Anda di halaman 1dari 12

Kisah Dua Gadis Kembar

Pada suatu hari tepatnya di Bandung, hiduplah dua gadis kembar yang bernama Juli dan Sofi. Namun
Sofi terlahir tidak sempurna, Ia cacat di bagian muka sedangkan Juli terlahir sempurna. Mereka pun
tumbuh semakin besar, hingga suatu ketika Juli dan Sofi tumbuh dewasa, Juli dan Sofi ditinggalkan
kedua orang tuanya saat umur mereka menginjak dewasa.

Sejak itu Juli mulai bekerja keras untuk menghidupi Sofi saudara kembarnya yang terlahir cacat di
bagian muka, ia inggin bisa melihat indahnya dunia diluar sana tapi apa daya, Sofi menyadari bahwa
dirinya cacat, tidak seperti Juli yang terlahir sempurna.
Diam-diam Sofi menyukai seorang lelaki yang bernama Tristan, namun Sofi tidak berani untuk bercerita
kepada Juli. Hingga suatu hari Sofi menyadari bahwa sebenarnya Tristan menyukai Juli. Sofi pun
merasa kecewa ia berkata “ Saya memang tidak pantas untuk dicintai oleh lelaki yang sempurna seperti
Tristan, mana mungkin dia bisa mencintai gadis cacat seperti aku ”.
Hingga suatu ketika Sofi memilih untuk bunuh diri karena malu dengan wajahnya yang cacat,
sedangkan Juli yang sedang berada dikantor ingin segera pulang dan memberitahu - Cerpen Singkat,

Sofi bahwa ia sudah mendapatkan uang untuk biaya operasi Sofi, Juli berkata “ Pasti Sofi senang
sekarang bisa mengoperasi wajahnya dan tidak akan malu lagi untuk pergi keluar kamar ”.
Juli pun pulang dengan segera, ia tidak sabar untuk memberitahu Sofi. Saat Juli sampai di apartemen
Juli memanggil-manggil Sofi, namun tidak ada jawaban dari Sofi, Juli mencari kekamar Sofi namun
tidak ada. Juli pun melihat kamar mandi Sofi, dan Juli pun terkejut saat melihat Sofi tergeletak
berlumuran darah. Juli berteriak dan menangis, ia memeluk Sofi dan berkata “ Kenapa kamu lakukan
ini Sofi,aku sudah mendapatkan uang untuk biaya operasimu, tetapi kenapa kamu melakukan ini dan
meninggalkan aku ”.

Petugas apartemen mendengar suara teriakan dan langsung mendatangi Juli. Petugas apartemen pun
terkejut melihat wanita yang ada di pelukan Juli,ia tidak mengetahui bahwa Juli memiliki saudara
kembar, karena ia tidak pernah melihat bahwa di apartemen Juli ada wanita selain Juli.
3 tahun kemudian Juli dan Tristan menikah, awalnya mereka hidup bahagia. Pada suatu ketika Juli dan
Tristan pergi untuk berjalan-jalan dan tidak sengaja mereka bertemu dengan seorang peramal dan
permal itu meramal masa depan Juli dan Tristan dari sebuah kartu.

Peramal itu berkata “ Kehidupan kalian akan di ganggu oleh sesuatu yang datang dari masa lalu untuk
mengambil nyawa dari salah satu di antara kalian ”. Namun mereka tidak langsung percaya dengan
ramalan tersebut, terutama Tristan. Namun tanpa di sadari Juli akhirnya terpengaruh dengan ramalan
tersebut dan secara tiba-tiba ia teringat pada saudara kembarnya.

Sejak Juli dan Tristan di ramal, Juli merasa tidak tenang hampir setiap hari ia mendapat mimpi buruk,
tubuh yang memar tanpa sebab dan bayang-bayang tentang Sofi yang membuatnya hampir stres, dan
dari situlah Juli menyadari bahwa Tristan dan hidupnya sedang dalam bahaya. Juli pun mengajak
Tristan untuk menemui peramal itu kembali, kemudian Juli berkata kepada peramal itu “ Bagaiman
menghentikan ramalan itu terjadi ”, Peramal menjawab “ Ramalan itu tidak dapat di hentikan dengan
cara apa pun ”.

Peramal pun bergegas pergi, berbagai teror pun semakin mengancam Juli dan Tristan. Hingga suatu
ketika Sofi mendatangi Juli dan menampakkan wajahnya, Juli pun ketakutan dan berteriak. Mendengar
Juli bereriak, Tristan pun mendatangi Juli dan Tristan sangat terkejut melihat Sofi saudara kembar Juli
istrinya. Sofi berbalik badan dan langsung menghampiri Tristan, Sofi berkata “ Kamu yang telah
membuat aku seperti ini, sekarang aku akan mengakhiri hidupmu”.

