Anda di halaman 1dari 3

Berujung Kehilangan

Ditengah rintik gerimis sore ini, seorang gadis berjalan tergesa-gesa menyusuri setapak. Wajahya
terlihat sedikit pucat, entah karena kedinginan atau karena sedang banyak pikiran. Dia berjalan
menunduk seolah tak ingin siapapun melihat wajah pucatnya sore itu.
Sesampainya di kursi taman, ia duduk lalu melipat kaki, menenggelamkan wajahnya hingga yang
terlihat hanya bagian atas jilbab dan punggung yang kembang kempis menahan tangis. Ia terisak
tapi tidak terlalu keras. Beberapa detik kemudian, gadis itu menengadahkan wajah, mengeluarkan
selembar tissue basah lalu mengelapnya dengan baik. Setelah bekas tangisnya tersapu bersih dengan
tissue basah, ia bangkit dan kembali berjalan. Kali ini dengan ekspresi wajah sedikit lega.
Sesampainya di depan sebuah rumah berwarna hijau tosca, tanpa basa-basi ia membuka pintu lalu
membantingnya agak keras. Langkahnya langsung tertuju pada sebuah pintu bertukiskan Liana, lalu
masuk menghempaskan tubuh keatas spring bed dan melanjutkan tangis yang sempat tetunda di
taman tadi. Gadis yang kuceritakan itu adalah aku. Iya, aku mahasiswa baru yang sedang menikmati
kuliah semester awal dan kesibukan organisasi lainnya. Karena sering bertemu di beberapa forum,
membuatku dekat dengan salah seorang kakak tingkat. Dia satu fakultas denganku, tapi kami beda
prodi. Kedekatan kami bermula dari, dari mana ya? aku sendiri bingung, yang jelas aku mulai
menanggapi pesannya ketika ia menanyakan aplikasi editing yang sering kupakai. Ditambah lagi
saat kami satu organisasi yang memang harus saling koordinasi.
Setiap hari kami bertemu, makan bareng, jalan kemana-mana bareng, tidak jarang nongkrong
bareng. Kami semakin dekat bahkan seperti tidak ada sekat ketika ia menjadi ketua di salah satu
organ. Bisa dibilang, aku tahu semua hal tentangnya begitupun sebaliknya sampai anak-anak
mengira kami mempunyai hubungan lain diluar organ. Tapi aku menepis, karena memang tidak ada
apa-apa diantara kami selain hubungan baik sebagai sahabat dan partner organ. Karena pada saat itu
notabennya dia punya pacar, jadi aku memang tidak pernah terpikir akan ada perasaan lebih antara
aku dan dia.
Sebagai sahabat, ia sering bertukar cerita tentang hubungannya dengan sang pacar. Saat mereka ada
konflik, saat ia merindukan pacaranya karena mereka sudah dua tahun LDR, atau masalah masalah
sepele yang timbul diantara mereka. Aku cukup jadi pendengar yang baik untuknya. Pernah dengar
pepatah jawa “witing tresno jalaran soko kulino”? mungkin kalimat itu sedang bekerja tanpa kami
sadari. Beberapa kali ia mengungkapkan rasa nyaman ketika bersamaku, dan selalu kutanggapi
bercandaan karena aku tidak ingin jadi pihak ketiga didalam hubungan LDR nya yang sudah
diusahakan begitu lama.
Aku pernah marah, kesal sekali pada dia karena terlalu sering mengutarakan perasaanya padaku
disamping statusnya sebagai pacar orang. Dari seringnya ia mengatakan itu selalu bisa kutepis
dengan respon biasa sebagai seorang teman. Sampai pada suatu hari ketika aku membuka kolom
status di akun whattsapku, kulihat storynya tentang pupus hubungan dengan tersayang. Langsung
saja kugeser dan jariku mulai mengetik menanyakan ada apa. Tak butuh waktu lama untuknya
membalas chatku berujar bahwa hubungannya dengan sang kekasih telah usai. Dengan rasa yang
agak tidak percaya, aku sedikit menghiburnya.
Selang beberapa hari setelah patah hati, kami sempat pergi ke pantai tapi lupa untuk urusan apa
yang masih terbayang adalah saat ia menanyakan tentang kepastian perasaanku padanya yang lagi-
lagi kubalas dengan gurauan. Tapi aku tahu, ia sedang serius mengungkapkan isi hatinya, hanya
saja aku tidak tau bagaimana perasaanku terhadapnya selama ini. Jadi, kutanggapi saja dengan
candaan tanpa bermaksud melukai hatinya.
Bulan terus saja mengitari bumi, hari-hari terus berjalan. Aku sadar benar akan perasaanya padaku
yang tercermin dari caranya memperlakukanku, peduli pada semua yang kulakukan, dan selalu ada
dalam setiap masalah yang terjadi. Aku diam karena aku juga sedang menanyai hatiku perihal
perasaannya pada sosok laki-laki yang setiap hari ada untuknya. Tapi, semakin aku mencercanya
dengan pertanyaan yang sama, semakin tak kutemui jawabnya.
Sampai pada sebuah peristiwa yang pada akhirnya membuatku kehilangan semuanya, termasuk dia.
Seusai kuliah saat aku hendak pulang, ia menahanku. “Jangan pulang dulu, ada yang mau aku
omongin. Berdua, cari tempat yang ga ada orang”. Ucapnya pelan. Aku meng iyakan karena kupikir
bahas organ atau kegiatan ke depan.
Akhirnya aku mengikutinya, kami duduk dan bicara di tempat yang lumayan jarang ada anak-anak
lewat. “ada apa si kak? Bikin penasaran aja” sergapku sesaat setelah membenarkan posisi duduk. Ia
mengambil handphoneku agar fokus mendengarkan ia bicara. Dia memulai pembicaraan dengan
sedikit terbata, melanjutkan ucapnya menyatakan perasaanya dan memintaku memilih antara dia,
atau Mr X yang kuakui aku sedang dekat juga dengannya tapi tidak sedekat hubunganku
dengannya.
“kamu punya waktu sampai hari sabtu untuk menjawab pertanyaan ini. Aku hanya butuh kepastian,
untuk terus atau berhenti”. Pungkasnya mengakhiri percakapan sore itu. Aku hanya bisa diam,
bingung mau jawab apa.
Dia selalu ada, tapi orang lain yang sedang kuperjuangkan untuk ada. Pertanyaan yang dia berikan
ternyata lebih sulit dari soal matematika ekonomi atau manajemen keuangan. Ia dengan
pertanyaannya mampu membuatku tidak bisa tidur nyenyak berhari-hari. Ketakutanku yang
sebenarnya adalah takut menyakiti hatinya, takut kehilangan dia, dan bagaimana menyusun kalimat
sehalus mungkin agar dia tidak terluka.
Dengan banyak sekali pertimbangan, banyak alasan, dan banyak hari akhirnya aku memutuskan
untuk tidak memilih siapapun. Kita cukup berteman, cukup jadi adik dan kakak yang justru dengan
begitu aku harap hubungan ini akan berlangsung untuk silaturahim yang lama. Tapi aku salah,
ternyata keputusan itu membuatku harus kehilangannya, dan menjalani hari lain dari biasanya. Dia
mulai menjauh, tidak lagi memenuhi kolom chat whattsapku, tidak lagi menyapa ketika bertemu,
bahkan seringkali menghindar jika satu forum. Ya, aku telah kehilangan dia. Kehilangan sosok
teman yang biasanya selalu ada, kini harus menghilang dengan sengaja

Hasil Karya : Intan Putri Prasetyowati


Kelas : XI MIPA 6

Anda mungkin juga menyukai