0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
6 tayangan10 halaman
Aiya menghabiskan waktu memandangi foto seseorang di media sosial dan menyesali menolak ajakan kencan darinya. Ia belajar keras untuk ujian bahasa Jerman dan bertemu lagi dengan pria itu setelah ujian. Mereka berbincang dan bertukar kontak untuk menyambung pembicaraan.
Aiya menghabiskan waktu memandangi foto seseorang di media sosial dan menyesali menolak ajakan kencan darinya. Ia belajar keras untuk ujian bahasa Jerman dan bertemu lagi dengan pria itu setelah ujian. Mereka berbincang dan bertukar kontak untuk menyambung pembicaraan.
Aiya menghabiskan waktu memandangi foto seseorang di media sosial dan menyesali menolak ajakan kencan darinya. Ia belajar keras untuk ujian bahasa Jerman dan bertemu lagi dengan pria itu setelah ujian. Mereka berbincang dan bertukar kontak untuk menyambung pembicaraan.
Aiya memandangi foto-foto seseorang di instagram. Hampir seperti stalking
sebenarnya. Walaupun tidak menekan ‘like’ di foto manapun karena takut diketahui orangnya. Walaupun disisi lain, ia ingin orang itu tahu dia menyukai salah satu postingannya. Agar orang itu menyadari keberadaannya. Agar orang itu sekali lagi mengajaknya berkencan. Kala itu datang, ia berjanji takkan menolak dengan alasan apapun. Bahkan jika harus membolos kelas bahasa jerman yang ia ikuti tiap akhir pekan dari kantornya. Bahkan jika ia harus berlari dari rumah ke tempat kencan mereka jika memang orang itu tak bisa menjemputnya. Sekali lagi saja. Jika kesempatan itu datang, ia bersumpah takkan melewatkannya. Walaupun sebenarnya, bisa saja ia yang mengajak berkencan lebih dulu. Tapi “Hey! Aku ini perempuan. mana boleh perempuan bersikap seperti itu. Laki-laki yang seharusnya berinisiatif. Bukan perempuan.” begitulah pikiran kolot yang menghalanginya bersikap lebih aktif. Padahal menghabiskan waktu memandangi foto-foto dari satu medsos ke medsos yang lain telah menghabiskan waktu yang harusnya dipakai untuk belajar. Karena ujian level 1 bahasa jerman sudah menantinya. Ia memaki dirinya karena menolak ajakan laki-laki itu. Kalau saja ia pergi hari itu, mungkin saja mereka sudah jadian. Atau kalaupun tak bertemu lagi setelah kencan pertama, setidaknya dia mencobanya. Pukul 00.05 Aiya melemparkan hp-nya ke atas kasur. Lalu mulai menyalakan lampu USB yang terhubung dengan powerbank biru di atas meja kerjanya. Membuka buku catatan kecil berisi poin-poin penting bahasa jerman yang sudah ia tulis selama belajar di kelas. Lalu menyadari bahwa fokusnya mulai goyah di menit kesepuluh. Senyuman laki-laki itu menggoda pikirannya. Susah payah ia belajar hingga pukul 4 pagi. Mengerjakan berbagai test online sebagai try out. Padahal ia tahu betul bahwa ujiannya akan diadakan pada pukul 8 pagi di hari yang sama. Tapi ia mengenal dirinya sendiri. Ia tahu bahwa belajar satu malam ini jauh lebih efisien dalam mendapatkan nilai yang bagus dibanding belajar jauh-jauh hari. *** Aiya masih merapal kosakata dengan hampir tak bersuara. Mungkin hanya ia yang bisa mendengarnya. Sedangkan orang-orang di ruang tunggu riuh dengan celotehan mereka yang membicarakan tentang berbagai hal. Seolah merasa bahwa ujian bahasa jerman level bukanlah hal yang sulit. Sementara yang lainnya membicarakan tentang apa saja yang mereka pelajari. Mengkonfirmasi konsep-konsep gramatik beserta artikel feminin, maskulin dan netral yang mengalami perubahan tiap bertemu subjek yang berbeda atau objek yang berbeda. Suara-suara mereka terdengar bising dan mengganggu konsentrasi Aiya. Meski ingin teriak untuk meminta mereka berhenti. Tapi pembicaraan tentang gramatik itu sungguh membantunya dalam