Anda di halaman 1dari 5

ice cream

Ini tentang dia yang kutemui di tahun 2020. Namanya Zayn, bukan nama asli, tapi aku
memanggilnya Zen. Si manusia kutub yang tidak mudah cair meski kini ia singgah di
Kota Bekasi. Kata sebagian orang, Bekasi bukanlah kota, bukan juga nama negara.
Bekasi adalah planet, bekasi bukan di indonesia. Saking panasnya, aku malah curiga
bahwa bekasi adalah pusat tata surya.
Tidak seperti perilaku cowok pada umumnya yang usil dan meresahkan. Dia itu dingin
tapi suka menolong, dia baik tapi bukan hanya pada wanita. Dia jujur, dia disiplin
dan sangat menghormati orang tua.
Baru saja ia lewat tepat di hadapanku. Ia menyapa beberapa orang dengan senyum
simpul pada wajahnya sebelum berpapasan denganku. Tapi senyum itu hilang saat ia
melihatku. Ya, dia memang ramah, tapi tidak padaku. Smells like the man i can’t
have. Mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur jatuh cinta.
Ada dua jenis perempuan di perusahaan ini. Satu, yang tergila-gila pada zen, dan
yang kedua, takut pada zen. Diamnya Zen menciptakan trauma hebat pada sebagian
perempuan di perusahaan ini. Diamnya zen justru membuat mereka tak ada keberanian
untuk berinteraksi dengannya. Ditambah tatapan matanya, he got sleepy eyes but
tetap terlihat tajam kok. Dan aku, sudah pasti kalian semua tau aku termasuk dalam
kategori yang mana. Aku menyukai mata itu! Sangat sangat menyukainya.
Banu bilang, Zen suka tipe cewek yang berwawasan luas, sama disiplin sepertinya,
feminim, tidak bertingkah dan tidak banyak bicara. Oh ya, Banu itu teman pertamaku
yang aku dapatkan saat bergabung dengan perusahaan tempatku bekerja. Entahlah,
meskipun sudah lama berteman, tapi aku lebih percaya bahwa pimpinan nadzi mati dan
dikubur di tanah sunda dibandingkan dengan ucapan Banu tentang tipe ceweknya Zen
barusan. Ku pikir Banu hanya mengarang, ia pasti sedang meledekku yang sangat jauh
berbanding terbalik dengan semua kriteria yang ia sebutkan tadi.
“Pagi pak!” sapa Zen pada Pak Tito selaku manajer bagian sectionku bekerja.
Kebetulan aku, banu dan juga zen berada di bawah pimpinan manajer yang sama.
Senyum itu lagi, memang bukan untukku namun sudah cukup membuat darahku mengalir
terlalu deras ke seluruh tubuh. Semoga saja Zen tidak melihat wajahku dari balik
punggung pak Tito yang tengah memerah ini.
“Saya menunjuknya untuk membantu kamu.” Jelas Pak Tito membuatku terkejut karena
beliau sama sekali tidak membahas dan meminta persetujuanku mengenai ini.
“Baik pak.” Jawabnya setelah sekitar dua sampai tiga detik ia menatapku.
“Kamu tahu siapa dia?” tanya Pak Tito, tidak penting menurutku. Zen diam.
“Namanya, kamu tahu?” tanya pak tito sekali lagi.
“Jasmine pak” jawab Zen sembarangan. Pak Tito tertawa karena Zen sudah mengarang
namaku. Mataku membulat semakin sempurna. Percakapan macam apa ini?
Jasmine? Kenapa harus Jasmine? Aku iri pada semua perempuan yang bernama Jasmine,
kenapa bukan aku saja yang bernama Jasmine? Aku juga mau namaku disebut olehnya.
