Anda di halaman 1dari 15

Diet Berakhir Jeruji

Adalah Joe, yang hanya bisa mengejar tukang bakso dengan pandangannya yang pilu, Joe
merupakan mahasiswa yang bisa dikatakan maniak weight loss, yang mengatur diet sehat dan
diet ketat -macam betul. Hari-hari ia isi dengan konsumsi makanan penuh gizi rendah kalori, plus
dengan hati yang tidak menikmati. Joe tidak menyadari bahwa ia tidak terlahir kurus, kedua
orangtuanya gemuk, hampir seluruh sanaknya gemuk, kecuali satu orang, yaitu Alex, si buncit
yang humoris.

Namun Joe percaya dengan motivasi dari seminar bisnis multilevel yang pernah digelutinya 5
bulan lalu, “tidak ada yang tak mungkin”, “jika kalian ingin mencapai apa yang kalian inginkan”,
dan “sukses usia muda”, tentu saja sukses bagi Joe adalah sukses menurunkan berat badan, apa
yang membuat Joe tidak pernah berhasil adalah nafsu makan yang sama besar dengan badan,
memang ia memakan sayur, dengan porsi yang sangat banyak.

Suatu hari ia membaca sebuah artikel “Tertawa dapat membakar lemak” dan dengan sangat
serius menanggapi, Joe sama dengan kedua orangtuanya, pemurung dengan muka berlemak -
sulit dibuat tertawa. Namun hari dimana ia membaca artikel itu adalah hari dimana ia seolah
terlahir kembali. Joe menjadi pribadi yang gampang sekali tertawa, bahkan saat seseorang
berbicara serius (pada saat itu Joe menerima caci maki), sikap Joe yang berubah tentu
mengundang berbagai penafsiran dari masyarakat, dan didominasi oleh pandangan bahwa ia
telah gila.

Sedikit namun sakit, Joe perlahan-lahan diabaikan, teman-temannya sering memandang paham
ke arahnya ketika ia mencoba berbicara hal yang lucu, hanya merespon berupa tersenyum penuh
simpati, keluarga Joe pun perlahan mulai mengabaikannya, dan ketika Joe menimbang badannya,
mendapati beratnya hanya berkurang sedikit, beberapa ons, ia meningkatkan intensitas
‘latihannya’.

Hingga pada suatu pagi, pihak keluarga sudah tidak kuat lagi dan melaporkan Joe ke rumah sakit
Jiwa di pusat kota, dan sorenya datanglah sebuah avanza hitam ke rumah Joe, membawa lima
orang dokter jiwa (orangtua Joe sudah mengatakan sebelumnya kalau Joe bertubuh besar dan
suka melawan) dan menyeret paksa Joe ke dalam mobil, bahkan Joe tetap tertawa karena salah
satu motivasinya dalam latihan tertawa ini adalah “memandang positif dari segala sesuatu”,
singkat cerita, Joe harus menginap sampai waktu yang belum ditentukan di balik jeruji besi yang
dicat putih, berjalan dalam takdir, takdir untuk bersama penghuni-penghuni lain yang juga
melakukan ‘latihan’ yang sama.

Dan tibalah mereka di RSJ pusat kota, avanza itu diparkir tepat di depan pintu masuk, Joe
digiring layaknya tahanan, begitu sampai di dalam, semua orang terkejut, dengan wajah ‘inikah
dajjal yang terkutuk itu’ Joe melirik marah ke sekeliling, seperti banteng menghadap matador,
kedua tangannya yang diborgol bergetar, dokter-dokter yang menggiringnya mulai cemas, anak
itu tepat seperti apa yang dikatakan orangtuanya -pelawan.

Para dokter yang menggiring Joe mulai mempercepat langkahnya menuju kamar sel nomor 3 di
ujung kiri, dekat tangga, yang di bawah nomornya bertuliskan ‘tidak perlu menunggu mukjizat
untuk sembuh’, borgol semakin bergetar, menimbulkan bunyi krincing-krincing yang menarik
perhatian hingga ke pintu depan, seolah akan ada yang kerasukan.

Sang satpam dengan rambut mangkuk, yang mejaga pintu depan bergegas menuju ke arah para
dokter yang bersama Joe, berlari dengan epik, pasalnya selama hampir 1 tahun ia bekerja ia
hampir tak pernah digunakan untuk mengamankan -ada satpam lain yang lebih berwibawa untuk
itu,

“Lepaskan aku! Aku bukan orang gila!” Teriak Joe seolah baru bangun dari hipnotis, bagaimana
bisa ia belum tahu sampai harus berada di depan pintu sel,

“Tenang-tenang, tenang-tenang” satu dokter mengurut-ngurut lengan Joe dengan hampir


profesional,

Satpam sudah sampai, Joe merasa seperti dibinatangkan, akhirnya meteran amarah sudah sampai
pada batasnya, Joe entah bagaimana caranya, dan di depan hakim para dokter akan bersaksi,

“Saya melihat anak itu melepaskan borgol dengan kekuatannya, dan seketika itu kami semua
panik”

Kedamaian yang biasanya ada di sore hari RSJ tersebut, hilang dalam sekejap diganti riuh yang
menegangkan, alarm berbunyi, satu orang di ruang resepsionis tergesa-gesa menekan nomor
pada telepon yang ada di meja, para pasien di ruang bawah mendekatkan diri mereka ke jeruji,
bohong dengan wajah takut namun mereka sangat menikmati.

