Anda di halaman 1dari 415

„MY HAPPY ENDING‟??

Oleh :

Alin Ifa

1|„MY HAPPY ENDING‟??


Dear Pembaca,

Cerita ini haya fiktif belaka. Novel ini ditulis dalam empat sudut

pandang : Amber, Darren, Wade, dan Chad.

Jika ada yang bingung dengan latar dan nama tokohnya kenapa

dari luar Negeri, karena memang penulisnya yang lagi bereksperimen

pakai dialog yang baku. Novel profesi ini bukan terjemahan, yaa 

Cheers,

Penulis.

2|„MY HAPPY ENDING‟??


“PAIN ON DECEMBER”

-Amber-

SETELAH masa-masa indah itu, aku tidak percaya dia berbuat seperti ini

padaku. Aku tidak peduli lagi semua alasan yang dia lontarkan padaku soal ini.

Dia bilang dia mencintaiku, aku satu-satunya dalam hatinya, bilang bahwa dia

tidak akan pernah berpaling. Tapi nyatanya?.

Dia berselingkuh dengan Hilton, seorang model asal Kansas. Aku mengetahui

soal itu sebenarnya sudah sejak sebulan lalu. Itupun kata Matt, manajerku. Tapi

karena bulan lalu aku dan dia sedang dalam sebuah perayaan penting kami : yaitu

ulang tahun pernikahan kami, aku tidak mau mempercayainya dan yakin atas

pendapatku sendiri soal suamiku: yakin bahwa dia menepati janji pernikahan kami

yang dia ucapkan 4 tahun lalu. Tapi ternyata, dia telah mengingkarinya–dan

parahnya lagi, itu bukan dari sebulan lalu. Melainkan sudah dari tahun lalu.

Malam tadi semuanya terungkap, di pesta tahun baru yang diadakan di rumah

kami, di Ontario, Kanada. Dari sekian banyak orang yang kami undang, Hilton

datang tanpa sepengetahuanku, atas undangan dari Darren, tentunya.

Tepat beberapa menit setelah tahun baru, mereka berdua menghilang. Aku

yang menyadarinya, diam-diam, karena penasaran, keluar dari pusat pesta dan

mencari mereka. Apa yang aku temukan membuat aku tidak bisa berkata-kata.

Hilton dan Darren sedang berbicara serius di sudut halaman belakang rumah.

Posisi mereka tak wajar sebagai seorang teman. Sangat…personal. Mereka nyaris

3|„MY HAPPY ENDING‟??


berpelukan, bertatapan sangat dekat dengan jari yang saling bertaut. Masih wajar

jika Darren melakukannya denganku. Tapi ini...?.

Aku memberanikan diri untuk bicara, menyela mereka berdua, “Apa

maksudnya ini…?.”

Bisa ditebak apa yang mereka lakukan setelah itu. Hilton dan Darren langsung

melepas pegangan mereka dan menjauh–membuat posisi sewajar mungkin

dihadapanku yang nyaris menangis.

“Sayang?.”katanya terkejut.

Aku berbalik dan menjauh dari mereka. Di balik punggungku, masih

mendengar langkah kaki Darren yang mengejarku. Dia diam, tidak menyahut atau

mengeluarkan bantahan. Dalam nalarku, itu membuktikan bahwa yang Darren

lakukan adalah benar adanya.

Aku berhenti di dekat tangga menuju lantai atas, tertunduk diam dan menahan

tangisku sendiri. Aku tidak mau pesta yang sudah kami rencanakan jauh-jauh hari

jadi hancur hanya karena ini.

“Amber…” Suara Darren memanggilku, terserap oleh musik yang mengalun

di luar dan di dalam rumah. Dia membalikan tubuhku yang memunggunginya.

Wajahnya terlihat khawatir. Itu saja. Tak ada jejak rasa bersalah sama sekali,

seperti dia tidak menganggap kejadian itu akan membuat akibat yang fatal untuk

kami saja….

“Empat tahun….”bisikku. Akhirnya tangisku tumpah juga. Darren terpaku

menatapku dan tidak melakukan apapun selain itu.Dia hanya melihatku menangis,

4|„MY HAPPY ENDING‟??


menontonku seperti ini semua hal menarik untuk ditonton, bahkan ditertawakan,

mungkin.

“Maafkan aku.”katanya. Dia meraih pipiku dan menghapus air mataku dengan

lembut.

Marah, tersinggung, dan apalah itu namanya, tanpa berbasa basi aku

menepiskan tangannya dan memandanginya dengan mata yang sedikit berkabut

karena tangis, “Itu balasanmu?. Aku memberimu kebebasan untuk bergaul dengan

siapapun. Ini yang kau lakukan padaku?..” Dan tanpa menunggu balasannya, aku

naik ke kamar kami di atas, berusaha tidak menoleh ke belakang lagi.

“Memangnya kau tidak pernah melakukan hal serupa?!.”bentak Darren tiba-

tiba.

Aku berhenti, membeku di tempat karena bentakannya. Suasana pesta pun jadi

sunyi sama sekali. Musik dimatikan begitu mereka menyadari apa yang terjadi, di

dalam dan diluar. Suara Darren begitu keras saat membentakku. Dia membuat

semua orang tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi disini.

Perlahan, punggungku bergetar. Tangis yang sudah berusaha kutahan, kembali

keluar.

Darren tertawa kecil, menggema dan mengejek ke arahku, “ „Empat

tahun…‟.”ucapnya, mengulangi perkataanku tadi dengan nada yang sama seperti

tertawaannya, “Apa kau tidak sadar?. Kesibukanmu yang menjadi penyebab dari

ini semua!.”tuduhnya tajam.

Kontan saja emosiku tersulut mendengar dia berkata seperti itu. Dia menuduh

kesibukanku sebagai penyebabnya. Dia punya profesi yang sama denganku!. Se-

5|„MY HAPPY ENDING‟??


band denganku! Apa haknya melempar kesalahan kepada pekerjaan?. Aku sudah

sering bertanya padanya tentang pekerjaan yang akan aku ambil. Dia setuju, tanpa

masalah. Maka aku pun meneruskannya. Dan sekarang?, dia menganggap itu

sebagai alasan keretakan rumah tangga kami. Jelas aku emosi.

Aku berbalik, “Oh…jadi karena itu?. Kau menyalahkanku dengan pekerjaan

kita yang sama?!. Itu gila…” Suaraku meninggi, emosi membuat suaraku tidak

terdengar terisak.

“Apalagi…?.”sahut Darren, menatapku dengan mengejek. Dia mengalihkan

pandangan dariku dan melipat tangannya di dada, menunggu dengan sikap

menantang. Dia seperti…bukan Darren yang aku kenal selama tujuh tahun

kedekatan kami…

Aku tidak membalas ucapannya dan berbalik. Tanpa suara, meninggalkannya

di bawah sana. Sangat berusaha tidak turun dan menamparnya di depan semua

orang itu.

“Amber.” Aku kembali berhenti saat dia memanggilku, menunggu ucapan

berikutnya.

“Aku tidak mencintaimu lagi.”cetusnya t iba-tiba, setelah menghela nafas.

Mendengarnya, lututku langsung terasa lemas, rasanya tak sanggup lagi

berdiri. Dia telah mengungkapkan apa yang dia rasakan sejak mungkin setahun

lalu.

“Aku akan mengurus perceraian kita.”ucapnya kemudian. Nadanya berubah

tenang, datar, menusuk, “Maaf kalau aku membiarkan ini semua terlalu lama

untukmu. Aku harap kau bisa hidup dengan itu.”

6|„MY HAPPY ENDING‟??


Itu kata penutupnya. Itu kata penutup dari orang yang telah menjadi

penyempurna hidupku selama empat tahun… Bagus sekali..

Aku diam dan langsung berlalu ke kamar, tidak peduli lagi dengan apa yang

terjadi di bawah sana.

Di dalam, aku melampiaskan semuanya, di atas bantal dan dalam benaman

selimut. Bersamaan aku menyadari sesuatu dari ucapannya tadi. Dia tidak

mencintaiku lagi, kami akan bercerai. Sejak kapan dia merasa seperti itu?. Jika

benar dari setahun lalu, aku telah menurut di atas kebohongannya selama itu.

Tiba-tiba saja aku merasa sangat bodoh telah mempercayai semuanya. Dia

itu…bajingan…. Dia punya peran yang sempurna dalam kehidupan percintaanku.

Pembangun, sekaligus penghancur semuanya. Benar-benar sempurna….

Dan kalimat terakhirnya : „Aku harap kau bisa hidup dengan itu.‟. Bisakah?.

Aku menghela nafas, sesak. Aku tidak tahu apa aku bisa atau tidak hidup dengan

semua ini.

Seketika aku terjebak dalam gumpalan kenangan indah, terlentang,

memandangi plafon putih kamar ini, mengabaikan sebuah suara yang tidak ingin

aku tahu apa dan dari siapa itu. Perlahan, aku membekapkan tangan ke mulutku,

kembali menangis.

Pintu kamar terbuka, aku menyadarinya. Tapi aku sama sekali tidak menoleh.

Kulepaskan tanganku dari mulut dan mengusap pelan cincin pernikahanku. Benda

itu sekarang terasa berat disana.

Tak lama terdengar suara, “Amber?.”

7|„MY HAPPY ENDING‟??


Aku tahu itu Matt. Tapi kuabaikan suara itu, lebih memilih untuk terbenam

dalam kenanganku sendiri.

“Pestanya sudah selesai.”beritahunya kemudian.“Para tamu sudah pulang.”

Aku menghela nafas, “Semuanya jadi kacau, Kak…”bisikku terbata.

“Ya…”balas Matt. Dia berjalan mendekatiku dan menyingkapkan rambutku

ke balik leher.“Aku tidak menyangka dia bisa sebodoh itu mengungkapkan

semuanya di depan orang-orang..”katanya kemudian. “Tapi kau bagus sudah

menahan emosimu.”lanjut Matt.

Dia duduk di sebelahku dan mengusap air mataku, “Perlu kutemani malam

ini?.”

Aku tersenyum dipaksakan, membalasnya, “Tidak.”balasku tanpa

menatapnya. Aku menoleh, “Apa dia…sudah pergi?.”

Matt mengangguk, “Tidak lama setelah pertengkaran kalian.”

Mendengar keterangan itu, aku menarik nafas. “Aku…ingin sendiri dulu….”

“Kau yakin?.”tanya Matt dengan tangan yang masih membelai rambutku

dengan lembut.

“Ya…”

Matt bangkit tak lama setelah terdiam. Dia mendengus menyerah, “Ya

sudah..” “Hubungi aku jika ada yang perlu kau bicarakan.”pesannya kemudian.

Lagi, aku mengangguk dan membiarkan dia pergi.

Walau bagaimanapun, aku tidak akan merepotkannya terlalu dalam di dalam

masalah ini. Aku tidak mau membuat Matt pulang-pergi Ontario-Los Angeles –

karena rumahnya, sekaligus rumahku sebelum aku menikah dengan Darren – ada

8|„MY HAPPY ENDING‟??


disana. Itu akan membuat dia kelelahan, aku rasa…. Ini masalahku. Jadi biar aku

yang tanggung sendiri semuanya.

Diam-diam, dalam otak kananku ada sedikit rasa penyesalan juga kenapa aku

memilih menuruti pilihan Darren untuk membeli rumah di Ontario… Padahal dari

segi pekerjaan kami, akan lebih dekat kalau kami membeli rumah di Los Angeles.

Beberapa menit kemudian, aku bangkit dan keluar kamar. Perlahan, aku

menghela nafas. Sesak itu berangsur hilang meski air mataku meninggalkan jejak

yang cukup terlihat di wajahku. Riasanku luntur, begitu juga dengan mataku–

mulai membengkak.

Kupandangi sisa-sisa pesta di bawah sana. Besok, aku akan memanggil

petugas kebersihan dan menghabiskan waktu disini seorang diri.

Tanpa bisa dicegah, tangisku meledak lagi. Kucengkram pembatas tangga di

hadapanku dan berusaha menghentikan tangisku dengan menarik nafas berkali-

kali.

Aku tertunduk, kembali menarik nafas dan melonggarkan cengkramanku.

Perlahan, aku berbalik, jatuh terduduk di hadapan pembatas tangga. Masih

menangis, aku melingkarkan tanganku dilutut, mulai sesengukan seperti anak

kecil yang kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Begitulah aku sekarang…

Malam ini akan menjadi malam yang panjang untukku. Itu pasti.

***

Aku terbangun, menatap sekelilingku dan menyadari aku masih di tempat yang

sama seperti semalam. Hal selanjutnya membuatku penasaran : suara pekerja dan

Matt dari bawah. Apa yang mereka lakukan di rumahku?.

9|„MY HAPPY ENDING‟??


Aku berdiri dan melongok ke bawah untuk mengeceknya. Mereka sedang

membereskan sisa pesta semalam.

Matt menyadari aku sudah bangun. Dia menoleh ke atas, “Siang,

Amber!.”serunya sambil menyeringai. Dia menyusulku ke atas.

Saat tiba di hadapanku, dia langsung masuk ke kamar dan mengambilkan handuk

untukku. “Mandi. Lalu kita akan ke label membicarakan jadwalmu. Ian sudah

setuju kalau aku konsultasi dengannya mengenai itu.”katanya kemudian.

Ian Volke, manajerku di label, Arist Records, namanya. Dia memang yang

mengatur semua jadwalku yang berhubungan dengan pembuatan album,

penghargaan di acara musik, dan konser, bekerja sama dengan Matt.

“Atau kalau kau tidak bisa, aku akan kesana sebentar lagi.”selanya, sebelum

aku bisa membalas. Aku melengos darinya tanpa berkata apapun, hendak mandi.

Dia pasti akan heran mengenai tingkahku. Aku pun sebenarnya begitu.. Entah

karena aku yang belum sadar, atau efek kejadian semalam….

Sekilas, aku bisa melihat alis Matt mengerut, “Amber, serius. Bicaralah

padaku!. Membantah atau apa…”sahutnya geram, ciri khas yang keluar kalau aku

sedang hobi menyimpan masalahku sendiri.

Aku yang sudah akan keluar kamar, berbalik menghadapnya, “Ada apa?. Apa

itu masalah?.”tanyaku balik.

Dan dia tidak berkata apa-apa. Hanya menunjukan ekspresi tidak mengertinya

atas reaksiku.

“Aku sedang tidak berminat berargumen, Kak.”kataku lagi. Lalu aku berbalik,

keluar kamar untuk mandi. Matt tidak membalas lagi. Dia memutuskan untuk

10 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
menyerah dengan sikapku yang ini. Tapi aku tahu baginya ini tidak seru sama

sekali karena tidak ada saling membantah, bercanda, atau marah sesaat. Diam-

diam, aku tersenyum datar saat tahu apa yang ada dalam kepalanya sekarang…

Aku dan Matt meninggalkan rumah tepat setengah jam kemudian. Kami

membiarkan pekerja-pekerja itu membereskan semuanya sementara kami pergi.

Di dalam mobil, Matt yang menyetir. Kami berkendara dalam diam ke kantor

Arist Records yang berada di Los Angeles.

Akhirnya kami sampai juga. Kedatanganku disambut awak media yang

melontarkan pertanyaan soal semalam. Aku diam, begitupun Matt. Kami berdua

tersendat-sendat menuju pintu masuk, setidaknya sampai Ian muncul. Dia

menarikku dan Matt keluar dari kerumunan, menyuruh kami masuk sementara dia

memberikan staetment untuk wartawan yang haus berita itu.

“Amber sedang dalam situasi tidak menyenangkan untuk menjawab

pertanyaan kalian semua. Aku mohon kalian mengerti itu.”papar Ian. Tapi justru

keterangannya malah membuat janji tak langsung dengan semua orang itu.

Perlahan aku menghela nafas lelah dan melangkah ke lantai atas–atau ke ruangan

Ian, tepatnya–dalam diam dan tidak memedulikan Matt.

Aku tiba duluan. Setelah itu Matt, baru Ian. Begitu masuk Ian langsung

menuju ke jendela yang mengarah keluar. Dia memandangi media dan terdiam,

“Aku harus mendengarkan ceritanya darimu.”gumamnya. Ian berbalik dan duduk

di kursinya. Dia diam, menunggu penjelasanku.

“Jangan paksa dia, Ian.”sahut Matt tegas.

11 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Ian mengerutkan dahi, “Amber harus bercerita semuanya, Matt.”gumamnya

membalas. Dia menunggu, bersandar di kursinya, “Aku pergi menemani

GreenWeek dalam tur Asianya dan baru pulang tadi pagi. Aku rasa aku pantas

mendapat penjelasan dari salah satu anak emasku.”tukas Ian kemudian. Dia

kembali tegap dan memandangiku penasaran, namun menusuk.

“Tapi–” Matt hendak menyanggah ucapannya barusan. Tapi aku

memotongnya dan buru-buru memulai ceritaku sebelum semuanya terlanjur

kacau. Matt dan Ian kalau disatukan dalam situasi gawat memang tidak pernah

sejalan….

“Aku pisah rumah dengan Darren. Dia sedang mengurus perceraian kami,

mungkin....”kataku–memotong ucapan Matt–pada Ian.

Mendengarnya, jelas saja Ian mengerenyit, “Pisah rumah?. Bagaimana bisa?. Apa

yang terjadi dengan kalian?. Kapan?.” Dia bertanya sekaligus, membuat aku tahu

mana yang harus kuceritakan kepadanya.

“Ya. Semalam.”balasku datar, “Dia main gila dengan model asal Kansas

itu.”lanjutku lagi. Aku memalingkan wajah dari Ian dan memandang dengan

menerawang ke jendela, “…Aku sudah berusaha agar tidak merusak pesta kami

semalam, itu juga supaya media tidak tertarik dengan masalah ini. Tapi Darren

melakukannya dengan membentakku di depan orang-orang itu. Tamu kami

semalam tidak hanya dari kalangan artis. Tapi juga media.” Aku menjelaskan.

“…Jika saja dia tidak membentakku dan menyelesaikan semuanya secara damai,

tidak akan seperti ini jadinya.”

Ian menghela nafas. Dia terdiam dan berdiri menghampiriku.

12 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Dan langsung saja. Kami kemari akan mengkoordinasikan soal jadwal yang

Amber punya, seperti yang kau tahu.”sahut Matt, sebelum Ian bisa bicara lebih

lagi.

“Ya. Soal itu, aku butuh waktu kira-kira empat bulan untuk menyepi. Selama

itu, tidak ada yang boleh menggangguku. Aku ingin mengurung diri. Di rumah

atau suatu tempat, mungkin… Aku belum memikirkannya….” Aku membawa

kami ke topik awal, keperluan kami.

Ian mengangguk sesaat. Masih berdiri, dia tersenyum tanggung, “Apa tidak terlalu

lama?.”

“Dengan estimasi waktu untuk melupakan memori satu tahun adalah satu

bulan, jadi untuk melupakan empat tahun, aku butuh empat bulan.”jawabku,

lengkap dengan pemikiran spontanku. Sebenarnya jawaban tadi adalah jawaban

yang tidak direncanakan juga….

“Oke..”balas Ian. Dia menarik nafasnya, tampak memikirkan sesuatu. Sejurus

kemudian, dia kembali ke mejanya dan mengecek sesuatu di laptop. Aku pikir

jadwalku yang ada padanya…

“Aku harap kita tidak punya masalah dengan permintaanku kali ini.” Aku

menyela, melihat ekspresi wajahnya yang merengut di balik laptop.

Tatapan Ian beralih padaku, lalu Matt, “Sayangnya iya.” “Kau punya empat acara

penting dalam empat bulan ini. Dari Januari hingga April.”katanya.

Dari sudut mataku, aku bisa melihat Matt mencocokan acara yang akan Ian

sebutkan.

13 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Pertama, tanggal 15 Januari, kau tampil di festifal film Toronto,

membawakan soundtrack film „Lullaby‟. Kedua, tanggal 8 Februari, kau tampil

dalam MTV Music Awards. Kau masuk dalam kategori penyanyi dan lagu

terbaik. Ketiga, tanggal 19 Maret, tampil dalam American Teen Choice Awards,

sebagai pembawa nominasi dan nominee dalam penyanyi perempuan terfavorit.

Dan terakhir, tanggal 26 April, dalam Grammy Awards. Kau masuk dalam

kategori soundtrack, penyanyi terfavorit, dan pasangan musisi tahun ini yang

sayangnya dengan Darren. Kategori ini terbaru di Grammy Awards. Tapi di acara

terakhir itu, kau tidak tampil. Hanya duduk di kursi nominee.” Ian menjelaskan

secara rinci semua acara penting dalam empat bulan ini.

“Mungkin ketiga acara awal, bisa aku batalkan tiba-tiba. Tapi entahlah dengan

Grammy, Amber. Itu acara besar.”ucap Ian lagi. Dia diam, menunggu aku dan

Matt mengatakan sesuatu.

“Yah…” Matt mengangkat wajahnya, “Mungkin kau harus berusaha untuk

membujuk pihak penyelenggara Grammy…”sarannya kemudian, kepada Ian.

Ian menggeleng, “Tidak. Itu malah akan memicu permasalahan antara kita dan

Grammy. Aku tidak mau mengambil resiko, Matt.”

“Oke, begini. Aku akan menghadiri Grammy. Kalian jangan khawatirkan

apapun setelah itu. Asal jadwalku yang sudah ada dalam empat bulan ini,

semuanya dibatalkan. Sisakan Grammy. Dan jangan menerima pekerjaan apapun.

Jika mereka bertanya, protes, atau ada masalah, mereka bisa langsung

menghubungiku melalui Matt.” Aku menyela Ian dan Matt, memberi solusi dan

14 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
ketegasan bagi mereka berdua. Jika aku tidak menengahi, mereka tidak akan

selesai berdebat… Entah kenapa aku lelah dengan semua itu….

Matt berdecak, memandangi Ian sesaat, “Sudah jelas. Aku bisa melakukan itu

untuk Amber. Sekarang tinggal kesediaanmu.”ucapnya tegas.

“Tak masalah.”putus Ian.

Sesaat setelah mendengar keputusan itu, aku menghela nafas, lega karena

yang aku inginkan terkabul. Jika tidak, aku tidak bisa membayangkan bagaimana

jadinya….

Kualihkan pandangan ke jendela luar dan termenung, menatap media yang

masih berkerumun di bawah sana, di sekitar mobilku, dengan datar. Aku memaksa

mereka menunggu selama empat bulan. Aku harap itu tidak akan terlalu lama….

Tapi biasanya mereka tidak pernah bisa bersabar. Setelah ini mereka pasti akan

mengejarku sampai mendapatkan jawaban atas semua pertanyaan mereka.

Setidaknya itu juga kalau Matt, Darren, dan Hilton tidak buka mulut….

Tiba-tiba sebuah pemandangan asing melintas di bawah sana. Mereka semua

bergerak ke seseorang, mengerubungi orang itu. Aku menyipitkan mata, berusaha

melihat dengan jelas siapa yang tiba-tiba saja menjadi pusat perhatian mereka.

Begitu aku tahu siapa orangnya, aku langsung memalingkan wajah ke arah Matt.

“Kak?.”tegurku pelan. Ragu dia bisa mendengarnya, aku berdiri,

menghampirinya di kursi panjang yang satunya dan berucap tentang apa yang

kulihat, “Darren ada disini.”

“Apa?.” Matt memintaku mengulangi.

“Darren ada disini..”

15 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Ian mengerenyit. Menyadari apa yang tersirat dalam ucapanku, dia mengerti,

“Sebaiknya kalian pergi.”

-Darren-

EMPAT tahun yang sudah kubangun bersamanya memang terasa

menyenangkan. Apalagi dengan rutinitas yang kami lakukan sebelum dan setelah

menikah. Itu yang membuat Amber menangis sejadi-jadinya, atau seperti itulah

yang aku tahu dari Matt.

Dia sendiri langsung disuruh pulang oleh Amber begitu semua tamu pulang.

Setelah itu Matt juga tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi pada Amber.

Yang aku tahu, pagi ini dia akan mengonfirmasi jadwal yang Amber punya pada

Ian, manajer Amber dan backing bandnya di label tempat kami bernaung, Arist

Records. Saat kuhubungi, Matt berkata dengan sangat ketus, dan nyaris

menggunakan kata-kata kotor. Itu bukti kalau dia sangat marah pada kelakuanku.

Memikirkan itu, aku termenung di jendela kamar dan makin terdiam. Aku jadi

merasa bersalah pada Amber setelah bentakanku semalam. Setidaknya aku bisa

memilih cara yang lebih baik untuk mengungkapkan semuanya.

Tiba-tiba, sepasang tangan menjalar di pinggangku. “Darren…” Itu Hilton.

“Hm?.”

“Apa langkahmu setelah ini?.”tanya dia kemudian. Hilton telah berpindah ke

sisiku.

16 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Aku akan keluar dari label.”jawabku setelah terdiam. Kalau dipikir lagi,

kurasa itu langkah yang benar. Dengan keluar dari label, setidaknya aku tidak

akan terikat lagi oleh Arist maupun Amber sebagai vokalisku sendiri.

“Lalu?.”

“Aku akan mengajak Amber bicara. Setelah itu, kita bisa hidup tenang.” Aku

menyimpulkan garis besar dari apa yang akan kulakukan.

“Kau akan tetap bersembunyi disini sambil mencari pekerjaan lain atau

bagaimana?.”

“Ya. Tapi aku akan ke label dulu.”jawabku. “Setelah itu, baru kita tentukan

langkah pastinya seperti apa.”

Dari sisiku, Hilton mengangguk setuju. “Aku sangat ingin bicara dengan

Amber.”

“Untuk apa?.” Aku mengerenyit mendengar keinginannya. Amber mungkin

akan terima-terima saja… Tapi aku tidak yakin dia akan sepenuhnya

mendengarkan semua ucapan Hilton meski itu permintaan maaf sekalipun…

“Untuk memperjelas semuanya.” Hilton berkata dengan begitu yakin,

membuatku terpaksa menyetujuinya meski aku tidak yakin apa yang akan

dilakukan mereka berdua jika benar-benar bertemu, terutama dalam waktu dekat

ini.

***

Aku mendengus dari dalam mobil setelah melihat kerumunan media dekat mobil

Amber. Amber ada disini dan mereka sedang menunggu wanita itu keluar.

17 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Sebentar lagi mereka akan mengerubungiku. Diam-diam aku jadi sedikit menyesal

telah membuka masalah yang terjadi pada kami semalam….

Kuparkirkan mobilku di tempat yang agak jauh dari mereka dan memutuskan

ke dalam dengan berjalan kaki saja. Setidaknya akan lebih mudah bagiku untuk

menjawab semua pertanyaan mereka, kalau memungkinkan. Karena kalau aku

parkir dekat mereka, selain resiko sulit keluar dari mobil, pasti susah pula keluar

dari komplek label Arist Records kalau ada mereka….

Tak sampai lima menit, mereka menyadari kehadiranku dan langsung

mengerubungiku.

“Darren?, tolong keterangannya atas kejadian semalam. Apakah benar yang

media Kanada katakan bahwa kalian berdua sudah pisah rumah?. Apa yang terjadi

diantara kau dan Hilton, juga Amber?.”

Mendengar pertanyaan itu, aku tersenyum tanggung. Terlalu panjang,

sebenarnya…Tapi kujawab saja pertanyaan pertama dari mereka. “Ya. Memang,

aku dan Amber sudah pisah rumah.”

“Lalu apa yang terjadi setelah itu?.” Salah satu wartawan dari majalah The

View berkata.

“Tidak ada. Sekarang aku ingin masuk. Tolong beri jalan, kawan-

kawan.”jawabku setengah menggerutu. Aku menghindar dari pertanyaan lainnya

yang mulai terkesan memojokanku. Setelah aku berhasil keluar dari kerumunan

itu, aku masuk ke gedung dan langsung ke ruangan Ian.

18 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Sekarang aku sudah berada di ruangan Ian. Dia memandangiku dengan datar

sejak aku masuk. Nampaknya Amber sudah menceritakan semuanya pada pria ini.

Jadi aku hanya menyampaikan keinginanku untuk keluar dari label beserta

alasannya dan saat ini Ian sedang menimbang-nimbang bagaimana baiknya.

“…keluar dari label… Kau yakin?.”tanya dia untuk kesekian kalinya.

Aku mendengus bosan mendengar pertanyaan itu. “Aku sudah cukup tahu diri

dengan melakukan ini, Ian. Apa susahnya mewujudkan keinginanku yang ini?.”

“Tidak. Ya, aku tahu dan alasanmu itu masuk akal.”balas Ian. “Tapi tidak

adakah keinginan untuk rujuk dengan istrimu?.”

Aku menggeleng pelan dan berdecak, “Aku rasa tidak. Aku punya Hilton

sekarang. Dia sedang hamil dan aku harus menjaganya. Jadi aku tidak akan

mengambil keputusan itu.”

Mendengar keterangan baru dariku, Ian menghela nafas sabar. Dia

melepaskan tatapannya dariku dan membalikan laptop ke arahku. Aku mendekat

dan membaca apa yang ada dilayarnya. Surat keputusan dari pihak Grammy

Awards yang menjadikanku dan Amber sebagai salah satu nominasi dalam

kategori „Pasangan Musisi Tahun Ini‟.

Reaksi pertamaku adalah, yang benar saja??.

“Kau tinggal minta mereka diskualifikasi kami dari nominasi ini, Ian…

Ayolah….”ucapku jengkel. “Lagipula atas dasar apa mereka memasukanku dan

Amber…?.”

19 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“ „Atas dasar apa‟ ?.” Nada berucap Ian meninggi. “Kau dan Amber adalah

salah satu pasangan dari empat yang dipilih atas polling dari rakyat Amerika. Ini

pilihan penggemar kalian, Darren.”

Aku mendengus pelan dan memalingkan wajah darinya, “Oke…” Aku

memutuskan untuk menerima soal itu. “Tapi aku mau keluar dari label ini. Itu saja

permintaanku dari awal.”

Tak terdengar suara dari Ian. Dia membuka laci meja kerjanya dan

menyodorkan beberapa lembar kertas padaku. “Tanda tangan surat ini. Setelah itu,

kau lunasi semua hutang dalam kontrak yang kau tanda tangani dulu.”

Aku membacanya. Kertas-kertas itu berisi tentang pemutusan hubungan kerja

dan surat kontrakku terdahulu dengan Arist Records. Hal-hal yang telah

disepakati dalam kontrak itu, akan dibayar dengan hal yang sama ataupun dengan

uang.

“Amber terlihat begitu frustasi, Darren.”kata Ian tak lama.

Aku diam dan menandatangani kertas pemutusan hubungan kerja itu. Lebih

memilih mendengarkannya bicara.

“Dia kemari barusan dan membatalkan semua jadwal yang dia punya selama

empat bulan ke depan. Hanya Grammy Awards di bulan April yang dia

sisakan.”lanjut Ian. “Dia akan menyepi untuk sementara waktu, mengurung diri di

rumahnya sendiri, mungkin…entahlah.”

Tepat setelah menandatangani semua surat kesepakatan itu dan menyimpan

salinannya untukku, aku menoleh pada Ian, mengerenyit mendengar apa yang

20 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
akan dan sudah dilakukan Amber. “Dia benar-benar melakukan itu?.” Hanya

pertanyaan itu yang bisa kuucapkan.

“Menurutmu?.”Ian bertanya balik. “Dia begitu kacau saat datang kemari.”

Aku berusaha tidak memedulikan ucapan Ian dan menyerahkan berkas-berkas

itu, lalu pamit. “Terimakasih atas kepercayaanmu selama ini. Aku akan segera

mencarikan penggantiku di band Amber.”

Ian berdiri dan menyambut uluran tanganku. Dia mengangguk, “Sama-sama.”

Lalu dia melepaskan tangannya. “Selamat atas kehamilan pacarmu.”

Aku mengangguk membalasnya dan tak lama, melangkah pergi dari ruangan

itu.

Satu langkah sudah dituntaskan. Sekarang, aku hanya tinggal mengajak

Amber bicara, dan kalau melihat apa yang akan dia lakukan selama empat bulan

ke depan, aku rasa satu-satunya kesempatanku mengajak Amber bicara adalah

saat Grammy Awards pada bulan april nanti.

21 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“FIRST SHOW UP”

-Amber-

Ontario, 26 April 2013, Present Day…

EMPAT bulan memang waktu yang cukup lama, ternyata untuk melupakan

semuanya. Yang ada dan yang terjadi padaku dalam empat bulan itu hanyalah

terjebak dalam kenangan. Walaupun sudah tidak terus menangis seperti seminggu

pertama setelah kejadian itu, kenangan yang pernah terjadi di rumah ini antara aku

dan Darren mau tidak mau membuatku jauh dari yang namanya konsentrasi.

Pekerjaanku dalam tempat menyepiku : rumah, juga hanyalah menulis lagu sendu.

Tidak ada yang lain.

Dalam empat bulan ini, tidak ada hal gawat yang terjadi padaku. Semuanya

membiarkan aku menyepi dalam rumahku sendiri. Matt dan Ian tidak pernah

menghubungiku lagi sejak pertemuan terakhir di Arist Records, sesuai dengan

perkataanku. Begitupun ayah dan ibuku. Meski sehari setelah berita itu beredar

mereka meneleponku, dengan usaha keras, akhirnya aku berhasil juga untuk

menenangkan dan meyakinkan mereka.. Tadinya mereka akan datang kemari dan

karena aku tidak mau, mereka memberi pilihan yang jelas-jelas tidak akan aku

lakukan : ke rumah mereka….

Sekarang, hari ini, memang semuanya sudah jauh membaik. Terutama

perasaanku. Tapi aku kembali tidak tenang, mengingat penghargaan Grammy

yang akan digelar sore nanti. Aku sudah harus disana dengan kostum terbaikku,

22 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
berjalan diatas karpet merah dan muncul di depan orang-orang untuk pertama

kalinya, lagi.

Perlahan, aku mengaduk sereal sarapan pagiku dan termenung, menatap

jendela dapur yang pemandangannya langsung ke kolam renang. Selama menyepi,

aku sering begini : menatap menerawang, membayangkan sesuatu yang abstrak,

dengan tatapan mata yang kosong. Tapi aku nyaman dengan itu semua. Paling

tidak hingga sekarang….

Drt..Drt… Ponselku bergetar. Aku menoleh ke benda itu yang ada di sisiku

sekarang dan melihat layar. Pesan singkat, dari Matt.

Sender : MattLavigne_New 09.00 a.m

Receiver : Amber E. Lavigne

Hai, semoga kau sudah merasa lebih baik, Am. Hari ini aku membawakan

5 gaun untukmu. Aku harap pikiranmu sudah jernih supaya bisa memilih satu

diantara semuanya untuk Grammy. Anggap ini harimu. Aku sedang diperjalanan.

Sepuluh menit lagi aku tiba.

Aku tersenyum tanggung membaca pesannya. Hari pertama keluar, lima gaun

menungguku untuk dipilih. Semoga Matt tidak protes dengan pilihanku – walau

sebenarnya dia juga jarang melakukan itu – karena jika saja dia membawa gaun

hitam, aku akan memilih yang itu….

Kami di kamar sekarang, sedang memilih gaun itu. Dan benar tebakanku…

Dia membawakan lima gaun yang masing-masing berwarna putih, hitam, oranye,

23 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
nila, dan merah. Walaupun ada warna merah, aku memilih hitam karena

sebenarnya hitam juga warna kesukaanku dan lagi pula, bentuknya paling

sederhana namun terlihat megah.

“…kau yakin hitam?.”tanya Matt lagi setelah kami berdebat sejak sepuluh

menit lalu tentang pilihan hitam dan merah. Berbeda dari sebelumnya, kali ini

Matt protes.

Aku mengangguk dan mengambil gaun itu, “Gaun ini bagus, Matt. Aku suka

rancangannya.”

Matt diam dan memandangi gaun itu. Dia mengangguk pelan. “Dicoba dulu. Kita

lihat bagaimana penampilanmu.”

Itu bisa kuanggap sebagai persetujuannya… Aku mengangguk sesaat lalu

memakai gaun itu di kamar mandi. Tak perlu waktu lama, dan aku pun keluar,

memperlihatkan gaun ini pada Matt.

“Bagaimana?.”tanyaku penasaran.

“Hmm…”Matt terlihat menilai. Dia mengangguk puas memandangiku, lalu

tersenyum, “Benar katamu. Bagus.”

Tujuh jam kemudian, aku tengah berada dalam mobil, menuju pagelaran

Grammy Award di Staples Centre. Mobil yang dikemudikan Matt berbelok,

masuk ke halaman parkir. Aku diturunkan oleh Matt persis di depan red carpet,

dimana semua orang-orang itu tengah menunggu siapapun nominee yang datang,

termasuk aku.

24 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Begitu aku keluar, semua media dan sorot lampu yang hilang dari

keseharianku dalam empat bulan ini, tertuju padaku. Aku mengerejap dan

melangkah, berusaha menyesuaikan diri dengan kemunculan pertamaku ini.

Aku berjalan menuju BillBoard Grammy di ujung sana, tepat di depan Staples

Centre. Sambil sedikit berpose di hadapan kamera, aku melayangkan senyum

kepada semua orang yang meneriakan nama „Amber‟.

Aku tiba di depan BillBoard Grammy Award. Disana, satu presenter kawakan

tengah menunggu siapapun yang datang untuk diwawancarai. Tak lain adalah

Ryan Shannon. Dia tersenyum simpul melihatku muncul dan berjalan ke arahnya,

ke arah pintu masuk. Bisa kutebak apa yang ada di dalam pikirannya sekarang.

Pasti sama dengan semua orang disini.

“Amber Lavigne…”panggil Ryan bersemangat. Dan ketika aku di sisinya, dia

memandangiku takjub, “Jadi…hitam warna pilihanmu untuk hari penting ini?.”

Aku menganguk membenarkan, “Setidaknya semua akan berlangsung sesuai

rencana dengan warna ini, malam ini. Aku rasa…”balasku kemudian, bergurau,

mengeluarkan gaya khas Amber Lavigne jika tengah berhadapan dengan media.

“Oh, ya…benar. Bisa jadi seperti itu.” Ryan menyahut, tertawa menanggapi

jawabanku. Dia menilik penampilanku sekali lagi, melihatku dari atas sampai

bawah. Kemudian tersenyum puas, “Begitu megah. Aku rasa ini bisa menjadi

gaun terbaik dalam Grammy Awards tahun ini, Am.”komentarnya.

Aku tersenyum membalasnya, dan berucap, “Terimakasih. Aku baru ditawari

gaun ini tadi pagi oleh manajerku setelah 4 bulan kami tidak bertemu.” Setelah itu

25 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
aku sadar itu adalah sebuah keterangan untuk mereka. Tapi aku berhutang

penjelasan pada mereka. Jadi biar saja semuanya terbuka disini.

“Benarkah?.” Ryan tidak percaya, “Designermu hebat, Amber. Bisa tahu

ukuranmu tanpa melihat modelnya…”

“Memangnya aku akan banyak berubah?.”balasku berseloroh, “Aku sudah

memberikan rincian ukurannya sejak…entah kapan, sebenarnya.... Jadi tidak perlu

repot lagi mengukur baju.” Aku memberi alasan.

Ryan mengangguk-angguk mendengar jawabanku. Wajahnya menegas,

membuatku tahu ini saatnya sesi pertanyaan sungguhan. “Cukup mengomentari

pakaianmu.” Benar…

“Aku tahu apa yang akan kau tanyakan…”sahutku santai, “Tanyakan saja

semuanya.” Dalam hati aku bersiap mengucapkan semuanya tanpa terdengar

sedih. Apalagi terkait kemungkinan satu panggungnya aku dengan Darren jika

kami menang dalam kategori terbaru Grammy : Pasangan Musisi Tahun Ini.

“Hmm…” Ryan berancang-ancang, “Baiklah kalau begitu.” “Sebenarnya aku

punya 4 pertanyaan untukmu.”

“Biarkan aku tahu. Aku akan menjawabnya.”balasku renyah. Aku melipat

tangan di dada, menunggu. Ryan sendiri terlihat sama santainya menjadi satu dari

lima belas orang penanya nominee dalam acara ini.

“Baik kalau begitu.”“Pertama : Bagaimana perasaanmu bisa masuk dalam 3

kategori Grammy Awards tahun ini?.” Ryan memulai sesi pertanyaannya.

“Sangat senang. Terutama dengan satu kategori yang telah aku huni sebanyak

7 kali dengan tahun ini. Aku sangat berterimakasih juga untuk semua orang yang

26 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
telah mendukungku berkarir di jalur ini. Dan kategori kedua : soundtrack terbaik,

yang mana lagu yang aku nyanyikan di Lullaby adalah debutku mengisi

soundtrack sebuah film. Kemudian lagu itu langsung menjadi yang terbaik.