Belum sempat Tristan menjawab Sofi pun langsung menjatuhkan Tristan dari atas apartemen, dan Juli
berteriak sangat keras lalu berkata kepada Sofi “ Kenapa kamu lakukan ini Sofi, apa salah Tristan
terhadapmu ?” Sofi menjawab “ Dia yang sudah membuat aku menjadi seperti ini ”.
Juli berkata “ Apa yang sudah di lakukan Tristan, dan mengapa kamu pergi meninggalkan aku Sofi,
sebenarnya saat itu aku ingin memberitahumu kalau aku sudah mendapatkan uang untuk biaya operasi
wajahmu, tapi kenapa kamu lakukan hal itu dan meninggalkan aku Sofi.
Aku sangat menyayangi mu ”. Sofi pun menangis dan menjawab “ Karena aku mencintaimu Tristan
tetapi dia lebih mencintaimu. Aku melakukan ini semua karena aku malu akan wajah ku yang cacat,
aku juga menyayangimu Juli ”. Sofi pun pergi dan akhirnya Juli hidup seorang diri.
Aku Dan Harapanku

Langit terlihat begitu sendu, matahari terlihat bersembunyi di balik awan tebal, hujan seakan ingin
menyapa tapi angin menolaknya.
Ketika harapan tidak sesuai dengan keinginan? Mungkin hati akan merasa sakit, tapi aku mencoba
menyakinkan hati kalau semua adalah garis hitam di dalam hidupku.
1 tahun yang lalu, ketika aku menduduki kelas 3 SMP aku dibuat bingung dengan berbagai pilihan.
Anak remaja yang tidak tahu dunia seluruhnya, harus memilih antara aku harus sekolah dan berkerja
ketika keinginanku untuk bersekolah terhenti begitu saja aku terpaksa mengubur semua mimpi, cita-
cita, harapan dan semua yang ada di dalam imajinasi kecilku.

Aku memang bukan seorang anak yang terlahir dari keluarga yang kaya raya, bukan anak yang bisa
melanjutkan sekolah hingga ke perguruan tinggi. Tapi aku hanya seorang anak yang terlahir dari
keluarga sederhana, ayahku berkerja sebagai pedagang sedangkan Ibuku hanya sebagai ibu rumah
tangga. Sedih memang, tapi aku coba untuk ihklas menjalani kehidupan di dunia yang fana ini. Aku
masih percaya akan sebuah keajaiban dan mukjizat yang datangnya dari Allah asal aku berusahan
sekuat tenaga dan terus berdoa sebaik baiknya kepada Allah SWT. Agar aku bisa melanjutkan sekolah
dan bisa membuat kehidupan ini berubah.

Hari pertama aku berkerja di sebuah warung makan, di dalam hati aku bertekad untuk berkerja keras
supaya bisa membantu perekonomian keluargaku, setelah aku berkerja ternyata aku merasakan
bahwa mencari uang yang halal itu sangat sulit tidak semudah kita menghambur hamburkannya untuk
sekedar barang yang tidak penting.
Letih, mungkin orangtuaku lebih…
Cape, mungkin orangtuaku lebih..
Mengeluh mungkin orangtuaku tidak pernah…
Tapi beda dengan aku sekarang baru sebentar berkerja sudah merasakan yang namanya cape tapi
aku coba menepisnya aku kembali semangat, demi untuk membuat orang orang yang aku sayangi di
dunia ini yaitu orangtuaku bisa tersenyum penuh bangga terhadapku bisa membuat mereka bahagia
dengan caraku yang sederhana.

Setelah beberapa bulan aku berkerja akhirnya aku sudah bisa mengumpulkan sedikit demi sedikit uang
untuk hari minggu nanti aku bawa untuk pulang ke kampung halaman, rasa rinduku terhadap
orangtuaku yang jauh di sana sudah mulai terasa aku mencoba menguatkan diri sendiri.
“sabar masih hari minggu”
Sambil ku duduk termenung di teras kosanku di dalam setiap doaku aku masih berharap bahwa ini
bukan akhir dari segalanya, aku selalu percaya akan sebuah kejutan yang Allah berikan di hari yang
akan datang.

Hari minggu yang aku tunggu pun telah tiba rasa rindu yang memuncak seakan bisa kulepaskan di hari
ini, cairan bening itu menetes tak henti aku terus memeluk orang yang paling berjasa dalam hidupku
ini seorang wanita yang sangat aku hargai dan cintai wanita itu, adalah Ibuku. Aku memeluk ibuku
begitu erat rasanya rindu ini begitu besar.

Setelah melepas rasa rindu itu ibu ayahku dan aku sedang berkumpul di ruang tengah kami sedang
ngobrol santai dan menceritakan pengalaman aku pertama kali berkerja. Tapi di tengah obrolan santai
tersebut tiba tiba ayahku berkata..
“nak ayah boleh bertanya?”
“boleh, memangnya ayah ingin bertanya apa?”
“ayah ingin bertanya apakah di dalam hati kamu masih ada keinginan untuk melanjutkan sekolah?” tiba
tiba ku terdiam memikirkan pertanyaan itu rasannya aku ingin menjawab segera semua pertanyaan itu,
tapi hatiku mencoba untuk terlihat tenang di hadapan ayah.
“sejak dulu sampai sekarang jawabanya masih sama ayah, aku masih bertekad untuk bisa melanjutkan
sekolah”
“memangnya untuk apa kamu sekolah?”
“agar aku bisa membuat ayah dan ibu bisa bahagia dan merubah kehidupan kita menjadi lebih baik
lagi”
sekarang giliran ayahku yang tiba tiba terdiam entah apa yang dia pikirkan tapi aku melihat sorot
matanya yang seperti ingin menangis tapi dia mencoba untuk menahanya untuk keluar.
“tahun ini kamu lanjutkan sekolah lagi” tiba tiba ayahku berkata seperti itu dan entah apa yang aku
rasakan intinya aku merasakan kebahagian yang luar bisa
“tapi ayah…”
“nggak ada tapi tapian ayah yang akan berkerja keras agar kamu bisa sekolah dan bisa melanjutkan
pendidikan yang layak”

Pada saat itu aku benar benar bahagia sampai aku bersujud syukur kepada allah dan inilah keajaiban
yang Allah janjikan untuk aku dan aku merasa bersyukur atas apa yang telah aku lalu karena itu sebagai
pelajaran yang berharga yang bisa aku ambil hikmahnya di suatu saat nanti.

