Anda di halaman 1dari 8

CARAPHERNELIA

Posted originally on the Archive of Our Own at http://archiveofourown.org/works/43289577.

Rating: Teen And Up Audiences


Archive Warning: Major Character Death
Category: F/M, M/M
Fandom: 原神 | Genshin Impact (Video Game)
Relationship: Kong | Aether/Xiao | Alatus (Genshin Impact)
Character: Kong | Aether (Genshin Impact), Xiao | Alatus (Genshin Impact), Ying |
Lumine (Genshin Impact), Venti (Genshin Impact), Shikanoin Heizou,
Kaedehara Kazuha
Additional Tags: Angst and Hurt/Comfort, Emotional Hurt/Comfort, Street Racing, Family
Issues, Depression, Cigarettes, drunk, Matchmaking, Alternate Universe
- Modern Setting, Swearing, cursing, 5WIRL Fanon Band (Genshin
Impact)
Language: Bahasa Indonesia
Stats: Published: 2022-11-27 Words: 2,546 Chapters: 1/1

CARAPHERNELIA
by SanSky176

Notes

See the end of the work for notes

Sebuah mobil melaju, menyisiri jalan sepi di tengah malam. Dengan kecepatan yang tidak pelan
dan juga tak cepat.

Sepi menemani dua insan di dalam mobil tersebut. Lalu terdengar helaan napas dari si surai pirang,
Aether. Kepalanya menoleh pada sang kekasih yang sedang fokus menyetir.

"Sho, aku mau ngomongin sesuatu." Dia membuka suara. Xiao memelankan laju mobilnya.

Hening kembali menyelimuti. Dengan susah payah Aether menelan ludah. Rasanya tak bisa ia
ungkapkan hal ini. Mereka sudah 5 tahun berpacaran, tahu-tahu malah akan seperti ini.

"Aku dijodohin, sama cewek." Aether berucap pelan. Sontak Xiao membelalakan matanya terkejut,
tangannya meremat setir dengan cukup kuat sampai uratnya terlihat.

Xiao menepi ke pinggir jalan. Setelah itu ia menyalakan lampu yang ada di dalam mobil.

"Kenapa gak kamu tolak aja perjodohannya?" Xiao bertanya. Ia tatap iris emas milik kekasihnya
yang meredup.

"Kamu tau sendiri, kan? Kalo aku gak bisa bantah kata orang tuaku." Tersirat tatapan bingung,
sedih, dan hancur di dalamnya.

"Terus kamu seenaknya memutuskan buat kita udahan? Demi perjodohan itu?" suara Xiao
meninggi. Tak percaya pada keputusan Aether.
"Kamu egois, Alatus."

"Kamu yang egois! Kita udah 5 tahun pacaran. Aku ngorbanin segalanya demi kamu biar kita bisa
bareng!" Napas Xiao mulai tersenggal. "Aku berjuang demi kamu, Aether." Suaranya mulai
memelan lemah. Ia tak sanggup.

"Kamu anggap aku gak berjuang, gitu? Dari awal hubungan kita gak direstuin karena kita laki-laki!
Aku ngelawan orang tuaku demi kamu. Lari dari segala aturan dunia yang membuat kita harusnya
gak bersama." Begitu pun pada Aether. Vokalnya bergetar hendak menangis.

"Kalo dari awal kamu gak direstuin, kenapa gak dari awal aja kita udahannya?" Sakit. Dada Xiao
terasa sesak.

"Aku mau! Tapi, aku sukanya sama kamu. Aku nyaman dan sayang sama kamu, Sho." Aether
mengepalkan tangannya, bentuk menahan rasa sedih yang berkecamuk.

Aether meraih kedua tangan Xiao. Dielusnya pelan punggung tangan kekar itu. Dapat Aether
rasakan bagaimana kasar telapak tangan orang yang akan menjadi mantan kekasihnya.

"Maaf, ya Xiao. Kayaknya kita gak bisa terus-terusan menentang aturan dunia." Perlahan Aether
menarik Xiao agar bisa menuturkan salam perpisahan.