mengingat. Duduk diruangan tes sambil menunggu instruksi dari pengawas membuat jantung Aiya berdebar kencang. Ia tahu persiapannya terlihat seperti memaksa otaknya kerja lembur. Bagian lain hatinya tak yakin ia bisa melewati tes hari ini.tapi bagian otaknya yang lain terdengar begitu yakin. Meskipun tak berhasil meraih nilai yang bagus. Setidaknya pasti lulus. Tentu saja setelah keluar dari ruangan, ia terlihat putus asa. Bukan karena ia tak bisa mengerjakannya. Tapi karena soal ujiannya sama persis dengan soal try out yang ia kerjakan mendekati jam 4 pagi. Saat seluruh fokusnya hampir menghilang. Ia sungguh menyesal tak mempelajari soal-soal itu dengan lebih baik. Bukankah belajar jauh-jauh hari terlihat seperti opsi yang lebih baik sekarang? Begitu pikirnya. Ia lalu berjalan gontai ke arah kafe dekat tempat kursus itu. Mengisi perutnya dengan makanan dan minuman segar. Sementara masih kesal dengan apa yang dilihatnya di atas kertas ujian itu. Jelas sekali bahwa nilainya mungkin hanya 0,5 lebih tinggi dari standar kelulusan. Apalagi bagian horen yang sudah menjadi kelemahannya dari dulu. Hanya beberapa kosakata yang mampu ia tangkap.Kata-kata lainnya terdengar seperti kekacauan saat ribuan ayam lepas dari kandangnya. Kacau sekali. Ia menghela napas berat. Lalu baru sadar bahwa makanan dan minuman yang ia pesan sudah habis. Ia lalu menghela napas lagi. Kemudian membebani tangannya dengan dagunya sambil memandang orang-orang disekitarnya. Orang-orang yang ikut tes hari ini heboh membahas soal-soal tadi dengan teman-temannya. Ada pula yang membicarakan tentang gadis-gadis cantik atau pria-pria tampan. Seperti tidak peduli jika tidak lulus. Sementara menyadari dirinya yang hanya bisara dalam pikirannya sendiri. Tak punya seseorang untuk berbagi. Namun, tak sekalipun meratapi hal seperti itu. Sementara berpura-pura tak mendengar pembicaraan meja sebelah, tak sengaja pandangannya menangkap sesuatu yang membuat jantungnya tiba-tiba berdebar lebih keras. Iya. Pria yang mengacaukan pikirannya akhir-akhir ini. Pria yang ia sesali menolak ajakan kencannya satu bulan yang lalu. Pria itu tersemyum pada sekelompok laki-laki dan perempuan yang terlihat heboh menyambut kedatangannya. Beberapa menyambutnya dengan tos ala-ala barat sedangkan sebagian lain tersenyum dan heboh berbicara yang tak terdengar jelas karena jarak mereka yang cukup jauh. Meskipun tak dapat mendengar jelas apa yang mereka bicarakan, Aiya terus menatap pria itu seolah hari itu adalah hari terakhirnya. Memikirkan berbagai rencana untuk menyapanya tanpa terlihat seperti disengaja. Tapi bahkan tak bergerak sedikit pun. Kenapa baru sadar bahwa senyumnya semanis itu? Pikirnya dalam hati. Tak sengaja mereka bertatapan hingga membuat Aiya berpura-pura melihat hp-nya dengan wajah serius berharap bahwa pria itu tak mengenalnya. Bisa saja begitu. Sudah sebulan berlalu sejak saat itu. Pasti ia tak ingat. Tapi satu hal yang Aiya tak tahu, bahwa pria itu berjalan mendekati mejanya. “Boleh aku duduk disini?” Aiya tertegun. Nyaris tak bergerak dan berkedip seperti sedang cosplay jadi patung. Tak menatap pria itu sama sekali. Meski begitu, pria itu tetap menarik kursi dan duduk di depannya sambil tersenyum. Aiya makin tak berkutik. Ia perlahan mengangkat wajahnya. Lalu tersenyum kaku berpura-pura biasa saja. “Apa aku mengenalmu?” Tanyanya pada pria itu. Semacam pertanyaan untuk membodohi dirinya sendiri. Pria itu tersenyum lagi. Tak tahu bahwa jantung Aiya bisa meledak saat itu juga. “Kau sudah lupa padaku? Ah tega sekali! Padahal aku masih mengingatmu hingga sekarang.”Tanyanya balik dengan setengah bercanda diakhiri dengan senyum