Anda di halaman 1dari 57

FREE WORK

“MY TEACHER IS
MY DADDY”
BY TREELIU
Prolog
Di dunia yang realistis dan fana ini guru tampan nan
sempurna Halla rasa hanya mitos belaka. Mungkin itu
pertanda kehaluan sudah mencapai tingkat tertinggi
kalau ketika masuk sebuah Sekolah Menengah Akhir
hanya berharap bertemu guru tampan, tinggi menawan,
dengan pakaian casual dan diidam-idamkan. Mungkin
dia sudah keracunan film yang dibuat dari novel best
seller pengkhayal. Guru di tempat Halla bersekolah
sampah semua. Mereka hanya tahu tentang
menonjolkan urat dan mencaci kekurangannya.

Contohnya Yoongi Ssaem, guru keseniannya.


Sebenarnya dia tampan kalau saja matanya bisa melek
lebih lebar, atau kakinya bisa menyaingi tinggi tiang
bendera. Pria itu tak ada bedanya dengan guru yang lain.
Hobinya mengolok Halla dan segala kenyamanannya.
Semua yang tidak bisa menjawab soal seenak jidat
dikurangi poinnya. Mengaku tidak pernah nakal saat
bersekolah? Halla tidak akan percaya. Yoongi Ssaem
pasti mantan preman.
Omong-omong, Yoongi Ssaem tidak akan dapat
porsi banyak di sini jadi jangan senang dulu. Lagi pula
Halla tidak menyukai guru yang digilai karena seringai
meremehkan yang katanya ‘SWAG’ itu. Ini adalah
tentang perhatian Halla yang mulai tercuri oleh Guru
Matematikanya.

Namjoon Ssaem tidak tampan-tampan sekali di


Minggu-Minggu pertama Halla melihatnya di sekolah.
Dia pria dengan senyum palsu yang suka memamerkan
lesung pipitnya. Tingginya mungkin lebih dari seratus
delapan puluh lima sampai Halla perlu mendongak saat
bertatapan dengannya. Dia raksasa yang sok pintar. Ya
memang pintar sih, dia kan guru. Hanya saja kesan
pertama bertemu dengannya terlalu biasa. Dia hanya
seorang guru yang selalu menunjukkan wajah tertekan
tiap kali bertemu dengannya. Hampir semua guru
berwajah seperti itu, sih. Entah sebenarnya siapa yang
aneh di sini.
Tapi sejak sebulan terakhir Namjoon Ssaem terlihat
lebih manis. Tidak ada angin tidak ada hujan, di suatu
sore yang lumayan mendung ia berkata,

“Aku akan memberimu pelajaran tambahan


Matematika mulai besok, Moon Halla. Mohon kerja
samanya.”

Sopan sekali. Tapi maaf, Halla tidak terkesan. Dia


tidak menyukai orang pintar.

“Maaf, Ssaem saya tidak mau.”

Seharusnya Namjoon Ssaem sudah menyerah kala


itu. Dari wajahnya terlihat sekali dia menahan
kegeraman sementara Halla menolak peduli. Tapi
Namjoon Ssaem tidak mendengarkannya. Dia menahan
Halla sepulang sekolah dengan iming-iming sekotak
donat. Mau tak mau Halla tinggal karena donat adalah
takdirnya. Dia tidak peduli dengan ocehan Namjoon,
Halla hanya mau donat. Dia hanya perlu mengangguk
ketika Namjoon Ssaem bertanya,

“Sudah mengerti?”
Akibatnya, dia gagal naik kelas tahun ini lantaran
nilai Matematikanya tidak sanggup menyentuh angka
empat. Sebenarnya tidak hanya Matematika saja, sih.
Makanya Halla tak heran jika pria itu akhirnya datang
menemuinya. Dia mungkin harus memberi pelajaran
berharga pada Halla yang menggagalkan niatnya
mencerdaskan murid bebalnya ini. Sudah luangkan
waktu mengajarinya tiap pulang sekolah Halla malah
menjadikan keringatnya terbuang sia-sia.

Tapi Namjoon Ssaem tersenyum seperti saat


pertama kali menyuruh Halla les dengannya. Tapi di film,
psikopat juga tersenyum saat hendak membunuh
korbannya, kan? Belum lagi suasana yang mendukung.
Namjoon Ssaem tikamkan pisau, tak akan ada yang
dengar jeritan Halla karena kelas sudah sepi.

“Moon Halla?”

“Ya Ssaem?”

“Kamu mau kencan dengan saya malam ini?”

Ya, Tuhan. Halla mau dibunuh di luar sekolah.


Chapter 1
Langit pagi itu nampak polos. Kosong sekali tanpa
awan barang setitik. Birunya begitu cemerlang seolah
cerah akan berlangsung lama. Meski memang nyatanya
seterik apa pun matahari berpendar, Seoul tidak akan
benar-benar bisa dihangatkan sang mentari di pagi hari
begini. Namjoon bahkan masih memakai mantelnya.
Suhu di pagi hari kadang lebih dingin dari kulkas.

Guru honorer itu baru turun dari motornya ketika ia


dihadang salah satu teman gurunya yang selalu nampak
kesepian. Namjoon rasa dia jomblo. Kerap kali muncul di
hadapan Namjoon untuk sekedar minta ditemani
ngobrol. Kadang mencuri kesempatan curhat tentang
profesinya yang dirasa melelahkan secara mental.
Hingga akhirnya keduanya minum kopi bersama di
balkon. Ya... Untungnya temannya ini cukup baik hati
untuk membayarkan kopinya. Murah tentu saja.

Untung sedang sama-sama tidak ada jadwal


mengajar pagi hari ini. Ketika sama-sama jadwal kosong,
mereka memang sering sekali bertemu. Sekedar
bercakap. Berkeluh kesah tentang gaji yang tak
mencukupi kebutuhan sebulan penuh atau pun
membicarakan anak-anak yang menarik perhatian atau
pun menjadi pengganjal di hati keduanya. Dan akhir-
akhir ini ditambah mengamati Halla juga.

"Tuhan memang adil," temannya—Yoongi berujar.


"Dia berikan kesempurnaan pada fisiknya, Dia
kosongkan seluruh isi kepalanya."

Namjoon menyesap kopinya sambil


menyembunyikan senyum. Mengangguk samar.
Menyetujui ucapan kasar Yoongi.

"Dia selalu membuat pusing semua guru menjelang


ujian kenaikan kelas. Apa cita-citanya ingin jadi murid
berprestasi?"

Namjoon mengerutkan dahi.

"Prestasi mengulang kelas satu SMA sampai tujuh


tahun."
Keduanya lantas tertawa pedih bersama. Dia anak
SMA atau SD yang perlu menempuh pendidikan samapai
enam tahun?

Sesungguhnya semua itu bukan saja aib bagi sang


murid sendiri. Namun juga bagi para guru karena
nyatanya pendidikan yang mereka ajarkan tak ada yang
mampu menembus tempurung kepalanya yang entah
kerasnya terbuat dari apa.

