
“Aku juga.” Suara serak Jun tidak bisa dikalahkan dengan apa pun. Dia berharap Ola akan
mengerti karena, sepertinya, gairah yang sudah ditahan selama hampir satu tahun belakangan tidak
mampu dihindarkan lagi.

Setelah menyatakan rasa rindunya dengan ucapan. Jun lebih dulu memajukan wajah untuk
semakin merapat pada Ola. Ciuman ringan itu mengawali segalanya. Bagaimana Jun menggiring
setiap gerakan yang sebenarnya sudah Ola ketahui sebelumnya. Namun, tak pernah ada rasa bosan
dan Ola selalu terpukau dengan apa yang dirinya rasakan ketika Jun memberikan sentuhan-
sentuhan yang tidak pernah direncanakan secara berurutan.

Sama seperti memori dalam otak yang tak pernah diingat secara berurutan. Begitu pula
cara Jun menyentuh istrinya.

“Euh...” desah kecil lolos dari mulut Moonala.

Dalam posisi dalam pangkuan Jun, perempuan itu merenggangkan leher dan pinggulnya
secara otomatis saja maju untuk merapatkan diri di bawah sana. Selain lenguhan kecil yang tidak
pernah bosan untuk Jun dengar, mulut yang sudah merasakan ekstaksi dari kuluman Jun itu
membuka bibirnya untuk memuaskan diri atas apa yang prianya berikan.

Moonala tersentak pelan ketika gigi Jun mendapatkan puting perempuan itu yang masih
tertutup dengan pakaian. Ah, sekadar satu lapis tak masalah untuk Jun. Karena bra yang dipakai
Ola sudah pria itu lepas dengan gagahnya dan Ola tanpa sadar takjub dengan kemampuan Jun yang
bisa meloloskan tali bra-nya melalui celah lengan kaus yang Ola kenakan. Mungkin Jun terlalu
memerhatikan gerakan itu ketika dulu Moonala selalu suka membuka bra yang dipakainya dengan
tali yang ditariknya dari celah lubang kausnya.

“Sakit?” tanya Jun yang ingin memastikan Moonala hanya merasakan nikmat.

Meski bertanya demikian, mulut serta gigi Jun tidak berhenti untuk membasahi kaus yang
istrinya gunakan di bagian dada. Liur pria itu sudah membuat ‘pulau’ berbentuk lingkaran di dada
Ola.

Tanpa bisa membalas dengan ucapan, Ola hanya bisa mendesis terus menerus dengan
gerakan Jun itu.
Belum lagi bagaimana pinggul Ola ditekan oleh tangan sang pria, tidak keras, tapi menekan
serta memberikan tekanan yang pas untuk menenggelamkan Ola dalam kubangan yang bernama
gairah bercinta.

Sebelumnya, tak pernah Ola bisa membawa dirinya selepas dan senyaman ini. Beban yang
dirasakannya seolah hilang dengan momen seperti ini.

Jun membaringkan tubuh Ola ke ranjang yang tidak seberapa besar untuk mereka berdua
itu. Memastikan bahwa tidak ada rasa sakit yang dirinya berikan untuk sang istri.

Pria itu baru saja meyakini untuk melepaskan ikat pinggangnya sendiri, tetapi terbuyar
dengan ingatan yang menyentaknya dengan cepat.

“Kamu masih rutin suntik?” tanya Jun yang tidak melupakan ketakutan Moonala mengenai
kehamilan.

Tentu saja jawabannya adalah sebuah gelengan. “Nggak kepikiran, Ojun. Aku nggak cek
ke dokter juga selama di sini.”

Apa yang akan seorang Ola pikirkan memangnya? Dia saja sudah terdistraksi dengan ajang
mogok bicara dan dihubungi yang Jun lakukan. Itu saja sudah membuat Ola sibuk menangis.

Menjadi kalut, Ola tidak tega melihat wajah Jun yang seperti itu.

“Lakuin aja, Ojun.”