Zen sebenarnya tahu namaku, Zen juga tahu tentang perasaanku. Ini semua ulah Banu
yang tak bisa jaga rahasia. Ya, Banu juga cukup dekat dengan Zen. Banu orangnya
mudah bergaul, ia memiliki banyak teman. Dunia terasa sempit jika kamu bersama
Banu, karena bisa jadi temanmu adalah teman Banu juga. Bahkan temannya temanmu
juga, atau teman temannya teman kamu, atau teman dari teman temannya teman kamu
atau mungkin teman nenekmu, bisa jadi banu mengenalnya. Kabarnya Banu juga temenan
sama travis scott, kemarin di undang ke acara ulang tahunnya mba Kylie. Senang dia
main sama Stormi. Katanya sih Stormi gemesin banget, Banu jadi pengen adopsi. Lucu
memang dengar cerita halu si Banu, menurutku yang ada Stormi yang ingin mengadopsi
dia buat dijadikan kang rumput di rumahnya.
“Zen!” panggilku yang tak pernah dihiraukan oleh zen. Ia malah sibuk berkutik
dengan layar ponsel yang ada di genggaman tangannya. Boleh tidak jika kita cemburu
pada sebuah benda? Aku cemburu pada ponsel yang setiap hari bisa Zen genggam
sedangkan aku tidak.
“Pssst! Zen!” aku tahu Zen kesal. Tapi aku suka melihatnya memasang wajah kesal
padaku.
“Zeeeen!” satu panggilan terakhir sebelum aku menyerah untuk memanggilnya lagi.
Ternyata tuhan berkehendak untuk membuat zen menoleh ke arahku.
“Aku punya cerita” ucapku. Zen langsung berpaling karena ia tahu apa yang ingin aku
katakan pasti diluar konteks pekerjaan. Hampir selama 2 tahun Zen memang tak pernah
mau bicara apapun denganku, selain tentang pekerjaan.
“Zen dengerin dulu!” pintaku, aku memaksa. Tidak peduli apa responnya nanti, aku
hanya ingin ia mendengar ceritaku. Meskipun aku tahu ujungnya Zen pasti diam saja.
Zen duduk menghadap ke arahku seolah ia siap mendengarkanku. Padahal aslinya tidak,
ia malas mendengarkanku. Aku tahu itu, Zen. Bukan masalah bagiku, meskipun jelas-
jelas terlihat ogah tapi kau tetap menggemaskan di mataku.
“Jadi, kemarin aku beli ice cream” baru satu kalimat, aku sibuk menatap kedua mata
Zen dengan sekuat tenaga. Andai Zen tahu bahwa aku tak pernah bisa lama-lama
menatap mata itu.
“Terus?” tanya Zen saat aku sempat berhenti. Jantungku berhenti berdetak untuk
sesaat. Satu kata tanya itu membuatku bahagia setengah mampus. Zen ingin tahu
ceritaku. Senang sekali.
“Terus ice creamnya jatuh, padahal belum sempet aku makan. Sayang banget gak sih?”
aku meneruskan cerita karangan itu dengan sedikit nada tawa karena aku tidak bisa
menyembunyikan rasa senangku yang amat sangat ini.
“Zen, Sayang banget kan?” tanyaku yang sebenarnya hanya ingin menjebak Zen. Zen
sepertinya menyadari itu. Zen diam dan menatapku kesal karena aku sudah membuang-
buang waktunya yang sangat berharga itu. Zen memang manusia disiplin, tapi sedikit
berlebihan menurutku. Dunianya hanya sebatas kerjaan saja, aku ingin mengubahnya.
Zen harus tahu, hidup jauh lebih asik dari itu.
Tuhan, Aku ingin mencairkan manusia es itu. Tunjukkan padaku bagaimana caranya.
Tidak jarang aku short conversation dengan Zen, tapi ia selalu bertingkah seolah
kita tidak saling mengenal dua menit kemudian. Susah memang. Anehnya semakin aku
ingin menyerah justru semakin tinggi semangatku untuk terus mengejarnya. Tidak
mengapa bukan jika perempuan yang berjuang?
Aku bukan perempuan yang mudah putus asa. Tuhan menciptakanku dengan komposisi
semangat yang cukup banyak. Seperti Zen, yang berdiri paling depan ketika tuhan
membagikan 25% ketampanan pada seluruh umat manusia. Zen seperti sosok dalam cerita
wattpad, kadang aku berpikir apakah Zen benar nyata atau hanya sebatas fiksi. Tapi
perasaanku itu benar adanya.
