Anda di halaman 1dari 6

KARENA CINTA DATANG TERLAMBAT

Masih teringat dengan sangat jelas saat pertengkaran itu, karena memang terjadi tepat didepan mataku.
Dikeramaian yang saat itu sama sekali tak kurasa, karena hati ini pun ikut merasakan pedih seperti yang
dirasakan oleh Yash.

“kita putus Yash,”

begitu simple dan cepat lelaki itu mengatakan kepada sahabat karibku itu, seseorang yang telah
menghabiskan dua pertiga dari umurnya bersamaku, dalam canda, tawa dan bahagia, kadang juga
dalam duka, tangis dan sedih. Sekejap Yash langsung menangis dan meronta. Tak ia perdulikan
walaupun saat itu banyak orang yang berlalu lalang melihati sikapnya yang kurasa diluar kendalinya.

Serasa hancur dunia dalam hidupnya. Sesak dadanya, karena terhimpit separuh nafasnya. Hanya satu
yang ia butuhkan saat itu, penjelasan. Ya !!! penjelasan tentang sebab kenapa hubungan yang selama ini
dijalin lebih dari 2 tahun itu harus kandas ditengah jalan, disaat mereka telah beranjak umur untuk siap
menikah. Lelaki itu tak begitu cakap dalam meyakinkan cewek berambut panjang warna coklat itu.
Terasa kaguk ia merangkai kata-kata untuk menjelaskan kepada Yash. Bahkan tatapan matanya pun tak
lagi menatap kekasih yang pernah membuatnya bahagia itu. Seseorang yang pasti pernah membuatnya
berjuang untuk mendapatkan hatinya.

Ada sedikit pelajaran untuk para pasangan yang sedang renggang atau akan putus, “ingat-ingatlah masa-
masa dimana kau pernah berjuang untuknya dan masa-masa dimana engkau pernah berbahagia
bersamanya, mengucapkan janji untuk selalu bersama, melewati hari-hari dan merasa hanya kalian
berdua sajalah yang ada didunia ini”. Kiranya seperti itulah yang seharusnya ada dalam difikiran
sepasang kekasih.

Seketika aku ikut menangis, meskipun tak kuteteskan air mata ini. Cukup batin ini saja yang merasakan,
karena itu lebih dalam.

“kenapa kau tega mas, kenapa kau putuskan cinta kita, kenapa ???. Mendengar rintihan Yhas serasa aku
ingin memukul lelaki itu. Menatap matanya dulu dengan pandangan sinis lalu melayangkan pukulan
kewajahnya hingga memar. Dan terakhir, aku tendang dengan sekuat tenaga hingga terjatuh. Meskipun
aku tahu bahwa tubuhnya lebih besar daripada tubuhku yang beratnya tak kurang lebih dari 50 kg ini.
Tapi Yash sepertinya akan melarang, karena ia hanya meminta kepadaku untuk menemaninya saja.
Menjadi pelindung setianya seperti biasa ketika berhadapan atau sedang jalan dengan laki-laki. Layaknya
Saiya Pegasus yang melindungi tuan putri.

“aku mencintaimu setulus hati mas, jangan kau hancurkan mimpi-mimpi yang pernah kurajut
bersamamu,” tak bisa dibendung lagi, suaranya terdengar mulai serak, air mata Yash mengalir dan
membasahi pipi.

Lelaki itu menyeka dengan satu kalimat, “aku dijodokan oleh orang tuaku Yash, maafkan aku,”
Sekejap suasana menjadi hening. Yash terdiam, namun matanya menatap lelaki itu dengan tatapan
tajam. Seperti ingin menghancurkan ke-egoisan yang dimiliki lelaki itu.

“Yash !!!” aku memanggilnya, namun ia langsung menyela.

“Jika memang kau dijodohkan dengan orang lain oleh orang tuamu, kenapa kau tidak berkata dari dulu
mas, kenapa ? hati Yhas hancur seketika. Apa karena aku miskin, atau karena aku ini yang berpendidikan
rendah, sehingga orang tuamu lebih menjodohkanmu dengan orang lain ? kenapa tak kau katakan sedari
dulu mas, biar aku tak menyimpanmu terlalu dalam seperti sekarang ? mas !!! mengertilah, hanya
engkau yang bisa, hanya engkau yang tahu, hanya engkau yang mengerti semua inginku dan semua
kebahagiaanku.