tipisnya. Ia lalu mengambil hpnya. Mencari-cari sesuatu, lalu menunjukkan sebuah foto pada Aiya. “Masih ingat tempat ini? Kita bertemu disana sebagai peserta kegiatan komunitas polyglot. Apa masih ingat?” Terlihat puluhan orang berbaris dalam foto itu dengan latar laut dan sunset. Aiya jelas ingat itu. Tapi menanggapinya dengan santai. Seolah hanya mencoba bersikap ramah. Ia tak ingin terlihat seperti wanita agresif dan murahan. Ia ingin bersikap seanggun mungkin. Lalu mereka mulai membicarakan berbagai hal. Dimulai dari menanyakan kabar hingga tentang bahasa asing apa saja yang sudah dan sedang dipelajari. Aiya yang terlihat tenang sesungguhnya sedang berpesta dalam pikirannya. Lampu kelap kelip, musik edm dengan beat yang cepat seiring detak jantungnya. Aiya berharap mereka tak kehabisan topik pembicaraan. Atau setidaknya pria itu tak dipanggil temannya. Karena Aiya baru saja menyadari bahwa berbicara dengan seseorang sangatlah menyenangkan. Tapi tentu saja dengan interests yang sama. Aiya menatap wajah pria itu lekat-lekat. Membiarkan pria itu membicarakan tentang kebiasaan kucingnya yang tiap pagi mengeong kencang agar ia terbangun. Atau mengeluhkan susahnyamenghapal Hanzi dalam bahasa mandarin hingga membuatnya berhenti belajar sementara. Atau tentang adiknya yang suka menonton drama korea sampai-sampai ia hapal pemain dramanya bahkan menghapal sedikit kosakata bahasa korea. Jelas pria itu sangat bersemangat menceritakan tentang dirinya. Hingga meminta Aiya bergiliran untuk bercerita karena ia merasa seperti sedang bicara sendiri. Walaupun Aiya terlihat sedang mendengarkannya dengan baik. Saat Aiya hendak bercerita, seorang teman pria itu memanggilnya. Berteriak meminta pria itu segera pergi bersama mereka untuk ronde kedua. Aiya dalam hatinya ingin menggenggam tangan pria itu dan memintanya untuk tinggal. Tapi memangnya dia siapa? Jangankan memagng tangan pria itu, bernapas saja tidak teratur. Bicara saja tak jelas. Alhasil ia hanya memandangi pria didepannya itu. Berharap pria itu memutuskan untuk tinggal. Sementara itu Aiya menimbang-nimbang untuk meminta kontak pria itu. Bukan berhubungan lewat medsos. Tapi kontak WA. Agar bisa menyambung pembicaraan hari ini. Agar bisa mendengar pria itu membahas kucingnya atau hal lain dalam dirinya. Hingga pria itu memanggil-manggilnya beberapa kali. Karena ia seperti berada di dimendi lain. Melamun. “Hey! Aku harus pergi. Teman-temanku memanggilku. Tapi senang bertemu denganmu. Sungguh.” Ucapnya masih tersenyum. Saat pria itu mulai berdiri, Aiya ikut berdiri lalu tiba-tiba mengucapkan kalimat yang berulang-ulang dalam kepalanya. “Berikan aku kontak WA-mu!” Aiya menutup mulutnya dengan tangan kanannya sambil membelalak kaget. Kesal dengan refleks bicaranya. Sementara pria itu hanya tersenyum sambil menyalakan hp-nya dan terlihat seperti menelepon seseorang. Aiya hanya menatap bingung pria itu. Hingga tak sadar hpnya berdering tanda panggilan masuk. “Oh! Kau masih pakai nomor yang sama ternyata. Simpan nomorku. Jangan lupa!” Lalu berbalik meninggalkan Aiya yang kebingungan. Berdiri mematung sambil menatap punggung pria manis itu. Tak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Tak percaya bahwa pria itu ternyata punya nomornya. Tapi lebih dari itu, tak percaya bahwa pria itu tak sekalipun menghubunginya sebelum hari itu. Aiya menerka-nerka pikiran pria itu. Meski dalam hatinya sedang berbunga-bunga karena punya kontaknya. Ada sedikit keraguan dalam hatinya. Keraguan yang memadamkan satu lilin harapan yang ia nyalakan sejak bicara dengan pria itu. Membiarkan overthinking mengambil sebagian pikirannya dan membiarkan sebagian lain