Aku sering mengucapkan kalimat-kalimat gombal pada beberapa laki-laki rekan
kerjaku. Bukan berarti aku wanita penggoda, memang begini caraku bercanda. Tanpa
menggunakan perasaan, mereka juga santai menanggapinya.
“Nu, kamu kok senyum-senyum?” tanyaku pada Banu di sebelahku yang sibuk menatap
layar komputer di hadapannya. Sepertinya ia sedang menonton drakor.
“Ya emang ngapa si?” sewot banu seolah pertanyaanku barusan sangat mengganggunya.
“Ga boleh tau. Nanti kalo ketauan orang-orang silverqueen bisa bangkrut” jawabku,
Banu menatapku kebingungan.
“Lah kok?”
“Iya, karena mereka tau kalo ternyata ada yang lebih manis dari silverqueen” ini
contohnya, hanya bercanda, tapi mungkin terdengar menjijikan bagi sebagian orang.
Jangan mengecapku tidak baik, sekali lagi, ini cara bercandaku. Sebagian besar
orang menanggapiku dengan menggodaku balik dengan gombalan sederhana yang mereka
tau. Terutama Banu, yang paling sering dan menurutku jago dalam merayu. Banu itu
tipe cowok buaya darat, yang mempunyai banyak cabang dimana-mana. Tapi aku yakin,
jika ia sudah menemukan pawangnya, maka ia pasti setia orangnya.
Hanya satu yang kutemui, yang menanggapi gombalanku dengan cara marah. Siapa lagi
kalau bukan Zen. Berkali-kali aku menggodanya, aku ingin melihat wajah kikuknya,
tapi mustahil. Berkali-kali aku mencoba melucu di hadapannya, aku ingin melihatnya
tertawa, tapi mustahil. Wajahnya tak pernah berubah. Ini membuatku justru malah
semakin ingin merayunya, aku ingin meluluhkannya. Asyik sekali bukan mencintai
orang yang tidak mencintai kita? Semenjak mengenal Zen, dibilang bodoh tak pernah
semenyenangkan ini.
Mungkin bisa bertahan lama, tapi tidak untuk selamanya. Sampai suatu ketika aku
melakukan kesalahan besar. Masih ingatkan tentang Pak Tito yang memintaku untuk
membantu Zen dalam satu pekerjaan? Hanya sedikit bantuan dariku, sisanya yang ku
beri hanya kekacauan. Satu kesalahan fatalku menghancurkan semuanya. Tidak sengaja,
tapi yang namanya salah tetaplah salah.
Pak Tito meluapkan amarahnya padaku, di hadapan banyak orang. Malu rasanya, aku
hanya bisa tertunduk sambil menahan tangis. Hanya Banu yang menggebu-gebu saat
melihat aku dimarahi. Tapi beberapa orang di sekitarnya menahan Banu. Tidak apa,
aku juga tidak mau Banu terlibat dalam masalah ini. Bagaimana dengan Zen? Ya, dia
ada disana, tapi dia tidak peduli. Satu fakta yang sudah kusadari sejak lama, bahwa
Zen memang tidak pernah peduli padaku. Satu fakta yang dulu tak mau ku terima, tapi
mulai saat ini hatiku mencoba menerimanya meski sulit dan sakit. Tak ada sedikitpun
iba dilihat dari caranya memandang padaku. Lihat Zen, aku menangis. Kau tahu apa
artinya? Aku sangat membutuhkanmu.
Aku menyerah Zen, aku memang menyukaimu, tapi ini waktu yang tepat untuk berhenti.
