Anda di halaman 1dari 15

[FF Freelance] 6 Reasons To Say Its

Okay (Oneshot)

Title : 6 Reasons To Say Its Okay

Author : ivannuneo
Main Cast :

Kang Sunhi (OC)


2PM

Cameos :

Suzy (Miss A)
Jessica (SNSD)
Victoria (fx)

Rating : PG
Length : 6 in 1 Drabble (or ficlet?) collection, with 2554 words in total so I call it
Oneshot.
Genre : Romance, Sad
Disclaimer : Selain Kang Sunhi, semua karakter disini punya Tuhan, agensi masingmasing, dan fandom tentunya~ Cerita asli punya saya. Pernah di post di blog pribadi dan
IndoFanfictKpop.
Summary : Bagi seorang Kang Sunhi, mengalami kisah cinta yang tak berpihak
kepadanya sebanyak enam kali berturut-turut bukanlah sebuah masalah. Selama hati
kecilnya menyanggupi, maka ia anggap semuanya baik-baik saja.
*****

Reason 1
Its okay to get hurt. Its okay to hold on to the pain. Because being with him is just
simply comfortable, then its okay.

Bum bum bum

Tubuh tinggi itu mendorong badannya jauh-jauh ke udara. Bola oranye gelap yang
semula melekat pada tangannya tiba-tiba saja sudah melewati ring dengan indah. Tepuk

tangan bergemuruh diiringi sorak-sorakan ramai memenuhi seisi gymnasium, dibalas


dengan lambaian tangan gembira dari si tokoh utama pada permainan hari itu.

Aku melirik papan skor. Terhitung 56 poin telah diberikan untuk sekolahku, berselisih 39
poin dengan sekolah lawan. Cukup mengesankan sekali bahwa ia telah mencetak 45
angka berharga oleh dirinya sendiri. Menyadari itu semuanya langsung saja tahu, sang
kapten sedang mengepakkan sayapnya lagi.

Bibirku mengulum senyum pedih. Bahkan ketika aku adalah satu-satunya yang meredup
di antara euforia kemenangan di atas tribun, Hwang Chansung tetap selalu bersinar di
atas lapangan.

Maksudnya, siapa yang peduli?

Baru saja tiga hari lalu aku kembali menjadi masa lalunya. Tidak menutup kemungkinan
jika suatu saat nanti Chansung akan hadir lagi, meluluhkan pendirianku dengan kedua
bola matanya, mengajakku untuk kembali menggamit tangannya. Sekali lagi ia
mengumbar cinta, dan mau tak mau aku terhanyut dalam bahagia semu karena memang
benar jika hingga detik ini aku masih sangat menyayanginya. Kemudian dengan cara
yang sulit dimengerti, mungkin Chansung akan kembali memutus hubungan itu.
Berulang-ulang mengatakan aku bodoh, tidak bisa mengerti dirinya, seolah lupa bahwa
ialah yang sempat menarikku untuk kembali. Namun selalu, pada akhirnya hanya hatiku
lah yang meringis.

Tapi aku masih tetap ingin bersamanya. Sesederhana itu.

Hey, kau baik-baik saja? pria bermata sipit itu bertanya padaku. Memang tak mudah
untuk melihat mantan kekasihmu dengan cara yang seperti ini. Biar kuantarkan kau
pulang.

Aku melepas pegangannya pada lenganku enggan. Tidak apa-apa, Junho-ah. Aku suka
melihatnya.

Ya, meski berkali-kali aku dipermainkan olehnya sebagaimana ia memantul-mantulkan


bola basket itu sesuka hati, tidak apa-apa karena aku suka melihatnya.

Reason 2
Its okay if he still cant move on just yet. Its okay if everything he thinks of is always
the same. If liking him is merely enough, then its okay.

Tidak bisa, ya?