Setelah mempertemukan bibir mereka, Aether memejamkan matanya. Buliran kristal bening jatuh
membasahi pipinya.

Masing-masing menuangkan segala emosi mereka. Mengucapkan rasa sayang untuk terakhir
kalinya. Terasa berat, pilu, dan menyakitkan.

Setelah melepas ciuman mereka, Xiao mendekap tubuh Aether. Dikecup pucuk kepala yang
bermahkota pirang itu. Terdengar isak tangis dari bibir ranum milik Aether. Kembali melepas
emosi mereka.

Setelah keduanya rela untuk melepas, mereka saling bertatapan.

"Apa kita harus benar-benar mengakhiri hubungan kita?"

"Semoga kamu dapet yang lebih baik lagi, Xiao. Percayalah, selama ini rasa cintaku terus
bertambah. Tapi sayangnya harus aku stop dan aku tahan entah sampai kapan."

Aether memegang gagang pintu mobil bagiannya. Lalu dengan segera Aether keluar dari mobil.
Kakinya melangkah menjauh untuk mencari taxi yang tersisa agar dapat mengantarkannya ke
tempat tinggalnya.

Xiao meremat baju bagian dada kiri, terasa sesak dan sakit. Giginya menjepit bibir bawahnya
dengan cukup kuat. Tangan kanannya mengepal lalu memukul setir dengan kuat, melampiaskan
amarah dan rasa sedihnya.

Kenapa dirinya selalu ditinggalkan oleh orang-orang yang ia sayangi?

Tak bisa Xiao bayangkan jika Aether memiliki anak dengan pasangannya. Ia... Tak rela.

Di sisi lain, Aether berlari sampai kakinya mati rasa. Air matanya sudah bercucuran membasahi
pipi dan terbang terbawa angin. Isakan tangisnya menggema di jalanan sepi, terdengar pilu.

Setelah lelah berlari, ia terduduk di tengah jalan. Air matanya makin deras mengalir ketika
mengingat tatapan sedih mantan kekasihnya. Memori indah berputar di kepalanya yang terasa
berat dan pusing.

"Bangsat! Dunia bajingann!!!" Aether berteriak, menyumpah serapahi takdirnya. Yang dia mau
hanya bersama Xiao. Kenapa sesusah itu?

Rintik hujan mulai membasahi jalan. Alam seakan ikut turut berduka atas kesedihan yang Aether
alami. Air hujan menyamarkan air mata Aether yang masih bercucuran. Udara dingin menerpa
kulitnya, namun ia tak peduli.

Sebuah mobil berhenti di depannya. Orang yang di dalamnya keluar. Alangkah terkejutnya sang
supir saat melihat kembarannya dengan kondisi yang berantakan dan menyedihkan.

"Astaga, Aether! Untung ketemunya sama aku.."

Lumine membawa Aether masuk ke dalam mobil. Memberikannya sebuah handuk hangat. Setelah
itu mampir sejenak ke restoran cepat saji untuk membeli minum hangat dan makanan.

Tatapan kosong Aether membuat hati Lumine tergoyah. Ia menyuapi Aether, jika tidak anak itu
takkan menyentuh santapannya. Dapat Lumine tebak apa yang sudah terjadi pada kembarannya,
namun dirinya akan memastikan sekali lagi. Setelah dirasa emosi Aether mereda, Lumine pun
bertanya.

Aether menceritakannya sambil sedikit terisak sesekali. Lumine mengangguk paham, padahal ia
sudah menduga. Bahkan saat mendengar sendiri jika Aether hendak dijodohkan. Huft, mau
bagaimana lagi jika orang tua mereka yang memutuskan? Bahkan Lumine tak bisa apa-apa.

.
.
.

Hampir sebulan telah berlalu semenjak hubungan mereka benar-benar berakhir. Masing-masing
dari mereka masih terlarut dalam kesedihan. Untuk menghilangkan rasa perih tersebut, mereka
saling menyibukan diri dengan urusan masing-masing. Xiao dengan pekerjaannya, dan Aether
dengan pernikahannya walau terpaksa.

