Anda di halaman 1dari 3

Anak-Anak Ayam

Anak ayam adalah makhluk yang eksotis. Makhluk yang satu ini benar-
benar berandal. Tubuh mungilnya bisa dengan mudah berkeliaran ke mana saja.
Masuk ke rumah tanpa permisi, pup sana-sini, pokoknya melakukan hal yang dia
inginkan saja. Bukan hal mudah untuk menggiring anak ayam keluar rumah. Butuh
tenaga ekstra dari kaki, tangan, mulut sampai kesabaran. Tingkahnya yang liar,
nakal, brutal membuat semua orang menjadi gentar.

Kelasku ga jauh beda dengan anak ayam ini. Ya, harus diakui kalau dalam
satu kelas pasti orangnya berbeda-beda. Sifat, tingkah laku, kesenangan, dan
cara menghadapi masing-masing umatnya itu pasti berbeda. Apalagi ini kelas yang
terkenal paling bar-bar di kantor guru. Haha, ya! Dan aku terpilih menjadi ketua
kelasnya. Aku menghadapi kelas ini, menghadapi 33 anak ayam.

Saat ini kami duduk di kasta tertinggi dari pelajar sekolah ini. Kelas 3
yang katanya masa-masa bertobatnya anak SMA karena sudah mulai mengingat
dosa-dosanya selama di sekolah. Namun hal itu sama sekali tidak berlaku di kelas
ini. "Gadak cerita, bacot tu semua" istilahnya kalau di benak anak-anak kelas ini.
Wajar memang, mengingat kelas ini dihuni oleh warga yang hampir semua
warganya berbatang, ups.

Warga kelas ini bermacam-macam latar belakang. Ada Bule kesasar, Si


Wibu, Ibu Kost, Si Madura, Si Nias, ada juga panglima perang di salah satu geng
sekolah ini. Tapi lebih parah lagi entah kenapa harus ada bencong, sudah akut
stadium 4 malah. Suka ga ngerti kenapa ada manusia yang ga terima kenyataan
gitu. Anehnya lagi anak OSIS juga. Ya, Tuhan... ampunilah hamba-Mu yang tidak
menghargai tubuhnya sendiri itu.

Seperti biasa bel berbunyi pukul 7.15 dan hebatnya masih 8 orang yang
sudah terlihat batang hidungnya. Sudah 10 menit berlalu tetapi masih 2 orang
yang baru datang, kebetulan juga gurunya belum masuk. Kupandangi seisi kelas
yang masih 10 orang umatnya, yang laki-laki masih asyik dengan gadgetnya dan
yang perempuan asyik bergosip dengan teman sebangkunya.

"Oalah masih pagi udah menggosip" teriakku mengejek pada bendahara


kami yang dijuluki Ibu Kost

"Apasih!?" dengan tatapan tajam setajam silet dia membalas.


Aku hanya tertawa dan pikirku memang cocok dia disebut Ibu Kost. Dia
selalu menggunakan logat ngegasnya untuk menagih uang kas kenegaraan IPA 7
ini. Tapi memang karena sudah terbiasa dengan logatnya ini anak kelas ini jadi
tidak takut sama sekali malah semakin menjadi pemberontakannya. Ya pasti, lah!
Kelas ginian mana mungkin mau taat bayar uang kas.

Pak Sam selaku guru biologi sudah masuk selang 10 menit dan hebatnya
tinggal 2 orang yang belum datang. Entah bagaimana ceritanya seakan mereka
sudah janjian dengan Pak Sam untuk masuk telat. Sepasang manusia sisanya ada
juara kelas kami, juara telat. Langganan mereka soal terlambat meskipun
sebenarnya terpeleset pun mereka bisa sampai di sekolah. Lebih parahnya lagi
yang 1 orang lagi itu perempuan, lho. Sedangkan perempuannya udah gituan
gimana lagi laki-lakinya.