Aku sadar bahwa Zen terlalu tinggi untukku. Sulit untuk aku menggapaimu. Aku
menyerah. Tak pernah kusangka sebelumnya, yang awalnya kukira hanya perasaan
sementara nyatanya aku berjuang dan bertahan selama dua tahun lamanya. Perjuanganku
mendapatkanmu sudah berakhir, bukan berarti aku berhenti menyukaimu. Aku menyerah
untuk mendapatkanmu, bukan berarti perasaanku pada mu sudah tiada. Tak perlu
khawatir, perasaanku yang hanya pengganggu bagimu ini sedang kuperjuangkan tuk
menghilang. Sekarang, doakan aku supaya aku benar-benar bisa berhenti mencintaimu.
Aku tahu setelah kejadian itu ada pertengkaran hebat antara Banu dengan Zen.
Padahal pertemanan mereka cukup erat, Banu lebih dulu berteman dengan Zen
dibandingkan denganku. Dari sekian banyak teman, yang Banu sayangi dan sudah
dianggap kakak kandungnya sendiri hanyalah Zen. Tapi Zen lebih suka kemana-mana
sendirian, sehingga Banu terpaksa sendiri. Datanglah aku dengan sifat dan perilaku
yang hampir sama sehingga kami berdua cocok untuk berteman.
Kata rekan kerjaku yang lain, Banu mati-matian membelaku dengan cara berhadapan
langsung dengan Pak Tito. Hanya berdua dalam satu ruangan, Banu bicara empat mata
dengan beliau. Banu mencoba meyakinkan beliau supaya tidak memecatku, dan memohon
pada Pak Tito supaya memberikan kesempatan lain untukku. Ia juga menawarkan diri
untuk membantu membenahi semua kekacauan yang kubuat, meskipun pekerjaan yang ia
miliki juga sangat banyak. Banu, satu-satunya support sistem terbaik yang kupunya
sepanjang aku hidup di muka bumi ini.
Mengapa aku tidak jatuh cinta pada Banu saja, bukan pada Zen. Jika Banu yang
kusukai, mungkin rasanya tak seperih ini. Banu pernah menyatakan suka padaku dalam
bentuk candaan, tapi ku yakin Banu sebenarnya tidak sedang bercanda. Aku sendiri
tidak tahu jawabannya. Aku tak pernah bisa memilih pada siapa aku harus menaruh
perasaan. Aku membiarkan hati ini bergerak dengan sendirinya. Bisa jadi suatu saat
aku sudah melupakan Zen, dan mulai perpaling pada Banu yang baiknya minta ampun.
Who knows, Banu juga bilang dia tak akan berhenti mencoba.
“Kalo nanti udah nikah sama Zen, selingkuhnya sama gue ya” canda si Banu, ada-ada
saja.
5 hari sudah aku tidak datang ke perusahaan. Atau mungkin aku memang sudah resmi
dipecat dan bukanlah lagi seorang karyawan. Aku tak pernah mendengar kabar apapun
lagi tentang pekerjaanku. Aku tidak tahu Banu berhasil merayu Pak Tito atau tidak.
Aku sudah tidak peduli. Aku sendiri yang menahan Banu untuk bicara apapun mengenai
pekerjaanku setiap kali ia mengunjungiku. Meskipun sebenarnya aku masih sangat-
sangat ingin bekerja di sana, aku merindukan rekan-rekan kerjaku, mereka semua
menyenangkan, terutama Banu. Kadang aku kepikiran, siapa yang melarang banu merokok
kalau bukan aku. Sudahlah, sekarang pasti Banu bebas merokok tanpa takut aku
marahi.
Aku berjalan sendirian di bawah langit malam yang tak cerah seperti biasanya. Sulit
menemukan langit malam kota bekasi yang cerah penuh bintang tanpa kabut yang
menghalanginya. Tapi malam ini terasa aneh, udaranya begitu lembab sepertinya akan
turun hujan.
Dari kejauhan aku melihat segerombolan anak kecil yang tengah berlari-lari sambil
bermain. Aku melihat pada arlogi berwarna coklat yang melingkar di tangan kiriku
untuk mencari tahu pukul berapakah saat ini. Aku terkejut karena melihat 2 diantara
mereka yang merupakan anak dari tetangga dekatku itu masih berkeliaran di luar
rumah padahal waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Anak kecil berumur sekitar 5
tahun itu adalah kakak adik yang hanya selisih beberapa menit saja alias mereka
saudara kembar namun tak identik. kakaknya yang laki-laki, sedangkan sang adik
perempuan yang kini memegang corn ice cream ditangan kanannya sementara tangan kiri
sibuk berpegangan pada kakaknya.