Sekarang aku sudah bersekolah kembali di sebuah sekolah SMA, aku merasa bahagia karena aku bisa
melanjutkan impian dan cita citaku yang sempat terhenti dan aku akan mewujudkanya dengan cara
bersekolah. Sekarang aku akan berjuang untuk orang yang memperjuangkanku. orangtuaku berjuang
untuk bisa menyekolahkanku dan aku berjuang untuk bisa membanggakan kedua orangtuaku dengan
semangat untuk sekolah dan belajar.
Generasi Kartini
Di sebuah desa kecil, di bawah kaki bukit, hiduplah 1 keluarga yang kurang mampu. Sang ayah bekerja
sebagai Petani, sang ibu hanya penjual makanan di pasar yang terletak jauh dari desa. Mereka memiliki
3 anak. Si sulung bernama Bella, dia putus sekolah karena ingin membantu ibu menjaga kedua
adiknya. Si tengah bernama Kayla, dia bersekolah jauh dari desa. Dan si bungsu bernama Sania, Sania
masih belum sekolah. Suara ayam membangunkan si sulung. Dia segera mandi lalu shalat subuh. Dia
membantu ibu memasak makanan untuk kedua adiknya dan ayah yang akan berdegas pergi ke sawah.
“ibu, ada yang bisa aku bantu?” tanya Bella
“tidak usah sayang… kamu bangunkan adikmu dan menyuruh Kayla mandi saja” balas ibu
“baik bu” jawab Bella singkat
Bella berlari ke kamar Kayla, dia membangunkan Kayla.
“kay! Bangun! Ayo dong, sekarang hari pertama kamu sekolah” teriak Bella mengoyang tubuh Kayla
“uhmmm… apa sih kak? Masih jam segini kali” bantah Kayla
“Kayla, jarak rumah ke sekolah itu jauh, sudahlah nanti kakak antar kamu mengunakan sepeda saja.
Cepat mandi!” suruh Bella. Setelah membangunkan Kayla. Bella membantu ibu menyiapkan sarapan
dan bekal untuk Kayla dan ayah. Setelah sarapan pagi, ayah dan ibu berangkat bekerja, ayah
mengantar ibu ke pasar mengunakan motor, lalu ayah berdegas ke ladang. bella pun segera
mengambil sepeda dan membonceng adiknya ke sekolah, di desa seberang. Di perjalanan, Bella
bercerita tentang R.A Kartini, pahlawan wanita yang memperjuangkan nasib wanita, hingga dapat
bersekolah seperti adiknya sekarang ini.
“Kay! Harusnya kamu bersyukur bisa sekolah dengan mudah. Biaya ditangung pemerintah, tiada
perang perang. Jadi… kamu harus rajin ya di sekolah” ucap Bella
“memangnya? Saat zaman peperangan tidak ada sekolah kak?” tanya Kayla
“bukannya tidak ada, tapi wanita seperti kita tidak diperbolehkan bersekolah. Bersekolah yah Cuma
sampai kelas 6 SD, setelah kelas 6 para wanita dipingit. Akhirnya Kartini bertanya kepada ayahnya,
namun sang ayah hanya diam. Dan Kartini pun membuat sekolah gratis untung rakyat Indonesia. Kartini
pun sering membuat buku buku novel yang memotivitas rakyat Indonesia” cerita Bella panjang lebar
“lalu apa hubungannya sama Kayla?” tanya Kayla
“harusnya kamu bersyukur bisa bersekolah. Kartini bersekolah SD saja membayar dengan biaya
mahal, kamu sekolah sekarang kan ditangung pemerintah. Sedangkan kakak yang ingin bersekolah
malah tidak bisa. Ya sudah, sudah sampai di sekolahmu, belajar yang rajin ya Kay! Nanti kakak jemput
jam 12 siang ya!” teriak Bella melambaikan tangan ke adiknya
“byee kak!” teriak Kayla balik
Setelah sampai di rumah, Bella mengelar tikar di depan rumahnya. Bella pun mengajar anak anak yang
tak mampu bersekolah, dia membuat sekolah kecil kecilan, sedangkan Sania dititipkan ke tetangga
Bella
“kak Bella, mari belajar. Sudah tak sabar nih” teriak salah satu anak laki laki
“iya iya, semua duduk dengan tertib ya! Kakak akan mengajari kalian menghitung” teriak Bella
menenangkan anak anak yang berlari sana sini
“asikkk!!!” teriak semua anak
“Aldo, coba kamu hitung. Misalnya, kak Bella memberi kamu 20 permen, lalu adikmu memintanya 5,
lalu kakak memberimu 10 permen lagi, jadinya?” tanya Bella kepada Aldo
“saya menjawabnya… terima kasih kak Bella, hehehe” canda Aldo.
Semua murid pun tertawa, Bella hanya bisa tersenyum ke Aldo, “okey okey, tadi kan ada 20 – 5 + 10
jadinya 25 kak Bel” jawab Aldo dengan tersenyum malu. Bella bangga akan anak anak itu. Mereka
yang kurang mampu saja mau belajar, sedangkan adiknya sendiri yang cukup mampu malas malasan
sekolah. Sekolah ini dipulangkan pukul 10. Jam menunjukan pukul 11.00. Saatnya Bella menjemput
Kayla dari sekolahnya, dan mengantarkan bekal untuk kedua orangtuanya yang bekerja. Bella pun
mengambil 2 rantang makanan yang telah disiapkannya tadi. Bella mengambil sepedanya dan segera
mengayuh sepedanya ke ladang ayah, lalu ke pasar ibu, setelah itu, barulah Bella menjemput adiknya.
“kak Bella, sekolahku tadi asik lo kak! Aku perkenalan ke depan, lalu aku diceritain kehidupan Kartini
dimasa lalu. Ceritanya mirip banget sama cerita kakak! Kak, aku meminjam buku ‘Kehidupan Kartini’ di
perpustakaan sekolah, aku janji, aku bakal rajin sekolah” kata Kayla bersemangat. Bella hanya
menangapi dengan senyuman manisnya. Jadi… Kartini adalah pahlawan yang memperjuangkan
pendidikan wanita. Dahulu memang Belanda melarang wanita bersekolah. Setelah melalui pendidikan
SD, Kartini dipingit, dia hanya terdiam di kamar sambil membaca buku pendidikan. Akhirnya dia
membuat sekolah kecil kecilan, untuk membantu Rakyat indonesia menjadi maju dan pandai.
Jasa Kartini masih dikenang hingga sekarang, novel novelnya pun masih ada. Dia juga sering dijadikan
nama jalan, dan… setiap hari kelahirannya, dirayakan sebagai hari Kartini.
Filosofi Sebatang Pensil
Hampir tiap pagi satpam depan gerbang sekolah itu selalu menegur bila aku datang lebih awal dari
guru lainnya.
Seperti biasa, setelah kuparkirkan motor, aku bergegas menuju mejaku di ruang guru. Menyiapkan
segala materi yang nantinya akan kuajarkan pada murid-muridku. Di tengah sunyi jajaran meja di ruang
ini, sesekali terdengar gerakan sapu lidi dari petugas kebersihan yang selalu berkeliling koridor.
Mataku tak hentinya menerawang tiap sudut ruangan. Semuanya tampak tak asing lagi, walau aku baru
seminggu jadi tenaga pengajar di sini. Jelas saja, tiga tahun aku berseragam putih abu-abu dan
menampung segala ilmu yang bermanfaat dari para guru terdahulu di sekolah ini. Mungkin bila melihat
jauh ke belakang, banyak orang ikut andil membuatku sampai sejauh ini. Dari yang benar-benar
mendorong sampai yang hanya kebetulan ngoceh.
Kala itu tahun ajaran baru segera dimulai. Seluruh sekolah membuka jalur pendaftaran bagi siswa yang
akan melanjut. Termasuk kedua sekolah kejuruan yang letaknya bersebelahan ini- yang salah satunya
kini tempatku mengajar.
Aku yang saat itu bimbang akan ke mana, mencoba mendaftar di keduanya. Namun, begitu hari dimana
nama-nama siswa yang diterima terpampang, aku tak melihat namaku terselip di antara ratusan nama
calon siswa lainnya. Di kedua sekolah itu.
Terpaksa aku harus mengikuti ujian tes yang jadwalnya benbenturan. Aku bukan seperti siswa berada
lainnya yang orangtuanya rela membayar berjuta-juta agar anaknya dapat masuk di sekolah yang
katanya favorit ini. Aku harus memilih. Hingga pagi pada hari H dimana ujian itu sebantar lagi dimulai,
aku masih belum yakin dengan pilihanku.

