Anda di halaman 1dari 15

SINOPSIS NOVEL SURAT KECIL UNTUK TUHAN KARYA AGNES DAVONAR

Buku ini mengisahkan ulang cerita pilu seorang gadis bernama Keke atau Gita Sesa Wanda
Cantika. Ia terkena penyakit yang terbilang langka bernama Rabdosmiosarkoma atau yang
dalam bahasa awam dikenal dengan nama kanker jaringan lunak.
Keke sendiri merupakan pasien pertama di Indonesia yang terdeteksi terkena penyakit
tersebut. Hal ini yang menjadikan kisahnya sangat menggugah. Keke divonis terjangkiti
penyakit tersebut di usia 13 tahun dan hanya dalam jangka waktu 5 hari saja!
Kanker jaringan lunak tersebut perlahan merubah wajah belia keke. Ia menjadi seseorang
yang tak dikenali lagi sebab wajahnya menjadi sesuatu yang tak elok dipandang mata. Bagi
anak-anak, mungkin wajah keke tersebut akan dipanggilnya rupa monster.
Buku ini didasarkan pada kisah nyata. Sang penulis mengemas perjuangan keke melawan
penyakit kanker tersebut dengan baik. Meskipun pada beberapa bagian ia terlalu memaksakan
pesan moral masuk pada dialog beberapa tokoh sehingga mengacaukan setting.
Namun, toh, buku ini tetap memberi spirit utamanya bagi generasi muda bahwa seberapapun
cobaannya, kita harus berani berdiri dan menghadapinya. Perjuangan keke sempat berbuah
manis, sebab tim dokter berhasil menyembuhkan penyakitnya.
Hal ini menjadi sebuah prestasi tersendiri bagi dunia kedokteran di Indonesia pada saat itu
dan menjadi buah bibir di Negara lain. Banyak yang bertanya bagaimana bisa penyakit ganas
tersebut ditaklukkan.
Polemik tersebut akhirnya mendapat jawaban, sebab keke hanya sembuh sementara.
Beberapa saat setelah ia menjalani pengobatan, kanker ganas itu bertamu kembali dan sekali
lagi menyerang tubuh dan semangatnya.
Keke pun menyadari, waktunya hidup tak bisa diulur lagi dengan obat dan lain-lainnya.
Benar saja, ia meninggal pada tanggal 26 Desember di tahun 2006. Sebelum meninggal, ia
sempat menuliskan surat. Surat ini kemudian yang mengilhami pemilihan judul Surat Kecil
Untuk Tuhan. Berikut petikan surat keke tersebut:
SINOPSIS NOVEL 5 CM KARYA DHONNY DIRGHANTORO
Tahun Pertama Terbit: 2005 Buku ini secara garis besar bercerita mengenai persahabatan dan
nasionalisme. Banyak di antara kita yang beranggapan nasionalisme adalah perkara yang
pelik. Melalui 5 Cm, kita diajak bermain-main dengan rasa cinta pada negeri ini secara
sederhana melalui kelima sahabat yang menjadi tokoh utama novel besutan penulis muda,
Donny Dirghantoro.
Novel ini dibuka dengan perkenalan masing-masing tokoh yaitu Arial, Zafran, Genta, Riani
dan Ian. Dengan cerdas, sang penulis merekatkan karakter kuat pada masing-masing tokoh.
Hal ini yang membuat 5 Cm unggul dari novel lain. Jika secara umum pada permulaan novel
kita dibiarkan menebak seperti apa karakter para tokoh, maka di dalam 5 cm, kita tidak
dibiarkan menebak sebab karakter tokoh sudah terbaca kuat di halaman awal.
Kelima tokoh utama ini telah berada dalam lingkar persahabatan selama kurang lebih 7 tahun.
Hingga suatu saat mereka diliputi kebosanan. Kehidupan yang monoton membuat mereka
berpikir untuk berpisah selama 3 bulan. Dalam masa berpisah tersebut, mereka tidak
diperkenankan melakukan komunikasi dalam bentuk apapun.
Dalam kurun 3 bulan tersebutlah, mereka ditempa dengan hal baru. Dengan rasa rindu yang
saling menyilang. Tentang tokoh Riani yang mencintai salah satu sahabatnya. Tentang Zafran
yang merindui adik Arial, sahabatnya sendiri. Tentang Genta yang memilih mengagumi Riani
dengan diam. Dan masih banyak lagi lainnya. Sampai pada bagian ini, konsep nasionalisme
masih blur.
Ide mengenai nasionalisme disisip penulis dengan cerkas pada bagian saat mereka kembali
bertemu. Kelima sahabat ini memutuskan menunaikan rindu dengan mendaki puncak gunung
tertinggi di Pulau Jawa, Semeru. Surga dunia yang dititip Tuhan di Nusantara.
Alasan yang lebih dari cukup bagi orang-orang (khususnya anak muda) untuk mencintai
bangsa ini dan memajukannya dengan tekad yang disimpan di jidat, tak lebih dari 5 cm. Pada
bagian ini pula, penulis merubah kisah persahabatan menjadi kisah petualangan yang
dibumbui kisah cinta yang manis. Cinta segitiga di antara mereka dikemas dengan tawa
bukan tangis.
Kisah Seorang Penjual Koran
Kumpulan Tugas Sekolahku

Di ufuk timur, matahari belum tampak. Udara pada pagi hari terasa dingin. Alam pun masih
diselimuti embun pagi. Seorang anak mengayuh sepedanya di tengah jalan yang masih
lengang. Siapakah gerangan anak itu? Ia adalah seorang penjual Koran, yang bernama Ipiin.

