Anda di halaman 1dari 6

CINTA. CAIR.

Seperti ketika aku menghirup udara pagi, aku merasakan sejuknya. Udara tak pilih
kasih, kepada siapa kehidupan harus diberi. Ia mengaliri setiap saluran napas manusia.
Tanpanya tiada energi bagi manusia untuk membangun suatu peradaban. Namun sayang, tak
banyak yang bisa memahami ajaran kasih sayang udara. Yang memberi, tanpa harus diminta.
Dan memberi, tanpa memilih.

Ajaran kasih sayang udara seringkali membuatku terlena. Semua aku anggap serba
mudah: akan tersedia tanpa aku minta. Bahkan, aku merasa dunia ini diciptakan untukku.
Entah sudah berapa lama aku begini. Mengira bahwa takdir itu pasti datang, aku akan
mendapatkan yang seharusnya aku dapat. Hingga akhirnya aku menyadari, aku salah.

“Kamu harus tahu bahwa cinta itu cair dan kamu harus pahami bahwa sekeras apa pun
aku berusaha mengejarmu, aku tidak akan mendapatkanmu tanpa persetujuanmu.” Teringat
kata-kata dia, yang telah menyadarkanku, yang tadi malam menelponku. “Aku serius Al, aku
sangat mencintaimu... Jangan jawab malam ini. Besok pagi ku tunggu jawabanmu.”

Pagi ini gerimis mengundang mesra. Aku melihat sepasang kekasih melindungi tubuh
mereka dengan satu payung bersama. Tangan sang lelaki melingkar di pundak sang
perempuan. Saling menyayangi dan melengkapi. Aku mengharapkan saat-saat seperti itu
datang dalam kehidupanku.

“Ada apa dengan mereka?”

Bong tiba-tiba ada di hadapanku. Kami memang ada janji bertemu di tempat ini.
Sudah lama tak bertemu. Dulu kami satu kampus, sebelum akhirnya ia memilih meniti karir
tanpa menamatkan sarjana.

“Tidak ada apa-apa. Hanya iri saja.”

Bong tersenyum mendengar jawabanku yang polos.

“Kamu tahu? Aku merindukan saat-saat seperti itu.”

“Bersama kekasihmu?” terkaku. “Kamu belum pernah cerita bahwa kamu punya
pacar.”

“Bukan.” Bong menatap mataku. Tatapannya masih sama seperti yang dulu. “Aku
rindu pada ketidakpastian yang seringkali kamu nyatakan.”
Aku tertawa kecil. Ia menyinggungku.

Kami masuk ke dalam cafe, memesan makanan, lalu melanjutkan obrolan. Suasana di
cafe ini sangat romantis. Seorang pria sedang memainkan piano. Lagu What a Wonderful
World diperdengarkan.

“Sampai kapan kamu akan sendiri?”

“Sampai ada seseorang yang mau mendampingiku.”

Bong tertawa. Makanan dan minuman yang kami pesan datang. Bong langsung
membayar uang makanan yang tertera di struk. Dia mentraktirku.

Aku menyeruput cappucino hangat. Bong mulai memakan nasi gorengnya.

“Kamu terlalu meremehkan takdir.”

“Maksudmu?”

“Kamu bukan anak kecil lagi. Kejarlah apa yang kamu impikan.”

“Makanan ini enak,” komentarku tentang pasta yang aku makan.

“Tolong jangan dialihkan.”

Aku terdiam.

Bong. Dia adalah sahabat yang sejak dulu mengerti aku. Tapi, aku kemudian perlahan
menjauh darinya sejak ia menyatakan cintanya padaku. Entah, apakah karena merasa tidak
nyaman atas sikapku itu atau memang ada pertimbangan lain, ia berhenti kuliah dan memilih
berkarir.

Aku memain-mainkan sedotan. “Mungkin kamu benar. Aku mulai putus asa.”

”Dan kamu masih hanya akan berdiam?”

“Bong!” Aku sedikit berteriak memanggil namanya.

“Sampai kapan kamu akan menghalau perasaanmu sendiri?”

Aku dan Bong saling bertatapan. Sorot matanya yang tajam, alisnya yang cukup tebal,
wajahnya yang manis, membuatku tak kuasa untuk terus menatapnya.

“Aku sudah gila. Ya, aku harus akui itu.” Aku melanjutkan makan.

Bong sepertinya masih menatapku. Aku tak berani melihatnya lagi.


“Cinta itu cair, Al. Cinta tak berkelamin dan tak berwujud. Cinta bisa kamu
ungkapkan untuk siapa saja. Aku tak menyesal atas apa yang pernah aku utarakan dulu
padamu” Bong semakin serius. “Ingat kamu pernah berkata, cinta bisa dirasakan oleh orang-
orang yang sefrekuensi, kan?”