menjaga lilin yang lain tetap menyala. Mungkin ia baru mendapatkan kontakku baru-baru ini. Pikirnya dalam hati. Ia lalu beranjak pergi menuju parkiran kursus untuk pulang ke rumah. Membayangkan pesan apa yang akan ia kirim nanti pada pria itu membuatnya senyum- senyum sendiri. Lupa bahwa satu jam yang lalu sedang frustasi tentang tesnya. Ia melompati genangan air yang masih tersisa dari hujan tadi pagi dengan riang seperti anak kecil. Menyalakan motor kesayangannya yang sudah berusia 10 tahun. Berkendara dengan kecepatan 45 km/jam sambil memainkan lagu-lagu cinta di kepalanya. Menikmati hembusan angin jalan yang sebenarnya penuh polusi. Tapi memangnya dia peduli? Pikirannya sekarang sudah dipenuhi pria itu. Bertemu dan bicara dengan pria itu telah meyakinkan dirinya bahwa ia benar sedang jatuh cinta dengan pria itu. Bukah hanya sekedar merasa kesepian hingga menyesali penolakannya. Tapi benar-benar jatuh cinta yang sepertinya baru ia sadari akhir-akhir ini. Setelah sampai di rumah pun, ia tak henti-hentinya tersenyum. Bahkan ibunya sampai heran dengan anak perempuannya yang sudah berumur ¼ abad itu. Biasanya ia pulang dengan wajah masam. Disapa saja dijawab sekenanya. Tapi kali ini ia yang menyapa duluan. Mendekati ibunya. Memeluk dengan canggung. Lalu berlari ke kamarnya. Si ibu hanya geleng-geleng kepala. Tak percaya dengan dengan tingkah aneh putrinya itu. Lalu melanjutkan pekerjaannya. Sementara Aiya segera melemparkan dirinya ke atas kasur. Mengambil hpnya dari dalam tas ranselnya dan melihat daftar panggilan masuk dari pria itu. Lalu mengetikkan nama-nama menggelikan sebelum akhirnya menulis ‘Rangga(polyglot)’ agar jantungnya tak meledak saat nanti berkirim pesan dengannya. Lalu berpindah ke instagram untuk melihat aktivitas pria itu. Bahkan dari sekelompok orang di foto itu, ia dengan mudah menemukan pria itu. Satu-satunya pria dengan senyuman paling manis diantara sekelompok orang itu. Ia berguling-guling senang. Rasanya sekarang adalah puncak tertinggi emosi senang dalam hidupnya yang sangat datar itu. Lalu segera mengirim pesan pada pria itu. Memberi tahu bahwa ia sudah menyimpan nomornya. Lalu menungu balasan pria itu dalam hitungan detik. Aiya makin girang. Mereka terus berkirim pesan hingga larut malam. Hanya jeda saat mandi atau makan. Bercerita tentang berbagai hal. Pria itu menanggapi Aiya dengan sangat manis. Satu lilin yang padam tadi sudah menyala kembali. Sejak hari itu, Aiya dan pria itu sering berkirim pesan. Meskipun tentu tidak dibalas cepat karena mereka berdua punya kehidupan masing-masing yang juga harus diurusi dengan baik. Aiya menanyakan kegiatan komunitas polyglot yang ternyata masih diikuti oleh pria itu. Lalu menanyakan apa ia masih bisa bergabung kembali yang disambut senang oleh pria itu. Bahkan katanya mereka sedang membutuhkan tenaga tambahan untuk acara yang akan diadakan dalam waktu dekat. Maka bergabunglah Aiya kembali ke komunitas yang ia tinggalkan karena susah membagi waktu dengan pekerjaannya. Namun kini kembali hanya demi bisa bertemu pria itu sesering mungkin. Hal yang membuat jam tidurnya sekarang berubah. Karena adanya acara yang akan diadakan dalam waktu dekat, ia jadi harus pulang setiap pukul 2 pagi hampir setiap hari. Jam tidurnya kacau. Bahkan akhir pekan. Waktu-waktu yang ia habiskan bersantai di bawah pohon sakura malaysia yang ibunya tanam di belakang rumah berganti menjadi rapat dan pergi ke sana kemari. Tapi bukankah sepadan dengan debaran yang ia rasakan? Ia sudah berjanji untuk tak melepaskan kesempatan yang datang. Jadi untuk apa mengeluh? Hari-hari berlalu begitu saja. Tanpa terasa, acara festival polyglot sudah di depan