Anda di halaman 1dari 105

Prolog

Pertemuan Pertama

Seorang perempuan melangkah turun dari sebuah taksi dengan dress hitam
sepanjang lututnya. Wajah sombong nan arogant tidak terelakan lagi dari perempuan
itu. Ketika ia berjalan masuk ke dalam gedung perusahaan, hampir setiap orang yang
berada di lobby itu langsung menatapnya lapar. Seperti disetiap bagian tubuh
perempuan itu ada hal yang begitu menarik perhatian.

Suara heels yang mengetuk lantai granite itu berulang kali semakin menggema.
Tepat dihadapan seorang receptionist tubuhnya terhenti. Mengulas senyum sekilas
sebelum mengeluarkan suaranya.

"Interview dengan bapak Anton," suaranya yang cukup berat untuk ukuran seorang
perempuan membuat receptionist tersebut menahan gelak tawanya. Ia mengusap
hidungnya sekilas, menyamarkan tawa gelinya itu.
"Interview?" ulangnya seperti sebuah pertanyaan. "Atas nama siapa ya mbak?"

"Jane,"
"Mary Jane," ucapnya lebih jelas.

Receptionist itu mengangguk, kemudian mencoba menghubungi bagian HRD untuk


menginformasikan ada perempuan yang ingin bertemu dengan Bapak Anton disini.
Jane. Begitulah orang sering memanggilnya. Dia perempuan dewasa yang tengah
mencoba memperuntungkan nasibnya kembali dalam melamar pekerjaan. Sudah hampir 1
tahun lamanya, dia hanya bisa keluar masuk perusahaan besar. Bukan sebagai pekerja,
melainkan menjadi seorang pelamar pekerjaan.

Sedih memang. Tapi itulah kejamnya hidup di Ibukota. Siapa yang tidak bisa
bertahan, maka akan tertelan habis oleh pergerakan jaman. Terkadang otak pintar pun
tidak menjamin karir yang menjadi cemerlang. Namun sedikit banyak "jilatan" sana
sini juga turut berpengaruh didalamnya.

Bukan hanya "jilatan" dalam konotasi negatif yang sering kali digunakan oleh
kaum hawa untuk menaklukan sang boss agar bisa dipromosikan. Tetapi "jilatan"
lainnya juga sebisa mungkin dilakukan bila tidak mau tertendang dari sebuah
perusahaan.

Semua itu bukanlah hal tabu lagi. Dalam dunia pekerjaan, menyerang dari depan
terlalu mainstream. Karena itu para pekerja dan pebisnis lebih suka menyerang
dengan cara tenang namun mematikan.

Begitulah yang kurang lebih Jane rasakan setahun yang lalu sebelum dirinya
benar-benar tidak memiliki pekerjaan tetap sekarang. Dia mengalami pemecatan tidak
hormat oleh istri boss tempatnya bekerja hanya karena gosip yang menyebar tidak
wajar. Gosip itu menginfokan jika dirinya dan si boss ada affair, padahal Jane
bukan perempuan murahan yang dengan mudahnya melemparkan tubuh indahnya ke semua
pria.
Dia juga punya standar tinggi untuk pria-pria lapar itu dalam mendapatkannya.
Setidaknya pria itu harus sama sempurnanya dengan dia.
Pernah ada yang bilang, jika dirimu merupakan perempuan dominan maka carilah
lelaki yang lebih dominan darimu. Atau bila dirimu tidak menemukannya, maka coba
untuk mencari lelaki yang bisa kau kuasai.

Seperti itulah yang ada di benak Jane. Dia tidak suka pria-pria "setengah jadi"
yang sering kali dia temui sekarang ini. Banyak bicara dan mengumbar ke sana ke
sini jelas sekali bukan tipe pria idamannya.
Cukup diam dan tunjukan siapa dirimu sesungguhnya. Lalu buatlah Jane bertekuk
lutut hingga tidak mampu untuk berdiri kembali sebelum kau yang mengembalikannya.

"Pak Anton sudah menunggu di ruangannya. Dia ada di lantai 3, nanti mbak bisa
tanya dengan orang disana sebelah mana ruangan Pak Anton," jelasnya.

Jane mengangguk cukup paham. Kemudian dia berbalik dengan menggerakan rambut
hitam panjangnya.
Bunyi hak sepatu itu kembali beradu dengan dinginnya lantai sembari diiringi
oleh cibiran khas perempuan-perempuan iri yang melihat keindahan tubuh Jane.
"Paling semuanya palsu. Mana ada sekarang perempuan cantik tanpa oplas?"
Jane tersenyum samar. Dia masih mampu mendengar cibiran receptionist itu.
Baginya semua itu adalah lagu indah yang mengiringi hidupnya. Jane tidak akan
mencibir balik, atau memaki perempuan yang melakukan semua itu padanya.

Dia hanya tersenyum, menunduk lalu menggelengkan kepalanya. Kadang dalam hati
Jane bertanya-tanya mengapa bila perempuan tersebut iri padanya harus mencibir
dirinya seperti itu. Harusnya lakukan lah yang terbaik agar bisa bersaing dengan
dirinya.
Seperti yang dulu Jane lakukan.
Dia dulu adalah anak perempuan yang buruk. Rupanya, kelakuannya, pikirannya.
Tapi ketika masa kelam itu hadir bersama perkembangan hidupnya, Jane ingin
membuktikan bahwa dirinya mampu menjadi sosok yang sempurna.
Bukan tanpa tujuan dia berlaku seperti itu. Karena dibalik itu semua, dia ingin
mendapatkan pasangan yang tidak kalah sempurna.

***
"Mary Jane," sapa seorang lelaki dihadapannya. Dia mengulurkan tangan kepada
Jane kemudian disambut wanita itu dingin. "Saya Anton"
"Senang melihatmu datang hari ini," ucap Anton berbasa-basi.
Diliriknya sekilas wajah Jane yang tidak tersenyum sedikitpun. Raut wajah yang
Jane tampilkan memang benar-benar datar. Apalagi tatapan menilai Jane pada Anton
membuat lelaki itu menelan air ludahnya berkali-kali.

"Silahkan duduk dulu," ucapnya kikuk.


Anton melepaskan satu kancing Jasnya kemudian mendudukan tubuhnya sembari manik
matanya tak lepas dari wajah Jane.
Selama hampir 5 tahun dia bekerja sebagai kepala HRD, baru kali ini Anton meng-
interview pegawai yang tidak melakukan senyum sedikitpun. Bahkan wajah gugup dan
keringat dingin yang biasanya sering terjadi pada pegawai yang ingin di-interview
saja tidak kelihatan.

Jane memang sangat ahli menutupi segala ekspresinya. Wajah cantik itu hanya
menampilkan senyum datar tanpa bisa ditebak apa yang tengah dia rasakan.
"Bagaimana? Cukup jauh kemari?"
"Tidak"

"Oh, baguslah. Kau tahukan kerjaanmu apa disini bila nanti diterima bekerja?"
tanya Anton pada tujuan.

Dia sudah malas menghadapi perempuan aneh dihadapannya. Datar. Tanpa ekspresi.
Membuat Anton enggan berlama-lama.

"Tahu"
"Kau hanya melakukan pekerjaan asisten GM kita yang kebetulan baru kembali dari
Jerman"
"Iya, aku tahu" balasnya masih sangat singkat.

Karena tidak tahu apa yang harus dibicarakan kembali, Anton memintanya untuk
menunggu sebentar. Dia ingin melakukan konfirmasi pada atasannya tersebut atas
kehadiran Jane hari ini.

Lelaki itu nampak sibuk berbicara dengan lawan bicaranya melalui telepon.
Kadang kedua mata lelaki itu meneliti dirinya dari atas sampai bawah, kemudian
mendesah lelah.
Percakapan itu cukup alot sampai tidak terasa 30 menit berlalu. Jane yang mulai
bosan, mengganti posisi duduknya. Menyamping namun telinganya masih terus mengamati
percakapan itu. Walau setiap kata yang Anton ucapkan tidak Jane mengerti, tapi dari
gestur dan cara dia menyampaikan Jane tahu apa artinya semua itu.

Jelas saja Jane tidak mengerti, bahasa yang Anton pakai adalah bahasa Jerman
sampai telinga Jane ingin pecah mendengarnya.
"Baiklah, Mary Jane," ucap Anton pada akhirnya. Disela-sela katanya tadi, Jane
bisa merasakan kekecewaan. Entah karena apa, Jane masih belum menemukan jawabannya.

Jika karena dirinya tidak cukup mewakili seluruh klasifikasi untuk menjadi
seorang asisten GM, maka biarkanlah ia pulang dan memulai semuanya dari awal besok.
Pastinya dengan gedung-gedung baru, orang baru dan pekerjaan baru.

"Kau diterima"
***
Sepatu stiletto merah marun itu kembali melangkah dengan yakin mengiri langkah
kaki sepatu hitam lelaki disampingnya. Sudut bibir Jane sedikit menampilkan senyum.
Hanya sedikit namun efeknya begitu kuat sampai ada seseorang pegawai hampir
menabrak pintu kaca karena memperhatikan langkah Jane.

Tepat di depan pintu kaca yang cukup besar, Anton berhenti. Dia melirik Jane di
sampingnya yang sedang mengerutkan kedua alis. "Ini ruangan General Manager kita.
Nanti posisimu bekerja di sana," tunjuknya pada meja dan kursi yang memang sudah
dipersiapkan dengan baik.

Jane mengangguk setuju. Tidak terlalu buruk, begitu batinnya. Semua peralatan
yang dibutuhkan untuk bekerja sudah tertata rapi disana. Tinggal sosok yang mengisi
di sanalah yang belum ada.
Iya, dia yang akan disana. Menempati kursi yang terlihat empuk dengan segala
peralatan canggih disekitarnya.

Setelah Anton mengetuk pintu, dia bergerak masuk ke dalam sana diikuti oleh
langkah kaki Jane. Ketika tubuhnya berhasil masuk ke dalam hal yang pertama Jane
tangkap adalah ruangannya yang begitu ... simple. Dia sudah beberapa kali melihat
ruangan boss di perusahaan-perusahaan besar tidak se-simple ini.

Di dalam sana hanya ada sebuah meja besar, kursi, dan seperangkat alat perang
untuk bekerja. Tak jauh dari sana, ada meja kecil dengan beberapa sofa yang
mengelilinginya. Mungkin biasa digunakan untuk menjamu tamu penting.

Tidak ada rak-rak buku yang sering menghiasai ruangan seorang boss. Tidak ada
lukisan-lukisan besar disana. Hanya membuatnya manis adalah sebuah bingkai foto
kecil yang bisa Jane lihat berdiri tegak diatas meja tersebut.

"Kau masih membuatnya berdiri," tegur sosok yang terlihat fokus menghadap layar
monitor.
Buru-buru Anton meminta Jane duduk disampingnya. Dia berdehem sejenak, sebelum
menjelaskan kembali seperti apa perempuan ini.

"Tidak perlu dijelaskan kembali," ucapnya lembut.

Manik mata cokelat yang terbingkai oleh sebuah kaca mata berframe hitam itu
melirik ke arah Jane. Melemparkan senyum hangat. Batang hidungnya yang tinggi
begitu menahan kuat bingkai kacamata itu.

"Kita bisa saling mengenal secara perlahan," sambungnya kembali.

Anton yang duduk di samping Jane memutar bola matanya malas. Dia sudah bisa
menduga, memang seperti inilah sosok boss sekaligus sahabat kecilnya sejak dulu.
Auranya terlalu bersahabat, sampai terkadang membuatnya hancur karena aura baik
itu.

"Perkenalkan siapa namamu?" katanya begitu sopan.


"Jane,"
"Mary Jane,"

Awalnya pria itu ingin tertawa mendengar suara yang cukup berat untuk seorang
perempuan. Tetapi karena menjaga kesopanannya, dia hanya mendehem sejenak sebelum
kembali menatap sosok Jane di depannya.

"Cukup sesuai," ucapnya tenang.

Dia kembali mengulum senyum kala menatap wajah kesal Anton. Susah payah dirinya
menahan tawa karena sikap kekanak-kanakan dari kepala HRDnya itu. Andai Anton bukan
sahabat baiknya dan tidak bekerja dengannya, maka bisa dipastikan lelaki itu
akan kesusahan bertahan dengan atasannya.

"Kamu bisa memulai bekerja mulai hari ini," tegasnya penuh wibawa. Tubuhnya
mulai bangkit. Diikuti oleh Anton dan Jane yang ada di depannya.

Dengan sebelah tangannya, dia menarik lembut jas yang nampak kusut karena
posisi duduknya tadi. Kemudian setelah cukup akan penampilannya, lelaki itu
mengulurkan tangan kanannya kearah Jane.

Awalnya Jane ragu menanggapi tangan tersebut karena manik matanya dengan kurang
ajar sibuk menelusuk ke dalam manik mata cokelat lelaki itu dengan tatapan tajam.

"Senang bertemu denganmu, Mary Jane. Semoga ini adalah awal dari semuanya,"
ucapnya dengan senyuman.
Ketika jemari tangan Jane menanggapi uluran tangan tersebut, seketika wajahnya
menegang. Dia tahu ada yang salah dengan sentuhan ini. Tanpa tahu diri, matanya
membulat besar melihat keanehan yang dia rasakan tadi.
"Ya Tuhan. Dia...." teriak batin Jane begitu tidak percaya.Bab 1
Lelaki Setengah Matang

Beberapa kertas yang nampak berserakan mulai dia bereskan. Ini adalah kali
pertamanya bekerja sejak tadi pagi boss besar itu langsung menerimanya, dan
memberikan segudang pekerjaan yang harus mulai Jane kerjakan.

Karena sebelumnya dia sudah terbiasa menghadapi boss lamanya yang termasuk
kategori nomor dua, yaitu menyebalkan. Maka Jane tidak perlu beradaptasi kembali.

Tubuh ramping Jane mulai duduk di kursinya, memperhatikan setumpukkan berkas


yang begitu menggunung dihadapannya. Inilah pekerjaan yang harus Jane segera
selesaikan. Mulai dari mengarsipkan beberapa kontrak kerjasama dengan beberapa
perusahaan lain, hingga menganalisa apakah tender yang akan dilakukan kedepannya
berdampak baik bagi perusahaan atau tidak.

Perusahaan tempat Jane bekerja adalah sebuah perusahan kontraktor terbesar di


Indonesia. Bahkan beberapa perusahaan asing yang mencoba melebarkan sayap
perusahaannya turut bekerja sama dengan perusahaan (J)Company. Dimana Jagad adalah
ujung tombak dari perusahaannya ini.

Bicara mengenai lelaki itu, membuat aktifitas Jane terhenti sejenak. Dia
memandang kedua tangannya, kemudian membaliknya dan terus mencermati dengan
seksama. Andaikan Jane berada diposisi lelaki itu, maka bukan tidak mungkin dirinya
akan malu. Malu kepada dunia bila memiliki fisik yang tidak sempurna. Tapi mengapa
lelaki itu begitu santai. Bahkan terus saja mengulum senyum indahnya.
Apa ketidaksempurnaan seseorang tidak berdampak buruk pada kehidupannya?

Jika boleh Jane kilas balik tentang kisah keluarganya, karena ketidaksempurnaan
yang dimiliki oleh Ibunya membuat keduanya harus rela ditinggalkan oleh Ayah Jane.

Ribuan kali Jane coba memahami jalan pikiran Ayahnya, namun sampai dirinya
sudah seusia ini belum juga kata mengerti dia dapatkan. Bahkan masih banyak tanda
tanya yang ingin dia utarakan kepada Ayahnya yang begitu kejam pergi.
"Jane," suara intercom terdengar hingga memecah
lamunan Jane. Dia melirik sekilas pada benda tersebut, sebelum mulai mendengarkan
apa yang boss-nya inginkan.
"Bisa kamu bawakan lembar kontrak kerjasama dengan PT. Gemilang?" ucapnya dari
sebrang sana.

Jane menutup sebentar kedua matanya, mencoba mengubur kembali kisah pahit itu.
Agar kedua langkah kakinya tetap kuat menampaki kejamnya hidup di dunia.
Ketika kedua tangan Jane sibuk mencari dimana letak kontrak kerja sama
tersebut, suara intercom tersebut kembali terdengar. Namun bukan sebuah perintah
yang Jane dapatkan melainkan sebuah kata "terima kasih".
Gerakan tangan Jane terhenti sejenak. Jarang sekali Jane mendengarkan perlakuan
manis atasan kepada bawahan dalam meminta sesuatu untuk keperluan kantor. Biasanya
seorang boss akan menyuruh bahkan membentak anak buahnya. Hingga terkadang sering
kali ada jarak antara atasan dengan bawahan disetiap kantor.
Padahal seharusnya baik boss maupun bawahan
sama. Mereka sama-sama bertujuan satu. Ingin perusahaannya maju agar tercipta
kemakmuran untuk seluruh pekerjanya. Tapi masih banyak orang yang menyalahgunakan
kekuasaan untuk menindas orang lain.
Keji memang. Tapi itulah hidup di dunia.

"Pagi pak, ini berkas yang diminta," ucap Jane kala ketukan darinya
diperbolehkan masuk oleh Jagad.

Posisi lelaki itu masih sama. Menekuni setiap inchi layar komputernya tanpa
terganggu sedikitpun oleh kehadiran Jane.

Dapat Jane lihat kedua alis hitam lelaki itu beradu, dengan manik mata menatap
tajam dibalik bingkai kacamatanya. Sesekali Jane melihat kedua bola mata lelaki itu
berputar seperti memikirkan sesuatu sebelum kembali menatap layar monitornya.

"Pak, saya letakan di sini," ucap Jane pada akhirnya.

"Letakan saja," jawab Jagad tanpa perlu repot-repot memandang Jane.


Jane sedikit mendengus. Pemikiran baik tentang sosok boss-nya tadi hilang
sudah. Jane kembali memasang wajah datar. Tanpa perlu terlalu jauh memikirkan sosok
Jagad, Jane tahu lelaki seperti apa dia. Namun ketika langkah kaki Jane terhenti
sebelum menutup kembali pintu ruangan tersebut, ucapan terima kasih kembali dia
dengar dari suara serak Jagad.

Jagad sekilas memberikan senyum kepada Jane sebelum menggeluti pekerjaannya


kembali.

Pintu ruangan itu kembali tertutup rapat, dengan tubuh Jane masih berdiri
dibaliknya. Kemudian dengan kedua tangannya, ia mengusap kasar wajahnya. Mengapa
rasanya begitu aneh? Padahal hanya sebuah ucapan terima kasih, membuat kedua sudut
bibirnya ingin tertarik.

Sering kali Jane mendengar dua kata itu sebelumnya dari banyak orang. Tetapi
hanya dengan Jagad ada perasaan aneh yang diam-diam menjalar dalam dirinya.
Tidak ingin dicurigai oleh pegawai lain, Jane kembali menormalkan mimik
wajahnya. Memasang tameng sifat sombong dan arogantnya agar tidak ada yang pernah
tahu seperti apa sosok dibalik keangkuhannya itu.

***
Jane menggerakkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan hingga suara-suara dari
tubuhnya keluar begitu saja. Dia terlalu lelah hari ini, sampai sepanjang otot
punggungnya sakit. Berulang kali dia bersandar sambil memijat belakang lehernya
untuk meredakan rasa sakit, tetapi tidak berpengaruh apapun.

Dihadapannya berkas-berkas tersebut belum juga berkurang. Baru beberapa kontrak


kerjasama saja yang selesai Jane analisa, kemudian dia arsipkan pada tempatnya.
Banyak kontrak yang tidak dia mengerti. Bukan karena dia bodoh, melainkan dirinya
merasa aneh dengan kontrak-kontrak tersebut.

Dari beberapa kontrak yang dia merasa aneh, ada satu kontrak yang membuat otak
Jane pusing dibuatnya. Kontrak kerjasama dengan PT. Indah Citra Lestari. Bagaimana
bisa perusahaan sebesar ini menyetujui dalam bekerja sama dengan perusahaan itu.
TANPA KEUNTUNGAN SEDIKITPUN.

Ingin Jane mengajukan beberapa pertanyaan pada Jagad, namun setelah Jane tadi
mengantarkan kontrak ke ruangannya Jagad tidak juga keluar. Bahkan lelaki itu tidak
memakai jam istirahatnya.

Yang Jane tahu, hanya seorang OB yang mengantarkan makanan untuk Jagad. Entah
lelaki itu makan atau tidak. Bagi Jane itu tidaklah penting. Karena Jagad dengan
pekerjaannya saat ini adalah dua hal berbeda.
Dia boleh bekerja dibawah pengaruh lelaki tidak sempurna itu. Tapi pekerjaan
yang diberikan olehnya sebisa mungkin Jane kerjakan dengan penuh tanggung jawab dan
sesempurna mungkin.
Baru saja Jane menumpukan kepalanya diatas kedua tangannya yang diletakkan
diatas meja, suara ketukan dimejanya membuat Jane kaget. Dia menatap dingin sosok
yang berdiri dihadapannya.
Lelaki yang jika dilihat sekilas begitu sempurna oleh semua orang, namun jika
dicermati lebih jauh banyak faktor yang membuatnya menjadi tidak sempurna. Dia
adalah Jagad. Dengan santainya berdiri didepan meja Jane. Tangan kirinya mencoba
membenarkan letak kacamata yang dikenakan, sebelum mengulum senyum manis ke arah
Jane.

"Saya ada meeting diluar. Mungkin tidak kembali lagi ke kantor. Jika ada
sesuatu hubungi saya,"

Jane mengangguk patuh. Tanpa perlu menjawab apapun, Jane yakin Jagad percaya
pada dirinya. Jika sejatinya Jane mampu menyelesaikan tugas yang diberikan dengan
baik.
"Dan satu hal lagi, jangan terlalu dipaksakan. Kamu bisa istirahat sejenak.
Membuat kopi misalnya," saran Jagad. Tubuh lelaki itu menjauh diiringi oleh bunyi
suara besi yang bergesekan ditubuhnya.

Tanpa bermaksud kurang ajar, Jane menelusuri setiap bagian dari tubuh Jagad.
Jagad memiliki postur tubuh tinggi dan tegap, senyumannya juga begitu manis untuk
menyapa setiap karyawannya. Namun nyatanya bukan itu yang terpenting. Dibalik
celana hitam panjang serta jas yang melekat ditubuhnya, sesungguhnya Jagad menutupi
semua kekurangannya dengan begitu baik.

Lelaki itu tidak butuh belas kasihan orang lain dalam menatapnya. Dia ingin
semua orang mengenal dirinya bukan si cacat dengan segala kekurangan tetapi sebagai
seorang Jagad. Lelaki yang mampu sukses diantara keterpurukannya.
"Sstt, mbak." bisik salah seorang staf yang duduknya berada disebelah kubikel
Jane. Fokus Jane terpecah. Dia melirik kearah kanannya, dimana sosok yang
memanggilnya. Seorang pria dengan tampang jahil menurut Jane, menatapnya penuh
minat.

"Hayo, mbak lihat apa?" suaranya begitu keras sampai beberapa staf lain turut
serta dalam perbincangan ini.

Baru Jane sadari ternyata seluruh staf yang berada di dekatnya adalah laki-
laki. Dengan berbagai macam karakter yang bisa Jane nilai dari wajah mereka.

"Mbak suka ya sama Pak Jagad? Kok lihatnya sampai nggak berkedip," goda lelaki
yang sama.

Dari kubikel tak jauh darinya seorang lelaki berjalan mendekati mejanya.
Kemudian memilih duduk dikursi depan meja Jane.

"Kalau Pak Jagad nggak di tempat, waktunya kita semua istirahat"

"Maksudnya?"

"Dia belum ngerti, Ndri!" celetuk yang lainnya.

"Sorry, kita belum kenalan kayaknya. Masa cewek cantik kayak mbak dianggurin
aja," kekehnya geli. "Gue Andri, bagian sistem analisis. Biasanya sering diajak
rapat sama Pak Jagad kalau kita mau ambil tender baru"
Jane tidak bergerak. Dia sibuk menatap tidak suka pada sosok Andri.
Lelaki seperti Andri ini yang selalu Jane hindari. Lelaki "setengah matang"
yang sering membuat Jane muak. Dengan segala tingkah lakunya dan banyaknya kosa
kata yang lelaki itu ucapkan sangat bisa Jane pahami. Karena dengan cara seperti
ini biasanya lelaki "setengah matang" menebar umpannya.

Jika sampai ada perempuan terjerat, maka tidak segan-segan ia akan menerkam
sampai habis korbannya. Kemudian ketika semua yang diinginkan tercapai, lelaki ini
akan dengan senang hati membuang semuanya. Tanpa perlu repot-repot mengingat siapa
perempuan tersebut.

"Gimana kalau nanti malam kita jalan?" ajak Andri.

Lelaki itu membalik tubuhnya, kemudian mengedip genit kearah semua kawan-
kawannya. Menunggu hasil rayuan maut sang primadona di lantai tersebut.

"Gimana, mbak Jane?"


Jane tidak mengubrisnya. Dia melipat kedua tangannya didada sambil
memperhatikan tingkah menyebalkan Andri yang semakin menjadi-jadi.

"Anda mengajak saya?"


"Memangnya perempuan disini siapa lagi kalau bukan mbak?"
"Kenapa Anda percaya saya akan menerimanya?" tanya Jane kembali dengan nada
dinginnya.

Andri mulai kehabisan akal. Dia seperti tersudutkan oleh setiap kata yang
keluar dari bibir Jane. "Saya percaya, karena perempuan seperti mbak pasti mencari
lelaki sempurna seperti saya" akunya begitu percaya diri.
Jane kembali tertawa hambar. Dia mengalihkan pandangannya pada staf lainnya
yang masih setia menonton adegan drama yang diperankan oleh Andri. Sang lelaki dari
bagian sistem analis yang wajahnya mirip dengan coding-coding tanpa kejelasan.

"Anda sempurna? Apa yang anda banggakan? Punya kedudukan? Wajah tampan? Atau
ada hal lainnya yang saya tidak tahu?" tanya Jane bertubi-tubi.

Dengan gerakan perlahan, tubuh Jane bangkit. Dia merapikan pakaiannya tanpa
perduli Andri terus menatapnya penuh napsu.

"Jangan pasang wajah seperti anjing yang mengeluarkan liur ketika melihat
tulang," sambung Jane dengan kosa kata yang cukup kasar bagi yang mendengarkan. "Di
luar sana banyak lelaki seperti anda, yang merasa paling keren dan sempurna.
Padahal ketika diajak "main", belum apa-apa sudah keluar. Sungguh miris saya
melihatnya,"

Dengan wajah memerah serta kedua tangan terkepal, Andri meninggalkan meja Jane.
Dia merasa gila bisa berhadapan dengan perempuan aneh seperti Jane.

Andri mengutuk boss-nya sendiri dalam menerima perempuan seperti Jane. Iblis
dengan tampilan yang begitu menarik. Sangat bisa menipu siapa saja yang melihat.

Sedangkan Jane masih bersikap tenang. Sudut bibirnya terangkat sedikit,


memberikan senyuman sinis kearah Andri yang masih terengah-engah duduk dimejanya.
Jane tahu Andri marah padanya. Tetapi dari kemarahan Andri, Jane merasa begitu
senang. Menindas lelaki seperti Andri sampai tidak berkutik sedikitpun.
"Tidak perlu merasa sempurna untuk mendapatkanku. Karena semua ternilai dari
sikapmu," desis Jane. 3
Terbakar Emosi

Jane ingin mengutuk segala perintah yang Jagad berikan kepadanya disaat-saat
waktunya untuk pulang. Setelah melakukan lembur dihari pertamanya bekerja, Jane
pikir dia akan tidur tenang tanpa harus memikirkan pekerjaan yang menumpuk.

Akan tetapi pada kenyataannya, Jagad seolah mengerti apa yang dipikirkan oleh
Jane. Lelaki itu sudah pulang ke rumahnya, namun masih saja menyusahkan Jane. Dia
meminta Jane mengantarkan beberapa berkas penting ke rumah sebab besok dia harus
terbang ke Jambi pagi-pagi sekali untuk sebuah tender besar.

Bibir Jane terus bergumam kesal. Mengapa tidak sejak awal Jagad mempersiapkan
segalanya. Jane paling tidak suka dengan sikap orang yang selalu menyepelekan
sesuatu. Harusnya sebagai seorang pebisnis, Jagad lebih pintar dalam mengatur
segalanya. Bukan langsung meminta sekejab mata untuk bisa merealisasikan
keinginannya.

Sambil menunggu taksi yang tak kunjung datang, Jane melirik jam dipergelangan
tangannya. Sudah jam 21.30 malam. Bagi kota metropolitan seperti Jakarta, waktu
segitu bukan sebuah ukuran batas jam malam. Biasanya pada jam-jam seperti ini
ribuan orang dewasa yang ingin melepaskan penat keluar mencari mangsa. Dan itu yang
membuat Jane benci. Karena setiap taksi yang dia tunggu tidak pernah kosong.

"Sial dekat-dekat dia," gerutu Jane.


Tak lama berselang, security yang membantu
Jane mencari taksi datang kembali. Berserta sebuah mobil taksi berwarna biru yang
kosong penumpang.

Ucapan terima kasih Jane berikan. Tanpa senyum dan tanpa berbasa-basi
setelahnya. Karena Jane lebih memilih langsung masuk lalu meminta supir tersebut
mengantarkannya pada alamat yang dituju.

Padatnya jalanan Jakarta pada malam hari semakin menyulut emosi Jane. Rasanya
ingin dia berlari sampai ketujuan agar bisa langsung pulang dengan tenang.

Namun dia tidak bisa melakukan semua itu. Jarak tempuhnya cukup jauh. Jane
masih sayang kakinya sendiri. Apalagi dia masih menggunakan stilleto merah
kesayangannya. Tidak mungkin dia berlari-lari di jalan raya dengan menggunakan
semua ini.

"Masih lama ya pak?" tanya Jane.


Supir taksi tersebut melirik Jane menggunakan kaca spion tengahnya. "Masih
cukup jauh mbak. Tempat yang dituju memang selalu macet," ungkap supir itu.

Jane mendesah pasrah. Membuang pandangannya kearah kanan kaca, menatap kelap
kelip lampu yang menghiasi gelapnya malam.
Di luar sana begitu ramai dengan pengendara, tetapi hatinya masih terasa begitu
sunyi dan sepi. Ketika Jane bertanya lebih dalam mengapa hatinya terus seperti ini,
dia menjawab dengan kalimat perih.

"Karena kau yang menginginkannya" teriak hati Jane.

Benar. Dialah yang mengingkan kesunyian ini.

Dia yang berusaha menutup diri dari semua orang dan terus membentengi hatinya
agar tidak mudah jatuh pada tempat yang salah. Jane ingin sosok yang sempurna untuk
menemaninya. Tapi harus dimana ia mencari jika sering kali yang ditemukan sosok
yang menjelma untuk pura-pura sempurna dihadapan perempuan.

Mobil taksi yang membawa Jane berhenti pada sebuah rumah sederhana berpagar
hitam. Sejauh mata Jane memandang, rumah yang boss-nya tempati terlihat sangat
nyaman. Ada banyak sekali tanaman-tanaman indah yang menghiasi disepanjang
pagarnya. Lalu bangunan rumah yang terbilang cukup unik dibuat ditengah-tengah
taman tersebut.

Sangat menggambarkan sosok seperti apa Jagad ini.

Jane turun setelah membayar taksinya. Dia mulai mencuri-curi pandang kearah
pagar rumah. Apakah ada orang yang bisa membukakan pintu untuknya? Bahkan Jane
ragu, masih adakah tanda-tanda kehidupan di waktu 23.15 malam?

Akan tetapi Jane tetap meyakini langkah kakinya bila kedatangannya ke sini
tidak sia-sia. Karena setelahnya dia ingin pulang, dan besok pagi-pagi sekali harus
kembali bekerja.

Sudah hampir setengah jam Jane mengetuk-ketuk pintu pagarnya. Mencoba memanggil
nama Jagad semampu yang dia bisa. Namun semua yang dilakukan nampak sia-sia. Tidak
ada tanggapan dari penghuni rumah.

Jane tidak habis pikir bagaimana bisa Jagad tinggal di rumah yang terbilang
cukup besar ini tanpa seorang penjaga satupun. Apa lelaki itu cukup pintar menjaga
dirinya? Ataukah Jagad tidak ingin mengeluarkan uang untuk membayar petugas
keamanan?

Biarlah menjadi rahasia Tuhan dan Jagad. Jane tidak ingin repot memikirkannya.
Yang terpenting saat ini bagaimana dia bisa menyerahkan berkas ini dan kemudian
pulang.

"Sial, kenapa nggak gue hubungi aja si Jagad itu!" gerutunya kesal.
Sebelah tangannya mencoba mencari-cari keberadaan ponsel didalam tasnya. Tepat
ketika ponsel telah dia dapatkan, lagi-lagi Jane menjadi kesal pada dirinya
sendiri.Mengapa dia begitu ceroboh saat ini?

Dia tidak memiliki nomor Jagad di ponselnya. Padahal tadi setelah tanda tangan
kontrak dan mulai bekerja, Jagad sudah memberikan kartu namanya kepada Jane. Namun
sialnya kartu nama itu Jane simpan di laci meja tanpa memasukan nomor Jagad
terlebih dahulu.

Jane memilirik ke arah kanan dan kirinya. Benar-benar sunyi perumahan ini.
Tidak ada satu orang pun yang melewati jalanan besar yang membagi bangunan-bangunan
perumahan ini sesuai bloknya. Kemudian dia memandang penuh emosi pada map cokelat
yang berisikan berkas-berkas yang diminta oleh Jagad. Map itu telah remoh dengan
banyak lipatan disetiap sisinya.

"Apa gue tinggal aja di sini?" gumamnya seorang diri.

Dia menyelipkan map cokelat tersebut disela-sela pagar rumah Jagad. Jane yakin
besok pagi lelaki itu pasti akan menyadari keadaan map cokelat ini di rumahnya.
Tapi, bila nanti malam hujan maka habislah sudah.

"Jangan. Bisa habis gue kalau kontrak ini rusak," ucapnya bermonolog.

Jane kembali dilema dengan pilihannya. Baru kali ini dia dibuat tak berdaya
dengan pilihan yang tanpa repot-repot lelaki itu ucapkan. Pilihan akan diletakkan
dimana map ini?

Dilema yang sejak tadi Jane rasakan dibayar sudah oleh suara sebuah mobil yang
tepat berhenti di belakangnya berdiri. Dia mengangkat sebelah tangannya, menghalau
sinar lampu mobil yang menyilaukan ditengah gelapnya malam.

Tak lama, mesin mobil tersebut dimatikan. Dengan sosok yang Jane tunggu-tunggu
keluar dari balik kemudinya.

Tapi, tunggu dulu. Bagaimana bisa Jagad dengan segala keterbatasannya


mengemudikan mobil seorang diri?

Pandangan mata Jane terus saja menilai. Pakaian Jagad masih sama. Masih
menggunakan setelan kerja yang tadi dia kenakan. Tetapi yang membuatnya berbeda,
rambut lelaki itu sudah tidak serapi pagi tadi.

"Oh God!"desis Jane. Dia menatap tajam ke manik mata cokelat milik Jagad dengan
segala tampang kesal dan dinginnya. Kemudian tanpa menunggu lama-lama dia berjalan
menghampiri lelaki itu. Melemparkan begitu saja map cokelat yang sejak tadi dia
pegang.

Keduanya membatu sejenak. Saling mengunci pandangan masing-masing. Tetapi


ternyata Jane yang lebih dulu mengalah. Membuang pandangannya ke segala arah karena
tidak ingin membuat tubuhnya meleleh ditatap begitu mematikan oleh manik mata
Jagad.

"Tugas saya sudah selesai. Selamat malam, Bapak Jagad"

Jagad memperhatikan map cokelat yang dia tangkap dengan tangan kirinya, lalu
memandang Jane kembali. Sebelah alisnya terangkat, mencoba mencari jawaban mengapa
asistennya begitu kesal.

"Kamu mau pulang?"


Bibir Jane mencibir benci. Dia tatap wajah Jagad yang melihatnya tanpa dosa
sedikitpun. Mengapa masih saja Jagad menyuarakan pertanyaan bodoh seperti itu? Ya
jelas dia ingin pulang.

Tanpa perlu repot-repot menjawab, Jane memilih untuk berjalan pergi. Mencoba
mengambil satu langkah panjang dari sosok Jagad yang masih berdiri dihadapannya.
Tepat pada langkah kedua, rasa dingin dia rasakan kembali pada lengan kanannya.

Dia terhenti. Pandangannya tertuju pada objek yang membuatnya dingin. Dalam
hati Jane mengumpat penuh kebencian. Lagi-lagi tangan tidak sempurna itu yang
menyentuh bagian tubuhnya. Mengantarkan rasa dingin pada area tempat dimana tangan
palsu
milik Jagad masih setia disana.

Tangan yang membuat Jane menatap bingung tadi pagi karena merasa ada yang aneh,
nyatanya apa yang dia lihat merupakan buatan manusia. Sebuah tangan besi yang
dibentuk sedemikian rupa menyerupai wujud tangan asli.

"Aku antar pulang" tawar Jagad.

"Terima kasih. Tapi saya masih bisa sendiri,"

Jagad mencoba tetap tersenyum, dia meneliti raut kebencian diwajah Jane. Wajah
cantik yang sejak pagi menghantuinya ini begitu memikat. Jagad mengerti perempuan
seperti apa Jane. Dia tidak tersentuh dan tidak membiarkan lelaki seperti dia
menyentuhnya.

"Aku tidak bisa membiarkan seorang perempuan pulang malam seorang diri"

Dari cara penilaian kedua bola mata Jane kepada dirinya, membuat Jagad salah
tingkah. Sepanjang usianya yang sudah terbilang matang baru kali ini dia terjebak
moment tidak mengenakkan bersama seorang wanita.

"Ayo" ulangnya kembali.

Jane melepaskan pegangan tangan Jagad. Kemudian memandang kearah lain dengan
manik mata tajam. "Tidak perlu mengkhawatirkan orang lain, jika dirimu saja masih
banyak membutuhkan bantuan"

Kalimat yang Jane lontarkan begitu tajam dan menusuk. Dia kembali menatap Jagad
yang masih diam membisu.

Dalam hati Jane bersorak senang, dia bisa menang dari lelaki tidak sempurna
ini. Dia bisa menindasnya dan mengkontrol segala hal tentang diri lelaki ini.

Jangan sebut dia Jane jika dibuat tidak berdaya dengan Jagad, si lelaki cacat.

Jagad memang tidak berkomentar apapun kepada Jane, dia memilih diam. Membiarkan
emosi menghantui hati perempuan di depannya. Biar saja Jane terbakar emosinya
sendiri. Karena pada hakikatnya perempuan yang sedang dalam keadaan emosi jika
diatur oleh laki-laki, maka caci maki yang akan laki-laki dapat.

Sebagai lelaki sejati, ketika kondisi seperti sekarang ini mengalah adalah
jalan keluarnya. Bukan berarti kedudukan perempuan lebih tinggi hingga bisa
mengatur segala hal tentang laki-laki. Namun sebagai lelaki dewasa Jagad mengerti
kapan harus mengalah dan kapan harus menjadi seorang pemimpin dalam mengambil
keputusan.
Ketika Jane yakin Jagad tidak akan menghalangi jalannya pulang, kakinya kembali
melangkah dengan pasti. Menghadang gelapnya malam tanpa perlu menerima bantuan dari
Jagad.

Sambil terus berjalan, Jane tersenyum senang. Melirik dari sudut matanya posisi
Jagad yang masih tidak bergerak dari sana. Dia merasa begitu yakin bila Jagad pasti
tidak akan pernah menganggapnya perempuan gampangan yang mau begitu saja menerima
semua laki-laki.

Dan dari sini Jane ingin Jagad tahu bila dirinya berbeda. Dia hanya menerima
lelaki yang sama sempurnanya dengan dia. Yang tidak akan menyusahkan ketika kelak
membangun rumah tangga. Dan yang tidak akan pergi meninggalkan untuk mencari sosok
lain yang lebih sempurna. Karena mereka berdua sudah sama-sama sempurna.

Sudah cukup jauh tubuh Jane berjalan, namun Jagad tidak juga bergerak. Hingga
suara perempuan yang memanggil namanya cukup kencang menghentikan pandangannya dari
sosok Jane.

"Mas Jagad"Bab 4

Muslihat Cinta

Pagi yang begitu cerah menyapa ribuan pekerja di Jakarta untuk memulai
aktifitas mereka. Ribuan bahkan jutaan orang berlomba-lomba menghindari kemacetan
yang senantiasa menjadi momok menakutkan bagi pekerja yang sedang terjebak di
kemacetan.

Dia sudah kesiangan pagi ini. Tubuhnya sudah banjir keringat. Padahal dia tidak
menggunakan sarana bus umum untuk membawanya ke kantor. Jane lebih memilih
menggunakan ojek online untuk menyingkat waktunya.

Gara-gara kejadian semalam membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Wajah
Jagad terus saja berputar-putar diotaknya. Jane mau tidak mau memikirkan lelaki
cacat itu. Ingin dia mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa prinsip yang sudah
dia buat belasan tahun harus dia robohkan oleh dirinya sendiri karena telah
melanggarnya semalam.

Tatapan manik mata cokelat itu dibalik bingkai kacamatanya sudah menghipnotis
Jane sejak pandangan pertama. Perlakuan Jagad yang tidak seperti pria kebanyakan
semakin membangkitkan rasa penasaran Jane.
Biasanya ribuan lelaki berlomba-lomba mendekatinya, menginginkannya,
memilikinya, seperti yang Andri lakukan kemarin. Tapi mengapa Jagad tidak?

Apa lelaki itu tidak sempurna?


Maksudnya apa lelaki itu tidak menyukai perempuan?
Mungkin selain cacat fisik yang dia derita, dia juga mempunyai penyimpangan
seksual misalnya.

Dugaan-dugaan tersebut semakin tumbuh diiringi oleh perasaan aneh yang Jane
rasakan. Ia ingin mengetahui setiap sisi kehidupan Jagad tanpa bisa dicegah.

"GILAAAAAA!!!!" teriaknya diatas ojek.


"Kenapa neng?" tegur sang supir ojek yang berada di depan Jane.

Sebelah tangan Jane membekap mulutnya. Ini adalah kali pertama dia tidak bisa
mengkontrol emosinya. Padahal dulu sewaktu ayahnya pergi, dia masih bisa mengontrol
segalanya. Tidak meledak-ledak dengan emosi untuk meminta laki-laki itu tinggal.
Yang Jane lakukan hanya diam. Mencerna baik-baik setiap kejadian yang dia lalui.
Sampai ketika dia dewasa, hanya sifat dingin dan tanpa ekspresi yang sering dia
tunjukkan. Padahal dulu dia tidak seperti itu. Dia adalah seorang gadis kecil yang
ceria. Yang tinggal didalam sangkar emas dengan bergelimang kasih sayang.