Pertanyaan demi pertanyaan telah menghujam wajah lelaki berambut keriting itu. Tapi tak satu patah
atau dua patah kalimat pun keluar dari bibirnya. Wajahnya pucat tak beraura, bahkan kakinya tak
bergeser sedikitpun, seperti sudah terpaku dengan aspal jalanan alon-alon kota. wajah Yash yang bak
batu sauna saat itu juga terlihat seperti telah terpecah berpuing-puing. Berserakan dilantai dan hancur,
seperti melebur menjadi butiran-butiran debu.

“mas !!! AKU BENCI KAMU,” teriak Yash.

“Yash, mengertilah, ini bukan keinginanku.” Lelaki itu memegang tangan Yash, tapi Yash menolak.

“orang tuaku yang memaksa aku untuk menikah dengan wanita pilihan mereka, dan aku tak bisa
menolak. Yash !!! mengertilah, Bukankah mencintai itu tak harus memiliki kan Yash. Pahamilah keadaan
ini Yash, aku sayang kamu tapi memang takdir yang telah berkata lain,” jelas sang lelaki.

Aku tak tahu siapa nama lelaki itu, tapi yang jelas ia adalah seseorang yang setiap kali Yash curhat
kepadaku hanya bertemakan dia sajalah curhatannya.

Dengan berat hati lelaki itu pergi meninggalkan Yash sendirian ditaman kota. Membiarkan gadis
berparas bundar itu menangis sedu. Kulangkahkan kaki ini, mencoba memacu keberanian untuk sekedar
mendekat tempat duduk sahabat karibku itu.

“Rey, pulang yuk !!!” belum juga kuucapkan satu kata pun, namun Yash dengan suaranya yang masih
serak telah memutuskan untuk mengajakku pulang. Aku hanya bisa menganggukan kepala, kebingungan
dan bertanya-tanya, apakah sudah tepat apa yang aku lakukan ini ? padahal aku merasa sama sekali
belum melakukan apa-apa.

Setelah kejadian itu beberapa bulan purnama pun telah terlewati. Yash menjalani hari-hari seperti
biasanya. Meskipun kadang terlihat murung diwajahnya, namun ia tetap bekerja ditoko Ibunya, setiap
pagi seperti biasanya, dan mengurung dirinya didalam kamar jika malam tiba, semangatnya yang dulu
selalu terpancar dari senyumnya pun tak juga nampak lagi sepenuhnya. Seperti malam yang bertaburan
bintang namun tertutup oleh mendung pekat, hingga cahaya rembulan pun tak mampu menembusnya.
Aku pun juga begitu, masih tetap mengucapkan selamat pagi dan mengirimi puisi-puisi agar ia terhibur.

“Aku tahu jika dunia ini akan terus berputar

Mengarungi masa demi masa dengan alunan berbagai peristiwa

Namun, untuk akhir-akhir ini aku harus mencari-cari alasan

Agar sang waktu tak menerpa setiap detik kebersamaan itu

Aku takut jika harus berpisah

Jika aku diberi pilihan untuk hidup sekali lagi, aku ingin kita menjadi pohon

Yang tak pernah bergeser sedikitpun meski masa telah melewati

Dan hanya kematianlah yang mampu memisahkan”

Selamat pagi Yash

Memang telah lama kami berteman. Mengerti antara satu dengan yang lainnya. Pernah suatu ketika aku
tersesat dalam derasnya hujan dipinggiran kota. Cukup lama aku menunggu reda. Tiba-tiba Yash datang
dengan membawa payung. “lhoooo, darimana kamu Yash,” tanyaku.

“gak usah PD Rey,” sambil tersenyum ia.

“kebetulan aku lewat dan melihatmu saja,”

Kami pun tertawa-tawa gak jelas, seakan ada kedekatan yang menyelimuti kami sehingga tak ada waktu
sedikitpun untuk berpisah.

Tapi dimalam itu, ketika aku menghubunginya lewat pesan singkat.

“Yash, nonton yuuuk,” pintaku terhadapnya lewat pesan singkat.

Dimalam itu cukup lama aku menunggu balasan pesan darinya. Berjalan kesana kesini dalam kamarku.
Entah kenapa tiba-tiba aku merasa gelisah, entah karena apa yang jelas saat itu hanya Yash saja yang
aku fikirkan. Fikiranku pun memikirkan hal yang tidak-tidak tentang Yash, jangan-jangan Yash sedang
sakit, atau malah ia sedang dalam keadaan bahaya.