Menjelang pukul lima pagi, ia telah sampai di tempat agen koran dari beberapa penerbit.
Ambil berapa Ipiin? tanya Bang Ipul. Biasa saja.jawab Ipiin. Bang Ipul mengambil
sejumlah koran dan majalah yang biasa dibawa Ipiin untuk langganannya. Setelah selesai, ia
pun berangkat.

Ia mendatangi pelanggan-pelanggan setianya. Dari satu rumah ke rumah lainnya. Begitulah


pekerjaan Ipiin setiap harinya. Menyampaikan koran kepada para pelanggannya. Semua itu
dikerjakannya dengan gembira, ikhlas dan rasa penuh tanggung jawab.

Ketika Ipiin sedang mengacu sepedanya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah benda. Benda
tersebut adalah sebuah bungkusan plastik berwarna hitam. Ipiin jadi gemetaran. Benda
apakah itu? Ia ragu-ragu dan merasa ketakutan karena akhir-akhir ini sering terjadi peledakan
bom dimana-mana. Ipiin khawatir benda itu adalah bungkusan bom. Namun pada akhirnya, ia
mencoba membuka bungkusan tersebut. Tampak di dalam bungkusan itu terdapat sebuah
kardus.

Wah, apa isinya ini?tanyanya dalam hati. Ipiin segera membuka bungkusan dengan hati-
hati. Alangkah terkejutnya ia, karena di dalamnya terdapat kalung emas dan perhiasan
lainnya. Wah apa ini?tanyanya dalam hati. Milik siapa, ya? Ipiin membolak-balik cincin
dan kalung yang ada di dalam kardus. Ia makin terperanjat lagi karena ada kartu kredit di
dalamnya. Lho,ini kan milik Pak Edison. Kasihan sekali Pak Edison , rupanya ia telah
kecurian.gumamnya dalam hati.

Apa yang diperkirakan Ipiin itu memamg benar. Rumah Pak Edison telah kemasukan maling
tadi malam. Karena pencuri tersebut terburu-buru, bungkusan perhiasan yang telah
dikumpulkannya terjatuh. Ipiin dengan segera memberitahukan Pak Edison. Ia menceritakan
apa yang terjadi dan ia temukan. Betapa senangnya Pak Edison karena perhiasan milik
istrinya telah kembali. Ia sangat bersyukur, perhiasan itu jatuh ke tangan orang yang jujur.

Sebagai ucapan terima kasihnya, Pak Edison memberikan modal kepada Ipiin untuk
membuka kios di rumahnya. Kini Ipiin tidak lagi harus mengayuh sepedanya untuk
menjajakan koran. Ia cukup menunggu pembeli datang untuk berbelanja. Sedangkan untuk
mengirim koran dan majalah kepada pelanggannya, Ipiin digantikan oleh saudaranya yang
kebetulan belum mempunyai pekerjaan. Itulah akhir dari sebuah kejujuran yang akan
mendatangkan kebahagiaan di kehidupan kelak.
Kisah Dua Gadis Kembar
Pada suatu hari tepatnya di Bandung, hiduplah dua gadis kembar yang bernama Juli dan Sofi.
Namun Sofi terlahir tidak sempurna, Ia cacat di bagian muka sedangkan Juli terlahir
sempurna. Mereka pun tumbuh semakin besar, hingga suatu ketika Juli dan Sofi tumbuh
dewasa, Juli dan Sofi ditinggalkan kedua orang tuanya saat umur mereka menginjak dewasa.

Sejak itu Juli mulai bekerja keras untuk menghidupi Sofi saudara kembarnya yang terlahir
cacat di bagian muka, ia inggin bisa melihat indahnya dunia diluar sana tapi apa daya, Sofi
menyadari bahwa dirinya cacat, tidak seperti Juli yang terlahir sempurna.

Diam-diam Sofi menyukai seorang lelaki yang bernama Tristan, namun Sofi tidak berani
untuk bercerita kepada Juli. Hingga suatu hari Sofi menyadari bahwa sebenarnya Tristan
menyukai Juli. Sofi pun merasa kecewa ia berkata Saya memang tidak pantas untuk dicintai
oleh lelaki yang sempurna seperti Tristan, mana mungkin dia bisa mencintai gadis cacat
seperti aku .

Hingga suatu ketika Sofi memilih untuk bunuh diri karena malu dengan wajahnya yang cacat,
sedangkan Juli yang sedang berada dikantor ingin segera pulang dan memberitahu - Cerpen
Singkat, Kisah Dua Gadis Kembar - Sofi bahwa ia sudah mendapatkan uang untuk biaya
operasi Sofi, Juli berkata Pasti Sofi senang sekarang bisa mengoperasi wajahnya dan tidak
akan malu lagi untuk pergi keluar kamar .

Juli pun pulang dengan segera, ia tidak sabar untuk memberitahu Sofi. Saat Juli sampai di
apartemen Juli memanggil-manggil Sofi, namun tidak ada jawaban dari Sofi, Juli mencari
kekamar Sofi namun tidak ada. Juli pun melihat kamar mandi Sofi, dan Juli pun terkejut saat
melihat Sofi tergeletak berlumuran darah.