Aku menghela napasku. Sudah lebih dari tiga tahun kami memutuskan untuk
menjalani cerita kami masing-masing. Hanya berhubungan lewat media sosial. Dan ia hari ini
mengkhususkan diri untuk menemuiku.

Aku melihat kembali pesan yang ia kirimkan dua hari yang lalu di ponselku. “Aku sgt
ingin brtemu kmu. Aku mrasa ada daya tarik kuat dri dlm dirimu yg mmanggil namaku.
Bisakah kita brtemu d cafe lo sophie minggu pagi nnti?”

Aku, dengan kegilaan yang ia buat, sepertinya ingin segera berlari jauh-jauh dari
hadapannya. Menyangkal getar-getar perasaan yang tumbuh, lagi. Ini masih aneh, bagiku.

Segudang kekhawatiran yang dulu pun pernah ada sekelebat muncul di pikiranku.
Sejujurnya, aku belum siap. Belum siap untuk menjadi diriku. Ah, itu sungguh aneh!

Aku dan Bong masih memilih sama-sama diam dan menikmati makanan kami.

Lagu berhenti. Tak ada lagi lagu yang dimainkan. Pria yang bermain piano itu entah
ke mana. Suasana semakin sepi saja. Apa lagi ini belum jam ramai pengunjung, baru
beberapa orang saja. Gerimis di luar berubah menjadi sesuatu yang mengerikan dalam
bayanganku.

Makanan Bong telah habis duluan. Ia beranjak dari kursi dan menuju ke toilet.

Aku melihat tasnya, masih ada gantungan bertuliskan “Friendship Forever” yang
pernah ku berikan padanya. Aku jadi ingat kala itu...

Masa orientasi kampus, aku dan dia pertama kali bertemu. Kami satu kelompok.
Menghadapi semua rintangan bersama dan berlomba menjadi yang terbaik. Meski akhirnya,
dia yang menang. Bahkan, dia menjadi peserta terbaik sekampus dan dinobatkan sebagai
ketua angkatan. Namun, dia malah menyerahkan semua hadiah yang dia dapatkan kepadaku.
Dia sangat baik, teramat baik malah. Tidak hanya padaku, tapi ke semua orang. Bayu, dia
seperti namanya, seperti angin—udara yang bergerak. Aku memanggilnya Bong.

Terlalu terobsesi menjadi teman baginya selamanya, aku memberinya gantungan


kunci bertuliskan “Friendship Forever” dan aku pun memakai gantungan serupa di tasku.
Bukan karena wajah tampannya, kekayaannya, atau apa pun juga yang melekat di dirinya.
Kebaikannyalah, yang membuatku terobsesi. Dia sangat indah, aku merasakannya bukan
melihatnya.

Kala itu dia sempat bilang, “Ini tanda kita jadian ya?”

Meski tahu dia bercanda, aku menjawabnya serius. “Gantungan ini untuk menyangkal
semua yang dituduhkan teman-teman pada kita. Untuk memberi tahu mereka bahwa kita
hanya sekedar sahabat dan bukan pasangan homoseksual!”

Dia hanya tersenyum. Meski mungkin—baru setelahnya aku menyadari—di dalam


lubuk hatinya, dia tersinggung dengan ucapanku itu.

“Al,” Bong sudah kembali dari toilet, “ikut aku.”

Aku menyelesaikan minum dan mengelap mulutku dengan kain.

“Kita bicara di taman luar saja ya.”

Aku beranjak dari kursi mengikuti jejak langkah Bong. Di luar masih gerimis. Aku
dan Bong memilih untuk duduk di kursi taman yang menghadap ke jalan. Bong
mengeluarkan sebuah album foto dari dalam tasnya.

“Lihat ini.” Bong menunjukkan padaku gambar-gambar yang ada di album foto. Ada
gambar dua orang pria sedang berciuman. “Mereka adalah sepasang kekasih.” Ada dua orang
pria dan perempuan yang sedang berpelukan. “Yang ini,” Bong menunjuk wajah perempuan
dalam gambar, “adalah transgender.”

Dia terus menunjukkan dan menjelaskan tentang gambar-gambar yang ada dalam
album fotonya. Aku hanya menyimaknya, sambil bertanya-tanya di dalam hati, apa maksud
dia memperlihatkan gambar-gambar itu. Sepertinya, dia ingin menunjukkan padaku macam-
macam percintaan yang tidak biasa. Ada percintaan antara perempuan dengan perempuan,
laki-laki muda dengan perempuan tua, dan ragam lainnya. Unik.