Sampai salah seorang dari orang tua murid – yang anaknya juga ikut ujian tes – menegurku.
“Milih jurusan apa, dek?”
“Otomotif, pak.” jawabku canggung
“Baguslah, bisa jadi mekanik kalo ada modal dah bisa buka sendiri. Anak bapak Listrik.” celetuknya.
“Memang milih sendiri apa disuruh orangtua?” tanya bapak tadi.
“Sendiri, pak.” mencoba menghemat kata.
“Itu pak El itu teman bapak itu.” seraya menyasarkan telunjuk kanannya ke arah orang berbadan besar
dengan asap yang mengaung dari ujung cerutunya yang berdiri membelakangi kami di pojok sana.
“Yang besar itu?” tanyaku.
“Iya, dulu dia alumni STM sininya itu. Pandai dia jadi guru, ngajar di sini”

Seolah mata letihku terbelalak mendengar pernyataan bapak tadi. Tak menutup kemungkinan aku
dapat meraih cita-cita masa keciku itu. Apalagi kebahagian terbesar dari seorang guru ialah dapat
mengajar di tempat ia dulu belajar.
Mendengar kata itu -ngajar- seolah menjawab kegelisahanku. Iya, aku juga bisa meraih cita-citaku dari
sini. Dengan langkah pasti, aku pun berjalan menuju ruangan tempat ujian tes.

Karena do’a dan tekad besarku, alhamdulillah aku lolos ujian tes itu dan mengawali takdirku sebagai
seorang pelajar tingkat menengah atas kejuruan.
Mungkin aku aku harus berterima kasih juga pada bapak itu karena membuatku yakin, atau kepada
seorang guru agama yang menceritakan filosofi sebatang pensil ketika aku berada di kelas sebelas
waktu itu.

“Sebatang pensil dapat menjadi tambang emas bagi mereka yang berfikir layaknya emas. Coretan
pensil itu akan menjadi sebuah karya bila digunakan oleh orang yang tepat, pada dasarnya semua
orang tepat. Tetapi hidup bukanlah bagaimana kita menemukan diri kita, namun bagaimana kita
menciptakan diri kita”
“Pensil memiliki penghapus di salah satu ujungnya, artinya setiap orang wajib salah pada salah satu
perbuatan. Namun bagaimana ia dapat menghapus lalu memperbaikinya, hingga sempurnalah karya
itu.”
“Pensil itu takkan bertahan lama bila terus digunakan. Pensil itu akan habis. Tetapi ia sudah punya
karya yang ia tinggalkan, yang dapat diingat bila ia berkesan.”
Dari ceritanya seolah mulai menciptakan alasanku memiliki sebuah cita-cita itu, ia punya karya yang
dapat ia wariskan.

