Anda di halaman 1dari 14

Nama : Lisa Maisaroh

Npm : A1A019102

Kelas : 3C

Prodi : Pendidikan Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu : Dra. Yayah Chanafiah, M. Hum

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS BENGKULU
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
UJIAN TENGAH SEMESTER
MATA KULIAH: APRRESIASI PROSA FIKSI
Hari/Tanggal : Selasa, 10 November Dosen Pengampu : Dra. Yayah
2020 Chanafiah, M.Hum.
Pukul : 10.00 – 12.30 WIB Semester/Kelas : III/C

1. Jelaskan secara singkat tentang strukturalisme sastra yang disampaikan oleh pakar sastra.
Penjelasan anda harus disertai ilustrasi secukupnya!
2. Apakah yang dimaksud plot/alur dalam karya prosa fiksi, dan plot/alur itu berfungsi sebagai
apa? Jelaskan secara singkat dengan menggunakan ilustrasi sebuah cerpen!
3. Terdapat jenis-jenis tokoh dalam karya prosa fiksi, dan beberapa metode/teknik untuk
mengidentifikasi gambaran perwakatan tokoh-tokoh menurut ahli sastra. Jelaskan
metode/teknik tersebut secara singkat!
4. Baca dan pahamilah cerpen berjudul “Menanti Bangau Lewat” karya Asma Nadia. Kemudian
jawab pertanyaan berikut:
5. Siapakah sesungguhnya tokoh dalam cerpen tersebut? Jelaskanlah secara singkat dengan
kutipannya!
6. Siapakah sesungguhnya tokoh "Aku" dalam cerpen tersebut?
7. Bagaimana karakternya? Penjelasan anda didasarkan pada alur ceritanya!
Cerpen
SEPOTONG HATI YANG BARU
(Tere Liye)

Aku menghela nafas perlahan, bertanya perlahan, berusaha memutus suasana canggung lima
menit terakhir, “Apa kau baik-baik saja?”

Alysa mengangkat kepalanya, mengangguk.

“Apa kau baik-baik saja,” Alysa balik bertanya pelan.

Aku tertawa getir. Menggeleng.

Diam sejenak. Sungguh hatiku tidak baik-baik saja.

Bulan purnama menggantung di angkasa. Senyap? Sebenarnya tidak juga. Suara debur ombak
menghantam cadas di bawah sana terdengar berirama. Tetapi pembicaraan ini membuat sepi
banyak hal. Hatiku. Mungkin juga hati Alysa. Rumah makan yang terletak persis di jurang pantai
eksotis ini tidak ramai. Hanya terlihat satu dua pengunjung, membawa keluarga mereka makan
malam. Bukan musim liburan, jadi sepi. Kami duduk berhadapan di meja paling pinggir.
Menyimak selimut gelap lautan di kejauhan.

“Maafkan aku.” Alysa menggigit bibir. Tertunduk lagi.

Aku menatap wajahnya lamat-lamat.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah berlalu. Tertinggal jauh di belakang.” Aku
menelan ludah. Berusaha menjawab bijak—aku tahu itu bohong, pura-pura bijaksana.

Hening lagi sejenak.


”Sungguh maafkan aku,” Alysa menyeka sudut-sudut matanya, ”Aku tidak pernah tahu akan
seperti ini jadinya.”

Aku menggeleng, “Kau tidak harus minta maaf, meskipun seharusnya kau tahu, sehari setelah
kau memutuskan pergi, aku lelah membujuk hatiku agar tegar, tetapi percuma. Menyakitkan.
Semua itu membuat sesak. Kalimat itu mungkin benar, ada seseorang dalam hidupmu yang
ketika ia pergi, maka ia juga membawa sepotong hatimu. Alysa, kau pergi. Dan kau bahkan
membawa lebih dari separuh hatiku.”

Ombak menghantam cadas semakin kencang. Bulan purnama di atas sana membuat lautan
malam ini pasang. Lautan yang kosong sepanjang mata memandang, menyisakan kerlip kapal
nelayan atau entahlah di kejauahan. Jemari Alysa terlihat sedikit gemetar memainkan sendok-
garpu.