Tapi itu dulu. Sekarang ini bukanlah cerita tentang seorang perempuan yang
tertindas dengan masa lalunya. Jane tidak selemah itu. Jane ingin mencoba
menunjukkan bahwa masa lalu adalah modal awal pembentukan karakternya sendiri.

Seperti dirinya. Jane si perempuan sempurna. Jane yang bisa hidup tanpa bantuan
dari siapapun. Dan Jane perempuan yang mencintai kesempurnaan. Apalagi untuk
pasangan hidup.

"Neng, sudah sampai"


Kedua mata Jane mengerjab beberapa kali. Menatap gedung pencakar langit
berwarna cokelat dengan banyak kaca besar sebagai dindingnya. Di bagian depan
gedung tersebut terpampang dengan jelas nama perusahaan tempat dimana dirinya
bekerja (J)Company.

Nama itu mengartikan bila Jagad adalah pemilik perusahaan ini. Sosok yang
sesungguhnya sangat Jane hindari untuk bertemu.

Dia masih belum siap bila sewaktu-waktu Jagad membuatnya semakin jatuh hingga
memohon kepada lelaki itu untuk membantunya berdiri.

"Neng nggak mau turun?"

Lamunan Jane buyar sudah. Dia turun dari ojek dengan pandangan datar. Menyimpan
kekesalan kepada tukang ojek yang masih tersenyum tanpa dosa.

Mirip Jagad.

Cepat-cepat Jane mengusir nama itu yang muncul disetiap aktifitasnya. Masa iya
Jagad disamakan dengan tukang ojek?
***

Tubuh Jane baru keluar dari lift di lantai tempatnya bekerja. Suara yang
tadinya penuh keributan seketika sunyi ketika dirinya berjalan. Membelah kubikel-
kubikel dimana banyak staf lain bekerja. Bulu kuduknya sempat merinding kala dia
menyakini banyak pasang mata yang menatapnya dibalik kubikel tersebut.

Jane mengusap belakang lehernya, menghalau ketakutan yang menyerang bagian


kulit sensitifnya. Kemudian tanpa sengaja kedua manik matanya menangkap pandangan
mencemooh dari Andri. Lelaki itu tampak mencibir. Menilai pergerakan tubuh Jane
dari atas hingga bawah.

Jane tidak menampik, setiap orang yang ditatap begitu intens oleh banyak orang
pasti akan merasa risih. Begitupun dia. Dirinya mencuri-curi pandang atas apa yang
dia pakai pagi ini. Semua pakaiannya dirasa cukup sopan.

Mini skirt hitam dibawah lutut dengan kemeja sifon lembut berwarna peach. Pada
bagian luarnya Jane sengaja menggunakan bolero hitam yang nampak serasi dengan
bawahannya.

Sepatu yang Jane gunakan juga tidak mencolok, hanya sebuah wedges peach yang
membaur dengan warna kulitnya. Begitu dia sampai pada kubikelnya, selentingan
bisikan-bisikan pedas dapat Jane dengar. Baginya ini bukanlah hal baru. Di dunia
pekerjaan, bisik-bisik tetangga merupakan hal biasa.

Jadi bagi Jane tidak ada waktu untuk memikirkan hal tersebut.
"Jelas Pak Jagad nggak ajak sekertarisnya, wong kerjaannya saja nggak becus,"

"Nggak becus bagaimana?"

"Disuruh antar berkas milik Tama Group, dia malah antar berkas yang lain. Nggak
bisa baca atau nggak becus kerjanya?" cibir staf itu kembali.

Jane yang awalnya tidak ingin memperdulikan sindiran tersebut, akhirnya


menyerah. Dia menyampirkan helaian anak rambutnya kebelakang telinga agar bisa
mendengarkan lebih jelas.

Kemudian ketika Jane menangkap cibiran bila dirinya salah memberikan berkas,
buru-buru dia langsung mengeceknya. Jika sampai mereka bergosip hal yang tidak
benar, Jane tidak akan ragu-ragu untuk memusnahkan mulut busuk mereka.

Mereka semua lelaki dewasa, namun bertingkah lebih buruk dari seorang balita.
Hanya karena ajakannya kemarin Jane tolak, semua memusuhi Jane hari ini.

Jane mencengkram kuat map cokelat yang kemarin dia bawa ke rumah Jagad. Map
yang sudah lusuh dengan banyak lipatan disetiap sisinya. Ternyata kembali lagi ke
tempatnya. Didalam map tersebut terdapat kontrak yang berbeda dengan yang Jagad
minta. Tetapi bagaimana bisa?

Jane mengingat-ingat kejadian semalam. Rasanya dia sudah benar memasukkan


berkas tersebut. Sesuai dengan apa yang diperintahkan. Dia terus saja mendoktrin
dirinya sendiri agar tidak merasa bersalah pada Jagad.

Namun selembar note yang dimasukan ke dalam map tersebut menjawab semua
pertanyaannya.

Kurasa kau memang butuh istirahat. Jangan dipaksakan bekerja bila perasaan
tidak baik. Semoga ini adalah kali pertama dan terakhir keteledoranmu.

_Jagad_

Kertas note tersebut dibuat remuk oleh kepalan kedua tangan Jane. Ternyata dia
memang melakukan kesalahan. Hingga merugikan orang lain. Apalagi yang dirugikan
adalah boss-nya sendiri.

Dia tidak lagi bertanya bagaimana itu terjadi. Karena sudah tidak ada pembelaan
apapun yang bisa dia suarakan saat ini. Biarlah semua menjadi pembelajaran dalam
hidupnya. Bila mengerjakan sesuatu tanpa keikhlasan akan berakhir dengan
ketidaksempurnaan. Seperti yang terjadi pada dirinya kini.

***

Tepat pukul 17.00 Jane menghentikan segala aktifias pekerjaannya. Hari ini dia
bekerja begitu baik. Anggap saja sebagai penebus dosa kepada Jagad.

Dia sudah menganalisa semua perusahaan yang tengah bekerja sama dengan
perusahannya. Dia juga sudah merapikan arsip agar tidak kembali tertukar ketika
Jagad memintanya mengambilkan suatu berkas. Dia juga mulai mencatat schedule yang
akan dilakukan Jagad kedepannya.

Semua sudah dia selesaikan. Dia tidak mengharapkan pujian dari Jagad ketika
lelaki itu kembali dari Jambi. Namun dia ingin menikmati kesempurnaannya sendiri
terhadap segala pekerjaan yang telah dia selesaikan.
Ketika meraih tas kerjanya, ponsel Jane berbunyi. Dia kembali duduk untuk
menerima panggilan telepon tersebut.

Ternyata Jagad yang menghubunginya.

Ada apa dengan lelaki itu?

"Jane, kau masih di kantor?" tanya Jagad setelah mengucapkan salam sebelumnya.

Jane mengangguk cepat, namun kembali menyadari kebodohannya bila Jagad tidak
bisa melihat segala gerakannya. "Iya pak, saya masih di kantor"

"Tolong kamu ke ruangan saya. Buka laci meja paling bawah dimana ada draf yang
sudah dibuat oleh bagian design kemarin. Antarkan kemari,"

Draf?

Antarkan kemari?

Jane masih diam. Dia bingung harus merespon apa? Bukankah Jagad sedang berada
di Jambi. Lantas mengapa dengan mudahnya dia meminta Jane mengantarkannya ke sana?

"Jane, kau masih di sana?"

"I .. iya pak"

"Kau kenapa? Tidak bisa menemukannya?"

"Bu..bukan Pak," sanggahnya cepat. "Apa ... apa saya harus ke Jambi malam ini?"

Di seberang sana Jane mendengar helaan napas berat dari Jagad. Tidak ada suara
hanya suara tarikan napas dari lelaki itu yang mengisi keheningan diantara
keduanya.

"Saya sudah minta Anton untuk menyiapkan kepergianmu ke sini malam ini. Nanti
dia akan memberikan tiket pesawat bersama dengan voucher taksi yang akan
mengantarkanmu ke bandara,"

"Tap.."

"Nanti ketika sampai di sini, saya yang akan menjemputmu," potong Jagad.

Jane tidak berani menjawab. Dia melirik kesegala arah hingga pandangannya
terkunci pada sosok Anton. Kepala HRD yang kemarin meng-interview dirinya.

Lelaki itu masih berdiri tak jauh dari Jane. Dengan sebuah amplop ditangannya.
Jane yakin itu adalah tiket pesawat seperti yang diinfokan oleh Jagad tadi.

"Baik Pak,"

"Saya tunggu kamu di sini, Jane"

Setelah sambungannya terputus, Jane bersusah payah menelan air ludahnya.


Mengapa kalimat yang terakhir Jagad ucapkan begitu tersirat?

"Apa tadi Jagad. Maksud saya, Pak Jagad yang menghubungimu?"

Jane mengangguk, kemudian mencoba berdiri untuk mencari draf yang diminta oleh
Jagad. Namun ketika dia melewati tubuh Anton, sebelah tangannya ditahan oleh lelaki
itu.
"Maaf," ucap Jane kala dia menilai tidak seharusnya Anton menyentuh tangannya.

Lelaki itu masih tenang, tetapi perlahan pegangan tangannya terlepas. Jane
menilai Anton salah tingkah mendapatkan tatapan dingin darinya.

"Apa tadi Pak Jagad berbicara sesuatu? Mengenai saya?"

Kedua bola mata Jane bergerak kearah lain. Mencoba mengingat dengan Jelas apa
yang diperintahkan Jagad. Agar keteledorannya tidak terjadi kembali.

Tetapi kali ini dia yakin, Jagad hanya menginformasikan jika Anton akan
memberikan segala yang dia butuhkan untuk pergi ke Jambi malam ini.

"Pak Jagad hanya berpesan bahwa Pak Anton akan membantu saya menyiapkan
segalanya," Kali ini Anton yang mendesah kesal di hadapan Jane. Dia nampak risih
dengan raut wajah Anton yang terlihat kecewa.

Sebenarnya ada apa?

Tanpa ingin memperdulikan Anton, Jane langsung mencari tugas utamanya. Draf
yang diminta oleh Jagad.

Dia masuk ke dalam ruangan Jagad yang gelap. Tangannya mencoba menekan saklar
lampu agar pandangannya bisa lebih luas. Kemudian Jane memilih langsung bergerak ke
arah meja kerja Jagad. Berjongkok dihadapan laci mejanya untuk mempermudah
pencarian.

Tumpukan kertas-kertas langsung tersaji dihadapannya. Dia mulai meneliti satu


demi satu kertas tersebut. Semuanya nampak sama, begitu batinnya.

Jane kembali mensejajarkan draf gambar yang tidak dia mengerti. Walau disetiap
sudut bawah kertas tersebut diberikan nama, bagi Jane bukan perkara mudah untuk
mengenalinya.

Sampai dimana Jane melihat sepasang sepatu cokelat mengkilap yang berdiri
disampingnya.

Dia mendongakkan wajahnya. Menatap datar wajah Anton yang menilainya tidak
suka.

Apa lelaki ini menganggap Jane maling?

"Sedang apa kau?" tegur Anton.


"Pak Jagad meminta saya mencarikan draf untuk dibawa ke sana nanti malam. Draf
yang berasal dari bagian design," jelas Jane.

Mulut terbuka dengan pandangan bingung menjadi jawaban dari penjelasan Jane.
Bagi Jane, Anton sama sekali tidak menolongnya. Harusnya lelaki itu membantunya
mencari draf design yang diminta oleh Jagad. Akan tetapi tatapan bodoh yang Jane
terima.

"Kau sama sekali tidak membantu, Pak" desis Jane.

Gerakan tangan Jane kembali mengobrak-abrik laci meja tersebut sambil menahan
rasa kekesalannya di dalam hati.
"Jagad memintamu membawakan draf design?" gumam Anton.

Laki-laki itu masih menatap Jane dari posisinya berdiri. Tubuh Jane yang sedang
jongkok dengan fokus meneliti satu demi satu berkas tersebut tidak menghiraukan apa
yang tengah Anton lakukan.

Anton melipat kedua tangannya di dada. Menunggu reaksi Jane selanjutnya. Hampir
setengah jam mereka sama-sama diam, sampai dimana Jane mencoba berdiri karena
kakinya terasa keram.

"Aarrggghh"

"Sudah ketemu?"
Jane mendelikkan bola matanya kearah Anton. Tidak terima dinilai begitu rendah
dengan senyum terpaksa yang Anton berikan.

"Saya tanya sudah ketemu apa yang kamu cari?"

"Bapak lihatnya?"

Rasa kesal bercampur sakit dibagian kakinya semakin mencampur adukan emosi
Jane. Jangan sampai Jane di pecat dari kantor karena mengamuk pada Kepala bagian
HRD.

"Kamu tahu arti bodoh?" tanya Anton. Sebelah tangannya meraih figura kecil yang
berada di atas meja Jagad. Sebuah senyuman mengejek kembali Jane lihat dari bibir
Anton. "Bodoh memiliki arti yang luas. Salah satunya bodoh dalam perasaan,"
sambungnya cepat.

Dia menyerahkan figura kecil tersebut kepada Jane. Dan meminta Jane
memperhatikan baik-baik foto yang berada didalamnya.

Perempuan itu hanya melihat bingung ke dalam foto keluarga yang Jane yakin
keluarga milik Jagad. Dia memang bisa melihat senyuman masa kecil Jagad begitu
lebar dan tubuhnya masih begitu ... sempurna.

"Kadang sebuah senyuman bisa memanipulasi apapun. Termasuk cinta," desisnya


ditelinga Jane.

Tubuh Anton kembali menjauh. Memutar meja tersebut untuk keluar dari ruangan.
Sebelum pintu ruangan Jagad dia tutup, Anton menyuarakan lagi kebenaran yang sejak
tadi dia tahan.

"Tidak ada draf yang tertinggal. Jadi hentikan pencarianmu. Jika tadi saya
bertanya apakah Jagad berbicara mengenai saya? Itu karena dia meminta saya untuk
merahasiakannya. Dan memastikan kau berangkat ke Jambi malam ini. tetapi ..." Anton
menghentikan kata-kata. Melirik jam tangan yang dia pakai kemudian menatap Jane
kembali.

"Tetapi karena sifat sombong dan arogantmu membuat saya ingin mengerjaimu
sejenak. Ternyata benar, kau terlalu sering menggunakan kedua sifat itu agar
terlihat sempurna. Padahal kenyataanya kau sama sekali tidak sempurna. Hanya
perempuan bodoh yang mengagungkan kesempurnaan dimata semua orang," tutupnya
bersamaan dengan pintu ruangan Jagad yang ditarik dari luar.

Jane mengerjabkan kedua matanya berkali-kali. Dia terdiam seorang diri sambil
memeluk tubuhnya. Hawa dingin dari penyejuk ruangan membekukan hatinya. Dia tidak
marah. Dia tidak kesal dengan semua kata-kata Anton. Tapi satu hal yang tidak bisa
dia tutupi, Jane MALU!Bab 5

Semua Laki-Laki Sama


Jane merapatkan jaket yang dia pakai. Ketika turun dari pesawat, udara dingin
yang menyapanya. Udara Jambi yang baru saja diguyur hujan membuat malam semakin
membekukan tubuhnya. Mungkin bila Jane ingin memperhatikan lebih detail, akan ada
uap karbondioksida yang keluar dari lubang hidung dan mulutnya.

Seperti di luar negeri.

Tapi perempuan itu nampak sama sekali tidak menikmati perjalanannya. Dia
berkali-kali mengumpat dalam hati sebelum pandangannya menemukan sosok yang sedang
menunggunya. Tengah berdiri sambil sibuk dengan ponsel ditangannya.

Pikirannya melayang mengingat percakapannya tadi dengan Anton. Setelah lelaki


itu memberitahunya bila itu hanya sebuah akal licik dari Jagad, Jane langsung
mengejarnya. Meminta penjelasan mengapa bisa Jagad setega itu kepadanya.

"Dia bukan atasan seperti yang kau pikirkan, Jane. Kau yang membuatnya
melakukan hal rendahan ini. Berpura-pura ada barang yang tertinggal agar kau
mengantarkannya. Padahal dia hanya ingin mengikis jarak denganmu"

"Mengikis jarak?"

"Mengikis jarak bukan sebagai seorang atasan dan bawahan, melainkan sebagai
seorang pria dewasa dan wanita dewasa"

"Jadi saya tetap harus datang ke sana?"

"Jika kau masih sayang dengan pekerjaanmu, lakukan! Karena bila sampai kau
tidak datang, dan Jagad murka, kau yang akan kusalahkan atas semua ini"

Begitulah ancaman yang diberikan Anton kepadanya. Untuk itu walau hari sudah
cukup malam, dia memilih menuruti permainan Jagad. Berpura-pura bodoh karena ingin
tahu apa sebenarnya maksud Jagad melakukan semua ini.

Mengapa Jagad tidak jujur saja meminta ditemani dirinya sebagai seorang asisten
GM? Dari pada dia berulah, melakukan cara licik yang Jane rasa tidak pantas
dilakukan oleh laki-laki seusia Jagad.

Ketika Jagad sadar Jane mendekat, lelaki itu tersenyum sampai membuat
lengkungan di kedua matanya. Bibirnya mengulum tipis. Memandang raut wajah Jane
yang begitu datar.

"Maaf saya jadi merepotkanmu, Jane" ucapnya sembari memasukkan ponsel dikantung
celananya.

Jane tidak menanggapinya. Dia langsung saja mengangsurkan sebuah amplop ke arah
Jagad. "Ini yang bapak minta," ucapnya. Berpura-pura terlihat bodoh untuk
mengetahui sejauh mana Jagad bermain sandiwara seperti ini.

Jagad terlihat gugup. Membenarkan letak kacamatanya dengan tangan kirinya.


Kemudian mulai menjaga ekspresinya untuk tetap tenang dihadapan Jane. "Kamu pegang
dulu. Nanti kita bahas," sambungnya kembali.

Ketika laki-laki itu berbalik untuk berjalan lebih dulu dari Jane, bibir Jane
mencebik. Memaki kebodohan Jagad yang masih saja memainkan sandiwaranya.

Dari bagian belakang, Jane bisa melihat bahu Jagad meluruh lemas. Dia mulai
menduga-duga, mungkin Jagad sudah tahu bila Jane pura-pura terjebak dalam
permainannya.
Bila Jagad mau cermati, Jane hanya membawa tas kecil dalam perjalanannya. Tidak
ada baju untuk berganti selama di sini. Memang tujuan Jane besok pagi-pagi sekali
dia harus pulang. Meninggalkan lelaki yang melakukan modus dengan cara membohongi
perempuannya.

Modus?

Mengapa kata itu tiba-tiba muncul diotak Jane?

Dengan segera Jane mengenyahkan pikiran anehnya itu. Mulai melangkah mengikuti
tubuh Jagad yang sudah jauh darinya. Dia melenggang santai sambil sesekali mendesah
lemah, mencoba menahan amukannya kepada Jagad.

Biar saja sekarang dia seperti dipermainkan. Nanti tiba saatnya Jane yang akan
mempermainkan lelaki itu.

Sampai di parkiran mobil, Jagad belum juga bersuara. Dia masih sibuk dengan
pikirannya sambil sesekali tangannya memijat pelipis yang terasa pening.

"Kita langsung ke hotel saja," Jane menegang. Dia langsung menyilangkan kedua
tangannya di dada ketika Jagad langsung membahas tentang hotel.

Bagi perempuan dan laki-laki dewasa, berbicara tentang hotel sebagai tempat
menginap terdengar sangat ambigu. Tidak ingin munafik, bagi hampir seluruh
perempuan dan laki-laki dewasa hotel merupakan sarana fasilitas yang sangat
menunjang dalam berhubungan. Terutama masalah yang lebih intim.

Apalagi kebutuhan biologis seperti seks memang tidak dipungkiri adalah


kebutuhan utama manusia dewasa. Ini bukan masalah tabu atau tidaknya, tapi
begitulah kenyataan yang sering didapatkan.

Memberikan kepuasan, untuk dipuaskan. Semacam take and give dalam berhubungan.

Di usia Jagad dan Jane, berhubungan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya
sekedar makan bakso dipinggir jalan. Atau sekedar berpegangan tangan saja. Tidak.
Mereka jelas butuh yang lain untuk memenuhi keinginan.

Tapi laki-laki yang bisa memberikan kepuasan untuk Jane bukan Jagad! Catat itu.
Target hidup Jane akan sosok pasangan hidup jauh sekali dari nama Jagad. Karena
Jane tidak ingin munafik, setiap perempuan pasti mendamba kesempurnaan laki-laki.
Begitupun sebaliknya.

"Kenapa? Ada yang salah dengan hotel?" pancing Jagad.

Jane memutar bola matanya jengah. Dia melirik sisi kiri jendela mobil,
memandang tidak jelas kota Jambi sehabis hujan mengguyur.

"Jane ... "

Jagad melirik Jane. Senyum simpul dibibirnya terukir jelas. Ingin sekali dia
menarik sudut bibir Jane keatas agar tergambar senyum di sana, tapi Jagad masih
menahannya. Belum saatnya dia bergerak terlalu jauh. Dia masih mencoba mengenal
Jane lebih dulu. Dibalik tampang dinginnya, Jagad tahu Jane menyimpan kehangatan di
dalamnya.

"Saya bukan deretan angka dalam kontrak kerjasama yang harus bapak perhatikan"
dengus Jane.

Hampir saja Jagad terbahak mendengarnya. Dia menormalkan mimik wajah saat Jane
menatapnya tajam.

Berdehem sejenak, kemudian memilih fokus mengemudi dengan sebelah tangannya.

Tangan kanannya memang kurang begitu berfungsi dengan baik setelah digantikan
oleh besi menyerupai tangan manusia. Akan tetapi bukan berarti tangannya itu tidak
bisa diperuntukkan dalam mengerjakan apapun.

Dia bisa mengetik dengan tangan kanan palsunya. Dia bisa memegang sesuatu
dengan baik melalui tangan yang sering orang lain bilang cacat itu. Tapi sesempurna
apapun tangan buatan manusia, masih tidak bisa disamakan dengan tangan asli.

Mobil yang di kemudikan Jagad tiba di lobby sebuah hotel mewah di pusat kota
Jambi. Hotel ini memang sangat strategis karena letaknya berdekatan dengan
perusahaan-perusahaan besar. Yang kebetulan sekali salah satunya mengajak
perusahaan Jagad untuk kerjasama.

"Ayo" ajak Jagad.


Jane hanya bisa menurut. Mengikuti langkah kaki Jagad sampai ke dalam sebuah
lift kaca yang akan membawa mereka ke ruang kamar.

"Bapak pesan 2 kamar kan?" selidik Jane.

Mereka berdua sedang berjalan di lorong kamar menuju room mereka. Suasana hotel
ini begitu tenang, dengan sebuah kaca besar yang menghadap ke utara. Dari
langkahnya Jane bisa melihat lampu-lampu taman yang dihias begitu indah tak jauh
dari hotel ini.

Dia mengagumi dalam hati, ternyata selain Jakarta ada juga pemandangan indah di
kota lain. Maklum saja ini adalah kali pertama dia keluar pulau Jawa. Biasanya
paling jauh jarak yang Jane tempuh adalah Yogyakarta. Itu juga berkat darma wisata
dari sekolahnya dulu.

"Maaf, tapi saya hanya memesan satu. Karena hotel ini penuh,"

Langkah kaki Jane terhenti. Dia meremas ujung jaketnya. Menunduk kesal berusaha
menahan segala emosinya.

Bisa-bisanya Jagad memintanya untuk datang ke Jambi namun ternyata tempat


menginap untuknya sama sekali tidak disiapkan. Boss macam apa dia?

"Kenapa? Kamar ini luas. Kamu bisa tidur di kamar. Biar saya yang tidur di
ruang tamunya," ungkap Jagad.

Beberapa kali Jagad menekan key yang diberikan oleh pelayan hotel tersebut,
akhirnya pintu kamar tersebut terbuka juga.

"Welcome, Jane" bisik Jagad ketika tubuh Jane berjalan masuk melewatinya.

Dengan melipat kedua tangannya di dada, Jane mulai menelusuri setiap sudut
kamar hotel tersebut. Ternyata benar apa yang Jagad bilang, kamar hotel ini begitu
besar dan ... indah. Lampu gantung yang menjuntai dari langit-langit kamar menambah
kesan elegant. Belum lagi beberapa lukisan besar dengan bingkai emas, menambah
kesan glamour pada kamar ini.

"Istirahatlah," ucap Jagad. Dia melirik jam tangannya. Waktu sudah hampir
tengah malam. Dan besok pagi-pagi sekali mereka akan disibukan dengan pekerjaan
baru.
Tubuh Jagad sudah menghilang kembali ke ruang tamu kamar hotel tersebut.
Kemudian dia memilih langsung berbaring di sofa hitam yang tidak mampu menampung
panjang tubuhnya.

"Aahh," desahan lelah keluar dari bibir Jagad. Kedua matanya terpejam berusaha
menghilang lelah tubuh yang dirasakannya. Mencoba untuk terlelap namun gagal. Dia
sangat tidak nyaman tidur di atas sofa kecil ini, apalagi kakinya yang harus
menjuntai ke bawah sofa.

Beginilah modal awal untuk meraih cinta. Yaitu menderita. Walau kedua matanya
terpejam, sudut bibir Jagad menyunggingkan senyum. Wajah kesal Jane sejak turun
dari pesawat tadi kembali berputar diingatannya. Dia yakin Jane sudah tahu
rencananya. Anggap saja permainan ini adalah sebuah balasan dari keteledoran Jane.

Yang dia dengar dari Anton serta beberapa orang anak buahnya yang lain, Jane
memang nampak kesal sewaktu mengantarkan berkas yang dia minta. Sehingga
menimbulkan kesalahan yang fatal tersebut. Untung saja sebelum dia berangkat ke
Jambi pagi-pagi sekali, Jagad masih sempat mengganti berkas yang salah tersebut.

Lagi-lagi senyuman di bibir Jagad semakin lebar. Ini bukanlah kali pertama dia
mengenal perempuan. Sangat banyak sekali perempuan silih berganti dalam hidupnya.
Mulai dari yang baik-baik dalam melayani segala kebutuhannya sebagai seorang lelaki
dewasa hingga perempuan yang benar-benar baik dalam menerima segala kekurangannya.

Akan tetapi baru Jane yang membuat senyumannya tidak hilang. Hanya dari wajah
dingin serta sombong yang Jane tampilkan sedikit banyak menarik perhatian Jagad
sejak pertama kali mereka bertemu. Oleh karena itu Jagad memang sengaja meminta
Jane untuk datang ke sini dengan alasan ada berkas yang tertinggal. Tapi semua itu
hanyalah alasan klise, karena Jagad mempunyai keinginan yang lain. Dia ingin
"memiliki" Jane.

Jane mencibir. Manik matanya menyipit, mengintimidasi wajah Jagad senyum-senyum


tanpa dosa. Dia semakin yakin memang Jagad sengaja memperpanjang permainannya.
Buktinya dalam tidur pun lelaki itu terus saja tersenyum. Mungkin mengkhayal yang
tidak-tidak, batin Jane. Dia berbalik menjauh. Niatnya tadi menyuruh Jagad untuk
tidur di dalam kamar dan membiarkannya yang tidur di luar. Tetapi sepertinya Jagad
tidak butuh itu.

"Semua lelaki sama saja" dengus Jane sebelum menarik selimutnya tinggi-tinggi.

***

Pagi-pagi sekali, Jane nampak aneh melihat wajah Jagad yang mengiris sakit.
Tangan kirinya masih setia mengusap-usap bagian punggungnya. Tubuhnya sedikit
membungkuk menahan denyutan yang semakin menjadi hampir di seluruh tulang
punggungnya.

"Kenapa pak?" tanya Jane.

Langkah kakinya berjalan sedikit demi sedikit ke arah Jagad yang masih belum
menggubrisnya. Desahan kesakitan mulai dapat Jane dengar hingga tubuh perempuan itu
tepat berdiri di samping Jagad dengan pandangan menilai.
"Sakit?" Jagad lebih memilih diam. Membiarkan Jane menduga-duganya sendiri.
"Atau bisu? Ditanya diam saja,"

Perlahan tangan Jane terulur. Membantu Jagad untuk duduk di sofa. Dari wajah
yang penuh keringat, Jane bisa menganalisa jika Jagad benar-benar sakit. Bukan
hanya sekedar ingin menipunya saja.
Bibir lelaki itu nampak pucat. Dan terus mendesah ke sakitan.
"Pertahankan saja egonya, mau kelihatan kuat tapi lupa kalau laki-laki juga
manusia biasa" celetuk Jane kasar.

Awalnya Jagad ingin membalas perkataan Jane, namun ketika ia melihat perempuan
itu memilih pergi meninggalkannya Jagad mendesah kesal. Mungkin hanya Jane, sosok
perempuan yang tidak memiliki sisi sensitifnya.

Ada orang yang tengah sakit disekitarnya, akan tetapi Jane lebih memilih pergi.
Sangat keterlaluan.

Tetapi tak lama, Jagad menarik kembali kata-katanya tentang sosok Jane.
Perempuan itu kembali dengan sesuatu ditangannya.

"Miring" perintah Jane.

Jagad tidak merespon hingga menimbulkan tanda tanya besar di kepala Jane.
Sebenarnya laki-laki ini mau dibantu atau tidak? Batinnya berteriak kencang.

"Takut saya pegang-pegang tubuh bapak?" Jagad menggeleng cepat, memiringkan


sedikit tubuhnya mengikuti segala perintah Jane.

Perlahan-lahan, tangan lembut Jane mulai menyusup dibalik kaus hitam lengan
panjang yang Jagad pakai. Rasanya aneh, batinnya. Banyak guratan-guratan kecil
dibagian punggung lelaki itu sampai membuat Jane menduga-duga sendiri.

"Bekas jahitan dipunggung saya," ungkap Jagad lebih dulu.

Dia tahu usapan lembut dari tangan Jane bukan hanya untuk mengobatinya, tetapi
gerakan tangan itu berputar terus diatas bekas jahitan disepanjang punggung Jagad.

"Dijahit?" ulang Jane, hingga seperti pertanyaan untuk Jagad.

Keduanya terdiam dengan jarak yang begitu dekat. Mereka saling mengunci tanpa
ada yang ingin melepaskan.

"Iya, dijahit. Terlihat kejam, tapi jahitan itu menyatukan kulit saya kembali"
jawabnya.

Jagad semakin hilang konsentrasi ketika memandang Jane yang tengah menggigit
bibir tipisnya. Mungkin Jane gugup. Begitu pemikiran Jagad. Namun dia enggan
menyuarakan. Dia sengaja semakin mengikis jarak yang hadir ditengah mereka.

"Kamu cantik Jane"


Bab 6

Bos Gila

Pipi Jane tidak henti-hentinya memerah. Dia sengaja berjalan agak ke belakang.
Menjauh dari tubuh Jagad yang sudah lebih dulu di depannya. Moment tadi pagi sukses
membuat Jane malu besar. Dia pikir Jagad akan menciumnya ketika tubuh laki-laki itu
semakin dekat. Nyatanya tidak!

Sedikit kecewa memang, padahal Jane sudah menutup kedua matanya agar Jagad
memegang kendali dalam pertukaran saliva.

Namun nyatanya Jagad hanya merapikan anak rambut Jane yang terjuntai menutupi
wajah. Membiarkan Jane merasakan hembusan napasnya sampai ia terasa ingin terbang.
Tetapi akhirnya memang diluar pemikiran Jane. Jagad lebih memilih menjauh dari
Jane. Meninggalkan tubuh Jane yang terlihat bodoh dengan kedua mata terpejam.

Ternyata kisah-kisah romantis seperti di sebuah adegan film tidak ada. Buktinya
Jagad menyia-nyiakan kesempatan mencium perempuan sempurna seperti dirinya.

Apa Jane kurang cantik untuk Jagad?

Atau ukuran standarisasi perempuan untuk Jagad sangat berlevel tinggi?

Dasar sombongnya laki-laki itu, batin Jane. Dia yang tidak sempurna mendambakan
perempuan sempurna. Mau cari dimana dia?

Harusnya Jagad bersyukur, perempuan sesempurna Jane berharap dia menciumnya.

"ISHHHH" desis Jane. Dia melihat tampilannya pagi ini. Semua pakaian yang dia
pakai adalah hasil pilihan dari Jagad. Dan ternyata bisa membuatnya semakin cantik.

Berkali-kali ia menarik napas dalam untuk menormalkan kembali emosinya. Sungguh


emosi dibatinnya tidak terkendali bila berhubungan dengan Jagad.

Ketika tiba di perusahaan yang menjadi partner kerjasama mereka. Baik Jane
maupun Jagad sama-sama berusaha menciptakan ruang. Mereka terlihat diam. Mengurangi
interaksi keduanya. Walau mata keduanya tidak dapat dibohongi sedang mencuri-curi
pandang satu sama lain, tetapi tidak ada satu kata yang keluar dari mereka selain
berbicara tentang pekerjaan.

Hingga pertemuan itu usai, perang diam masih terus terjadi.

"Saya ada perlu sebentar, kamu bisa balik ke hotel," perintah Jagad.

Jane membalasnya dengan tatapan malas. Memangnya siapa Jagad berani


mengaturnya? Semua yang ingin Jane lakukan diluar tugas kantor adalah keputusannya.
Tidak ada yang berhak memutuskan, atau menceramahi dirinya.

Dia sudah dewasa dan dia tahu cara menjaga diri.

Jagad boleh menjadi boss di kantor. Tapi Jagad bukan pemimpin dalam hidupnya.

Setelah perdebatan dibatin Jane, mereka sama-sama berpisah. Jagad memilih


berputar arah, meninggalkan Jane sendirian. Dia memang ada perlu sore ini. Dan
rasanya tidak mungkin jika mengajak Jane dalam keperluannya itu. Kesalahpahaman
akan terjadi bila Jane mengikutinya.

Sedangkan Jane masih diam di tempat. Jelas dia tidak mau balik ke hotel. Tapi
dia harus kemana? Kota Jambi luas. Dan dia tidak tahu seluk beluk kota tersebut.

Namun bukan berarti semua itu bisa mengurung dia di kamar. Jane mulai melangkah
ringan menuju tempat yang sejak kemarin ingin dia tuju. Taman indah tersebut.

***

Tidak biasanya senyuman yang muncul dibibir Jane begitu sempurna. Manik matanya
tak henti menatap senang ke arah beberapa anak kecil yang tengah bermain. Ada yang
sibuk dengan permainan taman tersebut seperti ayunan serta perosotan. Namun banyak
juga yang memilih main dengan berkelompok. Memainkan permainan jaman dulu yang
sering Jane lakukan.

Padahal ini hanya pemandangan anak kecil yang tengah bermain. Tetapi rasanya
begitu istimewa. Maklum saja di Jakarta sudah tidak pernah ditemukan hal-hal
sederhana seperti ini. Anak-anak kecil khas ibu kota sudah sibuk dengan dunianya
sendiri. Menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berinteraksi dengan dunia maya.

Tidak adanya komunikasi. Tidak adanya sosialisasi. Tidak adanya olah raga untuk
menyehatkan badan. Semua sudah hilang. Jaman sudah berubah. Anak-anak yang masih
bermain kejar-kejaran selalu di olok-olok oleh teman lainnya. Dibilang mereka MKKB
atau Masa Kecil Kurang Bahagia.

Kadang Jane kesal bila mendengar hal ini. Ingin dia mengajari kepada anak-anak
itu bahwa permainan yang baik itu yang mengeluarkan keringat. Bukan yang duduk diam
tidak bergerak.

"Tante ... " sesosok anak kecil memanggil Jane tak jauh dari sampingnya. Dia
melambai-lambaikan tangan, menunjuk bola yang ternyata menggelinding dibawah kaki
Jane.

Seakan paham apa yang diinginkan bocah itu, Jane mulai mengambil bola tersebut.
Kemudian berjalan mendekat, dengan bola ditangannya.

Tepat di depan anak itu, Jane menekuk kakinya. Mensejajarkan tinggi badannya
dengan anak itu. Dia tersenyum hingga ke matanya ketika menyerahkan bola tersebut.

"Makasih tante"

"Sama-sama sayang. Hati-hati ya" sebelah tangan Jane mengacak kasar rambut
halus milik bocah lelaki itu.

Masih dengan posisinya, dia menikmati tontonan dimana langkah kecil tersebut
kembali menjauh. Bergabung kembali dengan kelompoknya sambil menggiring bola yang
tadi Jane berikan.

Dalam hatinya Jane bertanya-tanya, kapan dia akan menemani buah hatinya sendiri
bermain seperti ini di taman. Tanpa benda-benda elektronik canggih yang sering kali
disodorkan oleh orang tua kepada anaknya.

"Saya baru tahu kamu suka anak-anak juga"

Jane mendongak, menyipitkan matanya untuk memperjelas pandangan kearah samping


kirinya. Bias cahaya matahari membuat pandangannya tidak begitu jelas. Dia yakin
bila tadi orang ini pamit untuk pergi. Tapi mengapa baru sejenak pergi, sudah
kembali lagi.

"Salah kalau saya suka dengan anak-anak?"

Lelaki itu melirik ke arah Jane yang sudah mengambil posisi berdiri di
sampingnya. "Tidak, namun terlalu aneh untuk perempuan dingin sepertimu"

Jane diam. Dia membalas lirikan Jagad dengan tajam. Tak lupa tangannya ia lipat
di dada. Memposisikan dirinya seperti menantang Jagad.

Tetapi anehnya laki-laki itu sangat terlihat santai. Sudut bibirnya tidak
pernah kehilangan senyum yang sering membuat para perempuan bertekuk lutut
dihadapan Jagad. Tapi pastinya perempuan itu bukanlah Jane.

"Tidak selamanya yang dingin itu membekukan" gumam Jane. Dia memilih
meninggalkan Jagad. Lalu mengambil posisi duduk dikursinya tadi.

Di belakangnya Jagad mengikuti Jane. Mendudukan tubuhnya di samping Jane dengan


posisi sedikit menyamping agar bisa lebih fokus menatap wajah dingin Jane.

"Ada yang salah dengan wajah saya?" tanya Jane dengan sebelah alisnya
terangkat.

"Wajahmu biasa saja. Masih banyak perempuan yang memiliki bingkai wajah lebih
cantik darimu," jawab Jagad masih begitu tenang. "Tetapi bukan wajahmu ang
membuatku kagum. Melainkan matamu. Berapa banyak orang yang tahu dibalik tatapan
dingin itu ada kesakitan yang terpancar samar?"

Pelan-pelan Jane menelan air ludahnya. Sial. Dia geram seketika. Bagaimana
Jagad bisa tahu mengenai kesakitannya?

Baru dia, bahkan hanya dia seorang sampai kapanpun yang bisa membaca dirinya
dari pancaran mata. Padahal sebelumnya, seburuk apapun Jane menatap lawan
bicaranya, tidak pernah sekalipun lawan bicaranya paham atas yang dia rasakan.

Tetapi anehnya mengapa Jagad bisa?

Si laki-laki cacat ini yang mampu membacanya dengan baik.

"Kamu tahu, saat orang berkata suara hatilah yang paling jujur ketika
menyampaikan sesuatu. Bagiku itu adalah kesalahan penilaian. Yang benar adalah
pancaran dari mata. Mengapa aku bilang demikian? kita tidak akan munafik di dunia
ini, bagaimana caranya mendengar suara hati? Saya rasa selama hidup tidak akan
pernah ada suara hati. Tapi pancaran mata. Tanpa kau berbicara, kau akan tahu
seperti apa lawan dihadapanmu,"

Jane tertawa hambar. Dia bertepuk tangan riang. Seolah mengejek semua
penjelasan Jagad. "Itu analisamu? Atau taktikmu dalam menggombal untuk para
wanita?"

Kalimat yang bermakna kasar lagi menghiasi bibir tipis itu. Jane masih belum
menghentikan tawanya diantara kalimat menyakitkan yang dia keluarkan.

"Saya anggap itu pujian" sambar Jagad cepat.

Kini tubuhnya sama-sama diposisikan ke arah depan. Menghadap segerombolan anak


kecil yang masih sibuk bermain dengan teman-temannya.

Hari yang mulai gelap tidak menyurutkan semangat mereka. Walau keringat sudah
bercucuran atau suara perut sudah memanggil-manggil namun ada kesenangan sendiri
ketika bisa bermain dengan teman sebaya.

"Jane," panggil Jagad.

"Iya pak"

"Jika waktu bisa diulang kembali. Bagian mana yang ingin kau ulang menjadi
lebih baik"

Seketika wajah Jane gugup. Dia melirik takut ke arah Jagad yang masih terlihat
senang menatap ke arah depan. "Aku?" ucapnya sebagai penunjuk ke dirinya sendiiri.

"Iya"

"A .. aku. Aku ..." sahutnya terbata-bata.

Tepat ketika Jagad menolehkan wajahnya ke arah Jane. Yang dia dapati sebuah air
mata mengalir dipipi perempuan itu. Dengan terburu-buru Jane menghapusnya. Kemudian
menormalkan mimiknya kembali.

"Aku tidak ingin waktu berputar mundur" hanya kalimat itu yang keluar.

Jane mengigit bibirnya. Berpura-pura sibuk membenarkan letak tas diatas


pangkuannya. Ini hanya sebuah peralihan agar Jagad tidak melihat air matanya
kembali.

Tapi yang menjengkelkannya, Jagad sengaja mengangkat wajah Jane dengan


tangannya. Menelusuk ke dalam manik mata yang berbias karena penuhnya air mata
disekitar pelupuk matanya.

"Jika kau tidak ingin mundur ke belakang. Maka ijinkan aku memutarnya ke depan
searah dengan waktu yang sudah kubuat"

Jane mengangguk begitu mudahnya. Dia antara sadar dan tidak untuk mengetahui
arti tersirat yang diucapkan oleh Jagad.

"Kamu cantik Jane" bisik Jagad kembali tepat bersamaan dengan posisi wajahnya
yang mendekat ke arah Jane. Hembusan napas mereka saling terasa satu sama lain.
menggelitik alam bawah sadarnya bahwa mereka menginginkan hal ini.

"Pak ... Pak ..." Jane menepuk bahu kiri Jagad. Lelaki itu merasa kaget. Dengan
tatapan bingung dia membalas tatapan Jane yang tidak kalah bingungnya.

Ternyata semua yang terjadi tadi hanya sebuah delusi yang Jagad rasakan. Dia
dan Jane tidak terjebak dalam suasana seintim itu. Semua itu terbukti dari jarak
duduk mereka yang masih berjauhan.

"Pak" panggil Jane bersamaan dengan kipasan-kipasan tangannya di depan wajah


Jagad. "Mimpi ya? Kok bibirnya manyun-manyun begitu. Kayak ikan kekurangan air"

Double shit!!

Jagad mengumpat dalam hati. Apa kelakuannya terlihat terlalu aneh sampai Jane
bisa berkata demikian?