Rasanya aku tidak percaya.”jawabku, panjang-lebar.

“Jawaban yang tidak lengkap sebenarnya…”balas Ryan dengan nada

menyayangkan. Dia berharap aku memberitahu bagaimana perasaanku masuk di

kategori ketigaku.

“Tapi itu akan terjawab di pertanyaan kedua, mungkin…”timpalku santai.

“Kalau kau berminat buka mulut.”sahutnya sambil tergelak, “Baik. Pertanyaan

kedua sebenarnya sedikit melenceng dari acara ini. Tapi ini sangat berhubungan

denganmu.”

“Apa?.”

“Apa yang kau lakukan selama kau menghilang dari radar media?.”tanya

Ryan serius. Wajahnya seperti ingin ditinju saja olehku…. Sangat-sangat serius.

“Termenung. Di rumah, dan berkarya. Tentunya dalam nuansa musik yang

berbeda dengan sebab yang sudah kalian tahu.”balasku, “Kuakui itu cara mengisi

kekosongan terbaik yang pernah aku lakukan. Berada dalam kekosongan tidak

selamanya buruk.”

Ryan mengangguk paham. Dia menghela nafas, “Seperti yang kita tahu, Amber.

Di Grammy kemarin, ada yang menemanimu, dan memberikanmu ucapan selamat

secara pribadi. Bagaimana perasaanmu ketika semua itu hilang begitu saja?.”

Ryan bertanya lagi, ke hal yang lebih sensitif kali ini.

27 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku pun menghela nafas ketika menjawabnya, “Terasa berbeda, memang.

Sangat sepi, tidak seperti kemarin. Aku rasa karena itu juga aku akan lebih banyak

diam di acara ini. Kalau soal apa yang aku rasakan, pasti rasa sedih itu ada. Tapi

aku tidak mau memikirkan itu dulu. Aku muncul untuk semua penggemarku

malam ini bukan untuk meratapi nasib. Justru aku ingin kembali berkarir dan

berkarya untuk mereka.”

Hening. Ryan terdiam mendengar jawabanku. Dia menyadari ada rasa sedih

disana dan tidak tahu harus berkata apa.

Aku memulai, mengembalikan suasana megah perhelatan akbar ini. “Hei,

ayolah…. Bicara sesuatu.”gurauku, menyadarkannya.

“Oh..well.. entah kenapa aku tidak bisa berkata apapun mendengar jawaban

itu..” Ryan bergumam sendiri sambil tergelak, “Aku berani taruhan, jika wanita

itu ada di posisimu, dia tidak akan setegar ini.”lanjutnya kemudian. Secara tidak

langsung, dia sebenarnya merendahkan Hilton….

“Aku tidak berharap dia sepertiku, yang jelas. Aku percaya Darren tidak akan

sejahat itu padanya…”balasku sambil tersenyum. “Dan pertanyaan terakhir?.”

Aku bertanya, mencoba mempercepat sesi wawancara ini.

“Terkait kategorimu malam ini. Pasangan Musisi Tahun Ini.”tukas Ryan.

“Apa yang akan kau katakan, di depan mereka semua?. Terlebih lagi jika kau

menang, Darren akan berada di sisimu. Satu panggung denganmu.” Akhirnya dia

mengungkapkan juga pertanyaan terakhirnya yang sebenarnya sudah aku tahu…

Tapi aku rasa aku akan merahasiakan dulu jawabannya. Membuat mereka

penasaran lagi sepertinya seru…

28 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Kalau itu, kau lihat nanti, Ryan. Tebak saja apa yang akan aku

lakukan.”kataku bersemangat. “Aku ke dalam dulu. Sampai jumpa!.” Aku

menghindari pertanyaan jebakan lainnya dan segera melangkah ke dalam. Matt

pasti sudah menungguku sejak tadi. Biasanya dia akan mengamuk kalau sudah

dibiarkan menunggu seperti ini. Dan Ryan, tidak ada balasan lagi darinya. Yang

aku dengar hanya dengusan setengah kesal dan gemas darinya. Itulah akibat

menjadi orang media yang cerewet….

-Darren-

AKU tertegun melihat pemandangan yang berada jauh dari hadapanku. Amber

dengan gaun hitam megahnya. Sepanjang wawancara yang hanya berlangsung

tidak sampai lima menit itu, mataku terfokus pada Amber. Wawancaranya

berlangsung lebih lama dariku, membuatku punya kesempatan untuk melihat

keadaan Amber setelah empat bulan ini. Aku membiarkan Hilton ke dalam duluan

seselesainya kami diwawancarai.

Setelah empat bulan yang terasa berbeda, Amber tidak banyak berubah. Saat

diwawancara pun, dia terlihat biasa saja, bahkan tertawa bersama dengan Ryan,

penanyanya. Tapi aku tahu itu hanyalah pertahanan diri yang dia bangun

dikemunculan pertamanya ini. Luarnya dia memang terlihat baik-baik saja. Tapi

entahlah dengan dalamnya. Selama aku mengenalnya, dia tidak pernah menjadi

orang yang pintar berbohong dihadapanku.

29 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Saat billboard pintu samping makin ramai oleh kedatangan tamu, aku

memutuskan untuk masuk, menemui Hilton dan menikmati jalannya acara ini

hingga selesai nanti.

***

Kursiku nomor 75. Disebelahku, Hilton tengah mengobrol dengan teman

seprofesinya yang kutahu bernama Mary Erressano. Seorang Amerika-Meksiko.

Dia lebih tua tiga tahun dari Hilton. Hilton 27, dan Mary 30 tahun. Mereka

kelihatannya sedang terjebak dalam obrolan wanita. Paling seputaran parfum,

butik, sepatu hak tinggi, dan lain sebagainya yang tidak terlalu aku mengerti.

Saat menyadari kedatanganku, Hilton berbalik dan membiarkanku mencium

keningnya dengan lembut. Lalu obrolan itu selesai. Hilton sepenuhnya beralih

padaku. “Suasananya begitu meriah.”komentarnya sambil tersenyum.

Aku mengangguk membenarkan dan mengelus perutnya, masih dalam senyum

yang sama saat aku menyapanya. “Kita akan langsung pulang begitu selesai, ya?.

Acaranya sampai nyaris tengah malam. Aku takut angin malam mempengaruhi

kondisimu.”kataku lembut.

“Segera setelah selesai.” Hilton membalas setuju.

Tak lama, acara Grammy Awards 2013 itu pun dimulai.

Penyebutan kategori sudah sampai urutan ke 21, yaitu kategori Soundtrack

Terbaik. Kata Ian, Amber ada di dalamnya. Judul lagu yang dinyanyikannya

adalah „Lullaby‟. Lagu itu mengisi film yang berjudul sama, diciptakan oleh

Amber dan diproduseri olehku. Seketika setiap lirik, irama, melodi, dan kenangan

30 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
yang ada selama pembuatan lagu dan video klipnya, menggelayut di kepalaku

begitu saja tanpa bisa dicegah, membuatku membuang muka ke arah bawah.

Perasaan sebagai laki-laki yang pengecut itu kembali muncul.

“…kelima soundtrack itu terdengar bagus. Iya, kan, Josh?.” Luke mengajak

partnernya dalam pembaca nominasi soundtrack terbaik, Josh, mengobrol. Aku

terfokus kembali pada penyebutan kategori ini dalam diam yang kali ini tidak

menjengahkan. Aku kembali menegakan wajah dan menonton kedua orang itu

berdialog diatas panggung.

Josh tertawa menanggapinya, “Sudah pasti… Kalau tidak, mereka tidak akan

masuk Grammy, bodoh…”

Semua penonton tanpa diperintah tertawa, meski teredam. Begitupun aku.

Memang ada benarnya juga…tidak seharusnya Luke – seorang vokalis dari band

Aeckellied yang bisa dibilang tampan dan tenar – berucap seperti itu. Mungkin

sebelumnya dia tidak memikirkan apa yang akan Josh balas. Josh yang seorang

penyanyi rap kulit putih Amerika, jelas merespon ucapannya dengan tidak

sungguh-sungguh, bahkan nyaris meledek….

“Ya.. maksudku, kau tahu, kan?.” Luke berubah gugup. Terlintas dalam

pikiranku Luke akan menghajar Josh setelah dari acara ini karena

mempermalukannya.

“Ya..ya, aku tahu.”sahut Josh. Dia tergelak sendiri, “Maaf semuanya. Tanpa

mengulur-ulur waktu lagi, kami akan menyebutkan pemenang dari nominasi

Soundtrack Terbaik.”

31 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Dari sisinya, Luke tampak setuju. Dia membuka amplopnya dan memperlihatkan

isinya pada Josh. Dari raut wajah mereka, aku bisa mengenal siapa pemenang

kategori ini.

“Lullaby – Amber Lavigne!.” Mereka berucap bersamaan, nyaris membuat

ruangan besar ini bergema. Benar… Aku sudah menduga Amber dan lagunya

akan jadi pemenang dalam kategori ini.

Tak lama kemudian, dari sisi kursi nominasi yang lain, Amber berdiri.

Senyum merekah di bibirnya dan matanya terlihat begitu berbinar, senang. Dalam

hati, aku menghangat melihat ekspresinya yang baik-baik saja.

Amber menuju ke atas panggung ketika kamera memindahkan pergerakannya

ke layar besar – latar belakang panggung. Aku memandangi layar itu dalam diam.

Ketika Amber sudah naik, aku kembali menyibukan diri, seakan tidak mau peduli

dengan apa yang dia akan katakan di depan sana.

“Wow…”Suara khas itu yang pertama kudengar. Aku berusaha agar kepalaku

tidak terangkat dan tersenyum melihatnya memenangkan penghargaan itu, seperti

yang kulakukan sebelum kami berpisah. Aku harus membiasakan ini.

“Terimakasih untuk semua pihak yang terlibat dalam pembuatan lagu Lullaby

ini. Penghargaan ini untuk kalian. Untuk Titanium Gates Production, rumah

produksi film Lullaby, terimakasih telah mempercayaiku untuk mengisi

soundtrack film kalian. Sutradara video klip ini : Jonathan, produser video klip ini

yang sekarang juga ada disini : Darren. Terimakasih atas kerjasama kalian.”

Amber menyampaikan ucapan terimakasihnya. Dia berdecak sesaat dan tergelak.

“Intinya, terimakasih untuk semuanya.”

32 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Lalu selesai. Aku berhasil untuk tidak mengangkat wajahku saat dia

mengucapkan namaku tadi. Jujur saja, entah kenapa rasa hangat yang aneh itu

muncul saat dia mengucapkan namaku, walaupun aku yakin hanya untuk suatu

kesopanan semata. Aku masih merasa Amber adalah istriku dan dia yang duduk di

sisiku malam ini. Perasaan itu sungguh aneh. Diam-diam aku merasa kasihan pada

diriku sendiri. Kalimat-kalimat penyangkalan dan penyesalan mulai muncul

dalam kepalaku.

Kategori ke 45 baru saja selesai diumumkan. Dalam kategori Penyanyi

Perempuan Terbaik yang ada di urutan 34, Amber kembali menang. Dia kembali

ke atas panggung dengan senyum yang sama sumringahnya dengan yang tadi.

Dengan penghargaan ini, berarti dia telah mengoleksi 7 piala dari kategori yang

sama dalam Grammy Awards yang diikutinya sejak pertama kali.

Sekarang, tiba di kategori 46, yaitu Pasangan Musisi Tahun Ini. Dari sisiku,

Hilton menghela nafas dan mengencangkan genggaman tangannya padaku,

seakan tidak ingin aku pergi dan naik ke atas panggung itu jika seandainya aku

menang.

Dia memang bukan tipe perempuan yang terlalu cemburuan dan dia sendiri

sudah berjanji apapun yang terjadi, tidak akan berbuat apapun yang konyol

ataupun fatal pada Amber atau kehidupan kami bertiga. Aku percaya padanya.

Dia perempuan yang dewasa.

“Bicaralah dengannya setelah ini.”bisik Hilton tiba-tiba.

Aku menoleh padanya. “Setelah ini?.”

33 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Hilton mengangguk meyakinkanku. Dia memandangiku serius. “Kalau tidak

setelah ini, kapan lagi kau bisa melakukan itu?.”balasnya kemudian.

“Aku akan bicara dengannya di parkir basement..”

Sebagai persetujuan, anggukan keluar dari Hilton.

Lalu tak lama, setelah itu kami kembali terfokus ke acara.

“…Dan nominasi untuk pasangan musisi tahun ini adalah….” Geaves,

komponis senior asal Inggris, yang membacakan nominasi ini, membuka

bagiannya.

“Vin dan Ramona!.” Dia menyebutkan pasangan pertama dari empat. Vin dan

Ramona adalah seorang pianis dan penyanyi opera. Mereka memang sangat

romantis meski sudah berumur 40 tahun-nan.

“Erano dan Elen!.” Pasangan kedua. Erano kebetulan seorang basist sebuah

kelompok choir. Dan Elen, meskipun seorang model, tapi dia mempunyai suara

yang lumayan bagus. Mereka berdua pernah berduet dalam sebuah single berjudul

„Tell Them To Shut Up‟ dan lagu itu langsung masuk ke deretan 21 Chart

BillBoard Top 100. Lagu itu memang sangat bagus, menceritakan tentang

hubungan percintaan mereka. Aku sangat ingat Amber menyukai lagu mereka.

“Bill dan Eliza!.” Pasangan ketiga.

“Dan terakhir…”Pasti aku…“Darren dan Amber!.” Aku mendengus sendiri,

kesal dan bingung kenapa mereka masih memasukan namaku dalam nominasi

ini…

34 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Aku ingatkan kembali, daftar nominasi kategori ini adalah daftar pilihan

pemirsa stasiun televisi mitra Grammy. Jadi pemenangnya adalah yang

mempunyai hasil voting terbesar diantara empat pasang ini. Voting dari rakyat

Amerika.”jelas Geaves, menambahkan.

Dari podium, dia membuka amplopnya. Entah siapa pemenangnya, yang jelas,

dari sana Geaves tersenyum lebar. “Dan pemenang untuk kategori Pasangan

Musisi Tahun Ini adalah….”

Dalam diam, aku memejamkan mataku. Berharap bukan Darren dan Amber

Wyck yang dipanggil ke atas panggung. Samar, aku bisa merasakan Hilton

memegang tanganku makin erat. Dia juga merasakan hal yang sama. Hilton tidak

terlalu ingin aku satu panggung dengan Amber.

Kemudian tiba-tiba Geaves menyebutkan pemenangnya, “Darren dan

Amber!.”

Mendengar namaku disebut, aku membuka mata dan melemaskan genggaman

tanganku pada Hilton. Aku berbisik padanya. “Akan wajar, Sayang. Tenang saja.”

Dalam kepalaku, aku menyusun skenario untuk akting kami di atas panggung

nanti.

“Ya. Aku tahu. Pergilah.”

“Amber dan Darren, dipersilahkan naik ke atas panggung.” Geaves

memanggil kami.

Aku berdiri dan berjalan ke atas panggung. Dari sisi kursi nominasi yang lain,

Amber pun melakukan hal yang sama.

35 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
-Amber-

KETAKUTANKU menjadi kenyataan. Aku dan Darren menang dalam

Pasangan Musisi Tahun Ini. Saat ini, kami sudah naik. Darren mengambil piala

kami dan menjabat tangan Geaves bergantian denganku. Setelah itu, aku berdiri di

sisinya. Persis di sisinya. Membuatku seperti seorang…pengganggu.

Darren berdeham. Dia tergelak sendiri memandangi piala itu, “Amber dan

Darren…” “Yah, kau tahu?, aku kaget setengah mati mengenai ini… Tidak habis

pikir…”kata Darren padaku.

“Aku juga.” Aku tertawa pelan, dan mengambil piala itu dari tangannya, “Tapi

aku rasa kita harus berterimakasih kepada semua orang yang sudah ikut memilih

kita dalam kategori ini… Mungkin saja, sebagian besar dari mereka

mengharapkan kita kembali, mungkin…?.”

Ocehan itu disambut gelak tawa dari yang lainnya. Baguslah… walau kaki dan

tanganku dingin berada di atas panggung ini, di sisi mantan suamiku sendiri, tawa

mereka bisa menjadi pengalih perhatian untukku.

“Mungkin saja…” Darren tergelak mendengar ucapanku. “Tapi benar apa

yang kau katakan..” “Kami, aku dan Amber, berterimakasih kepada kalian semua;

baik yang sudah memvoting kami, dari pihak Grammy sendiri dan tentu saja pada

media. Tanpa kalian yang nyaris saja menjadi penguntit, kami tidak akan dikenal.

Baik sebagai pasangan ataupun tidak.” Darren menyambung ucapanku.

Aku mengangguk setuju menimpalinya, “Ya, terimakasih, semuanya. Kami

tidak akan melupakan apa yang kalian berikan hari ini.”

36 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Dari sudut mataku, aku bisa melihat Darren mengangguk sekali. Sekilas

terlihat dia tidak tahu bagaimana cara mengakhiri ucapan terimakasih kami.

“Darren Alexander Wyck.” Aku memanggil nama lengkapnya sambil

mengembalikan piala itu ke tangannya.

Darren menerimanya sambil tersenyum, “Amber Edinson Lavigne.” Dan dia

melakukan hal yang sama. Kategori terakhirku ini diakhiri dengan aku dan Darren

memegang piala kami bersama-sama.

37 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“SECOND DISASTER. BUT FROM THE PAST”

-Amber-

SETELAH itu, selesai. Darren membawa piala kami bersamanya dan kami

turun panggung, dilanjutkan dengan penyebutan kategori yang lain. Saat tiba di

sisi Matt, aku duduk. Perlahan aku menarik nafas dalam-dalam, baru sadar

ternyata dadaku sesak. Matt menoleh padaku dan tersenyum lebar. Dia pasti

mengira aku sudah lebih baik dengan aktingku di atas panggung yang cukup

meyakinkan mereka….

“Aku tidak percaya apa yang baru saja terjadi…”ucap Matt, setengah berbisik.

Dia merubah posisi duduknya, nyaris menghadapku. “Bagus kalau kau sudah

lebih baik.”

Aku menggeleng pelan dan menoleh, memandanginya seolah mengatakan

„Tidak… Aku tidak lebih baik.‟. “Kak….”dengusku pelan.

“Apa?. Kau memang sudah lebih baik, Amber.”Matt membalas dengan yakin.

Tak lama, ponselku bergetar. Dalam diam, aku melihat ponselku. Pesan

singkat, dari Darren.

Sender : Darren Wyck 07.00 p.m

Receiver : Amber E. Lavigne

Bisa kita bertemu di parkir basement?. Aku ingin bicara denganmu. Jangan

bawa Matt. Ini soal kita.

38 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku tertegun, membaca sekali lagi pesan singkat itu. Ini terasa aneh. Darren,

ingin bertemu denganku di parkir basement dan akan membicarakan soal kami.

Meskipun begitu, aku menurut dan langsung bangkit dari kursiku.

Aku menoleh pada Matt. “Aku permisi dulu sebentar.”

“Mau kemana?.” Dia balas bertanya. Tatapannya berubah heran.

“Ke toilet.”cetusku langsung. “Atau, kau mau ikut?.” Aku menawarkan hal

yang jelas-jelas dia tolak mentah-mentah. Dalam hati, aku tertawa sendiri.

“Tidak. Sudah sana.” Ekspresi Matt berubah tidak peduli. “Jangan lama-

lama.”

“Ya…” Aku membalas santai dan berlalu darinya, membawa cardiganku. Ke

parkiran basement.

Hanya ada mobil-mobil mewah di dalam parkiran ini dan yang pasti, terlihat

temaram kalau dibandingkan pencahayaan di dalam. Aku menarik nafas, berjalan

ke tengah parkiran dan seketika mulai ragu kalau Darren benar-benar ada di sini.

Parkiran ini sangat sepi.

Tak lama, ponselku kembali bergetar. Pesan singkat lagi, dari Darren.

Sender : Darren Wyck 07.08 p.m

Receiver : Amber E. Lavigne

Berjalanlah sampai ujung parkiran. Aku ada disana, sedang memandangi

langit malam California yang indah. Kita akan bicara setelah kau ada disini.

39 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku menghela nafas. Darren sudah ada di sini, menungguku di ujung parkiran

sana. Tanpa memprotes, aku menuruti dan berjalan ke tempat yang dia maksud.

Lurus dari sini.

Pria itu sedang menatap keluar dengan tubuh yang memunggungiku. Jas

hitamnya yang sudah dilepas dan disampirkan di tangannya, membuatnya mudah

terlihat. Hanya kemeja putih yang melekat padanya. Dia diam, sesekali

menggerakan kepalanya.

Aku melangkah ke sisinya, memutuskan menyapanya terlebih dulu. “Hai.”

Darren menoleh dan tersenyum, “Hai. Senang kau bersedia datang.”

Aku mengangguk sekali, “Ada apa?.”

“Kita berakting sangat bagus di atas panggung, tadi…”gumam Darren pelan.

Dia tersenyum tanggung dan mendengus pelan, “Aku nyaris tidak percaya kita

sudah berpisah.”

Mendengar perkataannya tadi, membuatku menggenggam cardiganku makin

erat. Aku nyaris tidak percaya kau telah menggandeng orang lain… “Kau

benar.”bisikku pelan. Aku menarik nafas, “Matt sampai mengira aku sudah lebih

baik..”

Darren tertawa pelan. Tapi dalam tawanya tersirat kepayahan yang tidak aku

mengerti. Aku merengut, begitupun dia. “Maafkan aku.” Tiba-tiba Darren

berbisik. “Jujur, aku emosi waktu itu.” Dia tertawa lemah, “Sudah lama aku ingin

bicara denganmu, tapi tertahan karena kau menyepi. Itu cukup lama bagiku.”

Ingin sekali aku membalas ucapannya barusan dengan : Aku juga

merindukanmu… Tapi aku hanya bisa membisu mendengar penjelasannya.

40 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Tak lama, Darren meletakan jasnya di lantai dan berbalik, menghadapku.

Tangannya memegang tanganku dengan lembut. “Aku sangat merasa bersalah

setelah kejadian itu. Dan kata-kataku, aku sadar itu sudah terlalu tajam. Aku minta

maaf.”

Sejenak, aku tertegun, terbenam dalam kata-katanya yang kali ini bernada

selembut beludru. Dalam kepalaku, terputarkan lagi kejadian 4 bulan lalu. Sekilas,

sangat cepat, hingga tidak ada waktu untukku merasakan perasaan sedih dan

marah itu lagi. Merespon penjelasannya barusan, aku mengangguk. “Aku juga.

Dan soal tadi….” Aku tertegun memandangi tangannya yang masih mengelus

lembut tanganku. Perlahan aku melepaskan tangan itu, “Katakan pada Hilton, aku

tidak bermaksud membuatnya cemburu.” “Dia sudah tahu…kita disini?.”

Kualihkan topik pembicaraan dariku ke Hilton. Darren belum

menghentikannya, jadi kuteruskan saja walaupun sebenarnya ada sesuatu yang

mengganjal di dalam sana. Seperti…benci, kesal, gundah, marah, sedih, yang

digabungkan menjadi satu, bernama rasa sesak.

“Aku sudah pamit padanya.”jawab Darren. “Bagaimana perasaanmu tadi?.”

Dia mempertanyakan hal yang sama sekali aku tidak tahu bagaimana

menerjemahkannya. Darren mengalihkan topik lagi.

Aku mendengus malas. Dengusan itu tidak kusangka, membantu memulihkan

nafasku yang semula nyaris terisak. “Bisakah kita kembali ke topik awal?. Kau

bilang ada yang ingin dibicarakan. Yang jelas, soal apa?. Aku tidak ingin bertele-

tele, Darren.”selaku, dengan nada yang jauh dari kesan gusar dan risih. Entah

41 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
bagaimana aku bisa mengeluarkan nada seperti aku menyaksikan Matt bertele-

tele. Begitu biasa.

Setelah aku berucap seperti itu, Darren menatapku lama. Dia tertegun sejenak

dan kembali mengambil tanganku, “Jawab pertanyaanku.”

Darren menatapku dalam-dalam, mencari suatu kebenaran dalam selaanku

tadi. Dia berhasil menangkap mataku. Kami bertatapan, cukup lama hingga aku

memalingkan mataku karena terasa panas. Aku pasti bakal menangis sebentar

lagi…

“Jangan kira aku sudah tidak mengenalmu sama sekali.”keluh Darren setelah

itu. “Aku masih sangat mengenalmu. Jangan membohongi perasaanmu sendiri.

Dan soal apa yang aku ingin bicarakan, aku rasa sudah jelas : soal kita. Itu berarti,

semuanya. Dari mulai aku, Hilton, dan kau.” Dia berucap lagi, datar, dan tenang.

Tepat sekali. Dengan ucapan itu, air mataku kembali turun satu-satu dari

tempatnya. Aku menangis, dan tak lama, sebutir dari mereka jatuh ke tangan

Darren, membuat kami sama-sama membisu.

Aku masih tertunduk. Tubuhku tidak bergerak, membeku di hadapannya.

Kemudian aku bisa merasakan tubuh Darren mendekat. Dia menggeser tangan

kami, melebar, membuat posisi seperti orang yang sedang berdansa. Tak sampai

semenit, Darren mulai menggerakan kakinya, mengajakku mengikuti yang dia

lakukan.

“Sekecewa itu, kah?.”gumam Darren padaku, akhirnya.

42 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku menarik nafas, berusaha meredakan tangisku sendiri. Lalu baru menjawab

pertanyaannya barusan, “Jika benar sejak setahun lalu,… ya, aku kecewa. Sangat

kecewa…”

“Maaf.” Lagi-lagi, untuk permintaan maafnya yang kesekian, dia

mengucapkannya dengan berbisik.

Hening. Aku diam menanggapi ucapannya tanpa tahu harus berbuat apa.

Darren terus mengajakku berdansa tanpa berkata apapun. Perlahan, aku

menyadari kepala dan perasaan kami sudah sama-sama melunak, tidak seperti

waktu terakhir kali kami bertemu. Aku memutuskan untuk memulai, meminta

keterangan darinya soal perceraian kami. Atau tepatnya, penyebabnya.

“Aku..boleh bertanya sesuatu?.” Aku meminta izin terlebih dulu padanya,

memecah keheningan kami.

Darren mengangguk tanpa berucap. Dia memandangiku penasaran, namun

tatapannya biasa, tidak terpengaruhi amarah atau kesal sedikitpun.

“Apa yang kurang dariku sampai kau bilang waktu itu…” Aku menarik nafas,

berusaha untuk tidak terdengar terisak dan meneruskan pertanyaanku, “…tidak

mencintaiku lagi?.”

Darren diam. Dia tidak menjawab pertanyaanku sampai gerakan dansa kami yang

kesekian. Namun tiba-tiba pria itu menunduk dan tersenyum, getir. “Itu tidak

benar.”bisiknya menjawab. “Aku masih mencintaimu. Bagaimanapun kondisi kita

sekarang…”

43 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Sekarang giliran aku yang diam. Lama aku mencoba menerjemahkan ucapan

itu ke dalam sesuatu yang masuk akal. Tapi yang ada di kepalaku malah satu

pertanyaan sederhana : „Kenapa?‟.

“Malam itu, aku sebenarnya berniat menghabiskan sisa pesta dengan tenang.

Bersamamu. Tanpa ada emosi sedikitpun. Tapi berubah setelah Hilton

memberitahu satu hal.”lanjut Darren, memberikan keterangannya.

Aku kembali menarik nafas. Dadaku sudah cukup sesak dengan pengakuannya

barusan yang sebenarnya cukup mengejutkanku. Dia bilang masih mencintaiku.

Kini aku tidak tahu apa yang harus aku bahas di hadapannya selain peristiwa yang

lalu. Dan tadi, Darren mengatakan, Hilton memberitahu satu hal padanya. Apa?.

Ekspresi penasaranku ternyata cukup jelas untuk diterjemahkan oleh Darren.

Tatapannya berubah sendu, penuh penyesalan. Tak lama kemudian, dia

menyandarkan kepalanya di bahuku dan mencium tanganku sekilas, “Aku takut

memberitahukannya padamu.”bisiknya pelan.

“Beritahukanlah.”balasku, meyakinkan apa yang ingin dia lakukan. Dalam

hati, aku menguatkan diriku sendiri kalau-kalau ada kejutan lagi yang dia berikan.

Sebelum mengatakan hal itu, Darren menarik nafas dalam-dalam. Kemudian

dia mengangkat wajahnya dari bahuku dan berkata, “Hilton telah hamil.”“Aku

kalut. Tapi… aku mencintainya. Mungkin lebih daripada apa yang aku punya

padamu saat itu.”

Aku tertegun, tidak percaya dengan pendengaranku sendiri. Untuk sesaat, aku

menatapnya lurus-lurus. Masih tidak sanggup untuk percaya dengan kenyataan

Darren masih mencintaiku sementara ada Hilton yang tengah mengandung anak

44 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
mereka. Air mataku kembali tumpah. Mataku kembali berkabut oleh tangis yang

terasa menyesakan.

“Sekarang aku dan dia sudah bertunangan. Kandungannya berumur empat

bulan.”beritahu Darren.

“Kau…mencintainya?.” Aku bertanya, sangat perlahan dan jelas sekali nada

syok dan marah dari sana.

Darren terdiam. Dia kembali tidak menjawab pertanyaanku.

Aku melepaskan tangannya dan mendorong pria itu menjauh. Aku bisa merasakan

mataku berubah memandang gundah padanya. Perasaan seperti wanita

pengganggu itu kembali datang, “Jawab aku!. Kau mencintainya?!.”isakku pada

Darren. Suaraku terdengar menggema di parkiran basement ini.

“Ya. Aku mencintainya.” Pria itu akhirnya menjawab pertanyaanku dengan

suara teredam. Serentak, tangannya cepat mendekapku, menenangkan tubuhku

yang berguncang hebat. “Tapi aku juga mencintaimu…”

Dia mengaku, lagi. Tapi buatku semua itu tidak masuk akal. Walaupun dalam

perasaan apapun bisa terjadi, tapi tidak seperti ini.. Begitu…membingungkan

untuk kami berdua….

Lama, aku menikmati berada dalam dekapannya. Otakku tidak sanggup

memikirkan apapun lagi selain rasa sedih dan kecewa. Tubuhku tidak sanggup

melakukan apapun lagi selain membeku, tidak bergerak dalam dekapan Darren

dan hanya terisak.

“Amber…aku minta maaf. Aku tahu aku sudah melakukan kesalahan besar

dengan menyia-nyiakan semuanya. Dengan menyia-nyiakanmu. Aku minta

45 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
maaf.”bisik Darren. Dia mendekapku lebih erat, dan kemudian melepaskanku.

Untuk sesaat, dia membiarkanku berdiri sendiri dan mengambil jas lalu

memakainya. Tak lama, dia mengambil sesuatu dari dalam saku jas itu. Sebuah

surat, aku pikir.

“Ini… tanda tangan dan kirim lewat pos ke alamat baruku. Ada di balik surat

ini.” Dia memberikan surat itu. “Ini surat perceraian kita. Dengan menandatangani

ini, kita sudah bebas.”katanya lagi.

Aku menerimanya. Tatapanku lurus ke arah surat itu, diam, tidak bisa berkata

apapun.

“Terimakasih telah mendengarkan semuanya.”ucap Darren pelan. Dia

mendekatiku dan mencium keningku. Saat dia melakukan itu, mataku terpejam,

sangat berharap semua ini hanya mimpi….

Darren melepaskan bibirnya dari keningku dan berbisik, “Sampai jumpa.” Dan,

dia menghilang dari hadapanku.

Tubuhku masih membeku. Tapi tak lama, entah apa yang menggerakannya,

tubuh ini berbalik dan mulutku berkata sesuatu sebelum dia terlanjur melangkah

jauh, “Selamat.”

Pria itu berhenti di tempat. Dia berbalik dan tersenyum, kaku. “Terimakasih.”

Lalu, selesai. Darren kembali berbalik, keluar dari parkiran basement ini.

-Darren-

AKUtertegun mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Baru saja aku

memandangi Amber, memegang tangannya, memeluknya, dan mencium

46 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
keningnya. Tangisannya, ucapannya, dan semua ekspresinya masih membekas

dalam kepalaku, membuatku terdiam membisu memikirkannya. Dia begitu rapuh,

tadi. Caranya menangis di hadapanku dan tiba-tiba merelakan semuanya terjadi

seakan sudah berlalu sangat lama, membuatku ingin berada untuknya lebih lama

lagi.

Untungnya aku bisa fokus saat mengungkapkan semuanya tadi. Menghadapi

semua luapan perasaan Amber, aku hanya memikirkan dua hal: Hilton dan

pernikahan kami yang hanya akan terjadi kalau aku sudah terlepas dari Amber.

Akhirnya aku bisa tetap menyampaikan surat cerai itu tanpa terdengar ragu atau

apapun. Dia pun menerimanya, meski ekspresi syok masih tersisa di wajahnya.

Pikiran terakhirku yang membuatku yakin untuk tetap menyampaikan tujuan

akhirku setelah semuanya terjelaskan adalah, Amber pasti kuat menghadapi

semuanya. Lagipula, untuk apa dia membutuhkan aku lagi?. Amber wanita yang

berbeda dari yang lain.

Setelah sepenuhnya kembali pada kemeriahan acara Grammy Awards tahun

2013 ini, aku langsung menuju ke kursiku lagi dan kembali pada Hilton,

menyampaikan hasil pertemuanku dan Amber.

“Sudah selesai?.” Hilton bertanya setengah terkaget menyadari tangannya

dipegang olehku.

“Ya. Aku sudah mengatakan semuanya.”jawabku sambil tersenyum. “Amber

menerima itu dengan baik. Dia mengucapkan selamat pada kita.”

Sekilas, aku dapat membaca ekspresi tidak percaya dan kaget dari Hilton. Dia

mengerenyitkan dahi, heran, “Mengucapkan selamat?.”

47 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Ya.” Aku membalas dengan senang dan mendekapnya, melanjutkan

menyaksikan acara ini sampai selesai penyebutan kategori penghargaan bagi

Hilton yang ada di urutan 59, 8 kategori lagi.

***

10.00 p.m…

Kami sudah tiba di rumah sejak setengah jam yang lalu. Lima belas menit lalu,

setelah membersihkan diri, Hilton tidur di kamar sementara aku akan menyusul

setelah aku selesai dengan kegiatan yang sama sepertinya, tadi.

Aku telah selesai mandi dan akan menonton berita malam dulu sebentar di

ruang keluarga setelah itu baru tidur.

Seperti biasa, berita malam diisi dengan kilas dunia yang berguna bagi

kalangan pemikir dan ilmuan, tidak termasuk bagiku. Tapi berhubung aku belum

sama sekali mengantuk, kupikir cara ini akan membuatku demikian. Ditemani teh

hangat dan ponsel yang setia dengan layar gelapnya di meja ruang keluarga, aku

iseng menyetel saluran televise yang ujung-ujungnya sama sekali tidak aku

perhatikan.

Tiba-tiba, setelah saluran-saluran membosankan yang silih berganti mengisi

mataku, terdengar suara bergetar dari ponselku. Aku mengalihkan fokus,

menyeruput teh hangatku, baru mengangkat panggilan itu. Dari Matt.

“Halo?.” Aku membuka percakapan.

“Dr. Hammond ada dimana sekarang?.”tanya Matt tanpa berbasa-basi.

Sejenak, aku merengut heran. Dr. Hammond?. Ada perlu apa Matt dengannya?.

48 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Dengar, Darren. Ini pertama kalinya aku mengontakmu dengan terpaksa. Jadi

tolong jawab saja. Aku tidak mau berbasa-basi. Dimana doktermu itu

sekarang?.”Matt menyela, membuatku tersadar.

“Terakhir kutahu, dia sedang di Ontario, menjenguk keluarganya sekalian

berlibur musim semi.”jawabku sekenanya. Aku mengubah posisi dudukku dan

melanjutkan ucapanku. “Memangnya ada apa?.”

Di seberang sana, Matt mendengus. Tak lama kemudian, dia menarik nafas,

“Amber membeli obat penenang. Aku takut sesuatu terjadi padanya besok pagi.

Makanya aku perlu Dr. Hammond.”ucapMatt kemudian.

Obat penenang?...

“Amber diserang depresi saat menjelaskan apa yang sebenarnya kalian

bicarakan di parkiran basement tiga jam yang lalu.”ucapnya lagi. “Dia sudah di

rumah sejak dua jam lalu.”

Aku tahu betul apa yang terjadi dan yang akan terjadi dengan Amber besok

pagi kalau dia tetap nekat mengonsumsi obat penenang yang apapun itu melebihi

dosis wajarnya. Dari mulai rasa pusing yang amat sangat sepanjang hari,

mengamuk tanpa sebab, tidak bisa bangun, sampai yang paling buruknya adalah :

ketergantungan hingga kematian.

Amber sendiri memang pencandu obat penenang sebelum menikah denganku.

Tapi sejak lima tahun lalu, dia telah berhasil berhenti mengonsumsi obat anti

depresan itu dan semuanya berlangsung tanpa masalah. Entah dengan kali ini.

Aku harap Amber tidak mengonsumsi obat itu secara berlebih. Dan soal Dr.

Hammond – kenapa Matt menanyakan dimana keberadaan Dr. Hammond

49 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
sekarang – karena hanya Dr. Hammond yang mengetahui betul riwayat

kesehatanku dan Amber. Matt pikir, jika terjadi sesuatu pada Amber, Dr.

Hammond bisa berbuat sesuatu. Kuakui, itu keputusan yang sangat tepat.

“Bagaimana keadaan terakhirnya?.”tanyaku penasaran.

“Dia terlihat lebih baik. Tapi aku tidak tahu pasti apa yang dia sedang

pikirkan. Yang jelas, tatapannya kembali kosong.”jawab Matt. “Nomor ponsel Dr.

Hammond masih yang dulu, kan?.”

“Ya.”

“Terimakasih.”Matt berucap dengan ketus. “Kalau sampai terjadi apa-apa

dengan Amber, kau masih bertanggung jawab atasnya.”

Dalam hati, aku mengiyakan ucapannya. Ya,…aku memang masih bertanggung

jawab atasnya selama surat cerai itu belum dia tanda tangani.“Aku mengerti,

Matt.”

“Bagus.”sahut Matt pendek. Dan tak lama, sambungan diputus satu arah

dengan kasar. Disini, aku menghela nafas dan meletakan ponsel di meja, kembali

menyeruput tehku.

Yang ada saat ini bukannya kantuk atau rasa bosan yang tidak sampai lima

menit lalu menyergapku. Tapi hanya rasa khawatir dan penasaran akan keadaan

Amber. Aku hanya bisa berharap, dia akan punya mimpi yang bagus malam ini,

tanpa tangisan atau apapun itu. Kalaupun Amber akan berlaku nekat dengan obat

penenang yang ada di tangannya sekarang, dia pasti masih bisa memikirkan

matang-matang apa yang dia lakukan sudah benar atau belum. Aku percaya itu.

50 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
-Amber-

Dua setengah jam yang lalu…

SEKALI lagi, aku memandangi wajahku di depan cermin. Sisa-sisa tangisan tadi

sudah hilang. Aku mencuci wajahku sekali lagi untuk lebih terlihat meyakinkan

dan mengenakan riasanku sendiri. Setelah selesai, aku keluar toilet, berniat

kembali ke sisi Matt di dalam sana. Dia pasti sudah mencariku karena terlalu lama

pergi ke toilet…

Di dalam, masih sama seperti tadi, ramai. Sekarang penyebutan nominasi

sudah sampai ke kategori nomor 53. Matt menoleh ke arahku begitu aku kembali.

Tatapannya menyelidik, penasaran.

“Lama sekali.”komentarnya pendek.

“Ada beberapa perbaikkan di penampilanku..”balasku berusaha santai. Aku

kembali duduk di sisinya dan menyimak acara ini.

“Dan perbaikan di hatimu.”sahut Matt ketus. “Apa yang dia bicarakan

denganmu?.”

Aku diam dan berusaha bersikap seperti biasa meski sebenarnya bingung Matt

tahu aku pergi untuk menemui Darren darimana. Aku tidak menjawab

pertanyaannya dan terus menatap ke depan.

Tiba-tiba Matt berdiri dan menggandeng tanganku, memaksaku beranjak,

“Kau ingin tahu dari mana aku tahu soal itu?. Kita pulang sekarang.”tukas Matt.