Juli berteriak dan menangis, ia memeluk Sofi dan berkata Kenapa kamu lakukan ini
Sofi,aku sudah mendapatkan uang untuk biaya operasimu, tetapi kenapa kamu melakukan ini
dan meninggalkan aku .

Petugas apartemen mendengar suara teriakan dan langsung mendatangi Juli. Petugas
apartemen pun terkejut melihat wanita yang ada di pelukan Juli,ia tidak mengetahui bahwa
Juli memiliki saudara kembar, karena ia tidak pernah melihat bahwa di apartemen Juli ada
wanita selain Juli.
***
3 tahun kemudian Juli dan Tristan menikah, awalnya mereka hidup bahagia. Pada suatu
ketika Juli dan Tristan pergi untuk berjalan-jalan dan tidak sengaja mereka bertemu dengan
seorang peramal dan permal itu meramal masa depan Juli dan Tristan dari sebuah kartu.

Peramal itu berkata Kehidupan kalian akan di ganggu oleh sesuatu yang datang dari masa
lalu untuk mengambil nyawa dari salah satu di antara kalian . Namun mereka tidak langsung
percaya dengan ramalan tersebut, terutama Tristan. Namun tanpa di sadari Juli akhirnya
terpengaruh dengan ramalan tersebut dan secara tiba-tiba ia teringat pada saudara kembarnya.
Sejak Juli dan Tristan di ramal, Juli merasa tidak tenang hampir setiap hari ia mendapat
mimpi buruk, tubuh yang memar tanpa sebab dan bayang-bayang tentang Sofi yang
membuatnya hampir stres, dan dari situlah Juli menyadari bahwa Tristan dan hidupnya
sedang dalam bahaya. Juli pun mengajak Tristan untuk menemui peramal itu kembali,
kemudian Juli berkata kepada peramal itu Bagaiman menghentikan ramalan itu terjadi ,
Peramal menjawab Ramalan itu tidak dapat di hentikan dengan cara apa pun .

Peramal pun bergegas pergi, berbagai teror pun semakin mengancam Juli dan Tristan. Hingga
suatu ketika Sofi mendatangi Juli dan menampakkan wajahnya, Juli pun ketakutan dan
berteriak. Mendengar Juli bereriak, Tristan pun mendatangi Juli dan Tristan sangat terkejut
melihat Sofi saudara kembar Juli istrinya. Sofi berbalik badan dan langsung menghampiri
Tristan, Sofi berkata Kamu yang telah membuat aku seperti ini, sekarang aku akan
mengakhiri hidupmu.

Belum sempat Tristan menjawab Sofi pun langsung menjatuhkan Tristan dari atas apartemen,
dan Juli berteriak sangat keras lalu berkata kepada Sofi Kenapa kamu lakukan ini Sofi, apa
salah Tristan terhadapmu ? Sofi menjawab Dia yang sudah membuat aku menjadi seperti
ini .

Juli berkata Apa yang sudah di lakukan Tristan, dan mengapa kamu pergi meninggalkan
aku Sofi, sebenarnya saat itu aku ingin memberitahumu kalau aku sudah mendapatkan uang
untuk biaya operasi wajahmu, tapi kenapa kamu lakukan hal itu dan meninggalkan aku Sofi.

Aku sangat menyayangi mu . Sofi pun menangis dan menjawab Karena aku mencintaimu
Tristan tetapi dia lebih mencintaimu. Aku melakukan ini semua karena aku malu akan wajah
ku yang cacat, aku juga menyayangimu Juli . Sofi pun pergi dan akhirnya Juli hidup seorang
diri. Demikianlah, Cerpen Singkat, Kisah Dua Gadis Kembar tersebut.
Laras