Awalnya Namjoon mamang kaget saat Yoongi


menyuruhnya berhati-hati dengan murid bernama
Moon Halla ketika ia mengajar di hari pertama. Ia pikir
gadis itu suka menggoda guru tampan karena Namjoon
akui dia sempat terbengong sejenak saat melihat wajah
lesunya pertama kali. Dia cantik sungguhan meski
dengan muka pucat dan pandangan sayu. Namun
setelah masuk kelasnya, Halla mengabaikan materinya
dan malah asyik tidur. Bangun saat bel istirahat berbunyi
dan mengabaikan Namjoon yang hampir memarahinya.
Tadinya ia kira keburukannya hanya dengan menjadi
sangat bodoh dan malas.
Tapi rupanya aib lainnya adalah, dia sudah berumur
dua puluh tahun dan masih betah duduk di sekolah
menengah. Itu tandanya dia sudah mengulang kelas satu
selama tiga tahun dan ini adalah tahun ke empatnya.
Benar-benar prestasi yang akan terus dikenang seumur
hidup.

Namjoon penasaran seperti apa kedua orang


tuanya yang begitu kuat tetap hidup dan masih mampu
menelan makanan meski memiliki anak seperti Moon
Halla.

Dia cantik. Standarnya di atas teman-temannya.


Mungkin karena dia sudah berumur dan tahu cara
berdandan. Tapi mengingat kemalasannya, Namjoon
yakin dia bahkan mungkin akan meninggalkan
kotorannya begitu saja tanpa mau repot menyiramnya.

Dilihat secara fisik dia gadis normal yang menarik.


Yoongi bahkan mengaku sempat menggodanya di awal-
awal menjadi guru. Tapi setelah mendengarnya
menyanyi di kelasnya, dia bertekad untuk waspada
dengan gadis itu. Suara Halla lebih sumbang dari keledai.
Belum lagi ia takkan mau berhenti sebelum
menghabiskan seluruh lagunya dan meracuni semua
telinga yang mendengarnya.

Tapi menurut Namjoon, Halla hanya malas kuadrat.


Ia yakin otaknya masih berfungsi jika dilatih. Hanya saja
untuk orang sepertinya mungkin butuh pelatih khusus.

"Hidupku tidak akan tenang kalau belum melihat


Moon Halla lulus." Gumam Yoongi.

Dia selalu mencari ide, gagasan, ilham, dan segala


cara. Ingin sekali gadis itu segera hengkang dan berhenti
mengganggu pemandangannya. Namun ia begitu yakin
bahkan Tuhan saja enggan memberi mukjizat
kepadanya. Dia mungkin sudah angkat tangan dan tak
mau mencampuri hidup Moon Halla.

Melihat Namjoon sesaat, Yoongi kemudian


terpikirkan sesuatu. Rasanya pria ini begitu cocok untuk
ia jadikan sebagai alat percobaan bagi hama mengerikan
itu.

"Namjoon-ah, ayo bertaruh!" Katanya.


Pria yang disebut namanya menoleh waspada.
Temukan seringaian misterius di wajah Yoongi. Itu
berarti dia sedang punya rencana gila.

"Jangan macam-macam Hyung!" Namjoon


mengingatkan.

"Hanya hal kecil. Aku mau kau ajari Moon Halla


Matematika dan buat dia naik kelas tahun ini. Kalau kau
berhasil, aku akan keluar dari sekolah ini."

"Hyung, kau mau membayar hutangmu dengan apa


kalau keluar dari sini?"

Sedikit tersinggung, Yoongi menyunggingkan


setengah bibirnya.

"Itulah taruhan! Kukorbankan sesuatu yang


berharga milikku, dan aku menginginkan imbalan yang
bagus juga darimu jika kau kalah." Yoongi bilang.

"Tapi aku yakin kau pasti kalah, sih." Imbuhnya


kemudian membuat Namjoon merasa tertantang.

Dia bukan orang yang suka diremehkan.

"Apa taruhannya?" Tanya Namjoon kemudian.


Tak langsung menjawab, Namjoon kemudian
mengikuti arah pandangan Yoongi yang fokus ke tengah
lapangan di depan sana. Tempat salah satu kelas mengisi
jam olahraga. Dalam penglihatannya kala itu Namjoon
hanya terfokus pada seorang gadis yang berlari—
sebenarnya lebih tepatnya berjalan gontai, di antara
teman-temannya. Pemandangan yang sangat kontras.

"Kalau kau kalah, kau harus mengajaknya kencan,


lalu pacari dia... sebulan saja." Ujar Yoongi kemudian.

"Kau sudah gila?" Pekik Namjoon kaget.

Yoongi menatap Namjoon sengit setelah dikatai


gila.

"Kau, kan jenius? Apa gelarmu? Cumlaud? Masa


taruhan begitu saja tidak berani? Tapi kurasa memang
orang sejenius kau pun tidak akan bisa membuatnya
pintar, sih."

Namjoon tersulut. Tidak boleh begini. Jika gelarnya


sudah di bawa-bawa, dia tidak boleh diam saja. Lagi pula
apa susahnya mengajari gadis bodoh? Pada dasarnya
semua anak terlahir pintar. Saat kuliah pun ia sering
memberi les untuk anak-anak dan hasilnya memuaskan.

Yoongi, jangan remehkan Kim Namjoon, ya!

"Bersiaplah untuk mengemasi barangmu, hyung!"


Dia bilang.

Mereka berjabat tangan.

"Kau saja yang siapkan mental!"

Lalu mereka saling meninggalkan dengan tatapan


sengit.

***

Mengawasi murid-muridnya ulangan adalah hal


paling menyusahkan sekaligus membosankan bagi
Namjoon. Apalagi jika dia masuk di jam terakhir. Semua
orang sudah lemah, lesu, letih dan lunglai kehabisan
energi dan tidur adalah opsi terbaik seandainya murid-
muridnya bisa sportif. Namun sedetik saja ia
memejamkan mata, kelas sudah heboh. Contekan mulai
dikeluarkan dari sarangnya, dan kelas menjadi lapak
diskusi mendadak. Sebenarnya mereka itu paham
dengan arti ulangan sendiri atau tidak?

Dan lantaran malasnya ia berkeliling untuk


memeriksa laci, Namjoon hanya menegur dari mejanya.
Untungnya ia memiliki tipe suara yang tegas serta
ditakuti sehingga tugasnya bisa sedikit menjadi ringan.
Mereka berulah, teriak saja.

Hingga Halla kembali mencuri perhatiannya. Dia


berhasil mengaktifkan lagi kinerja otak Namjoon yang
sudah berada di titik ingin istirahat. Pria itu melotot saat
itu juga melihat Halla asyik mengorek hidung di kala otak
teman-temannya sudah berasap karena soal sulit
darinya. Di mejanya, kertas ulangannya masih rapi
dalam artian belum tersentuh tangannya sama sekali.
Alat tulis pun tak ada. Entah sebenarnya dia merasa
sedang berada di mana.