Kami berdua keluar dari Staples Centre dan langsung ke parkiran. Aku

menunjukan sikap tidak peduliku sekarang ini. Kuakui itu jalan yang terbaik

51 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
mengingat sifat Matt yang tahu kalau aku bersikap seperti ini berarti aku ingin

semuanya dibicarakan secara pribadi.

Aku masuk, disusul Matt. Setelah berada di dalam mobil, entah kenapa ada

sedikit perasaan lega dalam hatiku. Perlahan, aku menarik nafas dan meletakan

cardiganku di kursi belakang.

“Aku menghampiri Hilton saat kau tidak ada. Dia bilang, kau sedang bertemu

dengan mantan suamimu itu.”ucap Matt ketus. Dia menyalakan mesin mobil, tapi

tidak menjalankannya. “Apa yang kalian bicarakan, sebenarnya?.”

“Ceritanya panjang.”balasku pendek. Aku melepas sepatuku dan memakai

sabuk pengamanku. Kepalaku tertunduk setelah itu. Aku kembali membisu.

“Aku yakin aku punya banyak waktu.”tukas Matt datar. Dia memundurkan

mobil, keluar dari lot parkiran kami. “Tidak akan sepanjang cerita manis kalian,

aku rasa…”Matt berkata lagi, menyindir. Dia membawa kami keluar dari Staples

Centre.

Aku rasa dia sudah benar-benar emosi terhadap semua yang pernah aku dan

Darren ceritakan atau lakukan. Atau lebih tepatnya jadi tidak peduli lagi.

“Dia menceritakan…penyebab kejadian malam itu.” Aku membuka

keteranganku untuk Matt. Dari sisiku, Matt mendengus tak sabar. Aku

memutuskan meneruskan ceritaku.

“Dia tidak berniat mengacaukan pesta kami. Bahkan dia berniat menghabiskan

sisa pesta itu bersamaku. Tapi…semua itu berubah ketika Hilton mengatakan satu

hal padanya. Hal penting.”

“Apa?.”Matt menyela tanpa menatapku. Matanya terus memandangi jalan.

52 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Hilton hamil.”“Dia telah mengandung anak Darren.”jawabku pelan.

Sontak, Matt menghentikan mobil. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan

tidak percaya. “Kau serius?.”

Membalasnya, aku mengangguk. “Mereka sudah bertunangan sekarang.

Kandungan Hilton telah berumur empat bulan.”kataku lagi. Kepalaku kembali

tertunduk. Aku kembali menangis. Tapi kesesakan itu malah mendorongku untuk

tertawa. Rasa geli muncul di perutku, menjalar sampai ke dadaku. Aku

mengangkat kepala. Dalam hati, aku bingung dengan apa yang terjadi pada diriku.

Mulutku tersenyum, tapi aku tidak tahu kenapa. Matt pun begitu. Dia

memandangiku heran, masih dalam mobil yang berhenti. “Amber?.”

Aku terus tertawa. Tapi perasaan itu, dan ekspresi itu menukik sedemikian

tajamnya hingga air mataku kembali tumpah. Aku menangis, tersedu-sedu tanpa

sebab. Masih menangis, aku berusaha mencari yang mana sebenarnya yang aku

rasakan sekarang ini. Aku sadar aku memegangi perutku, merasakan ngilu yang

amat sangat di perutku, lalu menjalar ke kepala. Dua hal yang sangat jelas

sekarang. Aku sakit dan bingung.

Aku menarik nafas, berat. Sial…depresiku yang sudah lama hilang, muncul

lagi. Dan aku tidak bisa apa-apa sekarang selain meminta obat penenang.

“Belikan aku obat penenang, Kak.” Aku memohon, tidak tahu harus bagaimana

lagi menghadapi semua ini.

“Tidak.”Matt menukas, menarik persnelingnya, akan kembali menjalankan

mobil ini.

53 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Aku mohon… Kau pasti tidak mau melihatku mengacak-acak Ontario kan

besok pagi?.” Di tengah kesakitan itu, aku berseloroh, meski lemah, aku yakin

Matt akan luluh dan membelikan obat yang aku mau.

Masih belum menjalankan mobil, Matt terdiam lama. Tapi setelah itu dia

memutuskan, “Di jalan. Kita lihat apotik yang masih buka.”

“Terimakasih.” Sungguhan, aku berharap dia tidak akan mengungkit ini lagi

nanti. Atau aku bisa dalam kondisi yang lebih buruk daripada ini. Aku memang

menderita ketergantungan obat penenang karena penyakit depresiku itu. Lima

tahun lalu, aku sembuh, dan itu pun berkat Darren. Sekarang, secara tidak

langsung, dia kembalikan penyakitku dengan cara yang tidak dia sadari.

Aku mengesah, menyandarkan tubuhku ke kursi dan menikmati perjalanan

pulang dalam diam.

Kami tiba di sebuah apotik di dekat Ontario. Matt menghentikan mobil dan

turun untuk membeli obat sementara aku tetap di mobil. Satu apotik kecil yang

sepi itu bisa-bisa gaduh kalau melihat seorang Amber Lavigne keluar dari mobil

dan membeli obat penenang di apotik mereka….

Tak perlu menunggu lama bagiku, Matt kembali dengan membawakan sebotol

Riklona dan air mineral. Dia memberikan dua benda itu padaku tanpa bicara,

memakai sabuk pengamannya dan melanjutkan perjalanan pulang.

Aku meminum obat itu dan seketika, rasa sakit di kepala dan ngilu di perutku

hilang. Perasaanku juga mulai terkontrol, aku menyadari apa yang sedang terjadi

sekarang. Sepenuhnya, tidak seperti tadi.

54 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Lebih baik?.”Matt bertanya, sungkan.

Aku mengangguk pelan. Tidak bicara.

“Sampai di rumah, kau langsung istirahat. Besok kau penuh, diluar rumah

seharian. Jam 9 kau ada di talkshow Clay Jefferson, jam 11 kau ada dalam

wawancara di Titanium Gates Production, untuk pembuatan video behind the

scenes Lullaby, dan jam 4 sore, kau pemotretan di majalah Gramaphone.” Datar,

Matt memberitahukan apa yang harus aku lakukan malam ini dan besok. Tapi aku

hanya diam membalasnya dan terus begitu sampai kami tiba di rumahku.

Matt menurunkanku di depan rumah dan dia pulang tanpa turun dulu,

bermaksud membiarkan aku sendiri, mungkin.. Atau membiarkan aku terjebak

dalam pengaruh obat penenang itu?. Entahlah… Tapi yang jelas, benar apa yang

ia katakan di mobil, aku harus istirahat.

Aku berbalik dan melangkah masuk, langsung ke kamar. Di kamar, aku

menanggalkan semuanya dan mengambil jubah mandiku, bermaksud mandi air

hangat malam ini. Mungkin dengan itu aku bisa lebih baik.

Setelah selesai mandi, aku kembali ke kamar. Berpakaian, dan sejenak,

mataku teralih pada obat penenang yang kini ada di kasurku. Meski sudah lebih

baik, aku merasa masih sangat membutuhkan obat itu. Akhirnya, dengan melawan

semua pikiran tentang efek buruk sebuah obat penenang, aku mengambil obat itu

dan meminumnya sebanyak tiga butir. Setelah itu, aku merebahkan diri di tempat

tidur, mencoba untuk memejamkan mataku.

55 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Ah…inilah… Aku membatin. Efek obat itu mulai terasa pada tubuhku. Aku

jadi tidak bisa tidur semalaman. Pelan, aku menoleh ke jam di meja kamar.

11.15… Aku belum bisa tidur sama sekali. Menyerah dengan usahaku untuk tidur,

akhirnya aku pun bangkit dan keluar kamar. Bermain piano sebentar saja mungkin

bisa menjadi lagu tidur untukku. Kini aku tidak peduli lagi apa yang bakal terjadi

besok. Aku hanya ingin tidur.

Maka aku pun memasuki ruang musik yang ada di lantai yang sama dengan

kamar ini. Aku tertegun memandangi piano klasik yang ada di tengah ruangan itu

saat aku masuk. Kertas-kertas partitur lagu yang aku buat selama masa menyepi

itu masih disana, tak tersentuh sama sekali.

Kulangkahkan kaki masuk ke dalam. Dalam diam, aku duduk di hadapan

piano itu dan mengambil salah satu dari enam kertas yang ada disana. Kertas yang

berjudul „Wish We Like The Last‟. Lagu itu adalah lagu sendu pertamaku. Aku

mengarangnya dalam wajah dan mata yang sembab akibat menangis lalu bermain

lagu itu semalaman. Sekarang, mungkin saja aku akan melakukan hal yang sama.

Ting… Aku memulai, menekan tuts D minor di pianoku. Selanjutnya nada dan

syair dari lagu itu keluar begitu saja, mengalir lancar dari jari-jariku dan mulutku.

Dan bisa ditebak, setelah aku sampai di klimaks lagu itu, aku kembali

menangis. Kepalaku kembali sakit. Bisa dibilang, sesuai kenyataan yang terjadi

sekarang ini. Namun aku tidak berhenti. Aku meneruskan permainanku. Karena

aku tahu kalau aku berhenti aku akan menangis lebih keras, makin terbenam

dalam gumpalan kenangan manis itu. Biar kegilaan yang menyerangku sekarang

56 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
ini asal aku bisa meluapkan semua kekesalan, kekecewaan, kesedihan, dan

kebencian yang aku rasakan.

Semuanya terlepas, bersama tangisan dan tertawaan yang silih berganti

menyerangku tanpa kutahu kenapa. Aku bangkit dari hadapan piano itu dan

terduduk, bersandarkan kaki dari kursi yang barusan kududuki. Aku kembali

menekuk kaki, menundukan kepala, dan menyilangkan tangan diantara kedua

betisku. Entah kenapa setelah semua pertahan diri dan kepalsuan yang aku bangun

selama di Grammy, aku merasa sangat lemah, tidak berdaya.

Kulepas kuncian itu dan menjulurkan kakiku, merebahkan kepalaku ke kaki

kursi itu, membuat posisi serileks mungkin. Dan perlahan, tak ada yang kurasakan

selain datar, menggelap, dan kebas seketika.

57 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“YOU‟RE MY BEST”

-Amber-

AKUtahu aku terbangun. Tapi masih pagi sekali hingga aku yakin Mattbelum

menjemputku untuk memulai aktivitas pagi ini. Aku menggeliat dan sadar masih

di ruangan musik. Perlahan, di kepalaku, mulai terbentuk apa yang terjadi

semalam. Aku tertegun, tatapan mataku kembali kosong. Namun sejurus

kemudian semuanya berubah aneh. Aku merasakan sakit di sekujur tubuhku. Aku

berusaha bangun. Tapi ketika aku berdiri, kepalaku terasa nyeri. Aku terduduk di

kursi piano dan mencengkram sisi kursi piano itu untuk meredam sakit di

kepalaku. Satu pertanyaan besar dalam kepalaku sekarang ini : Ada apa

denganku?.

“Amber!. Kau dimana?!.” Suara Matt. Dia sudah disini.

“Ruang musik!....” Aku menjawab ucapannya dengan suara serak, tapi yakin

dia bisa mendengarnya.

Dan benar, Matt berhasil menemukanku disini. Keningnya berkerut, memandangi

dengan heran posisiku yang tidak wajar : duduk tegang diatas kursi piano yang

mengarah ke pintu. “Ayo bersiap. Kita berangkat pukul delapan ke sana.”katanya

acuh. Mungkin karena melihat wajahku yang sebenarnya baik-baik saja. Hanya

saja tidak dengan dalamnya.

“Kalau begitu, bantu aku berdiri.”balasku bergumam.

Dia berdecak mendengar balasanku, tidak percaya. “Amber, ayolah… jangan

main-main…”

58 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Aku tidak main-main, Matt.” Aku menukas, meski pelan.

Matt masuk ke ruang musik dan menghampiriku. Tatapannya malas sekaligus

sedikit meremehkan sebenarnya… “Aku tahu kau bisa berdiri…”gumamnya

yakin. Dia masih tetap saja dengan pendapatnya yang yakin adiknya yang satu ini

tidaklah lemah.

Dengan kepala yang makin berat, aku menuruti ucapannya, membuktikan

kepada Matt bahwa aku memang tidak bisa berdiri. Dan benar, tak sampai

semenit, aku sudah terhuyung, berakhir dengan sebelah tanganku yang

berpegangan di tuts piano, membuat tatapan Matt berubah simpatik.

Matt menopangku, memandangiku prihatin.

“Aku harus merebahkan diriku. Bisa kau membantuku ke kamar?.” Aku

meminta.

Membalasnya, Matt mengangguk dan menuntunku ke kamar tanpa bicara.

Kami sudah dikamar. Matt sedang menelepon dokter sementara aku merebah

di tempat tidur, di dalam balutan selimut tebal, membuatku nyaris tertidur kembali

dengan kepala yang masih terasa berat, namun sudah lebih baik daripada tadi.

“…masih di Winlow Road, Marilyn Estate, Ontario. Ya. Aku tunggu.”Matt

mengakhiri percakapannya dengan seorang dokter di seberang sana. Tak lama, dia

menoleh padaku dan duduk di sampingku. “Dokter datang sepuluh menit

lagi.”katanya padaku. “Mau mandi dulu atau menunggu disini sementara aku

membelikan sarapan untuk kita?.”Matt menawarkan.

59 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Disini saja.”jawabku singkat. Aku mengerakan badanku, membenarkan

posisi tidurku.

Matt mengangguk sekali, kemudian berdiri. “Perutmu baik-baik saja, kan?.”

“Ya.”

Dia mengambil dompetnya di atas meja dan pamit padaku, “Apapun yang aku

belikan, kau harus makan.”

“Iya, Kak. Aku akan memakan apapun yang kau belikan….” Aku

mengerenyitkan dahi, terlalu heran dengan sifatnya yang bisa berubah cepat

menjadi keibuan… Setiap aku sakit, dia selalu seperti ini. Ini yang paling parah :

tidak bisa bangun, sendiri. Beda lagi dengan dulu, Matt biasa berbagi tugas

dengan Darren. Aku bisa katakan, dia yang terbaik sekarang ini.

Entah dimana dia membeli sarapan pagi untuk kami, yang jelas aku tidak

menunggu terlalu lama. Hanya paling…7 menit dia sudah kembali ke rumah.

Begitu selesai dengan menempatkan sarapan kami di piring, dia langsung ke atas

lagi, ke kamar, membawakan dua piring dan sebotol besar air minum.

“Dua-duanya tidak pedas.”beritahu Matt. Dia meletakan nasinya dan botol

minum di meja kamar. Kemudian tangannya bergerak menyuapiku. Tapi aku

bungkam, ingin makan sendiri. Dia mengerenyit melihatnya. “Kau tidak mau?.”

“Aku makan sendiri saja…” Dia salah sangka rupanya…. Matt..Matt….

“Ya sudah.”Matt meletakan piringku dan membantuku membenarkan posisi

tidurku menjadi duduk. “Ini.” Bau harum nasi goreng itu langsung menggoda

60 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
perut dan hidungku. Kelihatannya enak sekali. Ketika Matt mengambil nasinya,

kami mulai makan bersama.

Tak lama dari itu, di suapan kami yang kesekian dalam canda, pintu diketuk

seseorang. Matt beranjak dan membukakan pintu itu. Orang yang ada dibaliknya

nyaris membuatku tersedak. Itu Dr. Hammond. Dokter pribadi Darren.

“Hai, semuanya.”sapanya begitu masuk. Dia tersenyum padaku dan Matt.

“Ya, hai, Dokter…” Aku membalas, tergelak sendiri dengan kemunculannya

yang mendadak ini.

“Apa yang terjadi denganmu, Am?.”tanya Dr. Hammond ramah. Dia

menghampiriku di sisi tempat tidur yang satunya, “Bukan hanya flu atau demam,

kan?. Aku yakin Amber Lavigne tidak selemah itu…”guraunya dalam senyum.

Dia melirik Matt sekilas, meminta penjelasan.

“Amber tidak bisa bangun sama sekali sejak hampir setengah jam yang lalu.

Mungkin karena obat penenang yang dia minum semalam. Tapi entahlah, coba

kau periksa dulu.”Matt menjelaskan dan kembali makan.

Mendengarnya, Dr. Hammond mengangguk paham. Dia mengeluarkan

stetoskopnya, “Letakan dulu makananmu. Buka kancing teratas saja.”perintahnya

kemudian.

Setelah aku melakukannya, dia meletakan mata stetoskopnya di dadaku.

Wajahnya bermimik mengerti, “Bukan. Bukan karena obat penenang.”katanya

menyimpulkan. Dia melepaskannya dan membiarkanku mengacing bajuku lagi.

“Kalau karena obat penenang, jantungnya pasti sudah berdetak cepat.”ucapnya

pada Matt.

61 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Yang diberi keterangan malah menatap Dr. Hammond menyelidik, tidak

percaya, “Kau yakin?. Seperti yang kau tahu, Amber pecandu obat penenang di

hampir separuh hidupnya.”

“Tapi dia sudah berhenti sejak lima tahun lalu dan semuanya berlangsung

baik-baik saja.”kata Dr. Hammond lagi. Dia masih mengingat jelas bagaimana

aku. Kebetulan saat membantu Darren sembuh dari ketergantungannya pada

alkohol dan obat-obatan terlarang, dia tahu soal riwayat kesehatanku sedikit

banyak dari Darren.

“Ya.”Matt membalas. Dia tidak menyahut lebih lagi kali ini.

Dr. Hammond beralih kepadaku. “Aku sudah dengar soal perceraianmu dan

Darren. Lalu kau menghilang dari radar media selama empat bulan. Apakah kau

melakukan hal yang fatal dalam empat bulan itu?.”

Aku mengerenyit mendengar kata „fatal‟. Apa sebenarnya maksud „fatal‟ yang

dia inginkan?.

“Seperti..minum obat penenang terlalu banyak, atau semacamnya. Atau…tidur

larut malam?, makan telat?, banyak pikiran?.” Dr. Hammond menyambung

ucapannya.

“Makan telat, ya.. Banyak pikiran, iya.. Dan tidur larut malam, satu minggu

dari empat bulan itu aku lewatkan dengan tidak tidur sama sekali.”jawabku,

memberi keterangan yang pasti membuat Matt hendak memprotes apa yang aku

lakukan selama tidak berhubungan dengannya empat bulan lalu.

“Oh…” Dr. Hammond mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Dia menoleh

pada Matt, “Kalau begitu, sudah jelas. Amber hanya kelelahan. Dia hanya

62 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
membutuhkan aspirin, vitamin, dan penambah darah.” Tak lama, dia

mengeluarkan kertas resep dan menuliskan obatku. “Aku buatkan salinan

resepnya. Kalian bisa membeli obat ini di apotik. Dijual bebas, tenang

saja.”beritahu Dr. Hammond padaku dan Matt. “Dan, kusarankan untuk

beristirahat total di rumah selama tiga hari. Tapi aku tahu kau tak bisa melakukan

itu. Jadi, ya…” Dr. Hammond memasukan barang-barangnya ke dalam tas dan

tergelak sendiri, “…curi waktu untuk beristirahat.” Pria paruh baya itu kemudian

menoleh pada Matt, “Awasi Amber disetiap kegiatannya.”

“Pasti…”balas Matt santai. Dia mengambil makanku yang sudah selesai dan

membereskannya ke bawah sementara aku dan Dr. Hammond disini.

“Jadi,…berapa lama sampai aku bisa berdiri lagi?.”tanyaku pada Dr.

Hammond.

“Tergantung tubuhmu.”jawabnya. “Bisa sampai satu minggu kau akan

dituntun kalau ingin beraktivitas.”beritahu Dr. Hammond kemudian.

Tapi tiba-tiba Matt berteriak dari bawah. Kedengarannya dia sedang mencuci

piring bekas makan kami, “Kau akan menghadiri konser American Kids Choice

Awards, Am!. Empat lagu yang akan kau bawakan!. Dua beat! Dan dua lagi

akustik!.”

“Well..” Dr. Hammond memaklumi, “Aku tak yakin kau mau dituntun ketika

menyanyikan lagu punk rock mu itu. Jadi sekarang, kalau soal aktivitasmu,

terserah dirimu saja. Asal jangan sampai jatuh pingsan, semuanya tak akan

masalah.”ucapnya kemudian.

Dalam hati, aku menguatkan diriku sendiri. Aku bisa menghadiri konser itu…

63 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Aku pamit, Am.” Dr. Hammond tersenyum seraya mengacak-acak rambutku.

“Semoga lebih baik.”

“Ya.” Terkadang aku merasa dia nyaris menjadi ayahku…

“Bayarannya transfer saja ke rekeningku.” Dia berkata lagi, sekedar

mengingatkan. Membalasnya aku hanya tersenyum dan membiarkannya pergi dan

menghilang di balik pintu.

Aku telah berada di Los Angeles untuk acara Clay Jefferson. Matt di sisiku

dan kami sedang menunggu acara dimulai. Aku tidak briefing sama sekali karena

pihak acara sudah bilang pada Matt, pertanyaannya hanya tentang kemenanganku

di Grammy, tidak menyinggung soal data kemenangan Grammy, tambahan

nominasi Grammy, atau semacamnya yang membutuhkan data statistik.

“Lima menit lagi. Penata rias!.” Pengatur acara memberitahu kami. Tak lama

dari itu, penata rias menghampiriku dan memeriksa riasanku lagi.

Matt menghela nafas sabar memandangi kami, “Dia baik-baik saja.”

“Tidak.” Penata rias yang bernama Irina Mentzel itu memandang wajahku

lagi, “Tutup matamu sebentar.”

Aku menurut, “Kau sudah menebalkan riasanku lima kali.”

“Ya, aku tahu. Tapi kau pucat sekali, sayang.”balas Irina panik. Yah, aku rasa

dia yang sebenarnya membutuhkan obat penenang….

Ketika Irina pergi, Matt menghampiriku, membantuku berdiri. Rasanya masih

sama. Aku masih linglung dan pusing bila terlalu lama berdiri. “Aku rasa kau

harus ikut.”kataku padanya, meminta.

64 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Masuk ke panggung, maksudmu?.”Matt bertanya balik, tidak terlalu paham.

“Ya.”

“Ya sudah.” Dia akhirnya mengerti dan ketika aku dipersilahkan masuk ke

tempat acara, dia mengikuti. Pihak acara sempat menunjukan tampang tidak

setuju mereka. Tapi akhirnya mereka membiarkan Matt masuk.

Tata cahaya lampu dan suara meriah tepuk tangan langsung menyambut kami

begitu kami masuk. Suara Clay Jefferson menyusul. Tapi suara yang awalnya

ceria itu berubah menjadi heran.

“…oh, Am?. Apa yang terjadi denganmu?.” Dia bertanya dengan simpatik.

“Silahkan duduk.”

Matt membawaku duduk. Dia duduk di sisiku, tidak bicara.

“Aku sedang tidak terlalu baik sekarang…”jawabku pada Clay sambil

tersenyum.

“Apakah jadi penghuni abadi penyanyi perempuan terbaik dan pemenang

soundtrack terbaik menjadikanmu sakit seperti ini?.” Clay berseloroh dengan

renyah, disambut tatapan simpatik penonton padaku.

Aku menggeleng membalas ucapannya, “Tentu tidak… Aku sangat bahagia

mendapat kedua penghargaan itu..”jawabku padanya.

“Apa…kau benar-benar tidak bisa berjalan tanpa dituntun?.”tanya Clay

kemudian, ragu.

Aku menggerakan bahu, “Sepertinya begitu. Aku tidak pernah sepayah

ini…”jawabku seraya tergelak.

65 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Clay mengangguk angguk sejenak. Untuk memulihkan suasana, dia pun membuka

acaranya.

-Darren-

MATT belum memberitahuku bagaimana kondisi Amber sekarang. Karena itu

juga, sepanjang perjalanan menemani Hilton untuk mengecek butiknya, aku tidak

sepenuhnya tenang. Meski duduk di sampingnya, di balik kemudi, dan

mendengarkan semua ceritanya tentang jabang bayi kami, pikiranku

sesungguhnya tidak kesana.

“…Vivian telah merancang busana pernikahan untuk kita. Aku tak sabar

melihatnya, Darren.”kata Hilton tiba-tiba. Aku menoleh dan tersenyum. Sebelah

tanganku berpindah menggenggam tangannya. “Aku rasa tentukan temanya dulu.

Baru memastikan desainnya.” Aku membalas, berusaha antusias dengan obrolan

kami.

“Aku setuju. Kita rencanakan di butik, ya?.”

Membalasnya, aku hanya bisa mengangguk dan kembali menatap ke depan, ke

lalu lintas Kansas yang mulai padat.

Rencana pernikahanku dan Hilton adalah satu-satunya yang membuatku mau

datang ke sebuah butik yang nyatanya milik calon istriku sendiri. Hilton terlihat

antusias mengenai ini dan makanya juga dia terus saja meminta pendapatku dan

Vivian untuk pernikahan kami yang akan dilaksanakan tiga bulan setelah ini.

66 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Tema untuk acara yang bersifat privat ini adalah kesucian, sesuai dengan warna

kesukaan Hilton : putih.

Segala hal, begitu juga dengan baju pengantin, direncanakan disini. Ketika

memilih deretan design baju yang sudah digambar Vivian, sesekali Hilton diam

dengan mata yang tertuju pada gambar-gambar itu. Pandangannya mencari-cari

sesuatu, baik dari sana atau yang lain, aku tidak tahu pasti.

Dan tak lama, untuk kesekian kalinya, dia melakukan itu.

“Ada apa?.” Aku akhirnya bertanya.

Hilton tidak membalas ucapanku dan mengangkat wajahnya, ke arah Vivian.

“Bisa tinggalkan kami sebentar?.”pintanya kemudian.

Vivian mengangguk patuh dan meninggalkan kami berdua di ruang pribadi

Hilton. Setelah tak lama, Hilton menoleh padaku. “Aku terpikir sesuatu..”

Aku pun duduk, sejajar dengannya. “Apa?.”

“Amber dan mitramu di Arist Records.”ucapnya pelan. Sorot matanya tiba-

tiba menjadi ragu karena memikirkan itu. Aku pun jadi tertegun mendengar

ucapannya karena tahu maksudnya apa. Hilton ragu perlu mengundang Amber

dan mitraku di Arist Records untuk datang ke pernikahan kami atau tidak.

Perlukah?... Sisi diriku membatin, ragu juga atas pendapat itu.

Perlahan, aku menghela nafas. Bagaimana kalau aku mengundang satu nama itu

saja?.

“Amber?.” Hilton berkata. Dia juga sedang berpikir hal yang sama denganku.

“Kalau kita mengundang Amber, Fredy, Nick, dan Wade juga harus diundang,

Sayang. Tapi aku tidak jamin mereka akan tenang.” Aku memberi pendapat

67 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
tentang list undangan itu. Fredy, Nick, dan Wade memang bisa disebut kembar

dempet dengan Amber kalau sudah dalam urusan undangan. Mereka selalu datang

bersama. Dulu ditambah aku, dan sekarang tidak lagi.

Mendengarnya, Hilton langsung mengerti apa yang aku maksudkan di balik itu

semua. Dia tersenyum tanggung. “Kita undang Amber saja. Aku tidak mau teman-

temanmu membuat masalah di acara kita. Mereka pasti tidak akan

tenang.”putusnya kemudian. Dia kembali terfokus pada gambar-gambar baju

pernikahan kami.

Aku terpaksa mengangguk menanggapi keputusan itu. Hanya Amber yang

diundang. Mudah saja sebenarnya ;Nick, Wade, dan Fredy tidak boleh tahu kalau

Amber datang ke pesta pernikahanku. Tapi aku tidak jamin Matt akan

membolehkan Amber pergi….

Di tengah lamunan itu, ponselku bordering. Panggilan, dari Matt. Aku berdiri

dan keluar ruangan, menyuruh Vivian untuk masuk, mendampingi Hilton. Lalu,

baru mengangkat panggilan dari Matt.

“Halo?.” Suaraku terdengar tergesa.

“Kau melihat acara Clay pagi ini?.” Matt berucap langsung ke inti, aku kira.

Aku mengangkat bahu. “Tidak. Ada apa memangnya?.”

“Amber sakit sekarang ini. Dia benar-benar tidak bisa bangun tanpa bantuan.

Pagi tadi Dr. Hammond sudah memeriksanya dan menyatakan dia hanya

kelelahan. Aku tidak memintamu menjenguk. Hanya itu saja yang kukabarkan

sekarang.” Matt menjelaskan apa yang aku tunggu-tunggu sejak tadi.

68 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Tapi sebelum aku sempat membalas, dia sudah menutup teleponnya duluan tanpa

berucap satupun kata penutup untukku. Di seberang sini, aku mendengus. Sejak

dulu, kalau aku membuat masalah, dia memang suka sekali seperti itu :

mengadakan perang dingin. Kali ini, perang dingin besar-besaran yang dia

kibarkan padaku.

***

04.00 p.m…

Sore ini adalah jadwal latihan renang untuk Hilton. Dia sendiri sudah ada di

kolam renang bersama instrukturnya dan melakukan semacam pemanasan untuk

ibu hamil yang akan renang. Aku memperhatikan kegiatan itu sambil tersenyum

dan akhirnya setelah Hilton memulai berenangnya, aku masuk, memutuskan

untuk memperhatikannya dari ruang televise, sambil menonton.

Kunyalakan teve dan memindahkannya ke channel BBC Music. Disana

sedang jam tayang Gramaphone News, tayangan teve resmi Grammy. Kali ini

menampilkan sesi pemotretan hari pertama majalah Gramaphone. Dari tahun ke

tahun, memang Gramaphone News diisi oleh video live sesi pemotretan dari

jawara-jawara di ajang itu.

Penayangan ini berdurasi satu jam. Setelah itu dilanjutkan dengan tayangan

ulang Grammy Awards 2013 kemarin. Akhirnya aku menetapkan pilihan pada

acara ini.

Awalnya terasa biasa saja : permulaan acara diisi dengan kesan fotografer –

yang kali ini bernama Tyresse Worthon, seorang Afrika-Amerika – dan pendapat

manajer program ini. Tapi setelah aku tahu siapa yang jadi objek fotografernya,

69 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
aku memasang wajah serius, mencermati setiap ucapan yang keluar dari objek itu.

Karena yang kedapatan pemotretan sore ini adalah Amber, aku ingin lihat

seberapa parahsakit yang dia alami.

Orang yang baru saja aku pikirkan langsung berada di layar televise,

mengucapkan kesannya untuk pemotretan ini di atas kursi roda.

“Hei…ya…” Amber memulai. Dia berdeham sebelum melanjutkan

ucapannya. “Aku sebenarnya tidak tahu lagi apa yang akan kuucapkan.”

Seringaian manis itu keluar lagi dari wajahnya. “Maaf, mungkin. Pemotretan kali

ini aku hanya bisa mengambil pose duduk dan mengakibatkan semuanya tidak

bisa maksimal. Diundur sampai aku sembuh juga tidak bisa karena aku ada

agenda lain setelah ini. Full….”

Amber tergelak dan tak lama, pertanyaan terdengar dari penanya yang tidak

ditampakan mukanya itu. “Memangnya, kenapa kau bisa seperti ini?. Kelelahan

kah atau terlalu terjebak dalam euporia Grammy?.”

Dia tertawa kecil. “Oh…tentu bukan dugaan kedua. Aku kelelahan. Mungkin satu

sampai dua hari lagi semuanya sudah kembali normal.”

“Jadi teknis pemotretan yang akan kau lakukan hari ini seperti apa, Am?. Apa

kata Tyresse?.”

Amber tersenyum lebar membalasnya. “Beruntungnya, Tyresse mempunyai pose

yang bagus untukku. Aku akan terus di atas kursi. Ada sepuluh foto yang akan

diambilnya, dan dia bilang, semuanya tidak akan menyulitkanku. Aku

menyerahkan bagaimana detailnya kepada Tyresse saja.”

“Terimakasih atas waktunya, Am. Selamat bekerja.”

70 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Sama-sama.”ucapnya santai. Dia menatap persis ke arah kamera ketika Matt

datang menghampirinya, “Ayo kita bekerja!.”seru Amber antusias. Dia dibawa

Matt ke sisi studio foto itu dan mulai masuk ke kesibukannya.

Sepuluh menit, dua puluh, dan sampai setengah jam kemudian, aku melihat

jelas semuanya. Bagaimana keadaan Amber, bagaimana cara dia beraktivitas

dengan di tuntun. Dan jujur, itu sungguh membuatku tertegun memandangi layar

televise dan tidak bergerak sama sekali. Aku tahu bagaimana perasaannya

sekarang dan dia menutupinya dengan cerdik. Semuanya tampak seperti biasa,

seolah dia baik-baik saja dengan hati dan tubuhnya.

Melihatnya secara langsung dalam keadaan seperti itu dan dengan sebab yang

sebenarnya datang dari diriku sendiri, membuat rasa bersalah itu makin

menghantuiku. Haruskah aku menjenguknya atau menghubunginya setelah

kesalahan yang sudah kulakukan?. Matt pasti akan bilang, aku tidak punya malu

dengan melakukan itu. Atau paling kejamnya dia akan menyebutku perusak.

Walaupun memang benar…

Aku menjatuhkan kepalaku, tertunduk dalam dan tidak memandangi layar

televise itu lagi. Hanya suara antusiasnyalah yang aku dengarkan. Perlahan, aku

memejamkan mata, mencoba mengenyahkan suara itu dan memunculkan wajah

pemiliknya dalam kepalaku.

“Kemari. Ayo.” Amber berucap antusias. Aku bisa merasakan dia menarikku

ke lantai bawah, menyuruhku ke suatu tempat di rumah ini. Aku ingat memori ini

: saat ulang tahun pernikahan kami yang keempat.

71 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Ada apa?...” Aku membalas dengan bingung karena mataku ditutup oleh kain

hitam.

Amber tertawa sejenak dan diam sampai kami berhenti. Tak lama setelah itu,

dia membuka penutup mataku. Aku langsung tersenyum begitu melihat apa yang

ada di hadapanku : kue ulang tahun yang di atasnya ada lilin dengan angka empat.

Lalu bingkai foto-foto kami yang dia ambil dari lemari pajangan dan diletakan di

sekeliling kue itu.

“Selamat ulang tahun pernikahan.”bisik Amber. Dia memelukku dan

kemudian aku membalas mencium dahinya. Diam-diam, aku mengulum senyum.

“Terimakasih, Sayang.”kataku pelan. Aku duduk di kursi hadapan kue itu,

sementara Amber di atas pahaku. “Tiup bersama-sama, ya?.”

Amber mengangguk.

“1, 2, 3…”

Lilin itu mati dan kami berdua bertepuk tangan.

Aku sudahi memori itu sampai disana dan kembali ke kenyataan. Nyatanya,

semuanya sudah tidak sehangat dulu. Dan aku mendengus menyadari itu.

-Amber-

SUDAH selesai. Kegiatanku hari ini sudah tuntas. Setelah ini aku punya waktu

istirahat yang cukup untuk berkegiatan besok di acara American Kids Choice

Awards yang bertempat di Boston. Matt mengantarkanku sampai rumah dan

berniat menungguiku disini. Besok, sekalian ke Boston, setelah aku dititipkan

kepada band pengiringku, dia baru akan pulang ke rumahnya.

72 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Seperti biasa, Matt memapahku dulu ke ruang keluarga dan memasakan

makan malam untukku setelah menyalakan televise.

“Masih terasa pusing seperti tadi pagi?.”tanya dia dari dapur.

Aku menggeleng dan merebahkan diri di atas sofa. “Sudah lebih baik. Tapi aku

mulai linu.”akuku padanya. Aku mengambil remote teve dan mengganti channel

yang sebelumnya menyiarkan saluran berita, ke channel BBC Music. Saluran teve

itu sedang menayangkan tayangan ulang Grammy Awards.

“Linu bagaimana?.” Matt bertanya dengan nada bingung.

“Seperti pegal… Ya…tidak terlalu jelas sebenarnya…”jawabku sekenanya.

Aku mengenakan posisi kepalaku di sofa dan mulai serius menonton saluran teve

yang menayangkan urutan ke 20, yaitu lagu band indi terbaik yang aku sangat

ingat itu dimenangkan oleh band indi pendatang baru bernama „Catridge17‟.

Tak lama kemudian, Josh dan Luke menyebutkan kategori Soundtrack

Terbaik. Aku sudah tidak memerhatikan apa yang diucapkan oleh mereka. Saat

dalam layar itu aku diumumkan memenangkan kategori tersebut, aku baru

terfokus.

“…Untuk Titanium Gates Production, rumah produksi film Lullaby,

terimakasih telah mempercayaiku untuk mengisi soundtrack film kalian. Sutradara

video klip ini : Jonathan, produser video klip ini yang sekarang juga ada disini :

Darren…–”

Mendengar nama itu, aku memalingkan wajah ke atas dan diam. Berbeda dengan

Matt, dia langsung memotong perhatianku pada ucapan terimakasihku sendiri

dengan berdecak.

73 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Seharusnya tidak usah ada nama itu dalam ucapan terimakasihmu kemarin.”

Aku mengesah mendengar nada itu keluar lagi darinya. Lalu, menghadapkan

wajahku ke arah dapur, tempat Matt memasak. “Bagaimanapun dia membantuku,

Kak.”

“Anggap saja tidak. Apa susahnya?.”sambar Matt datar.

Tapi belum sempat aku membalas, kilatan lampu terlihat dari luar rumah

membuatku dan Matt menoleh ke pintu masuk. Apa yang ada disana, membuatku

tertawa lepas. Anggota band tersayangku!. Disana ada Fredy, Nick, dan Wade.

Fredy memegang posisi bass, Wade memegang posisi gitar rythm, dan Nick,

drummer.

“Amber!, boleh kami menginap disini?.”seru Nick riang. Fredy dan Wade

masuk setelahnya dan langsung menghampiriku.

“Menginap?.” Matt menghentikan kegiatan memasaknya dan memandangi

mereka dengan tidak yakin.

Mereka kompak mengangguk. “Amber pasti perlu banyak pria untuk

membopongnya.”kata Wade berseloroh. “Lagipula kau bisa istirahat.”

Aku menoleh pada Matt, diam-diam menyetujui ucapan Wade tadi. Dengan

begitu, aku bisa bersenang-senang dan cepat melupakan itu semua kalau dengan

mereka. “Ide bagus, Kak.”timpalku terhadap ucapan Wade, setuju.

“Kami sudah membawakan makanan yang cukup untuk mengisi kulkas

Amber. Tenang saja… Kami akan mengisinya kembali.”jamin Fredy

menyambung.

74 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Ucapan yang meyakinkan dari mereka membuat Matt benar-benar keluar dari

dapur dan wajah „memprosesnya‟ jadi benar-benar terlihat. “Ya… Tapi –”

“Matt..” Fredy menyela. Dia berdiri dan menghampiri Matt di lorong ruang

keluarga. “Apa kau tidak kasihan pada kami?. Kami sudah tidak bertemu dengan

Amber empat bulan lamanya. Ayolah….”

Matt tercenung. Dia diam sesaat dan tak lama kemudian melepas celemek

masaknya. “Hubungi aku kalau ada hal gawat. Besok, kalian langsung saja ke

Boston jam 8 pagi dari sini. Aku akan menyusul.” Matt berkata. Itu berarti sebuah

perizinan untuk mereka. Mendengar perkataan Matt, Nick dan Wade bangkit,

bersorak dan membawa bahan makanan mereka masuk.

Melihat begitu banyak makanan yang mereka bawa, aku berdecak kagum.

“Persediaan satu bulan, iya, kawan-kawan…”

“Memang benar.”sahut Wade sambil menyeringai. Dia membawa empat tas

bahan makanan itu ke dapur dan menatanya. Memandanginya, aku hanya bisa

tersenyum, begitupun Matt.

Setelah lepas dari Fredy, Matt menghampiriku, hendak pamit. “Aku pulang,

kalau begitu.” Dia mencium keningku dan tersenyum. “Bilang kalau mereka

berlaku kurang ajar padamu.”

Aku menghormat padanya dan tersenyum lebar. “Siap, Kak.”

Sebelum pergi, Matt mengacak-acak rambutku dan kemudian, dia berlalu.

Aku telah di kamar, sudah siap untuk tidur dengan di kelilingi tiga pria di

sekitar tempat tidurku. Aku berhutang penjelasan pada mereka. Tiga sekawan itu

75 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
juga kebetulan memintaku untuk menjelaskan semuanya. Yah… maklum saja,

aku terakhir bertemu dengan mereka saat kumpul-kumpul acara tahun baru itu.