Laras memberikanku keseimbangan. Kamu tahu setiap malamku selalu gelap gulita, namun
setelah bersama denganmu aku tidak pernah merasakannya lagi. Kamu bagiakan bintang
yang selalu menemani malamku. Aku selalu bertanya, kenapa langit malam begitu pekat
seakan Sang Pelukis sengaja menumpahkan tinta hitam ke dalam kanvas ciptaannya. Tapi
meski malam hitam buta, Sang Pelukis selalu memberikan keseimbangan. Lampu-lampu
yang Ia gantungkan di langit-langit malam adalah cahaya yang menyeimbangkan gelapnya
malam. Aku sendiri adalah malam yang tidak hanya hitam legam namun juga dingin
menusuk tulang, juga sepi. Sejak aku mengenalmu, siapapun juga pasti tahu bahwa laras
adalah nama yang berasal dari kota jogja yang berarti keseimbangan. Laras adalah kota yang
istimewa, begitulah kata orang-orang yang memandang parasmu.
.
Apa yang membuat gadis sepertimu jatuh cinta pada malam yang kelam?
Hingga kamu sanggup mengiris sebilah hatimu lalu memberikan pada laki-laki yang selalu
menatap malam dengan pandangan kosong. Lalu kamu memberikan sebilah lagi ke kota jogja
dan membuatku selalu merasakan keberadaanmu setiap harinya. Kamu bagaikan kunang-
kunang di malam hari, menyeimbangkan hatiku yang tidak hanya hitam legam namun juga
dingin menusuk tulang, juga sepi. Kita menjalani kisah bersama, begitu indah setiap halaman
dari kisah yang kita tulis bersama.
Sampai suatu ketika, kamu memutuskan untuk meninggalkan jogja, meninggalkanku. Aku
tidak mengerti dengan apa yang kamu pikirkan, namun bukankah kamu hanya dapat
menikmati kopi yang paling nikmat di kota ini?
Mungkin terlalu sombong untuk mengatakan bahwa kopi yang paling nikmat hanya terdapat
di kota ini. Tapi setidaknya aku yakin bahwa kopi yang paling sederhana hanya akan kamu
dapatkan di kota ini. Meski pada akhirnya kamu memilih untuk meninggalkan kopi itu, jogja,
juga aku. Seorang bangsawan memang tidak seharusnya hidup di kota yang penuh dengan
kesederhanaan dan kamu memilih untuk pergi ke kota lain yang penuh dengan gemerlap
kehidupan seorang bangsawan. Kala kamu meninggalkan jogja, aku sangat tahu kamu tidak
akan kembali lagi. Terkadang seseorang mengucapkan sampai jumpa lagi namun tidak
pernah benar-benar berjumpa kembali.
Apa yang dikatakan oleh pujangga adalah kebohongan belaka. Mereka selalu mengatakan
bahwa sesuatu yang kamu tulis adalah abadi, meski kamu menulisnya di atas pasir yang akan
tersapu oleh deru angin sekalipun.
Lalu di mana aku mendapati keabadian kisah cinta yang kita tulis bersama?
Lembaran kisah cinta yang telah kita ukir bersama setiap hari, minggu, bulan, dan tahun
sudah tidak berarti lagi untukmu juga untukku. Kamu telah menemukan laki-laki bangsawan
dari kota itu, menuliskan kisah cinta bersama dengan tinta emas seolah tidak akan ada yang
menghapusnya. Aku hanya memilih menghabiskan malam di kota ini, jogja. Di sinilah
tempatku bisa menghabiskan ribuan cangkir kopi hitam sendirian, menikmati pahitnya kisah
cinta. Itu bukan masalah bagiku, karena kisah cinta kita sudah tidak berarti lagi. Apapun yang
terjadi di masa lalu, juga apapun yang akan kulakukan denganmu di masa kini, tidak pernah
membuat kita bisa bersama lagi. Aku yakin kamu juga berpikir demikian.
Kau tahu semenjak kita bertemu, kamu memberikanku keseimbangan. Lebih tepatnya
kamulah keseimbangan itu. Setiap kisah cinta yang indah selalu ada kesedihan perih di
baliknya, itulah keseimbangan yang aku pikirkan hingga hari ini. Kamu telah memiliki kisah
cinta yang indah, dan aku menyeimbangkannya dengan kesedihan yang semakin dalam dan
semakin dalam.
permisi mas, mau pesan apa?
kopi hitam satu, kataku
ada yang lain?
enggak itu aja, kataku
Lalu aku mengeluarkan sebongkah novel setebal kurang lebih 500 halaman dan melanjutkan
membacanya.
Malam itu, di kedai, di kota jogja, hujan turun sangat deras. Hujan sendiri hanyalah sebutan
yang diberikan oleh orang-orang untuk ribuan tetes air yang jatuh dari langit. Walaupun aku
sendiri tahu bahwa itu tidak sepenuhnya benar, karena menurutku hujan adalah sesuatu yang
dikirimkan oleh Tuhan untuk menemani kesedihan seseorang sepertiku, seakan hujan
mengatakan bahwa bukan hatimu saja yang menangis.
Sesaat aku memandangi hujan itu lalu aku kembali beralih ke halaman novelku dan benar
saja, aku memang tidak sendirian. Aku sangat kenal dengan aroma ini. Aku sangat yakin ini
adalah aroma secangkir kopi hitam yang masih sangat panas, seakan ia mengatakan bukan
hatimu saja yang memiliki rasa pahit.
Semua akan baik-baik saja, katamu.
Setelah perpisahan, kita tetap bisa menjalani kisah masing-masing dengan bahagia. Meskipun
kita pernah saling menggenggam tangan bersama, bukan berarti kita telah kehilangan tangan
masing-masing setelah berpisah. Kita masih bisa menggunakan tangan masing-masing untuk
menulis kembali kisah cinta yang lebih baik. Perpisahan sendiri adalah kuncup untuk bunga
yang akan mekar menyebarkan aroma harum menyembuhkan hati yang hancur. Hanya saja,
setelah semua perpisahan itu aku ingin sendiri.
Setiap orang memiliki alasan kenapa ia jatuh cinta, juga alasan untuk tidak jatuh cinta. Alasan
yang tidak aku ingin orang lain mengetahuinya. Alasan itu telah lama sekali mengendap di
dasar hati, seperti endapan kopi hitam yang juga tidak pernah diteguk.
Seragam Sekolah yang Rusak

Siang yang terik, udara begitu panas, jalanan begitu berdebu dan terlihat gersang. Ratih
berjalan sambil terus melihat jempol kakinya yang menyembul keluar dari sepatu kain
miliknya. Sesekali ia juga tampak meraba baju bagian lengan yang ia kenakan, tanpa jelas
lengan baju itu telah dijahit sampai pada bagian ketiak.