Masih tercetak dengan jelas dalam kepala bagaimana pedihnya perpisahan mereka selama 5 tahun
telah bersama.

Xiao yang baru saja pulang dari pekerjaannya, mendapat sebuah surat undangan yang didesain
indah dan rapi tergeletak di bawah pintu apartement miliknya. Jantungnya berdegup keras, takut
jika itu adalah undangan pernikahan mantannya, Aether.

Menarik napas dalam, ia membungkuk tuk meraih undangan tersebut. Beruntung hanya bagian
belakang yang menunjukan lokasi pernikahannya. Rasa takut kembali menyelimuti Xiao. Sangat
berbeda dengan dirinya yang biasanya menentang ancaman maut dan tak kenal takut.

Dia memejam mata, tangannya membalik undangan. Dengan perlahan, ia membuka mata.

Seketika rasa perih di dirinya bergejolak. Apalagi saat melihat nama mantan kesayangannya dan
nama sang pengantin wanita.

Xiao menggigit lidahnya sampai mengeluarkan darah. Tak peduli pada rasa asin yang menyapa
indra pengecapnya.
Dengan cukup kasar, dirinya melempar kartu undangan tersebut ke tempat sampah di dekatnya.
Kedua kakinya melangkah menuju kamar mandi. Ingin menjernihkan pikiran dengan bebersih.

Setelah melepas pakaian. Ia memutar keran pancuran air. Rintik dari shower mulai membasahi
seluruh tubuhnya. Xiao menunduk, tangannya bertumpu pada dinding di hadapannya.

Kenangan indah langsung terputar di kepalanya. Otaknya mengingat dengan jelas bagaimana
indahnya suara, manis senyumannya, lucu tawanya, cantiknya mahkota pirang itu, dan sifatnya
yang menenangkan dan bikin nyaman.

Alasan mengapa Xiao rela bertahan dengan Aether selama ini adalah karena ia ingin melindungi
senyum manis itu. Melindungi sosok yang mewarnai hidupnya yang abu-abu. Aether terlalu baik
untuk dibiarkan di lingkungan toxic. Begitu pula Xiao, ia perlu suatu penyembuh dari luka masa
lalunya.

Mereka akan terikat takdir sepenuhnya, jika saja salah satunya adalah wanita.

Tangan Xiao mengepal. Lalu memukul dinding dengan kuat. Ia benci bagaimana takdir
mempertemukan mereka. Dirinya tak suka dengan perpisahan itu.

Setelah selesai bebersih diri, Xiao berjalan menuju balkon. Tak berniat untuk segera memakai baju,
hanya memakai jubah mandi. Ditatapnya jalanan yang masih ramai dengan kendaraan. Ia ingat,
dahulu dengan sang kekasihnya menyaksikan pemandangan ini sembari memakan sesuatu atau
sekedar berbagi kisah.

Diambilnya sebatang rokok, lalu bibirnya mengapit ujung benda tersebut. Mencetik korek api, lalu
dibakarnya ujung lain tembakaunya. Dihisapnya perlahan, menikmati sensasi asap panas yang
menggumpal di paru-paru. Dan dengan perlahan pula, mengeluarkan asap-asap itu ke udara lepas.

Sudah lama ia tak merokok semenjak dirinya berpacaran dengan Aether. Sang kekasih tak
menyukai asap rokok. Dirinya dengan mati-matian menahan rasa asam di mulutnya hanya demi
orang yang ia cintai. Lama-lama terbiasa tanpa mengonsumsi tembakau yang membakar paru-paru.

Xiao terkekeh pelan. Mengerikan. Bagaimana mungkin seorang Xiao tertawa? Pasti ada yang aneh.
Dan memang benar. Rasanya Xiao akan gila karena terus-terusan mengingat kenangan itu. Album
tentang Aether tak akan ia hapus dari galeri handphone miliknya atau bahkan memorinya.