Mereka jadi tidak tahu apa-apa soal kejadian detailnya setelah pembubaran tamu

yang mendadak dalam acara tersebut….

Dan akhirnya, aku memilih tempat yang tepat untuk bercerita, yaitu kamarku.

Setelah mereka semua masuk, aku mengambil posisi duduk dibantu Nick dan

memandangi tiga kepala berwajah antusias itu. Sesaat aku mengesah, “Mulai

sekarang?.”

“Ya. Ayo bercerita!.” Wade setengah berseru. Setelah Nick kembali, mereka

duduk melingkar di tempat tidurku. Wade di kananku, Nick di kiriku, sementara

Fredy persis di dekat kaki tempat tidur.

“Mulai dari mana?.”tanyaku pada mereka.

“Grammy Awards.”putus Fredy.

“Hm… yah…” Aku berusaha menegakan dudukku, tidak bersandar. “Tiga

kategori aku menangkan dalam ajang itu, malam itu aku mengenakan gaun hitam

yang dibawa Matt. Dan aku satu panggung dengan Darren di kategori terakhir :

Pasangan Musisi Tahun Ini.”ceritaku pada mereka.

“Ada sesuatu yang dia katakan saat kalian di atas panggung?.”tanya Nick,

menyela ceritaku.

“Seperti biasa… ucapan terimakasih. Dia memberikan semacam klarifikasi

pada semua yang ada disana bahwa kami berdua sudah tidak lagi

bersama.”jawabku, menjelaskan tanpa terdengar sedih.

“Lalu?.” Giliran Fredy membuka mulut.

76 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Lalu?.. Kalau mau diteruskan, akan ke arah pembicaraan aku dan Darren kemarin

malam. Tapi aku ragu akan bisa menjelaskannya tanpa terdengar sesak. “Mm…”

Aku mengulur-ulur waktu, berusaha memberikan mereka pilihan, “Mau cerita

yang detail, atau garis besarnya?.”

“Detail.”ucap Wade pasti. Dalam hati aku membatin mengumpat. Pastilah

mereka akan memilih bagian cerita yang detail….

“Lalu, Darren mengajakku bicara setelah dari sana. Kami bertemu di parkiran

basement.” Aku menyambung ceritaku. “Dia…menceritakan semuanya.”

Sejenak, aku menarik nafas, menghentikan ucapanku.

“Apa saja yang dia ceritakan?.” Nick bertanya padaku, wajahnya mulai serius.

Oke, Amber.. Lanjutkan ceritamu. “Dari mulai penyebab dia membentakku di

depan semua orang saat pesta itu, sampai apa yang dirasakannya sekarang.”

“Lanjutkan.”gumam Fredy. Wajahnya juga mulai serius memandangiku.

“Yah…” Aku menekuk kaki dan melingkarkan kedua tanganku disana.

“Penyebab dia begitu kalap saat itu adalah… Hilton, perempuan selingkuhan

Darren, memberitahu tentang kehamilannya.”

Lama, tidak ada respon dari mereka. Mereka sedang mencerna semua yang

aku ucapkan tadi. Sebelum sempat membalas keterangan dariku, aku menyela

mereka. “Mereka berdua – entah bagaimana caranya – telah berlaku terlalu jauh di

belakangku.”

“Darren melakukan itu?.”tanya Wade tidak percaya. Kini wajah ketiganya

menunjukan kekesalan yang amat sangat pada teman mereka itu.

77 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Ya.” Aku menjawab. Sekilas, ingatanku kembali ke malam itu. Aku kembali

tertunduk. Seketika, aku terisak mengenang memori pahit itu. “Yah, mungkin ada

yang salah padaku atau…” Aku menyambung ucapanku – yang sebenarnya lebih

mirip sebuah pembelaan pada Darren – dalam suara terisak dan air mata yang

mulai turun.

Fredy berdiri dan berkacak pinggang, memalingkan tubuhnya dariku dan

menjauh. “Hanya dia yang salah dalam semua ini!.”tuduhnya geram. “Aku pikir

dia tidak akan bertindak sejauh itu!....”

“Ini semua ada hubungannya dengan keadaanmu sekarang?.”tanya Nick

menyambung, berusaha tidak emosi melihat Fredy menaikkan nada berucapnya,

menciptakan ketegangan di ruangan ini.

“Tepatnya saat empat bulan itu.”kataku pelan. “Saat kami baru saja…pisah

rumah.”

“Apa yang kau lakukan selama empat bulan itu?.” Wade bertanya hati-hati.

Aku mengusap air mataku dan berusaha menegakan kepalaku. “Menangisi

semuanya. Kau tahu?... Aku terus berkata dalam kepalaku… „Apa benar semua

ini terjadi padaku?‟.” “Seminggu dari empat bulan itu, aku melewatkannya

dengan mata sembab dan insomnia akut. Aku tidak tidur sama sekali.”

Sejenak, tidak ada suara dari mereka bertiga. Yang mereka lakukan hanya

memalingkan wajah dariku dan ikut prihatin dengan semua ini.

“Am…” Wade memulai. “Lalu…apa yang dia katakan saat kalian bicara di

parkiran basement?.”tanyanya kemudian. Dia, berbeda dengan yang lainnya,

terlihat paling tenang menanggapi segala kisahku.

78 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Mereka sudah bertunangan. Kandungan Hilton telah berumur empat bulan

sekarang ini. Darren berkata tentang penyesalan bahwa dia telah menyia-nyiakan

aku. Dia meminta maaf.”jawabku panjang lebar.

Wajah Wade dan Nick berubah lebih baik setelah mendengar jawabanku. Tapi

tidak dengan Fredy. Dia masih saja berwajah masam dengan tangan yang

berkacak di pinggang.

“Lalu apalagi yang dia katakan?. Hal yang tidak terduga lainnya?.”sahut

Fredy, menimpali ucapanku. “Penyesalan memang selalu datang di akhir.

Bagaimanapun, itu akan menjadi omong kosong yang cukup buruk untukmu.”

“Fred.”

“Apa?.” Fredy menyahut ketus pada selaan Nick. “Dia sudah jelas bersalah.”

“Jangan suka membesar-besarkan masalah!.”bentak Nick akhirnya. “Kau

hanya membuat Amber terpojok dengan pikiran buruknya!.”

Fredy tidak terkejut mendengar bentakkan itu. Dia langsung mengangkat bahu

dan keluar kamarku dengan kasar. Suara bantingan pintunya membuat kepalaku

kembali berdengung. Refleks, aku menjatuhkan kepalaku ke bantal dan menahan

sakit yang makin menjadi itu.

“Selesaikan masalah kalian berdua di luar.”ucapku pada Nick tanpa

memandangnya.

Nick dan Wade menoleh padaku. Nick sendiri langsung menuruti ucapanku

dengan keluar dari kamar, sementara Wade sigap mengambilkan aspirinku di

meja kamar karena menyadari apa yang aku rasakan.

79 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku meminum obat itu dan kembali merebahkan kepalaku ketika Wade akan

keluar dari kamar. Tanganku mencegahnya untuk keluar. Aku ingin dia

menemaniku disini.

“Tinggallah.”

Wade memandang tanganku sejenak, lalu menoleh padaku. Perlahan, dia

mengangguk setuju. “Ya.” Lalu, dia menarik kursi untuk duduk di kananku.

“Lebih baik?.”

“Mm… Ya..” Sesaat, aku memejamkan mata dan membukanya lagi karena

teringat sesuatu. Surat cerai itu….

“Wade?.”

“Hm?.”

“Cari cardigan warna hitamku di lemari…. Paling bawah.”

Wade langsung melakukannya tanpa berkata apapun dan tak lama, dia

menemukannya.

“Cari kertas. Satu-satunya kertas yang ada disana.”kataku, memberikan

instruksi kepadanya.

Wade melakukan apa yang aku katakan. Setelah menemukan kertas itu, dia

menunjukannya padaku. “Ini?.”

Ketika ingat bentuk surat itu, aku mengangguk dan mengambilnya dari tangan

Wade.

“Tolong ambilkan pulpen di laci meja..”kataku lagi.

Wade memberikannya dan tahu aku mau menulis sesuatu, dia membantuku

duduk. “Surat apa itu?.”tanyanya kemudian.

80 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku menyeringai menanggapi pertanyaan itu. “Perceraianku.”

Membalasnya, Wade hanya mengangguk-angguk dan diam lagi, membiarkanku

menandatangani surat ini. “Darren memintaku mengirimkan surat ini ke alamat

barunya di Kansas.”

Wade mengangguk sekali dan memandangiku, “Setelah itu, semuanya

selesai?.”

“Ya. Aku dan dia sama-sama bisa hidup bebas.”

***

Mataku membuka. Entah jam berapa ini, tapi semuanya terasa masih sepi. Sesaat

setelah membuka mata, aku memandangi sekeliling dan tersenyum menyadari

semuanya ada disini. Wade, Nick, dan Fredy tidur di kamarku. Wade di kursinya,

dan Nick serta Fredy tidur di sofa kamar. Memandangi mereka, aku

menyembunyikan senyum. Ini tahun ke delapan kedekatan kami dan mereka

sudah menjadi segala hal yang terasa baik bagiku. Ayah, kakak, teman, sahabat,

dan bahkan terkadang adik, atau lebih parahnya lagi, anakku. Mengingat semua

itu, di kepalaku jadi tergambar bagaimana pertemuan pertama kami di sebuah kafe

dekat Belleville, saat badai salju berlangsung.

Ketika itu, aku yang masih 17 tahunsangat antusias dengan yang namanya

musik. Keluargaku mendukungku di jalur itu hingga sekarang. Termasuk Matt.

Saat pertama kali aku bertemu Ian dan band pengiringku, Matt juga lah yang

mengantarku dan menungguiku disana. Kala itu dia terpaksa membolos menonton

pertandingan hockey tim favoritnya demi mengantarku ke tempat pertemuan. „La

Lima Café‟ namanya.

81 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Begitu masuk ke kafe, aku dan Matt langsung mencari Ian, berdesakan

menuju orang itu di tengah kerumunan orang yang transit disana karena badai

salju. Mereka ada di pojok lantai satu, sedang menungguku di meja bundar sambil

meminum sesuatu.

“Hei..” Aku mendengus lelah begitu tiba. Ian memandangiku dengan senyum.

Lalu menyuruhku duduk.

“Mm, ya, Am.” Ian memulai. Dia mengeluarkan berkas kontrakku dan

menyodorkannya padaku. “Antonio sudah setuju memasukanmu ke dalam

manajemen. Baca kontrak ini dengan teliti, setelah itu, tanda tangani.”

Membalasnya, aku mengangguk. Sesuai perjanjian awal antara Matt denganku,

ketika datang suatu berkas, atau apapun itu yang menyangkut musik, dia harus

memeriksanya terlebih dulu, maka aku memberikan berkas kontrak itu pada Matt

sebelum aku membacanya.

Sejenak, pandangannya pada kertas itu terlihat teliti. Lalu tak lama kemudian,

dia menyerahkan berkas itu padaku. “Tanda tangani.”

Senyuman lebar keluar dariku. Aku membaca berkas itu lagi dan tanpa basa-basi

langsung menandatanganinya. Lagipula aku yakin Matt tidak akan menjebakku

dengan hal yang tidak kumengerti soal ini semua.

“Ini.” Aku memberikan berkas itu, dan salinannya disimpan untukku.

Ian mengangguk sekali menerimanya dan mengulurkan tangan. “Selamat

bergabung.”

82 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku membalasnya. Masih dengan wajah berseri, aku memandangi empat orang

lain di meja ini. Dua berambut cokelat, satu pirang, dan satunya lagi hitam. “Dan

mereka?....” Aku mengeluarkan semacam nada dugaan.

“Band pengiringmu.” Ian menyambung ucapan tanggungku. “Yang berambut

hitam itu namanya Fredy, si pirang : Nick, rambut cokelat pertama namanya

Wade, lalu di sebelahnya adalah Darren.”ucapnya, memperkenalkan orang-orang

yang dia bawa.

Setelah itu, aku menjabat tangan mereka satu persatu sambil mengulangi namaku.

Ketika tiba di orang terakhir, Darren, aku menoleh pada Ian dan melepaskan jabat

tanganku dengan Darren. “Mereka lebih tua dariku atau sama?.”

Mendengar pertanyaan polos itu, Ian tergelak, begitupun Matt dan Wade. Tapi

tak ayal dia menjawab juga pertanyaanku. “Darren berumur 19 tahun, Nick : 20

tahun, Wade : 18, dan Fredy : 21.”

Krkk…krrkk…

Karena suara itu, ingatanku terpotong sudah. Suara yang tak lain adalah suara

perutku sendiri itu juga membuat Wade menggeliat dari kursinya. Perlahan, dia

membuka matanya. Sorot matanya saat menyadari apa yang membuatnya

terbangun langsung berubah geli. Tak lama, keluar gelak tawa yang pelan darinya.

“Kau lapar…”gumamnya padaku.

“Ya.” Aku tersenyum membalas ucapannya.

Wade bangkit dari kursinya dan membantuku turun dari tempat tidur. “Ayo kita

ke bawah.”

83 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Wade memasakan telur dua porsi untuk makan kami tengah malam ini. Dia

bilang, dia juga lapar dan tidak bisa tidur kalau sudah terbangun. Makanya dia

akan menemaniku di bawah melakukan apapun itu.

Lima menit kemudian, Wade menghidangkan dua telur goreng untuk kami

dan dua gelas air putih hangat di meja makan. Dia duduk di hadapanku dan mulai

makan bersamaku setelah tak lama.

Kemudian, setelah suapan kami yang kesekian dalam diam, aku mengangkat

wajahku, memandanginya karena penasaran soal satu hal yang tiba-tiba saja

menjadi pertanyaan dalam kepalaku.

“Wade?.”

Wade mengalihkan fokusnya dari makanannya dan mendengarkanku bicara.

“Fredy dan Nick sudah berbaikkan?.”

Wade menyeringai mendengar pertanyaanku. Dia meletakan alat makannya dan

memandangiku dengan serius, namun dalam senyum. “Sebenarnya belum. Tapi

aku yang memaksa mereka.”

Alisku mengerut, tidak yakin Fredy dan Nick sealot itu. “Kau

yang…”“Bagaimana?.”

“Ketika kau sudah tidur, aku ke bawah, menemui mereka. Dan yang aku

temukan adalah, kedua orang itu masih dalam muka masam. Setelah beberapa

kalimat kukeluarkan, mereka akhirnya luluh dan berjabat tangan.”jelas Wade

setelah itu. “Nick tetap dengan pendapatnya bahwa Fredy terlalu membesar-

besarkan masalahmu, dan Fredy tetap dengan intuisinya yang secara langsung

84 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
mengatakan bahwa dia tidak akan pernah berteman dengan Darren lagi. Yah,

seperti itulah… Keduanya sama-sama keras kepala….”

Oh…Aku jadi tidak bisa langsung melanjutkan ucapan maupun makanku.

Mendengar penjelasan Wade, aku jadi tidak mengerti kenapa bisa seperti itu.

Logikanya, jika dibandingkan dengan umur, Fredy seharusnya bisa bersikap lebih

dewasa.

“Tapi paling nanti mereka akan melupakan semuanya.”sambung Wade. Lalu

dia melanjutkan makannya.

Aku kembali ke makananku setelah itu. Aku menguyahnya lambat-lambat dan

kembali memandangi Wade penasaran. “Kenapa kau bisa setenang itu?.”

Pertanyaan itu meluncur juga dari mulutku.

Mendengarnya, Wade balas memandangiku. Dia tertegun dan sejurus

kemudian, menghentikan makannya. “Harus ada yang menjadi penengah dalam

sebuah masalah, Am.” “Ketika orang dewasa tidak bisa bersikap dewasa, yang

lebih muda seharusnya melakukan itu.”

Aku mengangguk-angguk mendengar jawaban itu. Sejenak, aku tidak

melakukan dan memikirkan apapun selain termenung menyadari arti ucapannya.

Wade begitu dewasa. Sejak dulu, dia tidak pernah bertengkar seperti Fredy atau

Nick. Baik dengan mereka ataupun Darren. Dia selalu memilih menjadi penengah.

Ketika dia mulai makan, aku kembali menginterupsinya karena terpikir satu

hal lain. Atau tepatnya, solusi terhadap masalahku sekarang ini. Karena dia yang

paling bisa memberikan itu, aku harap dia mengucapkannya dengan benar.

“Menurutmu, bagaimana caraku melupakan semua ini?.”

85 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Wade mengerutkan alis, kurang mengerti maksud „semua ini‟ yang aku ucapkan.

Aku menyambung ucapanku. “Darren, kenangan kami, perselingkuhan itu,

dan semuanya. Jujur saja aku butuh cara yang tepat dan cepat untuk itu.”

Mimik mengerti dari Wade langsung menimpali ucapanku. Dia membereskan

bekas makanannya dan mencucinya. “Sebenarnya mudah saja. Asal kau

melakukan itu dengan benar.”bukanya atas sarannya terhadap pertanyaanku.

“Menyibukkan diri.” Dia melanjutkan, “Bisa dengan sibuk dalam karirmu,

mendirikan sesuatu, atau ikut kegiatan lain yang membuatmu lupa dengan semua

masalahmu.”

Aku tidak membalas, hanya mencatat ucapannya dalam kepalaku dan

menunggunya melanjutkan.

Wade kembali duduk di hadapanku. Tapi tak lama, dia memalingkan wajahnya

dan tersenyum getir. “Namun biasanya, masalah seperti ini butuh waktu setengah

dari waktu terbentuknya kenangan itu.”

Aku masih menunggu kelanjutannya. Was was sebenarnya mendengar nada

tidak yakin yang keluar dari Wade.

“Kau dekat dengan Darren sejak delapan tahun lalu. Masa pernikahan kalian

adalah setengah dari itu. Kalau untuk melupakan semua kenangan dalam

pernikahan kalian – atau paling tidak, hal yang berhubungan dengan Darren – jadi

kau membutuhkan waktu dua tahun paling tidak untuk bisa melupakan itu semua

dan menjalin hubungan dengan pria lain, misalnya.” Wade melanjutkan,

menjelaskan maksud ucapannya tadi padaku.

86 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Setelah mengerti kalimat demi kalimat itu, aku membuang pandangan ke

bawah lalu mengesah. Jadi tidak yakin aku bisa lepas dengan cepat dari semua

ini… Jujur saja, aku sangat ingin segera melupakan semuanya agar bisa

melanjutkan hidup secara normal, tanpa teringat dia lagi. Tapi mendengar analisis

Wade – dan terlebih lagi, mengingat momen-momen manis yang terlanjur tercipta

diantara aku dan Darren – keraguanuntuk bisa melupakannya dengan cepat

menggelayut dalam benakku.

“Wade.” Aku mengangkat wajahku. “Tolong bantu aku melupakannya?.”

“Ya.” Dia tersenyum setelah itu. “Kalau begitu, kau harus memulai dari

dirimu sendiri.”

“Dengan?.”

“Sibuk di karir, misalnya. Atau mendirikan badan amal, dengan cara yang

kusebutkan tadi….”“…Banyak yang bisa kau lakukan ketimbang harus merenung

disini dan terus saja tidak memercayai takdir.”“Mungkin saja, ya…” Wade

menghentikan ucapannya sejenak. Sesaat, ekspresinya ragu. “…Aku ragu kau

mau melaksanakan ini. Tapi aku rasa, hal pertama yang harusnya kau lakukan

dalam rangka „melupakan Darren‟ adalah menjual rumah ini dan tinggal bersama

Matt. Dengan begitu, memori itu perlahan bisa terhapus.”

“Kau yakin?.” Aku bertanya balik padanya.

Wade mengangkat bahu dan berdiri. “Itu semua tergantung dirimu. Jika kau

yakin, semuanya akan terjadi sesuai yang kau inginkan.”

Kemudian, dia berlalu dari hadapanku dan menyalakan teve ruang keluarga

sementara aku menyelesaikan makanku.

87 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“NEW ALBUM, NEW LIFE, NEW EPISODES, AND NEW STORIES”

-Amber-

YA. Aku harus melakukan apa yang Wade sarankan tadi pagi. Begitu bertemu

Matt di Boston nanti, aku akan langsung meminta saran Matt untuk menjual

rumahku. Sementara itu, karena saran Wade, aku terpikir juga untuk membuat

album keempat. Isinya lagu-laguku yang kemarin, dan lagu lain sebagai lagu

tambahan. Baru tercetus dalam pikiranku, akan ada versi akustik dari beberapa

lagu melankolis di albumku kali ini. Entah Ian akan menyetujuinya atau tidak, aku

pastinya akan membicarakan ini pada Fredy, Wade, dan Nick untuk mencari

dukungan juga atas konsepku.

Jam 5 pagi tadi, Wade membangunkan Fredy dan Nick sementara menunggu

air panas matang untuk kopi mereka bertiga. Setelah itu, tak lama mereka turun

dan Fredy-Nick langsung duduk di sekitarku. Tanpa menunggu mereka

sepenuhnya sadar, aku menjelaskan konsepnya pada mereka.

Lima menit setelah itu, mereka mulai mengerti apa yang kumau. Dan ketika

selesai menjelaskan semuanya, wajah-wajah bangun tidur milik Fredy dan Nick

berangsur-angsur mencerah. Mereka berdua, plus Wade, menyetujui konsepku

dan bakal mendukungku penuh ketika menjelaskan semuanya pada Ian. Sepulang

dari Boston nanti, rencananya kami akan kesana. Yang pasti, dengan Matt.

Kini, kami sudah rapi. Tepat pukul 8 sekarang dan kami sudah berada di luar,

menunggu mobilku dipanaskan oleh Fredy. Kali ini, yang memapahku adalah

88 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Nick. Sementara Wade di sisiku, tengah mengutak-atik ponselnya dengan

tampang serius.

“Matt sudah menghubungimu?.”tanya Nick tiba-tiba.

Aku menggeleng membalasnya. “Belum. Lagipula tidak ada instruksi apa-apa

darinya selain datang ke Boston pagi ini.”

Mendengarnya, Nick mengangguk paham dan membawaku masuk ke mobil,

disusul oleh Wade karena Fredy telah selesai memanaskan mobilku.

Di dalam, aku teringat satu hal. Surat cerai itu.

“Wade.”

Wade yang mengambil kursi di sebelah Fredy, di depan, menengok padaku.

“Suratnya kau letakkan dimana?.”tanyaku kemudian.

“Oh..itu…” Dia manggut-manggut sendiri. “Sudah kukirimkan tadi malam.”

Aku menghela nafas dan langsung merebahkan badan setelah itu, tidak

memedulikan tatapan tidak mengerti dari Nick dan Fredy yang ada di balik

kemudi. Lalu tak lama, tanpa ada suara apapun lagi, kami keluar dari rumahku,

menuju Boston.

***

Kami tiba di Boston. Di dekat tempat acara American Kids Choice Awards,

orang-orang berbaris di pinggir jalan, menyambutku. Aku membuka kaca mobil

dan tersenyum pada mereka semua. Seketika, timbul semangat untuk menghibur

mereka yang menontonku nanti malam. Dalam hati, aku bertekad. Bagaimanapun

caranya, aku harus tampil maksimal.

89 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Sepuluh menit kemudian, kami sudah berada di tempat acara. Setelah sejenak

menyapa semua kru yang akan membantu kami mempersiapkan penampilan kami,

kami langsung ke ruang latihan yang berada di sebelah barat komplek gedung

Boston International Convention Centre. Aku, dibantu kursi roda yang disediakan

panitia, kesana bersama Fredy, Wade, dan Nick; yang mendorongku.

Ruang latihan itu terlihat luas. Di pojoknya, tersimpan berbagai alat musik dan

lemari tempat kostum yang akan kami gunakan saat tampil nanti. Begitu melihat

itu, Wade dan Nick bersorak dan mengambil bagian mereka masing-masing.

Wade gitar, Nick drum.

“Mau langsung mencobanya?.”tawar Fredy dari sisiku.

Aku mendongak dan tersenyum. “Ya. Ayo.”

Detik selanjutnya, kami berlatih. Aku dan mereka berdiskusi soal penampilan

nanti malam dari mulai lagu, kostum, tampil tanpa Darren, sampai teknis

penampilan. Tidak ketinggalan juga, kami membahas bagaimana cara menguasai

panggung dengan aku yang berada diatas sebuah kursi – itu juga kalau benar-

benar belum bisa berdiri. Ya kalau sudah baikkan, semuanya akan berubah jadi

lebih mudah.

“…tapi cobalah dulu aku rasa.”sela Wade di obrolan kami. Dia yang sedang

duduk bersila, melingkar bersama yang lainnya, berdiri. “Coba kau berdiri dulu.

Semuanya juga harus dilatih lagi. Iya, kan?.”

Yang lainnya menyahut setuju atas selaan Wade. Akhirnya aku mencoba hal

itu. Dari mulai bangkit, sampai berdiri namun masih berpegangan pada kursi roda.

Tak lama, perlahan, aku melepaskan tanganku dari sana.

90 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Sesaat, aku terhuyung karena kembali pusing. Wade sudah bersiap

menangkapku tapi aku masih ingin mencobanya – selama belum terjatuh – lalu

berjalan. Namun, tak sampai dua detik, aku sudah kembali terhuyung dan jatuh

dalam dekapan Wade.

Melihatnya, Fredy mengangkat bahu. Dia tak yakin dengan ini. “Jangan

memaksakan diri, aku rasa.”

“Tunggu.” Aku menyela dan kembali berpegangan ke kursiku. “Tadi itu lebih

baik daripada kemarin.”

“Cobalah lagi.”kata Nick tak lama.

Aku mengesah, lalu kembali menegakan tubuhku, mencobanya lagi. Kali ini,

Wade – entah sengaja atau tidak – menjauh dariku. Ada sekitar satu setengah

meter jarak yang dia ciptakan. Diam-diam, aku menelan ludah, takut kembali

terjatuh. Tapi di sisi lain, aku meyakinkan diriku. Jangan terjatuh!.

Benar saja. Aku bisa lebih lama berdiri. Walaupun masih pening, tapi tidak

terlalu seperti tadi karena aku sudah lebih bisa menahannya. Lalu, aku mencoba

berjalan…. Berhasil…. Kulanjutkan dengan melangkahi lingkaran ini, keluar,

menuju gitar akustik yang terpajang di tempatnya. Masih linu dan pusing, tapi aku

tahan semua itu. Kemudian, aku mempercepat langkahku. Satu hentakan keras

dari kaki kananku membuat kepalaku kembali berdenyut.

Mereka semua mengikutiku dari belakang, aku tahu. Aku hanya tidak mau

menoleh karena takut akan meruntuhkan semuanya.

Ketika tanganku akhirnya memegang gitar akustik itu dan mengambilnya dari

tempatnya, suara Matt terdengar dari pintu.

91 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Seperti melihat anak bayi belajar berjalan….”

Aku berbalik dan menoleh, lalu kembali duduk di kursi biasa dengan langkah

yang berusaha seperti biasa pula. “Hai, Kak…”

Matt tersenyum lebar dan masuk ke ruangan ini. “Kalian sudah menjaganya

dengan baik. Terimakasih.”

“Sama-sama..” Nick menyahut. “Menurutmu, lebih baik Amber tampil seperti

biasanya, atau dalam keadaan duduk?.”

“Kau bercanda…” Aku tergelak mendengar kedua pilihan yang sudah jelas

jawabannya itu. “Lebih baik seperti biasa. Iya, kan?.”

Wade menghampiriku. “Sabar dulu… Jangan terlalu aktif dulu sekarang. Kau

baru saja sembuh.”

“Tapi aku bisa melompat seperti biasanya, berlari-lari… –”

Wade memotong ucapanku dan menyuruhku menarik nafas. “Kami semua tidak

mau kau tumbang, oke?. Jadi tolong tenang.”

Oke… Aku menarik nafas dan berusaha tidak terlalu buru-buru untuk latihan

seperti biasa, menjadi yang teraktif atau semacamnya. Benar juga kata Wade.

Kalau aku terlalu lelah sekarang, bisa jadi aku akan lebih parah saat akan tampil.

Itu bisa jadi hal yang merugikan untuk kami semua.

“Tampil dan sekali gladi seperti biasa. Tapi saat latihan, duduk saja.” Matt

memutuskan.

Semua tampang mereka menunjukan pikiran : „Haha…rasakan itu…‟. Tapi aku

berusaha tidak peduli. Tak lama, Matt menghampiriku dan membawaku ke kursi

roda. Dia nampaknya mau berbicara sesuatu mengenai hari ini.

92 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Hari ini kalian akan tampil diurutan 3, 7, 11, dan penutup acara. Amber

sendiri akan membacakan nominasi „Video Klip Terbaik‟. Urutan penampilan

kalian, lagu beat pertama di ketiga, yang kedua di penutup acara. Lalu untuk lagu

akustik di urutan ketujuh dan kesebelas.” Matt membeberkan teknis acara bagian

kami. Kemudian dia mengambil kostum yang sudah dia bawa di koper berukuran

sedang.

Nick membukanya. Dia mengangkat baju itu satu persatu dan tergelak. “Seperti

biasa, ya?.”

Matt mengangguk, “Kiriman dari Ian.”

Ketika kami asyik melihat-lihat kostum yang dibawa Matt, pria itu menyela

keasyikan kami, “Bagaimana dengan lagunya?.”

“Oh…sudah ditentukan…”balas Fredy. Dia memberikan ponselnya yang

dipakai untuk mencatat hasil diskusi kami tadi dan membiarkan Matt

membacanya.

Setelah selesai, dia mengangguk paham dan menoleh pada Fredy. “Aku bawa

dulu ke panitia, Fred.”

“Ya ya… sana bawa saja.” Fredy membalas dengan acuh dan kami kompak

membiarkan Matt melakukan tugasnya tanpa diinterupsi.

Aku siap. Dari luar sana sudah terdengar suara pembawa acara yang disambut

dengan meriah oleh semua yang hadir. Acara baru saja dimulai dan baru sampai

intermezzo. Aku sendiri sudah dalam konstum untuk penampilan pertamaku yang

membawakan lagu berjudul „Punk Boy‟ yang menjadi hits pada tahun 2002,

93 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
sekaligus membantuku memenangi Grammy Awards dalam kategori lagu terbaik

di tahun itu. Dalam Grammy itu, aku menggondol dua piala : Lagu Terbaik dan

Pendatang Baru Terbaik.

Di sisiku, ada Fredy yang sedang berlatih bersama Wade dengan alat musik

mereka masing-masing. Sementara Nick mengetuk-etukan kaki, seperti

memainkan pedal pada drum. Dan aku, sedang berusaha merasakan bagaimana

sebenarnya kondisi tubuhku. Setelah gladi tadi sore, kami kompak memutuskan

untuk tampil seperti biasa. Yang mengambil posisi duduk hanya pada lagu ketiga

„Too Late‟, yang mana memang semuanya duduk, tidak hanya aku.

Matt masuk ke ruang tunggu kami di belakang panggung. Dia tersenyum

hangat kepada kami semua dan duduk. “Siap?.”

Nick menghentikan permainan pedal tidak terlihatnya dan mengangguk, lalu

bermain lagi. Melihat tidak ada yang merespon ucapannya, Matt tidak

berkomentar. Dia sudah terbiasa dengan itu dan mungkin saja nyaris bosan.

Teman-temanku memang kalau sudah akan tampil di sebuah acara, tidak bisa

diganggu gugat dengan pikiran mereka masing-masing.

“Yah…” Matt garuk-garuk kepala. Dia berganti fokus padaku dan memilih

mengajakku bicara. “Semoga berhasil.”

Aku mengangguk sekali, “Terimakasih.”

Lalu tak lama, dia berdiri dan berlalu dari ruang tunggu kami, memilih untuk

meninggalkan kami dengan pikiran yang apapun itu.

94 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Urutan kedua sudah selesai sejak lima menit lalu. Sekarang tengah pembacaan

kategori penghargaan „Pendatang Baru Terbaik‟, itupun sudah sampai

„pemenangnya adalah….‟. Berarti sebentar lagi aku akan keluar dari ruangan 6

kali 6 ini.

Tak lama kemudian, suara riuh disusul ucapan terimakasih terdengar.

“Ayo.” Wade mengulurkan tangannya, mengajakku berdiri.

Aku membalas, dan kami masuk ke panggung, bersiap disana. Lalu tak butuh

waktu lama – tepat setelah terdengar : “…Amber Lavigne!!.” – aku langsung

beraksi dengan konsep yang sudah direncanakan. Jangan tanya bagaimana

rasanya. Semua pusing, linu, lemas, hilang seketika. Mendengar suara musik yang

cukup memekakan telingaku, juga riuh rendah penonton yang ikut bernyanyi

bersamaku, membuatku semangat.

***

Arist Records, 10.00 p.m…

“…cukup mengesankan, Am…” Ian berdecak kagum mendengar cerita kami

tentang penampilan kami di acara yang sudah selesai sejak sejam yang lalu itu.

Saat ini, aku, Fredy, Nick, Wade, plus Matt sedang berkumpul di Arist Records

untuk mendiskusikan pembuatan album baru. Tadinya kami akan membicarakan

ini besok saja. Tapi kalau melihat agendaku, aku tidak akan bisa. Besok aku full.

Selain wawancara radio dan langsung tentang kemenanganku di kategori Single

Terbaik dan Penyanyi Punk-Rock Terfavorit, aku juga harus membicarakan soal

kepindahanku dengan Matt dan itu tidak bisa diganggu.Soal seperti ini biasanya

akan memakan waktu.

95 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Hei,” Nick menyela, teringat sesuatu. “Darren sudah menemukan pengganti

dia di band ini?.”

Ian mengangguk membalasnya. “Dia kesini siang tadi dan membawa orang itu.

Namanya Sabio. Orang itu punya selera musik yang cukup bagus, nyaris sama

dengan Darren. Umurnya 24 tahun.”jelasnya.

“Berarti dia sudah bisa ikut proses pembuatan album, ya?.” Aku bertanya.

Ian mengangguk. “Kapan kalian akan memulainya, aku akan bilang pada Sabio

supaya datang dan melakukan perkenalan.”jawabnya.

Bagus kalau begitu…Tambahan orang akan membuat semuanya makin ramai,

dan itu bagus.

Aku mencolek Matt, memintanya mengambilkan kertas lusuh yang kugunakan

untuk mencoret-coret perencanaan pembuatan album keempatku. Aku

memikirkan itu bersama yang lainnya saat perjalanan menuju kemari dari Boston.

Matt memberikan kertas itu padaku.

“Dan soal itu, kami sudah punya konsepnya. Ini intinya.” Aku memberikan

kertas itu pada Ian dan dia membacanya.

“Terdiri dari dua belas lagu… Tinggal delapan lagu lagi… empat lagu yang

sudah ada dibuat dalam versi akustik juga… Video klip langsung dibuat setelah

audionya selesai… Rilis album sekalian tur Internasional…” Ian menggumamkan

poin-poin dari konsep itu dan kami mengangguk mengiyakan.

Tiba-tiba dia mengangkat wajahnya. “ „Tinggal delapan lagu lagi…‟?.”

96 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Ya. Aku rasa kita bisa menggunakan lagu yang sudah Amber ciptakan di

masa menyepinya….”balas Matt. “Sebenarnya dia menciptakan enam lagu. Kita

masukan empat saja. Yang 8 lainnya, kita ciptakan saat proses produksi.”

Aku mengangguk membenarkan. “Aku ingin semuanya selesai dalam dua

bulan. Maksudku dari mulai audio, sampai video klipnya. Setelah agenda besok,

jangan menerima pekerjaan lagi dan biarkan aku menyelesaikan ini.”

Kuutarakan keinginanku pada Ian. Yang dituju hanya mengangguk-angguk.

Separuh setuju-setuju saja, separuhnya lagi menimbang-nimbang.

“Bagaimana?.”tanya Nick meminta konfirmasi. “Tim produksinya samakan

saja seperti album-album yang lalu. Max dan Shellback produser dan pencipta

lagu lain. Semuanya akan lebih cepat kalau dengan orang yang sudah terbiasa.”

Belum sempat Ian membalas, Wade sudah menimpali. “Sabio dibawa pada

hari pertama. Dia akan ikut langsung dalam pembuatan lagu dan video klip,

berinteraksi dengan yang lainnya.”

“Dan soal tur, kami ingin menggunakan bus. Itu per benua.”ucap Fredy,

mengakhiri pengutaraan konsep album hingga tur dari kami semua.

Beberapa detik, tidak ada suara dari Ian. Dia mencoba mengingat semua yang

kami katakan. Tak lama, dia mengangguk paham. “Jadi, tugasku hanya

mengosongkan jadwal kalian hingga dua bulan ke depan untuk pembuatan album

baru dan perencanaan tur…?.”simpulnya tak lama.

Kompak, kami mengangguk.

97 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Baik…” Ian mendengus lelah dan menyandarkan tubuhnya. “Aku mengerti.

Semuanya sudah kuingat dan dipastikan berjalan sesuai dengan yang kalian

inginkan.”

“Benar?.” Wade merasa tidak yakin Ian menerima ide kami begitu saja.

Mungkin saja dia sudah terlalu lelah mendengar keinginan sebanyak dan sekilat

itu….

Ian mengangguk dan memejamkan matanya sejenak. Tak lama, dia membuka

lagi dan terduduk tegak. “Ada lagi yang ingin kalian bicarakan?. Jadwal atau

segala macamnya?.”

Matt menggeleng, “Tidak…” “Cukup segitu saja dulu. Maaf telah

membuatmu lembur…”katanya santai. Dia tergelak dan berdiri, disusul oleh kami.

Lalu setelah beberapa kata penutup, kami berenam keluar dari ruangan Ian dan

pulang ke rumah masing-masing.

Siasat pertama, kedua, berjalan lancar. Tinggal tunggu saja prakteknya….

***

Satu bulan berlalu!. Semuanya berjalan sesuai rencana. Aku dengan album

baruku, kesibukanku, rumah lamaku dengan Matt, dan semuanya yang telah

kurencanakan sejak awal. Sekarang ini, untuk pembuatan album baru, proses

produksi audio sudah selesai dan kami semua sedang dalam masa istirahat

beberapa jam sebelum melanjutkan kegiatan ke teknis pembuatan video klip yang

akan dilaksanakan besok hari.

Selama satu bulan ini, hubungan kami dengan si personil baru itu cukup baik.

Sabio Hernandez namanya. Umur 24 tahun, bisa bermain gitar sejak sekolah

98 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
menengah pertama dan punya kehidupan yang baik-baik saja. Di hari pertama

produksi pun, dia cepat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Saat perekaman,

tak jarang dia memberikan ide-ide bagus untuk laguku ataupun melontarkan

pujian secara langsung dengan cara yang wajar. Intinya Darren membawakan

pengganti yang setimpal untuk kami.

Rencananya, aku memproduseri dua lagu dalam album ini : „Wish We Like

The Last‟ dan „Goodbye‟. Aku pun memberi konsep dan ide cerita dalam kedua

video klip itu. Keduanya lagu yang harus menampilkan diriku dalam keadaan

menangis. Kurasa semuanya akan terasa mudah saja kalau sudah dijalani.

Selain bandku, tidak ketinggalan Max dan Shellback yang memberikan ide

brilian mereka dalam album ini. Baik dari lirik, nada, irama, tempo, maupun dari

sisi konsep video klipnya. Mereka berdua sekalinya serius, akan menghasilkan

karya yang bagus.

Dan…pembuatan video klip itu pun dimulai sehari setelah konsep untuk

agenda itu disepakati.Hari pertama…kedua…hingga selesai 3 video klip dari lima

yang direncanakan untuk dibuat, terasa lancar. Tidak ada hambatan berarti yang

menghalangi kami sekaligus tim produksi video klip untuk menuntaskan ini dalam

satu bulan ke depan yang mana itu tinggal dua minggu lagi dari sekarang. Tiga

video klip yang masing-masing diproduseri Max, Shellback, dan Max, sudah

selesai. Audio pun sudah siap edar dalam keping CD dan 3 video klip itusudah

dalam proses publikasi di YouTube. Dua video yang belum tergarap tinggal yang

diproduseri olehku.

99 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Hari ini, kami sudah berkumpul di lokasi syuting video klip „Wish We Like

The Last‟ dan sedang mengikuti pengarahan oleh sutradara : John Marham. Dia

yang memimpin kami di tiga video klip sebelumnya. Soal konsep sendiri, aku

telah menyampaikannya pada John dan dia setuju. Video klip ini hanya akan

diisi olehku. Settingnya akan dibuat semuram mungkin, sesuai dengan isi lagunya

yang menjelaskan bahwa aku mengenang masa-masa bersama Darren dan lagu itu

yang jelas dipenuhi dengan kata-kata pengandaian dan irama ballad, piano, echo

di transisi antara bridge dan reff. Seperti itulah…. Yang jelas aku ingin tangis

yang akan kutunjukan disini adalah asli. Meski John tidak yakin akan itu, aku

harus menampilkannya demi kepuasan penggemarku.