Ketika berpapasan dengan orang Ratih tampak memperhatikan langkahnya dengan baik, ia
menyembunyikan jari kaki yang keluar itu seraya mempercepat langkahnya seolah ingin
sekali cepat sampai rumah.

Setelah setengah jam lebih ia berjalan akhirnya ia sampai di sebuah rumah kecil semi
permanen. Kemudian ia segera masuk ke dalam, bu aku pulang, ucapnya sambil terus
menuju ke kamar. Ibunya yang sedang sibuk di belakang tidak mendengar suara Ratih.
Setelah ganti pakaian, Ratih pun segera menemui ibunya.

Bu aku beli seragam baru ya, yang ini sudah jelek!, ucap Ratih
Eh, kamu ini pulang-pulang kok sudah minta-minta, makan dulu, ucap Martinah.

Ratih pun kembali ke dapur dan mencari makan. Melihat anaknya ke dalam Martinah sekilas
melemparkan pandangannya pada putrinya yang sudah mulai remaja itu, Kasihan Ratih, dia
pasti malu memakai seragam sekolah yang sudah banyak jahitan seperti itu, gumamnya
dalam hati.

Martinah pun segera menyelesaikan pekerjaannya dan menemui anaknya di meja makan.
Tampak Ratih sangat lahap menyantap makan siang itu meski hanya sayur daun singkong,
sambal dan ikan asin.

Heh anak gadis itu makannya pelan-pelan, tidak baik


Lapar abis bu.
Gimana tadi sekolahnya?
Ya begitu bu, oh iya tadi aku terpilih mewakili lomba sain bu

Oh, bagus itu, itu baru anak ibu


Oh iya bu, ayah belum pulang ya?
Belum nak, kata bapak kamu ini lagi sepi jadi mungkin bapak kamu pulangnya malam
Kasihan bapak, yang lain sudah tidur bapak masih narik angkot

Mendengar perkataan anaknya ia pun langsung membelai kepala Ratih. Martinah kemudian
menanyakan kepada anaknya tentang seragam sekolah yang tadi ia minta. Oh iya nak, kamu
tadi bilang apa, beli seragam baru, memang seragam kamu sobek lagi ya?

Iya, kalau sobek sih enggak bu, tapi kadang Ratih malu, apalagi besok mau lomba
Em ya sudah, besok ibu jualkan ayam biar kamu bisa beli baju sekolah
Enggak usah deh bu, beli sepatu aja, sepatuku sobek soalnya
Lakok bisa, jangan lari-lari geh kalau jalan
Yaibu, kan memang sepatunya sudah tua, kayak ibu.

Mereka pun kemudian tertawa. Setelah Ratih selesai makan, ia pun kemudian membereskan
meja makan, tak lupa ia membantu sang ibu mencuci piring kotor dan mempersiapkan
dagangan untuk besok.

Melihat anaknya sedang mencuci piring, Martinah segara ke kamar Ratih. Ia kemudian
mencari sepatu putrinya yang katanya sobek. Diambilnya sepatu kain itu, kemudian ia ke
kamarnya dan keluar dengan membawa benang dan jarum. Ia pun langsung menjahit sepatu
putrinya yang sudah menganga cukup lebar.

Malam harinya, Martinah meminta sang suami untuk memegang beberapa ayam yang ia
pelihara untuk dijual guna membeli sepatu Ratih yang sudah sobek dan seragam sekolah.
Hanya itu yang bisa ia lakukan karena dagangan dia memang juga sedang sepi apalagi sang
suami yang bekerja sebagai sopir angkot sering kali pulang tidak membawa uang sama sekali.

Ratih memang terlahir di keluarga sederhana yang kurang mampu. Untuk sekolah saja ia
harus sering menunggak iuran. Jangankan untuk kebutuhan lain, untuk makan saja mereka
harus irit dan mengandalkan kebun kecil di belakang rumah.

Mereka sangat jarang membeli sayuran, mereka hanya mengandalkan daun singkong, talas,
dan beberapa sayuran lain yang ada di pekarangan. Meski begitu Ratih selalu bersyukur
karena masih bisa makan tiga kali sehari. Ia juga selalu giat belajar agar kelak ia bisa menjadi
orang yang sukses.