mata. Aiya sebenarnya hampir kehabisan energi dan tenaga karena kurang tidur dan makan yang tak teratur. Tapi jika bersama Rangga, seakan energi itu meluap berlebihan. Ikap Rangga yang manis padanya membuat Aiya meyakinkan dirinya untuk mengajak Rangga berkencan setelah festival berakhir malam ini. Saat kembang api dinyalakan. Bukankah itu sangat romantis? Membayangkannya saja sudah membuat Aiya bahagia. Aiya bersiap dengan baju terbaiknya. Tentu saja seragam panitia. Lalu berjaga disalah satu stan bahasa korea. Membantu orang-orang yang singgah untuk mencoba Hanbok atau memberikan tips belajar bahasa korea. Sementara Rangga menjadi tim keamanan. Memantau kondisi di dalam festival. Sesekali singgah ke tiap-tiap stan untuk ikut-ikutan mencoba apa saja yang disediakan tiap stan. Seperti saat ke stan korea yang dijaga Aiya dan dua orang lainnya. Mereka tertawa karena komentar Rangga tentang kimchi yang tak cocok dengan lidahnya. Lalu mengejek Aiya yang tak bisa memasaknya dengan baik. Padahal Aiya membelinya di supermarket. Mana sempat ia membuat semua makanan yang ada di stan itu. Tentu saja semua itu dibeli dan disewa. Lagipula tak ada jaminan mereka akan berhasil membuatnya. Jadi opsi terbaik adalah membelinya. Festival itu juga didatangi sejumlah warga negara asing yang juga polyglot atau kebetulan berada di kota yang sama. Aiya tentu tak kaku saat berbicara beberapa bahasa asing yang ia kuasai saat turis-turis itu mendatangi stannya. Bahkan bahasa korea yang tentu saja ada alasannya kenapa ia ditugaskan untuk mengurusi stan korea. Seorang pengunjung dari Korea sangat senang saat bicara dengan Aiya. Ia mengeluhkan betapa susahnya belajar bahasa Indonesia. meskipun sudah di Indonesia selama tiga bulan untuk exchange study dan ikut kursus bahasa Indonesia selama itu ia masih kesulitan. Sehingga saat punya teman bicara bahasa ibunya, sungguh semacam hadiah untuknya apalagi di kota kecil itu. Ia lalu mengomentari kimchi dan tteokpokki yang tidak sesuai dengan rasa seharusnya. Memberi tahu Aiya untuk menambahkan beberapa hal agar terasa seperti original. Aiya hanya mengangguk agar tak menimbulkan masalah. Lagipula ia memang tak membuatnya. Jadi memang tak masalah untuknya. Sebagian besar pengunjung yang datang ke stan korea adalah penggemar lagu korea. Mereka punya satu pertanyaan yang sama setiap datang ke stan dan berbicara dengan Aiya, yaitu siapa idol korea yang Aiya suka. Saat Aiya bilang tak ada satu pun, raut wajah mereka kecewa. Tapi kemudian menyarankan Aiya untuk mendengarkan lagu A, B, menonton drama A, B. Mereka tak tahu bahwa Aiya bisa bahasa korea karena ayahnya pernah bekerja di Korea. Jadi Aiya tak belajar bahasa korea karena tren atau hallyu wave, Aiya belajar agar ayahnya punya teman untuk mempraktekkan apa yang ia pelajari. Untung saja satu penjaga stan lain seorang fans muda salah satu grup idol. Kekecewaan mereka teratasi berkat gadis muda itu. Sungguh melelahkan melayani pertanyaan yang sama dari segerombolan anak-anak muda yang mengantri untuk datang ke stan korea. Ketertarikan mereka pada stan korea membuat stok tteokpokki dan kimbab habis. Menyisakan kimchi yang masih setengah lagi dari sejak pertama dibuka. Hanya sebagian yang tertarik mencicipinya. Karena rasa dan bau yang kuat. Bahkan Aiya pun menolak untuk makan lebih dari dua suapan. Meski begitu, stan korea masih ramai bahkan saat acara inti. Pertunjukkan perwakilan budaya tiap-tiap negara dalam festival itu bergantian tampil di panggung. Setengah dari pengunjung berkumpul di depan panggung. Setengahnya lagi masih sibuk berfoto dan mencoba berbagai hal yang di tawarkan pada tiap-tiap stan. Aiya secara