Bel masuk kelas berbunyi. Para siswa yang sejak tadi bertebaran di lapangan satu demi satu masuk
ke dalam kelas.
Aku baru ingat, pagi ini aku punya janji untuk menceritakan sebuah kisah pada murid-muridku, kisah
yang dahulu juga pernah diceritakan oleh seorang guru pada kami di kelas dua belas. Pesan moral
yang kini juga akan kutanamkan pada anak didikku, ukhuwah.

Lekas ku beranjak dari ruang guru menuju kelas tempatku mengajar pagi ini. Menenteng beberapa
buku bahan materi, Langkahku perlahan melambat seolah menatap sekat demi sekat ruang kelas dari
koridor dimana dulu aku ada di dalamnya.
Meraba sisa jejak yang tergerus oleh waktu. Sekararang aku bukan lagi murid Introvert yang duduk di
meja paling belakang.
Kini, aku duduk di meja paling depan ruang kelas. Dengan gelar istimewa yang melekat padaku, guru.

Dahulu, seorang guru pernah menyampaikan keresahan hati pada murid-muridnya di depan kelas.
Karena melihat muridnya seolah tak acuh dengan apa yang dirinya ajarkan.
“Gimana ya.. Sepuluh dua puluh tahun lagi, saat ibu udah banyak lupa, siapalah yang masih ingat ilmu
yang ibu ajarkan sekarang?”
Pernyataan itu telah membuatku terpacu mewariskan semangatnya, semangat para guru, semangat
dalam mengasah para tunas penerus bangsa.
Dilarang Mencontek
Mentari bersinar kekuningan. Kicau burung perlahan menghilang bersama mengeringnya embun.
Suasana di dalam ruang kelas terasa tenang dan sunyi. Murid-murid asyik menatap lembaran kertas
soal di tiap meja mereka. Ya, mereka siap untuk berperang. Tetapi bukan perang seperti zaman
sejarah. Melainkan perang fikiran dan konsentrasi demi mendapatkan nilai terbaik sebagai seorang
siswa.

Sesekali bunyi pintu berdecit mencoba untuk memecah keheningan. Tetapi mereka asyik tenggelam
dalam fikiran mereka masing-masing. Berulang kali Mita menatap jam yang menempel pada dinding
dan guru pengawas secara bergantian. Mencari tahu berapa banyak waktu yang tersisa.

“Jangan mencontek ataupun bekerja sama. jika diantara kalian diketahui melakukan kecurangan, maka
nilai kalian akan ibu anggap nol. kalian mengerti?” ucap sang guru memperingatkan. Semua terdiam.
Tanpa ada yang berani menyahut. Mereka memilih sibuk mengerjakan soal ujian mereka.

Diam-diam Mita memergoki Dera mengambil kertas contekan dari sakunya.


“Jangan mencontek..” bisik Mita menasehati. Tetapi Dera menatap Mita sinis. Tak menghiraukan kata-
katanya.

Ujian berikutnya Dera masih melakukan hal yang sama. lagi-lagi dirinya mencontek.
“Dera, kita dilarang mencontek. jika guru tahu kau mencontek, nilaimu nanti akan nol” nasihat Mita lagi.
Sayang, Dera begitu keras kepala. Bukannya menurut, Dera malah mengajak Mita berdebat.
“Jika nilaiku kecil, memang kau mau bertanggung jawab?” Ketus Dera.
“Tapi kan kita seharusnya belajar sebelum ujian..” ujar Dera.
“Diam saja. jika nanti aku tertangkap, berarti itu adalah salahmu!”
Mita akhirnya menyerah dan menutup mulutnya rapat. Dia mencoba untuk tak lagi peduli pada Dera.

“Dera!” panggil ibu guru pengawas. Dera mendongak terkejut dengan panggilan sang guru. apa dia
ketahuan? pikirnya. “Ibu perhatikan, sedari tadi kau dan Mita terus saja berbicara. kalian bekerja
sama?”
“Ti.. tidak bu..” elaknya.
Ibu guru menghampiri mereka. Dera yang saat itu masih menggengam kertas com temannya,
ketakutan. Kertas itu tanpa sengaja terjatuh dan ibu guru memungutnya.

“kalian mencontek?” seru sang guru. Mita dan Dera saling pandang.
“Tidak bu. Mita yang mencontek” tuduh Dera akhirnya. Alangkah jahatnya gadis ini. Hanya karena ingin
menutupi perbuatannya, Dera berani menfitnah Mita.
“Apa benar kau mencontek Mita?”
“Tidak bu..” jawab Mita jujur. Mita menatap Dera sedih. Dera mencoba membuatnya bersalah.
“Bohong bu.. Aku tadi melihatnya” ucap Dera tanpa ampun.