Andaikan perempuan ini tahu bila dirinyalah yang dijadikan fantasi oleh Jagad,
bisa dipastikan amukannya mengalahkan amukan gajah yang ingin melahirkan.

"Pak. Jangan melamun terus. Takut saya jadinya. Nanti bapak kenapa-kenapa
bagaimana? Saya kan yang repot di sini"

"Saya nggak akan kenapa-napa dan saya juga tidak akan makan orang Jane"

"Tapi bapak suka makan daging kan? Sama saja. Manusia kan daging" tuduh Jane
tanpa ampun.

"Iya saya suka makan daging perempuan yang berlebih disetiap sisinya," jawab
Jagad dengan senyuman menggoda. Dia menaik turunkan alisnya sambil sesekali
mengedip genit ke arah Jane.

"APA?" Jane langsung berdiri tegak dari kursinya. Kemudian menyilangkan kedua
tangan di depan dadanya kembali. Kali ini benar pasti pemikirannya, boss gilanya
ini mau berbuat mesum kepadanya.

Dasar otak lelaki semuanya sama. Pikirannya tidak jauh-jauh dari daging.
Apalagi daging yang bisa dia makan tanpa habis?
"BOSS GILAAAAAAAA!!!" teriaknya sambil kabur terbirit-birit diiringi oleh tawa
keras Jagad. Lelaki itu sampai memegangi perutnya karena merasa sakit dibawa
tertawa begitu kuat.

Ternyata hanya Jagad seorang yang bisa memunculkan banyak sisi lain dari
seorang Jane.Bab 7

Macan Betina

Terkadang menjadi manusia yang ekspresif itu tidak ada salahnya. Apalagi bila
ekspresi-ekspresi lucu yang ditunjukkan. Pastinya menambahkan kebahagiaan sendiri
bagi orang disekitarnya.

Begitu pula dengan yang Jane pikirkan. Dia sudah kembali ke kamar hotel, namun
wajahnya masih merah padam karena malu. Malu memikirkan modus dari Jagad yang mulai
menjurus ke arah "kegenitan" seorang laki-laki.

Tetapi Jane tidak ingin munafik. Dia suka sekali saat Jagad menertawakannya.
Dibalik bingkai kacamata itu, sepasang manik mata milik Jagad begitu nyilaukan.
Ketika laki-laki itu tertawa dengan sempurna, maka pancaran matanya pun berubah
menjadi lebih indah.

Hingga membuat kerja jantung Jane semakin tidak normal. Jane tahu ini salah.
Jane yakin dia hanya terlalu terbawa ke arus yang Jagad ciptakan.

Arus yang semakin menyeretnya ke dalam pusaran hingga Jane lupa segalanya.
Segala sikap dinginnya, segala batasan-batasan yang dia buat dan segala impiannya
tentang pasangan sempurna hilang.

Bahkan yang membuat Jane aneh, tubuhnya tidak melawan untuk berenang menjauhi
arus tersebut. Seakan ada perbedaan pemikiran antara tubuhnya dan otaknya.

"Arrggghhh ... nggak bener nih" geramnya.

Dia berteriak sekuatnya. Untung Jagad belum kembali ke hotel. Sehingga Jane
masih bisa melakukan hal apapun di dalam kamar hotel.

Tubuh kurus Jane berjalan mondar-mandir, memikirkan jalan keluar terbaik dari
kesalahan fatal ini. Dia tidak boleh semakin terbawa perasaan sampai lupa
segalanya. Karena bila sampai semua itu terjadi maka tamatlah dia.

Tepat ketika suara pintu terbuka, Jane berbalik. Memandang Jagad dengan tatapan
dingin. Kemudian memilih pergi masuk ke dalam kamar mandi agar dia tidak berada
dalam ruangan yang sama dengan Jagad.

Ya Tuhan, mereka baru saling mengenal 2 hari. Mengapa selalu saja ada moment
yang membuat dirinya tidak nyaman.

Bukan karena Jagad boss yang jahat. Melainkan Jagad terlalu baik untuk menjadi
seorang atasan.

"Jane. Bersiaplah. Malam ini kita pulang ke Jakarta. Besok saya ada perlu di
sana" teriak Jagad dari luar.

Lelaki itu diam menunggu respon Jane. "Jane," panggilnya lagi.

"Are you okay, Jane?"


Perlahan-lahan pintu kamar mandi itu terbuka. Menampilkan sosok Jane yang
begitu ... mengejutkan untuk Jagad.

"Belum pernah lihat perempuan maskeran, Pak?" Jagad masih terdiam kaget ketika
tubuh Jane melewatinya.

Bagaimana dia tidak kaget, ketika tadi pintu tersebut dibuka wajah hitam yang
tertutup masker menjadi pemandangan pertama. Untung saja Jagad tidak memiliki
penyakit Jantung. Bila tidak, mungkin dirinya sudah ada di rumah sakit sekarang.

Saat Jagad ingin keluar dari kamar, dia melihat sekilas tubuh Jane yang sedang
bersandar santai diatas sofa. Memegang sebuah novel roman picisan dengan wajah
penuh masker.

Walau seribu kali Jane menutupi sifat aslinya dengan kelakuan aneh perempuan
itu, namun anehnya Jagad tetap tahu. Bahkan Jagad ingin sekali menertawakan Jane
saat ini.

"Jane, kau dengarkan apa yang saya bilang tadi. Kita akan pulang malam ini"
pancing Jagad.

Perempuan itu tidak menjawab. Sebelah alisnya terangkat dengan sudut mata
kanannya melirik Jagad tajam.

"Oh, sorry. Saya lupa perempuan yang sedang pakai masker tidak boleh diajak
berbicara. Nanti kalau maskernya pecah mukanya juga ikut pecah" goda Jagad hingga
membuat kedua sudut mata Jane memandangnya marah. Pelototan tajam khas seorang Mary
Jane dia berikan cuma-cuma kepada Jagad.

Dan anehnya, lelaki itu hanya memasang cengiran lebar sampai barisan gigi
putihnya terlihat. Sungguh luar biasa dia menanggapi kemarahan Jane. Hanya Jagad
yang tidak mempan dengan tatapan membunuh itu.

"Ada satu hal lagi Jane yang ingin saya tanyakan." Jagad menyandarkan tubuhnya
pada dinding kamar. Memandang ke arah Jane dari atas sampai ke bawah kemudian
kembali lagi ke atas.

"Apakah perempuan yang sedang memakai masker punya kebiasaan membaca buku
terbalik?" kekehnya geli.

Masker hitam yang sudah mulai mengering di wajah Jane akhirnya retak juga.
Mulut Jane mulai terbuka lebar ingin mengeluarkan segala caci maki untuk Jagad.

Siaga satu, batin Jagad.

"BAPAK !!!! ASDF .. GHJKL ... JKLL ..."

Yang Jagad dengar hanya satu kata pertama. Yaitu bapak. Karena sisanya tidak
penting bagi Jagad. Mau Jane memaki atau memukul dirinya, Jagad tidak peduli.
Karena sesungguhnya kesenangan yang paling mutlak adalah membangunkan sisi lain
dari Jane, si perempuan sombong.

Selamat. Macan betina di depan anda sudah bangun, suara hatinya.

***

Perjalanan udara yang tidak terlalu lama menguntungkan bagi Jane. Dia tidak
perlu berlama-lama duduk manis disamping boss gilanya itu. Tetapi keadaan yang
memaksa dia menjadi perempuan manis kembali ketika Jagad memaksa dirinya untuk
diantara oleh laki-laki itu.

"Ayo" ajaknya.
Kemarin sebelum Jagad pergi ke Jambi dia sempat menitipkan mobilnya pada
petugas bandara. Dan kini Jane harus menurut masuk ke dalam mobil Jagad. Menerima
kebaikan dari laki-laki itu untuk mengantarkannya pulang.

Padahal ini baru jam 10 malam. Dan Jane rasa masih mampu untuk naik taksi dan
pulang ke rumah sendiri.

"Kamu marah sama saya, Jane?" tanya Jagad ketika mereka dalam perjalanan pulang
ke rumah Jane. Kadang sesekali Jagad memperhatikan Jane dari balik kemudinya.

Tubuh kurus Jane yang bersandar lelah pada kursi mobil membuat Jagad mengerti
bila perempuan itu lelah dan tidak ingin berbicara. Maka dia mengunci setiap kata
yang ingin keluar dari bibirnya. Dan membiarkan Jane terlarut sendiri dengan
pemikirannya.

Tetapi lama kelamaan Jane bosan. Jalanan Ibukota yang masih cukup padat di jam
malam seperti ini menyisipkan banyak waktu diantara dirinya dan Jagad. Mau tidak
mau agar rasa bosannya hilang harus terjadi komunikasi diantara keduanya.

Tadi Jagad sudah mencoba berkomunikasi dengan baik. Namun dia tolak mentah-
mentah. Lalu kini haruskah dia yang berkomunikasi dengan Jagad?

Kekesalan tadi sore saja masih bisa dia rasakan. Apalagi tipikal diri Jane
adalah orang yang sangat sulit membuang hal-hal yang menyakitkan. Otaknya masih
begitu baik dalam mengingat kalimat pertanyaan Jagad yang membuatnya malu.

"Jane, saya minta maaf masalah tadi sore," liriknya sekilas sebelum melanjutkan
kembali kalimatnya. "Bukan maksud saya membuatmu malu. Tapi semua yang kamu lakukan
... "

"Cukup Pak. Ini hidup saya. Apapun yang saya lakukan adalah hak saya. Bapak
tidak bisa mengatur atau mengendalikan perbuatan saya. Bapak memang boss saya,
namun diluar kantor kita hanya sebatas kenal," ungkapnya kesal.

Jari-jari palsu milik Jagad nampak kesulitan mengendalikan kemudi. Karena


tangan kirinya ia gunakan untuk memijat kuat urat bagian belakang lehernya yang
menegang kala mendengar semua kalimat kekesalan Jane.

"Kalau gitu saya minta maaf jika kamu merasa saya berlebihan" tutup Jagad.

Laki-laki itu diam sampai mobilnya terparkir di depan rumah bergaya modern
milik Jane. Bahkan tanpa pamit, Jane keluar membanting pintu mobil kuat-kuat
sebelum berlari masuk ke dalam rumah.

Keduanya terlibat emosi masing-masing yang sulit dikendalikan. Rasa ingin


mengalahkan satu sama lain menjadi kesalahan fatal keduanya.

Ada kalanya mengalah bukan menjadi seorang pecundang. Namun memilih mengalah
untuk maju yang lebih jauh merupakan solusi menantang.

Ketika Jane sudah turun dari mobil, Jagad langsung memacu mobilnya cepat.
Meluapkan emosinya pada pedal gas yang diinjak oleh kaki palsunya. Namun belum
sampai keluar dari komplek perumahan Jane. Rem kaki tersebut terinjat kuat. Hingga
ban mobil yang dikendarai Jagad mendecit. Meninggalkan bekas hitam pada jalanan
tersebut.
Napas Jagad memburu keras. Buku-buku tangannya sebelah kiri nampak memutih
akibat cengkraman kuat pada kemudi. Keringat dingin yang meluncur indah di
pelipisnya membuat sebuah tanda tanya besar. Ada apa dengan Jagad?

Ratusan kali Jagad merapal doa dihatinya. Menghalau datangnya kembali mimpi
buruk itu. Tetapi lagi-lagi dia gagal. Kilasan tentang betapa mengerikannya tragedi
yang pernah terjadi di hidupnya.

Menjadikan mimpi buruk yang tidak pernah hilang walau Jagad sudah melakukan
terapi ke luar negeri. Dulu dia tidak begini. Dulu dia adalah Jagad yang sempurna.
Dulu dia memiliki mimpi yang sangat besar untuk dia realisasikan ketika dirinya
telah dewasa. Namun Tuhan nyatanya berkehendak lain. Mimpi itu sirna tergantikan
oleh mimpi buruk yang telah menghilangkan sebelah kaki dan tangan kanannya.

Bahkan beberapa jahitan di area punggungnya masih menyisakan kesakitan yang


tidak akan pernah hilang. Ketidaksempurnaan yang dia rasakan merupakan sebuah
pelajaran besar dalam hidupnya. Bila kesombongan bukanlah segalanya. Dia terlalu
percaya diri bahwa cita-citanya akan begitu mudah tercapai. Dan cintanya akan
menghampiri seiring dengan kesuksesan yang dia dapat.

Namun takdir berteriak keras kepadanya saat ini. Bahwa inilah kehidupan yang
sesungguhnya. Tuhan mengujimu bukan karena tidak sayang padamu. Melainkan karena
dia terlalu cinta padamu sehingga kau seringkali diingat olehNya.

"Shiittt!!" amuk Jagad.

Dia memperhatikan tangan kanannya yang terbentuk dari besi-besi canggih. Dulu
dia enggan memakai tangan ini dan lebih memilih menerima jika tangan dan kaki
kanannya sudah hilang bersama dengan mimpi buruk itu.

Tetapi itu dulu. Ketika dirinya masih terbelenggu oleh kebodohannya sendiri.
Harusnya sejak dulu dia bisa bangkit dari keterpurukan. Harusnya dia bisa menerima
dengan baik takdir masa lalunya.

Dan tangan serta kaki ini menjadi saksi bahwa kesempurnaan seseorang bukan
hanya diukur dari fisik semata. Dia punya jauh yang lebih berharga dari fisik.
Melainkan hati.

***

Jagad berjalan gontai memasuki rumahnya. Ini sudah tengah malam dan orang-orang
pastinya sudah terlelap dalam alam mimpi masing-masing.

Tubuhnya juga sudah meminta untuk segera beristirahat. Apalagi ketika kemarin
dia harus terlelap di atas sofa, rasanya sekujur tubuhnya sakit total. Besok-besok
Jagad akan mengorek informasi lebih detail sebelum melakukan cek in di hotel
berbintang.

Karena tidak selamanya hotel berbintang memberikan fasilitas yang memuaskan.


Sebelum Jagad berjalan menuju kamarnya, dia melihat sosok perempuan masih duduk
disebuah kursi dekat dapur. Tubuhnya yang kecil dengan rambut panjang hitamnya
membuat Jagad tahu siapa sosok itu tanpa perlu dia perhatikan lebih dalam.

Sosok yang membuatnya rindu setengah mati karena harus meninggalkan dia selama
2 hari.

"Mas kembali, sayang" ucap Jagad bersamaan dengan hadiah ciuman di kening
perempuan itu.
Sudut bibirnya terangkat. Walau keadaan ruangan tersebut minim pencahayaan
Jagad masih bisa melihat hiasan senyum menawan dibibir mungil tersebut.

"Aku tahu mas pulang"Bab 8

Senjata Makan Tuan

Sudah lebih dari 2 minggu Jagad disibukkan dengan meeting luar kantor bersama
klien. Walau dia tidak sendirian, tetapi Jagad merasa ada yang kurang. Karena tidak
ada Jane yang menemaninya dalam meeting tersebut.

Selain karena Jane masih anak baru yang belum mengerti tentang tender, Jagad
sendiri yang memintanya untuk lebih fokus mengerjakan pekerjaan sebagai asisten GM.

Bila Jagad merasa ada yang kurang, berbeda sekali dengan Jane. Perempuan itu
nampak begitu santai dan ceria di kantor. Dia tidak merasa terganggu dengan tatapan
orang-orang kepadanya. Jane tetaplah menjadi Jane. Perempuan yang dingin, sombong
dan terkenal arogant.

Hanya dengan Jagad, sosok Jane berubah 180 derajat. Entah dapat pelet dari mana
laki-laki itu, Jane tidak peduli.

Yang Jane pikirkan adalah bekerja. Dan bila pekerjaannya telah sukses, maka
pasangan hidup yang sempurna akan mengikuti setiap langkahnya.

Sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponsel Jane. Bibirnya mengulum senyum
singkat sambil membaca pesan tersebut.

Disampirkannya lengan bolero hitam yang dia pakai kemudian memandang aneh pada
setiap detik yang tergambar disana.

Mengapa bisa?

Begitulah mimik muka Jane bila digambarkan. Sebenarnya perempuan ini sedang
dalam masa date singkat dengan teman laki-laki barunya.

Berkenalan melalui media sosial, membuat keduanya dekat hingga membuat janji
untuk bertemu hari ini.

Tetapi ini barulah pukul 4 sore, dan rasanya tidak mungkin bila dia pamit lebih
dulu. Walau Jagad sedang tidak berada di kantor, rasanya tidak etis saja. Boss
pergi bekerja, anak buah pulang dengan leha-leha.

"Kenapa sama duduk lo?" teriak kembali sosok yang duduk disamping kubikel Jane.
"Ambeien? Nggak bisa diem banget kayak cacing kepanasan"

Kedua bola mata Jane berputar malas. Dia menyabarkan hatinya, bila hal seperti
ini sudah biasa. Anggap saja sedang menyantap camilan di sore hari.

"Si boss suruh lo apa lagi? Dari muka lo, ketahuan ada beban di sana"

Ringisan dari wajah Jane bisa dilihat dari sosok lelaki berbadan tegap
disamping kubikelnya. Jika dari fisiknya, Jane mengakui bila lelaki itu sempurna.
Namun banyak sekali kelemahan yang Jane temukan pada sosok "teman" disampingnya
itu.

Yang pertama, Mekail Moren atau Memo adalah salah satu sosok lelaki "setengah
matang" lagi di kantor ini yang dibenci Jane. Walau tubuhnya oke, tapi itu semua
tidaklah cukup. Karena si Memo ini hobby-nya menggosip yang tidak jelas. Lalu gaya
berpakaiannya pun begitu buruk di mata Jane. Tetapi yang paling fatal sampai sulit
Jane menerima, kaki laki-laki itu bauuuuu!!

Yang kedua, rasanya Jane tidak perlu menjabarkannya terlalu detail. Banyak
sekali kata "NO" untuk si Memo.

"Serem gue Jane kalau tampang lo udah begitu" ucapnya sambil bergaya sok
ketakutan. Padahal dimata Jane gaya Memo seperti gerakan goyang dumang yang
dipopulerkan salah satu penyanyi dangdut.

"Jauh-jauh lo dari gue" usirnya keras.

Tubuh Jane berdiri. Meraih tas tangannya, kemudian berjalan pergi meninggalkan
kursinya. Di sepanjang lorong kubikel semua memandang aneh. Mereka kompak melirik
jam yang terpasang di dinding kantor. Kemudian tanda tanya besar menghampiri mereka
semua, mau kemana "cabe rawit merah" satu ini?

Ketika pintu lift terbuka, Jane masuk. Dia menekan tombol lobby sebagai
tujuannya. Bersamaan dengan tertutupnya kembali pintu lift, Jane mengingat-ingat
semua wajah mereka yang memandangnya rendah. Suatu saat dia akan membuat mata-mata
tersebut tertunduk sopan kepadanya.

Langkah kakinya Jane berjalan terburu-buru melewati beberapa petugas keamanan


di lobby. Dia lantas menuruni beberapa anak tangga di depan pintu utama, kemudian
berjalan pasti menuju sebuah cafe yang tidak begitu jauh dari sini.

Selama perjalanan ke sana, seringnya terdengar bunyi klakson mobil yang


menggoda Jane. Maklum saja ini memasuki jam pulang kantor, sedangkan kantornya
berdiri dipusat CBD atau Central Bisnis District sehingga banyak sekali eksmud yang
menggodanya. Melihat perempuan sexy tengah berjalan di pinggir jalan dengan bolero
merah menyala serta dress hitam yang panjangnya beberapa centi diatas lutut
membangkitan insting di dalam diri pria untuk menggodanya.

Kaki yang begitu menjenjang mirip yang dimiliki model-model kelas dunia nampak
kesusahan karena harus berjalan menggunakan heels 12cm. Belum lagi Jane risih
karena rambutnya menjadi tidak eksis akibat angin yang bertiup sangat kencang.

Khas perempuan sekali yang membenci angin. Selain angin selalu meniupkan
harapan palsu, angin juga menerbangkan rambut-rambut yang sudah ditata sedemikian
rupa.

Langkah kakinya terhenti bersamaan dengan lampu merah untuk pemakai jalan
menyala terang. Beberapa mobil yang melewatinya sengaja membuka kaca jendela
kemudian bersiul kencang dari dalam.

Jane tidak munafik, dia suka mendapatkan perhatian dari lawan jenisnya. Tapi
bukan berarti Jane langsung terlena begitu saja. Dia juga begitu selektif dalam
menyeleksi.

Dari sekian banyak mobil yang membuka kaca jendelanya, tiba-tiba ada satu mobil
yang berhenti tepat didepannya. Padahal lampu lalu lintas masih berwarna hijau
untuk mobil, namun anehnya mobil ini seakan buta dengan keadaan.

Oh God, bukan mobilnya yang buta. Tetapi pengemudinya, desah Jane.

Jane menunggu lamat-lamat siapa sosok yang berada dibalik kemudi mobil
tersebut. Dia mencoba mencermati dengan baik melalui kaca jendelanya yang begitu
gelap. Sampai lampu hijau untuk pejalan kaki berwarna kembali, orang itu masih
belum keluar.
Dia merasa tidak peduli. Mungkin hanya orang iseng yang melakukan hal tidak
berguna tersebut.

Langkah kakinya bersama pejalan kaki lain mulai kembali dilakukan. Mereka
bersama-sama menyebrang jalanan untuk sampai ketujuan masing masing. Begitupun
Jane.

Langkah yang dia ambil sengaja lebar-lebar agar segera sampai pada tempat yang
dijanjikan. Bertemu dengan teman kencan. Bila cocok maka akan terjadilah kencan
satu malam yang sering kali dilakukan oleh orang-orang yang tidak ingin terikat
dengan hubungan panjang.

Pintu kaca yang membatasi cafe itu dengan jalan Jane dorong dengan sepenuh
hati. Keadaan di dalamnya cukup nyaman. Beberapa pasang orang terlihat sedang
menyantap menu makanan yang ditawarkan di sana.

Tubuh Jane diam di tempat, dia tidak bertanya lebih detail tadi. Teman
kencannya itu seperti apa. Karena foto yang menjadi display picture-nya tidak
begitu jelas.

Baru ketika Jane ingin mengetikan pertanyaan kepada lelaki itu, sebuah suara
memanggil namanya. Tepat ketika dia mendongak mencari dari mana suara tersebut
berasal manik matanya terbelenggu kembali dengan manik mata cokelat yang terbingkai
dibalik frame kacamata.

SHIT!! ITU JAGAD, teriak hatinya.

Jane semakin kaku. Bukan karena dia merasa diperhatikan oleh Jagad. Melainkan
karena sosok yang memanggil namanya sedang duduk satu meja dengan Jagad.

Wajah lelaki itu sangat senang mendapati Jane yang sudah datang menghampirinya.
Tetapi anehnya raut wajah Jane tidak suka. Bukan kepada laki-laki itu, tapi kepada
Jagad.

"Hai" Pemuda itu berdiri. Menyalurkan tangannya kearah Jane agar bisa
berkenalan secara resmi. "David, atau yang biasa kamu panggil Dave"

"Jane,"

"Mary Jane," suara beratnya kembali Jane keluarkan. Dia menggunakan intonasi
tenang agar memanipulasi perasaannya saat ini.

Jujur saja dia tidak nyaman. Apalagi sejak berjalan dari pintu masuk sampai ke
sini, mata Jagad tidak henti-hentinya mengunci pandangannya.

"Oh iya, ini sahabatku, Jagad. Kalian satu kantor bukan?"

Jane hanya mengangguk sopan. Memulai sedikit permainan untuk melihat reaksi
Jagad. "Mungkin, aku tidak kenal," jawabnya.

Segelas air mineral yang tengah Jagad minum hampir tersembur ke depan. Dia
melotot tajam, tapi dibalas oleh Jane dengan senyuman yang biasanya dilakukan oleh
Jagad kepadanya.

Sial, seperti senjata makan tuan. Maki Jagad.

Dave, memberikan space di sampingnya untuk Jane. Yang kebetulan berarti Jagad
dan Jane saling pandang dengan posisi seperti ini.
"Wow, bro. Ternyata lo nggak terkenal ya dimata anak buah lo. Buktinya Jane
nggak kenal sama lo" sindir Dave.

Dia terus saja tersenyum memandang cantik wajah Jane dari posisi samping.
Bentuk rahang yang oval dengan dagu yang berbelah cukup indah dimatanya. Belum lagi
bulu mata Jane nampak bergerak-gerak tengah memperhatikan sesuatu di depannya.

"Nggak dikenal bukan berarti nggak dicinta" jawab Jagad penuh kemenangan seraya
menyapu mulutnya dengan sebuah tisu. Kemudian dia melirik Jane yang berbalik
melotot kepadanya.

Batin Jagad bersuara senang. Bila Jane ingin bermain-main dengannya, maka akan
dia terima dengan senang hati.

"Ow..ow.. lo masih percaya diri sekali" teriak Dave.

Tangan Dave mulai mencuri-curi kesempatan ketika melihat jemari Jane diatas
meja. Perlahan tapi pasti ransangan lembut Dave berikan pada kulit putih nan mulus
itu.

Baik Jane maupun Jagad keduanya sama-sama kompak melirik pergerakan yang
dilakukan Dave. Disatu sisi Jane tidak suka dengan lelaki yang terlalu agresif,
tetapi disisi lain dia ingin Jagad tahu bawah dirinya bisa mendapatkan lelaki yang
jauh lebih sempurna dari Jagad.

"Halus"

Tubuh Dave berangsur mendekat. Berbisik dengan napas yang sengaja dihembuskan
pada sisi kanan leher Jane. Menyerang titik-titik sensitif yang biasanya dimiliki
perempuan.

Ketika sebuah ciuman lembut mendarat dibahunya, Jane memancarkan senyum


kemenangan pada Jagad. Menikmati setiap gerakan sensual yang diberikan oleh Dave.

Tetapi anehnya Jagad tidak juga beranjak dari tempatnya. Dia diam. Melihat
dengan jelas gerakan-gerakan modus khas lelaki brengsek yang sering dikeluarkan
oleh sahabatnya itu.

Bahkan tidak ingin munafik, bila Jagad pun sering melakukannya. Membuat lawan
perempuannya jatuh pasrah ke dalam pelukannya.

"Malam ini milik kita, baby" bisik Dave ditelinga Jane. Sebelah tangannya sudah
kurang ajar merangkul tubuh Jane begitu posesif. Bahkan raut wajah penuh gairah
sudah bisa Jagad lihat.

"Bermainlah dengan aman kalian berdua," ucap Jagad. Tubuhnya berdiri tegak.
Merapikan sedikit jasnya kemudian tersenyum ke arah Jane.

Ada rasa menang dalam diri Jane bisa membuat Jagad tidak berguna sedikitpun.
Tetapi dibalik rasa menang tersebut terselip hal yang lebih menyakitkan, yaitu bila
kenyataannya Jagad tidak pernah satu tujuan dengannya.

Sebisa mungkin Jane membalas senyum Jagad, kemudian melirik Dave yang berada di
sampingnya. Lelaki itu mengerling nakal pada Jagad dengan penuh kesenangan.

Sial, teriak Jane. Ternyata hal yang dilakukannya salah.

Baru ketika dia ingin menyuarakan isi hatinya, ada sosok lain yang hadir
diantara mereka. Menghampiri Jagad kemudian merangkul lengan lelaki itu dengan
begitu manja. Balasan yang perempuan itu terima dari Jagad juga tidak kalah indah.
Jagad memeluknya, mencium kening perempuan itu. Kemudian membawanya pergi dari
sana.

"Aku kangen mas Jagad" samar-samar rengekan manja itu terdengar oleh Jane.
Batinnya mengeram tidak suka.

Siapa perempuan itu?Bab 9

Perempuan yang Bapak Cinta

Jane mendorong kuat tubuh besar yang berada diatasnya. Sampai membuat tanda
tanya pada kening lelaki itu. Tubuhnya berguling dan berdecak kesal. Merasa
gairahnya tidak bisa tersalurkan dengan sempurna.

"Kenapa, Jane?"

"Kenapa kau siksa aku?" desahnya frustasi.

Dia menatap Jane yang sudah bangkit lebih dulu. Mengambil kembali seluruh
pakaiannya yang berserakan di lantai. Kemudian berjalan masuk ke dalam kamar mandi
hotel yang mereka sewa.

Teriakan kesal masih mampu didengar oleh Jane dari arah dalam. Dia diam.
Berdiri di depan cermin besar sambil meratapi apa yang baru saja terjadi.

Mengapa dia tidak bisa menerima lelaki itu?

Dia tampan.

Dia kaya.

Dia berpendidikan.

Dia sempurna.

Tapi mengapa tidak bisa?

Tubuhnya menolak semua ransangan yang diberikan oleh Dave. Dan Jane tidak mau
memberikan harapan palsu pada lelaki itu. Lebih baik dihentikan sebelum
pelepasannya usai. Karena Dave akan tahu Jane tidak merasakan apapun dari hasil
pelepasan lelaki itu.

Sebelah tangannya memputar keran air yang berada di wastafel tersebut. Kemudian
mencoba membasuh sisa-sisa peninggalan Dave di area sekitar dada dan lehernya.
Berkali-kali Jane menggosokan warna merah yang tercipta. Bahkan Jane yakin, besok
akan menjadi keunguan dan menyisakan rasa perih disana.

Kembali lagi Jane mengutuk segala emosinya. Membenturkan beberapa kali


kepalanya pada pinggiran wastafel sampai keningnya berdarah.

"Bodoh .. bodoh .. bodoh !!!" maki Jane.

Jane menatap cermin di depannya, memaki semakin keras ketika melihat aliran
darah segar dari pelipisnya turun pada tulang pipinya. Darah itu sebagai bukti
bahwa dalam diri Jane tersimpan keinginan kuat untuk menghapuskan segala impian
anehnya itu. Dan mencoba menerima segalanya.
Tapi sialnya, Jane terlambat. Jagad. Laki-laki itu sudah dimiliki oleh
perempuan lain. Perempuan yang terlihat begitu sempurna namun mau menerima Jagad
yang memiliki kekurangan.

Apakah memang seperti itu cinta yang sesungguhnya? Menerima tanpa alasan
apapun. Namun Jane tetaplah Jane. Dia tidak mampu berbohong kepada hatinya.
Bilamana dia juga mengharapkan lelaki sempurna seperti dalam kisah roman picisan
yang sering dia baca.

"Jane. Aku pergi" teriak Dave dari luar.

Kepala Jane melirik pintu kamar mandi yang tertutup. Lelaki itu pastinya
kecewa. Pasalnya Jane hanya seperti gadis remaja labil yang baru pertama kali
mencicipi seks. Berlagak paling mengerti tapi akan menjerit ketika ditiduri.

"Ya Tuhan" desahnya lelah.

Perlahan-lahan Jane membasuh lukanya kembali sambil menahan isak tangisnya. Dia
yang membentengi diri tapi dia juga yang terluka begitu dalam. Tangannya bergetar
namun tak urung menghentikan gerakannya dipelipis. Bibirnya memucat ketika masa
lalu itu kembali hadir membakar semangat hidup yang baru saja tumbuh.

Membakar habis segalanya sampai Jane merasa terjatuh kembali ke dalam lubang
yang paling dalam dari sebuah keterpurukan.

Baginya melupakan masa kelam itu bukan hanya seberapa jauh dirinya menghindar
untuk pergi jauh. Melainkan seharusnya seberapa kuat Jane berdamai dengan masa
kelam itu sendiri.

***

Jagad melirik meja kerja Jane yang kosong. Dia mendapatkan info dari Anton
bahwa Jane tidak masuk dalam beberapa hari ke depan. Perempuan itu berkata bila ada
keperluan keluarga yang mendadak tanpa dijelaskan olehnya kepada Anton.

Dia yakin bukan urusan keluarga yang menghalangi Jane datang ke kantor.
Melainkan pemikiran perempuan itu sendiri.

Sejak perpisahan kemarin sore di cafe tersebut, Jagad tahu benar ada yang Jane
pikirkan. Dibalik wajah dingin itu, dia bisa melihat luka yang begitu besar. Walau
sebisa mungkin si pemilik wajah menutupinya, tetapi Jagad bisa merasakan luka itu
turut menghampirinya.

Aneh memang. Padahal mereka baru mengenal dalam kurun waktu cukup singkat. Tapi
semua itu tidak menutup kemungkinan. Bukankah banyak yang berkata bila jatuh cinta
itu berawal dari mata lalu turun ke hati.

Bila kedua matamu merasakan getaran berbeda pada lawan jenis. Bisa dipastikan
hatimu pun merasakannya.

Tetapi Jagad tetaplah Jagad. Semua yang akan dia lakukan perlu pemikiran yang
matang. Dia tidak mungkin gegabah dan menerobos masuk begitu saja. Padahal si
pemilik pintu hati tersebut belum mengijinkannya masuk.

Masih perlu waktu, begitulah suara hatinya. Dia tinggal menunggu waktu yang
tepat sambil tidak melepaskan pengaruh perasaannya pada Jane.

"Bro .. "
Jagad melirik wajah Anton yang terlihat dibalik pintu kerja ruangannya. Lelaki
itu tersenyum kemudian langsung menyelonong masuk tanpa diijinkan lebih dulu oleh
Jagad.

Berteman cukup lama antara Jagad dan Anton membuat keduanya tidak perlu
sungkan-sungkan kembali. Mereka mencoba saling memahami satu sama lain sebagai
seorang sahabat. Dan Anton tahu bila Jagad memiliki rasa kepada Jane.

"Suram banget muka lo" kekehnya geli.

Matanya menyipit menatap wajah Jagad yang tersenyum ke arahnya. Dia tahu itu
senyuman palsu yang dibuat oleh Jagad sebagai pertahanan agar orang lain tidak ada
yang tahu seperti apa dalam hati yang dia rasakan.

"Kayak Ayu tingting lo, senyum palsu. Berapa lama sih kita kenal? Nggak perlu
lah lo pamerin senyum palsu lo di depan gue. Nggak guna!"

Kini Jagad meringis mendengar celotehan Anton di pagi hari. Dia salah tingkah
sambil menggaruk belakang lehernya. "Sorry"

"Sorry .. sorry. Lo kenapa? Kayak cowok ABG yang baru aja ambil keperawanan
pacarnya" dengusnya kesal. Kedua tangannya bertumpu diatas meja dan memfokuskan
diri untuk menatap Jagad. "Ada apa sih bro? Curhat sama AA sini"

Suara tawa Jagad yang dia tahan akhirnya pecah juga. Anton yang selalu terlihat
beribawa di depan seluruh karyawan kantor menjadi hancur hanya dihadapannya.
Sahabatnya itu tidak pernah menutupi apapun dari Jagad. Mengenal sejak masa sekolah
sampai merintis karir bersama bukan hal baru lagi bagi Jagad untuk melihat kegilaan
Anton.

"Kalau nggak ada mamah, Aa juga bisa kok. Mas Jagad"

"Njirr. Ngeri gue sama lo, cong"

"Cong ... cong begini juga lo demen kan mainin batang gue"

"FITNAH LO!!!" bantah Jagad diiringi oleh gelak tawa Anton. Keduanya tampak
mengikis masalah yang berada dihidup mereka. Saling memberikan kebahagiaan untuk
membangkitkan semangat kembali.

"Butuh bahu? Ada bahu Aa nih" tepuknya dibahu yang dilapisi oleh kemeja
berwarna navy.

Jagad mendengus geli. Dasar Anton, kelakuan gilanya tidak pernah hilang
sedikitpun.

"Atau lo butuh mesin waktu?" suaranya lagi membuat Jagad melihat dirinya lekat.
"Siapa tahu lo mau mengulang waktu pada zaman megalitikum. Dimana hidup selalu
berpindah-pindah alias nomaden."

"Tapi sayang bro, gue bukan doraemon yang punya mesin waktu. Gue ini tuxedo
bertopeng."

Mimik wajah Jagad berubah menjadi jijik. Dia bergidik takut melihat gerakan
melambai versi Anton. Tangan sahabatnya itu yang kekar bergaya layaknya perempuan-
perempuan histeris kala melihat laki-laki tampan disekitarnya.

"Pantes Jay suka sama lo. Sebelas dua belas lo sama dia"
"Nara, Gad. Bukan Jay" ucapnya memperbaiki.

"Yang ngomong siapa?"

"Lo"

"Jay itu siapa?"

"Adik lo" tunjuk Anton.

"Salah nggak gue panggil dia Jay?"

Anton menggeleng cepat. "Nggak. Namanya juga Jememi Ainara" gumamnya perlahan.

Jagad memperhatikan Anton dengan sebelah alisnya terangkat. Sejak jaman sekolah
dulu, Jagad tahu sahabatnya ini suka mencuri pandang terhadap adik kesayangannya
itu. Tapi sampai detik ini tidak ada pergerakan yang Anton ambil untuk meminta
restu kepadanya.

"Mencintai dalam ucapan itu bulshit bro" tekannya kuat-kuat.

Anton tertunduk dihadapannya selama sekian detik. Tapi raut wajahnya berubah
ketika dia menatap balik Jagad. Ada senyuman mengejek di sana yang membuat Jagad
waspada.

"Bercerminlah kawan. Kaupun sama. Kita terbelenggu dalam cinta yang hanya
terpaku pada ucapan. Aku dengan dia sama dengan kau dengan dirinya" tekan Anton
kuat-kuat pada kata terakhir. "Kau boleh saja bangkit setelah kehilangan kaki dan
tanganmu. Karena hatimu tidak pernah hancur. Tetapi ketika kehancuran menghampiri
hatimu, kau akan dibuat lumpuh disekujur tubuhmu" sambungnya seperti sebuah
peringatan.

Jagad menelan ludahnya berkali-kali. Rasa sesak menghampiri tenggorokannya.


Anton benar. Selama ini hanya kaki dan tangannya yang hancur, tapi rasa
keterpurukannya cukup besar berdampak dalam hidupnya. Lalu bila yang dikatakan
Anton terjadi, apakah dia bisa berdiri tegak kembali?

"Kejar dia, sob. Raih tangannya. Yakinkan dia bila dirimu bisa mengisi hari-
harinya," ucap Anton meyakinkan. "Gue emang bangsat. Gue belum pernah bertindak
seperti yang gue bilang. Dan gue pengen lo yang maju lebih dulu. Mungkin terlihat
gue mengorbankan lo, tapi bila semua itu berhasil lo juga yang seneng bro. Bukan
gue. Lo dan dia yang merasakan" sambung Anton.

Tubuhnya yang tegang kini telah bersandar santai pada punggung kursi yang dia
duduki. Kemudian dia melipat kedua tangannya. Memandang penuh pengharapan dari diri
Jagad.

"Setidaknya ketika lo udah berjuang, lo bakalan ijinkan gue melakukan hal yang
sama untuk adik kesayangan lo. Dan lo bisa tahu gimana beratnya arti sebuah
perjuangan,"

Jagad mencibir kalimat terakhir yang Anton katakan. Tapi dia tidak munafik. Apa
yang dikatakan Anton benar. Dia harus berjuang. Apa harus dalam hidupnya merasakan
hancur berkali-kali? Mungkin sakit yang dia rasakan atas kehancuran kaki dan
tangannya tidak seberapa, tapi bagaimana kalau hatinya hancur? Harapan satu-satunya
yang dia miliki.

"Oke. Gue ikuti saran lo, bro!"


Anton tersenyum bangga. Ada kalanya dia berguna juga bagi Jagad. Memberikan
saran terbaik ketika sahabatnya itu membutuhkannya.

"Ini baru sahabat gue"


Tubuh mereka sama-sama berdiri. Anton memilih berputar mengelilingi meja,
kemudian memeluk tubuh Jagad dengan erat sambil menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu.

"Good job bro"

***

Mobil sedan hitam milik Jagad sudah terparkir sempurna di depan sebuah rumah
bergaya sederhana yang nampak sepi. Dirinya mencoba turun dari mobil sembari
melepaskan kaca mata yang membingkai wajahnya.

Jagad memijat pelan pangkal hidungnya, kemudian kembali mengamati rumah itu.
Benar-benar sepi, batin Jagad. Namun dia tetap coba melangkah, menekan tanda bell
di sana sambil menunggu respon sang pemilik rumah.

Tetapi ternyata tak lama, sosok yang dicari-cari Jagad keluar. Memandang Jagad
tidak suka.

Rambut Jane yang panjang diikat asal olehnya. Menyisakan beberapa anak rambut
yang menjuntai disisi kiri dan kanan wajahnya. Gaya pakaian Jane juga terbilang
santai. Hanya sebuah hot pants serta tshirt polos berwarna putih yang tidak mampu
menutupi bra hitamnya.

"Ada apa?" tanya Jane ketika dia sudah berdiri berhadapan dengan Jagad dengan
dibatas pintu pagar besi.

"Apa ini caramu menerima kunjungan atasanmu ke rumah?"

"Ini rumah saya, dan saya berhak berlaku apapun"

Jagad meneliti setiap sisi wajah Jane. Masih sama. Tidak ada perubahan. Datar
dan dingin. Tidak tersentuh namun bukan berarti tidak bisa dicintai.

"Saya ke sini hanya ..."

"Jika bapak ingin membicarakan perempuan yang bapak cinta, saya tidak ada
waktu,"Bab 10

Bibir Sialanmu

"Jika bapak ingin membicarakan perempuan yang bapak cinta, saya tidak ada
waktu,"

Jagad membuka mulutnya, dengan pandangan tidak percaya ke arah Jane. Dirinya
ingin menyuarakan banyak pertanyaan. Salah satunya, apakah Jane salah makan
kemarin? Sampai-sampai dia bisa membaca pikiran Jagad.

Jelas sekali tujuan Jagad datang adalah ingin membahas perasaan yang tumbuh di
hatinya. Ingin sebisa mungkin membuat Jane yakin bila dia mampu menjadi laki-laki
sempurna untuk mengimbanginya. Tapi nyatanya sebelum dia menyuarakan semua itu,
Jagad sudah merasa tertolak.

"Benarkan apa yang saya katakan? Bapak mau membicarakan dia?"

Setelah tadi dibuat kaget dengan ucapan maha dasyat dari Jane, kini Jagad
kembali dibuat tidak mengerti dengan arah pikiran dari perempuan dihadapannya.

Dia?

Dia siapa?

Kedua alisnya terangkat tinggi-tinggi, menantang Jane untuk melanjutkan


kalimatnya. Karena dia merasa ada kesalahpahaman disini. Dimana pikirannya dan Jane
tidak satu tujuan.

Dia ingin membahas tentang Jane, namun Jane entah membahas siapa.

"Apalagi?" tantang perempuan itu sambil mengangkat dagunya tinggi-tinggi.

"Buka pintu ini" perintah Jagad cukup tenang. Dia tidak bisa berbicara sambil
berdiri seperti ini. Di depan umum dan bisa saja menjadi pembicaraan semua orang.

Ini adalah hal pribadi yang sifatnya privacy, kenapa seolah-olah Jane merasa
kisah asmaranya boleh dikonsumsi oleh umum.