Bukan maksud Namjoon memperhatikan karena


sebenarnnya yang gadis itu lakukan sangatlah amat
menjijikkan. Dia begitu santai tanpa peduli imejnya. Dia
memang tidak pedulikan reputasinya juga, sih. Kalau dia
peduli, dia tak mungkin masih di sini, mengorek kotoran
hidungnya sampai dapat dan nampak sekali ketika
benda itu sudah berhasil ia keluarkan, ia tersenyum
senang di saat Namjoon hampir muntah karenanya.
Coba saja dia masukkan kotoran itu ke mulutnya dan
menikmatinya layaknya permen, Namjoon mungkin
akan pingsan. Namun Namjoon memilih untuk tidak
melanjutkan, ia memperhatikan gadis itu saja sudah
salah.

Sedetik ia berpaling darinya, Namjoon dibuat


jantungan dengan pekikan salah satu murid
perempuannya. Saat ia mencari tahu, gadis itu sedang
berdiri dan terlihat mengernyit jijik ke arah menjanya.

“Ada apa, Haerin?” Tanya Namjoon mewakili rasa


penasaran seluruh penghuni kelas kecuali Halla.

Gadis itu kini sedang bersedekap. Punggungnya


menyender di sandaran kursi, dan ia nampak sedang
melakukan hal aneh lainnya. Berkomunikasi dengan
cicak?
“Ada yang membuang kotoran hidungnya ke
mejaku, Ssaem! Itu menempel di bukuku!” Dan Haerin
menangis.

Dia memang dikenal sebagai gadis yang sangat


menjaga kebersihan. Sebuah kotoran hidung mendarat
di bukunya pasti baginya adalah kiamat. Namun si
pelaku yang Namjoon yakini adalah Halla tetap
memasang wajah khasnya. Tidak nampak merasa
bersalah. Dia mungkin sudah lupa apa yang baru dia
lakukan, dan kenapa harus Namjoon yang jadi satu-
satunya saksi mata? Dia tidak bisa menuduh jika
tersangkanya saja sesantai itu. Dan membantu
membuangnya, maaf saja Namjoon tidak sanggup.

Kemudian ia ingat bahwa pagi tadi ia sesumbar


pada Yoongi bahwa ia akan menjadikan Halla pintar
dalam sebulan. Jika dia gagal, ia harus berkencan dan
memacarinya. Tapi sampai di sini, Namjoon merasa
tidak sanggup. Anak itu terlalu berbahaya untuknya
yang penakut.

***
Chapter 2
“Kulihat, kau belum mulai juga? Sudah siap pacaran
dengan Halla? Waktumu Cuma sebulan, Kim Namjoon.”

Pria muda itu mengurut keningnya. Yoongi selalu


saja muncul tak terduga seperti setan. Membisikinya
dengan kalimat-kalimat menakutkan. Kepala Namjoon
rasanya akan meledak setelah beberapa lama berkutat
dengan kertas ulangan murid-muridnya minggu lalu,
ditambah dengan gangguan ini juga. Mendapati lagi-lagi
Halla dapatkan nilai nol meski dia keluar kelas paling
akhir, rasanya Namjoon harus bekerja keras nantinya.

Sejak menerima taruhan dari Yoongi nampaknya ia


mendapat kutukan. Apa pun yang ia lakukan sekarang
terus saja berkaitan dengan Halla seolah memang dia
ditakdirkan memerangi kebodohan gadis itu. Sudah
seminggu ia buang waktunya lantaran masih trauma
dengan tragedi kotoran hidung, Namjoon akhirnya
merapikan kertas ulangan murid-muridnya sebelum
menumpuknya dengan buku yang akan ia bawa
mengajar. Namun masih ada beberapa menit sebelum
jam belajar dimulai. Namjoon akan pergi ke kantin
terlebih dulu. Membeli kopi agar tidak mengantuk lagi.

Akhir-akhir ini ia malas meladeni Yoongi. Hyung


yang nampak lebih muda darinya itu terus-menerus
menerornya agar cepat mendekati Halla. Bukan
semangat yang ia berikan, ia malah menakut-nakuti. Itu
sebabnya Namjoon tak mau mengajaknya pergi
bersama. Tidak mau menghamburkan uangnya untuk
teman jahat sepertinya.

Dan sampai di kantin, nampaknya ia salah memilih


waktu berkunjung. Tapi mengingat beberapa menit lagi
bel berbunyi, murid-murid seharusnya sudah bersiap-
siap di kelas masing-masing. Tapi ini... Benar-benar
penuh. Antrean bahkan masih panjang. Dan saat melihat
ke barisan depan, ia tahu penyebabnya dan tidak
merasa heran. Ternyata giliran si biang kerok memesan.

Ya Moon Halla.

“Aku mau donat.”

“Donat sudah habis, Halla.”


Mengangguk, gadis itu kemudian nampak
mengamati menu yang terpampang di papan tepat di
atas kepalanya sekian lama membuat orang-orang di
belakangnya mengeluh kesal. Sebagian lagi sudah
mundur angkat tangan. Halla mungkin tidak akan
pernah menyelesaikan pesanannya hingga kiamat tiba.

“Aku mau donat.” Katanya lagi.

Semua orang rasanya ingin membunuh gadis itu jika


saja bisa. Tapi yang selalu mereka lakukan selalu saja
bersabar. Sebab tak lama dia akhirnya pergi dengan
sendirinya setelah otaknya berfungsi dan mampu
mencerna perkataan Bibi kantin bahwa donat telah
habis memang artinya donatnya sudah habis.

Astaga...

Namun untuk kali pertama bagi Namjoon melihat


raut kecewa di wajah itu. Dia merasa iba.

“Jadi... Donat, ya?” Gumamnya.

***
Namjoon sengaja membagikan ulangannya di detik-
detik akhir sebelum pulang, sengaja menahan milik Halla
meski gadis itu tidak peduli. Dia tidak mau bertanya di
mana kertas ulangannya di saat semua orang sudah
dapat. Mungkin karena dia memang sudah tidak ada hati
dengan hasil kerjanya sejak awal sehingga dia bisa
mencampakkannya dengan mudah. Namjoon benar-
benar tak habis pikir ada makhluk sepertinya hidup di
dunia nyata. Orang-orang bahkan lebih peduli dan mulai
berbisik-bisik ke mana perginya kertas ulangan Halla.
Kalau ada, mereka bisa menghibur diri dengan
menjadikan nilainya olok-olokan.

Namun Namjoon tetap teguh menahannnya hingga


bel pulang dan murid-muridnya memberi salam
perpisahan. Untungnya Halla termasuk murid yang lelet
sehingga Namjoon bisa mencegatnya sebelum gadis
itunmeninggalkan kelas.

“Saya akan memberimu les Matematika mulai


besok, Moon Halla. Mohon kerja samanya.”
Moon Halla mendongak dengan tatapan horor. Kata
Matematika sudah cukup menyakitinya. Dan kini ia
mendapati sang guru berdiri di hadapannya dengan
senyum lembut. Sesaat Halla merasa dirinya berada di
dimensi lain. Merasa asing dengan makhluk tinggi yang
biasanya selalu mengeluh tentang dirinya kini malah
bersikap manis. Maaf saja Halla tidak terkesan.

“Maaf, Ssaem saya tidak mau.” Tolaknya.

Namjoon memejamkan mata erat melihat Halla


malah hendak meninggalkannya, tidak tahu bahwa
Namjoon berjuang dengan sepenuh kekuatannya saat
mengatakan kalimat barusan. Untungnya ia sabar dan
kembali menghadang jalan bagi gadis itu sehingga Halla
kini merasa terganggu.