Satpam rambut mangkuk segera mencekik Joe dari belakang, Joe pun segera meresponnya,
dengan reflek serta kekuatan, yang dibangun dari setidaknya beberapa bulan diet ketat (dan
sehat), membuat badan besarnya tidak hanya besar bodoh, namun besar sehat yang di dalam
setiap ototnya terdapat kekuatan dari gizi makanan mahal. Joe langsung menjungkirkan si
satpam ke depan, tubuh satpam yang tadi menggantung di belakang Joe terhempas keras ke
lantai.

Si Satpam, muka ‘bule’nya memerah, matanya melihat ke atas sekali, hingga hanya putih yang
terlihat di matanya yang bulat, terkapar kejang-kejang, dan dadanya kembang-kempis, persis
seperti ingin mengeluarkan bunyi mirip kentut dari punggungnya yang menempel di lantai. Para
dokter ragu dalam keterburu-buruan yang seolah akan mengambil tindakan mantap -namun tidak
melakukan apapun.

Satu, dua dokter tumbang dengan satu dorongan, hanya dua pria yang takut berdiri dan memilih
untuk pura-pura mati, namun mata lebar Joe masih terfokus pada satu dokter, yang berlari ke
arah pintu depan, Joe bergegas mengejarnya, dengan lambat.

Polisi: Apakah ia berhasil mengejar anda?

Dokter: Tidak, saya berlari ke arah jalan besar, dan terus berlari sambil sesekali menoleh ke arah
rumah sakit, disana Joe, masih berdiri di luar dekat pintu, kepalanya menoleh ke segala arah
dengan dingin.

Polisi: Baik, baik pak, terima kasih, sekarang bapak boleh keluar lewat pintu yang di sana.

Dokter: T-t-terima kasih pak, kalau boleh tau, apa bapak pernah mendengar nama Joe? Mana
tahu, mana tahu ini kan, dia pernah melakukan tindakan kriminal.

Polisi: (mengangguk mantap) kami semua saudara Joe, ayo bapak yang di pintu itu sudah
menunggu pak dokter dengan tongkat baseballnya, silahkan.
Surat Cinta dan Sebatang Coklat

Aku mengintip dari balik pohon beringin, agak jauh dari gadis itu. Ia masih duduk bersimpuh di
sana. Wajahnya terlihat serius. Tangan indahnya terlihat sedang menggoreskan tinta ke selembar
kertas yang ia bawa dari rumah. Kulihat sebutir air mata jatuh dari pelupuk matanya dan diikuti
tetes-tetes air mata berikutnya. Ya, dia pasti menulis surat lagi!

Beberapa menit berlalu, dia pun menyelesaikan suratnya dan memasukkannya ke dalam sebuah
amplop merah muda. Aku tetap pada posisiku. Gadis cantik itu pun berdiri, meletakkan amplop
itu di tempat biasa, tersenyum, kemudian beranjak pergi. Ketika dia sudah tak terlihat lagi,
dengan langkah hati-hati aku mendekati tempat dimana dia meletakkan suratnya tadi. Kuambil
surat itu, kubuka perlahan, dan mulai membacanya…

Kepada: Arvito Abi

Ketika aku menulis surat ini, suasana di sekeliling aku sangat sepi, Vit. Aku tak pernah berpikir
sebelumnya, bahwa kesepian ini kamu rasakan setiap hari. Aku merasa menjadi perempuan tak
berguna karena tak bisa selalu menemani kesendirianmu. Maafkan aku hanya bisa datang setiap
Sabtu pagi untuk sekedar melepas kerinduanku padamu. Aku benar-benar rindu, Vit…

Hari ini, aku ingin menceritakan banyak hal ke kamu…

Vito, kamu pasti ingat dulu kamu pernah berkata bahwa kamu ingin memiliki sebuah rumah
yang letaknya jauh dari keramaian. Ketika itu kamu berkata, kamu ingin hidup di sana bersama
orang yang kamu sayang dan kamu berkata orang itu adalah aku. Percaya atau tidak, sekarang
rumah itu sudah ada, Vit. Aku bangun rumah itu dengan hasil keringat aku sendiri. Walaupun
sepenuhnya aku sadar, kamu sudah damai hidup sendiri di sini, tapi setidaknya aku berhasil
mewujudkan salah satu keinginan kamu. Semoga kamu terkesan, Vit…

Oh iya, Vit, dua hari yang lalu aku menerima seikat bunga dari kakak kamu, Kak Restu.
Awalnya aku kira itu hanya sebagai ucapan selamat dari Kak Restu atas kelulusan aku. Tapi
ternyata, Kak Restu mengungkapkan perasaannya ke aku, Vit. Jangan marah dulu, beneran
setelah itu, aku langsung mengembalikan bunganya. Aku berkata bahwa aku tidak bisa. Aku
hanya menganggapnya sebagai seorang kakak. Sebenarnya, ada alasan yang lebih dari itu dan dia
pasti tau, Vit. Aku jadi teringat kamu, Vito. Ketika kamu mengungkapkan perasaanmu ke aku,
kamu kasih aku sebatang cokelat karena kamu sangat tau aku tidak suka bunga. Pokoknya kamu
itu orang yang paling bisa mengerti aku dan selamanya kamu takkan pernah tergantikan…