“Kau tahu, aku melalui minggu-minggu menyedihkan itu. Dan yang lebih membuat semuanya
terasa menyedihkan, aku tidak pernah mengerti mengapa kau pergi. Sesungguhnya aku tidak
pernah yakin atas segalanya, aku tidak pernah baik-baik saja. Enam bulan berlalu, hanya berkutat
mengenangmu. Mendendang lagu-lagu patah-hati, membaca buku-buku patah-hati. Hidupku
jalan di tempat.”
“Maafkan aku.” Suara Alysa bahkan kalah dengan desau angin, matanya mulai basah menahan
tangis.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan.” Aku mendongak keluar, menatap purnama. Berusaha
mengusir rasa sesak yang tiba-tiba menyelimuti hati. Sudahlah. Buat apa diingat lagi. Kemudian
kembali menatap wajah Alysa, tersenyum, “Kau tahu, di tengah semua kesedihan itu, setidaknya
saat itu aku akhirnya menyadari, aku tidak akan pernah bisa melanjutkan hidup dengan hati yang
hanya tersisa separuh. Tidak bisa. Hati itu sudah rusak, tidak utuh lagi. Maka aku memutuskan
membuat hati yang baru. Ya, hati yang benar-benar baru.”

Hening lagi sejenak.


Alysa mengangkat kepalanya, bertanya ragu-ragu, cemas, “Apakah di hati yang baru itu masih
tersisa namaku?”

***

Setahun silam. Di tempat yang sama.

Bedanya tidak ada kesedihan di sana. Aku mengeluarkan kotak cincin batu bulan itu.

“Aku tahu ini bukan permata.” Tersenyum, “Hanya cincin sederhana, berhiaskan batu bulan,
simbol tanggal kelahiranmu. Apakah kau suka?”

Alysa mengangguk-angguk. Tersenyum amat lebarnya. Menjulurkan tangannya. Dia mencoba


memasangkan cincin tersebut. Sumringah menatap wajahku,
“Itu akan menjadi cincin pernikahan kita.”

Kalimat itu meluncur begitu saja. Aku lupa kalau selama sebulan terakhir merencanakan banyak
hal. Menyiapkan prolog dan kalimat pembuka yang indah. Malam itu, menatap wajahnya,
kalimat itu meluncur begitu saja.

Alysa menatapku. Matanya membulat. Mukanya memerah. Tersenyum. Kemudian tersipu


mengangguk. Sungguh, malam itu berubah seperti ada seribu kembang api yang meluncur
menghias angkasa. Hatiku menyala oleh rasa bahagia. Keramaian rumah makan tepi jurang
lautan terasa bingar, orang-orang yang menghabiskan makanan di atas meja.

Malam itu. Setahun silam.

Dan semua mulai dikerjakan. Keluarga saling bertemu, tanggal pernikahan ditentukan, kartu
undangan disebar, hal-hal kecil diselesaikan, semua berjalan begitu lancar.
Tetapi pernahkah kalian menyimak film-film. Yang ketika pasangan itu siap menikah beberapa
hari lagi, salah-satu pemerannya entah kenapa bertemu dengan seseorang—biasanya seseorang
itu calon mempelai perempuan. Seseorang yang terlihat begitu sempurna. Seseorang yang
mengambil segalanya. Ketika kalian menonton film itu, bahkan kalian tega membela perasaan
yang baru muncul di hati jagoan wanitanya. Tega berharap agar pernikahan itu tidak jadi.
Berharap calon mempelai perempuan berhasil mendapatkan seseorang yang tiba-tiba muncul,
amat memesona itu. Berharap cinta hebat yang tumbuh mendadak yang menang, membenarkan
alasan si calon mempelai perempuan. Akui sajalah, kita selalu membela cinta model ini.

Itulah yang terjadi denganku. Persis lima hari sebelum kami menikah, Alysa bertemu dengan
pria gagah itu. Dalam sebuah pertemuan yang mengesankan. Aku tidak peduli di mana, kapan,
dan entahlah pertemuan itu terjadi. Tidak peduli. Sama tidak pedulinya siapa sesungguhnya
pemuda itu. Yang pasti dia meremukkan seluruh kenangan indahku bersama Alysa.
Menghancurkan kedekatan kami , keluarga kami, dan sebagainya dengan lima hari pertemuan.
Ya Tuhan, bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi?

Sungguh lelucon cinta yang tidak lucu.

”Maafkan aku.” Alysa berkata pelan, ”Aku, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Astaga? Setelah bilang dia tidak bisa melanjutkan rencana pernikahan kami, Alysa juga tidak
tahu apa yang sedang terjadi? Ini bencana besar, jika tidak baginya, tapi setidaknya bagi dua
keluarga yang sudah menyiapkan banyak hal.

”Aku, aku mencintainya.” Alysa menghela nafas, ”Kau tahu, akan terasa, akan terasa
menyakitkan kalau kita tetap menikah dengan kenyataan aku mencintainya.”