--- Tamat ---


Hafalan Quran untuk Ibu

Hai namaku Salma. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Nama kakakku Aisyah. Kita selalu
bercanda kadang bertengkar. Aku pusing, ketika aku melihat Ibu selalu ditampar Ayah, gara-
gara disuruh shalat doang. Dulu Ayah sangat baik sekali. Kenapa Ayah sifatnya berubah?
Jumat, 01 Januari 2010
Pada jam 11 siang, Ibu membangunkan ayah untuk shalat jumat, tapi Ayah mendorong
Ibuku. Ibuku menangis dan memeluk aku dan kakak. Dan berpesan.
Kakak sama Salma, harus rajin shalat sama hafalan Quran harus bertambah ya biar kalian
masuk surga dan ngasih mahkota berlian ke Ibu di surga. Kata Ibu sambil menahan tangis.
Iya Bu
Sejak itu kami menghafal Quran. Hari demi hari, Ibu selalu mimisan. Kadang kami bertanya
ke Ibu.
Ibu kenapa mimisan?
Ibu cuma lelah doang, gak usah khawatir. Kalian fokus aja sama hafalannya.
Ibu sekarang hafalan kami sudah sampai An-Nisa, sebentar lagi kami mau wisuda.
Alhamdulillah, bagus anak-anak ibu memang pintar.
Kamis, 22 Desember 2016
Tibalah hari yang ditunggu-tunggu, yaitu wisuda hafalan Quran.
Ibu sekarang hari wisuda kami, ayo kita berangkat.
Gak sabar, pengen liat Kakak sama Salwa pake toga.
Sudah sampai, ayo kita duduk di barisan kedua. Kata Kakak sambil menunjuk ke arah
tempat duduk.
Aisyah Khansa, silahkan ke panggung. Kata MC.
Salma Zahira, silahkan ke panggung. Kata MC.
Ibu lihat kita pakai toga. Kata kami bersamaan, sambil memeluk Ibu.
Di perjalanan pulang. Tiba-tiba Ibu mimisan lalu pingsan. Kakak langsung memesan taksi
online. Setibanya di rumah sakit, Kakak menanyakan ke Dokter tentang penyakit Ibu. Kami
kaget karena penyakit Ibu adalah leukemia dan sudah stadium akhir. Hanya keajaiban yang
bisa ditolong.
Sudah seminggu Ibu koma. Selang beberapa menit kemudian ibu bangun dan berpesan.
Sayang, jagalah shalat kalian dan jagalah hafalan kalian. Jika ibu pergi ke Allah, jangan
kalian bersedih dan janganlah kalian berputus asa. Nanti ibu akan bersedih dan Ibu selalu ada
dengan kalian, cuma alam yang berbeda.
Ibu jangan berkata seperti itu, Ibu tidak boleh pergi, tetaplah disini bersama kami. Nanti
kami tinggal bersama siapa?
Kan ada Kakek dan Nenek, ada Bi Isti.
Gak mau, maunya sama ibu.
Asyahadu Allaa Ilaaha Illallaah, Wa Asyhadu Anna Muhammadan Abduhu Warasuulluh.
Tidaaaak
Sudah seminggu, aku ditinggalkan Ibu. Pada suatu hari, aku melihat Ibu memakai mahkota
berlian dan wajahnya sangat bersinar. Aku pun berlari dan sudah menggapai kerudung Ibu.
Tiba-tiba aku bangun
Restui Bunda