Aku memerhatikan Junho yang sedang berjongkok dan meneliti mesin motorku dengan
cermat. Hari sudah mendekati petang, dan kami berdua sepertinya adalah yang tersisa di
parkiran sekolah. Aku dan dia menghabiskan berjam-jam untuk membenahi sepeda motor
lama yang tak bisa menyala itu.

Sunhi-ah, ia berdiri dan menepuk-nepukkan tangannya menghempaskan debu. Ayo


kita pulang dengan berjalan kaki saja.

Tidak usah. Kau kan membawa motor juga. Lagipula aku bisa naik angkutan u

Aku terinterupsi oleh lengannya yang tiba-tiba sudah mengalungi leherku. Ia sedikit
menarikku mendekat ke tubuhnya, bahkan bisa kurasakan nafasnya yang menyapu ujung
rambutku dengan lembut. Mataku melebar dalam kejut, dan tak tanggung-tanggung
pipiku langsung saja menunjukkan semburat kemerahan.

Ayolah, pipi merah. Aku sedang ingin berjalan dengan sahabatku. ia menarikku
mengikuti langkahnya.

Sinar temaram lampu jalanan yang datang bergantian menyapu wajah tenang Junho. Ia
memiliki hidung yang mancung, bibirnya tipis dan terlihat lembut, dan tentu saja yang
paling kusuka, mata kecilnya itu tidak pernah berhenti membuat aku terpana. Sungguh,
aku suka sekali memandangi profil wajahnya dari samping.

Lee Junho. Sahabatku. Sahabat yang sangat kusukai. Yang memberikan aku desiran aneh
setiap ia tertawa. Yang memanjakan telingaku dengan suara merdunya setiap ia
menyanyikan Love Poem milik MC The Max. Yang terus menyemangatiku untuk segera
melupakan Hwang Chansung.

Kini kami hanya jalan berdua. Aku tidak tahu sampai kapan aku akan memendam segala
perasaan ini, maka kuyakinkan bahwa inilah saatnya. Kelulusan sekolah sudah berada di
depan mata, dan itu berarti aku akan segera berpisah dengan Junho. Bisa-bisa aku
menyesal seumur hidup jika tidak segera kukatakan.

Jun

Hahaha, ia tertawa renyah pada layar ponsel yang memberi wajahnya sapuan pendar
samar. Suzy baru saja mengirimiku pesan, Sunhi-ah!

Aku terhenyak.

Mungkin tidak. Mungkin bukan saatnya. Mungkin aku harus berpikir sekali lagi.
Mungkin jika kukatakan saat ini, ia hanya bisa membalasnya dengan pernyataan bahwa
yang ia sukai masih tetaplah mantan kekasihnya. Atau mungkin juga, dia tidak akan
pernah bisa untuk bergerak maju seperti yang telah aku lakukan. Padanya.

Ia baik sekali. Kebaikannya membuat aku terlanjur menyukai Junho. Lalu bagaimana
caranya supaya ia berhenti berbuat baik padaku?

Sengaja kuperlambat langkahku supaya Junho bisa menyibukkan diri dengan pesan Suzy
untuk beberapa saat. Aku menangis dalam hening. Mengunci perasaan ini rapat-rapat
memang sakit sekali, dan kini aku harus menahannya. Lagi.

Yah! Mengapa kau menangis?

Aku menunduk dalam-dalam, menyembunyikan wajah dengan rambut panjangku yang


kebetulan sedang kuurai. Tidak apa-apa. Ayo kita pulang. lalu kulewati tubuh Junho
begitu saja.

Karena aku tidak ingin kehilangannya, maka tidak apa-apa.

Reason 3
Because when you love someone, no matter whether hes blind, deaf, mute, disabled or
even can do nothing at all, it is still okay.
Aku dan Wooyoung langsung berjalan ke arah counter begitu kami tiba di sebuah
restoran cepat saji. Tanpa basa-basi aku segera menyebutkan berbagai macam makanan
dan minuman, lalu sang kasir mulai sibuk menyiapkan pesanan kami.