Kukirimkan satu pesan lagi, “Yash, kau baik-baik saja kan ?”

Ting ting ting, sebuah pesan balasan masuk, “ Rey, maaf sedang sibuk. Kalau kau tak keberatan bantuin
dooong,” kubayangkan gaya khas manjanya ketika membaca balasan pesan darinya. Aah, mungkin Yash
sudah baikan, sudah tak lagi memikirkan lelaki keriting itu. Sedikit reda kecemasanku. Tapi tetap
menyisakan dag dig dug jantung ini.

Tanpa berfikir panjang kubalas permintaan darinya itu, “ iya Yash. OTW kesitu,”.

Rumahku dengan Yash memang tak begitu jauh, tak lebih dari 100 meter dan tak kurang dari 4 menit
dengan berjalan kaki. Setibanya dirumahnya tak lupa aku mengetuk pintu dan memberi salam,
“assalamu’alaikum,” tok tok tok tok toooook.

“wa’alaikumsalam, masuk Rey,” Yash sendiri yang membukakan pintu. Sesuatu hal yang tak kuduga
sebelumnya, ternyata dirumah Yash sedang mengadakan sebuah acara hajatan. Aku kebingungan harus
membantu apa ini, karena yang ada semua pekerjaan perempuan, memasak, membungkusi jajan,
melempit kardus dll. Yash, tidak adakah pekerjaan seperti mengangkat beras atau apa gitu, gumam
dalam batinku.

“Rey, ayo ikut aku,” pinta Yash

“kemana ?”

“udahlah, pokoknya ikut aku,” tampak ia gembira, dari cara ia berjalan memang sedang memperlihatkan
bahwa ia sudah tak sedih lagi. Aku pun pasti ikut senang. Karena memang itulah yang selalu kuharapkan
kepada sahabat karibku itu, sahabat yang dulu dimasa masih SD sering menjadi pahlawanku ketika aku
dijahili oleh anak-anak lain. Tubuhnya yang dulu lebih tinggi daripada aku menjadi modal untuk
membela aku ketika aku sedang bertengkar.

Kulihati Ibu-ibu sedang sibuk dirumahnya, nampak mempersiapkan sebuah acara besar. “nak Reyas,”
sapa salah satu Ibu, Mbok Minah biasa aku memanggilnya.

“ia Mbok,” aku menyela kakiku untuk berjalan mengikuti Yash, dengan tergesa-gesa takut apabila
Yashinta melihati, kubertanya kepada Simmbok Minah, namun bukannya menjawab malah ia hanya
membalas dengan senyuman.

“Mbok, ada acara apa sih ini ?”

“heheheheheh,” hanya begitulah Simmbok membalasnya. Kurang ajar Simmbok Minah ini. Ditanya
malah gak jawab. Batinku pun semakin menjadi-jadi ingin mengetahui segalanya.

“Rey, ayooooook,” teriak Yash. Ia berjalan begitu cepat. Memang cewek bermata bundar ini dulu
sempat kehilangan gaya feminimnya, hingga tomboylah gelar yang ia sandang. Namun, perlahan ia
mulai bisa bergaya seperti perempuan pada umumnya.

Yash, mengajak aku kekolam renang yang terletak dibelakang rumahnya. Rumahnya megah, bak kastil,
jika malam lantai-lantai dipinggiran kolam berwarna kehijaunan laksana Turn of Love dimusim semi.
Nampak airnya memantulkan cahaya dari lampu-lampu yang berwana-warni. Yash duduk dipinggir
kolam, seperti biasa. Tangannya mengombakkan air lalu memercikkan air ketengah kolam dan air dalam
kolam pun nampak bergelombang, dengan senyum lembutnya, senyum yang kurasa adalah senyum
terindah itu. Sungguh seperti senyuman para Bidadari yang konon pernah turun kebumi, dan aku yakin
pasti menilas pada senyum Yash.

“Rey, gimana kuliahmu ?”

Nampaknya ia sedang basa-basi,karena tidak mungkin mencari tempat sedemikian nyaman hanya untuk
menanyakan tentang kuliahku.