Tanpa wajah minat Jane menuruti perintah Jagad. Dia membuka pintu pagar itu dan
membiarkan Jagad masuk mengikutinya hingga ke teras rumah.

Lelaki itu juga tidak memaksa masuk ke dalam rumah Jane karena dia merasa Jane
tengah sendirian saat ini. Jagad mengingatkan berkali-kali pada dirinya sendiri
bila dia bukan lelaki baik-baik. Dia bisa kapan saja menerkam buruan. Apalagi jika
faktor lingkungan mendukung. Semua bisa terjadi.

Tapi Jagad tidak mau itu. Bukannya dia sok menjadi lelaki baik. Namun mana ada
di dunia ini lelaki yang tega menyakiti perempuan yang dia cintai.

Jika masih menyakiti namun berkata mencintai, itu bulshit namanya.

"Jane, sepertinya ada kesalahpahaman diantara kita. Maksud saya, apa yang saya
pikirkan dan apa yang kamu pikirkan berbeda" ungkap Jagad perlahan.

Keduanya duduk di kursi teras dengan dibatas meja kecil diantara keduanya.
Semilir angin terus berhembus meniupkan kesegaran ditengah gejolak hati yang tidak
terkendali.

"Berbeda?" ulang Jane pada dirinya sendiri.

Jagad diam-diam melirik Jane disampingnya. Bahu perempuan itu nampak meluruh.
Tidak biasanya Jane seperti sekarang ini. Biasanya dia selalu berdiri tegak
layaknya sebuah karang yang menghadang terjangan ombak di lautan. Tapi sore ini
bukan lagi sosok Jane yang sama.

Laki-laki seperti Jagad tahu perempuan adalah mahkluk yang penuh dengan emosi.
Mereka mengendalikan hidup dengan perasaan tanpa logika sedikitpun. Jadi dia
berusaha untuk mengerti bila sikap Jane yang suka berubah-rubah layaknya seekor
bunglon.

"Tahu dari mana jika pikiran kita berbeda?" tanya Jane perlahan. Dia membalas
tatapan mata Jagad yang begitu teduh menenangkan. Manik mata cokelat kesukaan Jane
itu masih setia di sana. Menatapnya dengan penuh pancaran kebahagiaan.

"Saya tidak menyalahkan bila dirimu memandang saya seperti laki-laki lainnya.
Karena saya tahu pasti sedikit banyak saya memiliki sikap yang begitu dibenci
perempuan. Tapi laki-laki juga memiliki hati dan perasaan, Jane. Walau logika lebih
banyak mereka pergunakan. Namun bukan tidak mungkin perasaan bisa berperan di sana.
Dan saya tahu kamu memiliki pemikiran berbeda dengan saya"

Saling pandang cukup lama membuat seluruh tubuh Jane mencair. Dia buru-buru
membuang arah pandangannya. Kemudian menghirup oksigen dengan rakusnya.

Kali ini dia tidak mampu menutupi debaran jantungnya yang seakan bisa terdengar
oleh Jagad. Tanpa sadar perlahan-lahan tangan kanannya merambat naik ke jantungnya
dan menikmati setiap irama detakan yang tercipta.

Mengapa rasa ini bisa tumbuh begitu saja?

Kemana perginya tembok tinggi yang susah payah dia bangun untuk membentengi
dirinya?

"Jane, dengarkan saya. Saya bukan ahli dalam memanjat Jane. Saya juga tidak
memiliki tangga untuk bergerak naik. Saya hanya menunggu Jane. Menunggu dengan
sabar dibalik pintu besi yang kau ciptakan diantara tembok tersebut," ungkapnya.

Ketika Jagad yang membuang pandangannya ke arah depan, kini Jane yang
memperhatikannya begitu dalam. Bentuk rahang lelaki itu yang begitu kokoh serta
beberapa bulu halus yang tumbuh disana. Lalu yang paling Jane sukai adalah manik
mata Jagad dengan kelopak matanya begitu indah.

"Sejak awal melihatmu rasa ini mulai ada. Diam-diam menyusup layaknya pencuri.
Sampai tiba saatnya rasa ini begitu merajai diri. Bukan lagi untuk sekedar
mengagumi tapi lebih dari itu. Rasa ini begitu kuat hingga dorongan untuk
melawannya saja tidak ada. Namun sejak awal saya berusaha mengunci diri rapat-rapat
dan meyakinkan hati bila memang belum saatnya memiliki. Karena mana berani saya
bicara cinta padamu. Saya terlihat sebagai seorang lelaki pengecut. Tapi saya tidak
ingin mengacaukan kondisi yang mulai kita bangun. Apalagi jika karena ungkapan
tersebut malah membuatmu pergi"

Jagad hampir tidak menyangka jika sejak tadi Jane sedang menatapnya begitu
lembut. Sebuah ekspresi lagi yang belum pernah Jagad lihat darinya. Tapi sialnya
dia suka ekspresi Jane seperti ini.

Benar kata orang bila memiliki pujaan hati yang keras kepala seperti Jane
jangan pernah dilepaskan. Tapi cobalah bujuk dia untuk kau jadikan istri. Karena
pastinya dirimu akan menjadi lelaki paling beruntung setelah menikahi perempuan
seperti itu.

Keras kepala yang dimilikinya akan sama keras kepalanya ketika dia mencintaimu.
Hidupmu tidak akan terduga karena banyaknya perasaan-perasaan baru yang muncul
ketika berinteraksi dengannya.

"Be with me, Jane" pintanya.

Jane mengerjabkan kedua matanya berkali-kali, mencoba mengerti kalimat yang


baru saja Jagad ucapkan. Namun tak lama tawa konyol yang keluar dari bibir tipis
itu menjawab permohonan Jagad. Jagad sadar diri tidak mudah menaklukan Jane. Tapi
di sanalah letak tantangannya. Perempuan yang baik tidak akan mudah menerima begitu
saja lelaki. Dia akan menyeleksi apakah pantas dengannya atau tidak.

Sama seperti yang Jane lakukan.

"Why?"

"Sudah berapa banyak wanita yang jatuh diatas ranjangmu setelah mendengar
kalimat sakti itu? atau sudah berapa banyak wanita yang bergelayut manja pada
lenganmu dengan iming-iming cinta palsu?" tembak Jane tepat sasaran.

Jagad membeo. Lidahnya seakan keram untuk membalas kata-kata dari Jane.

"Kenapa? Apa pertanyaanku salah?"

"Kenapa kau tanya seperti itu, huh?"

"Karena semua lelaki sama saja di dunia ini. Entah apa yang mereka cari?
Kepuasan di ranjang atau hanya sekedar penghias koleksinya?" ucapnya membuat Jagad
tersudut.

Benar-benar macan betina yang sulit ditaklukan, batin Jagad.

"Jangan diam saja, bapak Jagad yang terhormat. Benarkan apa kata saya?"

Tanpa pikir panjang tubuh Jagad berdiri. Melangkah menjauh dari Jane untuk
menenangkan pikirannya. Perempuan memang paling pintar menyudutkan laki-laki. Tanpa
memberikan mereka ijin untuk berpikir dengan tenang sebentar saja.

"JANGAN PERGI !!!" teriaknya. "LANGKAHMU MENUNJUKKAN SIKAP PENGECUTMU DALAM


MENGHADAPI SEGALA HAL. TERMASUK MENGHADAPI WANITA !!!" serang Jane kembali.

Langkah kaki Jagad berbalik. Ada kilat marah di sana. Cara dia menatap Jane
tidak sama lagi. Kali ini perempuan itu sudah melewati batas kesopanan. Berkata
seperti itu tanpa berpikir terlebih dahulu.

"APA?" tantang Jane. Walau suaranya sudah tidak sekuat tadi tapi cara dia
menunjukkan marahnya masih sama.

"Kau bukan anak kecil lagi Jane. Yang harus berteriak-teriak dalam
menyelesaikan masalah"

"Siapa bilang saya anak kecil? Bapak yang terlalu kekanak-kanakan. Setelah
mengacak-acak semuanya pergi begitu saja" akunya.

"Pergi?" ulang Jagad. "Saya masih di sini Jane. Jika itu yang kamu takutkan
saya tidak akan pergi sebelum kata maaf keluar dari bibir sialanmu itu"

Jane melangkah mendekat. Mengikis jarak antara dirinya dan Jagad. Dia harus
sedikit mendongak keatas bila ingin menatap manik mata cokelat itu.

Walau tampangnya cukup kesal setelah Jane membangunkan amarahnya, tapi ada
kesenangan sendiri yang Jane rasakan.

"Cara anda berpikir tentang saya salah, pak. Sampai kapanpun saya tidak akan
pernah meminta maaf kepada anda. Baik saya yang salah atau Tuhan yang salah telah
mempertemukan saya dengan anda. Dan sialnya sampai sekarang saya masih melihat
wajah anda" wajah yang membuat saya terikat setengah mati, sambung Jane dalam
hatinya.

"Baik. Saya akan pergi jika itu keinginanmu, Jane"

Wajah Jane nampak kaget mendengar kalimat terakhir Jagad. Tetapi tidak sampai
sana saja rasa kaget yang dia rasakan. Melainkan ada sentuhan baru dengan begitu
tiba-tiba menyerang bibirnya. Sebuah kecupan singkat yang Jagad berikan untuk Jane
sebelum lelaki itu berbalik pergi.
Meninggalkan rasa manis yang begitu dalam pada bibirnya. Tanpa sadar ibu
jarinya mengusap lembut sisa-sisa rasa bibir Jagad diatas bibirnya. Kemudian
menatap kejauhan dimana mobil Jagad telah berlalu bersamaan dengan hatinya yang
terbawa pergi oleh lelaki itu.

Tubuhnya merosot pada lantai teras yang begitu dingin. Matanya memandang kosong
tepat dimana tadi mobil Jagad terparkir. Hatinya memaki kencang pada otaknya yang
terlalu bodoh sehingga membuat sosok Jagad pergi dari hidupnya.

"Jangan pergi" rintihnya lemah.

Kilasan masa lalu dimana ayahnya begitu saja pergi meninggalkan dirinya serta
ibunya kembali muncul. Dan dia tidak suka harus ditinggal kembali. Jane butuh sosok
itu untuk memperkuat langkah kakinya.

Menghapus masa lalu dengan menyonsong masa depan bersama. Tapi Jagad sudah
lebih dulu memilih pergi.

Lelaki itu pergi bersamaan dengan kesakitan yang dia tinggal.

***

Tubuh ringkih itu masih bersandar pada pagar rumah besar. Dia merapatkan jaket
tipis yang tidak mampu menutupi tubuhnya.

Sejak awal tiba tadi rumah ini seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ribuan
kali Jane coba memanggil, namun ribuan kali pula angin menertawakan kekosongan itu.

Ini sudah tepat tengah malam, bahkan angin dingin sudah membekukan tubuh Jane.
Tapi sosok yang Jane tunggu belum juga datang. Lelaki yang tadi sore meninggalkan
dirinya dalam kesakitan.

Dan sekarang ini Jane datang ingin meminta obat penyembuh luka tersebut. Bahkan
Jane kini berharap lebih, setelah diobati dia ingin mendapatkan sebuah permen manis
dari laki-laki itu.

Anggap saja cinta membuatmu gila. Tapi di sanalah letak dari makna cinta itu
sendiri.

Hembusan angin yang semakin kuat membuat sekujur anggota tubuhnya mengigil.
Sudah tidak terhitung berapa kali bersin yang Jane lakukan. Tubuhnya tidak sekuat
egonya.

Saat dia merasa tidak ada harapan lagi untuk bertemu sosok itu, sorot lampu
mobil menyilaukan pandangannya. Bibir Jane langsung tersenyum senang melihat mobil
sedan yang begitu familiar baginya. Tetapi karena terlalu senang, dia tidak
memperhatikan bila yang mengendarai mobil tersebut bukan sosok yang dia tunggu.

"Jane .."Bab 11

Obat Kuat Spesial

"Dia baru saja pergi Jane. Tadi saya mengantarkannya ke bandara dari rumah
orang tuanya"

"Memangnya pergi kemana dia?"

"Dia harus melakukan kontrol di Jerman mengenai kesehatannya"


"Bukannya dia baru datang dari Jerman ketika saya pertama kali masuk?"

"Dia bilang tubuhnya kembali sakit"

"Sakit?"

"Iya, rasanya seperti hancur seperti dulu ketika dia kehilangan tangan dan
kakinya"

Percakapan tersebut yang Jane lakukan bersama Anton terus saja terulang di
pikirannya. Ini sudah hari kedua Jagad tidak masuk kantor sejak hari dimana mereka
bertengkar cukup keras.

Jane tidak tahu hubungan seperti apa yang terjadi antara dirinya dan Jagad.
Yang jelas kali ini dia tidak munafik, bahwa dia juga merasakan perasaan yang sama.
Bahkan lebih kepada Jagad. Tetapi semuanya telah sia-sia. Jagad telah pergi, entah
kapan kembali.

Dan hari ini posisinya akan kembali diisi oleh wakil GM yang cukup kompeten
didalam mengelola bisnis. Usianya sudah cukup tua, sehingga semua karyawan sangat
menghormatinya.

Dia bersikap sangat bossy, menyuruh Jane melakukan ini dan itu tanpa
mengarahkan seperti apa yang seharusnya dilakukan.

Berbeda sekali dengan yang Jagad praktekan kepadanya. Tidak ada ucapan terima
kasih, tidak ada pandangan teduh, tidak ada tanggapan baik. Wakil GM benar-benar
tidak tersentuh.

Karyawan lain menghormatinya karena memang usianya. Bukan karena sikap baik dan
ramahnya.

"Merasa kehilangan?" tanya Andri tiba-tiba.

Tubuhnya tanpa permisi sudah lebih dulu duduk di kursi depan meja Jane. Sebelah
kakinya bertumpu pada kaki satunya, dengan kedua tangan terlipat didada.

Wajah angkuh setelah penolakan kala itu samar-samar sudah menghilang. Dan kini
kembali Andri yang menyebalkan yang duduk dihadapannya.

"Maksudmu?"

"Jangan pura-pura bodoh Jane. Kali ini ekspresi kehilanganmu mampu kubaca
dengan jelas"

Jane memutar bola matanya malas. Rayuan apalagi yang akan dikeluarkan oleh
Andri siang ini kepadanya?

Tubuhnya berganti posisi. Menumpukan kedua tangannya diatas meja kemudian


memandang Jane lekat. Mengunci setiap sisi pergerakan Jane hingga perempuan itu
tersesak.

"Kau sedang jatuh cinta, Jane. Tolong kau akui itu"

***

Jane mengetuk-ketuk jam tangan di pergelangannya. Sudah hampir setengah jam


taksi online yang dia pesan tidak kunjung hadir. Dia harus pulang dengan segera
setelah mendapatkan telepon dari ibunya di rumah.
Dia yakin telah terjadi sesuatu terhadap ibunya, tetapi perempuan paruh baya
itu masih bisa berkata bila Jane tidak perlu terburu-buru kembali ke rumah.

Tetap saja sebagai seorang anak, Jane tidak bisa membohongi perasaan
khawatirnya.

Masih dengan posisi yang berdiri tegak di lobby, sebuah mobil berhenti
dihadapannya. Kedua matanya memicing menatap siapa gerangan si pengemudi itu,
ternyata seorang perempuan yang turun dari kursi penumpang mobil itu. Senyuman
manis yang sekilas dia berikan kepada Jane menambah manis wajah perempuan itu.

Senyuman yang sangat mirip dengan Jagad. Ditambah wajahnya yang cantik begitu
familiar bagi Jane.

Sampai perempuan itu melewatinya, berjalan dengan anggun, Jane masih terus
memperhatikannya. Sempurna. Begitulah pemikiran Jane.

Tapi rasanya dia pernah bertemu dengan perempuan itu. Namun Jane lupa dimana?
Terlalu banyak orang yang dia temui akhir-akhir ini. Apalagi wakil GM yang
menggantikan Jagad sementara selalu membawanya dalam melakukan meeting dengan
orang-orang dari perusahaan lain.

Dan yang selalu Jane temui adalah sosok yang selalu sempurna.

Karena tidak tahu siapa sosok perempuan itu, tubuhnya kembali berbalik ke
depan. Dan tanpa sadar dia membentur sesuatu di depannya. Bahu seorang laki-laki.

RALAT!! Bahu Pak Anton. Kepada divisi HRD. Sahabat baik dari Jagad. Lelaki yang
pergi begitu saja bersama hatinya.

"Kau sudah mau pulang, Jane?" tegur Anton ketika melihat wajah Jane meringis.

"I .. ya pak. Ibu saya telepon, ada masalah di rumah. Jadi saya buru-buru"

"Baiklah. Hati-hati"

Lelaki itu kembali berlalu meninggalkan Jane yang masih dibuat bingung dengan
kehadiran sosok Anton bersamaan dengan perempuan tadi. Namun yang membuatnya kesal
Anton tidak memberitahunya mengenai Jagad.

Jane mencoba tidak peduli. Itu bukan urusannya, karena baginya perusahaan ini
hanya untuk bekerja bukan mengorek-korek informasi semua karyawan yang ada. Jane
sadar menjadi bahan gosip itu tidaklah mengenakkan.

***

Tubuh Jane membeku ketika dia melihat siapa yang ada di dalam rumahnya. Duduk
berdekatan dengan ibunya sambil memasang ekspresi wajah tidak terbaca.

Kedua tangan Jane terkepal kuat. Wajah itu masih sama. Waktu belum mengubah
bentuk apapun di wajah lelaki itu.

18 tahun yang lalu dia pergi. Dan sekarang dia kembali tanpa merasakan dosa
sedikitpun. Apa bagi laki-laki itu perasaan dia dan ibunya hanya sebatas kertas
kosong yang ditinggal begitu saja. Dan kembali setelah sekian lama, masih dengan
kekosongan yang sama.

Jane tidak sebodoh itu. Dia tidak mau diperlakukan seenaknya oleh lelaki itu.
Dengan langkah pasti Jane mendekati ibunya. Menarik lengan ibunya untuk berdiri.
Kemudian dia berbalik menantang penuh kebencian kepada laki-laki itu.

Semua hal yang Jane lakukan menarik perhatian lelaki itu. Dia menatap Jane
penuh kerinduan, namun ditepis Jane begitu saja.

Enak saja dia berkata rindu dengan tatapan mengiba seperti itu. Apa kabarnya
dia selama 18 tahun pergi? Memangnya mudah membangun kembali semangat setelah 18
tahun lamanya?

"MAU APA KAU?" bentak Jane.

Ibu Jane yang berada dibalik tubuh putrinya itu meringis sedih dengan penolakan
yang Jane berikan. Tangan tuanya mengusap lembut punggung Jane sampai dia membalas
tatapan ibunya dengan penuh ketidaksukaan.

"Bukan begini bu caranya. Kita tidak butuh dia!!"

"Tapi ibu harap kau tidak kasar kepadanya, Jane"

"Ya Tuhan bu, kenapa harus membelanya terus? Apa cinta membuat ibu buta? Dia
menyakiti kita bu. Bukan setahun dua tahun, tapi 18 tahun. Dia pergi. Dia pergi
meninggalkan kita. Mencari sosok yang sempurna untuknya. Apa ibu tidak sakit hati
diperlakukan seperti itu?"

"Jane, tidak semuanya yang sakit harus dibalas dengan kesakitan juga"

"IBU !!!!" teriak Jane.

Mendengar teriakan Jane, tubuh itu berdiri. Tangannya terangkat ke udara ingin
menghalau kemarahan Jane, namun dilarang oleh perempuan yang dulu pernah menjadi
istrinya.

"Luka itu masih ada bu, jangan ibu buka lagi. Jangan ibu tambahkan lagi. Sekuat
apapun ibu, kita butuh yang namanya kesembuhan bu" ucap Jane melemah.

"Ibu tahu Jane, ibu mengerti. Tapi dia datang ke sini hanya bertamu. Tidak
lebih"

"Tapi ada jugakalanya kita tidak perlu menerima tamu yang hanya menyakiti kita.
Aku nggak mau ibu terluka"

"Ibu baik-baik saja Jane. Ibu yakin sayang. Kita bukan ingin kembali ke masa
lalu, namun kita mencoba menggandeng masa lalu untuk memperbaiki masa depan"

"MAAF BU, JANE TIDAK BISA SEPERTI YANG IBU KATAKAN!!!" ucapnya kembali dengan
emosi.

Dengan tajam dia memandang sosok lelaki dihadapannya. Dia menarik napas kuat-
kuat sebelum menghujani lelaki itu dengan kata-kata kasarnya.

"ANDA TAHU PINTU KELUAR? ATAU PERLU SAYA SERET KE SANA?"

"Jane," panggil ibunya.

Dia melirik sekilas sebelum kembali fokus kepada lelaki itu. "Kami tidak butuh
masa lalu, karena sejatinya masa lalu kami telah hilang sejak 18 tahun yang lalu.
Rasanya saya tidak perlu ingatkan kembali. Apapun niat anda datang ke sini,
sebaiknya anda pergi sebelum saya bertindak lebih anarkis dari ini"
"Jane,"

Lelaki itu memandang lekat Jane, sebelum memilih pergi berlalu. Dia sadar sudah
tidak ada tempat di sini. Tindakan bodoh yang sekarang dia lakukan mampu memancing
kemarahan dari putri kecilnya dulu.

Tubuh tuanya telah berlalu bersamaan dengan desahan lelah yang keluar dari
bibir Jane. Dalam hati dia menenangkan bahwa dia masih terlalu rapuh untuk
menghadapi masa kelam tersebut. Namun disisi lain, masih tersimpan rasa benci cukup
dalam dihatinya.

"Jangan pernah membenci masa lalu, Jane. Karena tidak ada yang tahu jika masa
depan bisa saja datang karena masa lalu"

***

Pikirannya terbang melayang mengingat bagaimana terakhir dia melihat sosok


perempuan itu. Bibirnya menampilkan senyum terbaik kala sedikit lagi dia akan
kembali. Memandang wajah sinis itu berada disekitarnya. Sudah hampir seminggu dia
di negeri orang. Melakukan apapun penyembuhan agar tubuhnya benar-benar kembali
normal.

Walau dia sendiri pun tidak yakin akan hal itu, namun sebagai manusia yang
perlu dia lakukan hanya berusaha dan berdoa. Dan selebihnya biarkan Tuhan yang
mengambil keputusan.

Setelah terakhir pergi dari rumah Jane, Jagad merasakan sakit punggungnya yang
begitu menyiksa. Buru-buru dia memanggil dokter pribadinya untuk mengecek apakah
ada kesalahan kembali di tubuhnya. Namun anehnya dokter tersebut menyarankan Jagad
untuk kembali ke Jerman. Karena disanalah penanganan tubuhnya dulu terjadi. Sampai-
sampai tubuh itu hampir 90% kembali seperti semula.

Karena itu Jagad menurutinya. Dengan diantarkan Anton, dia pergi sesuai dengan
saran dokter tersebut. Pergi Jerman dalam beberapa hari rasanya tidak ada salahnya
juga. Semua itu dilakukan untuk penyembuhan dirinya dan juga hatinya.

Jagad sengaja memang memberikan jarak sesuai dengan keinginan Jane. Dan dia
ingin segera tahu siapa yang tidak kuat menahan jarak tersebut.

Tetapi seperti terkena senjata makan tuan, Jagad lah yang lebih dulu menyerah.
Dia meminta Anton untuk memata-matai Jane. Kegiatan seperti apa yang dilakukan
olehnya di kantor ketika Jagad tidak ada. Namun nasib baik memang belum berdiri
dipihaknya, Anton sengaja tidak menginfokan banyak kepadanya. Dia dengan seenaknya
berkata pada Jagad jika merindukan Jane segera pulang. Karena sesungguhnya obat
yang Jagad butuh bukan di Jerman tetapi di hati Jane.

Dan bodohnya Jagad membenarkan. Obatnya memang Jane. Perempuan dingin yang
terlalu sulit dimiliki.

Karena itu hari ini, tepat setelah 5 hari Jagad berada di Jerman dia akan
pulang kembali. Menemui perempuan yang bisa memberikan obat kuat untuk kondisi
tubuhnya.

Semua persiapan sudah dia bereskan. Memang tidak banyak barang yang dia bawa.
Hanya beberapa barang khusus yang dititip oleh adik kesayangannya, serta untuk
perempuan yang spesial dihatinya.

Sejak keberangkatannya dari Jerman, dirinya semakin tidak sabar untuk membuat
Jane berada di dalam pelukannya. Kali ini egonya berteriak akan membuat perempuan
itu bungkam. Dan menuruti apa yang dia perintahkan.

Tepat setelah beberapa jam perjalanan jauh, akhirnya dia tiba di bandara.
Menyeret koper kecilnya yang berisikan barang-barang titipan. Wajah lelahnya tidak
bisa ditutupi, namun senyuman memukau itu masih terbit dibibirnya.

"Cerah banget lo, di Jerman matahari terbitnya malam hari kah?" sindir Anton.
Dia kembali bertugas menjemput Jagad di bandara. Dari wajah yang Anton lihat, dia
tahu harus mengantar Jagad kemana lagi setelah ini.

"Nggak perlu ngomong bro, gue tahu lo butuh apa sekarang" rangkulnya pada bahu
Jagad.

Keduanya berjalan berdua keluar dari bandara menuju mobil yang dibawa Anton.
Jalanan Ibukota yang ramai menjadi teman mereka. Lalu lalang kendaraan masih
terpantau padat. Belum lagi bunyi suara klakson yang berdering keras meramaikan
aksi malam ini.

Untung saja langit turut ramai dengan hiasan bintang-bintang. Bila tidak, bisa
dipastikan emosi sang pengendara akan semakin terlihat.

Tepat sampai di depan rumah Jane, Jagad tidak bergerak dari posisinya. Dia
hanya menatap lekat rumah itu dari balik kaca mobil.

"Katanya mau selesaikan yang belum sempat dimulai"

Jagad tersenyum sambil menundukkan kepala. Kemana perginya semangatnya tadi.


Mengapa ketika sudah tinggal sedikit lagi langkahnya malah menjadi sirna.

"Gue ngerti banget perasaan lo, Gad. Lo cinta dia. Dan dia punya perasaan yang
sama kayak lo. Kenapa lo berdua repot-repot saling menghindar? Apa salahnya dengan
perasaan yang tumbuh diantara kalian. Toh lo jones, dia jones. Kalian jones
kuadrat. Jangan sampai nanti anak-anak lo berubah jadi akar" kekehnya geli.

"Sinting omongan lo!!"

Anton tertawa lebar. Kemudian mencuri pandang ke arah rumah tersebut, "Gue
lihat semua aman. "Main" di rumah calon mertua nggak ada salahnya. Lagi juga gue
ingetin ye, seorang bayi yang lapar aja selalu menangis untuk mencuri perhatian.
Mengapa lo berdua
malah pilih diem-dieman?"

SKAKMAT !!! Anton benar, buat apa dia dan Jane saling diam? Mereka bukanlah
anak remaja lagi yang baru-baru merasakan cinta. Harusnya cinta yang mereka
tunjukan tidak perlu dengan cara malu-malu seperti ini.

"Sadarkan lo? Otak lo kenapa nggak sekalian dibedah kemarin di Jerman?"

"Kampret!! Gue cabut. Thanks buat masukannya bro"

"Itu gunanya adik ipar" senyum Anton sambil menaik turunkan kedua alisnya.

Sialan bedebah satu ini, ternyata semua kebaikannya harus dibayar mahal, batin
Jagad.Bab 12

Cacat Tapi Cinta

Kedua insan manusia yang berbeda jenis itu masih berselimut dengan kesunyian.
Mereka nampak kaku dengan suasana canggung ini. Namun diantara keduanya tidak ada
yang mau memulai berbicara terlebih dahulu.

Setelah tadi Jagad bergelut dengan segala perasaannya ketika ingin menemui
Jane, tetapi setelah sosok yang dia rindukan berada didekatnya Jagad turut
membungkam. Walau banyak pertanyaan diotaknya, menyuarakan segala rasa yang ada.
Namun sialnya bibirnya seakan kaku.

Apakah udara dingin Jerman masih menempel di bibirnya? Atau ada hal lain yang
membuat dia menjadi seperti banci kalengan seperti ini.

Gerakan tangan Jagad di atas sebuah meja kecil berhasil menarik perhatian Jane.
Perempuan itu nampak berkerut memperhatikan jemari panjang itu menari-nari di sana.
Kemudian pandangannya terangkat, menatap wajah Jagad dari samping.

Garis hitam menghiasi bawah matanya. Bulu-bulu halus disepanjang rahangnya


semakin lebat. Terakhir kali mereka bertemu rasanya tampilan Jagad tidak seburuk
ini.
Apa sebenarnya yang mengganggu Jagad? Teriak batin Jane.

Dia juga tidak suka dengan tampilan Jagad seperti ini. Seakan-akan pertemuan
terakhir mereka beberapa hari lalu menyiksa Jagad begitu dalam. Padahal Jane juga
ikut tersiksa.

"Saya rasa bapak bisa pulang," ucapnya tenang.

"Kamu ...."

"Bukan begitu pak. Susah memang jika orang lain sudah memiliki pemikiran buruk
terhadap saya. Padahal niat saya baik. Supaya bapak bisa istirahat" ucapnya panjang
lebar mencoba agar Jagad tidak salah menyimpulkan kalimatnya.

"Kamu khawatirkan saya?" tengok Jagad pada wajah kaku Jane. Sudut bibirnya
sedikit terangkat. Ternyata kalimat tanyanya tepat sasaran. Jane memang
mengkhawatirkan kesehatannya.

Perempuan itu nampak salah tingkah. Dia mengubah posisi duduknya, kemudian
berpura-pura merapikan helaian rambutnya.

Di tempat duduk yang sama beberapa hari lalu mereka bertengkar hebat, apakah
kali ini harus mengulang hal yang sama? Rasanya tidak perlu. Batin Jagad.

Jika tidak ada yang mau mengalah, maka selamanya kondisi hubungannya seperti
ini. Dan Jagad yakin sedikit banyak akan menganggu jalannya pekerjaan.

Walau dari banyak orang beranggapan bisa memisahkan masalah percintaan dengan
masalah pekerjaan, namun tetap saja sadar tidak sadar sedikit banyak akan menganggu
konsentrasi. Karena sejatinya kita hanya manusia biasanya. Tidak memiliki kekuatan
super untuk memisahkan kedua masalah yang sering kali tercampur aduk dalam hidup.

"Jane, saya mau minta maaf"

"Jane," panggil Jagad kembali.

"Saya dengar pak, tidak perlu diulang panggil nama saya. Memang saya
Jalangkung, yang dipanggil namanya tiga kali bisa datang" sarkasnya kembali.

Jagad memukul bibirnya kesal. Salah lagi dia. Di depan Jane sebisa mungkin
jangan melakukan kesalahan apapun. Kata yang tadi dia ucapkan saja terlihat benar,
namun tetap saja salah. Ada saja kalimat komentar dari Jane yang mensahkan bahwa
yang dia ucapkan salah.

Memang di dunia ini perempuan selalu benar. Dan selalu laki-laki yang meminta
maaf atas ketidakbenaran yang terjadi.

"Kalaupun kamu Jalang-kung, tetap aku mau kamu" bisik Jagad pelan. Dia terlihat
mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Membiarkan Jane yang semakin kesal karena
tidak juga dipedulikan kembali oleh Jagad.

Dasar perempuan. Pertama dibujuk menolak setengah mati. Tetapi bila tidak
dibujuk maka akan merajuk sampai mati.

Karena merasa tidak diperdulikan, Jane memilih pergi meninggalkan Jagad. Masuk
ke dalam rumahnya dengan segenap rasa kesal yang mengendap di hatinya. Anehnya
ketika melewati Jagad, laki-laki itu masih nampak tidak peduli. Dia sibuk dengan
ponselnya, memasang wajah tegang dibarengi bersamaan kedua alisnya terangkat.

Jane yang melihat Jagad tidak berpengaruh sedikitpun semakin meradang. Laki-
laki dewasa yang sedang berhubungan dengan ponselnya pasti memiliki dunianya
sendiri. Bahkan perempuan cantik seperti Jane lewat di depannya, bagaikan hembusan
angin lalu saja.

Di dalam rumahnya, Jane buru-buru menegak segelas air putih. Menetralkan


kekesalan yang semakin menjadi. Tetapi sialnya rasa kesal ini tidak kunjung reda.
Dia mendesah pasrah. Menompangkan kedua tangannya diatas meja dapur, kemudian
menunduk dalam.

Usianya sudah tidak muda lagi. Tetapi mengapa tingkahnya mirip ABG yang sedang
merajuk karena pacarnya tidak peduli.

PACAR? STOP!! JAGAD BUKAN PACARNYA.

Lalu untuk apa dia merajuk? Ingin lelaki itu mengejarnya? Bersujud-sujud
dikakinya. Tidak akan. Model lelaki seperti Jagad juga memiliki rasa ego yang
tinggi. Jadi jika Jane berharap dia disembah layaknya Tuhan oleh laki-laki itu,
mati saja dia lebih baik.

Ayahnya saja sosok laki-laki yang lebih sempurna dari Jagad rela pergi
meninggalkan ibunya yang memiliki hati selembut sutera. Dan memilih mengejar
perempuan dengan kesempurnaan fisik di luar sana.

OH, Tuhan. Kenapa harus ayahnya tempat dia membandingkan Jagad? Jelas keduanya
berbeda. Fisik dan sikap. Mereka memang berjenis kelamin sama. Tetapi bukan berarti
mereka sama. Jane saja tidak suka disamakan dengan perempuan lain.

Emosi Jane dan pikirannya terus saja bergejolak. Saling menyerang sehingga dia
merasa tubuhnya lemah tidak berdaya. Bebannya semakin dia tumpukkan pada kedua
tangannya karena semakin lama kakinya terasa tak bertulang.

"Jangan pergi lagi, Jane" bisik suara serak dari arah belakang tubuhnya.
Perlahan-lahan sebelah tangan besi menyelinap dibagian perutnya. Jane dapat
mengenali siapa pemiliknya. Tangan besi itu yang terasa dingin terus memeluk
tubuhnya erat dari belakang. Sedangkan sebelah tangannya lagi menyampirkan helaian
rambut Jane ke satu sisi, kemudian dia menenggelamkan wajahnya pada satu sisi
pundak Jane.

Jane menggigit bibir bawahnya. Campur aduk perasaannya hingga membuat dia ingin
menangis tiba-tiba. Bersama Jagad dia bisa merasakan segala emosi di dalam dirinya
secara bersamaan. Tetapi yang membuatnya kesal, otaknya terus saja menolak keras
karena laki-laki itu bukan sosok yang sempurna.

"Please, forgive me" bisiknya bersamaan dengan hembusan hangat napas Jagad pada
area sekitar leher Jane. Menyerang titik-titik sensitif perempuan itu.

Dia memberikan ciuman di sana. Menghirup aroma Jane dalam-dalam dan


menyimpannya di dalam paru-parunya.

Jane memejamkan kedua matanya, menikmati setiap sentuhan yang Jagad berikan.
Hatinya bersorak senang karena telah menang dari pikirannya sendiri. Perlahan-lahan
tangan Jane mengusap lembut tangan besi itu. Meletakkan sebelah tangannya di sana.

Pikirannya semakin menjerit untuk melarang dalam menerima kehadiran sosok Jagad
dalam hidupnya. Tapi hatinya pun tidak mau kalah untuk menyerang kembali. Jane tahu
apa yang dia inginkan saat ini. Dia ingin Jagad dengan segala ketidaksempurnaannya.

Jagad membalik tubuh Jane. Dan tersenyum kala melihat wajah cantik itu
tertunduk dengan kedua mata terpejam. Tetapi ketika mata Jane terbuka, sebutir
cairan bening lolos dari sana. Membuat Jagad bertanya dalam hati, ada apa dengan
Jane? Apa Jagad menyakiti hati perempuan ini?

"Apa yang membuatmu menangis?" tanya Jagad. Mereka berdua saling bertatapan
dalam. Mentransfer perasaan masing-masing ke satu sama lain.

"Aku benci laki-laki cacat sepertimu" aku Jane.

Jagad tertawa menanggapi jawaban dari Jane. Dia mengecup singkat kedua mata
Jane yang menangis. Kemudian memasang wajah penuh kebahagiaan.

"Aku tahu itu" ucapnya tepat didepan bibir Jane. "Kebencianmu, memberikan arti
lain padaku" lanjutnya sebelum bibirnya mendarat tepat di atas bibir Jane.

Bersamaan dengan itu, mata Jane menutup kembali. Menikmati manisnya rasa yang
Jagad berikan kepadanya. Bibirnya menari-nari diatas bibir Jane. Mengajak diri Jane
untuk terlarut juga di dalamnya.

Refleks Jane merangkul leher laki-laki itu. Meremas rambut hitam Jagad dengan
kedua tangannya. Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan, mencari posisi yang
ternyaman sembari mencuri-curi napas disela-sela kegiatan panas mereka.

Sampai akhirnya Jagad melepaskan bibir Jane yang nampak bengkak. Tersenyum
lebar sambil Ibu jari tangan kirinya mengulas bibir Jane lembut. "Be mine, Jane"

Jane tidak menjawab, dia terus memperhatikan wajah Jagad. Dia baru sadar
ternyata banyak hal yang baru dia ketahui ketika melihat wajah Jagad dari jarak
sedekat ini. Dibalik bingkai kacamatanya, ada terselip luka disana. Tepatnya di
atas alis hitam bagian kanannya. Seperti luka jahitan yang cukup dalam.

Perlahan Jane melepaskan kacamata itu, lalu meletakkanya diatas meja. Hey,
sejak kapan dia duduk diatas meja makan?

"Aku yang mendudukanmu di sana" kekeh Jagad melihat reaksi kaget dari wajah
Jane.

Tanpa membalas kata-kata Jagad, Jane kembali terhanyut dalam kesenangannya. Dia
mengusap lembut bagian bekas jahitan yang ada di atas alis hitam Jagad. "Sejak
kapan ini ada di sini?"
Bola mata Jagad mengikuti arah sentuhan Jane. Dia nampak berpikir sejenak.
"18 .. "

"18 bulan yang lalu?" potong Jane cepat. Padahal Jagad belum selesai dengan
kalimatnya.

"18 tahun yang lalu"

Mulut Jane yang terbuka lebar, ditutup oleh tangan kiri Jagad dengan cepat.
"Aku takut ada serangga masuk ke dalam mulut manismu itu"

Tanggapan wajah malas dari Jane semakin membuat Jagad tertawa lebar. Dia
merapatkan tubuhnya semakin dalam diantara kedua kaki Jane. Dengan kedua tangannya
merangkul hangat tubuh kurus Jane.

"Lalu sejak kapan kondisimu seperti ini?" tanya Jane pelan. Dia takut
pertanyaannya menyakiti Jagad. Mungkin saja Jagad setengah mati menghapus ingatan
masa lalunya itu. Sama seperti yang dia lakukan.

Jagad mengangkat tangan kanannya. Memperlihatkannya kepada Jane. Semuanya


terbuat dari besi. Jari-jarinya, telapaknya, bahkan lengan kanannya terbuat dari
besi. "Bagaimana cara kerja ini?" tanya Jane sambil mengusap lembut telapak tangan
kanan Jagad.

"Kau ingin lihat?"

Jane mengangguk yakin. Dia sungguh penasaran bagaimana cara kerja tangan palsu
serta kaki palsu milik Jagad. Sampai laki-laki ini bisa melakukan segala
aktifitasnya tanpa terganggu sedikitpun.

"Aku akan memperlihatkannya untukmu"

Tubuh Jagad perlahan mundur. Memberikan jarak untuknya membuka jaket hitam yang
dia pakai. Menyisakan tshirt berwarna abu-abu sebagai lapisan dalamnya. Dia melirik
mimik wajah Jane sejenak, masih tersimpan rasa penasaran di sana.

Maklum saja, Jane memang belum pernah melihat tubuh Jagad tanpa pakaian. Jadi
dia hanya bisa menduga-duga bagaimana cara kerja dari besi-besi yang membantu Jagad
itu.

"Kuharap kau tidak kecewa setelah melihatnya" ucap Jagad kembali.

"Kecewa? Untuk apa? aku sudah tahu kau cacat!"

Jagad kembali mengulum senyum. Sungguh ucapan yang keluar dari bibir Jane tidak
pernah ada manis-manisnya. Selalu saja menyakitkan.

"Rasanya aku harus membiasakan untuk kebal dengan segala ucapanmu"

"Ayolah cepat" kesal Jane.

Tangan kiri Jagad mulai menarik ke atas tshirt abu-abu yang dia pakai, kemudian
meleparkannya ke atas tangan Jane yang berada di hadapannya.

"Sekarang kau bisa menikmati keindahan tubuhku" goda Jagad.


Kedua mata Jane langsung membesar. "Ya Tuhan ..." ucapnya begitu pedih. Dia
tahu ini bukan perkara mudah menerima laki-laki dihadapannya dengan kondisi yang
sangat tidak sempurna seperti ini.Bab 13
Bibitku tidak cacat, Jane

Masih dengan keterkejutannya, Jane mencoba memberanikan diri untuk menatap


bagian tubuh Jagad yang cacat. Tangan kanannya itu sudah tidak berbentuk lagi. Dan
digantikan dengan tangan palsu yang dibuat dari kokohnya besi.

Mulai dari pangkal bahunya hingga ke jemari Jagad, semuanya sudah tidak asli
ciptaan Tuhan. Lalu pada bagian dada kanannya terdapat bekas banyak luka dan
jahitan disana. Kerutan-kerutan kulit itu seperti saksi bila sesuatu yang begitu
menyakitkan pernah terjadi padanya.

"Apakah masih sakit?" tanya Jane.

Sebelah tangannya masih menggantung di udara. Takut bila menyentuh bagian tubuh
kanan Jagad, laki-laki itu akan merasakan kesakitan.

"Tidak. Jika hanya untuk menggendongmu, aku masih kuat dengan sebelah tangan
kiri" godanya kembali.

Jagad sengaja menarik tangan Jane, lalu meletakkan diatas dada kanannya. "Di
sini pernah ada luka. Cukup dalam. Tapi itu dulu. Dan sekarang aku sudah sehat
Jane. Jangan melihatku seperti aku sedang kesakitan"

"Lalu tangan ini?" Jemari lentik Jane menyentuh tangan palsu Jagad yang
terpasang ditubuhnya.

"Dulu aku menggunakan tangan lain untuk membantu. Tapi ternyata tidak senyaman
yang sekarang ini. Tangan ini sudah membantuku hampir 5 tahun lamanya. Otot-otot
yang tersisa dari tangan kananku dulu dihubungkan dengan tangan palsu ini. Sehingga
aku jarang sekali membukanya. Kecuali dengan bantuan dokter"

"Apakah sakit?" tanya Jane kembali.

"Tidak sakit jika hanya kau sentuh" kekeh Jagad. Dia puas menikmati wajah Jane
dengan ekspresi berbeda kali ini. Memandang tubuhnya penuh takjub, kadang sesekali
bibir Jane terbuka karena merasa kagum atas apa yang dia sentuh.