Tiba-tiba sang adik terjatuh, aku segera berlari karena hendak menolongnya. Tapi
ternyata ada yang lebih cepat dariku, mungkin karena posisiku yang masih cukup
jauh. Seorang pria yang tak asing bagiku menghampiri bocah-bocah itu. Ia membantu
sang adik berdiri, dan sang adik sontak memeluk kakaknya sambil menangis.
Menggemaskan sekali. Untungnya tak ada luka sedikitpun, tapi yang sangat
disayangkan adalah ice cream yang hancur berantakan karena ikut terjatuh tadi.
“Nanti abang beliin lagi” ucap sang kakak dengan nada khas anak-anak sedangkan yang
lain hanya menonton dengan wajah bingung harus berbuat apa.
Pria itu menyodorkan ice cream yang sama dengan milik sang adik yang terjatuh tadi.
Kebetulan sekali ia baru saja membeli ice cream yang sama. Sang adik menyeka air
matanya, Perlahan tangan mungilnya menggapai ice cream itu lalu mengambilnya dari
tangan pria yang kini membungkuk di hadapannya. Sang adik senang sekali, ia
berterima kasih lalu memeluk pria itu. Begitupun sang kakak dan beberapa temannya,
mereka turut memeluk pria itu dengan wajah gembira. Pria itu tertawa, tanpa sadar
akupun ikut tersenyum lebar melihatnya.
Pria itu berdiri tegap tapi matanya masih menelusuri bocah-bocah itu pergi sampai
menghilang dari pandangannya. Hingga tiba saatnya ia berbalik dan baru menyadari
bahwa ada aku yang sejak tadi berdiri disini dan menyaksikan semuanya. Angin malam
menerpa wajahnya lembut, dan menyapu beberapa helai rambutnya. Pria itu sesaat
terkejut sebelum akhirnya melempar senyum padaku. Senyuman yang terasa berbeda dari
sebelumnya. Senyuman yang kini ditujukan untukku, bukan untuk orang lain. Aku kikuk
dibuatnya, aku mencoba mengendalikan getaran di dadaku, bahkan terasa getarannya
hingga ke ujung jariku.
“Aku cemburu” ucapku sengaja memperjelas gerakan bibirku karena aku tak begitu
banyak mengeluarkan suara, dengan mimik wajah bercanda tentunya. Aku mencoba
mencairkan suasana supaya tidak canggung. Dan ternyata berhasil, dia tertawa.
Biar ku pertegas, akhirnya dia tertawa. Dan kali ini akulah yang membuatnya
tertawa. Ku pikir aku bisa melupakannya, tapi saat ini tawanya membuatku yakin
bahwa aku masih punya kesempatan untuk memenangkan hatinya. Aku tahu bahwa aku tak
sepatutnya cemburu pada anak perempuan yang barusan dia peluk. Kalimat itu
kulontarkan dalam bentuk candaan, tapi ada sedikit kuselipkan keseriusan di sana.
“Aku punya kamu” meski Zen membalas dengan cara yang sama, tapi aku bisa dengan
jelas membaca gerak bibirnya. Zen keterlaluan. Tidakkah dia berpikir sebelum
berkata? Kalimat yang baru saja ia lontarkan itu lebih berbahaya dibandingkan
sianida. Jika ia hanya bercanda, itu tidak lucu Zen. Kamu membutuhkan tutor dalam
selera humormu.
Aku diam terpaku, sementara Zen yang cukup berjarak beberapa meter di depanku mulai
melangkahkan kakinya mendekat ke arahku. Aku tak percaya ini, jika memang ini mimpi
kuminta pada tuhan supaya bangunkan aku dari semua ini. Aku ingin melupakan Zen.