Sambil menunggu, aku menoleh ke arah Wooyoung. Baru kusadari kalau di balik topi
yang ia pakai, pria itu telah memotong rambut coklatnya yang kemarin masih bergelayut
menutupi kedua mata. Aku tertegun. Model rambut yang pendek seperti itu sangat cocok
pada dirinya. Aku bisa melihat wajah Wooyoung lebih jelas, dan kedua pipinya yang
seperti bakpau itu tampak sangat menggemaskan.

Wooyoungie, kau yang bawa pesanannya, ya! Biar kucarikan tempat untuk duduk. Ia
mengangguk. Aku berlalu mencari meja kosong karena memang pada jam-jam sekarang,
restoran ini selalu ramai oleh pengunjung.

Aku mengenal Wooyoung sejak aku memasuki perguruan tinggi. Ia adalah tetangga
baruku mulai saat itu. Wooyoung mengingatkanku akan sahabat lamakuLee Junho
yang kini sedang mencari ilmu di negara yang jauh. Wooyoung juga sangat baik seperti
Junho. Aku sering bercerita padanya, bercanda dengannya, meski tak selalu Wooyoung
memberiku respon yang menyenangkan. Seperti de javu, aku menyukainya seperti
bagaimana aku menyukai Junho.

Tapi ada satu hal yang belum pernah Wooyoung lakukan hingga saat ini.

Aku ingin mendengar ia memanggil namaku.

Prangg!!

Lamunanku dibuyarkan oleh suara beberapa benda yang terjatuh menghantam lantai.
Semua pandangan dalam restoran itu serentak tertuju ke sumber suara.

Sepertinya Wooyoung baru saja menabrak seorang pria dewasa yang sedang berjalan
terburu-buru. Baki yang Wooyoung bawa jatuh ke lantai, namun sayangnya ada
tumpahan cola membasahi pakaian pria yang ditabraknya.

Apa-apaan kau ini! pria bertubuh besar itu menyentak Wooyoung. Mata Wooyoung
mengerjap, ia tampak sangat tercekat.

Aku harus segera menghadiri rapat penting di kantorku dan kau baru saja
memperlambatnya! tambahnya dengan nada lebih tinggi sambil menunjuk bagian
kemejanya yang kecoklatan. Orang-orang di sekitar tampak tidak bernyali untuk
menghentikan pria tersebut.

Mengapa kau diam saja?! ia mendorong bahu Wooyoung. Tidak mau meminta
maaf?!

Aku berlari mendekat. Tanganku menggamit lengan pria dewasa itu hingga ia menoleh.
Maaf, tuan. Tapi jika anda benar-benar memiliki rapat penting, lebih baik cepat
hadirilah. Anda hanya membuang waktu disini.

Mengapa kau ikut campur? ia menatapku tajam.

Maaf, aku menoleh sekilas ke arah Wooyoung. Tapi dia bisu.

Pria itu tampak terperanjat, tapi ia hanya mendengus geram dan segera berlalu
meninggalkan restoran.

Aku memandang Wooyoung yang kini juga menatapku dengan rasa bersalah. Ia memang
tidak sanggup berbicara, tapi aku bisa dengan jelas mendengar batinnya mengatakan,
Maafkan aku. Aku telah menyusahkanmu. Maaf telah membuatmu mengenaliku dan
mengisi hari-hariku yang menyulitkan. Maaf untuk segalanya. Maafkan aku ya, Sunhiah?

Aku membuang muka jauh-jauh, tidak mau mendengar kalimat-kalimat itu lagi. Dadaku
menyesak. Ada hal asing yang bergejolak hebat dan mendorong air di dalam kedua
mataku untuk keluar, namun kutahan kuat-kuat.

Kenapa kau tidak mengatakan apa-apa, Wooyoung-ah?

Kenapa?

Inikah yang membuat hati kecilku berkata bahwa aku tidak akan bisa mencintaimu
dengan mudah?