"Kau menikmatinya?" tanya Jagad ketika Jane masih sibuk meneliti bagian kanan
tubuh Jagad.

"Hm.. " Sahutnya singkat. "Ternyata sampai ke bagian perutmu" sambungnya lagi
ketika melihat ada bekas jahitan juga di sana.

"Di sepanjang bagian tubuhku bagian kanan. Kecuali ... " Jagad menggantung
kata-katanya sambil menunggu reaksi Jane. Dan benar saja, Jane ikut diam. Membalas
tatapan Jagad penuh rasa penasaran.

"Kecuali?" ulang Jane.

"Kau akan tahu nanti" jawabnya cepat sembari menunduk dan mendekatkan wajahnya
kearah Jane.

Perempuan itu berpikir Jagad akan menciumnya kembali. Memberikan rasa manis
pada bibirnya lagi. Tapi ternyata laki-laki itu menggodanya. Membuat kedua pipinya
merona dengan cara yang kurang ajar.

"Kau bisa merona juga" kekehnya geli. Dia berlalu menjauh dari tempat Jane
menuju lemari es. Kemudian meneliti kondisi di dalamnya.
Sedangkan Jane yang dibuat merona hanya bisa memaki kesal pada dirinya. Mengapa
dia mudah sekali terjatuh dalam perangkap Jagad. Laki-laki ini sungguh pintar, dan
seharusnya Jane berhati-hati.

Jane memperhatikan tubuh Jagad yang membelakanginya. Di area sekitar


punggungnya ternyata juga banyak bekas jahitan disepanjang-panjang tulang
belakangnya. Punggung itu dulu pernah dia sentuh dengan tangannya ketika mereka
berada di Jambi saat Jagad mengeluh kesakitan.

Dan sekarang Jane bisa melihatnya dengan jelas.

"Kau tidak punya makanan? Aku lapar, Jane" Jagad melirik Jane yang masih duduk
diatas meja menatap dirinya tajam. Dia tahu pikiran Jane sedang tidak berada di
sini, karena tatapan tajamnya terlihat kosong.

"Jane ... " panggilnya kembali.

Jane tersadar, dan mulai bergerak. Menggeser tubuh Jagad untuk melihat isi
lemari es nya. Ternyata memang benar, dia belum membeli makanan apapun. Bahkan di
dalam lemari es nya hanya berada air mineral saja.

"Maaf, aku belum belanja" suaranya.

"Dasar pemalas" gumam Jagad.

"Jaga kata-katamu, Bapak Jagad. Kau tidak bisa menilai seorang perempuan dari
isi lemari esnya" Balas Jane.

"Lalu dari mana aku bisa menilai perempuan? Jelas-jelas jika dari sikap, kau
sudah dieliminasi dari kaum hawa itu,"

Tepat diakhir kalimatnya, Jagad menerima sebuah pukulan kuat. Dia hanya
tersenyum sambil meringis. Memegang kepalanya yang dipukul Jane dengan telapak
tangan. "Tidak sopan"

"Terima kasih, itu nama tengahku" balas Jane. Dia mulai sibuk membuka laci
lemari es bagian atas dan hanya menemukan sekotak es krim di sana.

"Jangan bilang kau mau menawariku es krim?" sebelah alis Jagad terangkat tinggi
menilai senyuman terpaksa dari Jane.

"Lalu apa?" desah perempuan itu. "Mana kutahu kau mau datang"

"Tapi kau tahukan aku pulang hari ini" goda Jagad kembali.

"Tidak ... !!!" teriak Jane yang disambut tawa besar khas Jagad. Jane benar-
benar tidak suka mendengar tawa besar itu. Rasanya setiap tawa yang Jagad keluarkan
mengejek dirinya.

"Kita makan di luar kalau begitu"

"Di Jam sebelas malam?"

"Why not? Kau takut gemuk?" tanya Jagad dengan nada mencemooh. Dia menghentikan
acara memakai bajunya, menatap Jane lekat yang masih saja diam. "Oh, Jane. Aku saja
tidak yakin kau bisa gemuk"

"Jelas aku bisa"


"Iya, iya. Kau bisa gemuk di saat ada anakku di dalam tubuhmu" balas Jagad
santai.

Ketika dia berbalik kembali menatap Jane, wajah itu kembali menunjukkan sisi
murkanya. Apakah ada hal yang salah lagi kali ini?

"Apa lagi?"

"Aku tidak akan mau mengandung anak dari laki-laki cacat sepertimu" sinisnya
tajam sambil berlalu masuk ke dalam kamar.

"Terima kasih. Itu pujian yang paling indah" suara Jagad sedikit berteriak.
Kemudian menunduk dalam. Melihat bentuk tangan dan kakinya.

Apa yang salah dari tubuhnya? Dia sempurna sebelumnya. Andai kecelakaan itu
tidak pernah terjadi, maka dia akan sempuna dan mendampingi Jane.

"Setidaknya bibitku tidak cacat, Jane" gumamnya lemah.

***

Jane masih mendiamkan Jagad ketika tiba disebuah warung nasi goreng pinggir
jalan dekat komplek perumahan Jane. Keduanya tadi bisa sampai di sini menggunakan
sepeda milik Jane. Dengan Jagad yang mengendarainya. Dan Jane hanya duduk diam di
belakang sambil memeluk erat pinggang laki-laki itu.

Romantis? Tidak bagi Jane. Dia masih kesal. Dan dia benci kata-kata Jagad tadi
di rumahnya. Percaya diri sekali laki-laki cacat dihadapannya ini. Berharap Jane
mau mengandung anaknya. Dia tidak akan sudi sampai kapanpun.

"Ayolah, makan dulu"

"Hei"

"Jane,"

Jane masih meradang. Dia menatap Jagad begitu dingin sebelum melihat ke
sekeliling dimana banyak juga pembeli yang datang ke sini.

Tak lama mereka menunggu, sepiring penuh nasi goreng di hidangkan di meja
tempatnya. Sedangkan Jane sendiri membeli sepiring kwetiau goreng. Itu juga Jagad
yang memaksa untuk memesan. Laki-laki itu berkata jika Jane tidak mau nanti dia
yang akan memakannya.

"Ayolah, dimakan"

"Tidak"

"Ah, iya. Perempuan sepertimu mana suka makan di pinggir jalan. Lain kali akan
kutraktir makan di restaurant berbintang"

"Aku perempuan baik-baik, bukan perempuan jalang" desis Jane kesal.

Jagad menanggapinya dengan santai. Dia terus menyendokkan nasi goreng kambing
itu dengan lahap. Sambil sesekali melirik Jane yang duduk di depannya.

"Lalu? Padahal perempuan jalang saja suka makan di pinggir jalan" sambung
Jagad.
Kali ini Jane merasa kalah. Kurang ajar memang kata-kata Jagad. Selalu bisa
membuatnya tertunduk dan mengaku kalah.

"Lelaki kejam"

"Perempuan berbisa" balas Jagad tak mau kalah. Namun setelahnya dia tertawa
melihat reaksi berlebihan dari Jane. "Aku tidak sanggup membayangkan seperti apa
anak kita nanti. Kalau ibunya saja galaknya setengah mati"

"Awwww ... " Jagad meringis sambil mengusap keningnya. Tadi Jane dengan kejam
memukul kepala Jagad menggunakan sendok besi yang disediakan untuk perempuan itu.

"Ops, aku pikir kepalamu dari besi juga" Sialan mulut Jane. Sungguh tidak
pernah disaring lebih dulu kata yang keluar dari mulutnya itu.

Tanpa rasa bersalah, Jane memasang senyum yang paling indah sambil berkali-kali
mengerjab cantik. Dia memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih anggun. Sehingga
semakin membuat Jagad kesal.

Jane yakin sedikit banyak kata-katanya cukup menyakiti hati Jagad. Namun dia
tidak peduli. Lagi juga tadi Jagad berkata sama menyakitkannya kepada Jane.

"Kau tahu Jane, apapun yang kau katakan tentangku tidak akan mengubah apapun.
Karena aku tahu kau sedang berpura-pura. Menutupi segala hal tentang dirimu dengan
cara terlihat bodoh olehku"

SKAKMAT kembali !! Jane kalah telak dengan kalimat yang Jagad ucapkan. Dia
masih tersenyum manis hingga membuat lengkungan di kedua matanya. Bahkan bingkai
kacamata itu tidak bisa menghalangi keindahan dari senyuman kedua mata Jagad.

Jagad meminum teh hangat yang disajikan untuknya, sambil terus melirik Jane
yang membatu di tempat.

Dia berdeham sejenak. Mengusap kedua sudut bibirnya dengan tisu yang berada di
sana. Lalu memandang kembali wajah dingin itu.

"Aku ingin kau sadar Jane. Percuma saja kau membuang banyak tenaga untuk
menghinaku. Karena di dalam tubuh ini .. " tunjuk Jagad pada dirinya. "Hatiku tidak
akan peduli akan hal itu. Semakin banyak orang yang menghinaku, aku semakin senang.
Karena dengan begitu aku tahu bila mereka peduli denganku. Mereka semua, termasuk
dirimu, hanya bisa menilai dan menghina semua yang terjadi di dalam hidupku. Tapi
mereka tidak akan pernah tahu apa yang pernah aku rasakan"

Tubuhnya bangkit begitu saja. Meninggalkan makanan yang baru beberapa sendok
masuk ke dalam tubuhnya. Dia sudah tidak bernapsu lagi.

Terkadang sesabar apapun seseorang, suatu saat dia pasti akan meninggalkan
kesabarannya itu. Oleh karena itu Jagad berusaha agar tidak melakukan tindakan
bodoh kembali. Seperti meninggalkan Jane karena merasa sakit hati mendengar kata-
kata pedas dari Jane.

"Aku antar kau pulang" ucap Jagad setelah membayar apa yang dia makan.

Tubuhnya mulai memposisikan berada diatas sepeda Jane. Dia melirik Jane yang
masih berdiri tak jauh darinya. Dari kedua mata Jane, bisa Jagad lihat banyak
kesedihan di sana.

"Ayo" ajaknya.
Perlahan Jane naik ke atas sepeda itu dengan duduk menyamping. Tangannya
gemetar kala ingin merangkul pinggang Jagad sebagai pegangan. Sungguh dia takut.
Perkataan Jagad tadi memang terlihat begitu sederhana, tapi entah mengapa menusuk
ke dalam hatinya. Terasa sakit sampai mendesaknya ingin menjerit.

"Pegangan"

Jane menurutinya. Menggengam erat jaket hitam Jagad. Ketika terasa Jane sudah
duduk dengan nyaman, Jagad mulai menjalankan sepeda itu. Menembus gelapnya malam
berdua dengan perempuan dingin dibelakangnya.

Selama perjalanan pulang, tidak ada satupun yang erbicara. Keduanya masih sibuk
diam. Sampai tiba di depan pintu gerbang rumah Jane, Jagad meminta Jane turun lebih
dulu. Namun perempuan itu menggeleng cepat.

"Jane, turunlah"

"Tidak"

"Kenapa?" tanya Jagad merasa aneh. Dia memperhatikan kedua tangan Jane memeluk
pinggangnya erat. "Jane"

"Aku tidak mau ditinggal, lagi" ringkihnya dengan suara isakan. Dia takut. Masa
lalu itu datang kembali menyiksa pikirannya tiba-tiba. Mengingat bagaimana sosok
ayahnya pergi begitu saja.

Kemarin Jane sudah ditinggalkan Jagad pergi dalam keterpurukan. Dan sekarang
dia tidak mau merasakannya kembali. Dia memang kuat. Tapi bila ketakutan itu terus
menyiksanya, dia juga akan hancur.

Semakin kuat isak tangis Jane, membuat Jagad membeo mendengarnya. Ada apa
sebenarnya?Bab 14

Jangan Bohongi Hatimu

Jagad memandang tubuh Jane yang sudah meringkuk di atas ranjang dalam kamarnya.
Cukup lama tadi mereka berdebat akan ketakutan yang Jane suarakan. Jagad memang
tidak mengetahui ada apa sebenarnya dibalik ketakutan yang Jane rasakan. Namun yang
bisa Jagad rasakan, Jane tidak mau ditinggal sendiri. Oleh karena itu, malam ini
dia berniat menemani Jane di rumahnya.

Apalagi ibu dari Jane memang sedang tidak ada di rumah. Dan meninggalkan Jane
sendirian ditengah rasa ketakutannya adalah bukan hal baik. Dia juga punya seorang
adik perempuan dan dia tidak suka melihat adiknya sendirian di rumah.

Jagad memilih duduk di pinggiran ranjang dimana tubuh Jane berada. Sebelah
tangannya mengusap lembut kepala Jane. Kemudian mencium kening perempuan itu dengan
segenap rasa sayang yang dia miliki.

"Istirahatlah, aku akan di sini menemanimu" bisiknya. Menyelipkan beberapa anak


rambut yang menutupi sebagian wajah Jane.

Dalam tidurnya, Jane tersenyum. Mungkin dia merasakan hal baik. Energi positif
yang Jagad berikan tersalur dengan sempurna. Hingga Jane bisa merasakan hal baru
selain kesakitan.

Tubuh Jagad bangkit, berjalan mengelilingi ruangan kamar Jane. Tidak terlalu
besar memang namun begitu nyaman. Mulai dari penataan letak ranjang serta beberapa
lemari di dalam kamar tersebut. Ada pula sebuah single sofa dengan meja kecil di
depannya. Di sana Jagad bisa melihat beberapa buku terakhir yang mungkin sedang di
baca oleh Jane.

Karena merasa lelah, Jagad mendudukan dirinya di single sofa tersebut. Kemudian
meluruskan kakinya ke depan sambil mendesah lelah. Dia juga baru kembali dari luar
negeri. Jet leg yang sejak tadi dia rasakan sempat dirinya sampingkan lebih dulu.
Agar bisa prima menemui perempuan yang diam-diam mencuri perhatiannya.

Dan kini setelah pagi hampir menyambutnya, tubuhnya roboh juga. Dia butuh
istirahat. Dia butuh tenaga untuk beraktifitas kembali. Tetapi baru saja Jagad akan
terlelap dalam posisi duduk, Jane mengoyangkan tubuhnya. Wajah perempuan itu
seperti setengah sadar. Menatap Jagad dengan malas.

"Tidur di kasur. Biarkan aku yang di sini" ucapnya sambil menggaruk-garuk


wajahnya. Menghilangkan rasa kantuknya sejenak untuk membangunkan Jagad agar mau
menurutinya.

Jagad melihat wajah Jane dan kasur empuk itu bergantian. Walau cacat begini,
dia masih punya harga diri. Tidak mungkin dia membiarkan perempuan tidur di atas
sofa sedangkan dia enak-enakan tidur di kasur yang empuk.

"Terima kasih, kau saja. Aku masih bisa di sini" tolaknya halus.

Jane menghentikan acara menggaruk wajahnya. Memandang kesal wajah Jagad yang
nampak tak bersalah dengan penolakan niat baiknya tadi.

"Sudah cacat masih saja harga dirinya di gantung tinggi" sindirnya dalam.

Tubuhnya berbalik berjalan kembali ke atas ranjang. Niat baiknya kembali lagi
di salah artikan oleh Jagad. Jadi biarlah laki-laki itu yang merasakannya. Lagi
pula bila rasa sakit menyerang Jagad, Jane tidak akan peduli kembali.

Masih dengan setengah kesal, Jane mencoba menutup kedua matanya. Namun
perlahan-lahan ada pergerakan di samping tempat tidurnya. Ukuran tempat tidurnya
memang tidaklah besar, sehingga bila ada sosok lain yang menaikinya akan berdampak
pada Jane yang sudah lebih dulu berada diatasnya.

"Aku tidak akan membiarkanmu merajuk kembali" bisik Jagad bersamaan dengan
tubuh besarnya berbaring menyamping di sana. Menyelinapkan tangan kirinya untuk
masuk di bawah kepala Jane. Agar keduanya semakin merapat diatas kasur sempit itu.

Jane tidak menyahut kalimat Jagad. Tetapi kedua sudut bibirnya tertarik ke
atas. Dia bahagia Jagad mau menurutinya.

Masih dengan kedua mata terpejam, Jane membalik posisinya. Membelakangi Jagad
yang memeluknya cukup erat dari belakang. Membiarkan rasa hangat dari tubuh Jagad
menyelimutinya malam ini.

Ini adalah hal pertama kali yang keduanya rasakan. Dimana seorang laki-laki
dewasa dengan seorang perempuan dewasa tidur diatas sebuah ranjang tanpa melakukan
hal negatif sedikitpun. Ternyata kedua mampu beradaptasi dengan baik.

Jane tahu orang dewasa butuh sekali dengan sex tetapi


ada hal lain yang dilewatkan Jane tentang hubungan orang dewasa. Yaitu cinta. Cinta
yang kerap kali disalah artikan sama dengan napsu. Karena sejatinya cinta itu
bertanggung jawab atas kekasih hatinya. Sedangkan napsu sendiri adalah
mempertanggung jawabkan hal yang telah terjadi diantara dia dengan kekasih hatinya.
Tipis memang perbedaannya. Namun sangat berbeda makna.
***

Bibir Jane tidak hentinya bersenandung senang, memandang panci kecil air panas
yang sedang dia didihkan. Niatnya pagi ini ingin membuatkan sarapan untuk Jagad,
tetapi karena tidak ada bahan-bahan yang bisa dibuat maka Jane berinisiatif untuk
membuatkan laki-laki itu secangkir kopi.

Tidak ada salahnya sebelum memulai aktifitas pagi meminum secangkir kopi hitam
pekat sambil ditemani perempuan sexy seperti dirinya. Setidaknya akan meningkatkan
semangat baru bagi Jagad untuk memulai pekerjaannya.

Tepat saat Jane menuangkan air panas ke dalam cangkir kecil, tubuh Jagad
menghampiri. Wajahnya masih terlihat lelah dengan rambut yang tidak beraturan.
Matanya yang biasanya selalu terlihat tegas, masih setengah terbuka.

Jagad duduk di depan Jane yang masih sibuk dengan kopinya. Lelaki itu tidak
bersuara sedikitpun. Dia masih saja diam, memperhatikan garis tegas wajah Jane yang
masih sibuk.

"Karena tidak ada sarapan, maka secangkir kopi tidak masalah bukan?"

"Secangkir kopi dan sebuah ciuman hangat" sambung Jagad. Bibirnya tertarik
lebar sampai menyipitkan kedua garis matanya.

Bagi Jane ini merupakan pemandangan yang sangat langka. Dulu dia pernah melihat
hal ini ketika ayah dan ibunya masih bersama. Tapi sekarang tidak pernah lagi.
Bahkan beberapa teman kencan satu malamnya pun tidak pernah dia lihat seperti apa
wajahnya ketika baru bangun tidur.

Karena bagi Jane itu semua tidak penting. Namun berbeda dengan semua yang
dimiliki Jagad. Mengapa semua hal yang laki-laki ini lakukan sanggup menarik
perhatian Jane. Dari setiap kata yang meluncur dari bibir Jagad sampai semua
perlakuan manis Jagad membuat Jane mabuk kepayang.

Jagad tidak pernah berlebihan bersikap kepada Jane. Tidak berusaha menjadi yang
terbaik. Dia tetap Jagad dengan segala kekurangannya. Tetapi disitulah letak
perbedaannya.

Dan sejak tadi malam, Jane sadar Jagad laki-laki baik. Dari sikap dan hatinya.
Mulai dari sosok boss sampai sosok laki-laki yang dengan beraninya masuk ke dalam
hati Jane.

Jagad perfect.

"Kenapa?" tanya Jagad pada akhirnya. Dia merasa aneh melihat Jane tersenyum
seorang diri. Apa memang seperti ini kegiatan pagi perempuan berusia dewasa? Atau
hanya Jane yang seperti ini?

"Ini untukmu, sebagai ucapan terima kasihku" secangkir kopi dengan uap panas
yang menari-nari diatas cangkir kecil diberikan Jane pada Jagad.

"Terima kasih?" tanya Jagad kembali. Dia menghirup aroma kopi yang terasa
begitu nikmat dihidungnya, baru dengan perlahan-lahan dia mengecapnya. Merasakan
panas dan kepahitan yang mengalir ditenggorokannya.

"Sorry, aku tidak tahu kau suka manis atau tidak. Maka aku buat sesuai
seleraku" suara Jane. Ketika dia melihat Jagad yang nampak kaget meminum kopi
tersebut. "Dan tenang saja itu tidak beracun" sambung Jane.
Sontak Jagad tertawa, tetapi tetap melanjutkan aksi meminum kopinya. "Ini
perfect. Seperti dirimu"

Jane membuang arah pandangannya. Dia takut merona kembali hanya mendengar
selentingan kata gombalan yang Jagad berikan.

"Aku suka senyumanmu, Jane" ucap Jagad kala melihat senyuman merona dari Jane.
Wajah Jane yang tidak tertutup make up sangat terlihat alami. Dan tetap membius
hatinya.

"Siapa yang tersenyum?" elaknya kuat.

"Kau, Jane. Asal kau tahu dari sebuah senyuman bisa mengubah keputusasaan
seseorang menjadi sebuah harapan baru"

Kini kedua alis Jane terangkat. Dia memandang bingung wajah Jagad sambil
menilai maksud dari kalimat yang laki-laki itu suarakan.

"Melihat senyumanmu, sebuah harapan muncul di dalam hidupku. Bahwa orang yang
tidak sempurna sepertiku masih bisa bahagia. Hanya dengan memandang senyuman itu"
jelasnya. Jagad meminum seluruh kopinya sebelum berlalu ke arah kamar mandi untuk
mencuci wajahnya.

Sedangkan Jane yang ditinggalkan sendiri masih terlihat bingung. Antara sadar
atau tidak sadar, dan antara bahagia atau ingin menangis mendengar kalimat
penjelasan dari Jagad. Karena lagi-lagi seluruh perasaannya tercampur aduk dengan
mudahnya oleh kehadiran laki-laki itu.

***

Wajah Jagad sudah nampak lebih segar dengan rambut yang sedikit basah. Dia
berdiri memandang Jane yang masih terlihat santai di depan televisi sambil menonton
acara gosip.

Hari ini adalah hari sabtu, sudah menjadi agenda rutin Jane menghabiskan waktu
weekend-nya seperti ini. Bergelung malas sampai matahari berubah menjadi sang
rembulan.

"Kau sudah mau pergi?"

"Aku harus pulang, Jane. Jay sendirian di rumah" jawabnya.

"Jay?" ulang Jane seperti sebuah pertanyaan.

Jagad mengangguk menanggapi pertanyaan Jane. Dia merapikan kembali jaketnya


sambil melirik jam tangan dipergelangannya.

Dia sedang menunggu seseorang untuk menjemputnya di sini, dan Ini sudah terlalu
lama rasanya. Jagad tidak punya toleransi waktu dalam menunggu seseorang. Apalagi
yang ditunggu sosok yang sering membuat Jagad kesal.

"Kau menunggu seseorang?"

"Iya" jawabnya bersamaan dengan tubuhnya yang duduk di samping Jane.

"Siapa?"

Laki-laki tersenyum. Memandang wajah Jane yang penuh dengan tatapan curiga.
"Kau sudah mirip untuk menjadi seorang istri possesif, Jane" kekeh Jagad.
Dengan perasaan malu, Jane mengubah mimik wajahnya. Berdehem sejenak sambil
berpura-pura menatap televisi kembali.

"Sekali lagi aku katakan, Jane. Jangan menutupi apapun dariku" bisiknya.

Jane memandangnya tidak suka. Dia ingin membalas kata-kata Jagad, namun tangan
besi itu lebih dulu menutup mulutnya. Dengan manik mata cokelat tersebut
menguncinya begitu dalam.

"Kukatakan sekali lagi jangan pernah menutupi hal apapun. Bukan hanya dari aku
tapi dari hatimu sendiri. Karena kau tahu, Jane. Hal mustahil dalam menjalankan
hidup adalah bukan menerima dengan ikhlas semua masalah kehidupan, melainkan
membohongi perasaan sendiri" tutupnya dengan sebuah kecupan singkat dikening Jane.

Jagad mendengar suara mesin mobil yang berhenti di depan rumah Jane. Laki-laki
itu langsung berdiri. Berjalan meninggalkan Jane yang masih kaget dengan pesan
singkatnya itu.

Setelah sadar Jagad tidak ada di sampingnya, dia mengikuti tubuh Jagad di
belakangnya. Hingga dia menyadari siapa yang menjemput Jagad pagi ini, Jane kembali
memasang wajah dingin dan tidak tersentuh.

"Selamat pagi, Mary Jane. Senang melihat wajah lelahmu pagi ini" sapaan pagi
yang membuat Jane kesal setengah mati karena melihat siapa yang berdiri tegak di
depan tubuh Jagad.Bab 15

Suami Online

Hari senin dengan hujan deras yang mengguyur kota Jakarta menambah deret
kebencian Jane dipagi hari ini. Sejak setengah jam yang lalu dia menunggu taksi
online-nya, namun tidak kunjung ada yang datang. Sedangkan jarum jam dipergelangan
tangannya sudah menunjukkan pukul 7.30 pagi. Biasanya bila tidak dalam keadaan
hujan, dia akan memanggil ojek online untuk menerjang kemacetan kota Jakarta.

Tapi hari ini hujan. Dan Jane benci itu. Dia tidak suka basah dan udara dingin.
Dia benci hujan karena mereka selalu datang bersamaan. Bahkan sekaligus membawa
angin serta petir dalam menyerang. Apalagi di hari hujan mengingatkannya pada
kesakitan yang terjadi 18 tahun lalu. Oleh karena itu sampai kapanpun Jane tidak
suka akan hujan.

Ketika Jane mencoba menghubungi pesanan taksinya kembali, sebuah mobil berhenti
tepat di depan rumahnya. Dia memicingkan mata, mencari tahu siapa di dalam mobil
tersebut. Apakah taksi online yang dia pesan atau orang lain.

Dan benar saja, sesaat setelah sang pengemudi itu keluar sebelah sudut bibir
Jane terangkat. Ternyata Jagad yang berdiri di sana dengan sebuah payung di tangan
kirinya. Perlahan dia membuka pintu pagar besi rumah Jane, lalu melangkah dengan
tegak menghampiri Jane yang sudah menunggunya.

"Pesan taksi online?" Goda Jagad.

Jane melipat kedua tangannya di dada dan bersikap seperti sedang berpikir
serius. "Menurutmu?"

"Aku tahu kau pesan suami online, karena itu aku datang" keduanya tertawa
karena merasa lucu mendengar kalimat Jagad.

Sekarang tanpa sungkan, Jane sudah berani menunjukkan ekspresi yang lain kepada
Jagad. Bahkan ekspresi tertawa bahagia semakin sering tampil di wajahnya. Jagad
memang begitu berhasil membuat Jane nyaman hingga dia bisa menjadi dirinya sendiri
tanpa perlu repot-repot menutupinya dengan topeng.

"Ayo" ajak Jagad.

Jane menatap ragu tangan besi milik Jagad yang terulur ke arahnya. Sejenak
pikirannya kembali berteriak mengingatkan hatinya dengan prinsip-prinsip tegas yang
dulu dia buat. Bila tidak akan menerima laki-laki tidak sempurna dalam hidupnya.
Akan tetapi hatinya pun tidak mau kalah, dia tidak ingin pikiran itu mengambil alih
tubuh Jane.

Tubuh Jane semakin kaku kala mendengar suara hatinya yang begitu dalam
berteriak kalimat yang sangat tepat dengan kondisinya saat ini. "Otakmu dengan
segala prinsip yang pernah kau bangun dulu terlalu bodoh. Karena sejatinya kau
hanya sibuk mencari kekurangan dari orang lain. Padahal atas semua yang telah kau
lakukan tidak akan membuat dirimu sendiri menjadi lebih baik" teriak batinnya.

Karena itu, setelah yakin dengan pilihannya, Jane meraih uluran tangan besi
milik Jagad diiringi dengan senyuman yang begitu hangat. Dia melangkah mendekati
tubuh Jagad dan berpayung bersama dibawah rintik hujan yang mengguyur.

Apakah romantis? Tidak menurut Jane. Karena hidupnya bukan di dalam kisah-kisah
novel roman picisan yang digilai oleh para perempuan. Hidupnya ini tentang
bagaimana menerima dengan ikhlas semua takdir yang datang menghampiri.

Karena ini bukan hanya tentang cinta. Tapi tentang perjuangan dalam menerima
kekurangan orang lain.

"Kupikir kau tidak akan meraih tangan cacatku"

"Mengapa berpikir begitu?" tanya Jane dengan kedua alis yang terangkat.

Mereka berdua tengah berjalan menuju mobil Jagad yang terparkir di depan rumah
Jane. Payung yang Jagad bawa memang tidak cukup melindungi mereka berdua. Tetapi
tanpa Jane sadari, Jagad sengaja memiringkan payungnya agar hujan tidak membasahi
Jane.

"Karena ekspresimu terbaca olehku" tutup Jagad bersamaan dengan tertutupnya


pintu mobil disisi kiri Jane. Lalu Jagad setengah berlari memutar mobilnya untuk
masuk ke bagian sisi pengemudi.

"Apa aku terlalu begitu ekspresif?" tanya Jane kembali.

Ragu-ragu Jagad melirik Jane yang duduk di sampingnya, namun laki-laki itu
langsung kembali memfokuskan dirinya dalam mengemudi. Dia tidak ingin merusak
konsentrasinya karena hujan yang terlalu lebat ditambah dengan seorang perempuan
cantik di sampingnya.

"Mungkin bagi sebagian orang kau terlihat begitu dingin, Jane. Mungkin hanya
orang-orang yang mencoba mengenalmu dengan hatinya akan tahu kau perempuan seperti
apa" tutup Jagad.

Di sebelahnya Jane mencibir, dia tidak suka Jagad yang berkata paling mengerti
dirinya. Padahal Jane sendiri kadang sering sekali bingung akan dirinya. Karena
seperti tadi, pikiran dan hatinya tidak pernah satu tujuan bila berhubungan dengan
Jagad. Dan dia benci itu.

Mobil yang dikendarai Jagad sudah berhenti di parkiran khusus kantornya.


Parkiran yang memang ditujukan untuk seorang GM seperti Jagad. Dari dalam mobil
Jane bisa melihat beberapa pegawai kantor yang sering menertawakannya baru juga
sampai. Ingin sekali Jane membalas mereka semua dengan kedekatannya bersama Jagad.

Tetapi haruskah dia membalas orang lain dengan melibatkan Jagad. Lelaki ini
tidak tahu sama sekali masalahnya. Dan seharusnya Jane sadar itu bukan merupakan
terpuji. Namun sakit hati itu masih membekas di sana. Dia melirik Jagad yang tengah
bersiap turun. Laki-laki itu masih sibuk merapikan jas hitamnya sebelum membuka
pintu mobil.

Baru satu kaki Jagad yang turun, buru-buru Jane mengikutinya. Dia sengaja
berdiri tegak sambil mengibaskan rambut panjangnya. Kemudian berlari-lari kecil
dengan sepatu heels-nya mengejar langkah kaki Jagad.

Ketika sebelah tangan Jane menyelinap di tangan kiri Jagad, laki-laki itu
terdiam. Memperhatikan secara jelas tangan lentik Jane di sana. Lalu barulah dia
melihat wajah Jane yang masih nampak tenang di sampingnya.

Mereka berdiri berdampingan sampai menimbulkan banyak gosip-gosip hangat


disekitar karyawan yang berada di dekat mereka.

"Jane," tegur Jagad.

"Iya"

Melihat wajah Jane tidak seperti bisanya, Jagad lebih memilih untuk diam dan
tetap tenang. Dia akan meminta penjelasan nanti setelah di tiba di ruangannya.

Apalagi ketika kelompok Andri turut berada dalam satu lift yang sama semakin
menambah sifat sombong dalam diri Jane. Tubuhnya semakin menempel kepada Jagad
seperti perempuan haus akan belaian laki-laki.

Namun anehnya otak Jane tidak berpikir ke arah sana. Dia hanya ingin semua
orang tahu, bahwa dia bisa menaklukan boss mereka itu. Dan Jane juga ingin
membungkam gosip-gosip tidak benar yang sering kali beredar. Bahwa perempuan
seperti Jane bukan tipe yang cocok untuk Jagad.

Setelah tiba di lantai yang sama, semua sudah masuk ke dalam kubikel masing-
masing. Termasuk juga Jane. Dia melepaskan rangkulannya pada lengan Jagad setelah
pintu lift terbuka. Tanpa sepatah kata pun, baik Jagad maupun Jane berlalu seperti
tidak terjadi apapun tadi. Tapi ternyata dampaknya begitu besar.

Ketika pintu ruangan Jagad sudah tertutup rapat, gosip-gosip hangat itu kembali
menyebar. Membuat hati Jane senang. Baru kali ini dia digosipkan begitu bangga.
Apalagi kalau bukan gosip yang mengatakan bahwa pada akhirnya Jagad takluk dengan
cabe merah seperti Jane.

Semua karyawan pikir Jagad tidak akan bermain-main dengan Jane tapi ternyata
mereka salah. Karena sampai kapanpun seorang laki-laki tidak akan pernah menolak
seorang perempuan cantik.

"Wuhuuu ... pantas lo ditolak Ndri, mainnya kelas berat. Langsung si boss yang
ditancap" sindir Memo dengan wajah yang begitu menyebalkan.

Tubuh besarnya sengaja berdiri agar dapat melihat Jane dari kubikelnya sendiri.
Ditangannya berpura-pura memegang selembar kertas lalu sengaja berjalan ke arah
mesin foto copy yang diletakkan di seberang kubikel milik Jane. Sebenarnya semua
ini hanya akal-akalan Memo agar bisa bebas melihat wajah cantik Jane yang semakin
membekukan bagi siapa saja yang melihat.
"Lo tahu sendiri gimana gue lihat dia waktu itu. Mainnya sama boss. Kemarin Pak
Dave yang jadi incarannya. Sekarang si boss. Itu perempuan apa piala bergilir. Kok
jadi gantian begitu," sindir habis oleh Andri.

Dari tempatnya dia melirik Jane dengan tajam sambil berpura mengaduk kopi yang baru
saja dia buat. Sedangkan Jane sendiri tidak merasa risih. Namun dia berpikir
bagaimana Andri tahu dia pernah ada skandal dengan Dave? Apa Jagad yang memberitahu
anak buahnya atau ada orang lain yang mengikutinya.

"Padahal Pak Dave lebih kaya dari si boss. Dan lebih, you know lah. Kok bisa
ya, Pak Dave di lepas Cuma-Cuma?" lanjut Memo.

Kali ini Jane mendelik tajam pada Memo. Anak buah Jagad yang satu ini mulutnya
sangat kurang ajar. Bagaimana bisa dia membandingkan boss-nya sendiri dengan sosok
lain. Apalagi kecacatan Jagad juga dipermasalahkan di sini.

"Mungkin goyangannya beda Mo," kekeh Andri.

Tapi Kali ini Jane tidak bisa tinggal diam. Dia menghentikan segala
aktifitasnya lalu melihat Andri dan Memo yang masih saja sibuk saling bergosip ria.
"Kalian punya masalah dengan saya, tidak dengan Pak Jagad"

"Ndri, ganas banget. Pak Jagad dibelain,"

"Gue sih maklum secara Pak Jagad memang cocok di bela sama perempuan binal
kayak dia"

Jane mengeram kesal. Oke, Andri dan Memo memang boleh menghinanya. Tapi apa
harus Jagad dibawa-bawa untuk di hina juga? Dia tidak tahu apa-apa dalam masalah
ini. Dan bodohnya Jane sudah membawanya masuk ke dalam masalah yang seharusnya
tidak perlu dilebar-lebarkan.

"Anjir, gue sih malu. Laki kok sembunyi dibalik dada montok perempuan. Kenapa
nggak sekalian aja sembunyi dibalik bokongnya yang bikin gemes itu" kekeh Memo.

Baru saja tubuh Jane ingin mengamuk atas sikap dan ocehan Memo serta Andri
dipagi hari, pintu ruangan Jagad terbuka. Menampilkan wajah tenang Jagad. Bagi
Andri dan Memo melihat mimik wajah Jagad seperti ini berarti ada keputusan berat
yang sudah dia ambil.

"Andri, tolong bawakan saya tender terbaru kita"

Andri yang sedang meminum kopinya, hampir saja tersedak. Dia segera mengelap
mulutnya kemudian mengambil sebuah map yang dimaksud Jagad sebagai perintah tadi.
Sempat dia melirik Jane sekilas sebelum mengikuti boss-nya itu menuju lift.

Sedangkan Jagad sendiri nampak tenang, berdiri di depan pintu lift yang masih
tertutup. Dia tidak merasakan risih dengan tatapan tidak suka dari Andri, namun
sebaliknya ketika pintu lift terbuka dengan beberapa karyawan yang keluar dari sana
Jagad memasang senyum ramah.

Lalu Jane sendiri masih terpaku di tempatnya. Dia berpikir mungkin Jagad sedang
ada meeting mendadak. Dan meminta Andri mengikutinya.

Namun ketika Memo menyuarakan apa yang ada dipikirannya, Jane cukup kaget
mendengarnya. "Sebentar lagi Andri akan di kirim ke tempat entah berantah. Mengurus
tender-tender baru di sana"
Jadi Jagad mencoba mengusir Andri dengan pekerjaan yang dia berikan. Pintar
sekali laki-laki cacat itu.Bab 16

Perempuan Munafik

Lampu-lampu yang biasanya terang menderang pada jam makan siang hampir
seluruhnya padam. Jane yang baru akan bersiap-siap turun mencari makan terlihat
kaget mendapati sosok Jagad berjalan terburu-buru ke dalam ruangannya. Wajah Jagad
terlihat tegang dengan rambutnya kusut seperti orang gila. Begitulah yang terlihat
dimata Jane. Kemudian Jane bisa melihat sosok Andri di kubikelnya. Sepertinya
mereka baru saja selesai meeting tapi kenapa Jane merasa ada yang tidak beres.

Ketika dia mendengar Memo bergosip dengan Andri, buru-buru Jane mempertajam
pendengarannya. Menyampirkan helaian rambutnya ke belakang telinga, lalu memasang
mimik wajah setenang mungkin agar Andri dan Memo tidak curiga.

"Masalah apalagi?"

"Si boss dicecar habis masalah tender yang waktu itu?"

"Tender yang mana? Tadi gue dengar dia minta kontrak baru."

"Iya kontrak baru tapi penghuni lama" seru Andri malas. Susah juga cerita
dengan Memo. Laki-laki ini memang sedikit lambat dalam memahami keadaan.

"Siapa sih Ndri maksud lo? Gue gagal paham"

"Kontraknya Bu Indah"

Bibir Memo bergetar setelah mengerti arah pembicaraan Andri. Dia bukan ingin
menangis, tapi dia tahu suatu saat PT. Indah Citra Lestari ini akan berdampak buruk
pada perusahaan ini. Pertama-tama mereka melakukan kerjasama saja, (J)Company sama
sekali tidak mendapatkan untung sedikitpun. Padahal semua orang di perusahaan ini
tahu, PT. Indah Citra Lestari itu mempunyai aset yang cukup banyak.

Dan yang membuat anehnya lagi, Jagad setuju-setuju saja dengan kerjasama itu.
Lalu kini akan ada kerjasama lagi dengan mereka? Bila semakin lama keadaan seperti
ini bisa-bisa (J)Company akan mengalami kebangkrutan secara perlahan.

Bagaimana tidak bangkrut. Bila perusahaan terus keluarkan modal namun


keuntungan tidak didapat.

"Terus tadi lo meeting soal ini?"

"Iya. Sama beberapa pemegang saham. Ya jelas-jelas semua nolak. Si boss aja
yang begonya kebangetan." Gerutu Andri. Dia melirik Jane yang duduk tenang di
kubikelnya. Tanpa bertanya pun Andri tahu bila Jane sedang mencuri dengar
pembicaraan mereka.

"Cabut. Banyak maling di sini" sindir Andri. Memo melihat kode yang Andri
berikan, lalu melirik ke arah Jane. Dia juga memasang mimik mencemooh, kemudian
ikut berlalu bersama Andri.

Ketika dirasa sudah tidak ada orang lain, Jane mencoba mengerti arah
pembicaraan Memo dan Andri tadi. Mengenai tender PT. Indah Citra Lestari.
Sepertinya nama itu familiar ditelinganya, namun Jane lupa dimana dia pernah
membaca nama tersebut.

Mungkin disalah satu arsip yang dia rapikan. Secara kantornya ini sudah
melakukan kerjasama dengan banyak perusahaan. Rasanya tidak mungkin Jane
mengingatnya satu demi satu. Bisa gila otaknya bila sampai dia mampu mengingatnya.

Namun jika sampai Memo dan Andri mengingat dengan jelas isi kontrak dengan
perusahaan itu, berarti ada sesuatu yang tidak beres di sana.

"Jane,"

Jane sempat kaget dengan kedatangan Jagad tiba-tiba di depan mejanya. Wajah
Jagad sudah tidak seperti tadi. Sedikit lebih tenang dalam mengendalikan emosinya.
Dia masih berusaha tersenyum di depan Jane walau wajah perempuan cantik ini
memasang tampang datar.

"Iya Pak" sahut Jane.

Jagad melirik jam tangannya, kemudian tersenyum kembali ke arah Jane. "Aku rasa
ini sudah jam istirahat. Tidak perlu menggunakan bahasa formal" suaranya.

Lagi-lagi Jagad mengulurkan tangan besi itu ke arah Jane. Dan tanpa ragu kini
Jane sambut dengan perasaan sepenuh hati. Dia menarik ujung rok yang dia pakai,
lalu tersenyum kaku ke arah Jagad. "Kau seksi Jane" bisik Jagad ketika tubuhnya
telah berdampingan dengan Jane. "Jika tanpa rok itu" sambungnya lagi.

Satu pukulan kencang mendarat di dadanya. Jagad pura-pura mengaduh sakit,


tetapi tidak diperdulikan oleh Jane. Memangnya sejak kapan perempuan seperti Jane
peduli dengan orang sakit?

Keduanya menunggu pintu lift terbuka. Tanpa obrolan apapun. Mereka membisu
layaknya tidak saling kenal. Namun diam-diam dari belakang tubuhnya, Jagad
bersenandung kecil. Dan anehnya berhasil menarik si wanita dingin ini.

"Telah kutemukan yang aku impikan. Kamu yang sempurna. Segala kekurangan semua
kelemahan, kujadikan cinta" dia terus saja bersenandung hingga tanpa sadar punggung
belakang milik Jane menempel pada bahu kiri Jagad.

Sewaktu pintu lift terbuka, Jagad sengaja menyenggol punggung Jane dengan
bahunya agar perempuan itu sadar dari lamunannya.