Vit, sebenarnya surat ini tidak sama seperti surat-suratku sebelumnya. Surat ini bukan hanya
sekedar surat cinta, tetapi juga surat perpisahan. Vito, entah aku harus bahagia atau berduka
ketika mengatakannya. Aku akan pergi, Vit. Aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2 di
Jepang. Aku akan mewujudkan satu lagi keinginan kamu. Keinginan kamu untuk menulis nama
kita berdua di puncak Gunung Fuji. Di Jepang nanti, aku akan menghuni rumah impian kamu itu,
Vit. Rumah impian kita berdua. Aku tidak sendirian di sana. Aku percaya bayangan kamu selalu
ada di samping aku…

Vito, ini berarti aku harus meninggalkan kamu di sini sendirian. Selama beberapa tahun ke depan
aku tidak bisa melakukan ritual Sabtu pagi mengunjungimu. Jujur, aku sedih, Vit. Tapi aku yakin
jalan yang aku ambil ini akan bahagiakan kamu dan kedua orangtuaku. Doakan saja aku dari
sini…
Vit, kamu lihat, matahari di sini mulai tenggelam. Ini adalah waktu favorit kita, Vit. Senja.
Mungkin saatnya aku pulang. Seperti biasanya, bersamaan dengan surat ini kusertakan sebatang
cokelat kesukaanmu. Kuletakkan di bawah nisan yang berukir indah namamu…

Aku pamit, Sayang. Selamat tinggal. Doakan aku supaya tetap bahagia. I Love You More,
Vito…

Terdalam,

Regita Feronica J. (Gita)

Tanpa sadar, aku berurai air mata usai membacanya. Aku baru menyadari sepenuhnya bahwa
gadis itu masih belum bisa lepas dari Vito, adik lelakiku yang kini telah hidup damai di akhirat
sana. Tiba-tiba aku menyesal pernah mengungkapkan perasaanku padanya karena sekarang aku
yakin cinta mereka berdua abadi meskipun salah satu diantaranya sudah pergi dan tinggal sebuah
nama.

Aku melirik cokelat yang tergeletak tepat di bawah nisan adikku. Kemudian kuusap air mataku,
tersenyum, dan bertekad memendam seluruh perasaanku pada gadis itu.

Gita, aku akan berjalan mundur…


Bintang

Dia, duduk di samping jendela, dibawah sinar lampu yang temaram. Mencoba memandang langit
yang gelap, hanya ada rembulan yang memantulkan sebagian dari cahaya matahari. Tak ada
bintang yang terlihat, semua bersembunyi dibalik awan, barangkali malu untuk kulihat, katanya
dalam hati seraya tersenyum. Angin malam berhembus sepoi-sepoi, solah menghembuskan udara
pada wajahnya yang lembut. Awan bergerak perlahan, memberikan seni tersendiri di kegelapan
malam. Ahh, ternyata ada satu bintang di balik awan, senyumnya tersungging di balik bibirnya
yang mungil. Ya Rabb, ternyata setitik cahaya pun bisa memberikan keindahan yang luar biasa
diantara luasnya langit yang gelap di malam hari. Ah, seandainya ketika membuka jendela,
memandang langit dan tak menemukan bintang kemudian dia tak mencoba menatap awan tapi
menutup jendela kembali, dia tak akan menemukan bintang yang tersembunyi di balik awan.

***

Seperti setitik bintang di kegelapan malam, terkadang kita tak menyadari ada cahaya kecil dalam
malam yang gelap, yang kita berinama “bintang”. Betapa indahnya cahaya itu walaupun tak bisa
menerangi malam. Tapi, lain halnya ketika kita melihat ada setitik noda di atas kain putih yang
membentang. Kita justru terfokus pada noda yang kecil, dan seolah lupa betapa bersihnya kain
itu terlepas dari setitik noda yang ada, yang mungkin bisa hilang hanya dengan sedikit detergent
pemutih. Itulah hidup, kadang-kadang kita lupa untuk memandang sesuatu dari sisi lain yang
dimiliki.

Saya, memiliki seorang murid yang saya pikir kecerdasannya kurang menonjol dibanding
lainnya. Suatu hari, ketika kami tengah membicarakan sistem tata surya, hanya sebagai
pengetahuan bahwa bumi merupakan salah satu planet dalam sistem tata surya yang menjadi
tempat tinggal manusia, murid saya itu, sebut saja namanya Rimba, tiba-tiba berdiri dan
mengambil helm milik guru lain yang disimpan diatas loker dalam ruang kelas serta
memakainya. Tanpa saya sadari saya berkata kepadanya :”Wah,,,teman-teman, lihat!! Rimba
memakai helm, seperti astronot yang mau terbang ke bulan ya…”. Semua teman-temannya
memandang ke arahnya, dia tersenyum, spontan helmnya langsung di lepas dan dikembalikan ke
tempat semula, tanpa harus disuruh untuk mengembalikan. Kemudian saya ajak mereka untuk
menggambar roket di atas kertas putih yang tersedia. Dan hasilnya, Subhanallah, murid yang
saya pikir kecerdasannya kurang menonjol itu justru tahapan menggambarnya dua tingkat lebih
tinggi dibanding murid yang saya pikir paling pandai di kelas.