Karena selamanya, kau tidak mungkin bisa memanggil namaku dari kejauhan?

Tapi hatiku terlanjur menyimpan rasa sederhana ini, sepertinya bukan masalah. Bahkan
tanpa mendengar pernyataan apakah kau juga menyukaiku atau tidak, itu tidak apa-apa.

Reason 4
When you find out that your two friends are smiling happily, ruining their happiness for
your sake is not an option. Even if its excluding you, as long as you can hear their
laughter, then its okay.
Terlalu sibuk memandangi mobil yang berlalu lalang di jalanan, aku bahkan tidak sadar
saat Taecyeon kembali dengan dua kaleng soda di tangannya. Ia mengambil posisi tepat
di depanku, dan menyodorkan salah satu kaleng sodanya tanpa menoleh. Ia mengangkat
kaki kirinya, dan meletakkannya bertumpu pada kaki kanan. Selalu begitu. Posisi
duduknya tidak pernah berubah.

Jadi, mengapa kau ingin bertemu denganku disini, Sunhi-ah?

Karena aku merindukanmu.

Kau sangat sibuk akhir-akhir ini, oppa. Kurasa kau dan aku sudah lama tidak bertemu.
jawabku, mengada.

Taecyeon tertawa renyah. Sudah lama sekali semenjak terakhir kali aku mendengar tawa
itu. Sudah lama pula aku dan Taecyeon tidak menghabiskan waktu berdua seperti ini.
Sejak ia menyatakan perasaannya pada Jessica, hubungan kami tidak pernah sama lagi.
Bila ia bersama Jessica, setiap detik yang ia lalui selalu dipenuhi oleh kebahagiaan, dan
aku membencinya. Mungkin ini terdengar kekanak-kanakkan. Tapi dalam hati, secara
diam-diam, aku selalu menyimpan harapan untuk membuatnya tersenyum dengan alasan
yang sama.

Apa yang aku lakukan saat ini mungkin memang salah; memanggilnya dengan sebutan
oppa di tengah malam begini, menggunakan alasan konyol untuk sekedar bertemu
dengannya di kedai Jang ahjummatempat kami pertama kali dan biasa bertemu dulu.
Karena ini adalah kedai milik ibu Wooyoung, jadi aku lebih dulu sering berkunjung
daripada Taecyeon, namun tidak kusangka pertemuanku dengannya disini akan terus
berlanjut berulang-ulang. Dan sepertinya, sampai muncul benih-benih ketertarikan akan
dirinya.

Sebetulnya aku bertanya-tanya, apakah tidak diijinkan untuk menyukai seniorku sendiri?
Terutama jika dia adalah orang yang seringkali membantuku di masa-masa ospek yang
melelahkan? Jika memang salah, lalu mengapa ia kini bisa bersama sahabat satu
fakultasku? Maksudnya, mengapa tidak aku saja?

Aku sudah mendengar kabar tentang kau dan Jessica, kataku pada akhirnya. Selamat.

Terima kasih Sunhi. Dan aku ingin memastikan kalau kau tidak patah hati
mendengarnya. ia tertawa pada akhir kalimatnya.

Aku menelan ludah. Baiklah, dia telah menebaknya. Bahkan kini dia telah merubah
sebuah fakta besar menjadi suatu lelucon yang sama sekali tidak lucu di telingaku. Lalu
apa yang bisa kulakukan? Hanya memaksakan sebuah tawa kecil.

Oppa, kautampak cocok sekali dengan Jessica.

Sebesar apapun aku benci untuk mengakuinya, sebesar itulah kebenarannya.

Jessica adalah sahabatku sejak memasuki universitas ini. Bagaimanapun aku tidak mau
merusak kebahagiaannya bersama Taecyeon meski secara tak sadar ia telah
melakukannya terlebih dulu padaku. Tapi Jessica tidak bersalah. Taecyeon juga tidak
bersalah. Lagipula tidak apa-apa, selama mereka bisa bahagia dan tertawa.