Sedikit salah tingkah, Jane menormalkan mimik wajahnya. Masuk ke dalam lift
tersebut dimana ada 2 orang karyawan lain yang menunduk hormat pada Jagad. Kedua
karyawan perempuan itu sedikit mencuri-curi pandang ke arah Jagad yang memang
sengaja berdiri di depan tubuh Jane hingga menjepit perempuan itu ke sisi belakang.
Padahal isi lift tidak penuh seharusnya Jagad tidak bersikap layaknya pasangan yang
sedang pacaran.

"Hei, kenapa?" tegur Jagad ketika mereka sudah berada di parkiran basement.
Langkah Jane yang sudah lebih dulu di depannya terhenti. Tubuhnya berbalik dengan
sebelah alisnya terangkat tinggi.

"Bapak bilang ada apa? Bapak nggak malu tadi dilihat pegawai lain"

"Malu? Bukannya tadi pagi kamu duluan yang berlaku demikian. Aku hanya
mengikuti saja. Nanti kalau aku cuek sama kamu di depan karyawanku, disangkanya aku
malu berdekatan denganmu" jawaban Jagad seperti menampar Jane. Sepertinya Jane lupa
bila pagi tadi dia yang memulai semuanya.

Tapi lihat hasilnya, orang-orang menghina Jagad. Mempermasalahkan fisik cacat


laki-laki itu. Mungkin bila yang dihina dirinya, Jane tidak akan merasa sesedih
ini. Tapi ini Jagad. Laki-laki yang terlalu baik kepadanya. Di hina oleh anak
buahnya sendiri.

"Aku tahu apa yang kamu takutkan, Jane" ucap Jagad menenangkan. Dia melangkah
perlahan mendekati Jane. Mengikis jarak diantara mereka. "Jangan menjadi lemah
karena hinaan orang lain. Karena aku tahu kau bukan orang seperti itu. Tetaplah
menjadi orang yang tegar ketika orang lain menyakitimu. Asal kau tahu Jane, tidak
ada satu manusiapun yang mau melempari pohon yang tidak berbuah. Jadi berbanggalah"

Rasa dingin perlahan terasa di pipi kiri Jane. Di sana tangan besi itu mengusap
lembut wajah Jane. Membingkainya dengan penuh kasih sayang. Bersamaan dengan
senyuman dari Jagad yang tidak pernah ada hentinya.

Sedikit banyak memang mempengaruhi hati dan perasaan Jane. Dia tetap kesal
dengan Andri dan kelompoknya, tapi dia mencoba untuk meredamnya.

"Jangan terlalu banyak senyum. Nanti gigimu kering" lontar Jane tajam.

Tubuhnya berbalik arah, berjalan lebih dulu meninggalkan Jagad yang masih terus
saja tersenyum. Dia tidak peduli cacian dari bibir berbisa Jane. Karena Jagad
mengerti bila Jane perempuan yang tidak tahu cara menyalurkan perasaan yang
dirasakan.

"Asalkan kau tahu, Jane. Aku tersenyum bukan berarti aku selalu bahagia. Tapi
aku hanya tidak ingin terlihat lemah di depanmu. Fisikku boleh cacat, tapi aku
tidak ingin kau melihat hatiku yang turut cacat" gumamnya sebelum melangkah
mengikuti Jane.

***

Setelah sibuk memilah-milah menu makan siang, Jane menutup menu besar itu. Lalu
hanya meminta pelayan resto membawakan orange juice untuknya. Moodnya sedang tidak
bagus. Pikirannya sedang kacau karena mendengar gosip Andri tadi mengenai Jagad
serta kontrak kerjasama itu.

Lalu mengenai laki-laki yang masih sibuk dengan buku menu di depannya. Sedikit
banyak Jane tahu ada yang tidak beres dengannya. Tapi apa?

Dia tidak mau bertanya langsung kepada Jagad. Laki-laki ini bisa besar kepala
bila tahu Jane penasaran dengan masalah hidupnya. Karena sejatinya, otak Jane belum
sepenuhnya luluh dengan hatinya.

Jane masih tetap berharap suatu saat nanti akan ada sosok yang sempurna hadir
untuknya.

"Diet?" komentar Jagad.

Bahu Jane bergerak acuh sebagai jawabannya. Dia menopangkan kepalanya diatas
satu tangan, lalu membuang pandangannya ke sisi luar jendela. Banyak dari pegawai-
pegawai kantor yang terlihat makan di resto pinggir jalan ini. Selain tempatnya
yang nyaman, makannya juga terkenal enak.

Merasa diacuhkan, Jagad mencoba tidak peduli. Dia melihat ke sekeliling,


ternyata banyak juga pegawainya yang makan di sini. Dan tak jauh dari mereka duduk,
ada Andri serta beberapa rekan kerjanya di sana.

Laki-laki itu mendengus kesal ke arah Jagad lalu menatap Jane yang tidak tahu
bila ada Andri di sini. Jagad mengikuti arah pandang Andri, dan tahu apa yang
membuat wajah bawahannya itu kesal.
"Ehm, Jane" suaranya.

Perempuan itu mengalihkan pandangannya pada Jagad. Bibir merahnya terkatup


rapat seperti enggan untuk bersuara.

"Boleh aku tahu alasanmu tadi pagi merangkul lenganku di depan semua orang?"

Merasa kaget dengan pertanyaan spontan Jagad, Jane mendadak salah tingkah. Dia
membenarkan posisi duduknya sambil sesekali menyisir rambut panjangnya dengan
tangan. Jujur saja Jane belum siap ditanya seperti ini oleh Jagad.

"Apa karena ada yang membuatmu marah?" tanya Jagad hati-hati. "Aku mencoba
mengenali karaktermu, Jane. Kamu itu orang yang keras kepala. Punya sesuatu yang
sulit untuk orang lain pahami. Keinginanmu diluar batas kemampuanmu. Bolehkan aku
menilaimu seperti itu?"

"Kasar juga cara penilaianmu"

"Kasar? Jadi kamu tidak suka? Apa karena semua yang kuucapkan benar?"

Jane tidak menanggapi, dia melihat ke arah selain wajah Jagad. Tapi ternyata
dia salah. Di sana ada wajah Andri yang menatapnya begitu menusuk.

Oh, karena ini Jagad bertanya demikian. batin Jane.

"Semua itu memang benar adanya. Satu point plus untukmu. Ternyata otakmu tidak
secacat tangan dan kakimu"

Telak. Kalimat mematikan itu kembali keluar dari bibir manis Jane. Bibir Jagad
tersenyum kecut. Sekuat apapun telinga dan hatinya mendengar cacian manis dari
Jane, tetap saja terasa sakit. Apalagi dia harus tetap berpura-pura kuat
mendengarnya. Sangat ironi memang. Tapi di sinilah dia ingin Jane tahu, bahwa
perjuangannya bukan main-main dalam mendekati hati perempuan ini.

"Perempuan berbisa. Hanya kau yang bisa seenaknya berkata tanpa berpikir lebih
dulu" ungkap Jagad. Dia menghentikan kalimatnya ketika pesanan mereka datang. Buru-
buru Jagad meminum kopi hitamnya, mencoba menghangatkan kembali otaknya yang mati
rasa.

"Tapi aku hargai semua kalimat tidak berotakmu. Kau tahu Jane. Hanya kau
penggemar yang susah payah berkata kasar di depanku, tapi dibalik itu aku tahu di
sudut hatimu yang paling dalam banyak sekali kalimat memuja yang terlontar di sana"

"APA?" nada suara Jane meninggi. Tanda tidak terima semua kalimat yang Jagad
ucapkan. Memang kalimat mereka berdua berbeda, namun sama-sama jenis kalimat
mematikan.

"Jangan mengelak. Bibir dan hatimu tidak pernah sejalan. Ingat itu." sambung
Jagad dengan begitu santai. Dia mengecap kopinya kembali sambil melirik Jane yang
membisu.

Harus memiliki cara tersendiri untuk menaklukan perempuan seperti Jane. Dan
Jagad percaya bahwa dia bisa membuat Jane bertekuk lutut tanpa diminta.

Bab 17

Gosip Murahan

Kembali dari makan siang keadaan kantor semakin tidak enak. Mungkin bagi Jane
saja. Karena kini tatapan menilai dari setiap pegawai terarah padanya. Setiap
langkah kaki Jane berjalan ada saja sepasang mata yang mengikutinya. Menatap tajam
sampai Jane merasakan risih pada dirinya sendiri.

Dia bukan artis. Dan tidak seharusnya diperlakukan seperti ini. Apa semua orang
di kantor ini tidak memiliki pekerjaan. Bergosip dan bergosip saja kerjanya. Baik
laki-laki maupun perempuan, tidak ada bedanya.

Seperti saat ini, dia diperintah oleh Jagad untuk menyerahkan sebuah berkas
penting ke tempat Anton berada. Baru satu langkah kakinya keluar dari lift suara
bisik-bisik semakin terdengar. Dia memang kebal akan gosip tapi bukan berarti dia
tidak pernah memperdulikan itu. Sedikit banyaknya pasti ada yang menyangkut di hati
dan pikirannya.

Apalagi sekarang semua orang menilai Jagad adalah korbannya. Korban dari
perempuan yang dikomentari mementingkan uang diatas segalanya. Mereka juga
mempunyai penilaian sendiri tentang Jane, tidak mungkin Jane mau menerima Jagad
yang secara fisik saja tidak sempurna.

Ya Tuhan, Jane mendesah kesal. Mereka semua memang seenaknya berkomentar.


Padahal tahu kondisi yang sebenarnya saja tidak. Dia dan Jagad tidak memiliki
hubungan apa-apa. Mungkin belum, ralat batin Jane. Karena Jane tidak tahu
kedepannya seperti apa. Tapi mengapa gosip-gosip yang beredar lebih cepat dari pada
kenyataannya.

Benar kata orang-orang bila hidup layaknya sebuah panggung sandiwara. Dimana
kamu yang berperan dan mereka yang mengomentari. Akan tetapi cobalah berkomentar
sesuai kenyataan. Berikan masukan bukan cacian.

Seperti dirimu tidak pernah mencaci orang lain saja, teriak pikiran Jane. Coba
berkaca pada diri sendiri.

Ya, Jane tahu mulutnya ini suka sekali mencaci orang lain. Semua keburukan yang
dimiliki oleh lawan bicaranya seakan menjadi senjata utama Jane. Tapi Jane
melakukan semua itu langsung didepan wajah lawan bicaranya. Bukannya seperti mereka
ini, yang diam-diam berbisik tapi di depan menjilat dengan baik.

Jane rasa kelakuan seperti itu jauh lebih buruk dari pada kalimat pedasnya.
Setidaknya Jane tidak munafik dalam menilai orang lain.

"Pak Anton," panggil Jane. Dia melihat Anton setengah terburu-buru ingin masuk
ke dalam sebuah ruangan. Karena merasa namanya dipanggil, Anton berhenti. Dia
memicingkan mata melihat Jane yang sedikit berlari menghampirinya.

Tidak biasanya Jane menemuinya seperti ini, batinnya.

Dari kedua matanya terus mengintai Jane yang tengah berlari ke arahnya. Cantik,
kata itulah yang langsung saja terbesit dikepalanya. Anton laki-laki normal. Dia
bisa membedakan mana perempuan cantik dan mana yang tidak.

Karena baginya, melihat Jane sekilas saja penilaian cantik sudah bisa tersemat
pada sosok perempuan itu. Tubuh Jane sangat sempurna bagi ukuran seorang perempuan
dewasa. mungkin karena ini Anton dapat mendengar gosip-gosip tidak sedap tentang
dia.

"Jane," gumamnya.

"Titipan berkas dari Bapak Jagad"


"Oh, yang tadi pagi saya minta. Terima kasih,"

Kecanggungan keduanya begitu terasa. Apalagi setelah waktu itu bagaimana


malunya Jane karena ketahuan bodoh dikerjai Jagad ketika disuruh mencari draf. Dan
yang terakhir kemarin ini ketika Anton menjemput Jagad di rumahnya. Melihat wajah
kusut Jane yang mengantarkan Jagad sampai pintu depan rumah.

Oh, God! Semoga laki-laki ini tidak berpikir macam-macam, batinnya.

Tapi ternyata keadaan berbeda dengan keinginannya, karena sepertinya Anton


sudah tahu mengenai ada kejanggalan antara hubungannya dengan Jagad. Buktinya saja
dia turut melihat Jane dengan tampang menilai.

"Sudah?"

"Ah .. " Jane terbangun dari lamunannya. Dia mengangguk cepat, kemudian
berbalik. Memaki kebodohannya karena bisa-bisanya melamun ketika di depan Anton.
Akan tetapi baru dua langkahnya menjauhi Anton, laki-laki itu memanggilnya kembali.

"Jane,"

"Iya pak," sahutnya pelan. Dia berbalik menatap sepenuhnya ke arah Anton yang
masih saja menilainya dari atas hingga bawah.

"Kamu nyaman bekerja di sini?" tanya Anton membuka pembicaraan. Sebenarnya dia
tidak nyaman berbicara dengan Jane. Tetapi sebagai kepala divisi HRD dia harus tahu
seperti apa kinerja pegawai yang telah dia terima.

"Bapak bertanya pada saya?" ulangnya tidak yakin. Jane memang sengaja berkata
demikian karena merasa aneh saja tiba-tiba seorang Anton bertanya tentang
kenyamanan kepadanya. Terakhir kali laki-laki ini berkata kepadanya, penilaian
buruklah yang dia keluarkan.

"Selamat pagi, Mary Jane. Senang melihat wajah lelahmu pagi ini" kalimat
mengesalkan ini berputar kembali diingatannya. Terdengar begitu sederhana memang,
tetapi sialannya mimik wajah Anton ketika mengatakannya benar-benar ingin Jane
cakar-cakar. Hingga mungkin wajah tampan Anton menjadi cacat seperti Jagad.

"Siapa lagi? Kamu pikir saya bertanya pada makhluk astral dari planet lain?"

"Lo pikir lucu? Pengen muntah yang ada" gumam Jane pelan, namun masih mampu di
dengar oleh Anton. Kening laki-laki itu bertautan. Cuma Jane dan mungkin hanya Jane
yang mulutnya benar-benar sangat kurang ajar.

"Maksud kamu? Kamu mau muntah dengar saya bicara?"

Jane memiringkan wajahnya, menatap Anton dengan satu tarikan napas dalam.
"Bapak dengar kalimat saya barusan?"

"Saya belum tuli, Jane" tekannya kuat-kuat. Anton mencebik kesal. Dia memijat
batang hidungnya yang tiba-tiba terasa berat. Benar-benar berbicara dengan
perempuan aneh ini butuh kesabaran ekstra. "Ingat, selama 3 bulan kamu masih saya
pantau dalam segala hal"

"Iya pak" jawabnya malas. Mimik wajah yang Jane tampilkan tidak bisa membohongi
penilaian dari Anton. Percuma dia menjadi kepala divisi HRD bila tidak peka
terhadap karakter orang lain. Mata menyipit dengan bibir datar, ditambah intonasi
yang terdengar rendah. Sangat mencerminkan penilaian buruk seseorang kepada orang
lain.
Dan sekarang ini Anton tahu bila Jane sedang mengejeknya dari dalam pikiran.
Kurang ajar sekali anak buahnya Jagad. Dia menyesal membawa Jane kehadapan Jagad.

Dulu dia sudah berkata pada Jagad agar tidak menerima Jane. Perempuan ini akan
menjadi masalah nantinya. Dari karakter dan cara dia menilai orang saja sudah
banyak nilai minus di sana. Belum lagi Jane bukan tipikal pekerja yang menurut.
Lalu yang paling terfatal, mulut mungilnya itu begitu pedas dalam mengeluarkan
kata-kata.

Tapi anehnya, ketika Anton menjelaskan semua itu pada Jagad, boss sekaligus
sahabatnya itu menerima Jane dengan baik. Dia berkata jangan menilai orang lain
dari satu kali tatapan saja. Bisa saja penilaian itu salah. Lagi pula semua orang
memiliki sebuah kesempatan yang sama.

Standart pendidikan Jane juga memasuki penilaian baik. Tidak ada salahnya
dicoba untuk menerimanya. Setidaknya bila Jane menjadi pegawai yang gagal,
perusahaan ini pernah mengambil pelajaran dari sosok pegawai seperti Jane.

Namun bila sudah seperti ini siapa lagi yang sulit kalau bukan dia? Pegawai
lain akan menilai dirinya tidak adil karena sudah memasukan seorang pekerja tidak
layak seperti Jane ke dalam kantor ini.

"Pak .. Pak. Ada lagi?" tegur Jane balik ketika Anton masih saja melamun.

Anton menatap kedua manik mata Jane dalam. Dia melonggarkan sedikit dasi yang
dipakainya. Kemudian berdehem pelan. "Saya cuma ingin kamu belajar banyak di sini.
Dari pegawai-pegawai yang sudah lebih dulu masuk dari padamu. Mereka akan
mengajarkan banyak hal kepadamu mengenai perusahaan ini. Jangan ragu untuk bertanya
kepada mereka semua. Termasuk kepada saya jika ada yang ingin kamu tanyakan. Karena
semakin sering kamu meremehkan orang-orang sekitarmu, tidak akan membuatmu menjadi
seorang perempuan hebat!" tekannya pada kalimat terakhir.

"Itu penilaian subyektif atau objektif pak? Jangan sampai apa yang bapak
nasihatkan kepada saya karena bapak mendengar gosip-gosip di luaran sana tentang
saya" balas Jane tidak mau kalah. Harga dirinya seakan terinjak-injak mendengar
nasihat dari Anton.

Apa maksud dari kalimat terakhir laki-laki itu? Apa ada yang salah dari cara
penilaiannya?

"Gosip?" ulangnya sembari tersenyum mengejek. "Saya tidak ada waktu


menggosipkan perempuan arogant sepertimu"

Jane memilih diam bukan karena dia takut. Dia sedang menilai begitu detail
wajah Anton. Cara laki-laki itu memasang mimik wajah untuk mengejeknya dia rekam
kuat-kuat dalam otaknya.

"Terima kasih pak, atas penilaiannya" ucap Jane. Tubuhnya sedikit membungkuk,
kemudian berjalan pergi meninggalkan Anton yang tersenyum penuh kepuasan. Dia
tinggal menunggu saja, apakah Jane akan mengadu kepada Jagad atau akan menelan
kata-katanya seorang diri.

***

Konsentrasi Jane sudah buyar. Semua yang dia lakukan tidak maksimal. Otaknya
dengan kurang ajar memutar terus kalimat menyudutkan dari Anton tadi. Dan bodohnya
Jane memikirkan apakah benar dirinya seburuk itu dimata semua orang.
Dia mengigit bibir bawahnya kuat kala melihat tumpukan berkas yang disodorkan
Jagad kepadanya tadi. Sebelah tangannya melihat satu demi satu berkas itu. Membaca
nama perusahaan yang tertera di sana. Jujur dia malas menyelesaikan pekerjaanya.
Karena sampai detik ini belum ada satupun yang berhasil dia analisa. Pikirannya
benar-benar buntu. Dia butuh tidur dan menghapus segala kekesalan yang ada. Tapi
waktu berjalan begitu lambat. Baru pukul 3 sore. Masih ada 2 jam lagi menuju jam
pulang kantor.

"Mbak .. mbak ... " seorang perempuan cantik melambai-lambai di depan meja
Jane.

Jane yang tengah melamun, mengerjabkan kedua matanya berkali-kali, baru ia


tersadar. Dirinya membeku. Melirik ke kiri dan ke kanan karena mendengar seletingan
tawa dari laki-laki bermulut kurang ajar. Siapa lagi kalau bukan Andri and the
genk.

"Mbak, oi ..." Panggilnya bingung. Apalagi tidak ada sama sekali respon dari
Jane untuk kesekian kaliannya dia memanggil.

"Ah, iya" sahut Jane. Dia berdiri menghadap penuh ke arah perempuan cantik itu.
Mencoba mulai menilai siapa sebenarnya sosok yang tengah berdiri di depannya.

Pakaian sederhana dengan rambut hitam panjang tergerai. Tubuhnya yang mungil
dengan senyuman yang tidak kunjung surut dari bibirnya. Lalu yang terakhir kedua
mata yang melengkung, seperti bulan sabit menambah kecantikan perempuan itu.

Siapa dia? Suara hati Jane.

Seketika perasaan tidak enak itu muncul. Menghantui hatinya agar menjadi
waspada kepada sosok perempuan cantik ini. Tapi rasanya kehidupan Jane bukan berada
di dalam sebuah sinetron yang tiba-tiba saja diserang oleh tokoh perempuan lain
diantara tokoh utamanya.

"Mas Jagad. Maksud saya Pak Jagadnya ada?" tanya perempuan itu dengan senyum
merekah.

Mas Jagad? Ulang Jane dalam hatinya. Sepertinya dia familiar dengan panggilan
itu.

Dan .. Ya Tuhan, perempuan ini. Dia yang ... ?Bab 18

Pengakuan Cinta

Setelah menutup pintu ruangan Jagad, mimik wajah kesal dari Jane muncul begitu
saja. Dia meremas ujung kemejanya, lalu menggerutu tidak jelas. Kejadian baru saja
benar-benar membangkitkan amarahnya. Dia disuruh-suruh layaknya pelayan oleh laki-
laki itu untuk membawakan minuman. Lalu mengusirnya begitu saja tanpa mengenalkan
lebih dulu siapa perempuan itu.

Kenapa jadi kau yang marah, Jane? Teriak otak arogant Jane.

Ya jelas dia marah. Di sini tugasnya adalah sebagai asisten GM bukan sebagai
babu dengan seenaknya disuruh-suruh melakukan segala hal.

Jangan menghindar dari serangan hatimu, teriak otaknya kembali.

Menghindar? Tidak, Jane tidak menghindar. Dia kesal karena diperlakukan tidak
baik oleh Jagad. Harusnya Jagad bisa saja meminta OB di sana untuk membawakan
minum. Kenapa harus Jane yang melakukannya. Kilah hatinya kembali.
Namun lama-lama tubuhnya kalah juga. Dari sudut hatinya terdalam dia tidak suka
senyuman Jagad diberikan untuk perempuan lain. Dia tidak mau kehangatan itu
terbagi. Apalagi perlakuan manis laki-laki itu menyesakan dirinya sendiri.

Kini dia hanya bisa menjerit dibalik pintu kaca ini. Menenangkan kegelisahan
dirinya yang semakin menjadi-jadi. Malu sekali Jane mengakui bila ada setitik luka
di sana karena kejadian ini. Sekuat apapun otak Jane menentang hatinya untuk
menolak kehadiran perasaan aneh yang Jagad berikan, namun tetap saja dia gagal.

Jagad sudah begitu dalam membawa sebuah virus baru yang tubuhnya belum kenali.
Sistem imun yang dia bangun selama ini bahkan tidak mampu menghalaunya.

"Kenapa lo?" tegur Memo. Laki-laki itu merasa aneh memandang Jane yang hanya
terpaku di depan pintu kaca ruangan Jagad. Sebelah alisnya terangkat satu, menilai
bahasa tubuh Jane.

Jane tidak menyahutnya, dia melirik tubuh laki-laki itu dengan kedua matanya.
Bibirnya masih terkatub, dengan mimik wajah datar. Jika sampai Memo si mulut ember
tahu bila Jane sedang patah hati, maka habislah dia. Bisa-bisa seluruh dinding
kantor ini menertawakannya.

Tahu sendiri bagaimana bocornya mulur laki-laki di sekitarnya sekarang. Bahkan


kalah lebih mengerikan dari pada ibu-ibu yang suka bergosip di tukang sayur.

"Buang gas jangan di depan pintu boss. Jorok


lo jadi cewek" celetuknya pedas.

"Mulut lo belum pernah gue iket pakai karet 2?" balas Jane. Kaki mulusnya mulai
melangkah melingkari kubikelnya, sambil membalas tatapan tidak suka dari Memo.

"Jiah, Mo. Dia pikir mulut lo kayak cabe. Pakai diiket 2 karet" kompor Andri.
Laki-laki itu memang sengaja mencari peperangan dengan Jane. Setelah tadi pagi
hampir saja Jagad membuangnya ke negeri entah berantah, kini Andri ingin
membalaskan kekesalannya pada Jane.

"Dia nggak sadar, mulutnya lebih pedes dari cabe yang dilevel-levelin" sahut
Memo.

Dari kejauhan Jane bisa melihat keduanya saling melempar pandangan kemenangan.
Tangan kanan Jane sudah begitu gatal. Ingin menampar mulut-mulut tidak tahu diri
itu agar mereka semua jera. Dan tidak seenaknya menilai seorang perempuan.

Jaman memang sudah terbalik. Biasanya yang sering sekali berbicara adalah kaum
perempuan. Maklum saja makhluk sempurna yang diciptakan Tuhan memang memiliki
banyak bibir, sedangkan laki-laki seharusnya lebih banyak berpikir sebelum
berbicara. Karena Tuhan membekalinya dengan dua kepala. Adil bukan?

"Kekinian banget lo, Mo" sambut Andri. Namun dibalas oleh Jane dengan tatapan
kebencian. Kilatan marah dari mata Jane terasa mencabik-cabik tubuh Andri.

Baru Jane yang bisa membuat bulu kuduknya berdiri hanya dengan tatapan. Mata
dingin itu sungguh menikam tepat sasaran. Itu baru tatapan dinginnya saja. Karena
Andri tahu sebentar lagi kalimat pedas dari Jane akan mengikutinya.

"Mulut kotor kalian nggak lebih dari sampah. Tidak berbobot dan tidak beretika.
Kalian pikir hebat menilai rendah seorang perempuan?" Jane membalasnya dengan nada
rendah namun power suara yang kuat.
Bagi Jane tidak perlu berteriak-teriak untuk menunjukan kualitas dirimu. Karena
intonasi tinggi bukan menunjukkan kau akan menang dalam berdebat, tetapi intonasi
yang rendah dengan power yang kuat bisa membuat lawan bicaramu membungkam.

"Wow, memangnya lo perempuan beretika?" balas Andri. Dia berjalan keluar dari
kubikelnya diikuti oleh tatapan beberapa orang yang tak jauh dari mereka. Tubuhnya
menghampiri Jane yang masih duduk tenang di sana.

Kemudian dia menumpukan kedua tangannya di atas meja, memajukan tubuhnya ke


arah Jane sambil membalas tatapan tajam itu. "Lo itu bukan perempuan baik-baik
Jane. Jangan sombong dan jangan munafik. Semakin lo sombong dengan segala kelakuan
lo, semakin mudah orang lain menilainya. Camkan kata-kata gue. Lo masih hidup di
bumi, makan juga masih pakai nasi. Nggak perlu berlagak seperti Tuhan ketika
berbicara dengan orang lain" tutupnya.

Jane menepis kuat tangan Andri yang sengaja mengacak-acak rambut panjangnya.
"Jangan sentuh gue dengan tangan kotor lo!!"

"Ok, perempuan PERFECT"

Bertepatan tubuh Andri berbalik, pintu ruangan Jagad terbuka. Di sana Jagad
memasang wajah bingung. Aura para pegawainya begitu panas. Seperti sedang berada
dalam sebuah pertarungan sengit.

Kedua alisnya terangkat ketika melihat wajah Jane memerah. Kemudian beralih ke
Andri yang nampak santai kembali ke kubikelnya.

"Mas, aku balik dulu ya,"

"Hati-hati Jay. Salam buat mama dari mas. Mas belum bisa ke rumah mama"
sambungnya.

Rasa marah Jane semakin lengkap kala pelukan hangat Jagad dipertontonkan di
depan dirinya. Kedua tangannya terkepal tepat di samping tubuhnya. Matanya memicing
tajam. Mengintai setiap gerakan yang dilakukan Jagad dan perempuan itu.

Andai saja membunuh orang tidak ada hukumannya, sudah pasti Jane akan menyerang
tubuh perempuan itu dengan kuku-kuku indahnya. Lalu mencabik-cabik tubuh mulus itu
dengan begitu kejam.

Sadis memang kelakuan yang Jane pikirkan. Tapi sebagai perempuan yang tengah
cemburu, apapun bisa dilakukan. Seperti kabar yang sering diputar pada info
ditelevisi, dimana seorang perempuan tega memotong kelamin kekasihnya sendiri.

Menyeramkan bukan!! Dan Jane bisa melakukan lebih kejam dari itu.

Satu tarikan napas Jane keluarkan. Dalam otaknya mencoba menangkan segala
amarah dihatinya. Dia tidak boleh sekejam itu. Hubungannya dengan Jagad masih belum
jelas ujung pangkalnya, jadi harusnya Jane malu merasa cemburu karena melihat Jagad
bermesraan.

Namun batinnya tetap tidak sanggup lagi disuguhkan adegan mesum khas pasangan
kekasih oleh Jagad dengan perempuan itu. Jane memang perempuan dingin, tapi bukan
berarti dia tidak punya hati.

Dari pada dia mengamuk tidak jelas di depan orang banyak, terburu-buru Jane
melangkah menuju pantry. Setidaknya Jane tahu, dia butuh air untuk menghentikan
kebakaran dihatinya.
***

Satu gelas besar air mineral sudah masuk ke tubuhnya. Mencoba meredam
amarahnya. Mematikan kobaran api yang membakar setiap sudut hatinya. Dia tahu ini
tidak benar. Tapi dia tidak bisa menghentikannya.

Melihat tubuh Jagad dipeluk perempuan itu dengan penuh kasih sayang. Belum lagi
sebuah kecupan hangat mendarat di pelipisnya menambah deretan tajam kekesalan Jane.

Seumur-umur dia tidak pernah merasa begitu terbakar seperti tadi. Dia pernah
memiliki hubungan dengan lawan jenis, tetapi tidak seperti hubungan anehnya dengan
Jagad.

Tidak ada adegan emosi, tidak ada adu otot di sana. Yang ada hubungan saling
memuaskan satu sama lain.

Dan sekarang Jane mengakui keanehan ini. Hanya dengan Jagad dunianya berputar.
Yang tadinya dia tidak pernah menunjukkan emosi, kini perasaan emosi bercampur
kesenangan sering kali muncul. Dan itu berkat Jagad.

Oh Tuhan. Benteng tingginya sudah benar-benar hancur. Perasaan aneh ini dengan
mudah merobohkannya. Menembus batas akhir pengamanan hatinya. Padahal Jagad tidak
melakukan usaha apapun. Atau mungkin laki-laki itu tidak tahu bahwa di sini dia
sudah terjerat oleh perasaan aneh seiring dengan kedekatan mereka.

Mungkin ini adalah karma Tuhan untuk Jane. Dia yang terlalu membenci kecacatan
Jagad harus berbalik arah menjadi mencintainya. Akan tetapi bukan point itu yang
membuat Jane begitu rapuh seperti kali ini. Yang menyiksa hatinya bukan karena
karma Tuhan yang telah membuatnya jatuh cinta pada Jagad, melainkan karena ketika
dirinya sadar bahwa Jagad bisa membuatnya nyaman dan bisa menumbuhkan rasa yang
lain, Jagad bukan siapa-siapa.

Dia ada di sekitar Jane, selalu beredar disekelilingnya. Tetapi sangat


mengenaskan karena hati Jane tidak bisa menyentuh hatinya.

"Gue harus gimana?" keluhnya seorang diri. Jane masih terduduk pada kursi
pantry seorang diri. Menghirup udara dengan rakus untuk mengisi kekuatannya
kembali.

"Gue kalah sama pendirian yang gue buat" akunya. Kepalanya bertumpu pada kedua
tangan yang terlipat disebuah meja besi.

Pada akhirnya, Jane mengaku kalah karena rasa aneh yang sering orang sebut.
Cinta.

Cinta yang tumbuh diantara dia dan Jagad mematikan langkahnya sendiri. Dia yang
bercita-cita memiliki pasangan hidup sempurna harus rela menguburnya dalam-dalam.
Karena rasa cinta yang hadir itu sudah mengacaukan semuanya.

Semakin dia membohongi hatinya sendiri, semakin sakit yang dia rasakan.

Karena itu, Jane mencoba bertanya pada logikanya sendiri. Apa obat dari sebuah
perasaan bernama cinta? Lalu dengan mudah sebuah jawaban hadir di sana.

Kebersamaan untuk saling memiliki.

Tapi mungkinkah dia bisa mendapatkan jawaban itu dari Jagad? Dia saja tidak
yakin laki-laki itu memiliki rasa yang sama. Kadang laki-laki itu begitu dekat,
kadang jauh sekali hingga terasa tidak tersentuh oleh Jane. Lalu bagaimana dia bisa
mendapatkan Jagad jika seperti ini?

Tepat ketika Jane menyuarakan rasa hatinya pada pikirannya, sosok yang sejak
tadi dia pikirkan berdiri di sampingnya. Menyandarkan tubuh besarnya pada meja
pantry.

Jagad belum berkomentar apapun tentang keanehan yang dia lihat dari Jane. Dia
hanya diam, menemani perempuan itu dalam keheningan. Membiarkan Jane yang lebih
dulu memberitahunya.

"Aku kalah .."

Pandangan Jagad teralih padanya, meneliti raut wajah Jane dengan seksama. Mata
dingin itu terlihat berkabut. Ada cairan bening di sana yang sebentar lagi akan
mengalir deras dari kedua mata Jane. Kemudian bibir mungil perempuan itu bergetar.
Kali ini bukan karena ingin memaki Jagad. Melainkan karena hal lain yang ingin Jane
katakan kembali.

"Aku kalah dengan prinsipku sendiri. Bahwa cinta datangnya tanpa pernah bisa
diperhitungkan" lanjutnya kembali.

Tangan besi Jagad meraih juntaian anak rambut Jane yang menutupi wajahnya,
kemudian mencoba tersenyum tanpa berkomentar apapun. Setidaknya Jagad membiarkan
Jane menyelesaikan kalimat yang tengah dia rasakan.

"Dan kau tahu bagaimana cinta bisa merusak segala prinsipku?"

"Tidak"

"Karena cinta datang bersama dengan kehadiranmu"Bab 19

Aku Mau Kamu

Sebuah senyuman hadir sebagai respon Jagad akan pengakuan tentang cinta oleh
perempuan dingin seperti Jane. Dia terlihat tidak percaya dengan menggelengkan
kepalanya beberapa kali. Kemudian menatap Jane kembali.

Bukannya dia tidak suka mendengar pengakuan cinta dari Jane, namun dia tidak
menyangka akan secepat ini. Benar-benar diluar pemikirannya. Jagad awalnya masih
terus merencanakan hal-hal lain untuk menarik perhatian Jane. Sambil terus
menguatkan telinga dan hatinya ketika mendengar balasan tajam dari bibir Jane.

Tetapi sepertinya rencana yang sudah ada dipikirannya tidak perlu dijalankan.
Jane sudah jatuh bertekuk lutut begitu saja. Tanpa Jagad perlu repot-repot memohon
kepada perempuan ini.

Benar kata orang banyak, mulut seorang perempuan dengan hatinya sangat
berbanding terbalik. Semakin sering seorang perempuan menghinamu, maka semakin
hatinya memujamu dengan cintanya.

Jagad bersyukur mencintai Jane dengan mulut pedasnya ini. Karena hati Jane
sudah begitu dalam untuk mencintainya.

"Ada yang lucu dari kalimatku tadi?"

"Tidak"

"Lalu?" Jane sudah menunggu tindak lanjut dari pengakuannya kepada Jagad. Namun
menilai dari reaksi tubuh Jagad sepertinya Jane akan dibuat sakit hati oleh jawaban
laki-laki itu. Buktinya senyuman menyebalkan itu menghiasi bibir manis Jagad.

"Berapa usiamu, Jane?"

"25"

"Cukup tua untuk mengaku cinta dengan gaya malu-malu seperti itu" goda Jagad.

Kedua mata Jane melotot tajam. Lalu ketika tangan Jane ingin memukul Jagad
dengan kuat, sebuah tangan besi menahannya. Mengusap lembut pergelangan tangan Jane
kemudian membawanya ke mulut Jagad.

"Aku bukan remaja lagi, Jane" ucapnya setelah mencium pelan punggung tangan
Jane. "Dan aku bukan laki-laki yang suka ngobral janji manis ke perempuan. Kamu
bisa menilainya dengan tindakan yang selalu kulakukan kepadamu saja" sambungnya
kembali.

"Klise" sahut Jane kasar.

Memangnya ada yang salah perempuan dewasa dengan laki-laki dewasa saling
mengucap cinta? Rasanya tidak. Sekali-kali kata cinta itu perlu diucapkan untuk
pemanis sebuah hubungan. Bukan hanya tindakan semata.

"Apa menurutmu semua yang kukatakan barusan terlalu klise dilakukan oleh laki-
laki berusia 28 tahun?" Tanya Jagad.

"Seharusnya laki-laki dewasa lebih tahu apa yang diinginkan seorang perempuan
dewasa," balas Jane.

Manik mata keduanya saling beradu pandang dengan tangan kanan Jagad tidak
melepas genggaman tangan kanan Jane. Jarak mereka cukup dekat, sampai Jane kembali
bisa melihat luka diatas alis kanan Jagad.

"Aku tahu apa yang kau inginkan" ucap Jagad. Tubuhnya semakin mengikis jarak
diantara keduanya, kemudian berbisik lembut ditelinga Jane dengan suara serak. "Sex
with me tonight, Jane"

Jane mengigit bibir bawahnya. Dia terkejut dengan permintaan langsung dari
Jagad. Biasanya lawan "main" dari Jane lebih suka memakai ungkapan klise untuk
mengundang Jane ke ranjang mereka. Namun Jagad benar-benar begitu terbuka.

Jane tersenyum penuh arti. Dia terlihat berpura-pura berpikir, membiarkan Jagad
menerka-nerka akan jawaban dari permintaannya tadi.

"Baiklah. Tidak ada salahnya bermain sedikit dengan besi dingin itu"

***

Jagad mematikan mesin mobilnya ketika mereka sudah sampai di depan rumah
bergaya sederhana milik Jagad. Di sebelahnya ada Jane yang masih duduk dengan
tenang. Pandangan perempuan itu terus tertuju ke arah depan. Tanpa suara dan tanpa
gerakan sedikitpun.

Rasa kikuk menyerang Jagad. Dia seperti tengah mengajak seorang perawan untuk
menemaninya malam ini. Padahal Jagad tahu Jane sudah berpengalaman dalam kegiatan
memuaskan. Bahkan Jagad tahu Jane memiliki banyak hubungan dengan laki-laki, salah
satunya Dave. Sahabatnya lamanya itu.

"Ayo" ajak Jagad.


Namun ketika Jagad ingin melangkah turun dari mobil, tangan Jane
menghentikannya. Dia melihat genggaman kuat tangan Jane kemudian beralih memandang
wajah dingin itu.

"Apa harus di rumahmu? Mak .. maksudku, apa harus di sini?" ringisnya pelan.

Jagad kembali menutup pintu mobilnya. Kemudian menilai reaksi tubuh Jane.
Seperti ada yang aneh, begitu batin Jagad menilainya.

Wajah Jane tertunduk, dengan tangan itu terus menggenggamnya. "Ada apa Jane?"

Jane mendongak, membalas pertanyaan Jagad dengan senyum kaku. Dia tidak pernah
seaneh ini. Jane juga tidak mengerti mengapa ada reaksi ketakutan yang keluar dari
tubuhnya.

Bukan karena dia takut akan melakukan hubungan intim dengan Jagad, melainkan
ada hal lain yang dia takutkan. Yaitu perempuan yang tadi begitu dekat dengan
Jagad.

Seburuk apapun sikap Jane, tidak ada dalam kamusnya menyakiti hati perempuan
lain. Dia tidak suka menghabiskan waktunya hanya untuk beradu mulut dengan
perempuan. Karena itu sebelum ketahap sana, bolehkah Jane mencari jawaban dari
ketakutannya itu.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" ungkapnya ragu.

Jagad menaikan sebelah alisnya, menilai respon Jane yang berlebihan. "Kita bisa
menghentikannya Jane jika kau tidak mau" balas Jagad.

"Bu .. bukan itu,"

"Lalu?"

Dengan ragu Jane kembali menatap Jagad sambil menarik napas berkali-laki. "Apa
sebenarnya hubunganmu dengan perempuan yang tadi di kantor?"

Bibir Jagad terbuka lebar. Dia kira Jane akan mengajukan pertanyaan penting
kepadanya. Ternyata ini yang membuat Jane aneh sejak di kantor tadi.

Perempuan ini cemburu, catat itu !! Seorang Mary Jane cemburu dengan perempuan
lain yang mendekati Jagad.

Haruskah Jagad bangga? Perempuan sempurna begitu jatuh cinta dan tidak mau
kehilangan laki-laki cacat sepertinya.

Sambil berpura-pura terbatuk, Jagad menormalkan mimik wajahnya kembali.


Membuang pandangannya kearah lain agar tidak terlihat bila dia ingin tertawa
kencang.

"Apa ada yang salah dari pertanyaanku?" kedua alis Jane bertautan sambil
memandang sebal kepada Jagad.

"Tidak. Tapi pertanyaanmu membuatku ingin tertawa, Jane" akunya jujur.


Setelahnya Jagad tertawa puas sambil cubitan-cubitan cinta diberikan dari tangan
Jane. Dia tidak mengaduh sakit karena cubitan itu, tetapi Jagad begitu
menikmatinya.

"Oke .. oke. Akan aku jelaskan siapa dia" tenang Jagad. Dia menarik napas dalam
kemudian kembali tertawa karena melihat wajah serius Jane.

"Cepat katakan!!"

"Dia itu Jay. Maksudku, dia itu Jememi Ainara. Aku memanggilnya Jay tetapi
Anton lebih suka memanggilnya Nara. Usianya baru 23. Dan dia adik perempuanku"
Jelas Jagad.

Penggalan kalimat terakhir penutup penjelasan Jagad membuat kedua pipi Jane
memanas. Jadi perempuan yang membuatnya cemburu setengah mati adalah adik dari
Jagad. Bagaimana bisa dia tidak mengetahuinya.

Dari senyuman mereka yang serupa seharusnya Jane tahu siapa perempuan itu. Tapi
api cemburu sudah lebih dulu melahapnya. Dia tidak bisa berpikir jernih disaat rasa
cemburu itu hadir.

"OH" hanya itu tanggapan dari Jane. Dia melepaskan genggaman tangan Jagad,
kemudian sengaja memandang sisi kiri jendela mobil itu.

Dia sengaja menghindari senyuman usil dari Jagad. Bisa semakin besar kepala
laki-laki itu bila melihat kedua pipinya merah padam.

"Jadi, apa masih bisa lanjut permintaanku?"

"Kau menang," geram Jane sembari melempar tas tangannya ke arah Jagad.

***

Mata Jane tidak henti-hentinya menatap ke arah sekeliling perabotan rumah


Jagad. Ukuran rumah dengan luas yang tidak begitu besar, memiliki penilaian berbeda
dari Jane. Bukan karena siapa pemilik rumah ini, tetapi dari tata letak serta
pemilihan peralatan di dalamnya membuat Jane terkagum-kagum.

