Anda di halaman 1dari 6

Penantian

Oleh Francesca Diva Rachmaputri

Kita bertemu di waktu yang salah. Itu alasan mengapa aku terus mengatakan pada diriku
sendiri. Mungkin suatu hari beberapa tahun dari sekarang, kita akan bertemu di sebuah
kedai kopi yang berada jauh dari pusat kota, dan dengan takdir yang lain.

Jyoti menyukai aroma cinnamon yang terbias di udara, bercampur dengan harum teh melati
yang terbaur di udara, menyergap langit-langit kafe. Ia suka memandangi pemandangan di
sekitar sana―para pegawai yang sibuk melayani dari meja satu ke meja yang lain, mencatat
dan mengantar pesanan dengan senyum manis dan helaan napas lelah. Terkadang mereka
akan mengeluh namun satu pegawai yang lainnya akan saling memberi semangat. Tentang
para pengunjung kafe yang sendirian, atau bersama teman bahkan kekasih―mereka sering
memesan teh di sore hari saat hujan turun, sering memesan cokelat panas atau kopi hitam
pekat di saat malam menjelang.

Kliring!

“Selamat sore, selamat datang di Kamong Espresso!”

Jyoti menyebarkan senyum kecilnya, mengangguk kecil pada seorang pelayan yang
menyambutnya di depan pintu masuk. Aroma kopi yang kental dan khas, roti keju dan teh
melati serta cokelat menguar di udara―membuatnya menghirup aroma-aroma tersebut lebih
lama selagi berjalan menuju sebuah meja yang kosong di ujung kafe.

Ada sebuah memori spesial tentang atmosfer ini. Ada sebuah kenangan khusus tentang hal-
hal seperti ini. Ada sebuah canda tawa serta tangis yang terjadi―dan kali ini, Jyoti berharap,
ia bisa mengulanginya sekali lagi.

Dengan kisah yang berbeda.

Setahun lalu, Jyoti adalah gadis yang cukup bahagia dengan apa yang ia miliki―pekerjaan
tetap, kehidupan yang harmonis, orang tua yang telah ia bahagiakan, teman-teman yang
asyik, kebahagiaan dan seorang laki-laki bernama Kai.

Setahun lalu, Jyoti merasa sempurna hingga ia kira takkan ada yang berubah―takkan ada
yang lebih membahagiakan dari apa yang telah ia miliki.
Namun takdir dan waktu berkata lain.

Masih teringat jelas dipikiran gadis itu bagaimana ia berjalan masuk dengan tenang kedalam
hidupnya, membuka pintu depan hatinya dengan sebuah ketukan pelan berupa senyum manis
dan sejuta tawa. Jyoti masih ingat bagaimana ia masuk dalam lingkar kebahagian sejatinya
saat ia melangkahkan kaki ke dalam sebuah kedai langganaannya di suatu sore di musim
hujan.

Jyoti masih ingat sosok tinggi dengan wajah tegas dan tampan―bibir tipis, mata tajam dan
hitam seakan mengajaknya untuk menyelami lebih jauh, senyum dan seringai menarik,
rahang tajam, lengan kokoh dan kulit seputih susu. Jyoti masih ingat bagaimana rambut hitam
legam milik sosok itu akan terasa begitu lembut saat ia mengusapnya, saat ia mengecup bibir
laki-laki itu―hal yang seharusnya tak ia lakukan karena ia sudah memiliki kehidupan yang
sempurna dan bahagia dengan apa yang ia miliki saat itu dan―

Kai.

Tapi Jyoti terlena, begitupula Sehun.

Oh Sehun.

Jyoti merasa berdebar saat lidahnya mengucapkan bait nama itu tanpa rasa sulit. Begitu pas,
begitu indah, begitu bermelodi. Jyoti merasa berdebar bagaimana ia memanggil Sehun
dengan senyum di bibir, mengetahui bahwa sosok itu membawa warna baru dalam hidupnya.

Jyoti tahu pasti apa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan besar dan ia sadar jika akan ada
banyak orang yang tersakiti karena hal ini. Namun tidak, ia tidak bisa berhenti. Ia tidak ingin
berhenti. Bersama Sehun adalah kesalahan terpahit sekaligus termanis dan ia tak ingin semua
itu berhenti begitu saja.