Seandainya saja saya memberikan reaksi yang lain seperti :”Rimba, silakan dikembalikan
helmnya karena sekarang saatnya kita belajar”, atau :”Maaf, silakan dikembalikan helmnya
karena Rimba belum minta ijin bu guru”, atau yang lainya, mungkin saya tidak akan pernah tahu
bahwa kecerdasan dia sudah lebih dari apa yang saya sangka karena pembahasan hari itu bukan
tentang astronot atau roket. Atau barangkali saya membutuhkan lebih dari satu kalimat perintah
untuk membuatnya mengembalikan helm ke tempat semula.

Reaksi berbeda yang kita berikan ketika kita memandang bintang di kegelapan malam atau
setitik noda di selembar kain putih ternyata akan memberikan hasil yang berbeda pula. Hidup ini
indah, cobalah kita memandang sesuatu dari sisi yang lain, maka yang tampak bukan hanya
sekedar 2 dimensi. Bukankah lebih seru ketika kita melihat film 3 dimensi???
Matahari Pun Tak Bosan

Ku bangkit setelah lama ambil posisi jongkok menyaksikan kejadian yang menimpa embun.
Mentari mulai meninggi dan membasahi seluruh ragaku dengan cahaya kuningnya yang lembut.
Kugerakan seluruh ototku. Kuajak tubuhku beraktivitas. Yah… kuolah ragaku.

Putar kanan… putar kiri… hadap kanan… hadap kiri… badanku meliuk-liuk. Aliran darah segar
segera membanjiri pembuluh darahku. Aku terbuai keasyikan. Di tengah keasyikan itu, samar-
samar kudengar orang bercakap-cakap. Kuajak kakiku melangkah mencari asal suara. Di ruang
tamu kudapati dua orang tengah terlibat perbincangan yang serius. Aku intip dibalik pintu
belakang. Bapak angkat dan temannya. Aku tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.
Bahasa sunda adalah penghalangnya, karena aku tidak mengerti bahasa itu.

Diam-diam kuberanikan duduk disamping bapak angkatku setelah mendapat perizinan. Akupun
kini terlibat dalam pembicaraan yang telah mereka mulai. Dengan menggunakan bahasa
indonesia raya, aku bertanya dan menjawab serta menanggapi apa yang ada dalam diskusi pagi
itu.

Masalah pekerjaan dan tetek bengeknya, hal itulah ternyata yang jadi perdebatan. Bapak
angkatku seorang pedagang dan beliau menekuni pekerjaan itu. temannya seorang guru dan
setengah-setengah menjalani profesi yang dimilikinya.

“Saya heran kenapa kamu tak pernah capek bolak-balik dari rumah ke pasar tiap hari?”
Pertanyaan temannya buat bapak. Pertanyaan konyol kupikir. Bagaimana tidak coba , kalau aku
boleh bertanya padanya kenapa pula dia tak pernah capek bolak-balik dari rumahnya ke sekolah?
Ya… kan?

“Kata siapa saya tidak capek!” Bapak menanggapinya singkat.

“Hmm… tidak, maksud saya apakah kamu tidak bosan?” pertanyaan lanjutan buat bapak. Gila,
sepertinya ini orang sedang didera kebosanan nich dengan kerjanya. Ah, tapi apa mungkin.
Kalau tidak kenapa dia bertanya dengan pertanyan konyol seperti itu? Hatiku berdialog sendiri.

Suasana ruangan membisu. Kulirik bapak angkatku. Bapak diam. Bukan diam biasa. Ada
kebijaksanaan dan wibawa tercipta diwajahnya dan aku baru tahu itu. Perkenalanku dengan
bapak angkatku belumlah lama, baru sepekan lebih dua hari. Sejauh ini aku lihat bapak orangnya
humoris, kocak, suka bercanda dan jarang serius. Tapi pagi ini beda sekali.

Bapak menghela napas, mengisi ruang kosong didadanya. Perlahan mengalir nasihatnya lewat
lisannya. Diwejangkan jawaban buat pertanyaan temannya.

“Kamu tahu matahari bukan?” Retoris bapak bertanya. Temannya mengangguk. Begitu juga aku.

“Matahari bersinar disiang hari. Muncul ditimur dan tenggelam dibarat. Dia bertugas menerangi
bumi, memberi kehidupan untuk makhluk yang ada di seantero persada.”

Kembali bapak diam. Kulihat teman bapak diam menyimak sabda bapak. Aku ikut menunggu
apa yang akan disampaikan bapak selanjutnya.

“Kalau matahari berhenti sejenak saja dari tugasnya, apa yang bakalan terjadi?”
“Kacau…” Jawab teman bapak. aku mengiyakan. Bapak, aku dan temannya tertawa. Suasana
kembali tak tegang.

“Bagaimana jadinya jika matahripun ikut bosan dan meninggalkan tugasnya?”

Pertanyaan retoris bapak muncul lagi.

“Begitulah, bagaimana pula saya akan bosan bolak-balik ke pasar. Jika saya bosan dan berhenti
bekerja, tentunya anak istri saya tak akan makan. Bukankah begitu Jang?”