Bunda, aku sering mendengar cerita dari kakek, kata kakek: ketika aku lahir aku sebesar
botol. Dan hal itu membuat khawatirmu akan diriku. Apakah aku akan hidup di dunia?
Dengan keadaanku lemas tak berdaya bahkan aku tak bisa membuka mata. Lalu dokter
memasukkanku ke dalam aquarium berlampu. Sembilan hari aku di dalam itu, sejak aku lahir
dari rahim bunda, bunda tak pernah membelaiku, menciumku. Bahkan ayah saja belum
sempat mengazaniku karena aku terus di dalam aquarium berlampu itu. Selama sembilan hari
itu, ayah hanya bisa memandangku dari jendela ruang bayi, berdoa untukku. Hingga pada
hari ke-sembilan tubuhku terlihat sedikit kuat. Aku mulai menagis, dokter pun mengizinkan
ayah untuk mengazaniku lalu ayah membawaku ke panggkuan bunda. bunda menciumku di
kening. Benar begitu ceritanya bunda? Itu cerita kakek.
Adli Dzil Ikram, itu nama yang Ayah berikan pada bayi yang mungil, anak lelaki pertama
kebanggaan Ayah dan bunda. Mungkin Ayah menginginkanku menjadi orang yang Mulia
dan Adil. Adli artinya adli dan Dzilikram artinya yang mempunyai kemulian. Begitukah
bunda? Aku tak tau alasannya. Mungkin suatu hari nanti aku ingin dengar cerita bunda.
Bunda, maafkan aku!. Mungkin aku tak bisa mengikuti kemauan Bunda untuk menjadi
seorang Polisi. Aku masih ingat ketika aku tamat Sekolah dasar dulu. Tentang undangan
Sekolah Musik di Las Vegas. Bunda tak megizinkanku kesana, alasannya karena imanku
belum kuat. Lalu Bunda mengirimku ke Pondok Pesantren. Awalnya aku tak betah disana
tapi lama kelamaan aku terasa sadar aku memang harus menguatkan imanku. Di Pondok
Pesantren aku banyak medapatkan Ilmu. Ketika itu aku memutuskan untuk menetap disitu
selama enam tahun. Tapi aku sedikit kecewa dengan bunda, mengapa bunda menjual Drum
kesayanganku?. Aku tau maksud Bunda ingin menjauhkanku dengan musik. Apa sekarang
Bunda juga ingin menjauhkan ku dengan Laptop dan Kameraku.
Bunda, mungkin Tiga Bulan lagi aku genap enam tahun disana. Sudah seharusnya aku
memilih jalan hidupku. Kemana harus aku berlabuh setelah ini. Umurku sekarang tujuh belas
tahun, Aku sudah mengerti arti dari suatu keadaan. Bunda, biarlah aku memilih sendiri jalan
hidupku, mungkin tak jadi seorang Polisi. Dan maafkan aku Bunda, jika selama enam tahun
di Pondok aku tak bisa memberikan hasil yang memuaskan. Belakangan ini aku sibuk dengan
cerita ceritaku. Sebenarnya Bunda, keinginanku sederhana: aku hanya ingin bercerita. Bunda
jangan khawatir! Aku tau selama ini bunda berpikir, jika aku mengambil fakultas komunikasi
tak banyak menghasilkan uang. Uang itu tak bahagia bunda. Keinginan yang membuat
bahagia, keinginan juga menghasilkan uang. Aku tau itu, dari pertanyaan bunda ke aku: mau
kerja dimana nanti?
Bunda, carilah ilmu sampai ke negeri cina itu pesan ustadku. Aku ingin pergi jauh dari
ranah ini. Mencari suasana baru, aku ingin melihat salju jatuh dari langit bunda. Sederhana
kan keinginanku. Suasana di ranah kita kian mencekam sudah, aku sudah tak tahan lagi
dengan ketidak adilan negeri ini. Yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin.
Bunda, perantauan bukanlah tempat yang menenangkan. Banyak orang kesana karena ilmu
dan harta lantas mereka kembali karena rindu dan cinta. Rindu bunda, pasti jika datang
waktunya aku akan pulang. Aku bukanlah malin kundang yang seperti ibu ceritakan padaku.
Bunda, Kerinduan akan terus bergejolak seperti api. Dan hanya bisa diobati dengan
pertemuan walaupun sesingkat apa pun. Jika disana, aku rindu ketika Ayah menyuruhku
untuk mengetik laporannya, aku akan rindu Kiki ketika bermain sepeda bersama, aku rindu
mie buatan dina dan Raziq yang selalu minta digendong ketika aku pulang tiap senja. Pasti
dia sudah besar ketika aku pulang nanti. Aku akan rindu Bunda. Restui aku Bunda!
Dan cinta bunda, seorang wanita yang bunda lihat fotonya di dinding dekat meja menulisku.
si gula pasir itu yang tertulis di bawah fotonya. Tapi namanya bukan si gula pasir bunda,
itu judul cerita yang sedang kutulis. Namanya: Adinda Alya Musfiqa. Nama yang indah
bukan bunda. Entah mengapa aku sangat cinta padanya. Dia menyuruhku untuk melupakan.
Tapi aku tak apa salahku padaku. Aku malu Bunda, karena aku tak bisa melupakannya. Aku
ingin melupakan dia tapi bayangannya menarik ulur tanganku dan berkata: jangan pergi.
Bunda, dia pernah berkata persis seperti bunda. Bunda masih ingat kan ketika bunda melihat
aku sedang dalam lamunan fotonya lalu bunda berkata: jangan terlalu berharap. Dia juga
pernah berkata seperti itu padaku. Bunda, tak salah jika kita berharap, bukanya beraharap itu
sikap manusiawi tapi kita harus memiliki tiang ikhlas di hati. Ikhlas jika nantinya apa yang
kita inginkan tak terwujud. Namun, jika berharap dengan doa insyaallah akan terwujud.
Tidak di dunia pasti di surga Bunda.
Bunda, aku akan kembali karena dinda. Karena hingga saat ini aku tak bisa melupakannya.
Entahlah bunda! Hidup ini hanya sekumpul kemungkinan tuhan yang menetentukannya. Aku
harus mempersiapkan sekuntum mawar buat dinda makanya aku harus pergi. Aku mohon
reatui aku Bunda. Aku sayang Bunda.
Perempuan 14 Bersaudara