Jyoti tahu dirinya memiliki Kai di siang hari dan memiliki Sehun di sisa harinya. Ia tahu
Sehun memiliki Maria di separuh waktunya dan memilikinya di sisa harinya. Ia tahu mereka
memiliki kehidupan yang berbeda―kebahagiaan berbeda yang masing-masing berat untuk
ditinggalkan karena Jyoti telah berada di sisi Kai lebih lama begitu juga Sehun dan Maria.

Dan hari itu pun datang.

Hari yang sangat ia takutkan.

Jyoti ingat hari itu seakan hari itu adalah hari kematiannya karena Kai terlihat begitu putus
asa dan lelah. Seakan lelaki itu tahu lebih banyak hal, lebih banyak dari apa yang seharusnya
tidak ia ketahui. Lebih banyak dari apa yang Jyoti tutupi. Ia tersenyum, berkata dengan
lembut pada Jyoti namun matanya mengisyaratkan bahwa ia sudah sangat lelah dan.. kecewa.

Jyoti terdiam, menebak-nebak bagaimana ini semua dimulai dan berakhir seperti ini, di sini.
Karena sungguh, ia pun tak bisa memilih salah satu.

Kai adalah cintanya, tapi Sehun adalah hidupnya.


“Kukira hubungan kita memang seharusnya hanya sampai di sini.” Kai mengatakannya
dengan tegas seakan tidak ada keraguan sedikitpun namun matanya menyiratkan bahwa
hatinya terluka dan Jyoti menangis di lututnya. Menangis, memohon maaf dan berjanji akan
kembali seperti dulu kala.

Tapi Jyoti tahu betul, dalam kata-katanya terkandung sebuah kebohongan yang pahit. Ia
berbohong demi lima tahun kisah cintanya dengan Kai pada ia sendiri tahu jika hidupnya
berada bersama Sehun. Tapi Jyoti tak mau lima tahun ini sia-sia.

“Demi lima tahun kisah kita,” ucap Jyoti, memandang Kai dari bawah, memegang lutut Kai
dan menahan air mata yang mau menetes. “Demi hubungan kita.”

Namun Kai menggeleng. Ia menggeleng seakan keputusan yang ia ambil sudah mutlak dan
saat Jyoti mendengar jawabannya, ia merasa sangat bersalah.

“Jyoti,” katanya, memberi jeda agak lama seakan ia berusaha mengucap nama kekasih yang
telah memberikannya kebahagiaan dalam lima tahun terakhir. “Selama apapun kita bersama
bukanlah jawaban dari kebahagiaan kita. Aku tahu kamu mencintai Sehun, aku tahu dia
adalah pelengkap hidupmu karena jika kamu mencintaiku sepenuh hati, kamu takkan memilih
orang lain dan mengorbankan semua yang telah kamu miliki hanya untuk sekedar bertemu
dengannya.

Kamu mencintainya, Jyoti. Bukan aku lagi. Mungkin kalian memang ditakdirkan bersama
dan aku hanya pemeran pelengkap. Mungkin Sehun adalah pemeran utama tapi takdir
membohongi kalian―mempertemukan kalian di saat yang tidak tepat. Jadi, aku mohon,
biarkan aku pergi. Karena melihatmu terkurung di sini bersamaku sama artinya menyakiti
hatiku untuk yang kedua kalinya.”

Jyoti tak tahu dan tak sadar apa yang dikatakan Kai, namun satu yang ia tahu. Sesaat setelah
Kai pergi dari kehidupannya yang terasa begitu indah sebelumnya, ia berlari pada Sehun,
berharap mereka memang memiliki sebuah takdir bersama.

Namun Jyoti lagi-lagi lupa kalau sepertinya, takdir suka bermain curang.

Rabu sore di bulan April, Sehun meniggalkan satu surat di sebuah kafe biasa tempat mereka
saling melepas rindu. Di tangan sebuah pegawai yang merupakan teman lama Sehun bernama
Kris, surat itu sampai ke tangan Jyoti.

Ia duduk di sudut kafe, dengan segelas teh melati di atas meja―teh kesukaannya dan
Sehun―dan secarik kertas di kedua tangan.

Maaf.