Temannya tersenyum di balik anggukannya. Tampak semangat baru terpancar di air mukanya,
seolah wajah itu berkata “Ayo… semangat bekerja Jang, mendidik dan mengajar siswa-
siswamu”

Aku terharu mendengar untaian petuah bapak barusan. Aku tidak menyangka sedikitpun kalau
dari lisan lelaki yang tidak sempat menyelesaikan sekolah dasar ini mampu memberikan
motivasi dan pencerahan pada temannya, meskipun profesinya hanyalah sebagai seorang
pedagang. Salut dech… dua jempol untuk bapak angkatku… Hidup pak Rohim, Bapak yang
ikhlas penuh cinta menerimaku selama melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di pinggiran
Kota Banten ini.
Semut yang Pindah Rumah

“Maju.. maju..

dia mendekat, cepatlah..

kita harus selamat sampai di sana..”

Begitulah suara riuh-riuh kecil yang kudengar sejak dari tadi aku bangun tidur. Meraka keluar
dari kediaman pertama mereka, berbaris entah itu menuju kemana. Perjalanan mereka yang
begitu panjang, membuat mereka takut akan terjadi sesuatu.

Aku yang langsung kaget melihat mereka, dapatkah engkau bayangkan ketika bangun tidur
mereka berbaris di dinding, sedangkan wajahku mengahadap kesana. Sontak aku langsung kaget,
saat itu juga rasa ngantukku hilang, padahal awalnya aku malas sekali untuk bangun. Rasa takut
meghampiriku. Tapi, lama-lama rasa itu mulai hilang, aku mulai memperhatikan mereka dengan
seksama, apa yang mereka fikirkan? Mengapa mereka tampak terlalu tergesa-gesa berjalan?

Mungkin mereka mengira bahwa aku adalah raksasa jahat yang akan mengganggu mereka..
hmm.. mereka terlalu berprasangka buruk terhadapku, tapi lama-kelaman pasukan mereka
bertambah sampai- sampai ratu mereka juga keluar. Aku yang tadinya niat tidak akan
mengganggu mereka mulai merubah fikiran, kaya’nya mereka yang akan menakut-takutiku.

Aku beraksi, aku ambil minyak angin aku semburkan pada mereka, sontak mereka berkeliaran
tak tau arah lagi. Aku mulai prihatin, banyak di antara mereka keluar dari jalur yang ada,
kehilangan arah kerena semburan tadi. Hidup mereka memang sulit. Ada saja yang mengganggu
mereka di tengah perjalanan. Tidak lama kemudian mereka malui terarah lagi, telah berbaris dan
jalan ke tempat tujuan awal mereka, mereka mencari jalan baru yang tidak terkontaminasi
dengan minyak angin tadi.

Aku menyerah untuk memganggu mereka. Aku biarkan mereka menuju tempat yang lebih
nyaman, perlahan aku tau ternyata mereka berjalan menuju rumah baru yang lebih aman dari
rumah sebelumnya. Ratu mereka memerintahkan untuk pindah karena tempat yang lama di rasa
sudah tidak memberikan perlindungan bagi meraka lagi. Perjalanan mereka yang jauh akhirnya
bermuara pada tempat yang lebih baik dari sebelumnya, disana mereka kembali menata
kehidupan mereka.

Dari kisah semut tadi aku belajar perjalannan hidup yang mahal harganya. Dimana saat kita telah
mengusahakan sesuatu katakanlah itu impian kita, maka jika di tengah perjalanan dalam
menggapai impian itu kita jatuh. Langsung bangkit, temukan jalan lain yang lebih baik untuk
menggapainya. Karena jika kita tetap diam, kita akan ketinggalan yang impian itu semakin jauh
dari kita, kehidupan akan terus berlanjut meskipun tanpa kita.
Hikayat Penciptaan Bintang

Dulu ketika peri peri hidup di bumi dan jumlah manusia masih sedikit, pada batang pohon oak
berdaun rindang dalam belantara, tinggallah peri yang selalu durja. Tiap hari kerjanya hanya
menangis. Matanya sembab dan raut wajahnya murung. Kalau malam tiba, tangisannya terdengar
ke seluruh penjuru hutan hingga pohon pohon dan binatang binatang terjaga dari tidur mereka.
Kalau siang datang, lamunannya panjang seolah sedang memikirkan perkara yang maha berat.

Karena tangis sang peri tak kunjung reda dan membuat seluruh penghuni hutan terusik,
datanglah angin padanya. Angin bertanya kenapa ia begitu bersedih? Peri bangkit dari sandaran,
dikibas-kibaskan sayap kecilnya kemudian duduk dengan cara mendekap lutut di atas punggung
angin. “Kawan kawanku telah pergi. Mereka telah pindah ke utara untuk mencari rumah baru
dengan meninggalkanku”

“Kenapa kawan kawanmu meninggalkanmu ?” tanya angin. Sang peri diam. “Kenapa?”,

desak angin. “Karena aku buruk rupa” jawabnya sambil memalingkan wajah. Kemudian
tampaklah benjolan besar di pipi sebelah kanannya hingga karena benjolan itu mukanya terlihat
bopeng. Sedang di seluruh permukaan wajahnya terdapat pula banyak bintik merah, yang kalau
satu saja bintik itu pecah maka terciumlah bau tak sedap ke seluruh tempat di mana ia berada.
Dengan wajah seperti itu, peri peri lain selalu mengejeknya.