“Saya mau pulang, Ssaem. Tolong minggir sedikit.”

Namjoon sekali lagi menampakkan senyumnya.

“Saya punya donat kalau kau bersedia belajar hari


ini juga.”
Mata gadis itu segera membulat bersama mulutnya
yang menganga menyadari bahwa gurunya membawa
sekotak donat di tangannya. Tak mau jual mahal lagi,
Halla segera mengangguk mengiyakan.

Demi donat, apa pun rela ia lakukan.

Dan kesalahan Namjoon adalah, setelah Halla


menyetujui ia langsung menyerahkan sekotak donat
yang dibelinya membuat gadis itu kegirangan dan
langsung duduk kembali di bangkunya. Membuka kotak
itu dengan semangat dan mulai menikmatinya satu
persatu. Namjoon geleng-geleng.

Pria itu akhirnya ikut duduk di sampingnya. Kelas


sudah sepi lantaran semua anak sudah bubar. Halla
menikmati donatnya sendirian hingga mulutnya
belepotan. Tak ada tanda-tanda sedikit pun kalau ia
akan membagi donatnya dengan Namjoon. Halla dan
donat memiliki dimenainya sendiri. Tidak ada yang bisa
mengganggu kesenangan mereka. Tahu begini takkan ia
berikan semuanya. Harga satu kotak donat tidaklah
murah. Bahkan lebih mahal dari makanannya sehari-
hari.

Hingga Halla selesai dengan dua donatnya,


Namjoon akhirnya bertindak. Ditutupnya kotak itu
membuat Halla melotot padanya. Ekspresi seramnya
semakin didukung dengan wajahnya yang belepotan
coklat. Melihatnya, Namjoon terkekeh. Ia lantas
mengeluarkan sapu tangannya dan menyodorkannya
pada gadis itu. Sementara Halla, dia hanya menatap
sapu tangan di tangan Namjoon sebelum ia
mendekatkan pipi cemongnya.

Astaga.... Namjoon menghela napas sebelum


membantu gadis itu membersihkan sisa-sisa
makanannya. Tidak bermaksud rela diperbudak, hanya
ia tak ingin membuang-buang waktu lagi. Dia tidak ingin
berlama-lama dengan gadis yang berasal dari spesies
apa sebenarnya ini. Bukan hanya di wajah, ia pun berani
menyuruh Namjoon membersihkan jemarinya. Pria itu
terkejut tangan Halla begitu kecil padahal dia makan dua
donat sekali makan tanpa pedulikan berapa kalori yang
harus ia cerna. Kuku-kukunya juga bersih dan rapi, itu
mengejutkan.

“Ah, Ssaem... Aku mau satu lagi!” Halla mulai


merengek.

Tidak. Namjoon tidak akan goyah dan


mengamankan kotak itu membuat Halla mencebikkan
bibir.

“Kita belajar dulu sepuluh menit, baru kau bisa


dapatkan donat selanjutnya.” Sahutnya.

“Baiklah, baiklah.”

Meski nampak kesal, Halla menuruti Namjoon kali


ini. Sekali lagi demi donat.

“Jadi, kau mau mulai dari mana?” Tanya Namjoon


kemudian membuat gadis itu menggaruk kepalanya
dengan pulpen. Tidak terpikirkan apa pun.

“Eum... Terserah Ssaem.” Jawab Halla akhirnya.

“Bagaimana dengan phytagoras?”

“Phy... Apa?”
“Kau tidak tahu?”

“Seperti tidak pernah dengar.”

Namjoon syok. Dia sudah mengulang kelas satu tiga


tahun dan phytagoras pun ia tidak pernah dengar?

“Bagaimana dengan aljabar?” Namjoon masih


berusaha.

“Tidak tahu.” Halla mulai menggores-gores abstrak


buku tulisnya tanpa sedikit pun minat dengan
pembicaraan mereka.

“Dua pangkat tiga?”

“Eum...?”

“Sepuluh bagi dua?”

“Tidak ada yang lebih mudah lagi?”

“Tiga kali lima?”

“Banyak.”

“Dua tambah dua?”

“Empat!” Halla menjawab dengan girang.


Ia sampai berdiri dan mengangkat tangan. Merasa
percaya diri kalau jawabannya tepat. Sementara
Namjoon tak berhenti menyebut nama Tuhan. Dia
hampir ikut kesenangan saat Halla akhirnya menjawab
dengan benar, tap kemampuan gadis ini sama dengan
anak kelas satu SD. Bagaimana caranya Namjoon
mengajarkan semua pelajaran anak SMA dalam satu
bulan

Ah, Yoongi lebih baik membunuhnya saja.

***
Chapter 3
Terkadang, ada hal yang tidak bisa kita ubah sekuat
apa pun kita berusaha, membating tulang, berdoa
sepanjang malam, dan menggelontorkan banyak uang.
Kalimat ini cocok sekali untuk Yoongi khutbahkan di
hadapan Namjoon seandainya pria itu mau. Tapi kali ini
dia mencoba bersimpati meski tidak ada kata untuk
menghiburnya selain ingin menyemburkan tawa.

Yoongi tahu takkan ada yang bisa mengubah Moon


Halla. Menyentuh otaknya saja sulit. Dia mungkin ingin
mengerjai Namjoon juga. Orang ini pasti sudah
mengganggu pandangannya.

“Ingat, ya Namjoon, sebulan! Pacari dia selama


sebulan. Boleh lebih kalau kau suka padanya.” Kata
Yoongi berusaha mengangkat tangan Namjoon agar
bersalaman dengannya.

Pria itu lemas. Sekali lagi menghela napas dan


hampir berteriak pada dunia bahwa ini tidak adil
baginya. Ia sudah mengeluarkan semua
kemampuannya, mengajari Halla dari nol. Ia pikir Halla
menyerap semuanya dengan baik sebab dia selalu
kegirangan tiap mampu memahami rumus yang ia
ajarkan. Mengaku mengerti setiap ia bertanya apakah ia
sudah paham. Membuat Namjoon bangga dan melihat
secercah harapan. Tapi sebelum liburan musim panas,
rapotnya mengatakan bahwa nilainya masih merah
sehingga membuatnya tinggal kelas untuk yang ke
empat kalinya.

Dia tidak tahu saja sudah berapa uang yang


Namjoon keluarkan untuk mentraktirnya donat tiap
mereka belajar bersama. Dia sepertinya sekongkol
dengan Yoongi untuk mempermalukannya. Semoga saja
Halla bukan tipe gadis yang mengumbar hubungan
asmaranya karena ia belum siap ditertawakan orang-
orang karena memacarinya meski itu cuma pura-pura.

“Moon Halla?”

“Ya Ssaem?”

“Kamu mau kencan dengan saya malam ini?”


