“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah berlalu. Tertinggal jauh di
belakang.” Aku menelan ludah. Berusaha menjawab bijak—aku tahu itu
bohong, pura-pura bijaksana.
Hening lagi sejenak.
Aku menggeleng, “Kau tidak harus minta maaf, meskipun seharusnya kau tahu,
sehari setelah kau memutuskan pergi, aku lelah membujuk hatiku agar tegar,
tetapi percuma. Menyakitkan. Semua itu membuat sesak. Kalimat itu mungkin
benar, ada seseorang dalam hidupmu yang ketika ia pergi, maka ia juga
membawa sepotong hatimu. Alysa, kau pergi. Dan kau bahkan membawa lebih
dari separuh hatiku.”
“Kau tahu, aku melalui minggu-minggu menyedihkan itu. Dan yang lebih
membuat semuanya terasa menyedihkan, aku tidak pernah mengerti mengapa
kau pergi. Sesungguhnya aku tidak pernah yakin atas segalanya, aku tidak
pernah baik-baik saja. Enam bulan berlalu, hanya berkutat mengenangmu.
Mendendang lagu-lagu patah-hati, membaca buku-buku patah-hati. Hidupku
jalan di tempat.”
“Maafkan aku.” Suara Alysa bahkan kalah dengan desau angin, matanya mulai
basah menahan tangis.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan.” Aku mendongak keluar, menatap purnama.
Berusaha mengusir rasa sesak yang tiba-tiba menyelimuti hati. Sudahlah. Buat
apa diingat lagi. Kemudian kembali menatap wajah Alysa, tersenyum, “Kau
tahu, di tengah semua kesedihan itu, setidaknya saat itu aku akhirnya
menyadari, aku tidak akan pernah bisa melanjutkan hidup dengan hati yang
hanya tersisa separuh. Tidak bisa. Hati itu sudah rusak, tidak utuh lagi. Maka
aku memutuskan membuat hati yang baru. Ya, hati yang benar-benar baru.”
---
Bedanya tidak ada kesedihan di sana. Aku mengeluarkan kotak cincin batu
bulan itu.
Kalimat itu meluncur begitu saja. Aku lupa kalau selama sebulan terakhir
merencanakan banyak hal. Menyiapkan prolog dan kalimat pembuka yang
indah. Malam itu, menatap wajahnya, kalimat itu meluncur begitu saja.
Tetapi pernahkah kalian menyimak film-film. Yang ketika pasangan itu siap
menikah beberapa hari lagi, salah-satu pemerannya entah kenapa bertemu
dengan seseorang—biasanya seseorang itu calon mempelai perempuan.
Seseorang yang terlihat begitu sempurna. Seseorang yang mengambil
segalanya. Ketika kalian menonton film itu, bahkan kalian tega membela
perasaan yang baru muncul di hati jagoan wanitanya. Tega berharap agar
pernikahan itu tidak jadi. Berharap calon mempelai perempuan berhasil
mendapatkan seseorang yang tiba-tiba muncul, amat memesona itu. Berharap
cinta hebat yang tumbuh mendadak yang menang, membenarkan alasan si calon
mempelai perempuan. Akui sajalah, kita selalu membela cinta model ini.
Itulah yang terjadi denganku. Persis lima hari sebelum kami menikah, Alysa
bertemu dengan pria gagah itu. Dalam sebuah pertemuan yang mengesankan.
Aku tidak peduli di mana, kapan, dan entahlah pertemuan itu terjadi. Tidak
peduli. Sama tidak pedulinya siapa sesungguhnya pemuda itu. Yang pasti dia
meremukkan seluruh kenangan indahku bersama Alysa. Menghancurkan
kedekatan kami , keluarga kami, dan sebagainya dengan lima hari pertemuan.
Ya Tuhan, bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi?
”Maafkan aku.” Alysa berkata pelan, ”Aku, aku tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi.”
Astaga? Setelah bilang dia tidak bisa melanjutkan rencana pernikahan kami,
Alysa juga tidak tahu apa yang sedang terjadi? Ini bencana besar, jika tidak
baginya, tapi setidaknya bagi dua keluarga yang sudah menyiapkan banyak hal.
”Aku, aku mencintainya.” Alysa menghela nafas, ”Kau tahu, akan terasa, akan
terasa menyakitkan kalau kita tetap menikah dengan kenyataan aku
mencintainya.”
”Maafkan aku….” Suara Alysa bergetar, ”Kau tahu, itu seperti cinta pertama
pada pandangan pertama. Aku, aku pikir semua rencana pernikahan kita keliru.”
Debur ombak menghantam cadas terdengar bagai lagu penuh kesedihan. Bukan,
bukan karena semua ini tidak aku mengerti yang membuatku sakit hati. Bukan
karena tiba-tiba, bukan kenapa harus terjadi lima hari sebelum pernikahan kami.
Aku juga tidak mampu membenci pria itu. Apa salahnya? Aku tahu, selalu ada
bagian yang tidak masuk akal dalam perjalanan cinta. Tetapi lebih karena,
lihatlah, percakapan ini, aku tahu persis, separuh hatiku akan pergi. Persis
seperti sebuah daun berbentuk hati, diiris paksa oleh belati tajam, dipotong dua.