“baik Yash, gimana keadaanmu ?” balik kubertanya.

Ia menatapku dengan cepat, serta senyum manjanya. “baik kok Rey, malah lebih baik dari hari kemarin,”

Aku seperti orang bodoh saat itu, berfikir kesana dan kesini, memikirkan sesuatu hal yang tak jelas.
Hanya menerka-nerka saja seperti itulah lebih jelasnya.

“Rey, bagaimana perasaanmu saat engkau jatuh cinta ?” wajahnya Yash tak ia hadapkan kearahku,
namun kearah sang rembulan. Ya, memang saat itu bulan jawa menunjukkan bundarnya. Nampak
bercahaya. Matanya berbinar-binar. Entah kenapa setelah mendengar pertanyaan darinya hatiku mulai
resah kembali.

“Rey, jawab dooooong, kok malah ngelamun,”

“anu...anu Yash... anu... yaaaa... yaaaa pasti senanglah,” sedikit terbata-bata aku menjawabnya.

“gitu dooong Rey,” ia tersenyum kembali. Senyumnya secerah sang rembulan pada malam itu.

“aku besok lusa menikah Rey,” senyum Yash membuyarkan suasana hening dipinggir kolam saat itu.
Termasuk lamunanku.

“be... sok... lu... sa... kamu... me... nikah Yash,” mataku melebar seketika, melihatinya,

“ia Rey, kamu ikut senang doooong, eh iya, kamu jadi penerima tamu yaaaa, kamu kan sahabat
paliiiiiiinnggg special didunia ini,” celoteh Yash.

Lagi-lagi aku hanya bisa menganggukkan kepalaku ke atas dan ke bawah. Terasa beku bibir ini untuk
mengucapkan selamat bahagia, lalu jantungku terasa sesak, dan ranya ingin terjatuh saja, tak usah
bangun.

Aku pejamkan mata ini untuk menikmati pagi bersama embun, sebuah pertalian alam yang abadi,
bermertamorfosis lewat kabut nan dingin. Lalu tangan ini menyentuh Cinoddoo, sebuah air yang
meresap dalam gelapnya bebatuan, persis seperti rasa saat kau pegang tangan ini dalam keramaian kala
itu. Lalu aku hembuskan nafas ini dengan pelan, pelan, dan pelan. Kubuka mata ini dan aku teguhkan
untuk hari ini bahwa aku akan terlepas dari bayang-bayang wajahmu. Dan akan aku basuh lewat sucinya
embun Wai Longi-longi yang menempel didaunan. Mencoba untuk menghapus semua tentangmu.
Yash telah memutuskan untuk menikah dengan laki-laki lain. Orang tuanya-lah yang memperkenalkan
mereka, orang tua Yash adalah sahabat dekat dengan orang tua lelaki itu.. Si Bapak merekalah lebih
tepatnya yang saling dekat, mereka adalah teman bisnis, kalau Bapak Yash adalah seorang pemiliki toko
maka Bapak dari lelaki calon suami Yash itu adalah pemilik konveksi baju yang menyuplai toko Bapak
Yash.

“Rey, dimana ?”

“masih kuliah Yash,” bohongku kepadanya.

“bisa datangkan ?”

“iyaa Yash, so pasti,”

“ya sudah aku tunggu, ini lagi dandan, jangan lama-lama yaaaa,”

Sesak dadaku, nafas yang mulai tersengal, hidungku serasa tak bisa menyerap udara. Otakku kacau, tak
bisa memikirkan apa-apa. Kubenturkan kepalaku pada tembok kamar. Melihat wajahku pada cermin,
seakan telah hilang cahaya penghidupanku. Sendi-sendi tulangku pun serasa tak tegar lagi untuk
berjalan. Jangankan untuk berjalan berdiripun rasanya tak mampu tegap.

Kukenakan baju batik sarimbit yang pernah kubuat dengan Yash. Baju warna ungu itulah satu-satunya
yang akan terlihat tetap rapi. Tak hancur layaknya hatiku saat itu.

“yash, apa kau tak pernah melihati sisi hatiku, ?”

“yash, apa kau tak pernah merasakan sisi hatiku ?”

“yash, apa kau tak pernah mengerti tentang sisi hatiku ?”

“yash, apa kau tak memahami bahwa aku jatuh cinta kepadamu ?”

Anda mungkin juga menyukai