Kata tersebut tertulis rapih di tengah kertas, membuat Jyoti tekejut bukan main sampai ia
merasa jantungnya berhenti berdetak dan paru-parunya gagal mengambil napas. Matanya
membelalak tak percaya.

Aku harus pergi darimu. Maria lebih membutuhkanku.


Jyoti tidak tahu apa yang mempengaruhi pikirannya tapi kali ini―ia tertawa. Ia tertawa
dengan air mata yang mengalir dari kedua matanya. Menertawakan kehidupan dan takdir
yang ada.

Ia duduk disana, di salah satu sudut di kafe seperti biasa dan ketika salah satu pegawai yang
sudah mengenalnya dan akrab dengannya datang menghampiri, dengan cepat ia memesan teh
melati kesukaannya. Lima menit kemudian pesanannya datang dan Jyoti menoleh ke samping
kirinya di mana jendela besar terpampang, menyuguhkan pemandangan di luar kafe. Ia
melihat ke arah langit dimana awan-awan bergerak ke arah timur, menghalangi cahaya
mentari sehingga Jyoti tak perlu repot-repot menyipitkan matanya.

Ia meneguk teh melatinya, mengecap rasanya sampai akhirnya tertelan di tenggorokannya.


Ah, ia merindukan dia. Sungguh rindu. Sebuah nama dan satu potret wajah terngiang di
kepalanya sampai ia ingin lari dari sana karena tempat itu merupakan sepotong memori kecil
yang terendam, mengendap di sana.

Kliring!

“Selamat sore, selamat datang di Kamong Espresso!”

Sehun melangkah masuk ke dalam kafe sambil melempar senyum pada pegawai yang
menyambutnya ramah. Kakinya melangkah pelan, dengan mata yang menyusuri seluruh
sudut ruangan, berusaha mencari meja kosong dan ketika ia melihat sosok yag sedang duduk
sendirian di ujung ruangan, matanya membulat sempurna.

Jyoti tahu tiga tahun adalah waktu yang cukup lama baginya menanti sebuah ketidakpastian
seperti ini namun ia merasa hal ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan. Seminggu yang lalu,
Kai meneleponnya. Dia berkata bahwa sekarang dia telah bertemu seseorang―Diva namanya
kalau tidak salah. Jyoti sungguh senang dan tersenyum lebar mendengar Kai, seseorang yang
telah menemaninya di masa lalu, telah menemukan kebahagiannya yang tepat.

Dan ia pun berharap bahwa ia kelak, juga bisa mendapatkannya.

Ia baru akan meminum tehnya kembali ketika merasa seseorang berjalan ke arahnya dan
sebelum ia berhasil menoleh, ia mendengar suara yang sangat familiar menyapanya. “Boleh
aku duduk disini?”

Jyoti mendongak sesaat, matanya bertubrukkan dengan mata seorang lelaki yang amat
familiar, berdiri tepat di depannya. Satu senyuman darinya membawa jutaan kenangan di
masa lalu dan jantung Jyoti berdetak seribu kali lebih cepat sampai tak kuasa menjawab
pertanyaan lelaki itu.

Oh Sehun, pemuda di depannya, tertawa kecil ketika melihat Jyoti menatapnya tak percaya
hingga ia menggeret kursi di depannya dan duduk disana. Jyoti tak dapat berkata-kata atau
melakukan hal lain kecuali memandangi Sehun karena sumpah―tiga tahun sudah cukup
menyiksa batinnya. Dari sekian waktu dan sekian tempat, disinilah mereka kembali bertemu.
“Hai,” Sehun menyapanya. Jyoti tertawa kecil, namun tak ada satu katapun yang berhasil
keluar dari mulutnya namun air mata mengalir diam-diam jatuh ke pipinya.

“Hai, Sehun.”

“Bagaimana kabarmu?” tanya Sehun lagi.

Jyoti mengusap air matanya, memandang lurus ke arah Sehun dan memberinya sebuah
senyum kecil. “Bosan,” jawab Jyoti. “Menunggu seseorang selama tiga tahun sungguh
membosankan.”

Sehun tertawa kecil. “Aku juga lelah,” ucap Sehun. “Lelah berharap hari ini kapan
datangnya.”