Ya Tuhan? Dia mencintainya hanya dengan pertemuan lima hari?

”Maafkan aku….” Suara Alysa bergetar, ”Kau tahu, itu seperti cinta pertama pada pandangan
pertama. Aku, aku pikir semua rencana pernikahan kita keliru.”
Debur ombak menghantam cadas terdengar bagai lagu penuh kesedihan. Bukan, bukan karena
semua ini tidak aku mengerti yang membuatku sakit hati. Bukan karena tiba-tiba, bukan kenapa
harus terjadi lima hari sebelum pernikahan kami. Aku juga tidak mampu membenci pria itu. Apa
salahnya? Aku tahu, selalu ada bagian yang tidak masuk akal dalam perjalanan cinta. Tetapi
lebih karena, lihatlah, percakapan ini, aku tahu persis, separuh hatiku akan pergi. Persis seperti
sebuah daun berbentuk hati, diiris paksa oleh belati tajam, dipotong dua. Aku sama sekali tidak
bisa mencegahnya.
Alysa membatalkan pernikahan, begitu saja. Pakaian pengantin dikembalikan, gedung yang
disewa dibatalkan, katering yang disiapkan diurungkan. Menyisakan pertanyaan-pertanyaan
teman, malu di wajah keluarga, menyisakan itu semua. Itu sungguh masa-masa yang sulit.

“Kita tidak berjodoh. Maafkan aku.” Dan Alysa pergi malam itu. Di tempat yang sama ketika
aku memperlihatkan cincin batu bulan itu kepadanya.

***

Aku menghela nafas perlahan, bertanya perlahan, berusaha memutus suasana canggung lima
menit terakhir, “Apa kau baik-baik saja?”

Alysa mengangkat kepalanya, mengangguk.

Hening sejenak. Lebih banyak kesunyian menggantung di langit-langit rumah makan. Malam
pertemuan kesekian kalinya aku dengan Alysa, malam ini, malam sekarang.

“Apakah, apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.” Alysa ragu-ragu bertanya lagi,
dengan suara yang semakin pelan dan semakin cemas.

Aku terdiam. Mengusap wajah kebas.

Ombak semakin kencang menghantam cadas. Berdebur.


Aku sungguh tidak menduga, setelah setahun berhasil pergi dari segala kesedihan itu. Susah-
payah menyingkirkan kenangan lama yang selalu menelusuk di malam-malam senyap. Alysa
mendadak kembali. Meneleponku dengan suara tersendat. Meminta kami bertemu malam ini.

Dan aku sungguh tidak mengerti mengapa aku harus menemuinya. Semua itu sudah selesai.
Bangunan hubungan kami sudah hancur berkeping-keping, bahkan jejak pondasinya pun tidak
ada lagi. Hanyut tercerabut setahun silam. Tetapi aku toh tetap menemuinya. Di tempat pertama
kali aku mengenalnya. Di tempat dia membatalkan begitu saja rencana pernikahan kami. Di
tempat kenangan kami

Alysa datang mengenakan gaun putih. Syal hijau. Matanya sembab, wajahnya sendu. Dan terisak
perlahan setelah setengah jam berlalu. Alysa menceritakan banyak hal. Meski lebih banyak
menahan tangis. Aku hanya diam. Dulu, setiap melihatnya menangis, aku pasti seolah ikut
menangis. Bergegas berusaha menghiburnya, melucu, memberikan kata-kata motivasi, apa saja.

Malam ini, aku hanya menatap kosong ke arah lautan. Menyerahkan sapu-tangan. Lantas diam.

Apa yang harus kulakukan? Apa yang Alysa harapkan?

Ketika hati itu terkoyak separuhnya setahun lalu, aku sudah bersumpah untuk menguburnya
dalam-dalam. Berjanji berdamai meski tak akan pernah kuasa melupakan. Malam ini saat Alysa
bilang hubungan hebatnya dengan pria memesona itu gagal, aku sungguh tidak tahu apa yang
harus kulakukan. Apa aku harus senang? Sedih? Marah? Tidak peduli? Ya Tuhan, ini semua
sungguh menyakitkan.

“Apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.” Alysa bertanya lagi, kali ini seperti
bertanya kosong.
Aku hanya diam. Lihatlah, Alysa dicampakkan begitu saja. Itu menurut pengakuannya. Apa yang
sebenarnya terjadi, aku tidak tahu. Sama tidak tahunya kenapa dia dulu tiba-tiba merasa begitu
jatuh cinta dan tega membatalkan pernikahan kami. Itu bukan urusanku.
“Apakah, apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.” Suara Alysa kalah oleh desau
angin. Tertunduk.