Jangan hadirkan Zen dalam bunga tidurku.
“Aku mau cerita” ucap Zen saat tiba tepat di depanku. Aku menunduk karena tak
sanggup melihat wajahnya.
“Tadi ada anak kecil beli ice cream, belum sempat dimakan eh ice creamnya jatuh.”
Lanjutnya, aku mulai tersenyum karena ternyata Zen mengkopi ceritaku dulu. Ternyata
Zen benar-benar mendengarkan ceritaku waktu itu, bahkan ia masih mengingatnya
sampai saat ini.
“Sayang banget kan?” tanya Zen sama seperti dulu aku bertanya padanya.
“Kan bisa beli lagi” jawabku sengaja tak menjawab dengan jawaban yang ingin Zen
dapatkan.
“Bukan itu jawabannya, dhi”
Mataku memanas, seketika pandanganku buram karena tertutup oleh genangan air mata
yang memenuhi kelopak mataku. Dua tahun aku mengenalnya, dua tahun aku menyukainya,
dua tahun aku mengejarnya. Tak pernah sekalipun aku mendengar Zen memanggil namaku.
Dan hari ini, tepat di depanku, aku menyeka air mataku sebelum aku menatap kedua
mata Zen karena tak percaya dengan apa yang baru saja ku dengar. Tiba-tiba Zen
menarik lenganku dan membiarkanku masuk ke dalam pelukannya lalu berkata,
“Sudah lama aku ingin memelukmu seperti ini.”
Aku juga Zen, sudah lama aku ingin memelukmu hingga aku bisa mencium aroma segar
dari parfum yang kamu pakai seperti saat ini. Wangi parfum yang sudah lama kucari
tahu apa mereknya, aku ingin punya, supaya aku bisa terus merasa ada di dekatmu.
“Jangan pergi lagi. Aku menyukaimu” ungkapnya tak disangka. kedua lengannya
melingkar kuat pada tubuhku. Kakiku terasa lemas, tangisku pecah. Aku tidak bisa
menahannya lagi.
Zen kurang ajar. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu padaku yang sudah memutuskan
untuk menyerah pada hatinya. Itu curang Zen, tak perlu banyak efforts yang kamu
keluarkan untuk mendapatkan hatiku kembali. Dengan kamu menyebut nama kecilku saja
sudah membuat arah kapalku kembali berlabuh padamu. Sedangkan aku, butuh lebih dari
satu tahun untuk mendapatkan hatimu. Ini tidak adil, tapi menyukaimu itu candu
bagiku. Aku tak pernah bilang bahwa aku menyesal telah menyukaimu. Aku tidak pernah
bilang bahwa aku menyesal telah mengejarmu.
Aku baru tahu semuanya dari Banu. Zen sudah berterus terang saat terjadi
perkelahian hebat malam itu antara mereka berdua. Kata Banu, Zen juga sudah lama
menyukaiku. Tapi Zen ragu, karena aku begitu ramah dan terlihat gemar menabur
harapan pada banyak pria. Zen pikir semua usahaku terhadapnya hanya leluconku. Zen
pikir semua upayaku hanya sebatas candaanku saja karena aku hanya penasaran
padanya. Itulah sebabnya Zen sedikit menaikkan harga dirinya supaya terlihat seolah
aku tak mudah menggapainya. Namun akhirnya Zen sadar bahwa perasaanku itu bukan
main-main. Aku tulus terhadapnya, aku benar-benar menyukainya. Zen juga sadar
bahwa ia terlalu berlebihan terhadapku. Sudahlah Zen, pasti aku memaafkanmu.
Banyak yang menyebutku bodoh, Zen. Tapi aku tidak peduli, kau tahu itu. Ah heran,
terlalu banyak kata ‘tapi’ setiap kali aku membicarakan tentang Zen. Satu hal yang
perlu kamu garis bawahi, Jika berhenti mencintaimu itu artinya cerdas maka bodoh
selamanya pun aku tidak keberatan.

Anda mungkin juga menyukai