Percayalah Namjoon sudah memasang wajah
terbaiknya saat mengatakan itu meski ia tidak tahu apa
sebabnya Halla memasang wajah kaget separuh
ketakutan. Rasa-rasanya ia tidak memiliki taring panjang
yang akan nampak saat tersenyum. Kemudian gadis itu
mengagetinya dengan menjawab,

“Ssaem, sumpah demi Tuhan aku tidak sengaja


tinggal kelas lagi. Tapi memang otakku yang tidak bisa
mencerna. Aku lupa semuanya saat ujian. Blank... Jadi
jangan pura-pura mengajakku berkencan untuk
membunuhku. Aku tahu aku memang belum tahu apa
gunanya aku di dunia, tapi aku percaya suatu saat nanti
aku akan ada gunanya juga.” Cerocosnya panik.

Namjoon menahan bibirnya dengan kepalan


tangan. Sudut bibirnya berkedut-kedut ingin segera
meledakkan tawa. Tak habis pikir dengan fantasi ajaib
Halla. Bagaimana bisa ia berpikir Namjoon akan
membunuhnya—meski Namjoon ingin sekali jika ingat
taruhannya dengan Yoongi. Apa wajahnya
semenakutkan itu?
Namun setelah Namjoon beri pengertian, Halla
akhirnya setuju. Mereka berpikir untuk nonton bioskop
meski Namjoon harus mengalah soal memilih filmnya.
Seperti sifatnya yang tak bisa ditebak, Namjoon pikir
gadis sepertinya akan memilih film horor karena
pembaca sudah menebak. Tapi Halla memilih film
komedi romantis dengan rating dewasa membuat
Namjoon merasa sedikit aneh melihat Halla tetap baik-
baik saja menyaksikan adegan percintaan dan kata-kata
najis yang terdengar sepanjang film diputar. Sementara
Namjoon berkeringat dingin dan merasa pusing tiap
mendengar dialog pemeran utama. Terlalu banyak gula
dan puitis. Namjoon nyaris diabetes. Dan yang lebih
buruk, gadis itu menangis saat akhirnya si pemeran
lelaki meninggal dan menggenggam erat lengan
Namjoon sambil menggigiti kemejanya.

Semoga saja mulutnya tidak bau dan meninggalkan


jejaknya di sana.

“Kau suka film percintaan?”

“Aku ingin jadi penulis novel dewasa.”.


Kening Namjoon mengernyit. Merasa tidak ada
sinkronasi dalam percakapan mereka ketika
meninggakan gedung teater.

“Kakek bilang aku akan mewarisi semua asetnya


dan aku harus jadi orang pintar untuk bisa mengelola
semua itu. Tapi dari yang kulihat, menjadi orang pintar
itu kelihatan lelah. Ssaem sudah selelah apa?”

“Eh?”

Namjoon terkesiap ketika kalimat itu berujung


pertanyaan untuknya. Anak ini bodoh, tapi sesekali kata-
katanya kritis sekali. Dia yang sebelum ini nampak tak
peduli dengan apa pun, sebenarnya juga memikirkan
masa depan. Mungkin?

“Saya tidak lelah. Saya mencintai ilmu pengetahuan,


terutama Matematika. Tiap kali memecahkan soal, saya
merasa bangga pada diri saya sendiri.”

Mendengar jawaban Namjoon, Halla cemberut. Dia


mungkin tidak menyukai jawaban Namjoon sebab itu
terlalu kasar bagi nuraninya yang sensitif seperti pantat
bayi. Membuat Namjoon berusaha mencari ide agar
tidak berkubang dalam keterpojokan terlalu lama.
Waktu belum terlalu malam, jadi sepertinya mereka bisa
mampir ke karaoke sebentar. Tidak tahu jika tempat itu
bisa membuat Halla hyper aktif.

Dimulai dengannya yang memesan alkohol dan


menyuruh Namjoon tetap tenang karena Halla sudah
memasuki usia dewasa, ia juga berubah jadi makhluk
primitif saat masuk ke ruangan minim cahaya dengan
lampu disko itu. Sekonyong-konyonh ia lempar
blazernya pada Namjoon setelah memilih lagu.
Membuat Namjoon sesaat terpukau lantaran Halla
ternyata menyembunyikan tubunnya yang sempurna di
balik seragam sekolahnya selama ini.

Dadanya besar—astaga! Belahannya nampak


mengintip memanjakan netra Namjoon di balik baju
tanpa lengannya. Talinya kecil sekali. Kalau putus,
melorot semua. Namjoon meneguk satu gelas kecil Coke
yang mereka pesan ketika otaknya mulai bergeser dari
kewarasannya. Untungnya Halla memiliki cara untuk
menyadarkannya dengan suara sumbangnya yang
menyakiti telinga.

Benar kata Yoongi. Hati-hati dengan Halla. Suaranya


lebih buruk dari keledai. Tidak ada bedanya dengan
Namjoon sehingga dia memilih menjadi penyanyi latar
dan penonton setia. Dia tidak mau mempermalukan diri
sendiri dengan ikut bernyanyi meski Halla memaksanya.
Ia terus merengak sampai menarik-narik tangan
Namjoon percuma. Dia pikir sekuat apa? Yang ada malah
dia sendiri yang tertarik ke arah Namjoon dan jatuh ke
pangkuannya.

Rasanya... Sepeti di film yang tadi mereka tonton.


Tepat sebelum kedua tokoh utama akhirnya jatuh cinta.

Halla yang menatapnya dengan wajah polos dan


terlalu dekat membuat Namjoon menelan ludah. Entah
dia sudah minum seberapa banyak, tubuhnya mulai
kegerahan.

“Ssaem?”

“Erm... Ya?”
“Apa kau membawa hewan piaraan?”

Namjoon mengernyit.

“Apa?”

“Sesuatu yang keras tiba-tiba menyundul pantatku.


Aku takut dia akan mati karena mendudukinya.” Sahut
Halla membuat Namjoon tergugu.

Yang benar benda itu hidup karena kau duduki,


Moon Halla.

“Kamu... Mau jadi pacar saya?”

Halla terkesiap. Apa gurunya ini tak kasihan pada


piaraannya? Kenapa dia malah mengajaknya pacaran?

“Tapi saya bodoh, Ssaem.”

“Tapi saya yakin kamu bisa melakukan ini,” sahut


Namjoon seraya membimbing tangan Halla menuju
benda mengeras yang meresahkannya.

Seperti dugaan Namjoon, Halla tidak bodoh sebab


begitu ia mempertemukan dua tanganya dengan
sesuatu yang menegang dibawah, dengan terampil
tangan Halla meraba-raba dengan sendirinya tanpa ia
suruh. Matanya membola dan bibirnya membulat
takjub. Dia nampak menyukainya sebab ada senyum
yang ia lihat terbit di wajah itu membuat Namjoon
hampir gila.

“Benar begitu.” Namjoon bilang sambil


menyandarkan punggungnya pada sofa lalu melebarkan
kembali kedua kakinya. Rasanya sudah lama sekali ada
tangan feminine yang memanjakan adik kesayangannya
itu. Lihatlah bagaimana Namjoon begitu menikmati
dengan mata terpejam, nafas terengah dengan suara
lenguhan yang sengaja ditahan.

“Lalu saya dapat apa?” Tanya Halla kemudian


sambil melepaskan genggaman tangannya kepada
batang hangat itu.