“Dera yang mencontek bu bukan mita.. Aku tadi melihatnya” seru sebuah suara. Tampak wawan
mencoba membelanya.
“Benar, kau yang mencontek Dera?”
“Ti.. tidak bu..”
“Ayo ikut ibu ke kantor”

Dera keluar kelas dengan wajah tertunduk malu. seharusnya dia menuruti nasihat Mita untuk tidak
mencontek. Akhirnya Dera mendapatkan balasan akibat perbuatannya sendiri.
4 Sahabat Sejati
Kini aku duduk di bangku kelas 3 SMP, ku jalani hari di sekolah bersama dengan ketiga sahabatku ana,
andri dan aris, kita berempat bersahabat sejak kita masih kecil.
Di suatu ketika kami berempat menulis surat perjanjian persahabatan di sesobek kertas dan dimasukan
ke dalam botol kemudian dikubur di bawah pohon asem yang nantinya surat itu akan kami buka pada
saat kami menerima hasil ujian kelulusan.

Hari yang kami tunggu-tunggu akhirnya sampai juga, setelah kami menerima hasil uljian kali ini dan
hasilnya kami berempat lulus kami pun langsung berlari ke bawah pohon asem yang dulu pernah kami
datangi, kami berempat membuka isi tulisan dari surat yang kami buat yang berisi
“kami berjanji akan selalu bersama untuk selama lamanya”

Keesokan harinya aris berecana untuk merayakan kelulusan kami dan malamnya kami pun pergi
bersama-sama ke suatu tempat, dan disitulah saat-saat yang gak bisa aku lupakan karena aris
berencana buat nembak aku dan akhirnya kita berpacaran, dan andri pun juga berpacaran sama ana,
malam itu sungguh malam yang paling istimewa.

Pada saat perjalanan pulang perasaan ku sungguh tidak enak


“perasaan ku kenapa gak enak banget ya?” ucap ku khawati
“udah lah ndi, santai aja kok kita gak bakalan kenapa-napa” ucap andri dengan santai
Tak lama kemudian setelah mereka berbicara ternyata hal yang dikhawatirkan nindi terjadi
“aris awwasss…!!! di depan ada jurang!!!” teriak nindi
“Aaaaaa…!!!”
Brukkk, mobil kami masuk jurang, aku sungguh tak kuasa menahan air mata yang terus-menerus
mengalir, dan akhirnya pun aku tak sadarkan diri.
Perlahan-lahan ku buka mata sedikit demi sedikit aku melihat ibu berada di sampingku
“nindi?, kamu sudah sadar nak?” tanya ibu cemas
“ibu, aku dimana? ana, andri dan aris di mana mereka bu?”
Kamu di rumah sakit nak, kamu yang sabar ya nak ana, andri dan aris tidak tertolong saat di lokasi
kecelakaan” jawab ibu sambil menitihkan air mata

Aku hanya terdiam mendengar ucapan ibu, tiba-tiba air mata ku menetes, tangisku tiada hentinya
mendengar semua ucapan itu
“aris, kenapa kamu tinggalin aku, padahal aku masih sayang banget sama kamu aku cinta sama kamu
tapi apa? tapi kamu ninggalin aku begitu cepat, kalian semua pergi ninggalin aku, ya allah, kenapa
engkau ambil mereka semua dari ku ya allah aku sungguh menyayangi mereka…” ucapku dalam hati
2 hari sudah berlalu, aku berkunjung ke makam mereka di situ aku berharap kami bisa seperti dulu
dimana kita selalu bersama pahit manisnya persahabatan kita lalui bersama, aku berjanji akan selalu
mengingat kalian di dalam hati ini.
Aku Gadis Keripik Singkong
“Febi, ini keripiknya sudah siap.” Terdengar suara Ibu memanggilku. Aku pun datang menghampirinya
di dapur untuk mengambil keripik yang sudah tersusun rapi di keranjang.
“Iya, bu. Ya sudah, aku berangkat dulu nanti keburu siang, Bu.” Kataku sambil mencium tangan Ibu.
“Iya, hati-hati Feb! Semoga keripiknya laku, ya!” Ucap Ibu.

Aku pun berjalan menuju ke luar rumah. Beginilah kegiatanku sehari-hari, berjualan keripik singkong
buatan Ibuku di terminal. Sejak duduk di bangku kelas empat Sekolah Dasar aku memutuskan berhenti
sekolah karena keterbatasan ekonomi keluargaku. Ayahku hanya seorang pekerja serabutan yang
penghasilannya tidak menentu, sedangkan Ibuku hanya pembuat keripik singkong yang setiap harinya
aku jajakkan di terminal.

Oh, iya! Aku lupa memperkenalkan diriku. Febi Ayu Lestari itulah namaku, aku biasa dipanggil Febi.
Aku mempunyai dua orang Adik yang saat ini masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

Di usiaku yang menginjak 14 tahun ini, aku sudah harus ikut mencari nafkah untuk makan sehari-hari
dan memenuhi kebutuhan sekolah kedua Adikku.

Aku terkadang malu, ketika melihat anak seusiaku yang seharusnya sekolah dan menikmati masa
remaja dengan penuh keceriaan, tetapi aku malah berpanas-panasan di bawah terik matahari yang
membuat kulitku semakin lama semakin gosong. Tapi, hasil yang aku dapatkan tidak sebanding dengan
jerih payah yang aku lakukan. Setiap harinya, uang yang aku dapatkan dari hasil berjualan keripik
hanya cukup untuk membeli beras dan tempe. Belum lagi, uang saku sekolah untuk Adikku.

Setelah salat magrib, kami pun berkumpul untuk makan malam bersama. Alhamdulillah, hari ini kita
masih bisa makan walaupun hanya dengan nasi dan tempe goreng. Walaupun makanannya sangat
sederhana, tapi jika disantap bersama-sama. Seakan-akan kita ini sedang makan di Restoran Italia.