Aku menggigit bibir, menggeleng, “Kau tahu, saat itu aku akhirnya menyadari, aku tidak akan
pernah bisa melanjutkan hidup dengan hati yang hanya tersisa separuh. Tidak bisa. Hati itu sudah
rusak, tidak utuh lagi. Maka aku memutuskan membuat hati yang baru. Ya, hati yang benar-
benar baru.”

Alysa memberanikan diri mengangkat wajahnya, cemas mendengar intonasi suaraku.

“Maafkan aku Alysa, aku sudah menikah. Bukan dengan seseorang yang amat aku cintai, aku
inginkan. Tetapi setidaknya ia bisa memberikanku sepotong hati yang baru. Maafkan aku. Kau
lihat. Ini cincin pernikahan kami, batu giok.” Aku menelan ludah.

Hening sejenak. Alysa mematung.

Aku mengangkat bahu.

Alysa menyeka ujung-ujung matanya. Mengangguk pelan. Ia tahu persis itu simbol batu tanggal
kelahiranku. Malam ini semua sungguh terasa menyesakkan. Gadis itu beringsut berdiri dari
tempat duduknya, beranjak pergi. Aku menatap punggungnya hilang dari balik pintu rumah
makan.

Maafkan aku Alysa, aku berbisik pelan menatap selimut gelap lautan. Melepas cincin itu. Ini
bukan cincin milikku. Ini kepunyaan adikku–yang juga menyukai batu giok. Ada gunanya juga
memutuskan mengenakan cincin ini sebelum bertemu dengan Alysa. Aku belum menikah. Aku
selalu mengharapkan kau kembali. Selalu. Hingga detik ini. Bahkan minggu-minggu pertama
kau pergi aku tega berharap dan berdoa Tuhan menakdirkan pria itu bernasib malang.
Tetapi malam ini, ketika melihat wajah sendumu, mata sembabmu, semua cerita tidak masuk
akal itu, aku baru menyadari, cinta bukan sekadar soal memaafkan. Cinta bukan sekadar soal
menerima apa adanya. Cinta adalah harga diri. Cinta adalah rasionalitas sempurna.

Jika kau memahami cinta adalah perasaan irrasional, sesuatu yang tidak masuk akal, tidak butuh
penjelasan, maka cepat atau lambat, luka itu akan kembali menganga. Kau dengan mudah
membenarkan apapun yang terjadi di hati, tanpa tahu, tanpa memberikan kesempatan berpikir
bahwa itu boleh jadi karena kau tidak mampu mengendalikan perasaan tersebut. Tidak lebih,
tidak kurang.

Kenangan indah bersamamu akan kembali memenuhi hari-hariku entah hingga kapan. Itu benar.
Membuatku sesak. Tapi aku tidak akan membiarkan hidupku kembali dipenuhi harapan hidup
bersamamu. Sudah cukup.  Biarlah sakit hati ini menemani hari-hariku.

Biarlah aku menelannya bulat-bulat sambil sempurna menumbuhkan hati yang baru,
memperbaiki banyak hal, memperbaiki diri sendiri. Apa pepatah bilang? Ah iya, patah hati tapi
tetap sombong, patah-hati tapi tetap keren.

Tamat.

Jawaban

1. Hawkes (dikutip Pradopo, 2007:75) mengatakan bahwa strukturalisme adalah struktur


yang unsur- unsurnya saling berhubungan erat dan setiap unsur itu hanya mempunyai
makna dalam hubungannya dengan unsur lainnya dan keseluruhannya.
Strukturalisme dalam penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya pada elemen atau
unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Elemen itu disebut unsur
instrinsik, yaitu unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur itu
menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Pembangun dalam sebuah karya
sastra sebagai berikut:
a) Tema
Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan
menjadi dasar pengembangan sekuruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai
seluruh bagian cerita.
b) Tokoh dan penokohan
Tokoh merupakan pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi, sehingga
peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita, sedangkan cara pengarang
menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut penokohan.
c) Plot/alur
Rangkaian peristiwa yang tersaji secara berurutan sehingga membentuk sebuah
cerita. Plot atau alur merupakan cerminan atau perjalanan tingkah laku para tokoh
dalam bertindak, berpikir dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah
dalam suatu cerita.
d) Latar/setting
Tempat atau waktu terjadinya cerita.
e) Sudut pandang
Cara pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan
berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada
pembaca.
f) Gaya bahasa
Cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media
bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana
yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
g) Amanat
Amanat merupakan pesan atau hikmah yang dapat diambil dari sebuah cerita
untuk dijadikan sebagai cermin maupun panduan hidup.