Sang peri mengajak angin menuruni pohon, kemudian mereka terbang menuju telaga.
Sesampainnya di sana tampaklah bulan yang bayangan wajahnya terpantul di atas permukaan air.
“Kau tahu,” lirihnya. “keinginanku sekarang, aku ingin cantik dan bersinar seperti dia, dengan
begitu niscaya sirnalah kedukaanku”. Angin menggelengkan kepala, “Tak mungkin” katanya
dalam hati. Bulan begitu agung, ia perhiasan malam sebagaimana matahari menjadi perhiasan
siang. Setiap mahluk tentu boleh bermimpi untuk memiliki kecantikannya namun mustahil bisa
mendapatkannya. Mimpi memiliki kecantikan bulan hanya akan berakhir pada kesia-saiaan.

Sang peri menatap angin lalu berkata, “Akan kuminta bulan agar membagi kecantikannya
denganku, kan kujumpai ia sekarang”. Terbanglah ia menuju langit, namun begitu sampai di
antara gumpalan awan, ia terpental ke bumi, sayapnya terlalu kecil dan napasnya lebih dulu habis
sebelum sampai ke atas sana. Berkali kali ia mencoba namun lagi lagi terpental. Sang peri
menghampiri angin, ia meminta agar angin mengantarnya. Angin menggelengkan kepala
kembali. katanya Perjalanan dari bumi kebulan sangat jauh, tak satu mahlukpun dapat sampai
kesana termasuk dirinya.

Wajah sang peri bertambah muram. Kesedihan makin membayangi. Ditatapnya lagi bayangan
bulan di atas telaga, lama dan dalam. Ketika ia terpesona oleh kecantikan tersebut, kepalanya
menjadi berat, pandangannya memburam dan akhirnya karena merasakan kelelahan yang sangat,
iapun ambruk tak sadarkan diri.

Saat siuman, pandangan sang peri masih kabur sedang pusing membebat kepalanya. Namun
dalam pandangan yang belum jernih tersebut, ia melihat bayangan terang keemasan di
hadapannya. Makin lama bayangan itu makin jernih. Alangkah terkejutnya ia begitu mengetahui
kalau ternyata bulan telah turun ke bumi tuk menemuinya. Ketika peri hendak mengatakan
sesuatu, bulan lebih dulu memotong dengan berkata “Aku sudah tahu apa yang kau inginkan”.

Bulan menjulurkan tangan dan mendekap sang peri di dadanya. Tanya bulan, apakah cantik
adalah syarat utama untuk dapat mencinta dan dicinta? Benarkah menjadi cantik itu
menyenangkan? Sang peri mengerutkan dahi. Bulan kembali berkata dengan meyampaikan
sebuah rahasia, kalau kecantikan yang diinginkan sang peri nyatanya sekadar kefanaan karena
suatu ketika ia kan pudar. Itulah kecantian jasmani, yang karenanya telah membuat para lelaki
tertipu hingga rela saling menghunus pedang, membunuh dan menghancurkan. Ia yang cantik
jasmani saja umpama dadu yang terbuat dari kobaran api, yang membuat para lelaki saling
berebut mendapatkannya walau amat panas ia digenggaman. Sejarah kecantikan jasmani adalah
sejarah pertumpahan darah, kedengkian, kesombongan dan tipuan.

“Apakah aku tidak boleh menjadi cantik” tanya sang peri. Bulan tersenyum, bukan begitu
jawabnya. Lebih dari cantik ia juga harus berguna. Ia harus bisa memberi manfaat bagi manusia,
binatang binatang, tumbuhan dan pohon pohon. Karena ketika wanita cantik menuntut agar
dirinya dicintai, wanita berguna justru berbagi dan memberi, itulah hakekat kecantikan
sesunggguhnya kata bulan. peri menatap wajah bulan yang anggun. Ia bertanya apa yang harus ia
lakukan agar menjadi cantik sekaligus berguna? Bulan menjawabnya hanya dengan senyuman.

Kemudian ia membawa peri terbang ke langit. Begitu sampai di pusat tata surya, ia meletakan
sang peri di tangannya. Bulan meminta peri menutup mata. Dengan sebuah tiupan ajaib yang
mengeluarkan sinar perak dari mulutnya, tubuh sang peri menjadi hangat karena diselimuti sinar
itu. Tak lama sekujur tubuhnya pun bergetar, berguncang guncang, meregang. Lalu dalam
hitungan detik wujudnya telah berubah menjadi bintang yang bersinar sangat terang. Ialah
bintang pertama yang lahir dalam sejarah tata surya.

Sang peri bahagia, ia menari nari, menyanyi, tertawa karena dirinya menjadi cantik. Ia
berterimakasih atas perubahan dirinya. Bulan kembali berkata, sekarang aku akan menunjukan
cara agar engkau menjadi lebih berguna bagi mahluk lain. Mulai saat ini bimbinglah mahluk
mahluk yang tersesat di bumi dengan cahayamu. Pandu mereka yang tersesat dan tak dapat
menemukan rumahnya, tunjukan sampan sampan nelayan yang kehilangan arah pelayarannya,
beritahu para pengembara yang sedang kebingungan menentukan jalur pengembaraannya.
Jadilah penunjuk jalan bagi siapapun yang membutuhkan.