Dirinya kembali ke dalam untuk mengambil kaleng beer. Diteguknya perlahan minuman yang
mengandung alkohol tersebut. Rasa pahit yang mendesis menyapa lidahnya, namun terasa segar di
tenggorokan. Dia ingin lebih. Mungkin lain kali, ia akan membeli wine atau vodka.

Xiao kembali pada kebiasaan buruknya. Melampiaskan segala emosi pada sesuatu yang
membahayakan dirinya.

Aether menatap datar hidangan di depannya. Walau giginya saling membelah makanan, tapi
lidahnya tak bisa mengecap rasa apapun. Indra pendengarannya terasa berdenging, muak dengan
tawa munafik dari sekelilingnya yang sedang berkumpul di satu meja besar.

"Aether, kamu gapapa? Perlu keluar dari sini, gak?" Sang kembaran berbisik pelan. Tangan
Lumine menyelimuti tangan kembarannya. Diusapnya pelan punggung tangan yang terlihat tak
berisi itu.

Aether menggeleng pelan. "Aku gapapa, Lumi." Dengan terpaksa, ia melukiskan senyum di bibir.
Lumine tahu dengan jelas senyuman itu. Dirinya tahu bagaimana rasa sedih Aether setelah terpaksa
berpisah dengan sang kekasih yang selalu menjadi penyelamatnya dahulu.

Mereka berdua hidup di keluarga toxic. Dikekang, dituntut, bahkan menjadi pelampiasan orang
tuanya jika tersakiti. Tak jarang pula dibandingkan satu sama lain, padahal masing-masingnya ahli
pada bidang tersendiri.

Memang benar mereka hidup bergelimang harta. Tapi, di mana letak kehangatan yang akan mereka
terima jika setiap hari mendengar teriakan ganas dari kedua orang tua mereka? Orang tua mereka
hanya memikirkan uang, jabatan, harga diri, gengsi, keegoisan, lalu kembali lagi pada uang.

Mereka sudah diperkenalkan rasa perih semenjak dulu. Dan dengan ini, mereka pun paham
bagaimana cara menjadi 'manusia'.

Sebagai penerus pertama, Aether yang paling banyak menerima dampaknya. Ia selalu berusaha
melindungi sang adik kembarnya. Namun ia lupa bagaimana cara melindungi diri dari terjangan
kedua orang tuanya.

Selama ini, sebelum bertemu Xiao lebih tepatnya, Aether sering gonta ganti pacar karena mencari
sebuah pelampiasan dan perlindungan. Disaat harapannya di ujung batas, Xiao datang. Begitu
berani dan gagah menolongnya, menentang kedua orang tuanya, menentang norma dunia. Aether
merasa aman dan nyaman ketika berada di dekat Xiao.

Aether mencintai Xiao bukan semena-mena karena ingin dilindungi dan sebuah pelampiasan.
Namun murni sebuah cinta. Hatinya jatuh pada pandangan pertama, hanya karena dirinya dibantu
ketika orang-orang enggan menolongnya.

Lama-kelamaan rasa itu kian tumbuh. Seiring berjalannya waktu, Aether paham kenapa mereka
ditakdirkan bersama. Mereka saling melengkapi.

Hanya dengan Xiao dan Lumine, Aether bisa tahu bagaimana hangatnya sebuah hubungan. Dengan
Xiao, ia belajar bagaimana cara mencintai dengan benar. Dengan Xiao pula, ia mengerti
bagaimana rasanya dicintai dan disayang oleh orang terdekat.

Lima tahun berlalu begitu cepat. Banyak sekali kenangan yang mereka simpan dengan baik dalam
memori masing-masing. Namun sayangnya harus kandas akibat orang tua Aether meminta
menikah dengan pilihan mereka, alias perjodohan. Aether sudah menolak tentunya, namun mereka
tahu kelemahan sang sulung. Yup, saudara kembarnya dan sang kekasih.

Aether tak mau jika kedua orang yang disayanginya akan tersakiti karenanya. Oleh karena itu,
Aether menerimanya dengan terpaksa.

.
.
.