Bingkai-bingkai foto sangat indah diletakan dalam lemari kaca. Mulai dari foto
Jagad ketika masih kecil sampai foto keluarga besarnya, dimana ada Jagad, kedua
orangnya serta Jay. Perempuan yang sempat membuat Jane cemburu setengah mati.

Selain foto-foto tersebut, ada sebuah lukisan cukup besar yang diletakkan
dibelakang sofa ruang keluarga. Sekilas Jane bingung memaknai lukisan aneh itu,
namun semakin dia melihatnya semakin dia penasaran mengatahui makna dibalik lukisan
tersebut.

"Itu lukisanku"

"Kau? Bisa melukis?" ungkap Jane tidak percaya.

"Tidak. Aku bukan seorang pelukis,"

"Lalu ini?"

Jagad diam. Turut memperhatikan lukisan yang terbuat dari cat minyak tersebut.
Lukisan ini dibuat ketika dia menginjak masa sekolah menengah atas, dimana masa
keterpurukannya benar-benar terjadi.

Masa yang sangat berat bagi Jagad. Dimana dia harus bertahan melawan masa lalu
kelamnya, serta melawan olokan-olokan tajam murid-murid satu sekolahnya.

Bukan hal baru lagi pada masa sekolah, yang sempurna akan dipuja-puja dan yang
cacat akan di hina sampai mati.
"Ini hanya sebuah ungkapan perasaan" jawabnya pelan.

"Ungkapan perasaan?" ulang Jane kembali. Dia melirik ke arah lukisan itu
kembali. Dimana hanya terdapat seperti awan gelap di sana menyelimuti sebuah
cangkang emas.

"Aku dengan masa lalu kelam"

Jagad tersenyum samar ketika mereka berdua saling bertatapan. Dia berusaha
mengalihkan banyak pertanyaan yang muncul di raut wajah Jane dengan menawarkan
perempuan itu secangkir minuman hangat.

"Kopi atau teh?"

"Aku mau kamu" Jawab Jane menantang.

"Oke, kudengar kau mau kopi" elak Jagad. Dia mulai melangkah ke arah dapur
diikuti oleh langkah kaki Jane di belakangnya.

"Kenapa kau menghindar?" todong Jane.

"Menghindar? Itu hanya perasaanmu saja" elaknya cepat.

"Oh, ayolah. Kau bukan remaja lagi, Bapak Jagad" cibir Jane.

Manik mata dingin itu kembali lagi mengintimidasi lawan bicaranya. Dia berdiri
tak jauh dari Jagad dengan kedua tangan terlipat di dada. "Aku rasa tidak perlu
mengajarkanmu untuk membuatku klimaks"

Jagad menggelengkan kepala cukup kuat. Mulut kecil itu masih saja begitu tajam.
Menikam telak pada harga diri Jagad sebagai seorang laki-laki.

"Apa?" tantang Jane kembali.

"Minumlah dulu" secangkir kopi laki-laki itu sodorkan dihadapan Jane. Perempuan
itu terlihat tidak percaya dengan sikap Jagad yang seolah tidak terbakar apapun
atas kalimat-kalimat tajamnya.

"Ayolah, aku ingin kau minum dulu, Jane" ucap Jagad kembali.

Jane mendesah pasrah. Dia menghirup cairan hitam pekat itu dalam-dalam. Begitu
menenangkan, batin Jane. Kemudian seteguk cairan itu lolos begitu saja melalui
tenggorokannya. Dia akui Jagad ahli dalam membuat kopi yang begitu pas takarannya.
Manisnya serta kentalnya bercampur menjadi satu, hingga kopi ini begitu sempurna.

"Setelah ini kau mau apa?" tanya Jane kembali setelah meletakkan cangkir
kopinya diatas meja.

Wajah Jagad seolah berpikir sangat keras. Dia juga tidak ada rencana setelah
ini melakukan apa. Belum ada rencana matang untuk menghabiskan malam ini berdua
dengan Jane. Terakhir mereka menghabiskan malam berdua, tidak terjadi apapun
diantara keduanya. Lalu bagaimana dengan malam ini?

"Kau tahu, baru kali ini aku bertemu laki-laki yang terlalu banyak berpikir
untuk melakukan hubungan intim dengan perempuan. Jangan bilang milikmu sudah
terganti oleh dinginnya besi?"

Pertanyaan Jane langsung membuat Jagad tersedak. Cairan kopi tersebut sampai
keluar dari kedua lubang hidungnya karena merasa begitu kaget.

Seperti biasa, mulut Jane memang perlu dikasih pelajaran lebih dulu sebelum
tubuh indahnya.Bab 20

Menikahlah denganku

Kegiatan bertukar saliva belum juga terhenti sejak hampir 5 menit yang lalu.
Keduanya masih saling memanggut dalam menawarkan rasa yang lain kepada lawan
mainnya.

Setelah tadi Jagad merasa diremehkan atas perkataan Jane, laki-laki itu
langsung saja menerkam Jane dengan cepat. Tanpa aba-aba, tanpa kesiapan, tubuh Jane
langsung di kungkung dalam pelukan Jagad dengan bibirnya menari-nari atas bibir
Jane.

Sejak awal bukan seperti ini yang Jagad inginkan. Jagad tidak akan munafik,
karena sejatinya dia hanya seorang laki-laki biasa yang akan bisa langsung turn on
ketika disodori seorang perempuan cantik. Namun bukan begini caranya.

Dia tidak mau dan tidak akan pernah menyamakan Jane dengan perempuan satu
malamnya. Jelas sekali Jane berbeda. Dan Jagad ingin berhubungan intim dengan Jane
menggunakan cinta. Bukan hanya sekedar napsu semata.

Jika bicara tentang napsu, sesungguhnya Jagad bisa memiliki Jane sejak awal
kesempatan mereka bersama. Tapi Jagad tidak mau bukan tidak mampu. Dia menahan
segalanya hanya ingin Jane tahu bahwa dia serius tentang perasaannya.

Tetapi sialnya, Jane yang melemparkan tubuhnya sendiri pada Jagad. Dia sendiri
yang ingin disamakan seperti perempuan-perempuan bayaran itu. Haruskah Jagad
membenci itu?

"Why?" kegiatan bercumbu mereka terhenti ketika Jagad menjauhkan tubuhnya. Dia
menepis tangan Jane yang sudah lebih dulu bersarang pada pusat tubuhnya.

"Tolong Jane. Bukan seperti ini yang kuinginkan"

"Maksudmu?" tanya Jane yang merasa tidak mengerti keinginan Jagad.

Laki-laki itu menarik sebuah kursi untuk mendudukan tubuh Jane di sana. Dia
bersusah payah menekuk sebelah kaki kirinya. Kemudian bertumpu pada tubuh Jane.

Dari posisinya Jane meringis sedih melihat wajah Jagad. Dia tahu ada sesuatu
yang ingin Jagad sampaikan. Karena itu dia diam. Membiarkan Jagad yang memegang
kendalinya.

"Jane, dengarkan aku" ucapnya terbata-bata. Bibirnya sesekali meringis menahan


ketidaknyamanan posisinya. "Aku rasa ada yang salah di sini. Maksudku, aku memang
menginginkanmu, Jane. Tapi ... bukan dengan cara seperti ini"

"Jika aku terlena dengan godaanmu, sama saja aku membuatmu setara dengan
perempuan-perempuan satu malamku. Dan aku rasa bukan itu yang kita berdua inginkan.
Kau setuju?"

"Jane .. " panggil Jagad ketika tidak ada tanggapan sama sekali dari Jane. "Kau
terlalu sempurna untuk disakiti, Kau seperti sebuah tembikar. Antik dan berkelas.
Tapi bila aku salah dalam memperlakukanmu, kau bisa saja hancur. Aku tidak mau itu
sampai terjadi"
"Maksudmu?"

"Menikahlah denganku, Jane. Kita bangun semuanya dari awal. Kita satukan apa
yang kita inginkan dalam jalan yang benar"

"Me .. nikah?" ucap Jane terbata-bata. Dia menggelengkan kepala cepat, menepis
kedua tangan Jagad yang bertumpu padanya.

"Kita bangun keluarga kecil bersama, dimana ada kamu dan aku serta anak-anak
kita nanti"

Jane tersenyum samar. Dia memandang Jagad penuh kesakitan. Bukan karena laki-
laki itu menyakitinya, namun karena Jagad sudah berhasil membuka kenangan lamanya.
Tentang sebuah arti dari keluarga.

"Kau tahu ada satu hal yang aku benci dari kata menikah. Yaitu sebuah
keluarga." Balas Jane dengan lirih. Hatinya seakan tertusuk-tusuk dalam ketika kata
demi kata itu keluar dari bibirnya.

"Kau kenapa Jane?" Jagad hampir saja tersungkur kala tubuh Jane berdiri tiba-
tiba dari posisinya. Perempuan itu berjalan membelakanginya. Berdiri menghadap
kearah bingkai-bingkai foto yang terpasang di dalam lemari tersebut.

Hatinya semakin mengiris sakit memandang keluarga Jagad yang begitu bahagia. Di
sana ada sosok ayah serta ibu yang bisa memeluk kedua buah hatinya dengan sayang.
Sedangkan masa kecilnya hancur berantakan. Laki-laki itu pergi begitu saja tanpa
alasan sedikitpun.

Meninggalkan luka dalam selama 18 tahun untuknya dan sang ibu. "Aku bahkan lupa
bagaimana sosok seorang ayah sesungguhnya" gumam Jane. "Ayah seharusnya menjadi
laki-laki yang bisa kucintai dengan tulus. Tetapi dalam hidupku, ayah adalah laki-
laki yang mengajarkanku tentang kebencian" ungkap Jane sambil menahan isakan.

"Bisa kau jelaskan seperti apa seorang ayah itu?" tanya Jane bersamaan dengan
bulir air matanya mengalir. Tetapi dengan segera punggung tangannya menghapus air
mata itu.

"Aku bahkan begitu mengharapkan kehadiran ayah ketika pertama kali jatuh cinta
dengan laki-laki. Aku juga ingin seperti perempuan lain yang akan dilindungi oleh
ayahnya ketika ada seorang laki-laki menjemputnya di rumah. Tapi apa yang kudapat?
Kebencian serta sikap dingin yang terbentuk dari rasa sakit selama ini"

Jagad terpaku di tempat. Ini diluar dugaannya. Jane menangis dengan segala
ungkapan perasaan hatinya. Menyisakan perih di hati Jagad yang turut hanyut dalam
penjelasan Jane.

"Lalu sekarang kau tawarkan sebuah pernikahan kepadaku?" tanya Jane dengan
pandangan terluka. "Kau sama saja memintaku untuk menikam jantungku sendiri" ungkap
Jane.

"Bukan seperti itu, Jane. Aku tidak pernah ingin melukaimu. Kau terlalu cepat
menilai sesuatu dari sudut pandangmu saja. Lihatlah dari segala arah Jane. Karena
ini bukan hanya tentangmu, tapi ada aku juga di sana"

"Tentangmu?"

Jagad memejamkan kedua matanya sejenak. Dia melepaskan bingkai kacamatanya,


kemudian memijat kuat pangkal hidungnya. Sungguh dia lelah. Malam yang dia pikir
akan berakhir dengan indah nyatanya harus berakhir luka.
"Dengarkan aku baik-baik. Jika kini aku tawarkan dua pilihan di depanmu antara
kebahagiaan dan kesedihan, kau pilih mana?"

"JELAS AKU MEMILIH BAHAGIA!!" bentak Jane.

"Bagus. Semua keadaan yang terjadi adalah hasil dari pilihan dirimu sendiri,
Jane. Aku memang tidak tahu masa lalumu seperti apa, bagaimana luka yang begitu
dalam kau rasakan. Tapi kau harus dengarkan aku, Jane. Berakhir bahagia atau sedih
hanya kau yang bisa menentukan. Jadi tolong pikirkan baik-baik perkataanku" Tutup
Jagad.

"Apa aku bisa?" Tanya Jane pada hatinya sendiri.

"Pasti bisa Jane. Tidak ada yang mustahil, selama kau yakin"

Jagad mulai tersenyum ketika ia tahu Jane memikirkan semua ucapannya. Perempuan
itu sudah terlihat lebih tenang walau keningnya masih berlipat dalam.

"Apapun keputusanmu, aku akan mendukungmu"

"Benarkah?"

"Ya"

***

Jane mencengkram kuat punggung terbuka Jagad. Membalas tatapan penuh gairah itu
bersamaan dengan desahan kenikmatan yang tengah dia rasakan. Keduanya tengah diatas
puncak kenikmatan bersama hingga berkali-kali Jane meneriakkan nama Jagad ketika
laki-laki itu memberikannya sebuah pengalaman baru.

Dulu dia paling anti untuk berdekatan dengan laki-laki tidak sempurna. Baik
dari fisik atau hatinya. Tetapi kini dia tarik kembali semua ucapannya. Dia
hancurkan sendiri batas-batasan yang selalu dia pegang teguh dulu.

Karena baginya bercinta dengan Jagad memberikannya kenikmatan lain. Yang belum
pernah dia rasakan sebelumnya. Jagad memang begitu pintar memujanya dengan semua
gerakan yang mereka lakukan tadi. Dan semua itu sangat berkesan kepada Jane.

Dia sampai lupa bagaimana bisa malam ini mereka berdua berakhir di atas
ranjang? Padahal tadi keduanya terlibat adu mulut yang cukup menegangkan mengenai
pernikahan dan keluarga. Hingga ketakutan masa lalu Jane harus hadir kembali
bersamaan dengan permintaan Jagad untuk menikahinya.

Namun kini Jane seolah menjilat air ludahnya kembali. Dia dengan senang hati
menerima semua ajakan dari Jagad. Sampai harus berkali-kali mereka merasakan
kepuasan secara bersamaan.

"Terima kasih Jane," ucap Jagad ketika menyelesaikan sisa-sisa pelepasannya.


Tubuhnya berguling di samping Jane dengan pandangan sama-sama menatap langit kamar.
Tarikan napas keduanya masih sama-sama kuat, menstabilkan kembali kerja sistem
tubuhnya.

"Jane," panggil Jagad kembali.

Dia merasakan tubuh Jane mendekatinya. Berbaring pada sisi kiri bidang dadanya
kemudian mengusap lembut bekas jahitan pada tubuh Jagad.
"Kupikir akan ada besi menusukku" celetuk Jane memecah kesan romantis diantara
keduanya.

Jagad justru tertawa mendengar kalimat kasar dari Jane. Dia memeluk tubuh Jane
dengan erat sambil berkali-kali mencium kening perempuan itu.

"Masih berani menghinaku?" Tanya Jagad kembali.

Jane menahan tawanya. Dia mengangkat kepalanya untuk menatap wajah Jagad.
Memandang wajah tampan laki-laki itu tanpa terhalang oleh bingkai kacamata yang
selalu menghiasi wajahnya.

"Setidaknya 2 kali aku yang memegang kendali," protes Jane.

"Iya, iya. Kau yang selalu memegang kendali atas diriku, Jane" Jagad sengaja
mengalah agar Jane bahagia. Dia bisa melihat senyuman terbit di bibir Jane sampai
kedua matanya tertarik sempurna.

Sungguh cantik, batin Jagad. Ini adalah senyuman tertulus yang dia lihat
membingkai wajah dingin Jane. "Kamu benar-benar cantik, Jane"

***

Aroma harum sabun mandi mengusik penciuman Jane. Matanya perlahan terbuka.
Melirik ke sisi kanan tempat tidurnya. Dimana semalam Jagad berada. Tetapi kini
tidak ada sosok Jagad di sana.

Kemudian Jane mengumpulkan sisa-sisa ingatannya tentang semalam. Bagaimana


mereka berdebat kemudian berakhir dengan penuh kehangatan di ranjang ini. Saling
mencumbu dan mendamba satu sama lain membuat keduanya tahu bila ada perasaan yang
sama antara dia dan Jagad. Hanya dengan sentuhan Jagad ingin Jane tahu bahwa cinta
tidak hanya sebatas untaian kata. Dan Jagad juga ingin Jane mengerti kesempurnaan
cinta bukan dinilai dari fisik semata.

Bagi Jane kejadian semalam tidak akan mungkin dilupakan. Dia tidak akan bisa
menampik bagaimana hebatnya Jagad dalam memuaskannya. Ternyata kondisi tubuhnya
yang cacat tidak mengurangi kenikmatan apapun dalam hubungan mereka.

"Aku tidak ingin pegawaiku terlambat bekerja, Jane" Suara Jagad terdengar
bersamaan dengan tubuh tegapnya masuk ke dalam kamar itu. Dia sudah rapi dengan
pakaian kerjanya. Setelan jas formal serta celana hitam itu berhasil menutupi
segala kekurangannya.

Tubuh sexy seperti semalam sudah tidak ada lagi. Pagi ini semua sudah kembali
seperti biasanya. Dan Jane benci itu. Rasanya Jagad memang sengaja menutupi segala
kekurangan yang dia miliki dengan menonjolkan banyak kelebihan yang dia punya.
Salah satunya hatinya.

Hati Jagad entah terbuat dari apa sampai Jane merasa dia seperti seorang
malaikat yang dikirim oleh Tuhan. Berkali-kali pun Jane memaki Jagad, tetap saja
Jagad akan selalu tersenyum padanya. Tanpa kepalsuan dan tanpa paksaan. Semuanya
murni dari hati.

Karena itulah Jane kagum padanya. Berbeda sekali dengan dirinya. Jane menutupi
segala kekurangannya dengan sesuatu yang buruk. Sikap sombong dan arogantnya
membuat semua orang membencinya.

Tak bisa disangkal, ternyata baik Jagad maupun Jane keduanya sama. Mereka hanya
berusaha tampil sempurna dengan menutupi kekurangannya.
"Jane," panggil Jagad kembali. "Aku tidak akan pernah membayar pegawaiku yang
malas" sambung Jagad kembali.

Di tangan kanan laki-laki itu ada sebuah berkas yang sedang dia pelajari dengan
begitu serius. Lalu ditangan kirinya secangkir kopi hangat menemani pagi indahnya.
Sikap yang Jagad tunjukkan seolah tidak terjadi apa-apa semalam. Mengabaikan Jane
yang terus saja menatapnya kesal.

"Apa yang kau baca?" Ganggu Jane dengan pertanyaannya.

Dia melirik Jane dari balik bingkai kacamatanya, kemudian kembali fokus kepada
bekas tersebut. "Hanya sebuah kontrak kerjasama" balasnya santai.

"Apa itu PT. Indah Citra Lestari?" tanya Jane penuh selidik.

"Bagaimana kau tahu?"Bab 21

Musuh Rasa Kawan

Pandangan kedua mata Jane memang terpusat pada layar monitor yang sedang
menampilkan data-data pekerjaannya. Tetapi pikirannya sedang tidak berada di sini.

Percakapannya pagi tadi dengan Jagad tidak dilanjutkan karena laki-laki itu
memilih menghindar. Apalagi ketika Jane ingin melihat isi berkas tersebut, Jagad
menolaknya. Dia berkata berkas ini sudah dia analisa sendiri. Sehingga tidak
dibutuhkan analisa dari Jane.

Padahal Jane tahu Jagad bohong. Ada sesuatu yang Jagad tengah sembunyikan. Dari
pancaran mata Jagad serta gerakan tubuh laki-laki itu sangat berbeda. Ada keraguan
di sana ketika ia menghindari tatapan menyelidik dari Jane.

Semua keanehan yang Jagad tunjukkan semakin membuat Jane yakin ada sesuatu yang
tengah terjadi. Atau mungkin belum saatnya Jane tahu masalah yang sangat penting
mengenai pekerjaan.

Tapi mungkin saja semua ini berhubungan dengan gosip yang waktu itu Andri
ceritakan?

Bibir mungil itu mendesah berat. Dia mengalihkan pandangannya dari layar
monitor kemudian menatap Andri yang juga sedang fokus di tempatnya. Apa harus dia
bertanya pada laki-laki itu mengenai rasa penasaran ini? Mungkinkah Andri mau
membantunya?

Tidak mungkin Andri dengan mudahnya memberitahu Jane. Laki-laki itu saja
setengah mati membenci dirinya karena sudah merasa ditolak mentah-mentah oleh Jane.
Lalu sekarang dari mana Jane mencari informasi tersebut?

"Jane,"panggil Jagad dari intercom.

"Tolong kosongkan jadwal saya hari ini. Saya ada meeting di luar kantor"
perintahnya.

Jagad memang sangat profesional dalam bekerja. Tidak pernah menghubungkan


antara masalah pribadi dengan pekerjaan. Interaksinya dengan Jane saja bila di
kantor sangat formal, sebagai seorang boss dengan asistennya. Dia juga tidak
membedakan antara karyawan yang lain dengan Jane. Sewaktu Jane salah membawa berkas
saja, dia menegur perempuan itu. Memberitahu Jane bagaimana baiknya bersikap dalam
bekerja. Apalagi Jane paling tidak suka hasil yang kurang sempurna.
Karena tidak ingin membalas suara Jagad, Jane langsung menjalankan perintah
dari Jagad. Mengosongkan jadwalnya hari ini dan mengalihkannya ke hari lain.
Kemudian setelah jadwal itu direvisi, Jane mengirimkan kembali ke email Jagad agar
lelaki itu bisa mengetahuinya.

Namun tak berapa lama setelah Jane mengirimkan email perubahan jadwal tersebut,
tubuh Jagad keluar dari ruangannya. Membawa serta beberapa berkas penting ditangan.
Jane tidak tahu Jagad ingin pergi kemana, tapi dilihat dari barang-barang yang dia
bawa Jane merasa pertemuan bisnis Jagad kali ini tidak seperti biasanya.

Ternyata kepergiaan Jagad tidak sendiri. Dia membawa Andri bersamanya. Keduanya
memasang wajah tegang sambil menunggu pintu lift.

Dari tempatnya, Jane hanya bisa melihat dan menilai. Perasaannya kian curiga
melihat kejadian ini. Andri, Jagad dan berkas milik PT. Indah Citra Lestari.
Sebenarnya ada masalah apa dibalik semua ini? teriak batin Jane.

"Mau kemana dia?" kepala Memo muncul dibalik kubikelnya. Memandang wajah Jane
yang sama bingungnya. Keduanya terdiam melihat ke arah pintu lift dimana Jagad dan
Andri masuk tadi. Lalu bersamaan dengan suara desahan dari bibir Jane, Memo semakin
mengerutkan kedua alisnya.

"Ada ada apaan sih? Kayak ada kasus baru lagi"

"Berisik!!" bentak Jane galak sampai tubuh Memo tersentak ke belakang. Sebelah
tangannya mengusap-usap bagian dada sambal ber-istigfar pelan.

"Galak banget lo, kayak mau makan orang" ucap Memo tidak suka.

"Masalah kalau gue galak?" lawan Jane.

Memo tersenyum kecut, dengan tangan menggaruk belakang kepalanya. "Nggak juga
sih. Serius Jane, lo abis makan apaan. Serem banget"

Belum sempat Jane membalasnya, kedua tangan Memo sudah terangkat di udara.
Meringis takut dengan wajahnya yang untung saja cukup tampan bagi laki-laki.
"Ampun, Jane. Jangan atraksi di sini. Nanti lo makan meja sama kursi kantor"

"Kurang ajar!!" Amuk Jane. Dia melempari Memo dengan stabillo serta pulpen yang
berada di mejanya. Namun beberapa kali Memo berhasil menghindar dengan memasang
senyuman jahilnya.

"Lo harus kursus lempar barang, Jane. Jadi kalau Pak Jagad selingkuh, lo sudah
ahli buat kepalanya bocor" ledek Memo. Namun sialnya tepat pada lemparan Jane yang
terakhir, sebuah buku note tepat mendarat di pelipis Memo.

"Paprika merah sialan" marah Memo. Dia berjalan ke kubikel Jane. Niat hati
ingin membalas perempuan laknat satu ini.

Mungkin sebuah tamparan keras di bokong Jane bisa sebagai balasan atas kekurang
ajaran dari sikap Jane. Batin Memo. Akan tetapi, baru saja dia ingin menganiaya
Jane suara berdehem terdengar dari balik tubuhnya.

"Pak ... Anton"

"Saya rasa ini bukan tempat untuk kalian bergulat" sindirnya. Dengan kedua
matanya Anton menilai bagaimana wajah kejam Jane memandang Memo penuh permusuhan.
Lalu Memo yang dipandang oleh Anton, meringis kecil karena merasa tidak enak.
Perlahan dia berjalan mundur. Sedikit membungkuk ketika melewati tubuh Anton.
Kemudian masuk kembali ke kubikelnya.

"Pak Jagad ada?" suara Anton.

Fokus pandangan Jane teralih. Dari Memo kini menatap Anton penuh. Menerka-nerka
ada kebutuhan apa Anton mencari Jagad sampai laki-laki itu mendatanginya.

"Pak Jagad sedang keluar pak"

"Oh, pantas saja kalian seperti di hutan. Bebas tak terkendali. Apa karena
Jagad tidak ada?" tuduh Anton tanpa pikir panjang.

"Jadi maksud bapak, saya bermain-main ketika Pak Jagad tidak ada?"

"Menurutmu? Apa saya salah menilai kelakuan kalian tadi? Saling menyerang satu
sama lain seperti anak kecil yang tidak punya pikiran sama sekali" balas Anton.

Dia sengaja berkata cukup kencang agar Memo di kubikelnya dapat mendengar.
Namun anehnya Memo memasang tampang biasa saja. Bisa jadi dia tidak mendengar
kalimat Anton, atau memang laki-laki ini sengaja untuk berpura-pura tidak
mendengar.

"Saya ingatkan kembali, Jane. Selama 3 bulan kau masih dalam pengawasan saya"
ucapnya mengingatkan. Pandangan kedua mata Anton terus saja menilai tubuh Jane dari
atas hingga bawah sampai perempuan itu risih dibuatnya.

Anton memang sengaja datang ke sini untuk berbincang mengenai penjelasan Jagad
tadi pagi kepadanya. Ini masalah kisah klasik yang diceritakan oleh Jagad. Antara
asistennya, Jane, dengan seorang boss. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah
Jagad.

Karena penjelasan Jagad masih cukup singkat, Anton sengaja mendatangi


sahabatnya itu sekaligus calon kakak iparnya. Dia ingin mengetahuinya lebih jauh
lagi. Sudah sedekat apa hubungan Jane dengan Jagad.

Tetapi nasib Anton masih kurang beruntung. Jagad pergi keluar untuk meeting
penting. Tanpa memberitahunya lebih dulu.

"Saya tahu pak. Dan terima kasih sudah diingatkan kembali" balas Jane.

"Semoga kamu bisa merubah cara penilaian saya kepadamu," tutupnya. Sebelum
tubuhnya berbalik, senyuman penuh ejekan terbit dibibir Anton. Kemudian dia
melangkah pergi dari meja Jane untuk kembali ke lantai di mana dia bekerja.

Akan tetapi baru langkah kedua dia menjauh, Jane menyuarakan isi hatinya
kembali. Sudah berkali-kali Anton menilainya buruk. Dan sekuat apapun hati Jane,
sekali-kali dia boleh juga membalas kekesalan yang dia rasakan.

"Walau sekuat apapun saya mengubah arah angin namun tetap saja angin itu
berhembus kuat. Menerbangkan segala hal untuk bisa melukai saya. Sama seperti
penilaian bapak kepada saya. Sampai kapanpun image saya sudah buruk dimata bapak.
Tetapi bukan berarti saya manusia yang cacat pak. Bapak boleh tidak menyukai
karakter saya. Tapi jangan benci hasil kerja saya. Jika saya sempurna dalam
mengerjakan pekerjaan, nilai saya dengan baik. Karena sejatinya pekerjaan dengan
karakter diri adalah dua hal yang berbeda" ungkapnya.

Kepala Jane menunduk sambil menggeleng perlahan. Dia memang tidak melihat
bagaimana reaksi Anton, namun dia yakin Anton bisa menilai dari kata-katanya.

Sedangkan bagi Anton sendiri setelah mendengar ungkapan dari Jane, sudut
bibirnya tertarik sempurna. Dia suka dengan sikap tangguh Jane. Baginya baru Jane
yang tetap bisa kuat dibawah tekanan. Tidak buruk juga menjadi seorang asisten GM.
Apalagi bila nanti Jane bisa mendampingi Jagad seumur hidup, Anton yakin mereka
akan menjadi pasangan yang paling sempurna dengan segala kekurangan yang masing-
masing mereka miliki.

***

"Uhuuu ... your amazing, Jane. Mulut lo sadis banget. Pak Anton lo lawan" suara
Memo. Sebenarnya sejak tadi laki-laki ini mencuri dengar percakapan keduanya, namun
karena terlalu pengecut dia hanya bisa diam.

"Lo puji gue?"

"Anjir, sadis lo. Kapan lagi gue bisa puji lo?" dengus Memo kesal.

Sudut bibir Jane sedikit tertarik sampai membuat Memo menatapnya tidak percaya.
"SERIUS. LO CANTIK BANGET KALAU SENYUM" ungkap Memo menggebu-gebu.

"Alay lo"

"Ya Tuhan Jane. Cuma lo doang perempuan yang dipuji tapi nggak suka. Malah
katain gue alay," cibirnya kasar.

"Lo kan jahat sama gue. Jadi gue curiga kalau lo baik pakai puji-puji segala"

"Susah memang ngomong sama lo. Dipuji salah di hina salah" tutup Memo.

Laki-laki sudah diam kembali. Mungkin sudah tidak mood berbicara dengan Jane.
Tapi nyatanya semua pikiran Jane salah. Tiba-tiba wajah Memo muncul kembali. Dengan
senyum terang menderang layaknya matahari pagi.

"Dua jempol buat lo pokoknya" suaranya. "Cuma lo perempuan yang mulutnya pedes
kayak sambal setan tapi berhasil bikin gue kagum sama lo"

"Basi pujian lo" balas Jane acuh. Dia merapikan berkas-berkas di mejanya untuk
di arsipkan kembali. Tanpa memperhatikan Memo yan masih memandangnya.

"Serius gue Jane" ungkap Memo melemah. Mata laki-laki itu berbinar sedih karena
diabaikan Jane. Untuk itu Jane mencoba untuk sedikit menerima pujiannya.

"Oke .. oke. Terima kasih"

Memo terkejut dengan ucapan Jane barusan, "Gue nggak mimpi kan? Jane bilang
makasih sama gue?"

"Tuh kan alay lagi lo"

"Gue nggak alay, Jane. Ini ungkapan kejujuran gue. Lo itu amazing. Lo nggak
ubah diri lo untuk diterima sama orang-orang di sekeliling lo. Tapi lo yang ubah
pemikiran orang disekitar lo untuk menerima semua keburukan dan kelebihan yang lo
miliki. Ini yang gue kagumi. Lo tetap Jane si perempuan angker" ungkapan panjang
lebar dari Memo sukses menghentikan kegiatan Jane. Hampir saja sebuah senyuman
lolos dibibirnya jika dia tidak buru-buru menutupnya kembali dengan wajah
dinginnya.
Sebelum membalas komentar panjang Memo, Jane menarik napas dalam. Kemudian
membalas tatapan Memo yang masih penuh kekaguman padanya, "Mo, dengar kata gue. Ini
hidup lo. Dan lo yang paling tahu apa yang ingin lo lakuin. Jangan dengarkan kata
orang, tapi coba tetap pada prinsip lo sendiri. Karena bagi gue, hidup di dunia ini
bukan untuk mendapat pujian dari orang lain. Apalagi jika pikiran lo sudah terfokus
ke sana, lo bakalan lakuin hal apapun untuk mendapatkan pujian itu. Termasuk
meninggalkan orang-orang yang mencintai lo,"

"Widih, pengalaman hidup lo berat banget kayaknya"

"Pengalaman itu yang buat gue seperti ini"Bab 22

Kedatangan Masa Lalu

Sudah hampir satu jam Jagad dan Andri menunggu di sebuah cafe yang menawarkan
beraneka ragam minuman berbahan dasar kopi. Tempat ini memang dipilih Jagad untuk
melakukan pertemuan bisnis dengan perusahaan yang akan bekerjasama dengannya. Namun
sudah selama ini mereka menunggu, sosok itu belum hadir juga.

Andri yang turut serta dalam proses kerjasama kali ini terlihat begitu lelah.
Ini adalah kali kedua mereka bersusah payah begini. Dia tidak akan lupa bagaimana
ribetnya dulu ketika kerjasama pertama mereka terjalin.

Hampir setiap hari Andri harus lembur untuk mengkaji dengan baik kontrak
tersebut. Belum lagi ketidakcocokan dengan para pemegang saham membuat langkahnya
semakin berat.

Tetapi yang membuat Andri berpikir sampai ribuan kali, mengapa Jagad masih mau
menerima ajakan kerjasama lagi dengan perusahaan tersebut. Bahkan perusahaan mereka
sampai tidak mendapatkan untung sedikitpun hanya demi sebuah ikatan kerjasama
dengan perusahaan besar ini.

Ada apa sebenarnya yang terjadi?

Sampai detik ini pun Andri tidak tahu pasti alasannya. Ada yang mengira sosok
ini masih memiliki hubungan dekat dengan Jagad. Tetapi ada gosip lain yang berpikir
bila Jagad memiliki hutang dengan perusahaan tersebut.

Entahlah mana yang benar. Dia tidak ingin diambil pusing. Cukup kerjakan saja
apa yang diperintahkan Jagad maka selesai sudah tugasnya.

"Mau pesan kopi lagi?" tawar Jagad ketika melihat Andri menatap miris cangkir
kosong miliknya. Laki-laki itu melirik Jagad yang sudah lebih dulu menatapnya.

"Boleh pak" sahut Andri cepat. "Sekalian dengan makannya juga pak" senyumnya
tanpa dosa.

Jagad hanya menggelengkan kepala. Baginya Andri adalah anak buah yang paling
kompeten di kantornya. Karena itu dia lebih sering mengajak Andri ketika meeting
untuk membahas mengenai beberapa kontrak dibandingkan harus mengajak yang lain,
atau mungkin mengajak Memo. Walau sikap dan karakter Andri kurang baik, tapi Jagad
sangat percaya bila Andri mampu memisahkan antara pekerjaan dengan hal lainnya.

Tepat bersamaan dengan pesanan mereka datang, sosok yang sejak hampir 2 jam
mereka tunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Perempuan setengah baya yang terlihat
sangat anggun berdiri dihadapan mereka.

Jagad tersenyum, tubuhnya sedikit membungkuk kala berjabat tangan dengan


perempuan itu. "Apa kabar?"
"Cukup baik" jawab Jagad santai.

Kemudian perempuan tersebut melirik Andri, dan tersenyum singkat dibibirnya.


Jagad langsung mempersilahkan tamunya duduk sambil menawarkan menu yang menjadi
daya tarik di cafe ini.

"Tidak terima kasih" tolaknya. "Saya datang ke sini langsung ingin mendapatkan
keputusan intinya saja"

Baik Jagad maupun Andri saling bertatapan, mencoba menyamakan pemikiran sebelum
menyuarakan apa yang tengah mereka pikirkan.

"Baik, bu. Terima kasih sudah mau datang atas undangan kami. Di sini kami
menyetujui kontrak kerjasama dengan perusahaan ibu untuk membantu sesuai dengan
kesepakatan" jelas Jagad.

"Saya tahu kalian pasti akan setuju. Kali ini konsep yang kami tawarkan masih
sama. Jadi kami rasa kalian pasti mengerti mekanismenya" kata demi kata yang keluar
dari mulut perempuan itu semacam racun yang bisa mematikan kapan saja.

Apalagi bila Jagad dan Andri salah-salah dalam bertindak, dalam sekejab
perempuan itu bisa melakukan apapun tanpa ampun.

"Oke, kami mengerti"

"Bagus. Saya senang bekerja sama dengan perusahaan kalian" tutupnya santai. Dia
memilih untuk langsung bergerak pergi meninggalkan Jagad dan Andri yang masih diam
mematung karena bingung harus berbicara apa.

"Terima kasih, Ibu Indah" Ucap Jagad dan Andri bersamaan.

Mereka menunggu hampir dua jam hanya untuk kegiatan dingin ini. Benar-benar
diluar logika dan akal sehat. Namun seperti inilah jika memang sudah berurusan
dengan perusahaan Indah Citra Lestari.

***

Selama perjalanan pulang Jagad hanya diam. Membiarkan Andri menjalankan


mobilnya membelah kemacetan jalanan Ibukota pada sore hari. Cuaca yang kurang
bersahabat semakin menambah duka dihatinya.

Menurunkan kembali ingatannya ke masa silam. Dimana semua yang dia dapatkan
sekarang ini masih menjadi angan-angan semata.

Jagad Adiraja, begitulah nama yang kedua orang tuanya berikan. Dia hanya
seorang anak yang terlahir dari pasangan sederhana. Bapaknya hanya seorang guru
honor dan ibunya adalah ibu rumah tangga biasa. Kehidupan mereka tidak pernah lebih
cukup. Sampai ketika di usianya yang baru berumur 10 tahun, kejadian kelam itu
datang tiba-tiba. Menghancurkan segala jenis harapannya untuk bisa membahagiakan
kedua orang tuanya serta adiknya.

Sebuah kecelakaan fatal terjadi menimpanya. Bukan hanya impiannya yang hancur
tapi anggota tubuhnya harus ikut hancur. Apalagi keluarganya bukan berasal dari
keluarga kaya raya. Ayahnya harus berhutang pinjam dengan semua orang agar Jagad
tetap bisa hidup. Dia hampir rela menjual organ tubuhnya untuk menutupi pembayaran
rumah sakit yang kian hari semakin membengkak.

Tapi disaat-saat kondisi terpuruk seperti itu, hadirlah sosok ibu Peri yang
membantu segalanya. Menyuntikan donasi untuk kesembuhan Jagad serta untuk
memberikan semangat baru dalam keluarga kecil Jagad.

Ibu Peri itu bahkan tidak tanggung-tanggung dalam membantu segalanya. Jagad dia
kirim keluar negeri untuk melakukan terapi penyembuhan. Semua biaya yang muncul
dalam perawatan Jagad ditanggung olehnya sampai Jagad benar-benar sembuh.

Jagad dan keluarga sangat bersyukur akan hal itu. Ternyata di dunia ini masih
ada sosok baik layaknya ibu Peri dari negeri dongeng. Karena itu, hingga detik ini
dia dan keluarganya sangat berhutang budi pada sosok itu.

Lalu kini setelah Jagad sudah cukup sukses, sudah waktunya dia membalas
kebaikan yang telah dia dapatkan dulu. Dia berjanji apapun akan dilakukannya untuk
menebus segalanya. Sampai Jagad rela mengorbankan perusahaan yang menjadi usahanya
selama ini hanya untuk perempuan itu.

Dia adalah Ibu Indah Lestari. Perempuan tangguh pemilik perusahaan Indah Citra
Lestari group yang memiliki cabang dimana-mana.

"Bapak mau kembali ke kantor atau kembali ke rumah?" tegur Andri. Hampir satu
jam mereka terjebak kemacetan bersama. Dan selama itu Andri didiamkan layaknya
seorang supir pribadi oleh Jagad.

"Kita kembali ke kantor" putus Jagad. Setelahnya tidak adalagi percakapan


antara mereka berdua. Jagad masih sibuk dengan lamunan masa lalunya, dan Andri
sibuk dengan kemacetan jalanan sore itu.

***

Ketika pintu lift terbuka, wajah Jagad berpandangan tepat dengan wajah Jane
yang tengah berdiri di depan pintu lift. Perempuan itu baru saja ingin pulang
karena menunggu hujan reda sambil membereskan pekerjaannya.

Setelah bertatapan cukup lama, Jagad melangkah pergi menuju ruangannya.


Melewati tubuh Jane yang membeku. Aura tidak enak yang muncul dari wajah Jagad
membuat Jane ragu hanya untuk menegur laki-laki itu.

Malam ini Jagad tidak seperti biasanya. Karena itu dari pada Jane terkena imbas
dari keanehan itu, lebih baik dia menghindar.

"Pulang lo?" tegur Andri sesaat setelah melewati tubuh Jane.

Kepala Jane sampai berputar memastikan dengan jelas siapa yang menegurnya.
Ternyata karena sibuk memikirkan Jagad, dia sampai tidak melihat ada Andri
dibelakang Jagad tadi.

Tapi, benarkah tadi Andri menegurnya?

"Lo ngomong sama gue?" tunjuk Jane sama dirinya sendiri bersamaan dengan pintu
lift yang sudah tertutup kembali karena Jane tidak menahannya. Perempuan itu
mendesah kesal. Melihat angka yang menyala pada lift tersebut sudah pada lantai
dasar. Itu berarti dia harus menunggu kembali hingga lift kembali ke lantainya.

"Gue ngomong sama paprika" dengus Andri kasar.

Jane tidak membalasnya. Dia memasang mimik wajah malas kemudian kembali fokus
menunggu lift di sana. Mengabaikan suara-suara Andri yang terus saja berbicara
kepadanya.
Tepat ketika pintu lift kembali terbuka, Jane masuk ke dalam dan tidak
menyangka Andri ada dibelakangnya. Turut memasang wajah datar seolah tidak ada Jane
di sampingnya.

"Gue pikir lo bakalan tunggu si boss"


tegur Andri kembali lebih dulu.

"Kenapa lo mikir begitu? Asal lo tahu, gue bukan baby


sitter dia"

"Iya gue tahu" gumam Andri santai. Pandangannya memandang angka demi angka yang
berganti menunjukkan sudah sampai dimana lift mereka bergerak. Kemudian dia melirik
dari sudut matanya sosok Jane yang terlihat masih fokus menatap ke arah depan.
Dimana pintu besi lift ini tertutup.

"Lo tahu Jane. Seorang yang selalu terlihat sempurna belum tentu dia sempurna.
Karena terkadang dia butuh kecacatan untuk membuatnya menjadi sempurna diantara
yang lainnya." tutup Andri.

Dia menepuk bahu Jane sebelum berlalu bersamaan dengan pintu lift terbuka.
Dalam pikirannya Jane mencerna semua yang Andri ucapkan. Tentang kesempurnaan dan
kecacatan. Memang benar apa yang Andri bilang. Kesempurnaan akan ternilai bila
disandingkan dengan kecacatan.

Sama seperti dia dan Jagad. Penilaian orang akan berbeda bila dia berjalan
dengan laki-laki sempurna lainnya. Namun ketika dia bersama Jagad, keduanya
terlihat akan saling melengkapi. Cacat dan sempurna itu bagai dua buah lempengan
koin yang tidak bisa dipisahkan.

"Jagad" gumam Jane. Tangannya langsung bergerak cepat, menekan angka dimana
ruangan Jagad berada.

Dia baru mengerti maksud ucapan Andri tadi. Dibalik kalimat itu ada makna yang
begitu dalam tersirat di sana. Makna yang orang lain nilai sangat sederhana tetapi
bagi Jane cukup menyentil hatinya.

Bila kesempurnaan itu tidaklah ada tanpa kecacatan yang melengkapi.