“Ini semua normal,” simpul Bong. “Mereka saling mencintai. Rasa cinta itu mengalir
dengan sendirinya. Tanpa paksaan.” Dan seperti udara yang memberi, tanpa harus diminta.
Dan memberi, tanpa memilih. Cair.

Aku mencermati kata-kata Bong, mencoba memecahkan kebekuanku selama ini.


Cinta yang cair, tidak akan pernah bisa aku pahami dengan cara yang kaku.

“Aldi, aku tidak bisa memaksamu untuk menjadi yang aku harapkan.” Bong
memegang kedua tanganku dan mengangkatnya setinggi jantung. “Tapi setidaknya, dengan
menunjukkan ini semua, aku berharap kamu bisa lebih memahami perasaanku yang kamu
anggap aneh. Tidak Aldi, ini tidak aneh.”

Tanganku masih dalam genggaman tangannya. Seperti yang telah aku sadari, jika aku
memahami makna cinta seperti yang Bong coba ajarkan padaku, dunia ini rasanya tidak
diciptakan untukku.

Aku perlahan melepas genggaman tangan Bong. “Konsekuensi dari ini semua berat,
tidak mudah.” Gerimis reda.

Bong membenahi posisinya. Ia ingin benar-benar memfokuskan arah tubuhnya


padaku. “Tinggalkanlah aku saat ini,” ucapnya pelan dan hati-hati, “dan itu artinya kamu
benar-benar telah menutup kesempatan untukku.” Ia lalu menutup wajah dengan kedua
tangannya. Aku tahu ia ingin mengakhiri penantiannya, menunggu jawaban.

Jika kamu merasa ini sulit, maka mungkin kamu mencintainya, suara hatiku berbisik.
Gerimis turun lagi. Aku meraih tangan Bong, menggenggamnya. Aku memintanya menatap
wajahku. “Kamu tahu? Aku percaya bahwa cinta memiliki kekuatan yang tak terkalahkan.”

“Itu artinya kamu siap?”

Aku mengangguk-angguk. Anggukan tanpa maksud memberinya lagi harapan.


Berdiri, dan kemudian beranjak pergi.

Bong terdiam, mematung dalam posisi duduknya yang menghadap kepergianku. Di


dalam hatinya mungkin bertanya-tanya tentang sikapku. Tapi penilaianku jelas. Dia tidak
pernah serius mengejarku. Dia tidak pernah benar-benar memperjuangkan cintanya. Ia belum
cair sepenuhnya.

Aku mengambil ponselku. Menelpon seseorang.

“Erik, aku juga mencintaimu.”

Di seberang telpon sana, pria yang tadi malam mengutarakan cintanya padaku,
berkata penuh semangat, “Yeah! Kalau begitu kita bertemu sekarang, ya?”

“Oke.” Aku tidak berbohong pada Bong, kan? Aku perjelas, aku tadi memang
mengangguk ketika Bong menanyakan kesiapanku. Ya, aku memang siap mengarungi masa
depan bersama Erik. Siap untuk diberhentikan dari tempat kerja kami masing-masing. Siap
tidak diakui oleh keluarga. Siap dengan seluruh tindakan diskriminatif yang diakibatkan
stigma terhadap kami. Entah ini hanya kekhawatiranku saja atau akan menjadi nyata. Namun
yang pasti, kami juga siap untuk memperjuangkan hak-hak kami. Nanti malam aku akan
menelpon Bong, mengucapkan terima kasih atas penjelasan panjang lebarnya hari ini. Aku
juga akan memperkenalkan Erik padanya. Erik telah menjadi teman setiaku selama ini dan
tak pernah gentar meski aku berkali-kali acuh. Tidak seperti Bong yang cepat putus asa
ketika aku menjauh darinya. Bong hanyalah angin lalu. Erik lebih cair, dia masa depanku!

Cirendeu, 10 Januari 2012

Biodata Narasi Penulis:

El Ayn Morve adalah nama pena dari Mohammad Ainul Ma’ruf, seorang mahasiswa
Epidemiologi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Jakarta (FKK UMJ). Saat ini, ia adalah Koordinator Nasional Aliansi
Mahasiswa Indonesia Peduli Kesehatan Reproduksi dan Seksual (AMIPERS), Staf Bidang
Kesehatan Reproduksi dan Kependudukan Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat
Indonesia (IAKMI), Young Coach Seruan Mahasiswa Peduli Kesehatan (SEMESTA) FKK
UMJ, dan juga tergabung dalam Youth Advisory Panel (YAP) UNFPA Indonesia.
Keterlibatannya dalam dunia kesehatan reproduksi dan seksual sudah dimulai sejak ia masih
menjadi mahasiswa tingkat pertama. Ketika bergabung dengan YAP, ia semakin memahami
isu-isu seksualitas yang seringkali dianggap tabu.

Anda mungkin juga menyukai