Jyoti merasa jika mungkin, mungkin saja, ia akan mendapatkan apa yang telah Kai dapatkan.
Dan ia merasa kebahagiaannya sudah dekat. “Bagaimana ceritamu sampai bisa kembali ke
sini?” tanya Jyoti sambil tersenyum manis lagi. Dan Sehun tahu ia takkan bosan dengan
senyum manis itu. Kini ia bisa menikmati senyum itu dengan bebas, tidak sembunyi-
sembunyi dan merasa bersalah seperti dulu, tidak. Karena kini, ia merasa bahwa dirinya telah
sebebas mentari pagi.

“Ceritanya panjang,” katanya. “Aku sudah tak bersama Maria, omong-omong. Dan tentang
surat itu, bukan aku yang menulisnya, tapi Maria. Kris memberitahuku kalau hari itu Maria
datang kesini dan memberikan surat untuk diberikan pada selingkuhanku.”

“Wow, aku terdengar begitu murahan, Sehun.” Ucap Jyoti sambil tertawa. “Lagian aku tahu.
Aku tahu kalau itu bukan kamu, karena tulisanmu tak serapi itu. Tapi tetap saja, ketika
membacanya aku menangis.”

Sinar mata Sehun meredup dan ia menundukkan kepalanya, “Maaf.”

Jyoti menatap Sehun sendu, berharap bahwa Sehun tidak akan mempermasalahkan hal itu
tapi dalam dirinya, ia masih penasaran. “Jadi, saat itu kenapa kamu pergi? Aku sudah
merelakan hubunganku dengan Kai kandas tapi kenapa kamu pergi bahkan sebelum aku
berkata sepatah kata?”

Sehun masih menunduk begitu dalam, takut jika ia mengangkat kepalanya, ia akan bertemu
pandang dengan mata Jyoti dan ia tahu ia telah menorehkan banyak luka di mata indah itu.
“Sehun?” panggil Jyoti lagi.

Sehun menggelengkan kepalanya dan dia menoleh, memandang Jyoti dengan tatapan lelah
sebelum akhirnya ia membuka suara.

“Saat itu aku takut kehilangan Maria. Aku dan dia sudah bersama lebih dari tujuh tahun dan
aku takut jika sebenarnya kamu adalah ilusi sementara. Aku menginginkan kebahagiaan
abadi dan rasanya kamu begitu fana, Jyoti. Tapi setelah dua minggu kembali bersama Maria
dan pindah dari kota ini, setelah dua minggu aku kehilanganmu, aku akhirnya tahu jika yang
kucari selama ini―yang kurasa bernama kebahagiaan bukanlah Maria yang memberi arti
selama tujuh tahun, tapi kamu yang datang bersama senyum manis dan segala cinta, kamu
yang bisa meluluhkan hatiku yang sekeras batu, kamu yang menawarkan ilusi sekaligus
kenyataan, dan kamu yang rela meninggalkan apapun demi aku. Jyoti, apa aku terlambat
untuk kembali?”

Jyoti tertawa, ia tertawa namun ia tahu kali ini ia sedang bahagia sampai tak memedulikan
lagi teh favoritnya yang kini menjadi dingin.

“Kamu tidak pernah terlambat,” jawabnya. “Karena aku yakin, kita memang ditakdirkan
untuk bertemu. Aku yakin dulu kita memang bertemu di saat yang salah tapi kalau memang
kita ditakdirkan untuk bertemu, kalau tidak seperti dulu, pasti kita akan bertemu di sebuah
tempat secara kebetulan, seperti berpapasan di jalan atau bertemu di sebuah bus.”

Jyoti menatap Sehun lama, lama sekali hingga ia tahu jika akhirnya, kali ini, takdir
mempertemukan mereka di waktu yang sungguh tepat, di mana ilusi dan kenyataan membaur
menjadi satu―menciptakan sebuah awal baru yang ia dambakan; kebahagiaan.

“Karena kita dalam satu lingkar takdir,” katanya.

Jyoti menyukai aroma cinnamon yang terbias di udara, bercampur dengan harum teh melati
yang terbaur di udara, menyergap langit-langit kafe yang perlahan merangkak ke dalam
hatinya dan mengendap disana―membawa satu kepingan memori baru bernama cinta.

Selesai

Francesca Diva

Anda mungkin juga menyukai