Mulai saat itu sang peri tinggal di langit. Ia mengembara mencari mahluk mahluk yang tersesat
dalam perjalanan kemudian dengan cahayanya menunjukan mereka arah yang benar hingga
sampai ke tujuan. Suatu hari dilihatnya rombongan peri yang kelelahan di padang pasir gersang.
Ketika sadar mereka adalah teman temannya yang tersesat, mengedip ngediplah ia dan menunjuk
arah tenggara. Peri peri kaget, karena di langit terdapat setitik cahaya terang yang sangat cantik.
Atas petunjuk cahaya itu mereka terbang kembali. Tak lama di hadapan mereka terhampar taman
bunga yang luas. Peri peri bersorak setelah berhasil menemukan rumah baru. Tak satupun dari
mereka tahu, kalau bintang cantik penunjuk jalan itu adalah salah satu dari mereka yang telah
mereka kucilkan dulu. Mereka hanya bisa terkesima, kagum dan berharap dapat memiliki
kecantikan seperti sang bintang. Tak ada yang tahu rahasia ini kecuali angin. Dimana ia selalu
menyaksikan bayangan sang bintang yang kini berdampingan bersama bulan di atas permukaan
telaga dengan segenap rasa kagum yang melingkupi dadanya.
Rajin Belajar

Ini merupakan hari senin yang sangat cerah. Sesudah melaksanakan upacara bendera, para siswa
memasuki kelas mereka masing-masing dan mendapatkan pelajaran dari guru mereka. Di hari
ini, ada beberapa pelajaran yang harus didapatkan oleh siswa, yaitu Bahasa Jawa, Bahasa
Indonesia, PPKN dan Matematika.

Mata pelajaran yang pertama adalah matematika. Bapak guru meminta kepada para murid untuk
mengerjakan halaman 5 dan halaman 6. Ketika para siswa tengah mengerjakan tugas tersebut,
suasana kelaspun menjadi sangat hening. Kemudian sesudah selesai, Bapak guru memberikan
pesan kepada para siswa untuk mempelajari materi pembagian dan perkalian dengan soal cerita
karena tes dadakan akan dilakukan sewaktu-waktu.

Pada siswa pun pulang setelah pembelajaran hari ini usai. Dwi, Rahma dan juga Tika pulang
dengan jalan kaki bersama karena sekolah mereka tidak jauh dari rumah.

“Nanti bermain di rumahku yuk habis makan siang. Aku punya boneka baru hasil olah-oleh
ibuku dari Bandung kemarin.” Pinta Rahma kepada dua temannya.

“Asyiikk.” Ungkap Dwi senang.

Bagaimana Tika, apakah kamu bisa ikutan?”

“Aku tidak usah ikut saja. Aku ingin belajar di rumah karena pesan dari Bapak guru tadi kan kita
harus belajar sendiri karena tas dadakan akan dilakukan sewaktu-waktu.” Jawab Tika dengan
wajah polos.

Setiba di rumah masing-masing. Tika langsung mengganti bajunya, kemudian makan siang,
sholat dan istirahat siang supaya nanti malam dia bisa belajar dengan baik dan konsentrasi.
Mengenai materi buku yang kurang memahamkan, sesekali ia bertanya kepada kakaknya.

Sementara Dwi dan juga Rahma asyik bermain hingga larut sehingga mereka pun tidak sempat
mendalami materi. Keesokan harinya merekapun berangkat bersamaan. Sesampainya di kelas,
ternyata Bapak guru benar-benar melakukan tes dadakan. Dwi dan Juga Rahma merasa sangat
kebingungan mengerjakan soal. Sehingga merekapun mendapat nilai jelek. Dan akhirnya harus
mengulang tes susulan.

Berbeda dengan Toka. Ia memperoleh nilai paling baik di kelas karena sudah belajar dengan
sungguh-sungguh sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh sang guru. Dan Bapak guru pun
meminta Dwi dan Rahma belajar kepada Tika.

“Wah, selamat yang Tika. Nilaimu maksimal. Besok-besok kita ikut belajar sama kamu ya.”
Keutamaan Sedekah

“Bu, maaf hanya segini yang bisa bapak berikan kepada Ibu. Karena dagangan Bapak hanya laku
sedikit.” Sembari memberikan uang kepada sang istri untuk kebutuhan rumah tangga.

“Iya pak tidak apa-apa. Yang penting bapak sudah berusaha dan rejeki sudah diatur oleh Tuhan.”

Keesokan harinya, sang suami bekerja dengan membawa barang dagangannya ke pasar. Namun
tiba-tiba di tengah perjalanan ia bertemu dengan nenek tua yang kebingungan mencari jalan.

“Ada apa Nek?” Tanya Pak Jokosembari menghampiri sang nenek tua itu.

“Nak, apakah nenek boleh meminta uang? Saya mau pulang tapi tidak punya uang.” Pinta Nenek
kepada pak Joko.

“Uangku juga mepet nek. Dagangan nggak laku dari kemarin-kemarin. Bahkan, untuk keluarga
makan saja sering kurang. Tapinggak papa. Ustad bilang sekedah bisa melancarkan rizki.
Bismillah saja.” Gumamnya di dalam hati.

“Baik nek. Ini ada uang segini untuk naik bis sampai ke tujuan nenek. Biar saya yang antar
nenek ke terminal.” Ujarnya sembari mengantarkan nenek tersebut ke terminal.

“Terima kasih banyak nak. Semoga rejekimu lancar.”

“Amin. Terima kasih nek.”