Sebuah tindakan harus dapat imbalan, itu motto


hidup Halla. Maka ia merajuk hebat saat Namjoon
menangkup kedua dadanya dengan gemas. Dia bukan
gadis polos meski bodohnya tak ada yang menyaingi.
Jujur Halla sangat menikmati pijatan serta terkaman
tiba-tiba gurunya itu tetapi Halla masih tahu diri.
Ditamparnya wajah tampan gurunya membuat pria itu
nyaris pingsan. Dia menampar atau meninju? Kuat sekali
tenaga gadis bodoh yang sedang horny ini.

“Maaf Ssaem, aku tidak bermaksud memukul. Aku


hanya kaget. Mau dilanjutkan lagi?” Ujar Halla buru-
buru sambil menggenggam adik namjoon secara tiba-
tiba karena nampaknya suasana hati gurunya berubah
menjadi buruk dari sebelumnya..

Dia tidak ingin melewatkan momen ini, sungguh.


Bagaimana tidak, baru kali ini Halla merasakan memijat
dan dipijat dengan cara “menyenangkan”.

“Tidak, Halla. Saya yang harusnya minta maaf


karena bersikap kurang ajar dan tidak sopan
terhadapmu. Lebih baik kita pulang, sudah malam.”

Halla mengangguk. Jujur Halla sedih, karena dia


tidak bisa melanjutkan sesuatu yang baru dan
menyenangkan untungnya. Ahhhh Guru Payah!
Batinnya.
Chapter 4
Sejak malam itu mereka memutuskan untuk
menjalin hubungan, dan semua hal rasanya berubah
terlalu banyak. Moon Halla yang terbiasa apatis menjadi
lebih aktif. Sebenarnya tidak menjurus ke arah baik
sebab dia hanya memperhatikan Namjoon sekarang.
Terang-terangan terpesona dan tersenyum lebar tiap
kali mereka beradu pandang.

Ini aneh. Ini mengganggu. Tapi tiap selesai dengan


itu kenapa Namjoon ingin tersenyum juga? Gila.

“Belajar lebih rajin lagi!”

“Terima kasih, Ssaem.”

Saat membagi kertas ulangan juga sempat-


sempatnya begitu. Halla benar-benar girang. Membuat
Namjoon salah tingkah tanpa tahu alasan Halla sesenang
itu. Bukan karena dia tergila-gila pada Namjoon
sebenarnya, pria itu salah kaprah. Justru sebaliknya,
nampaknya gadis itu berhasil menjeratnya dalam
pusaran cinta buta sebab Halla bahagia karena Namjoon
memberinya nilai yang tidak terlalu memalukan untuk
ditunjukkan pada Seorim—kepala pelayan di rumahnya.

“Guru Anda sudah waktunya pensiun. Apa dia


sudah tua sekali sampai pikun? Jawaban Nona harusnya
salah semua.”

Alih-alih pujian, Halla ditegur habis-habisan oleh


wanita muda yang selalu sempurna di matanya itu.
Wajahnya cantik, tubuh tinggi seperti model, masih
muda tapi sangat pintar sampai memiliki pekerjaan
keren memimpin semua pelayan di rumah kakeknya.
Padahal, banyak pelayan yang lebih tua darinya.
Menurut Halla itu keren sekali. Akan lebih keren lagi
kalau Seorim jadi aktris dan wajahnya ada di mana-
mana.

“Dia masih muda, Seorim. Dia menyukaiku.


Akhirnya aku tahu cara naik kelas tanpa perlu belajar.”
Jelasnya bangga.

“Apa yang sudah Nona berikan pada guru Nona?”

“Aku hanya memijatnya.”


“Pijat?”

Seorim memejamkan mata jengah. Apa-apaan


Nonanya ini? Dia bisa dapatkan apa saja di rumah, dan
ia memilih memijit gurunya agar nilainya naik? Siapa
guru yang berani merendahkan Nonanya itu?

“Dia memberiku donat setiap hari.” Kata Halla juga.

Pantas. Gurunya bahkan tahu kesukaan gadis ini.


Seorim tidak mengerti harus menasihati Halla dengan
kata-kata yang bagaimana lagi. Dia ini terlalu bodoh
sampai ia kerap mengeluh pada pacarnya yang juga
guru. Caranya hidup tidak bisa diterima akal.

“Ya sudah, kalau Halla tidak mau sekolah menikah


saja.” Sela sebuah suara renta yang menarik atensi dua
dara itu.

Seorang pria tua nampak memasuki kamar Halla.

“Menikah?”

“Setidaknya suamimu bisa kakek andalkan. Syukur-


syukur kalau dia pintar dan bisa memberi keturunan
yang cerdas. Tapi pria mana yang mau menikahi gadis
yang tidak lulus SMA?”

“Tapi aku, kan cantik?” Protes Halla.

“Kakek selalu mengkhawatirkan masa depanmu


makanya tak kunjung mati. Kakek takut jika kau dibodohi
orang setelah aku pergi dan membuangmu. Itu
sebabnya kakek ingin kau lebih pintar.”

“Kakek tenang saja. Ada Seorim. Dia akan setia


padaku. Dia akan mengerjakan semuanya untukku.”

Awalnya ingin terharu, Seorim kemudian


merotasikan bola mata. Ia pasti akan segera pergi dari
rumah ini kalau ada waktu. Setidaknya ia harus carikan
penggantinya untuk mengurus makhluk bebal ini
sebelum itu.

***
“Kulihat-lihat, kau menikmati masa-masa pacaran
dengan Halla padahal sebelumnya anti sekali? Aku
penasaran.” Ungkap Yoongi.

“Ah, tidak begitu juga. Hanya tertarik secara fisik.


Dia cantik dan—“

Kau tahu arti tatapanku.

Yoongi terkekeh lucu.

“Kudengar nilainya naik sekarang di pelajaran


Matematika?” Tanya Yoongi sengaja. Sengaja
menyindir.

“Kalau kau tidak suka, lebih baik jangan terlalu


dekat. Nanti kau diam-diam menangis di rumah setelah
memutuskannya?”

Namjoon tergugu, tidak terima dengan Yoongi yang


meremehkan kejantanannya. Dia lelaki sejati, mana
mungkin menangis.

“Tidak, itu takkan pernah terjadi. Aku, kan tidak ada


perasaan padanya. Dia Cuma taruhan kita aku juga ingat
dan membatasi diri. Kita tidak boleh diperbudak cinta
oleh wanita, iya kan... Hyung?”

Entah kenapa saat mengatakan itu, pandangan


Namjoon meluruh jatuh ke lantai rooftop. Tiba-tiba
merasa tidak yakin sebab hatinya serasa menolak dan ia
menyadari itu, sampai sebuah sepatu tertangkap
penglihatannya, mata Namjoon melebar. Tidak perlu ia
mengurutkan ke mana ia perlu menatap, ia langsung
menuju wajahnya dan sontak terkejut bukan main
melihat Halla berdiri di hadapan mereka dengan mulut
belepotan. Donat yang tinggal setengah ada dalam
genggamannya lemas. Nampaknya dia mendengar
pembicaraannya dengan Yoongi karena pria itu memilih
kabur pelan-pelan dari sana. Teman macam apa dia?