Setelah semuanya siap, aku diam di posisi awal : yang mana aku duduk di

lantai, memakai gaun hitam, maskara tebal, dan memegang bunga mawar merah

yang layu. Nantinya bunga mawar itu akan kubakar di bagian reff lagu sambil

mengeluarkan tangis itu.

“Siap, Amber!.” John memulai.

Aku mengangguk.

“Action!.”

Setelah mendengar kata itu, aku memulai bagianku, beradegan sesuai dengan

konsep, dengan ekspresi yang diimprovisasi, dan fokus ke totalitas aktingku di

hadapan kamera. Video klip ini hanya menggunakan satu kostum dan satu tempat,

jadi tidak akan memakan waktu lama, aku pikir. Aku mengusahakan video klip ini

hanya diambil dengan sekali waktu saja, tidak ada pengulangan pengambilan

gambar. Waktu yang tersisa nantinya akan dibuat untuk video klip „Goodbye‟ dan

100 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
perencanaan tur Internasionalku yang rencananya akan dilaksanakan sebulan

kemudian, setelah promosi album di Los Angeles.

Saat tiba di bagian pamungkas, aku mengeluarkan semuanya. Perasaan sedih

dan beban yang menumpuk itu kukeluarkan disana dengan ekspresi yang masih

terkontrol. Hening dari tim produksi, tidak ada suara, bukti keseriusan kerja

mereka. Aku senang akan itu.

Lima menit kemudian, terdengar „cut‟ yang ke sekian dari John. Saatnya

pindah set ke kamar yang ada di tempat ini juga…. Dimana aku, dengan bajuku

yang serba kelam ini, akan meringkuk di atas tempat tidur dengan ekspresi

ketakutan dan kesedihan. Tetapi dalam adegan itu, aku sudah tidak menangis, tapi

sisa maskara itu harus terlihat juga. Makanya aku tidak mengusap air mataku atau

melakukan apapun itu yang bisa menghilangkan maskaranya.

Aku bangkit dari posisi adegan terakhir dan tertawa lepas. “Aku tidak percaya

telah melakukan itu!...”seruku setengah terisak, efek dari adegan terakhirku.

Kedua tanganku mengipas-ngipas mataku, berusaha meredakan tangisku sendiri.

Semua kru membalasnya dengan tertawaan, masih sesantai tadi. “Akting yang

hebat, Am.”puji John dari sisiku. Entah kapan dia sudah ada disana….

Aku tertawa mendengarnya. “Terimakasih.”

Di lokasi satunya, bandku telah menunggu bersama Matt. Mereka tengah

mengemil makanan ringan. Nick melambai kepadaku. “Kau mau?.”

Setelah menghampirinya, aku menggeleng. “Sisakan saja. Tanggung.”

Tapi David datang dari sisiku dan mengambil sebungkus dari snack mereka.

Sejenak dia melihat wajahku. “Pertahankan, Am.”

101 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Refleks, tanganku mendorongnya menjauh dari kami, membiarkan dia membawa

snack itu untuk dibagikan kepada kru yang lain. Dia bagian storyline video klip

ini.

Melihatnya, aku, Wade, Nick, Fredy, Sabio, dan Matt hanya bisa menggeleng.

Tak lama, kami kembali ke aktivitas masing-masing. Mereka ke makanan, dan

aku ke video klipku.

10.00 p.m…

Video klip keempat sudah selesai. Saat ini semuanya sudah bersiap untuk

pulang sementara aku melihat hasil kerja kami tadi pada kameramen, ditemani

bandku dan Matt. Meski tidak ikut dalam video klip ini, mereka menungguiku

hingga selesai.

“Aku mau melihat yang bagian reff.”kataku pada Tonny, koordinator

kameramen video klipku.

Tonny memberikan hasil pengambilan gambar pada bagian itu. Videonya

memang disetting untuk diambil dalam jarak cukup dekat supaya penonton bisa

melihat ekspresiku yang sebenarnya. Mencermati hasil pengambilan gambar tadi,

aku tertegun. Begitu…nyata. Segitu nyatanya sampai membuat Sabio mengesah.

Nick menoleh, “Ada apa?.”

“Bagus.. Sangat asli.”jawab Sabio terengah. Suaranya terdengar sesak,

membuatku berpikir dia sampai menangis menyaksikan video klip setengah jadi

ini. Tapi kuacuhkan saja pikiran itu dan menilai semua video hasil kami.

102 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Setelah lima belas menit melihat semuanya, aku tersenyum puas. Tidak ada

yang perlu diulang, semuanya sesuai dengan yang kuinginkan. Hari ini pun kru

bekerja dengan baik, membantu semuanya jadi berjalan dengan lancar.

Tak lama kemudian, semua kru sudah menyelesaikan pengepakan peralatan

studio mereka dan keluar lokasi untuk pulang. Di luar, sebelum aku masuk mobil

bersama Matt, John menegurku.

“Goodbye akan lebih sedih dari ini.”katanya pelan.

Aku mengangguk setuju. “Ya.” “Aku akan membuat mereka menangis… Tenang

saja.”

John tergelak pelan mendengar ucapanku, lalu menepuk bahuku. “Aku percaya

itu…”

Kemudian dia melepaskan tangannya dan pergi bersama kru yang lain, pulang.

Kalau dipikir, ya, memang konsep „Goodbye‟ terbayang lebih menyedihkan

dari ini. Dalam video klip ini, semuanya akan tampil. Secara garis besarnya, lagu

ini bercerita tentang perjalanan karirku yang diwarnai intrik kebersamaanku

dengan Darren dan persahabatan antara aku dan bandku. Tapi secara keseluruhan,

90 persen lagu ini bercerita tentang Darren dan ucapan selamat tinggalku padanya.

Alat musik yang digunakan di lagu ini adalah piano, biola, gitar akustik. Tidak

ada drum atau bass. Yang ada hanya tiga itu dan satu alat yang berfungsi sebagai

pembuat irama. Yang akan memainkannya adalah, Sabio : piano – karena dari

beberapa dialog kami, dia ternyata juga bisa memainkan alat musik satu itu –

Wade : gitar akustik, Nick sebagai pemegang alat ritmis itu, lalu Fredy kebagian

bermain bass.

103 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
***

07.00 a.m…

Syuting video klip terakhir dimulai jam 10 nanti di Brooklyn. Sekarang aku

tengah bersantai sendirian di ruang tengah setelah baru saja selesai mandi sepuluh

menit lalu. Sambil menikmati susu hangat, aku membaca majalah yang ada disana

sebagai cara mengusir kebosanan.

Aku mendengus melihat koleksi majalah di lemari buku Matt. Laki-laki… Aku

membatin melihat kesemua majalah itu yang ternyata majalah otomotif. Akhirnya,

aku memilih untuk keluar, tepat setelah suara tukang pos terdengar. Kubuka kotak

surat di depan rumah Matt dan mengambil semuanya.

Aku masuk dan memilah surat-surat itu. Jumlahnya cukup banyak, sekitar

lima belas surat. Tapi diantara semua itu, ada satu yang membuatku tertarik.

Sebuah undangan pernikahan.

Aku pun membukanya dengan tatapan penasaran. Seketika aku mengerenyit

melihat nama pertama yang kubaca. „Darren Alexander Wyck‟. Ini…undangan

pernikahannya?.

Untuk memastikan, aku membuka undangan itu dan membacanya dengan

teliti.

104 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Undangan Pernikahan

Darren Alexander Wyck

&

Hilton Christine Whibley

Dengan segala hormat, kami sangat mengharapkan kehadiran anda

di acara pernikahan kami yang akan dilaksanakan pada:

Sabtu, 1 Juni 2013

BruneStreet, Distric Valley, Kansas City

08.00 a.m – 10.00 p.m

Yang berbahagia,

Darren & Hilton

Ketika selesai membacanya, aku menatap lurus-lurus undangan itu, seakan tidak

yakin dengan apa yang kuterima. Darren dan Hilton akan menikah seminggu lagi.

Undangan sudah disebar, dan mereka – atau Darren, entahlah – mengundangku.

“Kau mau datang?.” Sebuah suara mengagetkanku. Matt sudah ada di

belakangku, baru habis mandi. Wajahnya biasa saja. Tapi nada ketus dan datar

masih terdengar dari ucapannya.

Aku membuang pandangan ke bawah, berharap pertanyaan itu tidak pernah

diajukan, dan tidak akan berbuntut panjang. Tapi biasanya Matt selalu

membuatnya begitu….

“Aku berharap kau tidak melakukan itu.”gumam Matt datar.

105 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Jadi…” Aku mengangkat wajahku dan memandanginya yang berlalu ke

dapur, membuat sesuatu. “…kau tidak mengizinkanku untuk datang?.”

Dengan posisi yang memunggungiku, Matt mengangkat bahu, berusaha bersikap

acuh padaku kali ini. “Terserah. Dia masalahmu, jadi bukan bagianku.”tukasnya

tidak peduli. “Tapi kalau sampai terjadi apa-apa, aku tidak akan mau bertanggung

jawab.”

106 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“JUST LIKE IN A MILLION TIMES….”

-Darren-

AKU sudah siap dengan tuksedo putih berdasi hitam yang melekat di tubuhku.

Sementara Hilton, dengan gaun putih anggunnya akan muncul dan berjalan diatas

karpet putih yang digunakan untuk menuju kepadaku yang nantinya akan berada

di depan altar. Saat dia tiba di sisiku, kami siap mengucapkan janji pernikahan

kami yang dihadiri oleh kurang lebih 110 tamu undangan.

Tak lama, setelah semuanya siap, aku berdiri di depan altar bersama hakim

pernikahan dan ayahku yang menjadi saksi terdekat. Musik pun mengalun. Lalu,

pengiring pengantin mendekat, di susul Hilton dan ayahnya.

Beberapa saat kemudian, semuanya berlangsung lancar. Kami mengucapkan

janji pernikahan di depan semuanya tanpa terdengar ragu dan gugup, lalu setelah

itu, peresmian oleh hakim pernikahan bahwa kami telah menjadi sepasang suami

istri yang sah menurut agama dan hukum.

Dalam hati, ketika semuanya tersenyum pada kami, aku justru tertegun karena

mencari satu wajah itu dan dia tidak ada sekarang. Amber tidak ada dalam akad

nikahku dan Hilton. Diam-diam aku berharap dia akan datang hari ini.

Bagaimanapun, berkat kebesaran hatinya menandatangani surat cerai itu, aku dan

Hilton bisa resmi menjadi suami-istri.

07.00 p.m…

107 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Kami telah berada di tengah-tengah pesta, menari dengan yang lainnya dalam

musik upbeat. Yang aku lakukan sejak tadi hanya menerima ucapan selamat atas

pernikahan dan menari dengan normal. Awalnya terlihat biasa saja dan nyaris

monoton kalau tidak ada Hilton di sisiku – mungkin pengaruh juga karena aku

pernah seperti ini sebelumnya – tapi tak lama kemudian, aku yang sebelumnya

mengobrol dengan Hilton, jadi terdiam. Sosok yang kutunggu sejak tadi pagi,

akhirnya muncul juga.

Amber berjalan dari pintu masuk dengan gaun krem selututnya, menuju ke

arah kami. Dia terlihat tidak membawa siapa-siapa. Senyumnya mengembang

tanggung, tidak nyaman dengan tatapan penasaran semua tamu yang ada disana.

“Hei…” Amber menyapa kami berdua. “Meriah sekali suasananya…”pujinya

tulus. Dia memandangi Hilton dan meneruskan ucapannya. “Selamat atas semua

ini, Hilton. Aku turut senang.”

“Terimakasih.”balas Hilton seraya tersenyum. “Aku…” Dia memindahkan

tangannya dariku dan menggenggam tangan Amber, “…ingin bicara denganmu.

Kita keluar saja.”

Sesaat, Amber terlihat kebingungan dengan permintaan Hilton. Begitupun aku.

Tanpa bisa bicara lebih, aku hanya menyimak apa yang mereka pikirkan dari

wajah mereka masing-masing. Yang dapat kusimpulkan adalah : hal wajar akan

terjadi.

“Keluar?. Kau yakin?.”tanya Amber ragu.

Hilton mengangguk. “Ya. Aku tahu banyak tatapan tidak mengenakan disini

kepada kita….”

108 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Akhirnya, Amber menerima juga ajakan itu dan keluar bersama Hilton tanpa

menghiraukanku. Mereka berdua menuju selasar rumah di dekat kolam renang

dan terlihat mulai mengobrol dengan posisi yang masih memunggungiku.

-Amber-

ITU keputusan tepat. Dengan sedikit debat bersama Matt, aku pergi juga ke

Kansas, langsung dari Arist Records. Aku pulang lebih dulu daripada yang

lainnya untuk kemari. Saat aku datang, aku menarik nafas. Pestanya masih

berlangsung…

Ketika melihat sepasang pengantin baru itu, aku mengesah, menguatkan diriku

sendiri untuk berlaku secara wajar atas semua ini. Begitupun saat aku masuk,

menyapa mereka, dan mengucapkan selamat pada Hilton. Sungguh aku berharap

bisa keluar dari sini secepatnya. Mata semua tamu tertuju pada pusara kami begitu

aku datang.

Mendengar ajakan Hilton untuk berbicara, diluar, berdua, aku yang awalnya

sempat ragu, akhirnya menerima juga. Kami ke selasar di dekat kolam renang dan

mulai mengobrol.

“Maaf.” Hilton membuka obrolan kami dengan satu kata itu.

Membalasnya, aku tersenyum tanggung. Pandanganku terarah ke kolam renang

yang temaram dan setelah itu, barulah aku menoleh. Melihat langsung, dengan

lebih dekat, wanita yang menjadi perebut suamiku ini. “Ini sama-sama sulit untuk

kita.”kataku akhirnya.

109 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Hilton mengangguk setuju dan bicara lagi. “Terimakasih untuk bersikap dewasa,

Am.” “Jujur…” Dia berdecak dan memalingkan wajahnya ke bawah, tidak

menatapku. “…aku malu. Tidak seharusnya semua ini terjadi. Kalian pasangan

yang serasi.”

Nada penyesalan keluar darinya. Aku tertegun, mencoba bersikap bijak

menghadapi semua ini. Setelah tenggelam dalam kesibukan, nyatanya hanya

butuh satu hari dan satu momen untuk mengembalikan itu semua. Aku menghela

nafas dan membelai tangannya sekilas, “Semuanya sudah terjadi. Sekarang kau

yang bakal mendapat sebutan itu. Kalian baik-baik saja berdua. Dan…” Untuk

memulihkan semuanya, aku tergelak sesaat, “…sudah pasti akan membuat banyak

orang cemburu dengan keserasian kalian ini. Apalagi…” Aku menghentikan

ucapan sejenak dan memandangi perutnya. Sudah nyaris enam bulan.. “…dengan

bayi kecil yang sebentar lagi melengkapi itu semua.”

Ketika mengakhiri kalimat sok tegar itu, aku menarik nafas sekali lagi dan

menunduk dari pandangan Hilton, memandangi perutnya.

“Am?.” Hilton menegurku setelah cukup lama kami terdiam.

“Hm?.” Aku menjawab dengan mata yang tak terfokus padanya.

Akhirnya, tangan Hilton lah yang membuat aku memandangnya lagi dengan

menghadapkan wajahku. Matanya sendiri nyaris berair.

“Tidak takut maskaramu rusak?.”selorohku pada ekspresi terharunya.

Tanpa membalas apa-apa, Hilton menarikku ke balik lehernya, memelukku.

“Terimakasih.”

110 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Masih dalam pelukkannya, aku mengangguk. Dalam hati, aku memutuskan

melaksanakan semua ucapanku tadi. Semuanya, tanpa terkecuali. Dan biasanya itu

akan sangat sulit dibanding yang lalu…

***

Aku tiba tepat pukul 9 malam. Dua jam dengan perjalanan santai, sendiri,

membuatku agak mengantuk. Namun naas, ketika tiba di rumah, Matt belum

pulang. Dia masih di perjalanan, mungkin saja. Untuk memastikan, aku mengirim

pesan singkat pada Matt.

Sender :Amber E. Lavigne 09.02 p.m

Receiver : MattLavigne_New

Aku sudah di rumah. Kau dimana?.

Tak lama, ada balasan darinya.

Sender : MattLavigne_New 09.03 p.m

Receiver : Amber E. Lavigne

Dua blok dekat rumah. Sebentar lagi sampai. Sudah makan?. Aku belikan

dua porsi tacho untuk kita.

Dan aku pun membalas lagi. Balasan persetujuan.

Sender :Amber E. Lavigne 09.04 p.m

Receiver : MattLavigne_New

Belum. Tacho?. Bagus. Aku akan melahapnya. Cepatlah. Aku lapar -_-

111 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Adik kurang ajar… Pasti begitu umpatan Matt. Setelah lama, dia tidak

membalas,aku keluar dari mobil, menunggu di depan rumah karena kunci rumah

ada padanya semua….

Lima menit berlalu, akhirnya kilatan lampu mobil itu muncul juga. Matt

memarkirkan mobilnya di belakang mobilku lalu keluar.

“Sudah lama?.”tanya Matt.

Aku berdiri dan menggeleng. Lalu ketika Matt membuka pintu, kami masuk.

Di dalam, Matt langsung menempatkan tacho itu dan menyajikannya untuk

kami di ruang makan. Aku beranjak dari tempatku yang semula di ruang tengah

dan kesana, makan bersamanya.

Kami mulai makan, dan melanjutkan semuanya dalam diam. Tidak ada suara

dariku, juga Matt. Entah karena dia yang sedang tidak ingin bicara ketika makan,

atau suatu kekesalan tiba-tiba saja muncul dalam kepalanya. Aku tidak tahu pasti

dan tidak akan membuka obrolan sampai Matt membukanya.

Sampai sepuluh menit, kami masih hening. Hingga dia menyelesaikan

makannya, semuanya juga masih sama. Karena tak tahan dengan keheningan ini,

aku akhirnya membuka mulut.

“Kak.”

“Hm?.” Matt menyahut, tapi tidak menoleh.

Aku mencermati nada ucapannya yang acuh dan memberi kesimpulan sendiri

bahwa Matt masih tidak menerima aku datang ke pesta pernikahan Darren. Dia

mengacuhkanku.

112 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Kau masih tidak terima aku memutuskan untuk datang?.”

Tidak ada balasan dari Matt sampai dia berbalik. Aku menunggu kelanjutan

obrolan ini dengan balasan darinya.

“Aku hanya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanmu melihat mantan

suamimu sendiri menikah lagi.”balas Matt geram. Dia berlalu dariku dan ke ruang

teve, menyalakan benda itu. “Belum sampai setahun kalian berpisah.”katanya

lagi, dengan nada yang sedikit ditaikan daripada biasanya.

Kali ini, aku yang tidak dulu membalas ucapannya. Mendengar ucapannya,

aku jadi menanyakan pada diriku sendiri tentang itu. Bagaimana perasaanku?.

Sungguh, aku tidak tahu. Yang aku tahu hanya yang aku lakukan dua jam lalu itu

adalah salah satu langkah melepasnya demi perempuan yang dia cintai.

“…Dan sebagai kakak, aku tidak terima adikku diperlakukan seperti itu :

dipaksa datang ke acara yang jelas bukan tempatmu.” Matt melanjutkan

ocehannya. Tak lama, dia diam, menunggu balasan dariku.

Sebelum melanjutkan perdebatan kami, aku menyelesaikan makanku lalu barulah

menghampirinya di ruang teve. “Itu undangan.”

“Undangan yang bukan untukmu!.”potong Matt ketus. “Berhenti bersikap

tegar, Am. Ayolah… Jangan kira aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan di

acara itu.”

Bukan untukku. Ya. Benar. Tapi tetap saja, itu sebuah undangan dari…seorang

teman. “Aku tidak bicara dengannya di acara itu.” –nya. Darren.

“Dengan istrinya?.” Matt mengeluarkan nada menantang.

113 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku tertunduk, menyerah pada perdebatan ini secara sepihak. “Ya.”akuku pelan.

Lalu, kurebahkan kepalaku di sofa dan memilih untuk tidak melanjutkan lagi

semua pembicaraan berat ini.

Perlahan, kutaikan kaki ke kursi dan mengesah. Rasanya lelah sekali hari ini.

Penuh dengan dia. Penuh dengan kenangan antaraku dengannya dan intuisi-intuisi

tajam Matt dalam perdebatan kami yang membuatku tidak bisa berkata-kata.

Kupejamkan mataku dan berusaha menahan tangis yang akan keluar. Meski tidak

akan banyak, paling tidak Matt bisa mendengar dan menerka itu.

“Kapan kau bisa melupakan semua itu?. Laki-laki itu tidak pantas untukmu,

Am.”gumam Matt merenung. Dia mengganti channel teve yang barusan dia

tonton dan kurasa dia tidak berminat memandangi layar berukuran 32 inchi itu.

Aku juga ingin melupakannya, Kak. Kupejamkan mataku makin dalam. Aku

bisa merasakan mataku berair. Sadar aku telah melakukan kebohongan begitu

besar dengan berlaku tegar. Padahal sebenarnya aku tidak begitu. Di hadapan

bandku, kru, Ian, fans, Hilton, Darren. Aku bersikap baik-baik saja dan berusaha

dewasa dalam menanggapi perasaanku pada nama terakhir itu. Pada akhirnya,

pertahanan diriku runtuh juga dengan gumaman Matt barusan. Aku terisak.

“Besok kita sudah bisa membicarakan tur internasionalmu.”kata Matt

memberitahu. Dia berusaha tidak menghiraukan isakkanku.

Aku tidak bisa membalas dan hanya bisa melanjutkan tangisku dalam geraman

rendah yang menyesakkan karena usaha untuk menghentikan itu. Perlahan, aku

membuka mata dan langsung mengelap air mataku, kemudian berlalu dari Matt.

Ke kamarku.

114 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
***

Kupandangi diriku di cermin. Setelah apa yang kulakukan semalaman, semuanya

terasa berbeda. Aku kembali menangisi semuanya : ketajaman kata-kata Matt,

sekaligus kebenaran dalam kata-kata itu, sampai kekesalan yang memuncak pada

diriku sendiri atas semuanya. Akibatnya, mata pandaku kembali.

Setelah bangun pagi, aku tidak langsung keluar kamar. Aku cuci muka, mandi,

membereskan tempat tidurku dulu – yang semalaman berantakan akibat tidurku

yang tidak nyenyak. Karena kalau tidak, akan jadi pertanyaan untuk Matt,

pastinya..

Tak lama, aku keluar dan turun untuk langsung sarapan. Satu yang aneh disini.

Rumah sangat sepi. Sepertinya Matt sedang keluar. Atau mungkin saja sudah

pergi ke Arist duluan….

Benar saja. Di meja makan, ada sebuah catatan kecil dari Matt.

Aku sudah ke Arist. Sarapan dengan omelet yang sudah kubuatkan. Rapat

dimulai pukul 8, semua sudah kukabarkan.

Aku melirik ke arah jam. 7.50.

Oh, tidak ada waktu untuk sarapan… Tanpa basa-basi lagi, kuambil kunci

mobil dan langsung keluar, berangkat ke Arist Records.

Di ruang rapat, semuanya sudah berkumpul. Matt, Ian, Wade, Nick, Fredy,

dan Sabio. Mereka terlihat sedang berdiskusi sesuatu ketika aku datang. Aku

duduk di sebelah Ian, dihadapan Matt, dan menyela obrolan mereka yang ternyata

tentang dunia balap itu.

115 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Sudah siap untuk membicarakan semuanya?.”

“Oke. Ayo.” Ian menengahi. Dia mengeluarkan catatannya dan dokumentasi

konser yang lalu. “Apa permintaan pertama kalian?.”

“Seperti awal, yang jelas.”jawabku. Yang lainnya berwajah mengiyakan.

Menanggapi gestur kami, Ian mendengus. “Detailnya, kawan-kawan. Seperti

tempat konsernya akan di kota mana saja, menggunakan stadion, lapangan serba

guna atau aula Negara Bagian.”

Tanpa bicara, aku mengambil kertas dan menuliskan hal itu disana sementara

yang lainnyaberdiskusi.

Paradise Island, Victoria, Vancouver… Philadelphia…Caracaz, Lima, Belo

Horizonte, Brazilia…

Lalu kutuliskan kota lainnya, yang kebanyakan kukunjungi di tur album yang lalu.

Amerika, Asia, Eropa… Moscow, Paris, Amsterdam, Cologne,…Manchester.

Kemudian tertulislah sekitar 61 kota yang menjadi tujuan tur album baruku.

Setelah kutuliskan kota-kota itu, aku menggilirkan kertas pada yang lainnya.

“Bagaimana?. Ini kota-kota pilihanku.”

Nick yang mendapat giliran kertas pertama, terlihat berpikir sejenak. Kemudian,

dia mendongak, “Yakin di Brazilia?. Aku pikir Brazil tidak cukup aman untuk

kita.”

“Kalau begitu, ada usulan kota lain?.”sahut Sabio. “Aku pikir Brazil tidak

buruk.”

“Tidak seburuk Kolombia, yang jelas.” Fredy menimpali. “Satu hal yang aku

tidak yakin. Lima?.”

116 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Kau bisa pulang kampung, Fred.”ucap Wade berseloroh.

Tak lama, setelah kalimat pemanasan itu, semuanya menjadi benar-benar

panas. Wajah mereka berubah berpikir tentang kota-kota yang kusodorkan

sekaligus mencari penggantinya. Ada yang tidak setuju di Brazilia, Lima, atau

sebaliknya. Seperti biasa, semuanya akan berakhir dengan persetujuan sepihak

dari Matt, aku, dan Ian. Akhirnya tetap saja mereka yang ikut dengan saranku….

Mendengar ucapan Wade barusan, Fredy mengerutkan dahi. “Bukan begitu. Aku

punya alasan tersendiri kenapa Lima terlihat meragukan.”

“Apa?.”tanyaku di sela-sela perdebatan mereka.

“Tempat, perizinan, kebiasaan warga Lima membawa senjata ke sebuah

konser, tawuran menolak kegiatan yang menurut mereka terlalu menghamburkan

uang, dan yang lainnya.” Fredy menjawab dengan lengkap. Paling tidak,

menurutku.

Dia menyandarkan tubuhnya. “Kecuali kita bisa meyakinkan pihak pemerintah

dan rakyat disana.”sambung Fredy.

“Maka kita harus bisa melakukan itu.” Wade berucap.

“Ya sudah. Begini saja…” Aku menengahi. “Ada usulan kota lain dengan

alasan selain keamanan yang meragukan?.” “Kalau tidak, kita langsung susun saja

berkas perizinannya.”

Dan semuanya menggeleng menjawab ucapanku. “Kami rasa tidak.”

“Kota, sudah selesai. Lalu kalian akan konser dimana persisnya?.” Ian

mengembalikan kami ke topik awal.

117 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Tapi sebelum yang lain membalas ucapannya, aku menyela, “Bisa kalau kau yang

menentukan itu?.”

“Aku?.” Ian menunjuk dirinya sendiri, tidak yakin.

“Ya. Benar, Kau.”sahut Matt. “Kupikir lebih baik seperti ini : kau yang

menentukan tempatnya, kami yang menyiapkan detailnya.”

Pelan, Ian coba memahami saran Matt barusan. Masih dengan wajah yang

merengut, dia mendengus pelan. “Ya… Ya sudah kalau begitu…. –”

Baik, bagus. Aku rasa setelah ini tidak perlu ada pertemuan lagi selain untuk

memastikan tentang konsernya. Aku dan bandku dengan detail penampilan kami,

dan Ian dengan perizinan dan tempatnya. Sejenak aku berpikir, untung saja Ian

mudah disuruh-suruh… Jadi tidak akan sesulit sebelumnya.

“Ya, jadi sudah jelas semuanya.” Matt berkata lagi. Lalu dia mengambil kertas

HVS dan menuliskan list persiapan secara garis besarnya. “Kota sudah…detail,

Amber dan bandnya yang mengurus, perizinan dan tempat konser, Ian.” Matt

memandang ke kami semua, “Tentukan pelaporan persiapannya. Mau satu bulan

atau dua bulan setelah ini kalian menyelesaikan bagian kalian?.”

“Satu bulan.”tembakku langsung, setelah memikirkan semuanya.

Mendengar jawabanku, Ian tersentak. Setengah terkaget, dia menoleh padaku.

“Kau bercanda... Tidak mungkin sebulan ke 61 kota, Am.”

“Apa gunanya kau punya kru, Ian?.” Fredy menimpali dengan santai. “Aku

rasa satu bulan juga lebih dari cukup.”

Nick mengangguk sekali, membenarkan ucapan Fredy barusan. Kemudian dia

menoleh pada Ian. “Kami akan bereskan detailnya dari mulai lagu, arransement

118 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
musik, kostum, alat musik yang akan digunakan, rincian band cadangan, dan

susunan acara dalam masing-masing konser. Setelah satu bulan, kita bertemu lagi

dan memastikan tanggal agar kau bisa memberitahukan pihak promotor di

masing-masing kota.”

“Ya. Tidak usah kembali ke kota-kota itu. Cukup membuat janji, untuk

kepastian kau akan menghubungi mereka lewat e-mail.” Wade menutup rincian

tugas kami masing-masing. Penjelasan mereka barusan sudah satu kepala

denganku. Bagusnya adalah aku tidak perlu menjelaskan ulang tentang semua ini

pada Ian. Dia pasti sudah bisa mengerti apa yang kami inginkan.

Setelah selesai penjelasan dari kami, Ian mendadak termenung, seperti

memikirkan hal lain. “Tunggu, bagaimana dengan promosi album baru kalian di

Los Angeles?. Perlu diadakankah itu?. Dan penjualan lagunya di I-Tunes

bagaimana?.”

Oh, ya… Aku lupa hal satu itu. Memang setiap keluar album baru kami selalu

melakukan promosi kecil-kecilan di Los Angeles dan mempersiapkan list lagu dan

daftar harganya untuk dijual di I-Tunes.

“Kita tentukan sekarang saja.” Sabio menjawab. “Dan aku pikir, kalau untuk

promosi di Los Angeles, kita bisa menggunakan jadwal talkshow Amber, dan

konser-konser kecil. Hanya sekedar publikasi saja sifatnya, iya kan?.” Dia

menyampaikan pikirannya atas pertanyaan Ian.

Dalam hati, aku membenarkan ucapannya. “Ya aku setuju. Tapi aku rasa jangan

terlalu lama.”kataku pada Ian.

“Berapa minggu?.”tanya Ian membalas.

119 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Satu bulan.”putus Matt tak lama. “Kita promo satu bulan dalam jadwal

kegiatan yang Amber punya, lalu langsung fokus ke tur internasional.”

Satu bulan?. Oke, baiklah. Lagipula itu tidak akan lama… “Tur sudah, promosi

dalam kota sudah, sekarang I-Tunes.”

“I-Tunes.” Ian mengiyakan dan membalikan kertasnya ke lembar yang baru.

“Berapa harga yang ingin kalian tetapkan?.”

120 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“A CORNER OF THE HEART”

-Chad-

TUR Internasional kesekianku, mungkin. Hari ini, aku dan bandku tiba di

Paradise Island. Kota ini adalah kota ketiga terakhir dalam tur Internasionalku

sebelum Boston dan Kansas. Kami baru akan memulai konsernya besok.

Sementara hari ini, kami akan sibuk menghadiri acara di radio lokal dan

pengecekan suara di tempat konser.

Dalam konser yang berdurasi dua jam ini, aku dan bandku, Neckredback, akan

membawakan sepuluh lagu dari album kelima kami. Dipastikan, semuanya akan

berjalan sempurna untuk Paradise Island.

Karena pemikiran itu, aku tersenyum, memandangi keramaian jalan yang

menyambut busku ke tempat konser. Banyak penggemar yang membawa poster

Neckredback, seolah meminta kami untuk turun dan menandatangani poster-

poster itu.

Tak lama kemudian, bus berbelok, masuk ke sebuah auditorium besar : Pasific

Grand Hall. Dari sisiku, Mike : adikku sekaligus bassist dalam band ini,

menyenggolku. “Kira-kira akan berlangsung seperti apa konser kita besok, ya?.”

Aku tergelak sesaat menanggapi pertanyaannya, “Sesuai rencana, yang pasti.”

“Asal jangan salah lirik saja, Chad…”seloroh Daniel, gitaris band ini seraya

lewat sambil memengang sekaleng soda yang sudah kosong. “Paradise Island kota

yang ramah. Dari tahun ke tahun kita selalu konser disini dan semuanya

berlangsung baik-baik saja.”

121 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Dalam diam, aku membenarkan ucapan Daniel barusan. Tapi sebenarnya dibalik

sambutan yang besar itu, aku suka kasihan jika melihat penonton paling depan

terdesak, tertekan ke pagar pembatas. Yah, semoga saja besok malam tidak

begitu….

“Kawan-kawan!.” Tiba-tiba sebuah suara menyahut dari pintu, memanggil

kami semua. Suara dari Joey, manajer kami. Membalasnya, kami menoleh.

“Jangan ada yang keluar malam ini. Dipastikan, jalan-jalan utamaakan macet

oleh penonton konser.” Dia memberitahu. Yang jadi pertanyaan adalah : Penonton

konser siapa?.

Wilem, drummer band ini, yang baru masuk ke pusara kami, mengomentari

ucapan Joey dengan pertanyaan persis seperti yang kupikirkan. “Siapa?. Kita?.”

Joey menggeleng menjawabnya. “Bukan. Amber Lavigne. Dia menggelar konser

malam ini di Atlantis Grand Ballroom.”

“Oh?. Lavigne?. Konser apa?.” Daniel bertanya dengan penasaran.

“Konser album keempatnya. Besok dia akan pergi lagi ke kota

selanjutnya.”jawab Joey.

“Kau masih ingat waktu lagu dan albumnya mengalahkan kita di Grammy

Award 2002?.” Mike berkata padaku, membuatku mengingat-ingat siapa

sebenarnya si-Amber Lavigne itu.

“Teruskan saja obrolan kalian.”kata Joey menyela. “Aku tunggu kalian di

panggung. Kita pengecekan suara dan kru dulu, baru setelah itu ke radio Paradise

Island.”

122 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Ya, sudah sana.” Wilem mengiyakan, mempersilahkan Joey pergi dari

hadapan kami. Lalu, kami kembali melanjutkan obrolan yang terlanjur mengarah

ke memoriku tentang Grammy Award 2002.

Saat itu, Grammy digelar di tempat keramatnya, yaitu Staples Centre.

Kategori Lagu Terbaik Tahun ini diisi oleh Neckredback dengan single

„Someday‟, Amber Lavigne dengan single „Punk Boy‟, Marilyn Mason dengan

single „Love is Shit‟, dan Sum14 dengan single „In Too Deep‟. Pembawa kategori

ini adalah dua orang legendaris dalam dunia musik, yaitu Jeremine – seorang

penyanyi solo pria tahun 80-an, dan Houston – penyanyi wanita yang memenangi

kategori lagu terbaik di Grammy Award sebelumnya.

“…dan pemenang kategori „Lagu Terbaik Tahun Ini‟ adalah…” Jeremine

ancang-ancang menyebutkan siapa pemenang kategori ini.

“Amber Lavigne – Punk Boy!!.”

Mendengar nama dan lagu itu, aku mengerenyit dari kursiku dan mengangkat

wajah, melihat seperti apa seorang Amber Lavigne. Sekilas melihatnya, aku

langsung tertegun. Seorang pemenang Grammy Award masih SMU?... Setidaknya

itulah yang aku pikirkan saat itu melihat ukuran badan Amber yang memang

dibawah rata-rata tinggi perempuan Amerika.

“…percaya atau tidak, dia masih 17 tahun.”kata Joey memberitahu saat itu.

“Tapi aku telah menyaksikan video klip dan mendengarkan lagunya. Aku pikir dia

layak.”

123 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Dibanding band kita, begitu?.” Daniel berceletuk. Tapi celetukannya itu tidak

ditanggapi yang lain karena Amber di atas panggung sana sudah memulai ucapan

terimakasihnya.

“Oh.. ya… Ini sungguh tidak bisa dipercaya. Maksudku, ini penghargaan

pertamaku.” Amber tergelak sejenak. “Kalau ada yang ingin tampar aku, lakukan

saja sekarang.”

Semua audience tergelak oleh ocehan perempuan yang sepuluh tahun lebih muda

dariku itu.

“Untuk bandku, label, orangtuaku, dan semuanya. Terimakasih.”tutup Amber

terhadap ucapan terimakasihnya. Tak lama, dia turun dari panggung dan kembali

duduk di kursinya.

“Aku dengar dia baru saja bercerai dengan suaminya.” Ucapan Wilem barusan

mengembalikanku ke masa sekarang. Aku mengerenyit mendengarnya sembari

berpikir tentang sesuatu. Aku 34, berarti Amber baru 24 tahun… Kenapa dia

bercerai di umur yang begitu mudanya?.

“Kenapa?.” Pertanyaan itu terlontar oleh Daniel. “Aku kira dia belum

menikah…”

“Kau tahu Hilton Christine Whibley?.”tanya Wilem balik.

Kami semua kompak mengangguk.

“Darren berselingkuh dengan wanita itu. Lalu melangsungkan pernikahan

kurang lebih satu setengah bulan yang lalu.” Wilem menjawab. Namun kami

menanggapinya dengan menyeringai, tidak menyangka dia memperhatikan kabar

itu.

124 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Wilem menangkap ekspresi kami yang terkesan meledek dan langsung

memandangi kami balik dengan heran. “Ada yang salah dengan seorang pria yang

memperhatikan berita selebritis?.”

“Tidak…” Aku membalas dan berdiri. “Hanya…aneh saja…” “Ayo cek suara.

Kru sudah menunggu kita di panggung.”

Dan seketika, bus itu kosong, tanpa seorang pun di dalamnya.

-Amber-

SATU setengah bulan, dan aku telah berhasil melaksanakan konser promo

albumku di 20 kota. Pagi ini, dari Caracaz, aku berangkat ke Lima. Disana, sesuai

perencanaan awal, aku dan bandku akan ada selama dua hari untuk kemudian

langsung ke Santiago, lalu melakukan perjalanan panjang dengan bus ke Buenos

Aires. Setelah itu penjelajahan di Amerika Selatan ke kota terakhir dalam tur

Amerika leg pertamaku, yaitu Belo Horizonte, Brazil. Tur Internasionalku ini

diagendakan baru akan selesai di bulan Februari tahun depan. Lalu dilanjutkan

dengan konser di Jepang pada bulan Maret, dan setelah itu aku bisa berlibur, full

dalam bulan April.

Sepanjang tur yang baru berjalan belum sampai setengahnya ini, aku

menemukan banyak kegilaan, keasyikan, dan kesenangan. Entah saat cek suara,

wawancara di radio, ataupun sesi foto di majalah lokal.

Satu hal kebetulan yang kutemukan di turku kali ini. Saat tur di Paradise

Island sebulan lalu, ternyata ada juga yang melakukan tur Internasionalnya disana

selain aku. Neckredback, grup band punk-rock asal Hanna Alberta, juga

125 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
melakukan turnya disana. Untung saja tidak bersamaan. Kalau iya, bisa-bisa

Paradise Island terbagi menjadi dua kelompok : kelompok Amber dan

Neckredback….

Saat ini, ditempatku sekarang, aku tengah memandangi hasil dokumentasi

acara di sebuah kamera DSLR. Mengingat setiap detailnya, aku jadi tersenyum

sendiri. Terutama saat melihat foto fansku. Ada yang menangis karena sesak, ada

pula yang tidak peduli tubuhnya terdesak oleh lautan manusia yang lain karena

terlalu menghayati lagunya. Mereka semua begitu…menakjubkan, aku pikir.

“Hei.” Sebuah suara menyapaku.

Aku mengangkat wajah. Wade. “Hai.”

Dia tersenyum sekilas dan memandangi layar kamera itu. “Merasa perlu ada

perubahan di detail konser nanti?.”

“Aku rasa tidak…” Aku membalas.

“Menghadap ke kamera!.”seru Nick tiba-tiba. Dia masuk ke ruanganku dan

membawa handycam, membuatku dan Wade menoleh, persis ke arahnya. “Matt

bilang, harus didokumentasikan.”katanya lagi. Dia mendekatiku dan Wade,

“Bagaimana kesan kalian sebagai pasangan baru?.”