Memang penghuni kelas sudah lengkap juga akhirnya tapi tetap saja tidak
semua yang mengikuti pelajaran. Seperti biasa hanya Si Bule, Si Banci, dan Si
Madura saja yang benar-benar mengikuti pelajaran. Sisanya ya sama seperti
sebelum gurunya masuk, gosip, mabar push rank, sampai yang tidur juga ada.
Awalnya Pak Sam marah sama mereka-mereka ini tapi entah kenapa belakangan
ini tidak lagi, mungkin Pak Sam lelah. Tidak hanya pak Sam, sih. Beberapa guru
lain juga sepertinya sudah malas masuk kelas ini. Terbukti kami terlalu sering
ditinggal guru tidak masuk tapi saat kelas sebelah ada mapel beliau, sang guru
tiba-tiba ada.

Pak Sam adalah guru sering menyelipkan kalimat "Iya silahkan diminum ya
Nak ya. Seteguk aja seteguk". Agak aneh gitu memang, beliau mau minum ngajak-
ngajak padahal kami ga ada yang haus. Tapi ya namanya anak ayam, mereka sahut-
sahut balik rada ngejek "oh iya pak seteguk ya seteguk" terutama si nias yang
paling semangat kalau soal menyahuti perkataan guru. Langsung teriak dia
"seteguk ya we!!" tetapi mungkin Pak Sam ga paham kalau sebenarnya kami sedang
mempermainkannya karena setiap dia masuk masih selalu menyelipkan kalimat itu.

Tibalah saatnya mapel ekonomi oleh Bu Syahroni. Ya memang kalau


gurunya baru masuk semua tertib gitu, tapi lama-lama keluarlah aslinya mereka,
mereka bakalan asyik dengan dunianya sendiri.

"Ayo kumpul tugas yang Ibu kasih minggu lalu!" ujar Bu Syahroni.

Mulailah bisikan-bisikan maut "tugas apa we?". Haha, jelas saja banyak
yang ga selesai karena banyak yang ga tahu juga. Yang sudah selesai ngerjain
paling cuma jajaran orang rajin yang tadi.
Mungkin mereka begini juga karena selama ini Bu Syahroni ga pernah
marah kalau ada yang ga menyelesaikan tugas. Tapi hari ini berbeda, entah apa
yang merasuki Bu Syahroni hingga beliau bisa marah. Ya, sepertinya beliau sudah
terlalu jengkel pada kami. Kalimat-kalimat penuh amarah keluar dari mulutnya.
Pada diam memang semua dengan kepala tertunduk. Dan kelihatannya beberapa
juga tunduk karena sedang bermain game, tanpa rasa bersalah.

Akhirnya beliau selesai dengan ceramahnya dan duduk sambil memandangi


keluar jendela. Tidak lama kemudian kelas kembali seperti sedia kala. Beliau pun
keluar dengan muka asam bak mangga belum masak. Seketika kelas menjadi
hening.
Dengan bangganya si panglima perang berkata dalam keheningan "marah dia we",
sontak banyak yang justru tertawa mendengarnya.

Tiba-tiba Bu Syahroni nongol di depan pintu dan keheningan kembali


melanda. Merepet lagi beliau "Jangan ada yang keluar, awas kalau ada yang
ketahuan saya!"

Kalimat sampai jumpa lagi itu didengar seisi kelas dan ya, lagi-lagi mereka
tertawa cengengesan karena masih takut didengar Bu Syahroni jika tertawa.
Si Bencong mencoba mengintip dari pintu dan kemudian berkata "iss betulan pigi
lo dia wee", dengan logat bencong pastinya.

Barulah tawa terbahak-bahak menggema di ruangan 8m×8m ini. Sayup-


sayup terdengar diantara keributan "wop ditantang dia kita, ayok kantin we!”
Pergilah beberapa orang ke kantin. Aku berusaha melarang tetapi ya apa gunanya,
namanya juga anak-anak ayam.

Anda mungkin juga menyukai