2. Plot/ alur merupakan sebuah struktur rangkaian kejadian-kejadian dalam sebuah cerita
yang disusun dengan secara kronologis. Atau suatu rangkaian cerita sejak awal hingga
akhir. Fungsi alur adalah untuk mengatur bagaimana suatu tindakan-tindakan yang
terdapat dalam cerita harus berkaitan dengan satu sama lain, misalnya seperti bagaimana
suatu peristiwa berkaitan dengan peristiwa lainnya, lalu bagaimana tokoh yang
digambarkan dan berperan di dalam cerita yang semuanya terkait dengan suatu kesatuan
waktu. Dan membuat si pembaca sadar terhadap peristiwa yang dihadapi tokoh.
Adapun unsur-unsur plot, yaitu : pengenalan cerita, awal konflik, menuju konflik, konflik
memuncak atau klimaks, dan penyelesaian atau ending.

3. Metode/teknik untuk penggambaran tokoh dan penokohan


1) Teknik analitik
Cara analitik adalah pengarang menceritakan atau menjelaskan watak tokoh cerita
secara langsung.
2) Teknik dramatik
Cara dramatic adalah pengarang tidak secara langsung menceritakan watak tokoh
seperti pada cara analitik, melainkan menggambarkan watak tokoh dengan
melukiskan tempat atau lingkungan, menampilkan dialog antartokoh sehingga
watak tokoh akan terlihat, dan menceritakan tingkah laku, perbuatan, dan reaksi
tokoh terhadap suatu peristiwa.
Pengarang menggambarkan watak tokoh dengan cara berikut:
1. melukiskan tempat atau lingkungan sang tokoh
2. menampilkan dialog antartokoh dan dari dialog-dialog itu akan tampak watak
para tokoh cerita, menceritakan tingkah laku perbuatan atau reaksi tokoh terhadap
suatu peristiwa.
3. penggambaran fisik dan perilaku tokoh
4. penggambaran tata kebahasaan tokoh
5. pengungkapan jalan pikiran tokoh
6. penggambaran oleh tokoh lain
3) Teknik gabungan analitik dramatik
Pengarang menggunakan kedua cara tersebut di atas secara bersamaan dengan
agggapan bahwa keduanya bersifat saling melengkapi.
4) Kontekstual
5. Tokoh dalam cerpen “Sepotong Hati Yang baru”, Karya Tere Liye

1). Aku

Tokoh aku dalam cerpen tersebut adalah seorang pria yang dikhianati oleh
kekasihnya, namun ia berusaha memulai kehidupan baru tanpa ingin kembali lagi
kepada gadis itu.

Kenangan indah bersamamu akan kembali memenuhi hari-hariku entah hingga


kapan. Itu benar. Membuatku sesak. Tapi aku tidak akan membiarkan hidupku
kembali dipenuhi harapan hidup bersamamu. Sudah cukup. Biarlah sakit hati ini
menemani hari-hariku.

Biarlah aku menelannya bulat-bulat sambil sempurna menumbuhkan hati yang baru,
memperbaiki banyak hal, memperbaiki diri sendiri. Apa pepatah bilang? Ah iya,
patah hati tapi tetap sombong, patah-hati tapi tetap keren.

Tokoh aku dalam cerpen ini merupakan sosok pria yang tabah dan sabar, walaupun
sudah dikecewakan dan kekasihnya meminta untuk kembali, ia tetap tidak ingin
kembali kepada kekasihnya dan ia tetap berusaha untuk tabah menjalani kehidupan
barunya itu.

Aku menggeleng, “Kau tidak harus minta maaf, meskipun seharusnya kau tahu,
sehari setelah kau memutuskan pergi, aku lelah membujuk hatiku agar tegar,
tetapi percuma. Menyakitkan. Semua itu membuat sesak. Kalimat itu mungkin
benar, ada seseorang dalam hidupmu yang ketika ia pergi, maka ia juga
membawa sepotong hatimu. Alysa, kau pergi. Dan kau bahkan membawa lebih
dari separuh hatiku.