Hari itu, Arina mendengar kabar ibunya telah hamil tujuh bulan. Ia terkejut dan geram.
Bayangkan saja, Arina yang saat itu berusia 22 tahun harus memiliki adik yang masih bayi.
Belum lagi ia harus merawat dua adik yang masih play group, lima SD, dan dua di SMP.
Sementara tiga adiknya yang lain sudah bekerja serabutan, dikarenakan mereka hanya
memiliki ijazah SMP.
Sebagai putri sulung, memang sudah kewajiban Arina membantu ibunya merawat adik-
adiknya. Bahkan ia rela menikah selepas lulus SMP, lantaran kata ibunya aji mumpung ada
pedagang kaya raya dan baik dari desa sebelah yang melamarnya. Walaupun berulang kali
Arina menolak, tetapi apalah kata, ibunya lebih berwenang memberi keputusan dan
berlangsunglah pernikahan itu. Tetapi sudahlah, pun Arina saat ini sudah menerima dengan
baik kehadiran suami yang sebelas tahun lebih tua darinya itu.
Sekarang yang hinggap di benaknya hanya kegelisahan, kekecewaan, khawatir yang
bercampur entah bagaimana menjelaskan pahitnya. Bukannya Arina menolak karunia Tuhan,
ia hanya tidak mengerti orangtuanya. Mengapa kehamilan dan kelahiran bayi seakan menjadi
agenda yang tak lekang setiap tahunnya.
Di tengah keberadaan keluarganya yang jauh dari kata sejahtera itu, harus berkali-kali hadir
seorang bayi. Memang, semakin banyak anggota keluarga akan semakin seru keceriaannya
dan banyak yang membantu memberi nafkah ketika dewasa. Tetapi bagaimana dengan masa
pertumbuhan dan perkembangan. Akankah anak yang kurang mengenyam pendidikan dan
setiap harinya dipaksa mengerjakan pekerjaan orang dewasa akan tumbuh dengan mental
yang baik dan memiliki masa depan cerah.
Setiap ibunya melahirkan, Arina selalu terbayang akankah adik-adiknya juga akan merasakan
kerja keras sebagaimana yang dialaminya. Ia tidak pernah lupa ketika dulu ibunya
memukulnya hanya karena ia lupa tidak memasak air hangat untuk mandi adiknya. Setiap
pagi, sebelum sekolah, ia harus memasak, mencuci, dan memandikan adik-adiknya yang
masih bayi. Sementara ibunya, mondar mandir ke beberapa rumah tetangga untuk hutang
beras atau mencari nasi basi untuk dikeringkan dan dijual. Dan ayahnya hanyalah seorang
buruh serabutan, kadang di pasar kadang juga ke kota.
Mengapa ibu dan ayah tidak memikirkan masa depan kami? Haruskah adik-adikku
sepertiku? Menikah dini dan tak pernah sekalipun jalan-jalan sebatas untuk menghilangkan
penat. Sementara setelah menikah, harus lagi menyandang status sebagai kakak yang
memiliki adik masih bayi. Pasti banyak yang tanya, adik atau anaknya? Mau Ku kemanakan
wajahku ini. Pikiran Arina kemana-mana.
Berhari-hari ia tak kunjung mampu menepis lara dalam benaknya itu. Ia nampak semakin
pendiam. Hingga suatu ketika suaminya menanyakan apa yang sebenarnya membebani
pikirannya. Akhirnya dengan berat hati ia pun menceritakan semuanya. Mendengar itu,
dengan ramah suaminya menjelaskan kepadanya.
Tidak apa ibu hamil, anak itu karunia Tuhan. Bukan saja kamu yang sudah menikah dan
punya adik bayi, sepupuku juga ada yang memiliki adik seumuran dengan anaknya. Dan
tentang masa depan, percayalah, Allah selalu memberikan sesuatu yang sangat bernilai bagi
siapa saja yang dengan ikhlas berbakti pada orangtua. Mungkin jodoh atau teman bisa dipilih,
tapi kalau orangtua adalah pilihan langsung dari Allah, anak tidak bisa memilih orangtua.
Arina tertegun menyimak penjelasan suaminya dan tertunduk kaku.
Meskipun ibu seolah tidak menghargai perjuanganmu, yakinlah, Allah maha tahu segalanya
dan akan memperhitungkan segalanya dengan balasan yang tak terkira, lanjut suaminya.
Tapi bagaimana jika sekarang aku mengungkit kebaikanku membantu ibu? Tanya Arina
lirih.
Sebaiknya sekarang kita belajar ikhlas. Karena biar bagaimanapun ibu adalah orangtua
kita, jawab suaminya dengan senyuman yang tak pernah hilang dari bibirnya.
Perlahan Arina mulai mengerti. Kemudian ia tersenyum tipis sembari menoleh ke arah
suaminya.
Selalu Bersama Allah

Hai, namaku Sintia. Umurku 12 tahun, aku sekarang kelas 6 SD. Hari itu hari senin, aku
berangkat sekolah dengan berjalan kaki sendirian. Hatiku terasa tak tenang, pikiranku kacau,
badanku panas dan dingin. Rasanya seperti jiwaku sudah tiada.
Sesampainya di kelas aku langsung duduk di bangku dan meletakkan kepalaku di meja
sambil mengingat mimpiku semalam, aku bermimpi bahwa ibuku yang sedang bekerja di
Amerika menikah lagi dengan laki laki lain. Sedangkan ayahku meninggal dunia ketika
hendak menyusul ibuku. Aku di kelas menangis tersedu sedu. AYAH IBU teriakku
sambil menangis sintia kamu kenapa? Tanya laras temanku cepat panggilkan bu Ratna!!!
Teriak Rama.
Ya allah Sintia kamu kenapa nak ayo bawa ke UKS sekarang! perintah bu Ratna. Saat
di UKS aku sendirian termenung hanya melihat murid murid belajar di kelas, di tengah
lamunanku bu kepala sekolah datang Sintia kamu mau diajak pulang oleh pakdhe mu
kata bu kepsek sambil matanya berkaca kaca.
Di tengah perjalanan saat ku menaiki motor yang dibawa pakdheku menuju rumahku aku
melihat orang orang mengiringi sebuah mayat. Aku langsung kaget ketika melihat foto
ayahku yang sedang dibawa oleh pak Salim. Sampai di rumah kulihat ramai orang berkumpul
semua berpakaian hitam, Dimana ayahku? Tanyaku. Semua orang diam tak ada yang
menjawab AYAH!!! teriakku sambil menangis.
Lalu bibiku pun memelukku sambil berkata Ayahmu bahagia nak, ia sedang menuju surga
nak kata bibiku Ayah kenapa ayah tak mengajakku! Sekarang aku sendiri tak punya
siapa siapa! Ibuku pun tak mempedulikan aku teriakku sambil menangis. Semua orang
yang ada di rumahku ikut menangis nak, memang kau tak punya siapa siapa tapi Allah
kan ada ia akan selalu bersamamu jangan menangis nak Allah akan selalu bersamamu
kata bibiku. Aku pun diam, nafasku tercekat. Aku menyadari bahwa allah selalu bersamaku
di setiap waktu.
TAMAT

Anda mungkin juga menyukai