“Jahat sekali.” Tutur Halla menusuk.

Satu lagi sikap yang belum pernah Halla tunjukkan


padanya. Dia nampak marah.

“Halla, saya—“
“Teganya Ssaem mempernainkanku, menjadikanku
taruhan. Kupikir hubungan kita akan berhasil. Saya tidak
terima.” Halla bilang.

“Saya tahu saya salah, Halla. Sekarang kau pasti


sangat membenci saya. Saya minta maaf.” Namjoon
benar-benar menyesal. Tiba-tiba ia membayangkan
Halla menjauhinya dan ia merasa takut.

Gadis ini sudah lebih dari mencuri perhatiannya.

“Ssaem pikir maaf saja cukup?” Halla berteriak.

Dari yang terlihat, dia nampak kecewa sekali.

“Kau mau minta ganti rugi? Saya sudah


mengeluarkan banyak uang untuk membelikanmu
donat. Anggap saja itu ganti ruginya.”

Bodoh.

“Tidak! Aku tidak mau! Ssaem pikir perasaanku


hanya seharga donat? Tapi donat memang segalanya
bagiku.” Elak gadis itu.

Namjoon menyeringai. Maksudnya apa, sih?

“Jadi kau mau apa?”


“Nikahi saya!”.

Hei!

Di cerita-cerita lain kalau seseorang yang ketahuan


menjadikan seorang gadis taruhan, dia akan dibenci
meski ujung-ujungnya cinta. Tapi ini terlalu melunjak,
Moon Halla.

***
Chapter 5
“Kenapa aku harus menikahinya? Aku bersumpah
tidak pernah menidurinya! Mencium saja tidak sempat.”
Ungkap Namjoon dengan nada pelan dikalimat terakhir.
Benarkah Namjoon tidak sempat mencium?.

Di sini Yoongi yang bertaruh akan hengkang dari


sekolah kalau dia kalah, tapi kenapa sekarang Namjoon
yang terancam dikeluarkan dari sekolah kalau tidak mau
menikah dengan Halla? Ini tidak masuk akal.

“Nah, kau diberi kesempatan untuk menyalurkan


fantasi kotornu itu.” Sahut Yoongi.

“Tapi mendadak sekali. Bagaimana kalau ibuku


serangan jantung?”

Itu bisa saja terjadi. Tidak ada angin tidak ada hujan
tiba-tiba pulang kampung untuk mengabarkan
pernikahan, ibunya pasti akan mrngira ia menghamili
anak orang. Lagi pula ia belum bisa membahagiakan
keluarganya. Gajinya kecil dan pas-pasan. Kemudian ia
malah harus menghidupi anak orang? Moon Halla
membayangkan masa depan yang bagaimama
dengannya? Gelandangan?

“Tidak akan. Dia akan sangat bahagia kalau tahu


siapa yang akan kau nikahi.” Sahut Yoongi lagi.

Namjoon menyeringai. Tidak setuju dengan


penuturan Yoongi. Apa yang bisa dibanggakan dari
menikahi gadis seperti Halla?

“Gadis bodoh yang yang tidak bisa perkalian?”

“Kau sungguh tidak tahu Halla itu siapa?” Tiba-tiba


Yoongi meninggikan suara.

Namjoon berpikir. Mencoba menebak di mana


salahnya dia.

“Apa ada plot twist di sini bahwa dia adalah cinta


masa kecilku sebenarnya?”

“Bodoh!” Yoongi menoyor pelipisnya.

Orang pintar ini kadang-kadang juga tidak ada


otaknya. Suka mengkhayal.

“Saat kau kecil Halla belum lahir.” Yoongi bilang.


Namjoon mendecih. Dia tidak setua itu juga. Yoongi
juga masih lebih tua darinya. Kenapa jadi mersasa
seperti pedofil?

“Lantas?” Namjoon benar-benar ingin tahu.

Yoongi menatap Namjoon serius. Apakah Namjoon


sedang pura-pura?

“Dia cucu pemilik sekolah ini.”

Dan membolalah mata serta mulut Kim Namjoon. Ia


terbata-bata merasa telah menemukan dunia asing yang
menakjubkan. Atlsntis yang tersembunyi. Dia sering
mendengar cerita tentang keluarga pemilik sekolah yang
bisa dibilang lebih dari kaya. Bisnisnya berkembang
pesat dan sekolah ini cuma segelintir dari asetnya. Yang
masih sulit diterima akal adalah bahwa adalah cucu dari
pemilik sekolah dan tidak banyak orang yang tahu.

Pantas tidak naik berkali-kali masih dipertahankan.


Padahal dia aib sekolah.
“Kau serius?” Namun ia masih meragukan Min
Yoongi meski ia sudah sepenuhnya tenggelam dalam
fantasi.

“Sudah bisa membayangkan masa depan?” Bisik


Yoongi.

“Ya.. Cerah sekali.”

Namjoon bisa membayangkan hidupnya yang


terjamin. Istri cantik meski bodoh tapi dia kaya. Boleh
juga.

“Tapi kenapa dia minta kunikahi?” Racau Namjoon


kemudian.

***.

“Dia pintar. Kalau aku menikah dengannya aku tidak


perlu repot melanjutkan sekolahku. Anak-anakku juga
pasti akan menjadi anak yang cerdas.”

Seorim memukul keningnya sendiri. Benar-benar


sempit otak gadis ini.
“Siapa bilang jika Nona menikah dengannya akan
punya anak pintar? Cerdas atau tidaknya seorang anak
itu tergantung ibunya.”

Maka terperanjatlah Halla kemudian ketakutan.


Meski dia bodoh, dis tidak ingin keturunannya memiliki
kemampuan berpikir yang sama. Paling tidak salah satu
anaknya harus jadi dokter atau tentara. Menurutnya
Namjoon adalah orang yang sempurna untuk
mewujudkan cita-citanya itu. Tapi jika Seorim benar,
Halla hanya akan menambah populasi orang bodoh di
dunia.

“Kau bohong hanya agar aku tidak jadi menikah,


kan?”

“Andai saja Nona bilang mencintainya, semua akan


lebih mudah. Tapi motif Anda menikah aneh sekali.”

“Tidak perlu mencintainya, yang penting aku punya


nafsu padanya.”

Seorim ingin pensiun saja. Kelakuan Nonanya


semakin hari kian tak terkendali.
Jadi dia juga tidak bisa menasihati lagi sebab kakek
Halla juga senang sekali mengetahui Namjoon adalah
guru di sekolah Halla dan sangat pintar. Sikapnya juga
ramah dan sopan. Dia tahu cara mengambil hati kakek
Halla. Namjoon yakin setelah menikahi gadis itu ia akan
segera naik jabatan di sekolah. Jadi kepala sekolah
mungkin? Yoongi pasti akan menyesal pernah mengajak
Namjoon taruhan.