2).Alysa
Alysa merupakan sosok perempuan yang sudah mengecawakan hati si tokoh aku atau
kekasihnya itu. Ia menghianati cinta dan perjuangan yang sudah dilakukan dan
dikorbankan oleh si tokoh aku. Alysa memilih untuk menikah dan berpaling terhadap
sosok pria lain yang menurut ia jauh lebih baik dari sosok si aku. Alysa meminta
untuk kembali lagi terhadap si tokoh aku namun, si tokoh aku sudah tidak ingin
kembali lagi terhadap alysa. Tokoh alysa merupakan tokoh yang tidak tau diri dan
penghianat, ia membatalkan pernikahannya demi ingin kembali lagi dan berharap
akan bisa bersama terhadap si tokoh aku.

“Apakah, apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.” Suara Alysa kalah
oleh desau angina. Tertunduk.

Alysa membatalkan pernikahan, begitu saja. Pakaian pengantin dikembalikan,


gedung yang disewa dibatalkan, katering yang disiapkan diurungkan.
Menyisakan pertanyaan-pertanyaan teman, malu di wajah keluarga, menyisakan
itu semua. Itu sungguh masa-masa yang sulit.

6. Tokoh aku dalam cerpen tersebut adalah seorang pria yang dikhianati oleh kekasihnya,
namun ia berusaha memulai kehidupan baru tanpa ingin kembali lagi kepada gadis itu yang
sudah mengecawakan dirinya.

Kenangan indah bersamamu akan kembali memenuhi hari-hariku entah hingga kapan. Itu
benar. Membuatku sesak. Tapi aku tidak akan membiarkan hidupku kembali dipenuhi
harapan hidup bersamamu. Sudah cukup. Biarlah sakit hati ini menemani hari-hariku.

Biarlah aku menelannya bulat-bulat sambil sempurna menumbuhkan hati yang baru,
memperbaiki banyak hal, memperbaiki diri sendiri. Apa pepatah bilang? Ah iya, patah hati
tapi tetap sombong, patah-hati tapi tetap keren.

Tokoh aku dalam cerpen ini merupakan sosok pria yang tabah dan sabar, walaupun sudah
dikecewakan dan kekasihnya meminta untuk kembali, ia tetap tidak ingin kembali kepada
kekasihnya dan ia tetap berusaha untuk tabah menjalani kehidupan barunya itu.
Aku menggeleng, “Kau tidak harus minta maaf, meskipun seharusnya kau tahu, sehari
setelah kau memutuskan pergi, aku lelah membujuk hatiku agar tegar, tetapi percuma.
Menyakitkan. Semua itu membuat sesak. Kalimat itu mungkin benar, ada seseorang dalam
hidupmu yang ketika ia pergi, maka ia juga membawa sepotong hatimu. Alysa, kau pergi.
Dan kau bahkan membawa lebih dari separuh hatiku.

7. 1). Tokoh Aku

Tokoh aku dalam cerpen ini merupakan sosok pria yang tabah dan sabar, walaupun sudah
dikecewakan dan kekasihnya meminta untuk kembali, ia tetap tidak ingin kembali kepada
kekasihnya dan ia tetap berusaha untuk tabah menjalani kehidupan barunya itu.

Aku menggeleng, “Kau tidak harus minta maaf, meskipun seharusnya kau tahu, sehari
setelah kau memutuskan pergi, aku lelah membujuk hatiku agar tegar, tetapi percuma.
Menyakitkan. Semua itu membuat sesak. Kalimat itu mungkin benar, ada seseorang dalam
hidupmu yang ketika ia pergi, maka ia juga membawa sepotong hatimu. Alysa, kau pergi.
Dan kau bahkan membawa lebih dari separuh hatiku.

2. Tokoh Alysa

Alysa merupakan sosok perempuan yang sudah mengecawakan hati si tokoh aku atau
kekasihnya itu. Ia menghianati cinta dan perjuangan yang sudah dilakukan dan dikorbankan
oleh si tokoh aku. Alysa memilih untuk menikah dan berpaling terhadap sosok pria lain yang
menurut ia jauh lebih baik dari sosok si aku. Namun, ia membatalkan pernikahannya itu demi
bisa kembali lagi dan hidup bersama-sama terhadap si tokoh aku.

Alysa membatalkan pernikahan, begitu saja. Pakaian pengantin dikembalikan, gedung yang
disewa dibatalkan, katering yang disiapkan diurungkan. Menyisakan pertanyaan-pertanyaan
teman, malu di wajah keluarga, menyisakan itu semua. Itu sungguh masa-masa yang sulit.

Anda mungkin juga menyukai