Reason 5
Maybe its completely okay to be sad, because theres no one to blame but you
yourself.
Lantunan Just A Feeling milik Maroon 5 dari radio memenuhi mobil yang tengah
kutumpangi. Aku menoleh memerhatikan wajah Nichkhun yang tengah berkonsentrasi
menyetir di sampingku. Biasanya air mukanya selalu serius. Sesekali kedua indera
penglihat di balik kacamata berbingkai hitamnya akan menyipit untuk berhati-hati dengan
situasi jalanan. Tapi kali ini berbeda. Wajah angelnya itu tampak berbinar-binar. Bibirnya
seperti menyimpan senyuman yang ia tahan semata-mata takut aku menganggapnya gila.

Khun-ah, ia menoleh sekilas sambil mengangkat alisnya. Mengapa kau terlihat


senang sekali?

Bukan apa-apa. Hanya, senyumnya mengambang. Kau tahu gadis bernama Victoria
yang pernah kubicarakan itu? Aku berpacaran dengannya.

Aku diam tertohok.

Tunggu. Untuk apa aku terkejut?

Nichkhun hanyalah seorang pramusaji di kafe tempatku bekerja paruh waktu sambil
berkuliah. Kami memang sering pergi berduahari ini contohnya. Dia memiliki wajah
yang tampannya melebihi selebritis papan atas, dan sepertinya itu adalah aset berharga
bagi pemilik kafe karena Nichkhun membuat kafe kami didatangi oleh banyak sekali
pelanggan yang kebanyakan adalah wanita. Salah satunya yang tadi disebutkan oleh
Nichkhuntapi Victoria tidak termasuk yang datang karena keberadaan seorang
pramusaji tampan. Dia hanya seorang pelanggan yang selalu berkunjung sendiri di atas
pukul delapan malam, dimana itu adalah shift kerja Nichkhun. Aku tidak menyangka
kalau selama ini ternyata mereka dekat.

Mengapa kau terkejut begitu? tanya Nichkhun.

Hah? T-tidak,

Ah, maafkan aku ya Sunhi-ah. Aku jadi tidak bisa membantumu untuk berpindah hati
dari Ok Taecyeon-mu itu lagi.

Itu. Itu dia. Mungkin alasan munculnya sesuatu yang mengganjal di hatiku adalah karena
kupikir, ia menyukaiku.

Aku masih bisa mengenalkanmu pada teman-temanku yang lain. Asal jangan kau
gantungkan mereka, ya, ucapnya sebelum tertawa pelan.

Gantungkan?

Nichkhun melirikku sekilas. Kenapa? Hey, kau pikir tidak melelahkan apa menunggumu
membalas perasaanku sementara kau masih menunggu Taecyeon?

Aku terkesiap. Oh, jadi itulah yang aku lakukan. Selama ini aku telah mengambangkan
perasaannya begitu saja, tidak sedikitpun melirik ke arahnya karena nama yang tersemat
di benakku selalu Ok Taecyeon. Tapi jika kupikirkan sekali lagi, rupanya Nichkhun telah
bersabar sekali.

Eh, tidak perlu kau pikirkan begitu! Lagipula kau kan sudah tak perlu membalas
perasaanku lagi, Sunhi. Tenang saja.

Tapi aku terlanjur melakukannya.

Kini ketika Nichkhun sudah menyerah untuk berjuang, aku baru bisa menghargai apa
yang pernah ia lakukan. Atau mungkin kalimat yang tepat bukan seperti itu. Mungkin,
ketika Nichkhun sudah pergi meninggalkan jejak tak berbekas, aku baru memiliki hasrat
untuk bersamanya. Aku bodoh karena aku baru menginginkannya, sekarang.

Tidak apa-apa, kok, Khun-ah. jawabku pelan.

Tidak apa-apa, karena memang aku yang terlambat untuk mengetahuinya.