***

Jagad tak henti-hentinya memijat pelipisnya yang terasa berdenyut sakit. Semua
urat syaraf tubuhnya tegang setelah pertemuan tadi. Beban berat kini berada
ditangannya. Antara balas budi dengan kesejahteraan pegawainya.

Satu kali dia bisa meloloskan kerjasama ini dengan baik. Tetapi kali kedua ini
semua menentangnya. Para pemegang saham bisa saja melengeserkan kedudukannya karena
telah mengambil keputusan yang merugikan banyak orang.

Apalagi dia tidak mungkin bercerita kepada semua orang bila ada sesuatu dibalik
kerjasama ini. Walau perusahaan (J)Company miliknya, tetapi sebagian besar saham
perusahaan milik umum hingga dia tidak bisa berbuat macam-macam tanpa sepengetahuan
semua pemegang saham.

"Arrgghh" amuknya kesal. Dia memukul berkali-kali tangan besinya ke arah meja
kaca tersebut. Lalu menjerit di dalam pikirannya dengan penuh amarah.

Andai saja ada jalan terbaik yang bisa dia pilih, mungkin tidak akan sekacau
ini pikirannya.
"Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang?" gumamnya seorang diri. Bibirnya
meringis sedih ketika memandang tangan kanan palsunya. "Tangan, kaki, bahkan hati
yang palsu bisa dibeli dengan uang" sambungnya kembali.

Kepalanya tertunduk dalam. Menghentikan pemikiran buruk yang terus


menghantuinya beberapa waktu ini.

Sebuah pemikiran tidak biasa yang seketika muncul dibenaknya. Bila yang
berkilau belum tentu bernilai mahal. Karena bisa saja kilauan itu terjadi akibat
dari bantuan hal lain disekitarnya. Dan Jagad takut hal tersebut terjadi kepadanya.

Bila Ibu Peri yang menolongnya tersebut ternyata tidak sebaik yang dia pikirkan
selama ini.

Bab 23

(Un) Perfect Couple

Ini sudah yang kesekian kalinya Jane mengusap sudut matanya. Air mata itu terus
saja mengalir kala mendengar jeritan kekesalan dari dalam ruangan Jagad. Dia tidak
tahu apa yang tengah terjadi. Namun hatinya seakan-akan bisa turut merasakannya
seperti yang Jagad rasakan.

Bibirnya mendadak kelu. Dia ingin berteriak dari sini kepada Jagad bila laki-
laki itu tidak sendirian. Ada Jane yang akan membantunya. Setidaknya bila Jagad
tidak mempercayakan masalahnya kepada Jane, Jagad bisa mempercayakan hatinya kepada
Jane untuk dilindungi.

Tapi Jane takut. Dia masih belum berani menyuarakan itu kepada Jagad. Dia masih
ragu dengan hatinya sendiri. Karena bisa saja suatu saat nanti, Jane yang
menghancurkan Jagad sampai berkeping-keping.

Untuk itu saat ini yang bisa Jane lakukan adalah berdiam diri di samping Jagad.
Tanpa laki-laki itu ketahui. Setidaknya Jagad tidak pernah sendirian menghadapi
masalahnya.

Karena Jane tahu percis bagaimana sakitnya masa-masa terpuruk namun tidak ada
yang menemanimu. Itu terasa lebih buruk dari sebuah kematian.

Lama tubuh Jane berada diposisi jongkok dengan punggung yang bersandar pada
pintu kaca ruangan Jagad. Dia seperti seorang anak kecil yang tengah kehilangan
orang tuanya. Apalagi mimik wajah Jane sangat mendukung penilaian tersebut.

Keadaan kantor yang sudah kosong membuat Jane santai mengekspresikan


perasaannya. Wajah yang biasanya dingin itu sudah berubah memerah. Bukan karena
marah, melainkan karena dalam hatinya tengah menjerit sedih.

Tanpa dibuat-buat air matanya terus saja mengalir melalui sudut mata. Tetapi
sebelum membasahi pipinya, Jane menghapusnya kuat. Prinsipnya lagi-lagi berteriak
kencang. Dia tidak boleh lemah akan keadaan yang terjadi. Kemarin dia sudah gagal
mempertahankan prinsipnya tentang pasangan yang sempurna. Dan sekarang dia tidak
boleh gagal lagi, teriak batinnya.

Namun tiba-tiba saja hal yang tidak terduga terjadi. Jagad membuka pintu kaca
tersebut sampai tubuh Jane terjungkal kebelakang. Laki-laki itu menahan tawanya
dengan berpura-pura terbatuk kencang.

"Sedang apa kau?" Tanya Jagad dengan kedua alis terangkat tinggi. Sudut
bibirnya masih berkedut melihat tubuh Jane yang terjungkal di lantai. Tanpa
ekspresi. Sekian detik mereka berdua saling bertatapan tanpa berbicara. Dan Jane
menikmati hal ini. Setidaknya dia tahu tidak terjadi apa-apa dengan Jagad.

Setelah sadar dari tatapannya, Jane terlihat kesusahan untuk berdiri. Rasa malu
mulai merayap muncul di tubuhnya. Membuat panas kedua pipinya hingga memerah.
Posisinya tadi sangat tidak elit sedikitpun untuk dilihat oleh Jagad.

"Saya .. saya .."

Bibir Jagad tertarik lebar mendapati kegugupan Jane. "Kupikir perempuan


sempurna tidak suka menguping. Ternyata semua perempuan memiliki tingkatan rasa
penasaran yang sama" sindir Jagad.

Umpatan kekesalan dari hati Jane tidak mampu bibirnya keluarkan. Perempuan itu
hanya bisa diam dan diam. Sampai suara gelak tawa dari Jagad mencuri perhatian
Jane.

"Ikut aku" dia menarik tangan Jane masuk ke dalam ruangannya. Meminta perempuan
itu berdiri tak jauh dari pintu, kemudian menutup pintu kaca itu sebagian.

"Apa yang kau lihat, Jane" teriak Jagad.

"Maksudnya?" ucap Jane tidak paham.

"Kutanya, apa yang kau lihat?" ulang Jagad kembali.

Jane membuka kedua matanya lebar-lebar. Tak jauh dari tempatnya berdiri dia
bisa melihat tubuh Jagad disana. Melambaikan tangan ke arahnya dengan senyuman yang
menyebalkan.

Tapi tunggu dulu, dia bisa melihat Jagad dari dalam?

Jadi?

Kedua tangan Jane membekap mulutnya ketika pintu kaca itu kembali terbuka
lebar. Percis di depannya wajah Jagad tersenyum penuh kemenangan. Lagi-lagi Jagad
memergokinya melakukan kebodohan.

Sewaktu di Jambi, karena menutupi rasa malunya Jagad mendapati Jane membaca
buku novel terbalik. Dan sekarang Jagad melihatnya berjongkok didepan pintu
ruangannya seperti anak hilang.

Ya Tuhan ...

"Aku benci kamu!! Aku benci kamu!!!" maki Jane.

Pukulan-pukulan kuat dari tangannya terus mendarat di bidang dada Jagad. Laki-
laki itu tidak merasakan sakitnya. Hatinya cukup terhibur dengan kebodohan yang
Jane lakukan.

Ternyata Jane tidak sepintar yang dia kira. Buktinya dia tidak tahu bila pintu
kaca ini bisa terlihat dengan jelas dari dalam ruangan Jagad. Dan bodohnya Jane
mencuri dengar di sana.

"Aku selalu tahu kegiatanmu dari dalam, Jane" ucap Jagad.

Dia mendekatkan tubuhnya, memeluk erat tubuh Jane yang masih terus memberontak
kepadanya.
"Dan aku juga tahu bagaimana mereka memojokkanmu" sambung Jagad kembali.

Jagad meletakkan dagunya di atas kepala Jane yang bersandar pada bidang
dadanya. Dia memang cacat, tapi dia tidak buta. Apalagi bila itu menyangkut Jane,
pasti dia mengetahuinya dengan cepat.

Baginya tembok-tembok perusahaan ini seperti sebuah pintu kaca yang mampu
menembus pandangannya ke segala arah.

"Jika kemarin kau ingin mendengar kalimat cinta dariku. Bolehkah sekarang aku
mengucapkannya?"

Jane mengangguk cepat sambil menggigit bibir bawahnnya. Susah payah dia menahan
laju air mata dipipinya, tetapi dia terus saja gagal. Bahkan sapuan hangat dari
jemari kiri Jagad membantunya menghapus jejak air mata tersebut.

"Jane, bila dirimu mencari laki-laki sempurna fisiknya aku menyerah. Tetapi
bila dirimu mencari laki-laki yang membuatmu menjadi lebih sempurna, aku akan terus
maju walau tertatih. Karena apa? karena kurasa kita adalah pasangan yang tidak
sempurna namun memiliki keinginan untuk menjadi sempurna satu sama lain"

"Ya ... we are un perfect couple .. " balasnya lemah.

"No. We are perfect couple. You and me" sambut Jagad membenarkan.

Jane mengangguk setuju. Dia sudah tidak kuat lagi dengan perasaan sedih yang
terus merayap dalam hatinya. Di depannya, Jagad dengan segala keterbatasannya telah
mengajarkannya banyak hal bila cinta itu tidak hanya sekedar fisik belaka. Akan
tetapi hatilah faktor utama dalam pelengkapnya.

"Hei kau tahu, tidak ada seorangpun yang begitu dilahirkan langsung menjadi
sosok yang luar biasa. Tetapi darimu aku belajar banyak hal bila sosok yang luar
biasa itu dibentuk oleh kerasnya kehidupan" ucap Jane terbata-bata.

Dia membingkai wajah Jagad dengan kedua tangannya kemudian mencium lembut bibir
Jagad diiringi tangis air mata. Dengan Jagad dia belajar segalanya. Tertawa,
menangis, dan bahagia secara bersama-sama.

***

Kedua alis Jane terangkat ketika melihat dimana mereka sekarang. Setelah tadi
tangis menangis di kantor usai, Jagad membawanya untuk makan malam. Kemudian
berputar-putar sebentar menikmati gelapnya malam usai diguyur hujan.

Dan sekarang dengan seenaknya Jagad membawa Jane ke rumahnya. Tanpa informasi
sedikitpun pada perempuan itu.

"Rumahmu?"

"Iya. Memangnya rumah siapa lagi?" sahut Jagad santai. Dia turun lebih dulu
dari mobil meninggalkan Jane yang menahan kekesalannya.

Tadi saja sikap Jagad membuatnya melambung ke langit tinggi. Dan sekarang Jagad
sudah kembali biasa seperti sedia kala. Sosok Jagad yang hangat namun sering
membuatnya kesal.

"Ayo turun" panggil Jagad sambil mengetuk sisi pintu miliknya.

Perlahan Jane turun kemudian mengikuti langkah kaki Jagad untuk masuk ke dalam
rumah. Badannya sudah lelah dan menginginkan untuk beristirahat. Tetapi apa bisa
dia beristirahat di rumah laki-laki ini?

"Mas Jagad" langkah kaki Jane terhenti bersamaan dengan sosok perempuan
berambut hitam panjang itu menghampiri tubuh Jagad di depannya.

"Halo sayang" balas Jagad dengan pelukan hangat. Laki-laki itu tersenyum
menggoda pada Jane. Dia masih mengingat dengan jelas bagaimana Jane terlalu cemburu
dengan adik perempuannya hingga akhirnya Jane mengakui bila dia memiliki perasaan
kepada Jagad.

Mungkin sudah seharusnya mengucapkan terima kasih kepada Jay, batin Jagad.

"Mas Jagad malam ini aku tidur di sini ya, besok jam kuliah kosong" rengekan
manja khas seorang adik kepada kakaknya bisa Jane dengar.

Dia mempertahankan mimik wajahnya agar tidak muntah di sini mendengar aksi
menggelikan itu. Maklum saja Jane adalah anak tunggal dan dia tidak pernah berbagi
kasih sayang dengan seorang adik.

"Ini juga rumahmu, Jay" balas Jagad. Laki-laki itu sengaja memutar tubuh Jay
agar menghadap ke arah Jane yang masih diam tanpa suara.

"Siapa?" bisik Jay.

"Seekor macan betina" bisik Jagad cukup keras. Dia tersenyum senang ketika
pelototan tajam milik Jane terarah kepadanya.

"Ih, Mas Jagad jahat"

"Hati-hati kalau kamu mau dekat-dekat dia," sambung Jagad kembali.

Lelaki itu mengaduh sakit kala cubitan gemas Jay berikan kepadanya. Dia
memasang wajah meminta pertolongan dari Jane agar dilepaskan dari adiknya ini.
Tetapi seperti biasanya hanya wajah dingin yang Jagad dapatkan. Mana pernah Jane
peduli?

"Awas ya Mas Jagad. Jay bilangin Ayah sama Ibu" ancamnya kuat. Lalu tubuh
mungil itu berjalan mendekati Jane. Memberikan senyuman hangat khas perkenalan
untuk pertama kali. "Oh, hai. Kamu kan yang di kantor mas Jagad" ucap Jay bersamaan
ingatannya datang kala melihat dengan jelas wajah Jane.

"Iya. Halo Jay"

Jay memandang tidak suka kearah Jagad. Ternyata bukan didalam cerita saja ada
hubungan spesial antara seorang boss dengan asistennya. Di kehidupan nyata pun
terjadi.

Buktinya hubungan yang tak bernama milik Jagad dan Jane. Namun bedanya,
biasanya dalam kisah-kisah sang boss adalah laki-laki sempurna yang kaya raya.
Sedangkan di kisah ini, Jagad bukan laki-laki sempurna. Dan dia tidak kaya. Dia
masih merintis karirnya untuk menjadi lebih baik.

Untuk itu Jagad tidak mau hubungan mereka ini disamakan seperti kisah-kisah
roman picisan yang disukai oleh perempuan.

"Aku pikir cuma ada dicerita hubungan seperti ini. Ternyata dikehidupan nyata
juga ada toh" sindir Jay kepada dua manusia yang terlihat salah tingkah. "Lanjut
deh kencannya. Aku nggak mau ganggu" cengirnya tanpa dosa.
Tubuhnya berlalu pergi dengan suara-suara nyanyian khas remaja yang sedang
trend pada masanya. Membiarkan Jagad berserta Jane memiliki waktu khusus untuk
saling membagi rasa bersama.

"Kau ingin minum?" tawar Jagad.

"Secangkir kopi, please. Dengan ekstra krim,"

"Diluar kebiasaan" gumam Jagad.

Jane balas dengan senyuman simpul, dia menyalipkan helaian anak rambutanya
dibelakang telinga sambil bertingkah khas remaja yang tengah jatuh cinta. "Denganmu
aku berani menikmati rasa yang lain" balas Jane begitu manis.

Sampai-sampai rasa manis ucapan dari Jane menular pada hati Jagad. Kesuntukkan
pikirannya seketika lenyap bila bersama Jane. Perempuan ajaib ini bisa menyihirnya
dengan segala sikap menyebalkan yang Jane miliki.

"Kenapa? Ada yang salah?" tanya Jane bingung.

"Tidak. Cuma aneh melihatmu begitu manis" ucap Jagad penuh kejujuran.

Jane tidak tersinggung. Dia bertolak pinggang sambil membalas tatapan kedua
mata Jagad. "Kau ingin kucaci kembali?" tanya Jane cepat. "Kau harus belajar
dariku. Bahwa yang manis itu tidak selalu baik. Jadi cukup nikmati saja kemanisanku
yang tidak sering kali. Karena kuingin kau tahu bahwa antara gula pasir dengan madu
adalah dua hal yang berbeda."

Jagad sontak tertawa. Dia merasa geli mendengar perbandingan kedua kata yang
Jane pilih dalam menjelaskan maksud tujuannya.

"Sejak kapan gula pasir dan madu sama?"

"Sejak rasa manis hadir ditengah keduanya. Padahal manis yang tercipta berbeda
dan bagi yang menikmatinya mempunyai cara masing-masing dalam mengkonsumsinya. Sama
seperti perempuan. Dilihat secara sekilas kami sama. Tapi yang membuatnya berbeda
adalah cara kami berprilaku untuk menunjukkan ciri khas dari masing-masing" tutup
Jane dengan senyuman manisnya.

Ya Tuhan, lama-lama seperti ini, Jagad bisa terkena diabetes.

Bab 24

Kau Terlalu Jahat Untuknya

Langit malam yang kini terlihat pada kedua mata Jane membuatnya sedih. Tidak
ada satu bintangpun yang menemani di sana. Langit seolah kosong. Seperti
perasaannya dulu. Akan tetapi harusnya Jane sadar, kosong itu bukan berarti tidak
ada. Mungkin saja tanpa Jane ketahui ada hal lain di sana yang tertutup oleh
pandangannya.

Begitu mirip dengan pemikirannya dulu. Dia selalu merasa kosong. Nyatanya dia
tidak pernah sendirian. Ada ibunya yang setia menemani disetiap langkahnya
berpijak. Belum lagi orang-orang sekelilingnya yang selalu peduli dengan Jane.
Mereka peduli dengan caranya sendiri. Mencaci maki Jane hingga kadang membuat
sedikit luka di hatinya.

Setidaknya dia harus bersyukur. Masih ada yang mau mengomentari hidupnya.
Lalu sekarang hidupnya jauh lebih indah. Karena ada matahari yang memberikan
seluruh sinarnya untuk Jane. Dialah Jagad. Laki-laki itu sukses membuat hidup Jane
berputar tidak tentu. Bahkan sampai rela dia bertekuk lutut atas nama cinta yang
diberikan oleh Jagad.

Sungguh hebat sosok Jagad. Padahal kecacatan fisik yang dimilikinya selalu
menjadi target eliminasi Jane untuk berdekatan dengannya. Namun rencana tinggallah
rencana. Karena Tuhan lebih tahu sosok seperti apa yang seharusnya menemani
hidupmu.

"Melamun?" tegur Jagad.

Mereka berdua tengah menikmati malam yang sunyi ini. Bertemankan secangkir kopi
keduanya duduk santai pada teras belakang rumah Jagad. Berbatasan dengan sebuah
meja kecil, baik Jagad maupun Jane fokus dengan pandangannya masing-masing.

Bila Jane fokus menatap langit, Jagad punya objek sendiri untuk dia tatap. Dia
fokus menatap Jane. Mulai dari bentuk rahang perempuan itu, pipi putihnya, mata
bulatnya, bibir, hingga hidung Jane tidak luput untuk Jagad perhatikan.

Andai dia tidak pernah bertemu Jane. Atau bila dulu Jane tidak melamar
pekerjaan di kantornya, akankah mereka bertemu.

Mereka harus bertemu !!! teriak batin Jagad. Bagaimanapun caranya, dia harus
bertemu Jane bila takdir tidak mempertemukan mereka dengan sendirinya.

Karena setelah kehadiran Jane dalam hidupnya, bertambah satu tujuannya untuk
tetap semangat hidup. Yaitu bisa membahagiakan Jane. Si perempuan dingin yang
hatinya sulit sekali tersentuh.

"Sekarang kamu yang melamun" tegur Jane. Perempuan itu menilai mimik wajah
Jagad yang terlihat sedang memikirkan sesuatu dengan serius. Kedua alis hitam laki-
laki itu saling beradu hingga tercipta kerutan-kerutan dalam di sana. Jane mencoba
mengenali ekspresi Jagad, menerka-nerka kemungkinan apa yang dipikirkan oleh Jagad.
Tapi pikirannya masih tidak tahu. Bahkan terkesan buntu untuk mendapatkan sebuah
jawaban.

Jagad menarik kedua sudut bibirnya. Dia meneguk cairan hitam pekat itu sambil
terus melirik Jane. "Jane," panggilnya. Cangkir kopi miliknya sengaja dia letakkan
di atas meja kecil tersebut. Kemudian mengusap bibirnya dengan Ibu jari tangan
kirinya.

Pandangannya tidak berhenti menilai wajah Jane. Mencoba mencari jawaban atas
pertanyaan yang selama ini dia tahan di dalam hati.

Sejak pertama kali mereka bertemu, Jagad sudah tahu ada yang ditutupi oleh
Jane. Banyak kemungkinan yang sejak dulu Jagad pikirkan mengenai sikap dan karakter
pribadi Jane. Mungkin memang pembawaan pribadi Jane seperti itu. Tapi semakin hari
Jagad tahu bukan itu sesungguhnya sosok Jane yang sebenarnya.

Maka dari itu, bolehkah kini dia menyuarakan pertanyaan dalam pikirannya?

"Apa boleh aku bertanya sesuatu kepadamu?" ucapnya mengajukan pertanyaan yang
tertahan dipikirannya.

"Apa?" tanya Jane penasaran.

"Tetapi berjanji lebih dulu padaku. Bila memang kau tidak ingin menjawabnya
jangan dipaksakan" jelasnya.

Perasaan Jane menjadi tidak enak. Dia turut meletakkan cangkir kopi miliknya
agar menjadi lebih fokus menjawab pertanyaan Jagad.

"Oke" setuju Jane.

Manik mata keduanya saling menilai satu sama lain. mencari-cari sesuatu yang
masih mengganjal di hati keduanya. Tetapi tidak ada yang berani menyuarakan
kejanggalan itu.

"Apa yang membuat dirimu membangun benteng terkokoh didepan semua orang?" tanya
Jagad pada akhirnya.

Jagad menunggu reaksi yang dikeluarkan oleh perempuan itu. Sampai detik demi
detik berlalu, Jane seakan tidak sadar dengan pertanyaan Jagad. Mimik wajahnya
masih datar hingga Jagad sulit menebaknya.

"Jane," Panggil Jagad kembali setelah cukup lama tidak ada respon dari Jane.

"Benteng?" ulang Jane seperti sebuah pertanyaan. Dia masih bingung kemana arah
pertanyaan Jagad. Otaknya mengapa tiba-tiba menjadi susah untuk berpikir. Apa
pertanyaan yang Jagad ajukan begitu susah sampai dia harus berpikir ulang apa
jawabannya?

"Kau selalu memasang wajah dingin didepan semua orang. Karena sesungguhnya kau
ingin melindungi hatimu sendiri. Apa benar seperti itu, Jane?"

Setelah mulai mengerti ke arah mana pembicaraan mereka, Jane tersenyum miris.
Dia menghirup udara dengan rakusnya, hingga rongga di paru-parunya terisi penuh.
Tarikan napasnya tidak stabil, dengan pandangannya yang putar-putar. Jane merasakan
pusing seketika.

"Bolehkah aku tidak menjawabnya?" mohon Jane. Tubuhnya mulai melemah bersamaan
dengan sakit dikepalanya yang semakin menjadi-jadi.

Jagad mengerti mungkin belum saatnya dia tahu masa lalu Jane. Laki-laki
mengangguk, kemudian mengusap lembut punggung Jane. Memberikan rasa nyaman di sana.

"Tidak perlu dipaksakan, Jane. Aku tidak ingin membuatmu terluka"

Jane bersyukur, Jagad bukan tipikal laki-laki pemaksa. Dia masih bisa menerima
segala tanggapan dari Jane. Bahkan Jagad merasa mungkin tidak seharusnya dia tahu
masa lalu Jane.

"Terima kasih" ucapnya bahagia. Setidaknya masih ada waktu untuk dirinya
mempersiapkan bila suatu saat nanti akan tiba waktunya menjelaskan segala hal
kepada Jagad.

***

Tubuhnya bergerak gelisah. Keringat dingin sudah membanjiri kening dan area
punggungnya. Bahkan dari bibir mungilnya, jeritan-jeritan kecil mulai terdengar.

Mimpi buruk itu kembali lagi. Mimpi dimana hujan itu hadir bersamaan dengan
kegelapan. Tubuh ringkih Jane tidak mampu melawan keadaan. Dia tersudutkan seorang
diri, tanpa teman bahkan tanpa secercah cahaya.

Dia ketakutan. Ingin berteriak namun suaranya seakan hilang. Hingga sebuah
uluran tangan menyentuh permukaan kulitnya. Menggenggamnya erat namun anehnya rasa
dingin yang Jane rasakan.

Dari sudut matanya kristal-kristal bening terus mengalir deras. Bersamaan


dengan jeritan ketakutannya. Walau kedua matanya terbuka sangat lebar tetap saja
hanya kegelapan dan kesunyian yang menyapanya.

Dimana ibunya? Dia butuh perempuan itu. Jane butuh ditemani. Dia tidak suka
berada di tempat sunyi dengan keadaan hujan dan gelap. Karena mimpi itu pasti akan
datang. Menyiksa dirinya yang mulai tertatih untuk berlalu pergi meninggalkan masa
kelam tersebut.

Sedikit banyak sosok ibu yang membuat dia tangguh. Memberikan dorongan positif
kepada Jane bila hidup tidak hanya mengenal kebahagiaan. Pada dasarnya bahagia
berjalan selalu menggandeng rasa sakit di sana.

Namun kini saat dia butuh ibunya, perempuan paruh baya itu tidak ada. Semakin
dia berteriak memanggil ibunya, rasa dingin itu yang menyentuh permukaan kulit
wajahnya. Membelainya lembut. Suara-suara lemah terdengar memanggil namanya. Apa
itu ibunya yang datang mencari?

"JANE .... !!!" teriak Jagad berkali-kali sampai mengguncang tubuh perempuan
itu.

Tepat ketika kedua matanya terbuka. Wajah Jagad yang berada dihadapannya. Laki-
laki ini ketakutan ketika mendengar jeritan dari bibir Jane. Namun sialnya susah
sekali membangunkan Jane dari alam bawah sadar.

"OH GOD. Kau membuatku sesak Jane," ungkapnya. Dia memeluk erat tubuh Jane
sambil mengusap lembut punggung Jane yang sudah banjir keringat.

Dari posisinya saat ini, dapat Jane lihat sosok perempuan berdiri di depan
pintu kamar dengan tatapan ketakutan. Otaknya mulai mengumpulkan satu demi satu
ingatannya. Rasanya tadi mereka sedang berbicara sambil menikmati secangkir kopi.
Lalu kenapa sekarang dia berada di ... kamar?

"Kau kenapa? Apa ada yang sakit?" tegur Jagad sembari meneliti setiap sudut
tubuh Jane.

Jane mengusap tangan kanan besi milik Jagad dengan lembut. Membalas tatapan
khawatir Jagad dengan senyuman penuh kehangatan. Dia tidak tahu apa yang terjadi
barusan. Namun dulu sering kali dia melewatkan hal seperti itu. Menakutkan sampai
dia ingin menjerit kencang.

Akan tetapi dulu ibunya lah yang selalu memeluknya lembut. Menenangkan ketika
mimpi buruk itu datang.

Tapi sekarang mengapa Jagad yang menggantikan posisi ibunya?

"Tolong jangan membuatku takut lagi, Jane" ungkapnya lemah. Kening mereka
saling beradu dengan deru hangat napas keduanya menerpa wajah mereka satu sama
lain. "Aku tidak tahu seperti apa mimpi burukmu tadi. Sampai-sampai kau berteriak
cukup kencang."

"Aku berteriak?" ulang Jane.

"Iya. Kau berteriak sampai membuat Jay ketakutan" jawab Jagad.

Lagi-lagi Jane melirik tubuh gemetar milik Jay yang masih berdiri di depan
pintu. Kemudian dia beralih kembali menatap Jagad.

Mimik wajahnya sudah kembali normal, bahkan menjadi lebih dingin dari biasanya.
Belum saatnya dia bercerita panjang lebar kepada Jagad mengenai masa lalunya. Cukup
kunci rapat-rapat dan mencoba tenang seorang diri.

"Jane,"

"Tidak perlu berlebihan. Karena kau bukan siapa-siapaku" ungkap Jane begitu
kejam.

Jagad membulatkan kedua matanya. Membalas tatapan dingin Jane dengan mimik
wajah tidak percaya. Apa Jane bodoh? Sudah jelas dia yang membuat Jagad tidak
berarti apa-apa bagi Jane.

Sedikit mengingatkan saja, Jagad sudah meminta Jane untuk menjadi istrinya
kemarin ini. Namun Jane menolaknya dengan cukup kuat. Dia tidak percaya dengan
pernikahan. Apalagi menikah dengan yang tidak sempurna.

Dia membenci keluarga yang terbentuk dari sebuah pernikahan. Oleh karena itu
dia menolak Jagad mentah-mentah tanpa memberitahu seperti apa sesungguhnya masa
lalu Jane.

"Terserah kau Jane. Ternyata otakmu yang tidak beres" kesal Jagad.

Tubuhnya bangkit dari atas ranjang, berjalan keluar dari kamar melewati tubuh
Jay. Adik perempuannya itu terlihat bingung. Dia berada ditengah-tengah dua orang
yang saling bertengkar.

"Jane," panggil Jay. Perempuan muda itu mendekat. Mengikis jarak antara dirinya
denagn Jane. Kemudian memasang wajah tidak bersahabat kepadanya.

Entah apa yang salah dari perubahan sikap tiba-tiba Jay. Tetapi Jane merasa
pasti berhubungan dengan reaksi kesal Jagad tadi.

Jane menunggu dalam diam, apa yang akan dilakukan oleh adik perempuan Jagad
kepadanya. Karena sejak beberapa detik yang lalu, Jay hanya diam. Memasang wajah
tidak kalah dingin seperti ekspresi Jane sehari-hari.

Ternyata bukan dia saja yang mampu bersikap dingin dan menakutkan di depan
semua orang. Nyatanya, Jay bisa juga melakukannya dengan begitu baik. Sampai Jane
merasa tersudutkan seorang diri.

"Kau terlalu jahat untuk mendapatkan perhatian dari kakakku, Jane"Bab 25

Ini Cinta Bukan Luka

"Kau terlalu jahat untuk mendapatkan perhatian dari kakakku, Jane"

Kalimat itu terus saja berputar dipikiran Jane. Dia terus mencerna dengan baik
maksud dari kalimat singkat yang Jay ucapkan. Dan ternyata hasilnya adalah hal
buruk. Jay nyatanya tidak suka dengan semua sikap menyebalkan milik Jane. Perempuan
itu bukanlah tipe yang menutupi segala ketidaksukaannya. Jay lebih suka
mengungkapkan segala rasa yang dia anggap tidak sesuai.

Tadi setelah mengatakannya, perempuan itu berjalan pergi. Meninggalkan Jane


seorang diri yang membeku karena memikirkan kesalahannya.

Bukan maksud sikapnya menyakiti dua adik kakak itu. Namun memang seperti inilah
dunia membentuk karakter dirinya. Kejam dan dingin. Bila boleh memilih, Jane juga
tidak ingin menjadi seperti ini. Memiliki sikap layaknya perempuan lainnya adalah
dambaan bagi Jane setelah masa lalu kelam itu hadir.

Lagi-lagi Jane mendengus kesal. Mendapati keinginan yang tidak pernah sesuai
kenyataan.

Lalu bila sudah terjadi seperti sekarang ini, apa yang harus Jane lakukan.
Mencoba mengejar keduanya dan meminta maaf adalah bukan jalan terbaik. Begitulah
isi pikirannya. Karena di sini bukan dirinya yang salah. RALAT! Mungkin tidak
sepenuhnya dirinya yang salah.

Ucapan dinginnya kepada Jagad tadi memang sesuai kenyataan. Bila Jagad bukan
siapa-siapanya. Laki-laki itu saja yang terlalu memasukan setiap kalimat Jane
kedalam hati. Hingga rasa sakit yang dirasakannya.

Jane mendesah kembali. Kedua manik matanya menatap ke arah luar pintu kamar.
Dia tidak boleh begini. Setidaknya dia harus menjelaskan perkataannya bila yang
mereka tangkap terlalu berlebihan.

Tubuh Jane mulai turun dari atas ranjang milik Jay. Dia mulai ingat, bila tadi
setelah mereka berbincang antara dirinya dan Jagad di teras belakang, Jane meminta
ijin untuk istirahat. Kondisi tubuhnya tiba-tiba saja menurun.

Dan Jagad mengabulkan itu. Laki-laki itu menyarankannya untuk beristirahat


bersama dengan Jay.

Awalnya Jane tertidur dengan Jay yang berada di sampingnya. Tetapi ketika mimpi
buruk itu hadir, Jay terbangun dan ketakutan melihat Jane. Dia berlari memanggil
nama Jagad kemudian membawa kakaknya itu ke dalam kamar dimana Jane berada.

Hati Jane mendadak pilu. Dia terlalu kasar kepada Jagad yang sudah menolongnya.
Mengkhawatirkannya selama ini. Namun balasan yang Jagad terima begitu kejam.

Rasanya kemarahan adik dan kakak itu cukup pantas Jane terima. Dia mulai sadar
diri bila hidup tidak pernah sesuai dengan apa yang dia inginkan. Buktinya Jane
berkali-kali dihadapkan dengan hal demikian kejam.

Langkah kaki Jane terhenti ketika objek yang dia cari terlihat oleh kedua
matanya. Jane meneliti tubuh Jagad yang terduduk lemas di sebuah sofa ruang tamu.
Laki-laki seperti tidak menyadari kehadiran Jane. Dia masih saja diam. Menundukkan
pandangannya dengan kedua tangan saling bertautan.

Tak lama, sosok Jay menghampiri tubuh Jagad. Memberikan sebuah handuk kecil
kepada laki-laki itu, kemudian memasangkannya pada bagian punggung Jagad.

Dalam diamnya Jane terus saja memperhatikan setiap gerakan yang keduanya
ciptakan. Walau pencahayaan tidak begitu jelas, Jane masih bisa melihat sudut bibir
Jagad yang meringis sakit sambil memejamkan kedua matanya. Sedangkan tangan Jay
tidak henti-hentinya mengusap lembut punggung Jagad yang nampak sangat kesakitan.

Hati Jane meringis kembali. Dia ingat kejadian di Jambi beberapa waktu lalu.
Dulu dia yang berada di posisi Jay. Memberikan pereda rasa sakit kepada permukaan
kulit Jagad.

Tetapi itu dulu. Sekarang Jane sudah tidak bisa seperti itu lagi. Jagad kesal
kepadanya, bahkan meninggalkannya. Memberikan rasa penyesalan dalam yang bisa Jane
rasakan dihatinya.
Andai Jane lebih memilih diam, dan tidak menyuarakan isi hatinya mungkin
kejadian ini tidak akan pernah terjadi. Dia sungguh menyesal karena dirinya harus
merasakan kehilangan lagi untuk yang kedua kalinya.

***

Jagad mengumpat kesal ketika dia tidak menemukan sosok Jane disetiap bagian
rumahnya. Waktunya tadi terlalu lama dipakai hanya untuk meringis sakit. Bukan
inginnya juga bila luka dipunggungnya kembali terasa. Hingga menyebabkan Jagad
butuh waktu untuk menetralkan rasa sakit tersebut.

Kini waktu memang sudah hampir pagi, namun rasanya tidak mungkin Jane pergi
seorang diri dari rumahnya. Bahkan dia tidak mengetahui kemana perginya perempuan
itu.

Tadi dia memang sempat kesal dengan Jane. Perempuan itu dengan mudahnya berkata
demikian tanpa dipikirkan lebih dulu. Ditambah lagi dengan hasutan tidak suka dari
Jay, membuat Jagad menghindari Jane untuk sementara.

Akan tetapi ketika dia ingin mengecek bagaimana keadaan Jane, perempuan itu
menghilang. Atau lebih tepatnya, Jane sudah pergi dari rumahnya. Seorang diri
dengan keadaan yang tidak terlalu baik.

"Mas Jagad mau kemana?" tanya Jay bersamaan dengan sosok Jagad yang
melewatinya.

Laki-laki itu terdiam sejenak. Membingkai wajah Jay dengan tangannya kemudian
mencium kening Jay hangat. "Biarkan mas mencari dimana Jane berada"

Sepasang manik mata itu mengerjab beberapa kali, memandang Jagad dengan
perasaan tidak suka. Baginya Jagad adalah sosok kakak laki-laki yang baik dan penuh
kasih sayang. Rasanya tidak adil saja bila Tuhan memberikan sosok arogan seperti
Jane dalam hidup laki-laki itu.

Masih banyak yang lebih sempurna dari Jane untuk dipasangkan dengan Jagad.
Batin Jay. Kecacatan fisik yang diderita kakaknya bukan berarti laki-laki itu harus
mendapatkan perempuan yang memiliki kecacatan juga.

Apalagi kecacatan dalam hatinya, seperti seorang Jane.

"Biarkan saja dia mas. Memang seharusnya dia pergi dari hidup mas," rengek Jay.

Jagad menggeleng cepat. Dia berpura-pura memasang wajah sedih ketika Jay
menghalanginya untuk pergi.

"Dia perempuan, Jay. Dan sudah menjadi tugas mas untuk melindunginya. Mungkin
bagimu dia sudah melakukan kesalahan. Namun bagi mas, dia sudah bertindak benar.
Setidaknya agar tidak melukai dirinya sendiri dia berlaku begitu," jelas Jagad.

Dari pancaran kedua mata Jay, Jagad paham mengapa adiknya masih belum mengerti
bila Jane bersikap keras. Walau Jane belum pernah bercerita apapun tentang masa
lalunya, Jagad mencoba mengerti bila masa lalu telah membentu karakter Jane menjadi
begitu keras. "Kau akan mengerti Jay suatu saat nanti. Dimana ketika dunia telah
meruntuhkan segala impianmu sampai kau merasa tidak akan ada yang mungkin
menolongmu selain dirimu sendiri. Karena itulah Jane bersikap demikian" ungkap
Jagad kembali.

Tepat ketika tubuh Jagad berbalik, Jay kembali menarik tangannya hingga laki-
laki itu terdiam sesaat. "Apa mas tidak takut terluka kembali setelah mengejarnya?"
tanya Jay perlahan. Bersamaan dengan itu cengkraman tangannya melemah digantikan
dengan tatapan penuh kesedihan.

Di tempatnya Jagad tersenyum. Memegang kedua bahu Jay dengan tangannya. Fokus
tatapan menusuk tepat ke dalam manik mata Jay. Sampai adik-adiknya itu terhipnotis
dengan dirinya.

"Mas tidak pernah mengajarkanmu takut akan luka dan sakit. Kau ingat itu?"
tanya Jagad penuh penekanan.

Spontan saja Jay mengangguk. Merespon kalimat yang terlontar dari bibir Jagad.
Kemudian laki-laki itu mulai mencoba memilah kata demi kata lagi agar mudah
dimengerti oleh adiknya. Tidak mudah memberikan penjelasan kepada orang lain tanpa
terlihat mengguruinya. Walau Jay adalah adik perempuan satu-satunya milik Jagad,
tetapi bukan berarti dia bisa menggurui Jay seenaknya.

"Jay. Percayalah. Sejatinya rasa sakit bukanlah sesuatu yang membuat seseorang
menjadi lemah. Hingga pasrah akan keadaan. Namun yang harus kau percaya adalah,
rasa sakit sesungguhnya memberikan suatu kekuatan baru untuk mendorong seseorang
agar lepas dari keterpurukan" jelas Jagad panjang lebar.

"Apa mas percaya?"

"Mas percaya karena mas pernah merasakannya. Sakit yang dulu mas rasakan bukan
hanya fisik melainkan hati. Bagaimana mereka mengolok-olok mas hingga mas terpuruk
dalam penderitaan. Tetapi lihatlah setelahnya. Mas mencoba percaya pada rasa sakit
dan siap belajar dari rasa sakit tersebut. Dan sekarang inilah hasilnya. Mas mampu
hingga berdiri tegak kembali" tutup Jagad dengan sebuah kecupan hangat.

Sebelum tubuhnya ditahan kembali, Jagad lebih memilih melangkah lebih dulu.
Mencari sosok Jane yang sejak tadi mengacaukan hati dan pikirannya.

Sebuah doa langsung terlontar begitu saja dari bibir Jagad. Berharap dimana pun
Jane berada saat ini, semoga dia baik-baik saja.

***

Matahari yang seharusnya sudah berada diatas kepala saat ini tidak terlihat
menyinari bumi. Biasanya diwaktu tengah hari seperti sekarang, matahari sedang
kuatnya memancarkan sinar diatas sana. Namun siang ini sedikit berbeda.

Hanya ada awan hitam yang menghiasi langit siang. Angin yang berhembus cukup
kencang seakan memberitahu bila sebentar lagi akan banyak rintik air hujan yang
jatuh ke bumi.

Di tempatnya Jagad masih mendesah lemah. Memandang langit yang sama tidak
bersahabatnya seperti takdir. Sudah setengah hari dia berputar-putar mencari sosok
Jane, namun perempuan itu belum juga ditemukan.

Jagad sudah mencoba mencari Jane di rumahnya, di tempat-tempat yang mungkin


Jane kunjungi. Hingga di jalan-jalan sepanjang kantornya, tidak ada tanda-tanda
Jane.

Dia juga sudah menginfokan Anton bila perempuan itu terlihat di kantor, tolong
segera hubungi dia. Karena sesungguhnya Jagad sudah pusing mencari Jane ke sana ke
sini.

Dimana pun Jane berada, perempuan itu sukses membuat Jagad kalang kabut. Janji
Jagad pada dirinya sendiri, bila nanti Jane ditemukan dia tidak akan segan-segan
menghukum perempuan yang tidak tahu diri itu.

Waktu yang berputar begitu cepat menghentikan misi pencarian Jagad. Jika sampai
24 jam Jane tidak ditemukan, dia akan mencoba melaporkannya kepada pihak yang
berwajib. Biar bagaimanapun ini adalah Ibukota, dan kejadian-kejadian tidak
mengenakkan sering kali terjadi.

Kalau saja terjadi hal buruk pada Jane, dia tidak akan pernah memaafkan
dirinya.

Bersamaan dengan desahan napas dalam milik Jagad, suara ponselnya berbunyi.
Nama Anton yang tertera di sana. Dalam hatinya Jagad berdoa semoga Anton membawakan
kabar baik untuk dirinya mengenai keberadaan Jane.

"Halo ... " ucap Jagad.

Keningnya langsung berkerut kala suara Anton terdengar dari sambungan telepon
itu. Dia mencerna baik-baik apa yang Anton infokan. Ini adalah berita penting yang
sejak lama dia nantikan kebenarannya.

Tapi pahitnya adalah berita itu turut serta membawa nama Jane di sana. Mengusik
rasa tidak nyaman dalam hatinya ketika menerima kenyataan pahit tersebut.

Tubuh Jagad mendadak menjadi tegang kembali. Dengan banyak pikirannya yang
berputar-putar diotaknya.

Dia tidak menyangka seperti ini jadinya. Setelah sekian lama sulit sekali
ditemukan jawaban dari pertanyaannya masa lalu akan dirinya, sekarang jawaban itu
seolah muncul sendiri ke permukaan. Hingga Jagad tidak bisa berpikir jernih harus
mengambil tindakan apa untuk kedepannya.

"Bro, lo masih dengerin gue kan?"

"Bro ... "

"Tolong lo jaga rahasia ini. Sampai tiba waktunya semua kenyataan pahit ini
harus terbuka di depan semuanya"

Anda mungkin juga menyukai