“Apa??” sahut Jun terkejut. Jelas saja dia terkejut, karena ini ucapan yang tidak bisa
diperkirakan oleh pria itu.

Moonala mengusap pipi suaminya. Dia memberikan keyakinan dengan menatap Jun penuh
percaya. “Ini akan jadi langkah besar buat aku, Ojun. Tapi aku belajar di sini. Aku ingin melalui
ketakutan ini dengan menghadapinya.”

Jujur saja Jun ingin menitikkan airmata karena begitu bahagia dengan pengakuan Ola.

“Kamu ... yakin?” Jun masih tak ingin gegabah. Bisa saja keputusan Ola karena
dipengaruhi gairah saja. Jun cemas jika terjadi penyesalan dalam diri Moonala setelah mereka
bercinta.
“Iya, Ojun.” Kata Ola dengan anggukan. “Mungkin kita bisa fokus mencintai anggota baru
setelah kehilangan bayi kita. Kita mungkin butuh cinta yang baru untuk sibuk dengan hal itu,
Ojun.”

Jun membalas sentuhan Moonala. “Tapi kamu masih kuliah di sini. Kalau hamil ... aku
nggak bisa melepaskan kamu sendirian di sini.”

Senyuman Ola mengembang. “Mungkin aku harus cuti hamil, dan ikut kembali ke
Indonesia bersama kamu, Ojun.”

Sontak saja Jun menggelengkan kepala. “Jangan. Kamu harus lulus dan menunjukkan foto
wisuda ke anak kita nanti. Sekalipun kamu hamil saat skripsi nanti, aku akan menemani kamu.
Jangan berhenti atau cuti. Aku yang akan menemani kamu, di sini.”

Tidak bisa menyembunyikan kebahagiannya, Ola kini yang lebih dulu menarik leher
suaminya untuk membalas ciumannya. Dengan segala rasa yang Ola coba sampaikan, terharu
adalah yang utama. Karena rindu dan bahagianya terbalas dengan pengertian yang Jun berikan
untuknya.

“Untuk malam ini saja, besok aku akan beli pengaman untuk kita.”

Moonala tidak memberatkan diri dengan hal itu lagi. Sudah cukup dan Ola akan
mengatakan pada Jun lagi besok dengan lebih jelas. Bahwa dirinya sudah baik-baik saja jika
mereka dipercaya memiliki anak.

“Coba aja. Ojun lebih suka pakai pengaman atau nggak.” Gumaman yang beriringan
dengan kecap lekat itu menjadi samar karena Jun juga tidak menangkap secara benar dengan
ucapan istrinya.

Tanpa ragu-ragu seperti semula, Jun menarik lepas sabuknya dan memastikan tubuhnya
tak terbalut pakaian. Ola sudah siap dengan sendirinya melebarkan kaki untuk memberikan ruang
pada tubuh Jun berada dikeduanya.

Jun tersenyum. “Udah pengalaman banget kamu sekarang.”

Merunduk, Jun memberikan ciuman dalam untuk mengalihkan ketegangan dicelah


Moonala. Karena rasanya, Jun seperti berhubungan pertama kali lagi dengan istrinya itu.
“Udah masuk, Ojun?” tanya Ola kebingungan ketika suaminya terlihat sibuk menatap ke
bawah sana.

“Belum.” Jun tidak mengerti mengapa harus ada percakapan semacam ini dengan Ola
ditengah kegiatan intim mereka.

“Kenapa? Kok, mukanya gitu?” Ola kembali bertanya.

“Susah, Sayang. Kamu ...”

“Kenapa, Ojun?” Wajah Ola pucat, sepertinya panik jika Jun berpikiran macam-macam.

“Bukan hal buruk, Ola. Ini, mungkin aku harus pelan-pelan. Kamu rapet banget, Sayang.”

Dengan wajah yang kembali memerah, Ola menutupi ekspresi malunya dengan telapak
tangan.

“Ojunnnnn! Maluuuu!”

Mau tak mau Jun terkekeh, karena dirinya juga sedikit malu dengan pembahasan itu.

Anda mungkin juga menyukai