Hah?. Dia menanyakan pertanyaan yang sama sekali tidak ada sangkut

pautnya dengan tur internasionalku.

“Aku rasa itu bukan pertanyaan tepat.”jawab Wade dalam senyum. “Seperti

yang kau tahu, dia belum mau membuka hati.”selorohnya kemudian, membuatku

nyaris memukulkan kamera DSLR yang sedang aku pegang ini ke kepalanya.

Aku menoleh padanya dan memandanginya heran. “Oh, ayolah….”

126 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Ya. Aku tahu. Sebenarnya kalian sama-sama suka, kan?.”tembak Nick

langsung.

Tanpa bisa ditahan lagi, aku menutup lensa handycamnya, “Diam.”

“Ternyata benar?.” Nick malah menimpali lagi dengan bercanda. “Aku akan

umumkan ini ke semua kru.”

Mendengar ucapannya, aku mendelik, “Nick??.”

“Apa?.”“Katakan saja itu benar, kan?.” Nick tetap dengan intuisinya. “Dan

aku tidak bercanda.”

Wade menyahuti ucapan itu dengan melemparkan senyuman padaku.

Senyumannya terasa aneh karena begitu…intens.

Mengenyahkan pikiran itu, aku akhirnya melangkah keluar dari ruangan ini tanpa

memedulikan ocehan mereka. “Terserah.”

“Oke, terserah, ya?. Berarti itu benar!.” Nick menyahut dari dalam. Kalau saja

ada headset di sakuku aku pasti akan langsung memakainya….

***

“Baiklah, aku buka wawancara di LimaoFM, 102,3 radio musik masa kini.

Selamat sore teman-teman para pendengar semua.” Hernanes memulai siarannya

sore ini. Aku sendiri telah ada dihadapannya untuk siap diwawancara. Kali ini,

aku tidak bersama bandku. Mereka sedang cek suara di tempat konser : Explanada

del Monumental.

“Kembali lagi bersamaku, Hernanes. Seperti yang aku janjikan kemarin, akan

ada tamu istimewa dalam siaranku kali ini. Mari kita sambut, Amber Lavigne!..”

“Terimakasih sudah mengundangku kemari.” Aku membalas dengan renyah.

127 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Oke, Amber. Selamat datang.”ucap Hernanes padaku. “Kita akan bercuap-

cuap disini selama dua jam ke depan. Kenapa lama?. Karena akan ada sesi

istimewa dalam siaranku kali ini. Satu jam untuk tanya jawab antara kau dan

penggemar, dan satu jamnya lagi, baru denganku.” Dia menjelaskan alur

agendaku di radio ini.

“Oke. Ayo kita mulai saja.” Aku setuju pada penjelasan Hernanes.

Dia langsung mengeluarkan kertas lembarnya sambil berkata kepada penggemar.

“Baik. Kalian dengar sendiri Amber telah setuju. Aku membuka line telepon ke

radio ini mulai sekarang. Kalian bisa menghubungi kami di nomor 3628291921.

Akan kuangkat langsung.”

Tak lama kemudian, telepon masuk. “Halo?. LimaoFM disini.” Hernanes

menyambut. Dan kutebak, dia akan berucap sama sepanjang satu jam ini pada

penelepon di siarannya….

“Mm, ya, halo juga…” Sebuah suara, perempuan, menjawab. “Aku mau

dengar….” Dia terdengar tidak bisa melanjutkan ucapannya. Aku tebak,

kelanjutannya adalah : suara Amber.

Aku pun langsung berucap, membalas ucapan terpotongnya tadi. “Amber Lavigne

disini. Siapa namamu?.”

Tiba-tiba suara itu berteriak senang. “Amber!.” Dia berseru. “Selamat datang

di Lima!. Aku Irana.”

“Terimakasih, Irana. Aku sangat senang bisa konser di kota ini lagi.”jawabku

sambil tersenyum.

128 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Aku ingin tahu mengenai sesuatu…”kata Irana. Suaranya memelan, tidak

seperti tadi.

“Apa itu?.”

“Mm…benarkah kau datang ke…pernikahan suamimu?. Maaf jika lancang.”

Nada berucap Irana meragu saat mengutarakan pertanyaan itu. Lagipula

ucapannya juga salah total.. harusnya „mantan suamimu‟ bukan „suamimu‟….

Aku tergelak mendengarnya. “Ya. Aku datang.”jawabku santai. “Meriah sekali

suasananya. Kau akan iri dengan temanya, yang pasti. Begitu putih.”

Tertawaan rendah terdengar dari Irana. “Seandainya orang biasa diundang, Am..”

“Heh, ya. Benar juga.”balasku seraya tertawa. “Semuanya seperti reuniku dan

Darren. Malam itu, aku jugabicara dengan istrinya.”

“Apa yang dia katakan?.”tanya Irana tanpa menunggu kelanjutan ucapanku.

“Kau tahu apa itu…”balasku renyah, “Tapi semuanya menjadi jelas pada

malam itu.”

Lalu tak lama, sekitar di lima menit selanjutnya, Irana menanyakan soal

album, tur, single, intinya seputaran dunia musik. Setelah itu, sesinya selesai,

berlanjut ke penelepon lain.

-Chad-

SATU bulan kemudian, Los Angeles, 04.00 p.m…

Banyak yang bisa kulakukan setelah menyelesaikan turku. Tepat kemarin lusa aku

tiba di rumah dan hari ini, aku akan membereskan rumahku. Semuanya terlihat

129 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
baik-baik saja, rapi. Namun berdebu. Diam-diam aku menggerutu sendiri

memandangi ruang tamu rumah sambil berkacak pinggang.

Bagaimana aku membereskan ini semua?. Itulah yang terlintas di pikiranku.

Akhirnya hal pertama yang kulakukan adalah menyalakan televise, lalu barulah

mengambil alat-alat kebersihan di dapur. Dengan ancang-ancang, aku

menyingsingkan lengan baju dan memulai kegiatan bersih-bersih ini.

Satu jam berlalu. Semuanya sudah terlihat lebih bersih. Debu di lantai hilang

karena sudah disapu, dipel, debu yang di perkakas rumah juga hilang dengan

kemoceng. Sekarang tinggal memasak makanan untuk makan malamku.

Teve masih menyala, dan memang tidak kumatikan sejak tadi. Channel BBC

Music yang tadinya menayangkan programnya sendiri, kini berganti program ke

tayangan ulang turAmber Lavigne di Lima. Tur „The Goin Away‟. Saat ini

tayangan itu menampilkan wawancara Amber di salah satu radio lokalLima.

“…ya, terakhir kali aku kesini di konser amal. Itu pun sudah dua tahun yang

lalu. Jadi aku pikir, Lima kota yang tepat untuk jadi pilihan dalam turku. Aku

rindu kota ini.” Amber menjawab dengan santai. Di hadapannya, Hernanes,

penanyanya, mengangguk-angguk mengerti. Tapi kemudian, dia mengerenyit

sejenak dan melirik Amber dengan ragu, “Hm, aku tidak yakin akan menanyakan

ini, tapi pertanyaan ini termasuk salah satu pertanyaan terfavorit di polling

website kami.”

130 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Tanyakan saja.”kata Amber membalas, masih santai. Tapi sangat jelas

terlihat olehku, raut wajahnya menampakan kekhawatiran dan berusaha

menenangkan dirinya sendiri.

“Oke…” “Ini pertanyaan dari Nicole dan disukai oleh 70 persen pemilih daftar

pertanyaan di website kami. Pertanyaannya adalah : Kapan kau akan menikah

lagi?. Yah, seperti yang kita semua tahu, mantan suamimu sudah menikah lagi.

Bagaimana denganmu?.” Setelah selesai mengutarakan pertanyaan itu, Hernanes

memandangi Amber hati-hati, bersiap mengendalikan suasana kalau seandainya

Amber tidak mau menjawab pertanyaan yang sebenarnya kelewat pribadi itu. Aku

sendiri begitu mendengar pertanyaannya langsung mengerenyit. Bagaimana bisa

pihak radio membiarkan pertanyaan sepribadi itu diungkapkan?. Tapi aku tetap

meneruskan kegiatan memasakku sambil menonton acara itu.

Ketika aku memotong ayam filet, Amber berucap dari layar sana, menjawab

pertanyaan yang diutarakan Hernanes, “Hm… jujur saja, aku belum berpikir

mengenai itu. Aku masih fokus ke karir. Sekarang pun tur saja belum

kuselesaikan…–”

“Berarti kalau sudah menyelesaikan turmu, kau akan kembali mencari

pasangan?.” Hernanes memotong, separuh ekspresinya lega dengan tanggapan

Amber yang biasa saja.

Membalasnya Amber tergelak, “Hei, tidak begitu…” “Aku lebih memilih

menunggu. Bukannya mencari.” “Karena, kau tahu?, apa yang terjadi pada masa

lalu – apalagi hal indah – sulit dilupakan. Aku masih butuh waktu untuk itu.

131 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Semuanya tidak semudah yang kau kira. Kau bisa menerkanya lewat lagu-lagu di

album keempatku ini.”

Dalam diam, aku menyeringai. Masih sempat-sempatnya dia mempromosikan

album keempatnya ditengah pertanyaan pribadi itu….

Hernanes tertawa mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Amber. Setelah

tawanya mereda, dia baru berucap lagi. “Apa usaha yang kau ingin dan sudah

lakukan untuk – kau tahu – melupakan semua hal indah itu?.” Dia memberikan

penekanan pada kata „indah‟….

“Hmm… Album baru, tur, promosi kesana kemari….”jawab Amber. “Aku

terpikir satu hal lain, sebenarnya. Yaitu membuat sebuah badan amal. Tapi belum

kupikirkan matang-matang. Masih menunggu turku selesai, barulah aku akan

membicarakan ini dengan manajerku…”

“Oke, Lima akan menunggu ucapanmu yang satu itu terealisasikan..”

Hernanes berseloroh. Dia mengambil posisi santai dan melipat tangan di dada.

“Dalam album ini, Am, apakah ada sebuah lagu khusus yang kau persembahkan

untuk Darren?.” Seketika, suaranya berubah serius.

Menjawabnya, Amber mengangguk. “Ada. „Goodbye‟, judulnya.” “Lagu itu berisi

tentang Darren dari sudut pandangku.”

“Boleh kau menyanyikan lagu itu untuk penggemarmu disini?.”

“Sedikit saja ya?.”

Hernanes mengangguk. “Silahkan.”

Tepat setelah satu tarikan nafas, Amber mulai menyanyikan lagunya.

There was so many times, we spent together

132 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
There was so many moments, that we belong each other

But now, I have to say goodbye

Now, I have to say goodbye…

Lalu, selesai. Jujur, saat dia mulai menyanyikan lagu itu, aku memasang ekspresi

menyimak karena tidak yakin akan pendengaranku sendiri yang mengatakan

Amber kembali teringat dengan semua momen indah itu.

“Oh…terdengar sangat sedih…”komentar Hernanes. “Bagian mananya itu?.”

“Verse.” Amber menjawab. Sesaat, ekspresinya tidak bisa bohong bahwa dia

sudah tidak konsentrasi lagi pada siaran ini setelah menyanyikan lagu itu.

“Sangat bagus.” Hernanes berkomentar. “Lima menunggumu membawakan

lagu itu di konser nanti. Terimakasih Amber atas waktunya. Semoga sukses

menyelesaikan turnya, promo, dan kegiatanmu yang lain. Selamat atas musikmu,

karirmu, dan semuanya.” Tak lama dari itu, dia memberikan ucapan penutup…

“Ya. Sama-sama.” “Aku harap Lima tidak bosan selalu dikunjungiku dalam

konser.” Amber bersoloroh. “Terimakasih kawan-kawan, semuanya.”

Dan kemudian, acara itu berganti menjadi liputan konser The Goin Away

Tour. Setelah makanan siap, aku ke ruang teve, makan disana dan mengganti

channel BBC Music ke berita. Sejenak, aku berpikir. Menggelayut rasa penasaran

dan tidak percaya tentang sosok dan kepribadian seorang Amber Lavigne. Dalam

hatiku terbesit, kalau sampai dia menawariku kesempatan untuk kerjasama, aku

tidak akan melewatkannya. Bukan bermaksud apa-apa. Hanya aku ingin tahu ;

apakah benar seorang Amber setegar dan sebijak itu?.

133 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Mengenyahkan pikiran itu, aku memulai makanku dan tidak memedulikan lagi

semua intuisi rumit di dalam kepalaku.

-Amber-

THE Goin Away Tour,Kuala Lumpur, Malaysia,18 Februari 2014…

Hari terakhir tur internasionalku. Hari ini aku akan berada di sebuah gedung serba

guna untuk menggelar konser kecil sambil jumpa fans juga. Lalu setelah itu

barulah pulang ke Los Angeles untuk langsung mempersiapkan konser Jepang-ku

di bulan Maret nanti.

Sama seperti konser besarnya, konser ini dihadiri penggemar yang mempunyai

tiket. Tapi jumlahnya dibatasi karena ketersediaan tempat. Tempat serbaguna ini

adalah sebuah hall olahraga kota Kuala Lumpur dan gedung ini hanya bisa

menampung sekitar 400-500 orang.

Setelah tadi siang berlatih, malam ini, pukul 6, aku memulai penampilanku

dan membukanya dengan lagu pertamaku : Punk Boy. Konser kecil dan jumpa

fans ini direncakan akanberakhir pada pukul delapan malam.

Seperti biasa, semua orang menyanyikan laguku dengan kompak. Dan saat

aku tiba di lagu pamukas, yaitu „Wish We Like The Last‟ dan „Goodbye‟, mereka

mengangkat tangan dan melambai-lambaikannya diudara, membuat suasana lagu

ini yang tadinya sedih dan penuh pengandaian, menjadi tenang, damai. Aku ikut

tersenyum menyadari itu.

“…Siapkan atribut Lavigne terbaik milik kalian. Aku akan

menandatanganinya lima belas menit lagi disini.”kataku setelah lagu keempat dari

134 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
terakhir dinyanyikan. Mereka cepat mengeluarkan benda yang bertemakan aku.

Entah itu poster, cover cd, album, atau baju yang bersablon aku. Lalu tak lama

setelah itu, kulanjutkan penampilanku ke lagu ketiga terakhir. Tinggal tiga lagu

lagi menuju jumpa fans.

Mereka berbaris dengan tenang dan tanpa berdesakan. Aku menandatangani

benda yang mereka bawa satu per satu dengan sabar dan sembari mengajak

mereka mengobrol sejenak. Dari mulai menanyakan tentang nama, umur, sejak

kapan mulai menyukai laguku, dan yang lainnya. Dan jawaban mereka

bermacam-macam, namun bernada positif sejauh ini.

Tiba di sepuluh orang terakhir. Bandku dan Matt yang duduk di sisiku nyaris

menghela nafas bersamaan denganku karena tahu sebentar lagi semuanya akan

selesai dan kami bisa pulang ke rumah.

Satu persatu kutanda tangani dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Tapi

menjelang lima terakhir, aku mengerenyit, memandang ke orang yang berada di

urutan paling akhir. Perempuan.Dia seperti berada di atas…kursi roda.

Entahlah….

Ketika giliran orang itu tiba, aku terhenyak memandangnya. Harusnya dia

yang ada di urutan pertama, bukannya terakhir dari 500 orang normal yang ada

disini….

“Hei…” Aku menyapanya, melemparkan tatapan simpatik.

Dia tersenyum dan menyodorkan poster, lalu cd album keempatku. “Aku

mendapatkannya dari temanku di Amerika.”katanya memberitahu.

135 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Menanggapi ucapannya, aku mengangguk paham dan menandatangani poster, lalu

cd itu. Tak lama, aku mengangkat wajah. “Siapa namamu?.”

“Rosa.” Perempuan bernama Rosa itu menjawab dengan manis. “Dan ini…”

Dia memegang tangan pria yang mendorong kursi rodanya. “…Aidan,

tunanganku.”

Melihat begitu manisnya Rosa tersenyum, membanggakan laki-laki normal yang

ada di belakangnya itu, aku tertarik untuk menyambung obrolan kami dengan

mereka berdua, membuat jam pulang kami akan lebih lama dari biasanya.

“Manis sekali..”komentarku pada mereka.

“Terimakasih.” Aidan menjawab dengan senyum. “Rosa sangat

mengidolakanmu. Dan tidak ada alasan untuk tidak mengantarnya kemari

meskipun kami terlambat sehingga berdiri di urutan paling akhir.”jelasnya

kemudian.

“Seharusnya ada pengecualian untuk kalian.” Wade berkata, menyambung

obrolan kami.

Aidan tertawa sejenak menjawab ucapan Wade. Lalu dia pun membalas, “Rosa

selalu ingin bersikap dan diperlakukan selayaknya manusia normal. Dia tidak

akan mau dibeda-bedakan…”

Rosa membenarkan dengan anggukan. “Ya…” “Sayangnya ini hari terakhirmu di

Kuala Lumpur. Kalau tidak, kau sepertinya harus lihat apa yang terjadi di yayasan

Hamidi. Disana banyak hal luar biasa.”

“Seperti apa disana?.”tanyaku antusias. Diam-diam, di kepalaku mulai

terbentuk kegiatan yang Rosa lakukan disana bersama teman-temannya yang lain.

136 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Penderita kekurangan fisik berprestasi.”jawab Rosa. “Bahkan anak

bimbinganku meraih juara pertama lomba merakit robot se-Malaysia.” Dia

menjelaskan dengan sama antusiasnya. Dan ternyata, anggapanku bahwa itu

adalah yayasan tempat Rosa ditampung, adalah salah besar. Rosa justru menjadi

pengajar disana kepada sesama penderita kekurangan fisik. Sekali lagi, aku

bingung harus membalas apa. Hanya memandangi Rosa dengan pandangan yang

berubah takjub.

Tapi sebelum aku keburu kehilangan kata-kata, kulanjutkan obrolan kami

dengan pertanyaan ke hal yang lebih ringan. Yaitu soal Rosa dan Aidan lalu apa

saja hal yang sudah terjadi diantara mereka.

Untuk mewajarkan suasana, aku melirik sejenak cincin pertunangan mereka

yang melingkar di jari manis Rosa. “Sejak kapan kalian bertunangan?.”tanyaku

setelah mengangkat wajah.

“Setahun lalu.”jawab Aidan. “Awalnya aku adalah dokter pribadi Rosa.”

Kemudian, nada mengenang keluar dari ucapannya.

Dari sisiku, Sabio memajukan tubuhnya, ikut tertarik dengan sesi jumpa fans

tambahan ini. “Nampaknya menarik untuk diceritakan..” Dia berkomentar seraya

tersenyum.

“Kalau kalian punya cukup waktu…” Rosa menyahut dengan santai. “Dan

kebetulan juga, kami harus segera pulang karena sebentar lagi orangtua kami

masing-masing akan menelepon.”

“Oh..baiklah.” Aku sedikit mencelos dengan kenyataan kami tidak bisa

mengobrol lebih lama lagi. “Terimakasih sudah datang hari ini.”

137 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Sama-sama.” Rosa membalas. “Terimakasih juga untuk obrolannya, Amber

dan semuanya.”

Sebelum Rosa berlalu, aku mengangguk dalam senyum. Kemudian,

memandanginya pergi bersama Aidan ke pintu keluar.

***

Penerbangan kesekianku dari tempat tur menuju rumah. Tapi kali ini, ada

perasaan lain yang menyisip dalam benakku selain euporia kota Kuala Lumpur :

yaitu tentang perencanaan pembuatan badan amal yang nantinya akan bernama

„The Amber Lavigne Foundation‟. Setelah melihat Rosa dan apa yang dia lakukan

dalam hidupnya juga hidup orang lain, aku jadi tergerak untuk berbuat lebih

kepada semua orang selain membuat mereka bahagia dengan lagu-laguku.

Kupandangi jendela pesawat dan menuliskan sesuatu di kacanya yang mulai

berembun itu.

“Kau memikirkan sesuatu?.” Matt berkata dari sisiku. Dia sendiri baru saja

selesai menghabiskan makanan yang disediakan pesawat.

Sesaat aku mengesah kemudian menoleh padanya, “Aku ingin membuat badan

amal.”

Begitu mendengar balasanku, Matt mendengus sabar. Aku langsung tahu dia tidak

bisa janji akan mendukungku penuh dalam bidang ini. “Amber…” Benar…

“Kak.” Aku memotong ucapannya. “Ini bukan badan amal yang bersifat

menampung. Hanya memberi dana bagi mitra kita nanti.”jelasku padanya.

“Kau akan sibuk, Amber.”sela Matt. “Aku hanya takut, nanti, kau tidak bisa

menjanjikan sesuatu yang lebih pada mereka.” Dia memberikan alasan yang

138 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
cukup wajar dan pantas ditakutkan. Tapi tetap saja, tidak terlalu pengaruh

bagiku….

Aku menepuk pahanya, akan beranjak dari Matt. “Siapkan saja nama mitraku, dan

aku akan mengurus semuanya.” Lalu, aku pun pergi dari sisi Matt, meninggalkan

dia ke kamar mandi pesawat sekaligus membiarkan dia berpikir tentang

keinginanku barusan.

Sekian jam kemudian, aku telah berada di dalam mobil dan menuju ke rumah.

Benar-benar melelahkan. Melewati berjam jam di pesawat, kembali ke Los

Angeles untuk beraktivitas lagi di besok hari adalah hal yang sedang aku lakukan

saat ini. Setibanya di rumah pun, tanpa menunggu persetujuan dari Matt, aku

masuk ke kamarku dan tidur. Besok, aku akan beristirahat dua hari untuk

kemudian melakukan kesepakatan demi kesepakatan dengan pihak promotor

konserku di Yokohama, Saitama, Osaka, dan Nagoya, Jepang. Konserku disana

akan berlangsung selama dua minggu.

Kemudian, aku terlarut dalam pikiran itu, mengantarku hingga terlelap dalam

lelah.

***

“Am…” Sebuah suara berbisik di telingaku. Suara yang asing. Bukan Matt.

Karena itu, aku mengerenyit dan mengangkat wajahku sepenuhnya dari atas

guling yang entah sejak kapan berada di bawahku.

Melihat siapa yang menyapaku, aku menghela nafas dan tersenyum tanggung.

“Hai…” Wade.

139 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Hai.” Dia membalas. Sekilas, aku meliriknya dari atas sampai bawah. Dia

sudah rapi, memakai baju santai dan yang aku tahu dari suasana sekitar adalah

bahwa ini sudah pagi. Aku tertidur semalaman karena lelah. “Matt menyuruhku

kemari, sarapan bersamamu.”beritahu Wade kemudian.

Aku mengerenyit menanggapinya. Kemana Matt?. Tapi aku tidak bisa

mengutarakan pertanyaan itu karena terlanjur lelah.

“Matt ada urusan sebentar ke Philadelphia. Dia bilang kembali dari sana

paling telat nanti siang. Kebetulan juga aku ingin mengajakmu jalan-jalan

seharian ini untuk merayakan kesuksesan tur kita. Jadi bagusnya, kita tidak akan

diganggu oleh Matt.” Wade menjelaskan dengan sabar apa yang telah terjadi,

kepadaku. Tapi yang terdengar dikepalaku hanyalah suaranya yang makin

menjauh karena aku semakin tidak fokus, masih mengantuk. Tanpa bisa ditahan,

aku pun menguap di hadapannya.

Tangan Wade menutup mulutku, aku sadar itu. Tapi membuatku membanting

kepala ke guling lagi, ingin sekali kembali tidur.

“Amber….”keluh Wade pelan. Dia menarik tanganku hingga aku terduduk

kembali.

“Wade…” Aku balas mengeluh ketika dia melakukan itu. Tapi mau tidak

mau, mataku menjadi terbuka juga. Di hadapanku Wade masih dengan ekspresi

sabarnya dan memandangiku dengan sikap menunggu.

“Mandi, dan kita keluar.” Dia memberi perintah. Mau tidak mau, aku menurut

dan melakukan itu setelah dia memutuskan untuk menungguku siap di ruang tamu

sana.

140 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Kami mengambil tempat sarapan pagi di BalfordStreet, sebelah utara rumah

Matt. Restoran GuineMeal ada sekitar seratus meter dari ujung jalan itu dan kami

makan disana. Seperti biasa, Wade dengan gaya mengayominya, membuatku

merasa seperti adik semata wayangnya.

“…kami pesan dua telur goreng, dua bacon, dua gelas susu putih, dan dua

gelas air putih.”kata Wade, menyebutkan pesanan kami kepada pelayan. Kami

sendiri begitu masuk langsung mengambil tempat paling pojok dari restoran itu.

“Baik..” Pelayan mengangguk-angguk dan menyebutkan ulangpesanan kami.

Setelah Wade dan aku sama-sama mengiyakan, sosok itu pergi dari hadapan kami,

membiarkan kami menunggu pesanan kami datang.

Beberapa saat setelah itu, makanan datang dan semua tatap mata yang tadinya

heran pada kami, jadi berubah seperti biasa dan kami bisa memulai makan.

“Apa rencanamu setelah ini?.”tanyaku di sela-sela makan kami, membuat

Wade mengangkat wajah dan memandangiku sejenak. Menyadari reaksi tidak

wajar itu, aku mengangkat bahu dan berusaha menyibukan diri dengan

makananku, membayangkan sesuatu diatas makanan itu.

Wade mengesah. “Memesan kopi, dan menghabiskan siang disini.”

Aku mengerenyit mendengar jawabannya karena berbeda jauh dengan ucapannya

di kamarku setengah jam yang lalu yang mengatakan dia ingin membawaku jalan-

jalan hingga seharian ini.

“Katamu kita akan berjalan-jalan?.” Pertanyaan itu akhirnya terlontar juga dari

mulutku.

141 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Berjalan-jalan ke masa lalu.”jawab Wade langsung. “Ada beberapa hal yang

aku rasa perlu untuk kita bicarakan.”

Mendengar balasannya, mendadak aku mengesah, takut membuat kebersamaan

yang awalnya sudah bagus ini menjadi sebuah perang dingin yang memuakkan.

Aku memutuskan tidak membahas lagi apa yang sebenarnya Wade maksudkan

pada berjalan-jalan ke masa lalu. Walau aku sudah tahu apa yang akan dia bahas,

yang kulakukan hanyalah diam dan menunggu kalimat demi kalimat keluar

darinya.

Kemudian, sepuluh menit setelahnya, kami sudah menyelesaikan makan kami.

Sesuai ucapannya, Wade memesan dua gelas cappucinno untuk kami dan mulai

masuk ke topik. Dia menyondongkan badannya, menghadapku.

“Sudah lama aku ingin membahas ini.”kata Wade pelan. “Kau harus

menjawab dengan jujur apa yang kutanyakan.”

Dalam hati, aku tidak bisa jamin itu akan terdengar seperti seharusnya. Biasanya,

dalam pembicaraan mengenai hal itu sebelum ini, tidak pernah terdengar seperti

seharusnya. Namun membalasnya, aku hanya mengangguk pelan.

“Baik.” Wade menghela nafas dan memasang senyumnya ketika pelayan

datang mengantarkan kopi kami. Lalu dia kembali serius memandangiku,

membuat semuanya terasa begitu mencekam. “Sudah setahun kalian

berpisah.”gumam Wade, memulai pembicaraan ini.

“Mungkin pertanyaanku sama seperti Matt dan kau nyaris bosan mendengar

tentang itu. Tapi, jawab dengan jujur : sebenarnya sudah sejauh dan sedalam apa

perasaanmu padanya?.” Wade melanjutkan, dengan pertanyaan yang dianggap

142 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
otak kananku adalah pertanyaan klise. Dia memundurkan tubuhnya seusai

berucap, membuatku diam seribu bahasa ditatap matanya dengan dalam.

Akhirnya, setelah satu tarikan nafas yang cukup dalam, aku menjawab. “Tidak

bisa dijelaskan oleh apapun itu.”

“Bahkan walau kau tahu dia sudah tak sama lagi?.”semprot Wade. Tiba-tiba

nada berucapnya berubah menggeram.

Sedetik hingga beberapa saat kemudian, aku diam, tidak bisa menjawab

timpalannya yang tiba-tiba itu. Yang aku bisa lakukan hanyalah balas

memandangnya dan lalu barulah aku memalingkan wajah. “Kau sudah berjanji

padaku untuk membantuku melupakannya.”bisikku pelan. Aku mengingatkannya

pada janji yang terucap nyaris setahun yang lalu itu, membuat Wade menghela

nafas panjang.

Tatapannya kembali merayapi tubuhku. Aku tertegun ke jendela dan berusaha

keras tidak menoleh kepada Wade karena dipastikan, tatapannya barusan masih

tertuju padaku, memikirkan apapun itu.

“Amber.”

Aku masih diam.

“Aku bisa menjadi seseorang yang lebih baik untukmu daripada dia. Beri aku

kesempatan.”

Ketika mendengar dua kalimat itu keluar dari Wade, aku menoleh dan

menatapnya balik dengan pandangan lelah. “Dengan menjadikanmu pelarian dari

semua kenyataan bahwa aku masih tidak bisa melupakan Darren?.” Aku bertanya

balik. “Tidak. Aku tidakakan melakukan itu.”

143 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Wade menyeruput cappucinnonya dan melipat tangan di dada, “Rasanya aku

sudah tidak peduli dengan itu.” “Aku sudah cukup muak menyimpan semuanya

selama tujuh tahun.”

Serentak aku menatapnya lurus-lurus, berusaha menemukan maksud terselubung

dari keinginan Wade untuk berjalan-jalan ke masa lalu kali ini. Saat aku mengerti

semuanya, tak ayal, aku mengerenyitkan dahi. Wade mengutarakan perasaannya

padaku.

“Kau tidak perlu bersikap seperti ini.”sungutku kesal. Lama-lama dia sama

saja dengan Matt….

“Lalu hanya menontonmu tenggelam dalam semua kenangan itu tanpa

berusaha menolongmu keluar?.” Wade mendebatku dengan intuisinya.

“Aku tidak ingin menyakiti siapapun.”putusku langsung. Aku mengetukan-

ngetukan jari telunjukku ke meja dan berucap, “Kita berdua sama-sama nyaman

dengan semua ini. Hanya seorang teman. Tidakkah itu cukup untukmu?.”

Wade menggeleng pelan. Dia palingkan wajahnya dariku, menatap jendela dalam

diam.

Serentak, suasana diantara kami berubah sepenuhnya menjadi sunyi. Karena

perdebatan ini, kami berdua sama-sama terdiam dan tidak tahu bagaimana caranya

untuk memulai semuanya kembali.

Setelah lama, Wade berkata, tepat saat aku menyesap kopiku.

“Maaf. Tidak seharusnya aku memaksakan diri.”

Aku menyelesaikan dulu kopiku yang sudah terlanjur dingin, barulah membalas

ucapannya, “Aku juga.” Balasan permintaan maaf itu sebenarnya tidak

144 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
sesederhana yang terucap. Maaf tadi adalah maaf atas segalanya. Maaf bahwa aku

tidak bisa menerimanya dalam hubungan yang lebih dari seorang teman, maaf

karena telah membuatnya menanti cukup lama, dan maaf karena telah

membuatnya menggantungkan perasaannya padaku.

Tak lama, sebuah suara mencairkan suasana itu. Ponselku. Pesan singkat.

Sender : Matt Lavigne_New 09.02 p.m

Receiver : Amber E. Lavigne

Am, mitramu untuk The Amber Lavigne Foundation adalah Western Seals.

Aku sudah dapat rincian yang kau perlukan dari mereka. Sekarang aku dalam

perjalanan ke Washington untuk mendaftarkan nama badan amalmu ke

pencatatan sipil. Setelah proses itu, kau bisa memulai semuanya.

***

145 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“THE AMBER LAVIGNE FOUNDATION”

-Amber-

PHILADELPHIA, 28 Februari 2014…

Aku telah tiba di Western Seals dan sedang menunggu semuanya siap dari pihak

yayasan. Kemudian setelah Barn – pemilik yayasan ini – keluar dari ruangan

yang semula dimasukinya, aku berdiri, menyambutnya untuk langsung

membimbingku berkeliling gedung ini.

Barn tiba di hadapanku. “Ayo. Semuanya sudah menunggumu di ruangan

mereka masing-masing.”

Oh?. Aku sebenarnya tidak terlalu terkejut dengan itu. Tapi terlintas

dipikiranku apa yang akan terjadi nantinya. Itu pasti akan merepotkan mereka.

Yah, terima sajalah…semoga tidak ada penyambutan yang berlebihan dari

mereka….

Akhirnya setelah sekilas tertegun, aku mengikuti Barn berkeliling gedung ini,

menyusuri kelas demi kelas yang ada disini sembari mendengarkan apa yang Barn

jelaskan tentang Yayasan ini. Yayasan yang dipimpinnya sekarang ini adalah

sebuah yayasan penyandang cacat fisik dan mental. Dari mulai tuna netra, sampai

autis, ada disini. Tapi satu yang terpenting dari penjelasan Barn, bahwa mereka

masih punya semangat hidup dan cita-cita yang patut untuk dipertahankan dan

diperjuangkan. Aku sangat yakin bahwa di dalam sini, banyak sekali bakat-bakat

unseen yang mereka miliki.

146 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Setelah setengah jam berkeliling, Barn dan aku akhirnya mulai menyapa anak-

anak itu dari kelas ke kelas – kalau tadi hanya lewat dan menjelajah ke

seluruhannya. Begitu masuk ke kelas pertama, aku mendapat sambutan yang luar

biasa. Saat Barn selesai berkata sepotong prolog untuk mereka dan memberitahu

bahwa Amber ada di luar dan akan masuk ke kelas mereka, semua anak yang ada

di dalam sana langsung berseru „Selamat datang, Amber!‟, ketika aku masuk.

“Kau bisa mengobrol dulu disini.”kata Barn kepadaku. “Butuh gitar?.”

“Oh, di ruanganku ada gitar.” Guru kelas ini menyela kami. “Sebentar, aku

ambilkan.” Kemudian, dia keluar.

Barn kembali lagi ke anak-anak itu. “Kawan-kawan, aku tinggalkan Amber disini.

Perlakukan dia dengan sopan, ya?.” Dia berpesan dengan nada yang tenang dan

lembut.

Sementara itu, anak-anak yang ada di hadapannya menjawab, “Ya, Pak!.” Dan

sebagian lagi mengacungkan ibu jarinya tanda setuju.

“Aku tinggal dulu, Am.” Barn tersenyum ketika aku membalas mengangguk.

Kemudian, dia pergi dari kelas ini.

Oke…berarti ini bagianku. Aku berpikir sejenak apa yang akan kulakukan

dengan anak-anak ini. Oh..mungkin…perkenalan.

“Kemari, semuanya.” Aku mengisyaratkan kata „kemari‟ untuk anak tuna

rungu dan tuna wicara dengan mengibaskan tanganku. Setelah mereka berkumpul

di sisiku – jumlahnya ada 15 anak – aku mengomando mereka agar duduk

melingkar. Tak lama setelah formasi itu terbentuk, guru mereka kembali dari

ruangannya, membawa gitar.

147 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Oh, bagus.”kataku sambil tersenyum, memandang gitar itu. Lalu aku kembali

ke anak-anak, “Mau bernyanyi?.”

Semuanya, kompak mengangguk.

“Baiklah..”putusku. “Lagu apa yang biasa kalian nyanyikan?.”tanyaku kepada

mereka.

“ „Best Years‟!.” Seorang anak berkacamata, yang nampaknya penyandang

autisme, memberitahuku. “Lagumu dengan Wade!.”

Aku tertegun menyadari dua hal dibalik ucapan anak itu – secara langsung dan

tidak – bahwa anak ini memiliki antusiasme yang tinggi terhadap hal baru, atau

paling tidak, di setiap hal yang dia lakukan. Terbukti dengan cerianya dia hari ini.

Hal kedua adalah, lagu itu.

“Mau duet bersamaku?. Kalian hafal lagunya?.” Aku menawarkan dalam

senyum.

“Ya!.”

Dan kemudian, kami menyanyi bersama.

***

Selesai sudah kunjunganku hari ini ke Western Seals. Aku memandangi semuanya

dari dalam mobil yang kacanya dibiarkan terbuka. Semua anakdidik Barn telah

berkumpul di depan jalan yayasan mereka untuk mengantarku pulang. Setelah

melambaikan tangan pada mereka, aku pulang, kembali ke rumah.

Banyak hal yang aku dapat dari kunjunganku hari ini. Selain terjalinnya

kerjasama diantaraku dan pihak Western Seals untuk mendanai,

mengampanyekan, dan mempromosikan gerakan „Semua Sama‟, yang digagas

148 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
oleh Western Seals, aku juga mendapatkan teman baru. Ada Madison, Beth, Pablo

– anak yang tadi mengusulkan lagu „Best Years‟ kepadaku, lalu ada Vanez, anak

Afrika-Asia, yang mempunyai suara emas. Perjumpaanku dengan mereka hari ini

sungguh luar biasa. Mereka membuatku kembali bersyukur dengan apapun yang

kumiliki sekarang ini.

Sekian menit kemudian, aku sudah ada di belokan terakhir menuju rumah.

Tapi ketika sampai di depan rumah, dahiku mengerut. Ada mobil di belakang

mobil Matt yang terparkir di garasi. Setelah kulihat lagi, itu mobil Wade.

Dengan sama sekali tidak peduli dengan apa yang akan terjadi setelah aku

masuk, aku keluar dari mobil dan masuk ke rumah.

Di dalam, Matt sedang mengobrol dengan Wade. Mereka berdua

mengobrolkan tentang kesepakatan konserku di Jepang. Begitu menyadari

kedatanganku, Wade langsung berdiri, memandangiku dengan sungkan.

“..dia menunggumu sejak tadi.” Matt menyela. “Lain kali suarakan

ponselmu.”

Mendengar selaannya, otakku memproses, dan langsung terhenyak saat itu juga

karena tahu Wade atau Matt pasti sudah berkali-kali menghubungiku. “Ya…”

Akhirnya hanya itu yang bisa jadi balasan dariku.

“Silahkan ke belakang, biar kalian bisa lebih leluasa bicara.”kata Matt

melanjutkan kepada kami.

Wade mengangguk sekali, setuju dengan perkataan Matt sementara aku

mengikutinya ke belakang, ke dekat kolam renang.

149 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Temaram malam cahaya bulan yang terserap ke dasar kolam menciptakan

suasana hangat diantara kami. Meski masih diam, tarikan nafas teratur milikku

dan Wade membuat kami sama-sama menikmati keheningan ini.

Namun tak lama, Wade berbalik kepadaku, menatapku ragu. “Aku takut kau

masih marah.”gumamnya, memecah keheningan diantara kami.

Aku menggeleng pelan membalasnya. “Aku sudah melupakan itu.”kataku pelan,

sama pelannya dengan gumamannya tadi. Dia merasa bersalah atas pembicaraan

kurang mengenakan kami yang terakhir.Saat dia menyinggung tentang Darren.

Mendengar balasanku, Wade menghela nafas, lega. Sejurus kemudian dia

tersenyum dan tertegun memandangiku. Seandainya dia tahu, aku sedang mencari

sesuatu dalam matanya, yang baru saja aku pikirkan dalam kepalaku, yaitu

tentang tentang bagaimana caranya berpindah hati ke orang yang lebih baik. Atau

tepatnya, mencari sesuatu dalam diri Wade yang membuatku mengabulkan

keinginannya untuk memilihnya sebagai seorang yang lebih dari teman.

Sepanjang perjalanan tadi, aku memikirkan itu. Aku mulai menyadari, ada

sebersit rasa sepi dalam hatiku jika senyum, tawa, dan candanya itu tidak

menghiasi hariku lagi. Ketika Pablo meminta lagu „Best Year‟ ciptaanku dan

Wade, aku langsung teringat pada pria itu. Ada celah kecil dalam diriku yang

mengharapkannya untuk mengisi tempat kosong itu. Aku pikir, setelah

pembicaraan terakhir kami dimana Wade mengutarakan perasaannya, kenapa

tidak?. Aku dan dia selalu menyenangkan jika bersama. Dia bisa dan biasa

melakukan apa saja untukku, dan sebaliknya. Sebenarnya yang aku rasakan saat

150 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
ini adalah lebih kepada bagaimana caranya mencari kata-kata yang tepat untuk

menyetujui permintaannya yang lalu itu.

Tak lama setelah tatapan itu, aku menemukannya. “Bagaimana kalau kita

mencobanya?.”

Wade mengerenyit mendengar tawaranku. “Maksudmu?.” Dia bersedekap

penasaran.

“Lebih dari teman. Aku pikir tidak ada salahnya…”kataku, meluruskan

tawaran dibalik pemikiranku.