fisik sudah sangat kelelahan. Beberapa kali pandangannya berpendar- pendar saat ia mencoba berdiri dari kursinya saat ada pengunjung. Tentu saja ia hampir tak duduk karena pengunjung stan korea lebih ramai di banding stan lainnya. Ia setengah menyesal menyanggupi permintaan ketua untuk mengurusi stan korea karena hanya ia yang lancar berbahasa korea. Sementara dua penjaga muda yang masih berkuliah itu masih pemula dalam belajar. Kalau saja Rangga tak berdiri didekat panggung sehingga Aiya bisa melihatnya, mungkin Aiya sudah kabur mencari kasur. Aiya tak sabar menanti penghujung malam ini. Riuh tepukkan penonton bergemuruh saat grup dance cover kpop tampil. Mereka bukan anggota polyglot. Komunitas mengundang mereka untuk tampil. Bukan grup terkenalseantero negeri. Tapi cukup terkenal di kota itu. Menjadi penampilan penutup sebelum kembang api dinyalakan. Para penjaga stan pun sudah membereskan barang-barang dan menyimpannya di mobil agar tak hilang dan tak tertinggal. Setelah itu, Aiya berlari ke dekat panggung. Mencari-cari Rangga yang tak terlihat dari kerumunan ratusan orang itu. Menghabiskan waktunya hingga kembang api pun dinyalakan. Orang-orang berteriak heboh. Menyalakan kamera dan merekam kembang api yang meledak sahut-sahutan di langit. Sementara Aiya masih mencari Rangga. Hingga akhirnya ia menemukannya. Namun dalam keadaan sedang berpegangan tangan dengan seorang perempuan sambil melihat kembang api. Mereka terlihat sangat bahagia. Apa ini? Apa yang baru saja terjadi? Apa ini mimpi? Ataukah ini nyata? Aiya kehilangan keseimbangan tubuhnya. Ia mulai merasakan nyeri disekujur tubuhnya akibat kelelahan. Perutnya terasa sangat perih. Aiya roboh. Kehilangan kesadaran. Pingsan ditengah kerumunan orang-orang tanpa ada yang melihatnya. Tanpa ada yang mencarinya. Tubuhnya terinjak sebagian orang yang tak sengaja melewatinya karena kerumunan orang yang berdesak-desakan. Sampai salah seorang tim keamanan dari atas panggung melihat orang-orang mengerumuni Aiya untuk membangunkannya. Aiya bangun di atas ranjang rumah sakit. Ada rangga disampingnya serta beberapa panitia lain termasuk tim keamanan yang menggendongnya ke mobil. Tapi tak ada perempuan itu. Perempuan yang memegang tangan Rangga. Nyata atau tidak, ia ingin mengindari Rangga saat ini. Kalau bisa mengusirnya dari ruangan ini. Tapi bergerak saja tak bisa. Apalagi bersuara. Dokter datang untuk memeriksa kondisi Aiya. Diagnosisnya tentu karena kelelahan parah. Butuh istirahat beberapa hari. Rangga terlihat khawatir. Tapi entah kenapa Aiya merasa itu hanya kebohongan. Bahkan setelah sehat dan kembali bekerja, Aiya menghindari Rangga. Memblokir nomornya, instagramnya, memutus semua kontak dengannya. Termasuk berhenti dari komunitas. Beberapa orang dari komunitas menghubunginya, tapi ia beralasan takut kelelahan lagi. Jadi tak bisa melanjutkan kegiatannya di komunitas. Tak ada paksaan. Komunitas berhenti menghubunginya dan mendoakan agar ia selalu sehat. Serta akan selalu menerima kapanpun Aiya ingin bergabung. Sayangnya Rangga tak begitu. Ia bahkan mendatangi kantor Aiya. Mencarinya karena sudah hilang tanpa kabar selama dua minggu. Meskipun beberapa kali bisa menghindar, tapi Aiya sudah terdesak. Kali ini Rangga berdiri disamping motornya yang terparkir di belakang kantor. Meskipun berbalik mencoba untuk menghindar, Rangga mengejarnya dan menarik tangannya agar berhenti. Lalu mengancamnya untuk bicara dengannya atau ia akan datang ke kantor setiap hari. Aiya mengalah. Kali ini ia tak bisa mengelak. Rangga membawanya ke sebuah kafe yang tak jauh dari kantor Aiya. Sedangkan Aiya tak sekalipun menatap matanya. “Apa kau membenciku