Aku sama sekali tidak bisa mencegahnya.
“Kita tidak berjodoh. Maafkan aku.” Dan Alysa pergi malam itu. Di tempat
yang sama ketika aku memperlihatkan cincin batu bulan itu kepadanya.
---
Aku menghela nafas perlahan, bertanya perlahan, berusaha memutus suasana
canggung lima menit terakhir, “Apa kau baik-baik saja?”
“Apakah, apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.” Alysa ragu-ragu
bertanya lagi, dengan suara yang semakin pelan dan semakin cemas.
Aku sungguh tidak menduga, setelah setahun berhasil pergi dari segala
kesedihan itu. Susah-payah menyingkirkan kenangan lama yang selalu
menelusuk di malam-malam senyap. Alysa mendadak kembali. Meneleponku
dengan suara tersendat. Meminta kami bertemu malam ini.
Dan aku sungguh tidak mengerti mengapa aku harus menemuinya. Semua itu
sudah selesai. Bangunan hubungan kami sudah hancur berkeping-keping,
bahkan jejak pondasinya pun tidak ada lagi. Hanyut tercerabut setahun silam.
Tetapi aku toh tetap menemuinya. Di tempat pertama kali aku mengenalnya. Di
tempat dia membatalkan begitu saja rencana pernikahan kami. Di tempat
kenangan kami
Alysa datang mengenakan gaun putih. Syal hijau. Matanya sembab, wajahnya
sendu. Dan terisak perlahan setelah setengah jam berlalu. Alysa menceritakan
banyak hal. Meski lebih banyak menahan tangis. Aku hanya diam. Dulu, setiap
melihatnya menangis, aku pasti seolah ikut menangis. Bergegas berusaha
menghiburnya, melucu, memberikan kata-kata motivasi, apa saja.
Malam ini, aku hanya menatap kosong ke arah lautan. Menyerahkan sapu-
tangan. Lantas diam.
Ketika hati itu terkoyak separuhnya setahun lalu, aku sudah bersumpah untuk
menguburnya dalam-dalam. Berjanji berdamai meski tak akan pernah kuasa
melupakan. Malam ini saat Alysa bilang hubungan hebatnya dengan pria
memesona itu gagal, aku sungguh tidak tahu apa yang harus kulakukan. Apa
aku harus senang? Sedih? Marah? Tidak peduli? Ya Tuhan, ini semua sungguh
menyakitkan.
“Apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.” Alysa bertanya lagi, kali
ini seperti bertanya kosong.
Aku hanya diam. Lihatlah, Alysa dicampakkan begitu saja. Itu menurut
pengakuannya. Apa yang sebenarnya terjadi, aku tidak tahu. Sama tidak
tahunya kenapa dia dulu tiba-tiba merasa begitu jatuh cinta dan tega
membatalkan pernikahan kami. Itu bukan urusanku.
“Apakah, apakah di hati yang baru itu masih tersisa namaku.” Suara Alysa
kalah oleh desau angin. Tertunduk.
Aku menggigit bibir, menggeleng, “Kau tahu, saat itu aku akhirnya menyadari,
aku tidak akan pernah bisa melanjutkan hidup dengan hati yang hanya tersisa
separuh. Tidak bisa. Hati itu sudah rusak, tidak utuh lagi. Maka aku
memutuskan membuat hati yang baru. Ya, hati yang benar-benar baru.”
Alysa memberanikan diri mengangkat wajahnya, cemas mendengar intonasi
suaraku.
“Maafkan aku Alysa, aku sudah menikah. Bukan dengan seseorang yang amat
aku cintai, aku inginkan. Tetapi setidaknya ia bisa memberikanku sepotong hati
yang baru. Maafkan aku. Kau lihat. Ini cincin pernikahan kami, batu giok.” Aku
menelan ludah.
Maafkan aku Alysa, aku berbisik pelan menatap selimut gelap lautan. Melepas
cincin itu. Ini bukan cincin milikku. Ini kepunyaan adikku–yang juga menyukai
batu giok. Ada gunanya juga memutuskan mengenakan cincin ini sebelum
bertemu dengan Alysa. Aku belum menikah. Aku selalu mengharapkan kau
kembali. Selalu. Hingga detik ini. Bahkan minggu-minggu pertama kau pergi
aku tega berharap dan berdoa Tuhan menakdirkan pria itu bernasib malang.
Tetapi malam ini, ketika melihat wajah sendumu, mata sembabmu, semua cerita
tidak masuk akal itu, aku baru menyadari, cinta bukan sekadar soal memaafkan.
Cinta bukan sekadar soal menerima apa adanya. Cinta adalah harga diri. Cinta
adalah rasionalitas sempurna.
Jika kau memahami cinta adalah perasaan irrasional, sesuatu yang tidak masuk
akal, tidak butuh penjelasan, maka cepat atau lambat, luka itu akan kembali
menganga. Kau dengan mudah membenarkan apapun yang terjadi di hati, tanpa
tahu, tanpa memberikan kesempatan berpikir bahwa itu boleh jadi karena kau
tidak mampu mengendalikan perasaan tersebut. Tidak lebih, tidak kurang.