Butuh beberapa detik bagi Wade untuk mencernanya. Dia terdiam

memandangiku dengan tidak yakin. Tapi tak lama kemudian, sorot matanya

menghangat, menyadari arti ucapanku. Wade mengembangkan senyumnya yang

kemudian berubah menjadi tertawaan tidak menyangka yang sangat meyakinkan.

“Kau bercanda…” Dia berkata di tengah-tengah tawanya.

“Aku serius.”selaku langsung.

“Tunggu… Aku datang kesini untuk minta maaf atas pembicaraan kita waktu

itu. Tapi….” Seketika Wade kehilangan kata-kata untuk melanjutkan ucapannya

yang sebenarnya terburu-buru itu. Dia memalingkan wajahnya dariku. Mimik

senang darinya sangat terlihat meski dalam malam.

“Yah, mungkin fakta sahabat jadi cinta itu ada benarnya juga. Kecuali kalau

kau terlalu takut untuk melanjutkan hubungan dengan seorang janda…” Aku

menyela ucapannya yang terputus itu, meyakinkan dia dengan tawaranku.

Tapi tak lama kemudian, ekspresi senang Wade memudar. Senyumnya

mengecil, namun tetap tenang. “Am…” Helaan nafas terdengar darinya, membuat

151 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
ekspresi senangku menjadi berubah juga. “Kau yakin?. Kau masih mencintainya.”

Wade melanjutkan ucapannya.

“Kenapa tidak kita coba saja dulu?.” Aku bertanya balik kepadanya. “Kalau

tidak ada kecocokan, ya..kita berhenti.”

Wade diam. Dia mencoba memikirkan usulku. Kemudian, anggukan

persetujuan keluar darinya, menandakan peresmian status hubungan kami masing-

masing ke jenjang yang lebih serius.

-Darren-

BARU saja aku menyelesaikan demo musik yang akan kukiriman ke calon label

baruku ketika program TV berganti ke berita musik. Aku meletakan gitarku

sebentar, bermaksud untuk membuat kopi untuk menikmati info musik hari ini.

Tapi sebelum sempat aku mengambil gelas dari dapur, berita pertama yang keluar

dari acara itu adalah tentang „Lavigne-Feldmann‟. Itu taglinenya, dan

memberitakan Amber dengan Wade.

Ketika kulihat apa isi beritanya, aku mengesah. Sebagian dariku lega karena

dia telah menemukan orang yang tepat untuknya, yang ternyata temanku

sendiridan sebagian lagi, terhenyak, karena melihat betapa cocoknya mereka saat

berkunjung dan bercengkrama dengan anak-anak penyandang cacat di Yayasan

Western Seals. Bagiku, itu bukti bahwa masih terselip rasa rindu pada Amber.

“…ya..ya… itu benar. Tapi belum lama. Baru sekitar seminggu lalu.”kata

Wade, menjawab pertanyaan media tentang hubungan mereka.

152 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Terdengar ucapan selamat yang bersahutan dari media. Amber dan Wade hanya

menjawabnya dengan senyuman dan ucapan terimakasih kembali sementara

beberapa wartawan lain mulai berganti topik kepada konser Amber di salah satu

Festifal Budaya terbesar di Jepang.

“…lusa kami berangkat kesana. Tentu saja bersama yang lainnya. Untuk

Jepang, aku sudah menyiapkan semuanya dengan sempurna.” Amber berkata

dalam senyum kepada media.

Lalu Wade menyela pertanyaan media sebelum terlanjur terlontar banyak.

Mereka berdua pergi setelah pamit dari hadapan kamera untuk pulang.

Nit…nit… Terdengar nada sambung saat aku menghubungi Wade. Tepat di

dering ketiga, dia mengangkatnya.

“Ya, halo?. Wade Feldmann disini.”

“Mm.. hei.” Aku membuka suara.

“Oh…Darren. Ada apa?.” Nada berucap Wade berubah mencelos setelah tahu

siapa yang menghubunginya malam ini.

“Selamat untuk kalian berdua.”kataku kaku. Dengan pelan, aku memilin senar

gitarku yang sedang di stem. “Senang mengetahui Amber telah menemukan orang

yang tepat.”

Di seberang, Wade tergelak halus. Tak ada nada jijik darinya ketika membalas

ucapanku itu. “Terimakasih.” “Yah… seandainya kalian berdua meneruskan

untuk bersama, kau akan terasa lebih tepat dibanding aku, Darren.”

“Tapi tidak.” Aku membalas cepat. “Bagaimana ceritanya?.”

153 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Panjang.”kata Wade renyah. “Tapi yang jelas, saat ini kami hanya mencari

kecocokan. Tidak lebih.” Dia melanjutkan dengan nada yang masih sama.

Meski aku penasaran akan sesuatu di balik ucapannya itu, aku tergelak samar,

berusaha menyesuaikan atmosfer ramah tamah yang ia ciptakan. “Semoga kalian

bahagia.”

“Terimakasih.”

Kemudian aku menutup sambungan kami dan merenung. Ingatanku kembali

ke masa itu. Saat aku baru saja menyatakan perasaanku pada Amber di tengah

perjalanan romantis yang kutawarkan kepadanya.

“…mau kemana?.” Amber bertanya dengan bingung kepadaku ketika aku

membawanya ke sebuah kebun bunga di depan kastil di Venice. Disana sudah

tertulis kata „aku mencintaimu‟, tepat diatas bunga-bunga yang indah itu.

Sambil membimbing Amber ke depan taman bunga itu, aku menyanyikan

sebuah lagu romantis ke telinganya. Aku bisa melihat, dia tersenyum, tersipu

mendengar dan menyadari arti lagu itu.

“Berjanji untuk mendengarkan aku dulu.”bisikku padanya sebelum

membukakan penutup mata.

Amber mengangguk membalasnya. Tepat setelah aku membuka penutup mata itu,

dia mengerejap, dan kemudian berpaling kepadaku, memandangiku dengan

bertanya-tanya tentang apa yang baru saja dilihatnya.

“Ini…?.” Amber kehilangan kata-kata untuk melanjutkan ucapannya.

154 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Ya.” Aku menyela bagiannya sambil menyondongkan wajahku kepadanya.

Sekilas, aku mengecup dahinya. “Setidaknya, semua yang kurasakan sekarang ini,

sesuai dengan apa yang tertulis di atas bunga-bunga itu.”gumamku lembut.

Setelah merasa cukup dengan pernyataan cinta itu, aku menjauhkan diri,

memandanginya penasaran, meminta konfirmasi. “Bagaimana, Amber Lavigne?.”

Perlahan, Amber mengangguk bahagia. Seketika pelukannya menyambar

tubuhku, mencurahkan semua yang kami rasakan selama dua tahun kedekatan

kami.

Sedetik kemudian, suara tangis bayi mengembalikanku pada kenyataan.

Kenyataan bahwa 6 tahun setelah momen itu, aku berada disini, dan hidup dengan

orang dan kehidupan yang berbeda.

Aku pun beranjak, meninggalkan semua kenangan itu, dan bertekad untuk

mulai menjalani dengan sungguh-sungguh hidup yang kupunya, yang tak lagi

sama dengan sebelumnya.

-Amber-

NAGOYA adalah tempat yang luar biasa. Kedatanganku dan bandku disambut

dengan luar biasa disana. Dari mulai hotel, sampai tempat konser, poster konserku

terbentang dengan tulisan bahasa Jepang yang kutahu dari beberapa teman

seprofesiku disini adalah „Arigatou Amber-San!‟, atau artinya „Terimakasih,

Saudara Amber!‟. Aku tidak tahu pasti maksud kalimat itu apa, yang jelas lucu

saja bila diucapkan oleh orang dari benua Amerika atau Eropa.

155 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Begitupun saat malam ini, konserku berjalan lancar di Nagoya Stadium.

Penggemarku menyanyikan lagu berbahasa inggris itu dengan sempurna, baik

yang orang barat asli, ataupun ketimuran.

Aku tiba di lagu ketiga. Di list konserku, lagu yang akan kumainkan adalah

„Best Years‟. Intro, verse, chorus, bridge,…semuanya berjalan lancar. Sampai 6

menit kemudian, lagu itu selesai dinyanyikan. Ketika hendak beristirahat sejenak

menuju lagu keempat, aku menyapa dulu mereka semua.

“…mau lagu apa setelah ini?!.”

Beberapa diantara lautan manusia itu menyebutkan lagu „Future‟ dari album

pertamaku, ada juga yang meminta „Goodbye‟, „Goin Away‟, dan „Happiest

Ending‟. Kutampung dulu semua usulan yang kudengar sambil mengatur nafas.

Kemudian kulanjutkan lagi.

“..oke..kutampung dulu semuanya..” Sesaat aku tergelak karena kewalahan

menanggulangi atmosfer antusiasme dari mereka semua. Akhirnya untuk

menetralkan suasana, aku memutuskan untuk lanjut lagi, mengulangi chorus „Best

Years‟ tiga baris terakhir.

“Wade, mainkan!.”

Wade menuruti permintaanku dan memainkan intro untuk menuju baris itu. Dan

aku pun menyanyi, hanya diiringi dengan gitar sembari mengajak mereka

bertepuk tangan, menjadikannya sebagai ritme lagu.

Aku mengakhiri lagu itu dengan senyum, lalu hendak berbalik. Tapi Wade

sudah berada di belakangku dan tiba-tiba dia mengecup dahiku, kemudian

berbisik. “Aku mencintaimu.”

156 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Seperti sebelumnya, aku tidak bisa menahan senyumku. Perlahan aku

mendorongnya menjauh dan benar-benar berbalik, berusaha fokus ke konserku

lagi. Wade dan yang lainnya menyusulku ke ruang di balik panggung untuk

beristirahat sejenak, membiarkan mereka menunggu untuk lagu keempat yang

entah apa itu.

Tertawaan Ian menyambut kami di ruangan artis. Kuduga dia sudah tahu apa

kelakuan Wade di atas panggung tadi.

“Bagus…”katanya di sela-sela gelak tawa. “…kuakui, itu salah satu yang

membuat tiket konser kalian hari ini terjual habis dalam waktu kurang dari satu

jam…”

“Kita punya faktor X-nya…” Nick menimpali dengan santai. “Lagu apa

setelah ini?.”tanyanya pada kami semua.

Fredy menenggak sebotol air mineral, kemudian berbicara. “Future, Punk Boy…

Terserah Amber.”

Sementara Sabio hanya mengangguk sekali, tanda setuju semuanya diserahkan

padaku.

“Putuskanlah dengan cepat, kawan-kawan.” Ian menyela obrolan kami. Tapi

ketika dia hendak berucap lagi, tertahan oleh suara panggilan dari ponselnya. Ian

menjauh dari pusara kami, ke ujung ruangan segi empat ini.

Sekilas, aku memandanginya ke sana. Dia terlihat menunggu. Tapi kemudian,

sebelum aku tahu kelanjutannya, aku sudah keburu teralihkan dengan list pilihan

lagu yang diajukan oleh Nick.

157 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“..nah, ada empat. Tapi kupikir lebih baik „Goin Away‟.”kata Nick

mengusulkan.

Sabio menggeleng menimpalinya. “Kita belum mau mengakhiri konser ini…

Ayolah…lagu yang buat mereka semangat saja.”jawabnya terhadap usulan Nick.

“Tunggu sebentar… bagaimana kalau „Future‟?.” Wade bergantian bicara

dalam diskusi ini.

Aku mengangguk sekali, menyetujui usul Wade tersebut. “Ya. Ini masih awal

juga, aku pikir. „Future‟ akan membuat mereka dingin, paling tidak.” Sejenak, aku

menyeringai memikirkan pilihan kataku. „dingin‟?... Hmm…kurang tepat.

“Kutub?.” Fredy berseloroh. “Lebih baik „Punk Boy‟ saja. Buat mereka

meloncat-loncat dulu.”

Tapi ketika intuisi lain mulai terdengar lebih deras, aku teralihkan pada gestur Ian

di ujung ruangan sana. Dahiku mengerut melihat gestur aneh itu. Ian terlihat

tertunduk dalam, mengangguk-angguk sendiri kepada penelepon yang diseberang

sana. Sejenak, aku merasakan hal buruk telah terjadi di balik ekspresi sedihnya

barusan.

Tak lama kemudian, Ian menutup sambungannya. Dia kembali ke pusara kami

dan sesaat tampak ragu untuk mulai bicara. Melihat keanehan pada ekspresi Ian,

aku memutuskan untuk mempersilahkannya bicara.

“Ada apa?.”

Perhatian semuanya jadi terfokus ke apa yang akan Ian ucapkan sebagai jawaban.

“Hm..” Ragu masih terlihat darinya. Tapi dia melanjutkan ucapannya.

“Kemari sebentar, Am.”katanya setelah menarik nafas.

158 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku mengerenyit mendengar nada memelas itu. Tapi tak ayal, itu membuatku

menurut. Aku mengikuti Ian, menjauh dari mereka. Ketika kami berhenti di

tempat yang sama dengan tempat Ian mengangkat telepon, tadi, dia langsung

memalingkan wajahnya dariku. Tapi kemudian, dia kembali terfokus kepadaku.

“Jangan memotong ucapanku, tolong.”kata Ian pelan.

Aku mengangguk sekali, setuju. “Ya.”

Ian kembali menghela nafas, mencoba menenangkan dirinya sendiri.

“Michelle menelepon.” Dia berkata setelah tenang.

Ya..oke. Lalu?...Aku masih berusaha mendengarkan.

“Dia bilang, Matt kritis.” Ian berkata lagi, kali ini dengan kalimat yang

membuatku tertegun. Matt kritis?. Kenapa?. Seketika aku tidak bisa memikirkan

apapun selain apa yang mungkin terjadi pada Matt.

“Dia kecelakaan mobil saat akan menyusulmu kemari.”jelas Ian melanjutkan.

Kemudian dia diam, menunggu balasanku atas kabar ini.

Tapi aku tidak bisa membalas apapun selain terdiam, memalingkan wajah

darinya, dan sedetik berikutnya, air mataku mulai turun satu-satu. Tak sanggup

menahan semuanya, akhirnya aku jatuh terduduk di hadapan Ian, membuat Wade,

Nick, Sabio, dan Fredy menoleh ke arah kami. Kemudian, langkah-langkah kaki

mulai terdengar mendekatiku dengan sayup.

Aku menetapkan hati untuk menyelesaikan semuanya dengan sempurna.

Menyelesaikan konser ini dengan sebaik-baiknya, untuk Matt. Setelah beristirahat

lima menit lebih lama dari waktu awal, akhirnya aku keluar, kembali ke

159 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
panggung. Lautan manusia itu menyambutku dengan tepuk tangan yang meriah.

Meski begitu, aku masih tidak bisa fokus. Pikiranku sepenuhnya tertuju pada

Matt.

Aku menelepon Michelle langsung tadi, dari ponsel Ian. Matt kritis karena

kehabisan darah. Tak ada suara dari ayah dan ibu disana. Hanya Michelle dan

tangisannya yang bisa kudengar, membuatku ingin cepat pulang ke Los Angeles

dan menemani mereka berdua.

Di atas panggung, aku mengambil gitarku. Masih terasa gamang. Riuh yang

mereka timbulkan rasanya tidak bisa memengaruhiku. Sejenak, aku tertegun

menatap mereka semua. Kosong, masih tidak bisa memikirkan apapun. Konsep

tentang konser ini yang terbangun sesaat tadi, langsung runtuh begitu saja.

Akhirnya, dari pilihan awal lagu „Punk Boy‟, aku membelot, jadi memilih

lagu „Future‟.

“Nyalakan semua sinar yang kalian miliki.”kataku pada mereka, bermaksud

menciptakan terang nan indah di stadium ini.

Beberapa saat kemudian, sinar-sinar putih dan kuning mulai bermunculan dari

mereka, membuat semuanya terasa indah. Dalam diam, aku tersenyum, getir.

Namun aku memulai lagunya juga dengan tiga kali petikan nada F minor dariku.

Sesaat kemudian, masih di intro, Wade mengisi nada itu, membuatku melepas

tanganku dari gitar dan melambaikannya ke udara. Semua orang mengikuti,

menciptakan semilir angin menyejukan di lagu ini.

“Ya, sebelum kita memulai lagu ini, aku minta kebesaran hati kalian untuk…”

Saat aku ingin melanjutkan ucapanku, air mataku kembali turun satu-satu. Tak

160 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
sanggup menahan sesak yang kembali muncul. Musik tetap berlanjut, menjadi

sebuah alasan untukku agar bersikap tegar di hadapan mereka semua.

“…mendo‟akan Matt, kakakku, manajerku. Dia..sedang kritis sekarang ini karena

kecelakaan.”

Setelah satu tarikan nafas berat, aku kembali melanjutkan ucapan pembuka ini.

“…berdo‟a, mulai.”

Sejenak, suasana dari mereka menjadi sunyi sama sekali. Hanya musik yang

tetap mengalun dalam tempo lambat, namun tak ada suara dari mereka. Setelah

merasa cukup, aku kembali menegakan kepalaku dan mengusap air mataku.

“..selesai.”

Lalu, Wade mempercepat tempo musiknya dan berganti peran ke ritem,

membiarkanku mengambil bagianku dan memulai lagu ini.

***

16 Maret 2014, Rumah Sakit Los Velas…

Michelle bilang, Matt dirawat disini. Setibanya di Arist untuk menaruh barang-

barangku : seperti konsep musik, kertas partitur, dan coretan tidak penting, aku

langsung ke rumah sakit, sendiri. Matt sudah dipindah dari ruang ICU ke kamar

biasa.

Saat aku tiba di depan kamarnya; kamar 203, semuanya terlihat sepi. Hanya

ada dia di dalam sana. Tak lama kemudian, aku masuk.

Matt yang menyadari kedatanganku langsung tersenyum. Senyumnya masih

lemah, tubuhnya masih tergolek, diinfus, diperban di kepala dan digips di kaki.

Sesaat, aku jadi bertanya-tanya bagaimana kronologi kejadiannya.

161 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Duduklah.” Matt berkata karena aku masih mematung di pintu.

Aku mengangguk sekali dan mendekatinya, duduk di sisinya. “Kemana

Michelle?.”tanyaku setelah itu.

“Dia sedang pulang, mengambil beberapa baju-bajuku.”jawab Matt.

Tanpa mau tahu lebih lagi mengenai itu, aku memandangi tubuhnya. Seketika

merasa bersalah karena aku tidak ada di masa-masa kritisnya.

Ternyata perasaan itu dapat terbaca jelas oleh Matt. Dia tersenyum memaklumi

dan mengelus tanganku sekilas. “Kau sedang menyenangkan orang lain. Tak apa.

Aku bisa memakluminya. Lagi pula salahku sendiri tidak bisa

menghindar.”katanya pelan.

Berhubung dalam perkataannya tadi dia sudah membahas tentang kronologi

kecelakaannya, aku buat obrolan kami jadi ke arah sana. “Jadi, bagaimana

ceritanya?.”

Matt tergelak pelan mendengar pertanyaanku. Dia membuat lehernya nyaman

sejenak, barulah bicara. “Mobilku di tabrak dari kanan. Depan kanan.”

Oh?. Kalau dari depan, arah kanan, seharusnya dia tidak akan separah ini…

“Dan?..” Aku tidak mengemukakan dulu keherananku karena yakin ada

kelanjutan yang lebih parah darinya.

“…Oleh minibus yang menyalip truk tronton. Lalu karena kecepatan minibus

itu melebihi rata-ratanya, mobilku terpental, menabrak pembatas jalan, lalu

terjatuh ke jurang, terguling. Masih untung tidak meledak…. Sekarang

bangkainya sudah dibuang ke tempat plat rongsokan. Terkait dengan tabrakan ini,

aku tidak mau memperpanjang masalah dengan membiarkan semuanya selesai

162 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
sendiri-sendiri. Semuanya setuju. Tidak ada penuntutan.” Matt melanjutkan

ucapannya, membuatku tercengang.

Aku diam. Tidak ada lagi suara dariku selain tanganku berubah memeluk

tangan Matt, tertunduk disana dan tidak berani membayangkan kemungkinan

terburuk dari kecelakaan itu.

“Aku janji tidak akan ceroboh lagi..”kata Matt menenangkanku, walau dengan

nafas yang mulai berat karena terlalu banyak bicara.

Sebelah tanganku terangkat, bergerak menutup mulutnya. “Yang penting kau

masih disini.”

Kemudian, sore itu kami mengakhiri percakapan dengan terlelap bersama di

kamar ini.

***

Detik, menit, jam, hari, bulan, berlalu. Aku terjebak dalam kesibukan mengurus

Matt bersama Michelle, baik ketika masih di rumah sakit dan saat sudah

diperbolehkan pulang ke rumah. Michelle bertukar tugas denganku selama

merawat Matt di rumah – kebetulan Matt sengaja ditempatkan di Ontario saja biar

Michelle dan ayah-ibu kami lebih mudah mengurusnya – tapi bukan berarti aku

lepas tangan dari perkembangan Matt. Saat aku tidak ada pekerjaan, aku

menyempatkan diri ke Ontario.

Kami sengaja tidak mengambil jasa dokter atau perawat pribadi untuk Matt

karena dokter yang merawatnya di rumah sakit bilang, penyembuhan fisik dan

traumatis Matt dari kecelakaan itu akan lebih cepat ketika keluarga selalu ada di

sisinya untuk menyemangati dan membantunya berjalan lagi.

163 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Tanpa terasa, sudah bulan keenam dari terapi penyembuhan Matt. Dia sudah

bisa berjalan sediri, meski dengan menggunakan kruk satu tangan, dan sudah

mulai bisa melakukan semuanya tanpa bantuan kami, membuat Michelle dan aku

lebih leluasa untuk kembali normal melaksanakan rutinitas kami tanpa

terpengaruh pikiran tentang kondisi Matt. Dia sudah bisa ditinggal selama

beberapa hari dan tidak terjadi apa-apa. Bahkan di suatu malam, saat beberapa

hari setelah dia pulang ke Los Angeles, Matt mengungkapkan bahwa dia ingin

segera menemaniku lagi di aktivitasku.

Yah, memang, sejak kecelakaan itu, aku hanya ditemani oleh bandku dan Ian

kalau kemana-mana. Tapi mereka membantuku fokus menyelesaikan semuanya

dengan tidak mengingatkanku pada keadaan Matt di rumah atau kondisi

psikisnya. Mereka membawaku ke alur yang benar selama berurusan tentang

pekerjaan. Dari mulai soal musik sampai mengampanyekan gerakan „Semua

Sama‟ bersama Western Seals. Dan aku bersyukur akan itu. Meski begitu, bulan-

bulan tanpa Matt adalah benar-benar bulan yang sibuk untukku.

Memasuki bulan kedelapan, Matt sudah merengek ingin ikut aku seperti dulu

lagi, menambal kembali pekerjaannya yang terbengkalai. Dan akhirnya ketika aku

akan menghadiri acara Winfresh Show, aku mengajaknya juga. Masih dengan

tangan yang memegang kruk, dia mulai bercengkrama lagi dengan jadwal-

jadwalku yang sebelumnya ditangani dulu oleh Ian.

“…Winfresh Show dari jam 2 sampai jam 4…” Gumaman Matt tentang

jadwal-jadwalku mulai terdengar lagi.

164 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku tidak membalas gumaman itu dan sibuk merapikan diri karena 15 menit lagi

aku sudah harus berangkat ke tempat acara di Washington.

“Malamnya kau ada wawancara di radio FreshMuscitos FM.” Matt

mengangkat wajah. “Mau berjalan-jalan atau pulang dulu ke rumah sebelum

kesana?.”tanyanya menawarkan pilihan.

“Pulang dulu saja, sepertinya. Kita belum menyiapkan perbekalan

juga.”jawabku tanpa menatapnya.

Sebagai balasan, terdengar suara persetujuan dari Matt. Kemudian dia diam lagi,

sampai aku mendengar langkah kakinya mendekati jendela, membuatku menoleh,

memperhatikan apa yang sedang ia lakukan disana.

Tapi sebelum sempat aku bertanya, Matt sudah keburu berucap. “Ada Wade di

bawah.”

Yang pertama terlintas di pikiranku adalah, mau apa dia kemari?. Dan tanpa

bicara, aku mengikuti Matt, melihat ke arah jendela. Benar saja, Wade ada disana.

Aku tidak menunggu ucapan Matt selanjutnya dan menghampiri Wade di

bawah. Dia terlihat kasual, namun dengan wajah yang kelewat lelah seperti habis

memikirkan sesuatu yang berat.

“Hei..” Aku membuka suara diantara kami, membuat Wade yang berdiri di

samping mobilnya, menoleh.

Wade tersenyum membalasnya. Dia membiarkanku menghampirinya dan sejenak,

kami diam. Aku, menunggunya bicara, dan dia, mungkin sedang mencari kata-

kata yang tepat untuk mengawali obrolan kami.

165 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Tapi karena tak kunjung terdengar kata darinya, aku menyela, memaksanya

bicara. “Ada apa?.”

Wade tidak menjawab pertanyaanku langsung dengan kata. Dalam diam, dia

mengambil tanganku dan membelainya pelan. “Kita…tuntaskan saja semuanya,

ya?.” Barulah Wade bicara, dengan kalimat yang membuatku bertanya-tanya

tentang apa yang ada di kepalanya sekarang ini.

“Apa maksudmu?.” Akhirnya pertanyaan itu yang keluar dariku.

“Terakhir kali, kau ingat apa yang kita setujui bersama?.”balas Wade padaku.

Dia memberikan klue, bukannya jawaban yang punya kepastian. Masih

terbingung-bingung, aku memalingkan wajah darinya, membuat Wade

menghadapkan kembali wajah ini padanya. “Bersama ketika ada kecocokan. Dan

aku rasa, kita tidak menemukan itu. Kau punya dunia sendiri yang lebih rumit

dariku.”katanya, memperjelas klue yang dia berikan.

Setelah kalimat itu, aku menyadari apa yang dia maksudkan. Sesuatu yang

kami sudah sepakati bersama waktu itu, yang menyebutkan kami akan mencoba

untuk bersama, dan kembali menjadi teman jika tidak ada kecocokan. Wade

merasa tidak menemukan hal itu dalam hubungan baru kami.

“Benar katamu..kembali menjadi teman tidak akan terasa berbeda untuk

kita.”ucap Wade lagi, mengisi kekosongan bagianku dalam pembicaraan ini.

Akhirnya, setelah mengerti untuk apa dia kemari, aku menarik nafas, mencoba

membalas ucapannya barusan dengan hal yang sama-sama kami mengerti.

“Ya… Tapi…–” Yang terjadi padaku malah tidak bisa melanjutkan ucapanku

ini sebagai balasan.

166 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Aku tidak akan pergi. Janji.” Wade menyela dengan tenang. Ekspresinya

berubah meneduhkan suasana kebingungan dan kehampaan yang seketika terasa

di dalam sana.

Hanya anggukan pelanlah yang bisa kukeluarkan, tanda menyetujui keputusannya.

“Terimakasih.” Wade menutup pembicaraan kami dengan senyum lucunya,

kemudian dia melepas tangannya daritanganku, lalu melangkah pergi dari

hadapanku.

Sedetik berlalu, aku mendengar tarikan nafas sabar dari seseorang di

belakangku.

***

167 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
-PRESENT-
“Jika kau tidak memilihku untuk menjadi bagian dari masa depanmu, aku akan

pergi.”

168 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“FIRST SIGHT IN SIX SONGS”

-Amber-

1 Januari 2015…

BESOK adalah hari pertamaku kembali bekerja setelah liburan yang panjang.

Matt dan aku baru kembali dari Ontario dua jam yang lalu. Sambil beristirahat,

Matt menghubungi Ian untuk persiapan album kelimaku yang proses produksinya

rencananya dimulai besok, setelah semuanya siap.

Dua bulan belakangan ini aku melakukan banyak hal di Los Angeles, atau

tepatnya lebih dikarenakan aku tidak bisa pulang ke Ontario karena urusan

pekerjaan. Dalam rentan waktu itu, aku sibuk dengan banyak hal : rutinitasku

yang biasanya, menghadiri festifal film yang masih mencantumkan „Lullaby‟

sebagai deretan film yang ada disana, menghadiri acara penghargaan musik – dan

aku sangat bersyukur namaku ada diantara deretan nama-nama penerima

penghargaan bergengsi itu, lalu sibuk dengan „The Amber Lavigne Foundation‟.

Tidak ketinggalan dengan kelanjutan kampanye „Semua Sama‟ yang aku suarakan

di setiap acara yang aku hadiri.

Di tengah-tengah semua itu, aku pun membuat beberapa proyek. Salah

satunya adalah video promosi Yayasan Western Seals tentang perlakuan yang

seharusnya kepada orang-orang yang punya keterbatasan, dan urusan album

baruku. Album kelima.

Yang pertama itu, aku sampai bermalam bersama anak-anak Western Seals

untuk lebih bisa menyampaikan pesan mereka secara meyakinkan dalam proyek

169 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
video hasil kerjasama manajemenku dan Yayasan Western Seals. Semuanya

berlangsung seperti biasa : diisi dengan tertawaan bahagia, canda, dan tidak

ketinggalan, hal konyol dari mereka selama pembuatan video berdurasi sebelas

menit itu.

Kalau urusan album baru, aku jadi lebih sering datang ke Arist dan

mengadakan pertemuan dengan Ian dan bandku. Kami mengonsep semuanya,

termasuk konsep musik, tema album, maupun tentang waktu dan tempat

perekamannya. Tapi tak jarang, di hari-hari itu, setelah lelah dan dirasa tuntas

berdiskusi di Arist, aku menambahkan pendapatku sendiri pada lembaran kertas-

kertas di rumah, membuatku harus tidur lebih larut daripada biasanya. Terkait

dengan konsep luar biasa yang ingin kusuguhkan di album terbaru yang akan

diberi judul „Amber Lavigne‟ ini, kurasa itu semua setimpal.

Sampai suatu hari, Ian dan Matt membulatkan pendapat dan

menyampaikannya padaku, bahwa mereka berdua akan memintaku mengambil

libur di sela-sela rutinitasku. Meski awalnya aku menolak dengan alasan berbagai

macam pekerjaan yang sudah menungguku di jadwal bulan berikutnya, akhirnya

setelah Matt berkata dia telah mengosongkan jadwalku di bulan Desember tahun

2014kemarin, aku menerima permintaan mereka. Ya sudahlah, mungkin

beristirahat barang sebulan saja akan membuat kepalaku lebih rileks.

Dan akhirnya rencana liburan kami terlaksana juga di kesempatan liburan itu.

Setelah aku dan Matt berlibur bersama Ian dan bandku di 17 hari awal bulan

Desember tahun lalu, dan tanggal 18 Desembernya, kami berangkat ke Ontario

dan baru kembali hari ini, pukul 10 pagi.

170 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Matt bilang, hari ini tidak ada pekerjaan untukku. Kami dipersilahkan

beristirahat juga oleh Ian setelah liburan kemarin. Hari ini, aku dan Matt hanya

berdiam di rumah kami dan menikmati sisa liburan.

“…Max dan Shellback tetap turut serta dalam proyek ini, kan?.”tanya Matt

melalui telepon, pada Ian.

Aku mengamatinya sembari mengeringkan rambutku karena habis dikeramas.

Soal Max dan Shellback, mereka memang sudah jadi orang setiaku yang

mengisi tim produksi sejak album pertamaku, dan anehnya mereka tidak pernah

bosan. Entah akan ada orang tambahan lagi atau tidak dalam proyek yang akan

berisi lima belas lagu ini. Kalaupun ada, kurasa itu tak akan masalah.

“…Chad?. Boleh saja kalau dia sedang tidak ada kegiatan dengan bandnya

sekarang ini.”kata Matt tiba-tiba. “Ya. Cocok saja aku pikir…”

Kuambil cokelat panas yang telah disediakan Matt di meja makan dan

mendengarkannya bicara tentang satu nama baru. Chad.

“Kirimkan nomornya padaku. Biar Amber yang menghubunginya.” Matt

duduk di meja makan dan meminum cokelat panasnya. “..Ya, tentu saja aku akan

menanyakan itu pada Amber dulu.” Dia tertawa tergelak menanggapi ucapan Ian

yang entah apa itu. “Chad Morrison… Pasti dia setuju, aku rasa.”

Chad Morrison?. Aku menelan ludah mendengar nama itu. Matt pasti

bercanda…. Mana mungkin Chad bisa meluangkan waktu untuk membantu

pembuatan album kelimaku?. Dia pasti punya kesibukan sendiri sekarang ini….

Walaupun sebenarnya aku akan senang dia bisa ikut serta….

171 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Ya. Kita saling mengabari saja.”ucap Matt. Tak lama, dia memutus

sambungannya dan menyeruput cokelat panasnya lagi.

“Jadi, bagaimana?.” Aku melipat tangan di atas meja makan dan

memandanginya penasaran, meminta penjelasan tentang hasil pembicaraannya

dengan Ian yang hanya terdengar satu arah.

“Semuanya sudah selesai. Kita tinggal minta konfirmasi pada Chad.”jawab

Matt. “Tempat di Shelfield Studio, kita memulai semuanya besok, jam sembilan

pagi. Yang datang besok hanya pencipta lagu dan produser. Tidak termasuk tim

produksi karena hari ini mereka sudah briefing di kantor Ian. Ian setuju dengan

semua idemu dan dia mengusulkan satu orang tambahan untuk membantumu

menciptakan lagu-lagu dalam album ini,dan memproduserimu. Chad Morrison.”

Dia menjelaskan sejelas-jelasnya apa yang dia bicarakan dengan Ian.

“Kau yakin kalau Chad sedang tidak sibuk?.”tanyaku, setelah menerima

penjelasannya.

“Entah.” Matt membalas dengan acuh. Dia menyodorkan ponselnya padaku,

“Ini nomornya. Silahkan kau tanyakan sendiri.”

Aku mengambil ponselnya dan menekan tombol „call‟ disana.

Tak lama, terdengar nada sambung. Lalu, seseorang mengangkatnya. “Halo?.

Chad Morrison disini.”

“Aku Amber. Aku ingin bertanya, apa kau benar-benar bisa ikut membantuku

untuk memproduseri album kelimaku?. Kalau iya, kita akan bekerja sama dalam

kurang lebih 5 bulan ke depan.” Aku menjelaskan keperluanku padanya.

172 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Chad tertawa kepada seseorang di seberang sana. Dia terdengar sedang dalam

sebuah acara. Acara keluarga, mungkin saja, karena aku samar-samar mendengar

suara anak kecil dari seberang sana. “Oh, ya… tentu saja aku bisa, Am. Kebetulan

aku juga sedang kosong.”

Oh…begitu…

“Sudah memutuskan soal studionya?.”tanya Chad tiba-tiba.

“Ya. Sudah. Shelfield Studio. Besok pagi, pukul 9 kita mulai

bekerja.”jawabku.

“Pukul 9, ya… Oke. Aku akan datang tepat waktu.” Chad memutuskan.

Kutebak ekspresinya biasa saja saat membicarakan urusan pekerjaan dalam acara

keluarga. Tipe pria yang apa adanya, mungkin saja.

“Kau sedang dalam acara keluarga, ya?. Tidak apa-apa membicarakan

pekerjaan?.” Haha…entah kenapa dua pertanyaan itu terlontar begitu saja dari

mulutku.

Chad tergelak sesaat sebelum menjawab, “Ya. Aku sedang di Hanna Alberta,

sekarang. Di acara ulang tahun keponakanku. Santai saja… sudah biasa.”

“Oh… Selamat ulang tahun kalau begitu.”kataku sambil tersenyum. “Sampai

ketemu besok.”

“Ya. Sampai jumpa.” Chad menutup pembicaraan kami.

Setelah selesai, aku memberikan ponsel Matt dan kembali duduk. “Dia

bisa.”kataku pendek.

173 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Tapi tidak ada respon dari Matt. Dia memandangiku penasaran sambil mengetuk-

ngetukan jarinya di meja. Biasanya setelah ini dia akan membicarakan soal pria

lagi, seperti kebiasaannya dalam dua tahun ini.

Untuk mencegahnya berucap, aku mendengus dan berkata, “Jangan bicarakan soal

pria. Aku masih ingin fokus ke karir, Kak. Tolonglah….”

“Ya. Aku tahu…”sahut Matt langsung. “Kenapa kau begitu sulit melupakan

Darren?.”

“Kak…?.” Aku mulai malas bicara dengannya kalau dia sudah membahas soal

Darren.

“Mulailah memikirkan dirimu sendiri, Amber.”ucap Matt datar, dengan

kalimat yang sudah pasti bisa membuat kami bertengkar. Biasanya kalau sudah

begini, semuanya akan berakhir dengan aku atau kakakku yang akan pergi lebih

awal dari rumah pada besok pagi.

Aku berdiri, berlalu ke dapur untuk mencuci gelas bekas cokelat panasku yang

sudah kosong.

“Ibu dan ayah memikirkan kondisimu di Ontario sana!.”kata Matt agak keras,

hingga bisa terdengar cukup meyakinkan di telingaku bahwa ucapannya tadi

adalah ucapan yang harus aku percaya. Dalam kepalaku, itu adalah arti bahwa

ayah dan ibu kemarin menanyakan keadaanku setelah masa-masa perceraian itu.

Mereka khawatir dan berpesan pada Matt agar lebih menjagaku dari memori pahit

itu.

“Mereka khawatir akan kebiasaanmu bekerja rodi mengarang lagu dan

mengonsep karyamu sendirian.” Matt melanjutkan laporannya kepadaku.

174 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Bukankah itu sama saja denganmu?.” Aku menyahut dari dapur. “Kenapa

kau tidak memikirkan dirimu sendiri?. Menikah, misalnya?.”

Lalu, tidak terdengar balasan lagi dari Matt sampai aku keluar dapur dan

beranjak ke ruang keluarga untuk bermain gitar. Kami terjebak dalam hening

selama beberapa saat. Setidaknya sampai aku mendengar langkah kaki Matt

mendekati posisiku.

“Dari awal, aku yang membantumu masuk ke Arist Records dengan kabur dari

rumah, keluar dari sekolah. Tujuanku saat itu hanya satu. Aku ingin membuatmu

menggapai impianmu sebagai seorang pemusik internasional.Setelah kau sukses

dalam musik, tugasku bertambah. Salah satunya adalah menjagamu. Dan itu

berarti berhubungan dengan semuanya. Dari mulai kesehatanmu, sampai dengan

kehidupan pribadimu. Aku bertanggung jawab penuh atasmu sekarang ini.” Suara

Matt terdengar di telingaku, berada dekat denganku, dan tenang. Aku tidak

menoleh dan hanya mendengarkan ucapannya yang kini merendah.

“Hanya setelah kau mendapatkan semuanya, aku akan mulai memikirkan

diriku sendiri. Ketahuilah itu.”ucap Matt lagi.

Mendengarkan ucapannya barusan, aku menghentikan permainanku dan terdiam.

Tidak terdengar suara dari Matt, juga aku. Dalam diam, aku menyadari maksud

ucapannya barusan. Dia tidak ingin ini semua berlarut-larut. Aku dan Matt sudah

sama-sama dewasa. 26 dan 29. Malu kalau masih mementingkan ego sendiri….

“Yah…aku pikir kau tidak akan mendengarkan ucapanku sama sekali…”sela

Matt menyerah. Dia bangkit dan akan berlalu dari ruang keluarga.

175 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Tapi sebelum dia terlanjur jauh, aku mengikuti langkahnya, mencegahnya berlalu

dengan memegang lengannya. Dia berbalik menghadapku, tidak menepiskan

tanganku.

“Maaf.”kataku sebelum dia bicara.

Matt mengangguk pelan membalasnya dan tersenyum. “Bagaimanapun… kau

masih Amber yang manja dan keras kepala…”katanya setengah meledek.

Aku hanya menyeringai kuda mendengar perkataannya. “Kalau tidak begitu,

bukan aku namanya….”

Matt tergelak mendengar itu dan tangannya terangkat, mengacak-acak rambutku

dengan santai. “Ayo kita ke kamar, meringkuk di bawah selimut sambil bermain

tik tak toe…”

“Ya. Ayo..” Aku setuju, menerima ajakannya dan kami ke kamar. Bermain tik

tak toe memang hal yang kami suka lakukan bersama untuk mengisi waktu.

Terutama setelah jauh dari Ontario.

***

09.00 a.m…

Aku dan Matt telah berada di studio dan baru saja selesai mengecek keadaan

studio yang akan kami pakai selama lima bulan ke depan. Sebenarnya kalau

studio ini akan kupakai sampai setahun juga, Matt sudah membayar sewanya lebih

dari cukup. Jadi selama apapun itu, tidak akan masalah bagi kami semua.