Saat-saat itulah yang membuat rasa lelahku setelah berjualan seharian menjadi hilang. Tawa Adikku
yang membuat aku semakin bersemangat untuk berjualan esok hari. Tuhan memang adil. Dia selalu
tahu apa yang diinginkan setiap hamba-Nya.
Malunya Tuh Disini ...

Angin sepoi-sepoi melintas, menerpa jilbab biru milik seorang gadis yang berada di seberang jalan.
Gadis tersebut mengenakan gamis yang berwarna senada dengan jilbabnya. Tas selempang putih
menyantol anggun di pundak kirinya, tumpukkan buku tersusun rapi di lengan kanannya.

Kepalanya menoleh ke kanan, matanya sibuk memandangi setiap kendaraan yang lewat dengan
sesekali melirik jam merah jambu yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya, mulutnya
berkomat-kamit melontarkan kata-kata yang tak ku mengerti maknanya.

Sengatan panas matahari membakar sebagian kulitnya yang kuning langsat, ribuan butir polusi
menyentuh kulitnya yang lembut, dan jutaan bising kendaraan mengetuk gendang telinganya yang
tertutup jilbab.

Sepertinya gadis itu ingin segera menyeberang, namun kendaraan yang padat serta jembatan
penyeberangan yang berada cukup jauh membuatnya terjebak di bahu kanan jalan. Aku berdiri dari
tempat yang sedari tadi ku duduki kemudian berjalan berniat menghampiri gadis di seberang jalan
sana. Ketika kaki kanan ku langkahkan, belum sempat telapak kaki ini menyentuh aspal jalan tiba-tiba
ada sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi hingga tubuhku terhempas, lalu berputar-putar
seperti komedi putar.

Aku kembali melangkahkan kaki untuk memulai berjalan, ku rentangkan tangan kananku, aku jalan
dengan hati-hati sambil menoleh ke arah kanan.

Setelah berjuang mati-matian untuk melewati perjalanan yang panjang ini, akhirnya aku tiba di bahu
kanan jalan, ku lihat gadis tersebut masih dalam posisi di tempat yang sama lalu ku hampiri dia. Bibirku
ingin memanggilnya, tapi dia malah pergi menyeberangi jalan, aku menganga. Bahkan dia tidak
menyadari kehadiranku di sampingnya, dia pergi begitu saja meninggalkanku sendirian di sini.

Di tempat ini. Aku melihat sekelilingku, beberapa orang ada yang tertawa bahagia dan ada pula yang
kasihan melihat diriku dicampakkan seperti ini. Sengatan panas matahari membakar kulitku yang putih
merona, ribuan polusi hinggap pada pori-pori kulitku, suara kebisingan memecahkan gendang
telingaku.
Pak Guru Oh Pak Guru
Di sebuah kampung nelayan, seorang Bapak Guru Muda yang baru datang dari kota sangat
bersemangat menjadikan murid-muridnya terpelajar dan berdisiplin tinggi. Pada awal tatap muka, Sang
Guru Muda mulai mengumumkan beberapa peraturan kedisiplinan siswa.

“Anak-anak bapak yang baik, bapak senang sekali bisa mengajar kalian di sini. Harapan bapak, kita
bisa sama-sama melaksanakan pembelajaran dengan baik ke depan. Oleh karena itu, mulai sekarang
jangan ada lagi yang terlambat. Bapak juga tidak mau melihat kalian berangkat sekolah dengan tidak
rapi, dan kalian harus merapikan rambut juga kuku-kuku kalian. Tidak boleh ada rambut yang panjang
apalagi kuku. Bapak akan periksa satu persatu besok pagi”.

Keesokan harinya, Guru itu pun datang berpagi-pagi. Ia ingin melihat keseriusan muridnya mematuhi
perintahnya. Anak-anak pun satu persatu datang tepat waktu, Pak Guru merasa gembira, “Memang
hebat anak-anak saya”, ujarnya di dalam hati.

Setibanya ia memasuki ruangan kelas, mata Pak Guru Muda itu menatap rambut-rambut siswa. Lagi-
lagi ia senang, karena para murid mematuhi perintahnya. Ia membayangkan betapa nikmatnya
mengajari anak-anak yang mau mendengarkan kata-katanya, “Anak-anak hebat” ujarnya.

Kemudian tatapan pak Guru beralih ke arah kuku-kuku siswa. Ia pun terkejut karena mendapati 75%
dari siswa tidak memotong kuku. Wajahnya mulai mengesut, tampak rona kekecewaan terpancar dari
matanya. “Murid-muridku, kalian dengarkan apa yang bapak katakan kemarin kan?”
“Iya, Pak” jawab anak-anak serentak.
“Bapak bilang apa?”
“Bapak bilang kami harus belajar disiplin, datang tepat waktu. Berpakaian rapi dan memotong kuku dan
rambut” kata murid-murid.
“Bapak senang kalian telah mendengarkan bapak, kalian sudah rapi, datang tepat waktu, juga sudah
memotong rambut. Tapi kenapa tidak juga kalian memotong kuku? Kenapa kalian mematuhinya
setengah hati?.” Salah satu siswa yang duduk paling depan mengacungkan jari telunjuknya dan berkata
“Kalau saya boleh mewakili teman-teman, Pak Guru. Kami semua ingin mematuhi Pak Guru, datang
tepat waktu, memotong rambut dan kuku. Namun yang terakhir kami tidak bisa Pak Guru. Kami adalah
anak-anak nelayan, sepulang sekolah kami biasa membantu orangtua mengupas kulit kerang. Kalaulah
kami memotong kuku kami, maka kami tidak bisa lagi membantu orangtua kami.” Guru Muda itu kaget,
perkataan yang baru saja ia dengar menyadarkannya tentang hal baru.