Cuacanya cerah, tak panas maupun dingin. Burung-burung berterbangan dan berkicau menghias
langit biru. Orang-orang tampak sibuk dengan urusan masing-masing demi mempersiapkan sebuah
akad pernikahan.

Sang pengantin pria sedang menatap kosong dirinya melalui pantulan cermin. Dua orang sedang
membantunya untuk mempersiapkan diri dalam sebuah acara penting seumur hidup.

Tok, tok, tok...


"Masuk aja, pintunya gak dikunci," sahut Aether, sang pengantin pria dari dalam. Kembarannya
masuk ke dalam ruangan, diikuti oleh 3 teman akrab Aether.

"Aetherr!!" Venti berseru semangat. Aether dengan senang hati menyambut pelukan hangatnya.

"Yang semangat yaa. Kami doain yang terbaik buat kamu." Kazuha memamerkan senyum
hangatnya seperti biasa.

"Kalo lo perlu tempat 'singgah', kita-kita nih ada kok!" Heizou berucap. Lalu tawa menggelegar di
ruangan tersebut.

"Xiao gimana?" Pertanyaan Aether mengundang hening. Venti, Kazuha, dan Heizou terdiam, tak
mampu menjawab.

"Katanya dia bakal telat." Lumine akhirnya angkat suara.

Entah mengapa rasa sedih menabraknya seketika. Mungkin Xiao juga perlu waktu untuk
mempersiapkan dirinya.

Suara sepatu hitam milik Xiao menapak sehingga menimbulkan bunyi. Setelan baju kemeja hitam
yang lengannya digulung sampai siku dan celana hitam sangat cocok dengannya. Tak lupa jam
tangan yang bertengger di pergelangan tangannya dan dan anting tindik hitam membuatnya terlihat
sangat tampan dan gagah. Beberapa mata salah fokus pada Xiao.

Kemudian, Xiao duduk di salah satu bangku paling belakang. Matanya menangkap sosok 3
sekawannya sedang berada di kursi depan. Antara mereka ada 1 kursi kosong, mungkin untuk Xiao.
Namun sayangnya, Xiao saat ini tidak bisa seberani itu untuk menempatinya.

Seseorang yang familiar, keluar dari belakang altar. Setelan toxedo hitam melekat pada tubuhnya.
Terlihat sangat gagah dan mengundang bisikan dari orang-orang. Tak seperti biasa, katanya.

Lalu, dari sisi altar lain, ada pengantin wanita. Gaun putih simpel namun elegan sangat cocok
dengan tubuhnya. Riasan yang tidak terlalu heboh menemani sisi wajahnya dan badannya. Senyum
menyembang di bibirnya. Dia.. Terlihat sangat cantik.

Ingin rasanya Xiao terkekeh miris. Pantas saja Aether menerima perjodohan ini. Pasangannya saja
secantik ini.

Xiao menyerah. Dirinya rela, mungkin. Namun, rasa pedih yang tak biasa menggelora di dalam
dirinya. Apakah kesedihan ini ada ujungnya?

Pendeta mengiringi pengantin untuk mengucapkan janji suci. Lalu sampai pada sesi mencium
pasangan.

Karena sudah tak kuat, Xiao keluar dari sana. Pergi meninggalkan acara pernikahan itu. Ia hanya
bisa berdoa, semoga pasutri baru tersebut memiliki kehidupan yang indah dan bahagia.

Aether yang hendak mencium kening yang sudah menjadi istrinya seketika terhenti ketika melihat
Xiao yang pergi meninggalkan acara. Perih bergejolak dalam dada.

"Xiao, maaf. Semoga kamu dapet yang lebih baik." Aether berdoa untuk mantan pasangannya.
Namun rasa sayang masih melekat begitu lengket.
Mereka hanya perlu waktu untuk saling melepaskan dan merelakan.

Namun sayangnya, tak ada kata lebih baik untuk Xiao. Sosok mantan kekasih terindahnya adalah
sosok terbaik yang ia temui selama ini selain ayahnya. Takkan lagi ia temui seseorang yang sama
dengan Aether.