sekarang?” Tanya Rangga to the point pada Aiya yang terlihat ingin segara pergi dari tempat itu. Tentu saja Aiya menyangkalnya. Tapi Rangga tau bukan itu yang sebenarnya. Rangga membujuk Aiya untuk mengatakan apa yang sedang terjadi pada Aiya. Tapi Aiya tetap tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya menyesap minumannya sampai habis. Lalu memesan minuman lain. “Tolong katakan padaku! Kenapa kau memblokir nomorku?” Tanya Rangga frustasi pada Aiya. Rangga bertanya lagi kenapa Aiya hanya menghindarinya tapi tidak dengan anggota komunitas yang lain. Ia bahkan sampai berjanji tak kan mengganggu Aiya setelah mendapat jawaban hari ini. Aiya tertegun. Mendengar perkataan Rangga membuatnya menyadari bahwa sikapnya sangat berlebihan dan kekanakan. Sangat tidak rasional. Sikap yang seharusnya tak ia tunjukkan pada Rangga. Meskipun ada hal ganjil yang ia lihat, seharusnya bertanya langsung pada Rangga. Bukannya lari dan menyiksa orang yang tak paham dengan apa yang terjadi. Aiya mulai membuka mulutnya. Perlahan matanya menatap Rangga meski hatinya panas terbakar. Mulai merunutkan cerita dari awal hingga melihat Rangga saling berpegangan tangan dengan gadis itu. Sementara Rangga mendengarnya dengan sabar tanpa memotong ceritanya. Setelah Aiya selesai bercerita, Rangga terdiam beberapa saat. Mungkin sedang menyusun kata-kata seperti harus darimana ia memulai semuanya. Ia menghela napas dengan berat sebelum mulai bercerita. Mengklarifikasi cerita dari sisinya. Kebenaran dari seluruh cerita versi Rangga tentunya. Dimana ia memamng kecewa karena ditolak oleh Aiya. Karena ia sudah menyukai Aiya jauh sebelum hari itu. Jauh sebelum mereka bertemu di acara komunitas polyglot. Tentu saja Aiya tak ingat. Karena ia saja yang menyukai Aiya. Sedangkan Aiya sibuk belajar dan tak tertarik berpacaran. Tipe gadis rumahan dengan orangtua galak. Maka rangga memutuskan untuk menemui Aiya saat ia sudah bekerja dan sudah cukup mapan. Tapi Aiya tak sekalipun mengingat teman satu angkatannya itu. Malah menganggap Rangga genit saat berusaha mendekatinya di acara komunitas itu. Rangga merasa bahwa Aiya tak pernah berubah. Ia masih dingin dan cuek pada laki- laki. Tapi meski begitu, ia tetap ingin mencoba mendekati Aiya lagi. Sampai akhirnya ditolak bahkan sebelum minta nomornya. Sedangkan Aiya malah memberikan nomornya pada pria lain tepat di depan matanya meskipun Aiya memotong dan mengatakan bahwa itu karena orang itu adalah ketua komunitas. Rangga melanjutkan. Saat itu hatinya sangat hancur. Ia merasa Aiya tak menghargainya. Tapi ia mencoba sekali lagi. Meminta Aiya untuk pergi makan dengannya sesekali. Tapi jawaban Aiya mengisyaratkan penolakan secara tak langsung. “Aku tak yakin. Kurasa aku tak punya waktu untuk pergi bersenang-senang. Sebab kelas bahasa jermanku akan dimulai minggu depan. Ajak saja anak lain. Pasti ada yang bisa.” Sambil tersenyum dan berlalu meninggalkan Rangga. Meski kata-kata Aiya terdengar sopan. Entah kenapa itu melukai harga diri Rangga. Ia merasa sudah tak punya muka lagi. Upayanya sia-sia. Ia memutuskan untuk tidak mau terlalu memikirkan hal itu dan fokus pada kegiatan komunitas. Walaupun tentu saja sulit baginya membuang perasaan yang sudah bertahun-tahun bersarang dihatinya. Tanpa kehadiran Aiya di komunitas, Rangga perlahan mulai melupakan perasaannya. Patah hatinya berangsur sembuh. Apalagi sejak ia mulai dekat dengan seorang gadis dari komunitas yang diam-diam menaksir Rangga sejak pertama bertemu. Rangga yang butuh pelarian dan ingin sembuh dari rasa sakitnya menerima gadis itu sebagai pacarnya. Meski awalnya ia masih sering memikirkan Aiya. Tapi berkat gadis itu, Rangga mampu melewati hari-hari kelamnya. Sampai ia melihat Aiya di kafe hari itu. Niatnya hanya bertemu teman-teman komunitas. Malah berakhir dengan bertemu cinta pertamanya yang duduk sendiri sambil melamun. Jujur saja, ia masih berdebar saat melihat Aiya. Ia masih menyukai gadis itu. Namun ia menyangkalnya. Ia menyapa Aiya hari itu hanya untuk membuktikan bahwa debaran itu hanyalah sementara. Hanyalah percikan yang muncul karena kaget bertemu dengan Aiya setelah sekian lama. Ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia sudah memaafkan Aiya. Tapi justru malah tenggelam di dalamnya. Tanpa ia sadari bahwa ia sangat senang berkirim pesan dengan Aiya meskipun awalnya hanya untuk sekedar bersikap baik. Ia ingin menganggap Aiya hanya sekedar teman komunitas. Tak lebih dari itu. Tapi justru malah menumbuhkan perasaannya. Tentu saja ia tak membenarkan perasaan itu karena ia sudah punya pacar dan ia berkomitmen untuk memilih pacarnya yang sudah banyak berkorban dan sabar untuknya. Bukannya cinta lama bersemi kembali yang mungkin akan melukainya lagi. “Setidaknya kita bisa berteman baik. Itu saja yang ku harapkan. Tapi jika kau tak mau, Aku takkan memaksa.” Ucapnya menutup ceritanya. Aiya terdiam mendengarnya. Matanya berkaca-kaca. Ia baru saja menyadari bahwa selama ini ia terlalu berfokus pada perasaannya sendiri sampai lupa untuk mengklarifikasi hal-hal yang lebih penting sebelum menjadi gila karena cinta. Sikap manis Rangga padanya bukan karena Rangga terlampau menyukainya tapi ia memang bersikap baik pada semua orang tanpa membeda-bedakannya. Ternyata bertemu dengannya membuat Rangga justru semakin mencintai pacarnya karena gadis yang ia sukai bertahun-tahun lamanya itu hanyalah lembaran lama yang ia tak ingin simpan lagi apalagi membukanya meskipun ia sempat tergoda. Ia sudah terlampau melangkah jauh bersama kekasihnya. Tak ada alasan untuk berbalik dan meninggalkan lembaran barunya. Aiya menangis. Lalu bertanya kenapa Rangga tak pernah bilang jika mereka satu sekolah atau kenapa tak bilang dari awal bahwa ia sudah punya pacar. Kenapa tak minta nomornya saat itu? Seolah membela dirinya dan tak terima pada sikap Rangga yang terlihat seperti memainkan perasaannya. Tapi Rangga hanya menunduk. Mengakui bahwa ia pun salah karena bersikap payah dan tak mengatakan bahwa mereka satu sekolah hanya karena takut Aiya tak mengingatnya. Meminta maaf karena telah membuat Aiya telah salah paham kepadanya. Aiya memukul dadanya yang sakit karena menahan tangis. Rangga berulang kali meminta maaf yang membuatnya justru semakin marah. Namun bukan pada Rangga. Tapi pada dirinya sendiri. Marah karena mau-maunya bersikap bodoh karena jatuh cinta. Mengingat semua rasa senangnya saat berkirim pesan dengan Rangga membuatnya semakin kesal. Baru ia sadari bahwa selama ini ia hanya peduli pada dirinya sendiri tanpa memperhatikan orang lain. Tak pernah peduli pada urusan orang lain. Yang penting adalah dirinya. Yang penting ia bahagia. Yang penting ia bisa hidup damai. Tanpa mengetahui bahwa sikap dan kata-katanya telah menyakiti perasaan orang lain. Meskipun tentu saja Rangga juga bersalah karena telah membuatnya salah paham atau mungkin ini salahnya sendiri karena terlalu mabuk asmara sampai lupa bertanya apa Rangga punya pacar atau tidak. Tapi setidaknya hari ini, semuanya sudah diluruskan. Meski ia harus malu karena pengunjung kafe memperhatikan mereka. Sejak hari itu, Rangga tak pernah kelihatan lagi. Aiya memang sudah tak memblokir nomornya. Baik ia maupun Rangga sudah tak saling menghubungi. Entah sudah saling melupakan atau hanya menjalani kehidupan masing-masing tanpa harus saling peduli.