Menjalani profesi guru bukanlah hal yang mudah. Guru bukanlah seorang pemahat patung yang
dengan mudah membentuk kayu menjadi mahakarya indah. Guru juga bukan file komputer yang terus
meng-copy paste segala memori untuk ditransfer ke murid-murid. Dalam menjalankan profesinya, Guru
tidak sedang berhadapan dengan benda kosong yang sesuka hati mengisinya. Tapi yang ia hadapi
adalah anak manusia yang punya emosi, perasaan dan memiliki pengalaman dunia yang beragam.
Oleh karena itu, selain benar-benar menguasai pelajaran dan piawai dalam berkomunikasi. Guru mesti
memiliki kepekaan sosial atas apa yang dihadapi murid. Di lapangan, terkadang tak sesuai dengan
teori yang dipelajari saat “ngampus”. Dalam kondisi tersebut, Guru harus berani meninggalkan teori
yang lazim dan bertindak dengan cara yang baru.

Di sinilah butuh kearifan seorang guru, kemampuan yang bisa menimbang antara menjalankan prinsip
umum atau mengalah dengan melihat kondisi yang berbeda. Seorang guru semestinya paham, bahwa
di dunia ini banyak jalan untuk menggapai tujuan. Banyak pengertian yang berubah, dalam tempat dan
situasi yang berbeda. Memaksakan para siswa untuk berfikir dengan satu pola hanya akan
membelenggu kreativitas mereka dalam menyerap ilmu pengetahuan. Sesuatu yang justru
bertentangan dengan prinsip pengetahuan. Semoga pendidikan Indonesia hari demi hari semakin
membaik.
Tak Sekedar Guru Matematika
Miss. Nur namanya. Salah satu guru yang memiliki banyak pengaruh terhadapku. Mungkin teman-
teman hanya mengenalnya sebagai guru mapel, tetapi tidak bagiku, aku mendapatkan banyak
pelajaran darinya. “selalu menghargai guru yang mengajar ya, keep istiqomah”. Kata-kata itu sering
keluar dari bibir manisnya, dan tak lelah ia ucapkan padaku. Aku pun tersenyum mengiyakan.

Suatu hari saat ia mengajar di kelas, aku mendengar sendiri temanku berbicara tidak enak padanya.
Di hatiku, timbul perasaan tidak terima guruku diperlakukan seperti itu. Tetapi ia hanya membalas
dengan senyum di wajahnya. Seusai pelajaran, aku menemuinya dan bertanya, “miss, kok tadi miss
malah senyum aja nggak negur waktu dia ngomong gitu ke miss??”.
“hehehe… Suatu saat dia akan sadar sendiri kalau digituin itu nggak enak”. Jawabnya sambil
tersenyum lagi, aku pun terdiam sejenak mendengar kata-katanya. Dari situ aku mendapat pelajaran
untuk “Sabar”.

Tak hanya itu, saat mengajar pun terkadang teman-teman sibuk berbicara sendiri tanpa
memperhatikannya, bahkan terkadang membahas pembicaraan yang tidak penting. Sering kali ia
mengingatkan dengan halus tetapi yang ia dapatkan lagi-lagi jawaban yang menyakitkan. “miss,
rasanya nggak dihargai itu gimana sih?” tanyaku penasaran setelah melihat kondisi kelas saat ia
mengajar, karena aku juga belum pernah merasakan menjadi guru. “Mmm.. Gimana ya, rasanya itu
nggak enak.. sakitt”, jawabnya begitu. “Maaf ya miss kalo aku sering nggak menghargai miss”, kataku
dengan menyesal. “iyaa, nggak kok” kata miss. nur sambil tersenyum. Aku pun mengerti betapa
“pentingnya menghargai”.

Terkadang saat bel istirahat berdering, yang menandakan waktu pelajaran telah selesai, aku pun duduk
dan mengobrol bersamanya. Berbagi cerita juga pengalaman, dan banyak nasehat-nasehat, serta
motivasi keluar dari mulutnya. Aku merasa nyaman saja saat dekat dengannya, karena ia adalah guru
yang enak diajak ngobrol juga bisa menjadi pendengar yang baik. Sesekali aku juga bercerita dan
meminta saran padanya, ia pun memberikan saran dan menjaga kepercayaanku. Dari kejadian itu aku
akan selalu berusaha untuk selalu menjaga “kepercayaan”.

Di akhir tahun di kelas delapan, aku mendapatkan pelajaran yang sangat luar biasa. Saat itu, kelasku
mengadakan acara ‘Lazkam Mengajar’ yang diikuti oleh seluruh siswa kelas 8 yang dibagi menjadi 3
kelompok untuk mengajar 3 Tk yang berbeda. Hanya dengan waktu 2 jam saja merasakan menjadi
‘guru’ untuk anak Tk saja lelahnya bukan main. Aku langsung berpikir, ‘wow… Sungguh beruntung
memiliki guru-guru yang luar biasa’, mereka tak lelah mengajari dan membimbing kami dari pagi hingga
siang hari bahkan sore hari. “Betapa berarti jasa guru bagi murid-murid di seluruh dunia, bagai
penerang dikala gelap, penghibur dikala penat, dan penyelamat dikala sulit”. “terima kasih untuk segala
pelajaran yang pernah engkau ajarkan padaku”, itulah kata-kata yang mampu kuucapkan setelah
mendapat pelajaran darinya.

Anda mungkin juga menyukai