.
.
.

Suara knalpot motor begitu nyaring kala gas ditarik kuat. Mengisi keheningan malan. Para
penonton teriak surai gembira atas balapan seru malam ini. Seorang Xiao, pembalap liar handal
kembali pada 'arena' mereka setelah sekian lama.

Wanita cantik dengan pakaian seksi membawa bendera bercorak hitam putih, memulai aba-aba.
Para peserta makin semangat untuk kembali menggas motor mereka. Bendera diangkat tanda aba-
aba kedua, para peserta menekan kopling. Tinggal menunggu kapan bendera turun.

Xiao dari balik helmnya sedang merasa frustasi saat memikirkan mantan kekasihnya tadi pagi. Ia
benar-benar tak kuat melihat pernikahan itu.

Lalu bendera turun, semua peserta langsung memutar gas yang berada di tangan. Xiao dengan
mudah menyalip lawannya, namun pikirannya tak bisa fokus. Sampai-sampai terbalap oleh yang
lain.

Tiba pada lintasan rawan, yaitu simpang empat. Para pembalan luar itu menyelonong melanggar
lampu merah yang menyala.

Tiba-tiba sebuah truk berkecepatan tinggi dari arah kanan menabrak motor Xiao sampai terpental
jauh. Sayangnya tak ada yang peduli. Para peserta balap liar hanya fokus pada balapan mereka.

Xiao yang tepar di atas aspal, tak bisa berbuat apa-apa. Seluruh badannya terasa sakit, kaku, dan
tak bisa digerakkan. Shock menyelimutinya.

Perlahan-lahan matanya memburam. Denging di telinganya benar-benar membuat pusing. Namun


ia dengan yakin, bahwa teleponnya berdering. Lama kelamaan kesadarannya menipis, yang ia ingat
hanyalah sosok indah Aether.

Benar, kan? Ia takkan menemui seseorang yang sama terbaiknya dengan Aether. Bahkan sampai
nyawa meninggalkannya.

Di malam setelah akad nikahnya tadi pagi. Aether pergi menuju rooftop gedung hotel yang
menjadi tempat menginapnya.

Angin berhembus, menari melewati helai rambut pirang Aether yang indah. Malam itu hening dan
sepi. Bahkan di bawah gedung sana hanya segelintir mobil saja yang lewat.

Aether naik satu tingkat dari perbatasan lantai gedung atas tempat pernikahannya dan sebuah
permukaan yang jauh di bawah sana. Tanpa melihat apa yang ada di bawah sana. Dia mulai
menjatuhkan tubuhnya.

Pikirannya hanya diisi oleh Xiao. Ia merasa dirinya dipeluk erat oleh seseorang. Pelukan familiar
yang biasanya ia dapatkan dari sang mantan kekasih.
Badannya terasa sangat sakit. Kesadarannya masih ada.

Satpam dan beberapa orang yang masih terjaga langsung menggerumuni sebuah mayat orang
bunuh diri. Orang yang berlalu lalang dengan kendaraan seketika menghentikannya, turun dari sana
agar dapat melihat situasi. Salah satu dari mereka menelpon ambulan dan polisi.

Lumine yang melihat keributan di luar dari dalam langsung bergegas mendekat, lalu terkejut
dengan mayat saudaranya. Dia meraih handphone, menghubungi mantan kekasih Aether yang
sangat disayanginya. Namun sayang, telepon tersebut tak dijawab.

Aether dapat menangkap sosok saudarinya. Ia tersenyum, lalu semuanya gelap, kesadarannya
menghilang.

Pada akhirnya, dunia tetap menciptakan takdir agar mereka berdua, Xiao dan Aether tetap bersama.

End Notes

Angst solid wkwkwk


Ini adalah AU pertamaku yg dipost di AO3, jadi mohon dimaklumi jika banyak kesalahan.
Silakan tinggalkan krisar jika mau.

Please drop by the archive and comment to let the author know if you enjoyed their work!

Anda mungkin juga menyukai