Jadi sebenarnya hubungan mereka sudah sejak


awal salah. Pacaran karena taruhan, menikah pun
karena tergiur kekayaan. Untungnya Namjoon memiliki
satu hal yang penting dalam hubungan ini, dan Namjoon
rasa semua itu takkan membuat Halla menderita sebab
gadis itu selalu menarik perhatiannya secara fisik. Meski
Namjoon tidak tahu betul dengan perasaannya. Ia hanya
merasakan sesuatu menggebu di dadanya ketika
menyadari Halla sudah resmi ia persunting.
Penampilannya yang cantik membuatnya gelap mata
sehingga meski resepsi acara belum selesai, ia diam-
diam mengajak gadis itu kembali ke kamar dengan
alasan lelah.

Dan si bodoh itu menurutinya.

“Kenapa mengunci pintu? Kalau kakek mencari kita,


dia tidak bisa masuk.” Tegur Halla setelah melihat
Namjoon mengunci pintu kamar dan kini berdiri
menjulang di hadapannya dengan tatapan lekat.

“Mulai sekarang tiap kita berada di kamar, pintu


harus selalu dikunci.” Sahut Namjoon seraya melepas
dasi kupu-kupunya.

Melangkah mendekat, ia membuat Halla berjalan


mundur berusaha menghindarinya hingga kakinya
terantuk pinggiran ranjang dan ia langsung jatuh
terlentang di atasnya. Namjoon menyeringai dan Halla
merasakan jantungnya berdegup kencang.

“Sudah siap?” Tanya Namjoon seraya merendahkan


punggung dan berbisik di telinga Halla yang sensitif.

“Ssaem mau apa?”

Pertanyaan bodoh.
“Kau bilang ingin punya anak yang cerdas dariku?
Kau tidak akan mendapatkannya jika tidak bersiap-siap.”
Jelas Namjoon.

Halla tersenyum lebar tidak tahu apa yang sedang


dipikirkannya. Yang membuat Namjoon kaget adalah,
gadis itu tiba-tiba menarik tangannya Hingga Namjoon
tak lagi bisa menjaga keseimbangan sehingga dia jatuh
terlentang di samping Halla dengan gadis itu yang
langsung naik ke atas perutnya.

“Maksud Ssaem telanjang? Oh, aku bahkan tidak


perlu melakukannya untuk membuat Ssaem
menginginkanku.” Katanya.

Halla benar. Namjoon seolah sudah terhipnotis.


Halla masih memakai gaun pengantinnya yang super
duper merepotkan saat ia mulai menggerayangi tubuh
itu dengan kecupan-kecupan kecil. Lagi pula akan
memakan waktu lama jika menunggu Halla berganti
pakaian sementara menunggu akan membuat Namjoon
lemas kembali, jadi biar saja Namjoon merusak
semuanya karena ia sudah tidak tahan. Yang penting dia
bisa menyingkap gaun itu dan mempersatukan apa yang
seharusnya disatukan. Bagian atas tidak terlalu penting
baginya kendati sedari tadi Namjoon tak bisa lepas dari
dada gadis itu. Halla sudah bisa membuatnya
bersemangat hanya dengan mengernyitkan kening dan
membuka mulut mengeluarkan desahan. Halla cantik
sekali saat melakukannya.

Dan lantaran pengalaman pertama, mereka begitu


cepat terkalahkan. Namun hal yang tak ia lupa ketika
mereka selesai, Namjoon berkata sambil membelai
pipinya dengan nafas yang terengah.

“Kau luar biasa.” Pujian yang membuat Halla


senyum seketika dan berpikir secara cepat bahwa
akhirnya “Dia menemukan Bakatnya.”

***
Chapter 6
Prahara dalam rumah tangga mereka cepat datang.
Sebenarnya belum ada yang mempernasalahkan,
namun Halla mulai kepikiran dan merasa kecewa pada
dirinya sendiri. Sementara Namjoon tengah asyik-
asyiknya menikmati berkah dari Tuhan yang begitu
istimewa. Sampai ia juga merasa khawatir sebab Halla
nampak murung setiap mendapatkan tamu bulanannya.

“Kenapa aku tidak kunjung hamil?” Keluhnya saat


makan malam.

Namjoon mendadak kehilangan selera makannya.


Ia menatap Halla bingung.

“Kita baru empat bulan menikah. Banyak di luaran


sana yang bertahun-tahun menikah baru punya anak.”
Hiburnya.

Tapi Halla tidak senang mendengarnya.

“Tapi, kan aku sudah tidak betah di sekolah. Aku


tidak mau sekolah lagi.”
“Kakek pasti akan sedih kalau mendengar kata-
katamu barusan.”

“Menyebalkan.”

Selalu begitu. Setiap mereka berdebat, Halla


kemudian marah dan mogok makan membuat Namjoon
kemudian merasa bersalah. Kadang ia terpikir untuk
mengecek kesehatannya, tapi jika masalahnya ternyata
ada pada Halla bagaimana?

Hari kemudian, Halla menakutinya karena nafsu


makannya bertambah. Setelah mogok makan sepertinya
dia sadar bahwa makanan terlalu enak untuk
ditinggalkan. Dia bahkan memesan dua kotak donat dan
satu kotak pizza ukuran besar. Akan marah-marah jika
Namjoon hendak meminta sedikit saja berakhir ia hanya
menyaksikan Halla makan sambil menelan ludah.

Keesokan harinya rumah heboh sebab saat sarapan


Halla muntah-muntah. Kakek sudah senang, dan Seorim
sudah menghubungi dokter keluarga untuk datang
namun Namjoon masih tidak yakin ketika Halla berbisik
padanya berulang kali bahwa,
“Aku hamil.”

Kemudian dokter mematahkan asumsinya dengan,

“Nona Halla hanya terlalu banyak makan.”

Dan, Oh! Itu seperti tamparan keras untuk


perempuan itu. Ia semakin sedih mengetahui ternyata ia
salah memperkirakan. Mau tak mau Namjoon juga harus
bertindak sebab ia tidak ingin Halla berlama-lama dalam
kegundahan.

Segala macam cara dilakukan Namjoon untuk dapat


menghamili istrinya yang sangat terobsesi pada sperma
berkualitas tingginya. Bertanya pada Yoongi, mencari
artikel bahkan mencari video tutorial cara membuat
anak dengan cepat dan nikmat di salah satu situs
dewasa. Sungguh saat ini Namjoon sangat kalut

Saat ini Namjoon dalam posisi terancam kalau ia tak


bisa segera membuat Halla hamil. Maka Halla penasaran
karena Namjoon sibuk dengan kalender sampai
mengabaikannya.
Dia terlihat berpikir sebelum menggerakan pena
untuk membulatkan angka di kalender itu.

“Ssaem sedang apa?” Tanya Halla sambil bersandar


pada bahu bidang suaminya dan mengamati apa yang
sedang dilakukannya.

“Oh, aku sedang melingkari tanggal di kalender ini.”


Jawab Namjoon seraya mengecup kening Halla singkat.

“Untuk?”

“Menandai masa suburmu, ini saat terbaik bagiku


untuk membasahi rahimmu itu.”

Halla hanya diam tidak berkata apapun, bukan karena


tidak perduli dengan usaha suaminya.

Tetapi karena dia tidak mengerti.

The End..

Mau tahu kelanjutannya??

Pantau terus ya postingan Instagram dan Wattpad


MJ.ink juta Treeliu. xoxo

Anda mungkin juga menyukai