Reason 6
Because love is all about patience, it is okay to make tears when hes that far away.
Kupandangi layar ponselku untuk waktu yang lama. Aku menunggu hingga paling tidak
satu menit berlalu lagi, baru kucoba untuk kembali meneleponnya.

Halo?

Mataku melebar berseri-seri ketika mendengar suara itu dari ujung telepon. Iya, suara
pria yang gamblang tapi terdengar menghanyutkan bukan main ketika ia bernyanyi. Suara
yang kurindukan, bukan suara wanita dari operator yang terus menginformasikan bahwa
panggilanku tidak terjawab.

Junsu-ya!

Ada apa, sih, Sunhi?

Aku membeku sejenak mendengar suara enggan itu. Apa yang aku lakukan? Apa aku
baru saja mengganggu kegiatannya lagi? Apakah kali ini ia sedang
melakukan interview, atau photoshoot, atau menghadiri reality show, atau rekaman lagu
terbarunya, aku tidak tahu.

Apa kau begitu sibuk?

Apa temanku yang bernama Nichkhun itu tidak memberitahumu? Aku baru saja kembali
dari Jepang kemarin. Jadi aku agak lelah.

Aku melirik ke arah kalender. Tanggal untuk hari ini sengaja kulingkari dengan spidol
merah bergambar hati di sampingnya. Teringat jelas sekali di pikiranku bagaimana saat
itu Junsu berjanji, bahwa ia akan membatalkan semua jadwalnya, tidak memperdulikan
dunia yang ia tekuni untuk saat ini, dan akan mengkhususkan satu hari sepenuhnya
untukku jika hari jadi pertama kita tiba.

Tapi jika dilihat situasinya mungkin ia lupa.

Memangnya ada apa? Kau mau mengatakan sesuatu padaku?

Sedikit memberanikan diri aku menjawab, Aku merindukanmu, Junsu-ya,

Aku ingin mengingatkan bahwa hari ini adalah satu tahun aku bersamamu. Seharusnya
hari ini kau datang ke rumah, mengajakku pergi ke taman bermain, menonton film, atau
paling sederhana, makan bersama di restoran Perancis. Tapi sepertinya kau tidak ingat
sedikitpun. Ataukah mungkin, kesibukanmu telah menghapus rasamu untukku?

Rentetan kata itu melaju cepat di otakku. Ingin sekali kukatakan semuanya, tapi aku
menolak niatan itu. Aku tahu keadaan Junsu sebagai penyanyi solo yang sangat sibuk
sejak ia didebutkan. Ia pasti lelah, jadi aku harus memahaminya.

Aku sudah pernah mengatakannya, kan? Aku meminta maaf jika tidak bisa menemuimu
beberapa bulan ini, tapi tolong mengertilah. Jangan manja ya, Sunhi-ah?
Air mataku luruh. Seumur hidupku, tidak pernah sekalipun kurasakan kerinduan yang
begitu menyiksa batin seperti ini. Aku hanya baru paham rasanya tidak menemui orang
yang amat kucintai untuk waktu yang begitu lama.

Halo? Sunhi-ah? Kau dengar aku? Maafkan aku, ya?

Tidak apa-apa, Junsu-ah.

Aku menutup telepon, membiarkan isakanku mulai memenuhi kamar yang hening. Ego
itu datang lagi dan segera menyerangku bertubi-tubi. Lalu bagaimana jika sebenarnya,
selama ini aku memang telah mengerti keadaannya dengan tepat sekali, namun Junsu tak
kunjung memberikan sekelumit penghargaan? Bagaimana jika pada akhirnya, hanya
akulah yang akan terus mengalah akan kisah cintaku sendiriseperti segalanya yang
pernah kulakukan?

Tapi karena aku mencintainya, dan aku harus tetap belajar memahaminya, jadi
kuanggap tidak apa-apa.

Anda mungkin juga menyukai