“sesudah mengantar nenek terebut, pak Joko pun kembali pergi ke pasar guna menjajakan barang
dagangannya. Sesampai di pasar, tiba-tiba ada yang membeli dagangan pak Joko sampai habis.

“Alhamdulillah. Rejeki seorang hamba memang tidak kemana. Memang sedekah benar-benar
bisa melancarkan rizki.” Ujar pak Joko Bersyukur.
Malas Sekolah

Minggu menjadi hari libur dan membuat orang menjadi sangat malas untuk beraktifitas. Ada
orang yang memilih untuk menghabiskan hari minggu untuk berlibur dan ada juga yang memilih
untuk tinggal di rumah saja guna melepas penat karena aktifitas seminggu penuh.

Begitu pula dengan Beni yang memilih untuk santai di rumah ketika hari Minggu tiba. Sampai-
sampai, sesudah hari Minggu berakhir, ia pun masih belum siap menghadapi kegiatan sekolah
yang baginya amat membosankan.

“Ben, kamu tidak sekolah? Ini sudah jam berapa? Nanti kamu telat.” Ujar ibunya

“Ma, Beni masih capekbengat. Bolos sehari gak papa kan ma. Lagian tidak ada PR ataupun tes
ma. Jadi santai saja.”

“Jangan begitu nak. Kamu itu sekolah juga bayar. Menuntut ilmu bukan sesuatu yang bisa kamu
sepelekan nak.”

“Sudah bu, Beni masih ngantuk banget. Mau tidur lagi.”

Melihat hal tersebut, Ibu Beni menjadi marah dan menyeret anaknya tersebut ke sebuah tempat.
Ternyata, ibunya mengajak dia ke panti asuhan yang dipenuhi oleh anak-anak dengan latar
belakang yang berbeda.

“Nak, lihat mereka. Mereka tidak memiliki orang tua yang bisa membiayai mereka. Padahal,
mereka juga ingin sekolah dan memiliki orang tua lengkap sepertimu.” Jelas ibunya menasihati
anaknya melalui kaca mobil.

Lalu ibunya juga mengajak Beni melihat anak-anak yang tengah mengamen di jalan. “Lihat juga
anak itu. Dia yang seharusnya sekolah harus mengemis untuk mencari uang. Untuk makan saja
dia susah. Padahal kamu makan sudah disiapkan dan hidupnya enak.” Jelas ibunya lagi.

Sesudah itu Beni merasa sadar akan kesalahannya dan akhirnya ia pun mau diajak berangkat
sekolah sekalipun sedikit terlambat. Ibunya mengantar dia sampai ke sekolah. Di perjalanan, ia
juga melihat anak sekolah yang berjalan kaki dengan kaki yang pincang. Ia pun berkata dalam
hati,

“Betapa aku adalah orang yang sangat beruntung. Masih memiliki fisik yang sempurna namun
justru malas untuk pergi ke sekolah. Sementara anak yang cacat fisik saja masih semangat.”
Tidak Konsisten

Suara alarm terdengar begitu keras sehingga menyebabkan tidur Joni terganggu. Sementara ia
masih sangat mengantuk dan terlelap. Dengan masih menahan rasa kantuk yang luar biasa, ia
pun membuka kedua matanya.

“Ya Tuhan!” Joni merasa sangat kaget ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Ia
pun langsung bergegas mandi dan merapikan dirinya kemudian segera berangkat pergi ke kantor.
Ketika ia tiba di kantor, ternyata rapatnya sudah telat karena jamnya memang dimajukan
menyesuaikan jadwal dari bos yang akan pergi ke luar kota.

“Permisi Pak. Apakah saya boleh masuk? “Tanya Joni kepada bos yang tengah memimpir rapat.

“Iya silahkan duduk Jon. Namun maaf untuk hari ini Hamid yang akan menggantikan
proyekmu.”

“Tapi mengapa pak? Saya di sini hanya telat sebentar saja”

“Bukan masalah telat lama atau sebentar. Kami membutuhkan pekerja yang sangat professional.
Saya sudah lama mempercayakan proyek tersebut kepadamu. Namun, nyatanya kamu tidak bisa
bertindak konsisten untuk menangani proyek itu.

Meski kami telatnya hanya sebentar, tapi temanmu memiliki ide yang sangat bagus untuk
jalannya proyek tersebut. Jadi mohon maaf, sudah sangat bagus kamu tidak saya berhentikan dari
tim.” Jelas bos dengan sangat tegas.

Seketika itu, Joni terdiam dengan wajah sangat pucat. Sesudah rapat selesai, ia pun pergi ke meja
kerjanya.

“Ada apa denganmu hari ini Jon? Tidak seperti biasanya kamu telat?” Tanya Merry teman
sekantor Joni.

“Ini murni salahku Mer. Aku semalam begadang nonton bola sampai larut. Sampai-sampai aku
melupakan proyek penting yang harusnya sangat membuatku untung.” Jelas Joni.

“Oh gitu Jon. Makanya Jon mulai saat ini utamakan profesi kamu, jangan hobi yang
didahulukan!” Sambung Merry memberikan nasihat kepada Joni.
TUGAS
CERPEN

Disusun Oleh :

Nama : Nova Maulana

Kelas : IX D

Absen : 22

SMP NEGERI 1 MIJEN


TAHUN PELAJARAN 2019/2020

Anda mungkin juga menyukai