Berhubung aku dan Matt ada di studio ini sejak pukul 7 pagi dan belum

sarapan, jadi Matt memutuskan memasak untuk kami. Awalnya dia memaksaku

untuk ikut serta. Tapi dengan bujukan dariku, Matt akhirnya mau memasak

176 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
sendiri. Katanya, dia akan memasakan 2 porsi besar nasi goreng untuk kami. Aku

jadi penasaran bagaimana rasanya… Apa masih seenak dulu atau tidak?....

Sambil menunggu, aku mengambil beberapa lembar kertas kosong dan pulpen

di tempatku sekarang ini – ruang rekaman – dan mulai menuliskan sesuatu. Siapa

tahu saja satu lagu bisa selesai selama Matt memasakan makanan untuk kami….

Aku memulai dengan kata „Deepest‟.

Selanjutnya, kata-kata untuk lagu ini mengalir dengan sendirinya dari

tanganku dan kepalaku perlahan membentuk chordnya dan bayangan hasil jadi

musiknya. Aku mulai terlarut dalam duniaku sendiri, dalam lagu itu. Gitar akustik

di awal…

“Sudah mulai bekerja?.”

Sebuah suara mengagetkanku. Aku menghentikan tanganku mencoret-coret

kertas itu dengan kata dan nada dan menoleh ke arah suara asing itu. Yang jelas

bukan Matt. Kalau mau menjahiliku, dia bisa saja langsung menyuapkan nasi

buatannya ke mulutku.

Ternyata memang bukan. Itu Chad. Dia tersenyum, membuatku berpikir,

sudah berapa lama pria itu duduk di belakangku?.

“Hai…?.” Malah suara standar itu yang keluar dari mulutku. “Ya. Aku

hanya…iseng..mencoret-coret sambil menunggu sarapan.” Aku malah salah

tingkah melanjutkan ucapanku di hadapannya. Diam-diam, aku mengutuk diriku

sendiri karena itu. Chad mengangguk-angguk membalasnya. Sejenak, aku

tertegun memandanginya. Terakhir kutahu, rambutnya panjang. Di tur terakhirnya

177 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
yang aku lihat pun – yang disiarkan MyChannel – dia masih terlihat belum

memangkas rambutnya. Sekarang rambut itu sudah rapi, pendek.

“Mana yang lainnya?.”tanya Chad kemudian.

Aku tergelak sejenak mendengar pertanyaannya, lalu menjawab, “Paling sedikit

telat… Biasa… mereka orang lama. Jadinya sedikit kurang ajar…”

“Oh…begitu…” Chad mengangguk paham membalas jawabanku. “Kau

dengan siapa kemari?.”

“Matt : manajer sekaligus kakakku.”jawabku. Aku memutar posisi dudukku

yang tadinya membelakanginya, jadi menghadapnya. Kami berhadapan sekarang,

di lantai, dengan pusat lima lembar kertas yang tiga diantaranya telah nyaris

menjadi „sampah‟ yang berguna jika diterima oleh produserku : Max Martin,

Shellback, dan Chad Morrison. Salah satu diantara mereka telah ada di hadapanku

sekarang.

Chad tidak membalas lagi dan aku kembali ke semua lirik dan chord itu. Tak

lama aku tersadar sesuatu. Oh, ya…

Ucapan „Senang bertemu denganmu‟…. Terkadang aku lupa mengatakan

itu….

Aku melepas pulpenku dan mengangkat wajah. Tapi tidak dengan Chad. Dia

terlihat masih menunduk memeratikan kertas-kertas diantara kami. Perhatiannya

masih kesana….

Aku pun mengulurkan tanganku untuk mengalihkan perhatiannya. “Senang kau

bisa datang hari ini.”ucapku renyah. Disusul gelak tawa sesaat melihat gerak

178 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
geriknya yang agak kaku, seperti seluruh perhatiannya memang sedang kepada

kertas-kertas itu.

Chad mengangkat wajahnya dan membalas uluran tanganku. “Ya. Aku juga.”

Lalu, selesai. Aku kembali memegang pulpen dan dia kembali memeratikan.

“Akan dibuat seperti „Punk Boy‟ atau bagaimana?.” Dia bertanya tiba-tiba.

Aku tergelak karena bersamaan, muncul irama lagu itu. Jujur saja, lagu itu sangat

bisa membuat orang berjingkrak-jingkrak, bahkan dihampir semua konserku yang

menyanyikan lagu itu. “Terlalu ekstrem aku pikir…”jawabku santai. “Mungkin

mendekati.” Aku mengambil salah satu dari tiga kertas itu dan menyodorkannya

pada Chad. “Iramanya memang menghentak. Kau bayangkan saja dulu.”kataku

mempersilahkannya membaca lebih jelas apa yang kutulis sejak tidak sampai

sepuluh menit lalu itu.

Chad mengangguk sekali dan tanpa berkata apapun, dia membaca kertas

tulisanku.

“Oh, sudah datang kau rupanya…?.”

Aku dan Chad menoleh. Mungkin motivasinya berbeda. Kalau aku dengan rasa

lapar yang tiba-tiba menyerang perutku ketika bau nasi goreng itu masuk ke

hidungku, tapi kalau Chad dengan suara Matt yang bernada menerka-nerka.

“Kemari…bawakan makananku.”kataku. Aku melepas fokusku dari kertas itu

dan beralih ke makanan.

Matt menghampiri kami dan meletakan makanan di meja, baru menjabat

tangan Chad. “Aku tidak tahu kau akan datang sepagi ini…”katanya santai.

Chad tertawa renyah membalas ucapan Matt. “Paling tidak, aku tidak rugi…”

179 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Benar…” Matt tergelak sopan dan mulai makan. “Maaf hanya membuatkan

dua porsi. Aku tidak tahu kau sudah ada disini.”

“Tidak apa-apa. Aku sudah makan di rumah, tadi.” Chad membalas sungkan.

Dilihat dari matanya, taruhan, dia sangat ingin kembali fokus ke kertas lagu itu

lagi.

“Langsung dari Ontario atau…”

“Dari rumah…” Chad memutus ucapan Matt. “Aku tiba dari Ontario tengah

malam tadi.”

Membalasnya, Matt hanya mengangguk-angguk dan kembali makan.

__________

-Chad-

KESAN pertama yang kudapat dari seorang yang mengalahkanku di Grammy

Awards pertamanya dalam kategori „Lagu Terbaik Tahun Ini‟ dan „Album

Terbaik Tahun Ini‟ pada tahun 2002 adalah tidak percaya dia sehangat ini pada

orang baru. Entah karena aku yang baru terbiasa lagi dengan yang namanya kerja

sama dengan musisi lain atau bagaimana, yang jelas, baru dengan Amber-lah aku

tidak merasa canggung. Melihat tingkahnya saat aku menyapanya dengan tiba-

tiba, aku jadi ingin tertawa tergelak. Tapi dibalik itu semua, dia sangat mudah

menaikkan suasana canggung yang terjadi, bahkan kalau itu terjadi dalam dirinya

sendiri.

“Buka mulutmu.” Amber berkata pada Matt. Memperhatikan kelucuan mereka

makan pagi, diam-diam aku tersenyum, mengingat aku juga seperti itu pada ibu

180 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
kalau sedang pulang ke Hanna Alberta, Ontario. Maksudku, aku yang menyuapi

Ibu..bukan sebaliknya.

Matt membuka mulutnya dan menerima suapan Amber. “Aku saja habis.

Nafsu makanmu sudah tidak sebesar dulu?.” Matt memang sudah menghabiskan

porsinya, sementara Amber belum. Dia mengaku kekenyangan dan ingin kembali

menulis lagu.

“Ya.”jawab Amber sambil menyiapkan suapan berikutnya. “Selain itu, kau

harus belajar disuapi, Kak…”

Matt menyeringai mendengar ucapan adiknya itu. Kurasa itu bukan seringaian

biasa dan hanya mereka yang tahu maksudnya….

Tak lama kemudian, acara makan pagi mereka selesai. Matt membereskan

piring bekas makan dan Amber kembali kepada kertas-kertas yang tadi dia

tinggalkan. Jejak gelak tawa pada suaranya karena candaan mereka tadi masih

tersisa. Dia menarik nafas untuk kembali berkonsentrasi. Aku nyaris tidak bisa

mengalihkan fokusku pada ekspresinya yang seolah berkata dengan cukup keras :

„Ayo kita kembali pada album ini!‟, dengan suara semangat.

“Dia…memang agak konyol.”gerutu Amber dengan suara yang masih

setengah tergelak. Aku tahu maksudnya adalah Matt.

Menanggapi ucapannya, aku hanya tersenyum dan melepaskan mataku dari

kertas-kertas itu karena telah selesai membacanya dan membentuk nada, lirik, dan

chords dalam lagu itu. Sangat…tricky aku pikir.

“Ayolah, bercerita sesuatu atau apa…?. Sejak tadi kau tidak bicara, Chad.”

Amber berkata sambil tersenyum. Dia mengangkat wajahnya dan menekuk kaki,

181 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
melepaskan fokusnya dari kertas-kertas itu. “Sebelum ada Max dan Shellback.”

Lalu dia menghela nafas panjang.

“Bercerita apa?. Aku tidak punya cerita yang menarik…”kataku membalas,

setengah terkejut dengan apa yang dikatakannya tadi. Kukira kami akan berada

dalam diam yang tidak menjengahkan setelah Amber selesai makan karena dia

lebih memilih terfokus ke lagunya yang hampir jadi itu. Tapi ternyata dia malah

mengajakku mengobrol.

“Aku tidak percaya…”sahutnya sambil tergelak. “Kau pasti punya banyak

cerita, Chad…”

Mm, kalau begitu aku tahu jalan yang lebih baik untuk menyambung obrolan ini.

Wawancara…”Tanya saja aku. Aku akan menjawab. Apapun itu.”

“Apapun itu?.”

“Ya.” Aku mengangguk.

“Baik…” Amber mengangguk-angguk sendiri dan duduk bersila, membuatku

merasa seperti seorang kakak yang sedang diajak main oleh adiknya.

Tapi sebelum Amber bisa mengajukan pertanyaan, Matt masuk ke ruang rekaman.

“Hei, kalian tidak apa jika ditinggal dulu?. Ian menyuruhku ke Arist.”

“Apa katanya?.” Amber bertanya.

“Ada undangan konser di FoxTroops, Prince Rupert. Ian mau bicarakan

tentang itu.”jawab Matt.

“Lama?.” Amber bertanya lagi.

“Mungkin agak lama. Paling telat sampai siang nanti. Tapi aku akan makan

siang disini.” Matt memberikan keterangan pada Amber dengan sabar.

182 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Ya sudah.” Amber mengiyakan. Lalu, dia kembali berbalik padaku. “Hati-

hati.”

“Ya.” Tak lama dari itu, Matt pergi. Tinggallah kami berdua disini, dalam

wawancara yang akan dimulai. Yang aku perhatikan dari nada dan gaya bicara

mereka berdua barusan adalah, mereka berdua sebenarnya perhatian pada satu

sama lain. Tapi mereka sama-sama tidak ingin menunjukan perhatian mereka

terlalu dalam. Matt dan Amber sama-sama cuek.

“Ayo.” Amber menyadarkanku. “Benar kau akan menjawab semuanya, ya?.”

“Iya…” Aku tersenyum setelah itu.

“Pertanyaan pertama : keponakanmu ulang tahun yang ke berapa kemarin?.”

Dalam hati, aku tersenyum mendengar pertanyaan pertama darinya. Tidak terduga

sama sekali. Kujawab saja pertanyaannya dengan apa adanya. “Sepuluh.”

Amber mengangguk paham dan terdiam sejenak sebelum berlanjut ke pertanyaan

berikutnya. Kutebak, itu hanya untuk mengingat-ingat. “Sudah berapa tahun

Neckredback berdiri?.”

“Hm…” Mendengar pertanyaan keduanya, tambah tidak bisa ditebak. Dia

menjalar ke karirku. “Tahun ini, tujuh belas tahun.”

“Tanggal?.”

“12 Juni.”

Untuk kesekian kalinya, Amber memasang ekspresi mengingat-ingat sesuatu

dalam diamnya. Dia tersenyum dan melanjutkan. “Kalau yang ini, maaf sedikit

menyinggung. Tapi aku ingin tahu.”

Pasangan?. Umur?... Itu sudah tidak menyinggungku…

183 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Baik. Tak masalah. Apa?.” Aku mempersilahkan dia bertanya.

“Berapa umurmu?.”tanya Amber hati-hati. Dia memasang tampang tidak

enak.

Melihatnya, aku tergelak sebelum menjawab. “36 tahun. Dan kau?.”

Sesaat, aku bisa melihat Amber terkaget mendengar jawabku. Tapi dia cepat

memulihkan kagetnya dengan menjawab pertanyaan balikku. “26 tahun…”Dia

menjawab itu dengan suara yang pelan dan lambat… Kurasa pikiran tidak

percaya mulai menggelayut dalam kepalanya sekarang ini.

“Lalu kalau kau bertanya tentang „apakah aku sudah menikah‟, jawabannya

adalah belum. Aku belum menikah.” Kusambung saja obrolan kami dengan

keterangan dariku sendiri. Amber sudah terlanjur menyinggung soal umur, dan

ujung-ujungnya adalah ke pasangan hidup. Paling tidak semuanya akan berbeda

jika aku masih berumur 28 atau 30….

Mendengar ucapanku barusan, meski awalnya Amber mengeluarkan wajah

anehnya, tapi setelah itu dia tertawa, nyaris lepas, tapi tidak begitu keras. “Kau

bercanda, Chad?...”

“Tidak, aku serius…” Aku menyangkal pertanyaannya. “Kalau kau tidak

percaya, silahkan lihat di Wikipedia…”

“Lalu, bagaimana dengan keluargamu?. Mereka melakukan tindakan

perjodohan atau semacamnya?.” Dalam hati, aku menertawakan diriku sendiri.

Amber bertanya tentang sesuatu yang tidak akan pernah keluargaku lakukan…

“Tidak. Tidak pernah…” Aku menjawab. “Mereka membiarkanku memilih

pasanganku sendiri, sesuai waktu dan orang yang tepat.”

184 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Setelah jawabanku itu, entah kenapa Amber terlihat merenung. Dia tidak

menyambung obrolan kami lagi dan tatapannya mengarah lurus, ke bawah, seakan

memperhatikan sesuatu yang abstrak. Khawatir ada yang menyinggungnya pada

jawabanku, aku ikut diam, mencoba mengulang kembali apa yang aku katakan

barusan dalam kepalaku sendiri.

Tidak ada yang salah… Atau, dia teringat sesuatu di kehidupan pribadinya?.

Oh, ya…. Aku tahu apa yang membuatnya tiba-tiba murung… Kata „orang

yang tepat‟ pasti menyinggungnya, mengingat dia sudah bercerai dengan mantan

suaminya. Atau seperti itulah kabar terakhir yang aku tahu dari Wilem saat itu.

“Maaf.”kataku refleks.

Amber mengangkat wajahnya dan tersenyum tanggung. “Tidak masalah…”

“Sekarang giliranku.”kataku lagi, mengembalikan keceriaan dalam obrolan

kami sebelumnya. “Boleh?.”

Amber tersenyum lebar menyadari usahaku mengembalikan topik. “Tidak…

Masih giliranku.”

“Kalau begitu ayo lanjutkan.” Aku mengajak. Saat senyumnya kembali lagi,

jujur saja, aku lega. Karena kalau tidak, aku akan menyambung obrolan kepada

semua cerita-ceritanya atau malah akan diam sama sekali dan semuanya berubah

menjadi kaku.

-Amber-

CHAD memilih cara mengobrol yang unik denganku hari ini. Dia lebih memilih

diwawancarai daripada menceritakan kisah hidupnya sendiri. Dari semua yang dia

185 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
katakan, aku paling terkejut dengan dua hal : soal umur dan pasangan. Jujur saja,

aku tidak mengerti kenapa pria pengertian dan dewasa seperti Chad belum juga

mendapatkan pasangan yang tepat. Padahal diluar sana banyak wanita yang bisa

dia pilih sesuka hatinya – dan yang pasti akan bisa dia bahagiakan dengan

selayaknya – daripada lebih memilih untuk sendiri di umur yang sudah nyaris 40

tahun itu.

Aku sendiri nyaris saja membuatnya bertanya tentang kehidupanku – padahal

itu masih bagiannya untuk ditanya – dengan diam setelah Chad berucap soal

apakah keluarganya pernah terpikir untuk menjodohkan dia dengan seorang

perempuan. Aku langsung termenung, terdiam setelah tiga kata itu terucap :

„orang yang tepat‟. Seketika pikiranku langsung melayang pada Darren. Ya. Dia

memang bukan orang yang tepat untukku.

Tapi tak lama dari itu, Chad menyadari kenapa aku bisa mendadak terdiam

dan langsung mengembalikan kami pada topik awal dengan menawarkan dirinya

menjadi penanya dalam obrolan kami. Aku menolak itu dan obrolan kami

berlanjut pada kisah-kisahnya.

Lalu tak lama kemudian, Max dan Shellback datang, tepat setelah terdengar

suara ribut-ribut dari lantai satu studio ini.

“Pagi semuanya!.” Max berseru. Setelah itu dia melemparkan tas ke salah satu

sofa yang ada di ruang rekaman.

“Siaang…”balasku acuh. Chad dan aku bangkit dan menyalami mereka.

186 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Kami tidak melihat jam saat datang kemari..”kata Shellback santai. Ayah dua

anak itu duduk setelah menyalami Chad. “Jadi kau yang bergabung dalam trio gila

kami?.” Dia berkata dengan renyah.

“Trio gila?.” Chad mengerenyit tidak mengerti mendengarnya.

“Aku, Amber, dan Max. Terkadang ditambah Matt, jadi kuartet.” Shellback

menjawab sambil tergelak.

Haha…ya, benar apa yang dia katakan…. Aku dan mereka berdua kalau sudah

terjebak dalam konsep sebuah album, di tengah pengerjaan nanti, pasti salah satu

dari kami ada yang gila. Seperti misalnya : ketagihan memakan Doritos saat

mengonsep sesuatu diatas kertas, atau seharian malah menonton film dan berhasil

menghasut seisi tim produksi untuk melakukan itu, atau yang paling parahnya,

tertawa semalaman dan menginap di studio karena sebab yang kami sendiri tak

mengerti. Itulah kenapa proses pembuatan albumku tak jarang mengalami pause

di tengah-tengah dan seringkali terasa lama.

“Nanti akan kuceritakan kebiasaan kami kalau sedang gila..”kata Max santai.

“Sekarang, ayo kita mulai bekerja!.”

Aku menjegal tangannya yang akan mengambil kertas selembar dan pulpen dari

laci meja audio. “Aku sudah menyelesaikan satu lagu. Coba kalian lihat dulu.”

“Oh, benarkah?.” Shellback merengut, tidak percaya.

“Ya..” Giliran Chad yang membalas, mengiyakan. Dia menyerahkan kertas-

kertas tadi dan mempersilahkan mereka berdua untuk membacanya.

Tak lama kemudian, Shellback berdiri dan ke depan meja audio, duduk disana

dan terdiam lama…sekali. Ini kebiasaannya kalau sedang membayangkan hasil

187 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
jadi sebuah lagu. Tapi kadangkala aku dan Max tidak bisa menebak apa yang

sedang ia pikirkan kalau sedang melakukan itu. Bisa jadi benar, bisa jadi salah.

“Apa yang dia lakukan?.”tanya Chad berbisik.

“Berkhayal..”kataku dengan suara sama pelannya.

Tiba-tiba, Max memberikan kertas itu pada Chad dan mendorongku masuk ke

tempat perekaman. “Kita coba rekam lagunya. Ayo!.”

Ternyata… Aku kira mereka ingin bersantai-santai dan mengobrolkan hal

yang tidak terlalu berguna sampai Matt datang. Baguslah…kami jadi sudah bisa

memulai proses produksi pada satu lagu awal.

Aku masuk ke tempat perekaman lagu dan mengambil gitar. Di belakangku

ada Chad yang memegang kertas lagu itu. Dia memberikannya padaku dan tak

lama kemudian, aku mulai menyanyikan lagu yang diberi judul „Roll This Deep‟.

-Chad-

KAMI memulai proses perekaman demo kasar. Amber dan aku ada di dalam

sekarang sementara Max dan Shellback berada di luar, mendengarkan proses

perekaman lagu pertama yang ternyata sudah selesai dan diberi judul „Roll This

Deep‟.

“Mulai, Am!.” Max memberi perintah dari luar dengan suara sementara

Shellback memberi perintah isyarat.

Amber memulai. Dia bermain dengan gitarnya dan bernyanyi tanpa melihat

kertas itu seperti dia sudah hafal semua lirik dan chordnya. Di dalam sini pun, aku

menikmatinya. Dari balik microfon, Amber terlihat menikmati lagunya sendiri.

188 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Tak ada protes juga sejauh ini dari Max dan Shellback yang merekam lagu ini dari

luar sana.

Tapi tiba-tiba lagu itu berhenti. “Maaf, aku lupa chordnya.” Amber menyela.

Dari luar, Max dan Shellback menunjukan wajah protes mereka karena lagu

yang tengah mereka dengarkan mendadak diinterupsi dengan cara yang tidak

mereka sadari, mungkin. Mereka langsung mencelos begitu lagunya berhenti,

begitupun aku. Aku sendiri ketika mendengar selaan itu baru menyadari lagunya

berhenti. Diam-diam, aku mendengus.

“Sebentar….”kata Amber pelan. Dia membaca lagi kertas itu, lalu tergelak.

“Oh, ya.” Tak lama, Amber mengangkat wajahnya. “Ada yang punya

usul?.”tanyanya pada kami semua.

Aku mendekati Amber, begitu juga Max, dia masuk ke tempat perekaman.

“Ada apa?.” Max bertanya, sementara aku diam saja, melihat kertas yang ada

di hadapan Amber. Disana tertulis chord G mayor.

“Aku rasa chord ini tidak pas.”ucap Amber pada Max.

“Ganti saja dengan G. Turunkan sedikit. Begitu juga chord di belakangnya.”

Aku berkata setelah terdiam sejenak. Dari range suara Amber, memang kalau lagu

itu dihabiskan, Amber bakal kewalahan, apalagi dengan suara aslinya nanti, bukan

suara studio.

Max melirikku. “Coba saja usulannya.”katanya setuju. Dia menepuk pundakku.

“Kau tetap di dalam.”ucapnya sembari menyeringai. Lalu, Max keluar, kembali

pada Shellback.

“Kau yakin akan terdengar seperti seharusnya?.”

189 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku mengalihkan perhatian dari Max begitu Amber bertanya. Dia sudah berbalik

ke arahku sekarang dan memandangiku tidak yakin.

“Coba saja.”kataku, lalu tersenyum. “Range suaramu tidak akan jauh dari itu.”

Aku memberitahu.

Dari luar, Max memberikan isyarat untuk Amber kembali memulai lagunya,

menyambung lagu yang tadi sudah sampai bagian reff.

***

Kuakui, hingga nyaris makan siang ini semuanya berlangsung seperti seharusnya.

Bahkan lebih menyenangkan daripada perkiraanku. Sampai jam setengah dua

belas siang ini, kami baru menulis empat lagu dan mencoba tiga diantaranya.

Amber punya andil dalam keempat lagu itu dengan dibantu aku, Max, dan

Shellback dengan chordnya. Baik chord awal, maupun saat penyempurnaannya.

Sepanjang nyaris tiga jam ini, kami berulang kali keluar masuk tempat

perekaman dan berganti chord untuk mencari chord yang pas. Sepanjang itu pula,

semuanya selalu diselingi dengan tertawaan karena lelucon konyol dari mereka

bertiga, sementara aku lebih memilih mendengarkan. Diam-diam aku tersenyum

setiap kali melihat Amber tertawa begitu lepasnya. Entah karena nada yang tidak

pas, dia lupa lirik saat perekaman, atau menertawakan lirik yang konyol. Aku

menyadari, dia sangat berbeda kalau sudah berurusan dengan musik. Amber

seakan melupakan semua masalahnya.

“Kita istirahat dulu, kawan-kawan!.”seru Amber tiba-tiba. Dia membawa serta

kertas-kertas lagu itu keluar tempat perekaman. Aku keluar setelahnya.

190 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Sejauh ini cukup bagus, aku rasa.”kata Shellback mengomentari. Dia duduk

di sofa yang tadi dia duduki saat datang kemari dan merebah. “Makan apa kita

siang ini?.”

Amber mengangkat bahu membalasnya. Dia melihat ponselnya yang disimpan di

dalam tas dan entah kenapa sejurus kemudian dia tersenyum lebar. “Matt

membawakan makanan kita…”Oh...pantas saja…

“Apa katanya?.” Max bertanya. Dia mengambil posisi paling santai dalam

lingkaran kami, yaitu tiduran.

“Lima porsi steak, dan beberapa minuman kaleng.”jawab Amber. Dia kembali

menyimpan ponselnya ke dalam tas dan menoleh padaku. “Bolehkah?.”

Aku mengerenyit mendengar pertanyaannya. Tapi tak ayal, ekspresi lucunya itu

membuatku mengangguk meski aku tidak tahu pasti maksudnya apa. Tak lama

dari itu, Amber menjatuhkan kepalanya di kakiku yang duduk bersila. “Seperti

tertidur di atas beruang besar…”gumamnya sambil tersenyum lebar.

“Heeeh… Memang…”timpal Max setuju. “Kau mengerti gumamannya

barusan?.” Dia bertanya padaku.

Aku mengangguk setelah terdiam. Beruang besar…Yang Amber maksud adalah

aku. “Aku, kan?.”

“Benar..”sahut yang punya gumaman itu.

Kalau dipikir, memang benar juga… Amber satu-satunya wanita disini dan

sebagai seorang wanita, posturnya memang seperti remaja umur 14 tahun. Ketika

dia tiduran di kakiku yang sedang bersila, rasanya seperti yang sedang tiduran itu

191 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
adalah anakku sendiri… Dalam ukuran tubuh, aku dan Amber memang

berbanding terbalik.

“Sebentar, teman-teman. Anakku menelepon.” Shellback pamit pada kami dan

keluar ruang rekaman. Tinggal kami bertiga sekarang.

“Anaknya yang mana?.”tanya Amber lugu. Entah itu spontan atau benar-benar

lugu, aku tidak tahu pasti.

Menjawabnya, Max mengangkat bahu dan bangkit. “Aku ingin membeli snack

dulu di depan. Ada yang mau menitip sesuatu?.”tawarnya sembari mengambil

dompetnya yang tadi diletakan di laci meja audio.

“Doritos dua bungkus.”kataku memesan. Aku menoleh pada Amber, “Kau

mau menitip?.”

“Hmm…” Dia terlihat berpikir. “Kopi – apa saja – dua dus, untuk disimpan di

pentry sebagai persediaan kita.”

Max mencatat kedua pesanan itu di kepalanya. “Oke. Kabari kalau sesuatu terjadi.

Biasanya aku akan sangat lama.”

Amber tergelak menanggapi selorohan itu, “Perang dunia, iya..”“Sudah sana!.”

Dengan santai, dia menendang sepatu Max ketika pria itu keluar dari ruang

rekaman. Setelah ruangan ini kosong, yang tersisa hanya gelak tawa darinya.

Amber menarik nafasnya dan terdiam, seperti memikirkan sesuatu. Dia

menggilirkan kepalanya ke sebelah kanan kakiku dan menghela nafas.

“Ada apa?.” Aku bertanya padanya.

192 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Kakimu empuk sekali..”jawabnya pelan. Dia membenarkan posisi tidurnya

dan kembali diam. Aku tidak membalas apapun atas jawabannya, hanya diam

walau sebenarnya kakiku sudah sedikit kesemutan.

__________

-Amber-

AKU nyaris saja tertidur di atas kaki Chad. Kakinya nyaris menjadi bantal yang

pas untuk kepalaku – hanya saja tidak berbentuk pipih dan polos… Dia juga

terima-terima saja ketika aku tiduran di kakinya padahal kami baru setengah hari

ini bertemu. Haha… Bukannya bermaksud tidak sopan atau apa, tapi aku tidak

ingin menciptakan kesan pada Chad kalau aku ini adalah artis yang sedang dia

produseri dan harus serba kaku jika berkomunikasi denganku atau yang lainnya

hanya karena dia orang baru dalam proyek ini.

Ketika aku diam, dia pun tidak bicara, seperti menungguku untuk melakukan

itu. Kuduga, dia nyaman dengan kondisi ini. Chad adalah tipe orang yang tidak

selalu harus bicara dengan orang lain untuk menunjukan kemampuan dan

keinginannya. Itu terlihat pada perekaman lagu pertama saat dia mengusulkan

penurunan chord yang sudah aku susun. Dia diam sebentar, lalu mengusulkan itu,

membuat lagu pertama selesai lebih cepat daripada lagu kedua dan ketiga. Paling

tidak, dalam demo kasarnya.

Lama kami terjebak dalam diam sampai Chad menunduk padaku. “Boleh aku

bertanya sesuatu?.”

Aku mengangguk mempersilahkan menjawabnya.

“Matt sudah menikah?.”

193 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Mendengar pertanyaannya barusan, aku tergelak. “Belum… Dia masih lajang

gara-gara kerepotan mengurusiku..”jawabku santai.

Chad mengangguk-angguk mengerti mendengar jawabanku dan memalingkan

wajahnya ke arah lain dan tidak berkata apapun lagi. Kami kembali terdiam

sampai tuas pintu bergerak. Kuduga itu Max. Tidak lama… Aku berpikir

menyimpulkan.

Ternyata bukan… Itu Matt. Dia membawa dua kantong kresek berisi makanan

dan minuman. Matt memandangiku dan Chad dengan tertegun.

“Apa?.”kata Chad bingung. Dia menyadari tatapan aneh Matt dan tidak paham

apa maksudnya.

“Tidak…” Matt menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri dan masuk,

meletakan kedua kantong itu di lantai dan mempersilahkan kami membukanya.

Dia duduk di hadapan kantong itu bersama Shellback yang kebetulan baru masuk.

Aku bangkit dan membuka kantong pertama lalu mengeluarkan semua isinya. Tak

lama aku tersadar sesuatu. Oh, iya…Max masih di luar…

“Tunggu sebentar, Kak.”kataku sambil berdiri. “Max masih di supermarket

depan. Aku telepon dia dulu.” Aku melanjutkan dan mengambil ponselku di tas.

Lalu keluar, menelepon Max yang mungkin saja masih memandangi semua benda

dalam supermarket itu dengan mata yang berbinar sementara gigit jari sendiri

karena skala prioritas yang selalu dia kedepankan dalam perbelajaan apapun….

“Halo, Maxi?.”kataku begitu dia mengangkat telepon.

194 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Ya. Ada tambahan lagi?. Aku sudah keluar dari supermarket.” Max

membalas dengan suara kresek yang terdengar samar di seberang sana. Dia repot

dengan belanjaannya sendiri.

Aku tergelak mendengar jawabannya. “Tidak… Matt sudah datang. Kemarilah,

cepat. Kalau tidak, akan kuhabiskan porsimu.”

“Ohh… jangan!.” Dia berseru histeris. Tak lama kemudian, sebelum aku

sempat menutup teleponnya, Max sudah muncul dari balik tangga dan membawa

dua kresek besar yang berisi belanjaannya, aku, juga Chad.

Aku mengisyaratkan padanya untuk cepat masuk. Dan dia pun masuk setelah

aku.

***

08.00 p.m…

Kami menyelesaikan lima lagu demo kasar hari ini. Matt cukupkan dulu pekerjaan

kami hari ini di Shelfield Studio. Setelah kelima belas lagu untuk album ini selesai

direkam secara kasar, Matt akan membawa hasil kami pada Ian dan

mendiskusikan lagu yang mana saja yang akan berada di urutan satu sampai

dengan lima belas. Kalau ada yang Ian tidak setujui dari kelima belas lagu itu,

kami akan membuat lagu lain. Begitulah skema kerja kami selama empat albumku

belakangan ini.

Saat ini kami berdiri melingkar di tengah-tengah ruang rekaman sementara

Matt menyelesaikan pidato ucapan terimakasihnya kepada ketiga produserku. Di

sebelahnya ada Max, lalu Shellback, Chad, baru aku.

195 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“…besok, kalian datang lagi pada pukul satu siang, ya?. Paginya Amber ada

jadwal kerja dulu.”kata Matt pada mereka bertiga.

Aku menyambung ucapan tanggungnya, “Terimakasih untuk kerja samanya hari

ini, teman-teman. Aku harap semuanya bisa berlangsung lebih baik dan lancar di

besok hari.”

“Ya. Terimakasih semuanya. Selamat istirahat. Hati-hati di jalan..” Matt

menutup pertemuan kami hari ini dan tak lama kemudian, lingkaran itu bubar.

Semuanya keluar studio sebelum aku dan Matt.

Satu persatu pulang. Max dan Shellback dengan mobil tua mereka, dan Chad.

Dia tidak terlihat membawa kendaraan.

“Kau berjalan kaki?.”tanya Matt ragu.

“Ya. Rumahku dekat dari sini.” Chad menjawab dengan santai. Aku

perhatikan sejak tadi pagi, jadi orang yang datang terpagi di studio dan banyak

menyumbang ide untuk lirik maupun chord, tidak membuatnya lesu sama sekali.

Tidak tersirat kelelahan dari wajah ovalnya itu.

“Oh…ya sudah. Hati-hati kalau begitu.”kata Matt mengerti. Mereka

bersalaman sementara setelah itu Chad hanya mengangguk padaku lalu dia pergi

ke arah yang berlawanan denganku.

Setelah memandangi kepergian Chad, Matt menoleh padaku. “Ayo.”

Membalasnya pun aku hanya mengangguk dan mengikutinya masuk ke mobil.

“Kau ada wawancara dengan GenreTM di pukul 8 pagi besok. Lalu dengan

MSN Music dua jam berikutnya. Setelah itu di jam 11 kau ada di radio TeeMusic

sampai jam 12 siang.”

196 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Mendengar deretan jadwal yang akan kulakukan besok, aku mendengus.

Kupikir Matt akan membicarakan soal ini di rumah. Tapi ternyata…. Dia memang

manajer yang baik, kurasa… Selalu mengingatkan artisnya tentang jadwal yang

dia punya….

__________

-Chad-

HARI ini mungkin saja termasuk salah satu hari yang aku bersyukur bisa hadir di

dalamnya. Aku menikmati banyak hal di pekerjaanku sebagai produser. Tapi

entah kenapa dari semua itu, aku paling bersyukur pada satu hal : menyetujui

keterlibatanku di album kelima seorang Amber Lavigne.

Diam-diam, aku mengulum senyum. Kubuka pintu rumahku yang masih gelap

itu dalam diam dan menyalakan lampu-lampu begitu tiba di dalam. Tapi tiba-tiba,

saat aku akan menutup pintu depan, sebuah mobil Mercedes telah bertengger di

halaman rumahku. Mobil Mike. Dan orang itu tersenyum lebar dihadapanku

sekarang.

“Boleh aku menginap disini?.”tanyanya kemudian.

Aku mengerenyit. “Untuk apa?. Kau sedang ada masalah dengan istrimu?.”

“Tidak…” Mike membalas. “Aku ada pekerjaan disini besok pagi dan Winley

tidak pulang ke L.A bersamaku. Dia ingin menetap di Hanna Alberta selama

beberapa hari dulu, katanya.”

Mendengar alasannya yang cukup masuk akal itu, aku mengangguk sekali dan

mempersilahkannya masuk. Yah, mungkin saja Winley masih ingin berlibur di

197 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
rumah mertuanya bersama Harley yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang

ke sepuluh kemarin….

“Habis darimana kau?.”tanya Mike saat aku mengambil minuman untuknya di

dapur.

“Pekerjaan.”jawabku pendek.

“Pekerjaan dengan siapa?. Bukankah kita bebas selama setahunan ini dari

band?.”

“Ya..memang. Tapi aku sedang memproduseri album kelima Amber. Ini hari

pertama proses produksinya.” Aku menjawab lalu memberikan minuman

untuknya dan duduk di sofa satu dudukan. “Kalau kau?. Ada pekerjaan apa

disini?.”tanyaku balik, lalu menenggak minumanku.

Mike terkekeh mendengar pertanyaanku. “Biasa…anak didik teman ayah sedang

butuh bimbingan…”

“Siapa?.” Aku penasaran dengan siapa yang disebut anak didik olehnya.

“Anak-anak di SMA Montenegro Hills.”jawab Mike. “Kepala sekolahnya

langsung meneleponku untuk mengajar kelas musik sekolah itu selama lima bulan

ke depan. Kebetulan yang meneleponku itu teman ayah. Jadinya aku tidak bisa

menolak.” Dia menjelaskan. Seketika aku tersenyum sendiri saat membayangkan

Mike yang serampangan itu menjadi guru musik di sebuah sekolah…. Pasti sangat

lucu..

Mike menghabiskan minumannya dan bersandar. “Pantas saja kau senyam

senyum sendiri tadi….”guraunya tak lama.

198 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku menggeleng menyangkal ucapannya dan tidak membalas lebih lagi karena

tahu akan kemana arah pembicaraan ini.

“Ayolah, Kak…” Mike mengangkat bahu, “Cobalah lebih peka. Sedikit..saja.”

“Mike, sudahlah…” Aku mencegahnya untuk berucap lebih lagi tentang

kemungkinan aku terjebak di dalam sesuatu yang namanya cinta pada pandangan

pertama dengan Amber.

“Tapi itu mungkin, kan?.”balas Mike tetap dalam intuisinya. “Kau senang, kan

hari ini?.”

“Ya…” Kujawab saja tebakan itu dengan sejujur-jujurnya. Tidak peduli Mike

akan meledekku atau tidak.

“Sudah jelas, Chad!” Dia berseru tiba-tiba. “Silahkan tanya ke anak muda

yang sedang kasmaran. Mereka pasti akan mengatakan hal yang sama…”

Aku mengibaskan tangan mendengar ucapan yang terlalu dini itu dan membiarkan

Mike terjebak dalam persepsinya sendiri sementara aku berlalu darinya, bersiap

untuk tidur.

“Hei?. Tidak ada yang tidak mungkin, kan?. Chad!.”

Yah, dan akhirnya, suara itulah yang terakhir aku dengar malam ini. Suara

dari seorang yang yakin kakaknya yang telah lama menyendiri ini akhirnya

bertemu cintanya setelah menjalin hubungan professional antara produser dan

artisnya sendiri…. Tapi yang jelas aku tidak begitu memedulikan itu sampai aku

benar-benar merasakannya sendiri.

***

“Hei…bangun.”

199 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku mengerejap dan membuka mata, tersadar sepenuhnya siapa pemilik suara itu.

Mike. Dan dia sudah rapi.

“Aku mau berangkat.”katanya memberitahu. “Jangan mentang-mentang kau

mulai bekerja jam satu siang, jadi bangunnya juga harus siang. Bangun!.” Dia

menarik tanganku hingga aku terduduk. Mendengar perkataannya barusan, aku

mengerenyitkan dahi. Darimana dia tahu?.

Mengetahui pikiranku, Mike mengeluarkan cengirannya. “Aku melihat pesan

singkat dari Amber di ponselmu.”

Tanpa berkata lagi, aku melemparkan bantal ke wajahnya. “Jangan lakukan itu

lagi!.”

Mike berlalu dari tempat tidurku. Dia tertawa tergelak. “Kau takut aku melihat

pesan yang….” Mike tidak meneruskan gurauannya dan menjauhi tempat tidur,

bersiap untuk kemungkinan lemparan bantal dariku.

“Apa?. Pergi sana!.” Aku bersungut di atas tempat tidur. Setelah dia keluar

kamar dan tak lama terdengar suara mesin mobil dinyalakan, aku baru keluar,

langsung menuju dapur untuk membuat sarapan.

“…aku juga dapat hadiah saat kemarin. Ada 4, kalau tidak salah.”

Sedetik aku coba menerka-nerka suara siapa itu. Setelah membuat sarapan,

aku langsung ke ruang tengah. TV disana masih menyala dan sedang

menampilkan acara GenreTM, sebuah wawancara musik yang kali ini

menampilkan Amber Lavigne.

“Ada dari ayah, ibu, kakakku : Matt, dan adikku : Michelle.” Amber berkata

pada presenter acara itu : Rachel Ray.

200 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Ayah menghadiahkan aku sebuah calengan rencana yang berbentuk kastil.

Kebetulan itu salah satu kastil di Perancis. Ibu : sebuah liontin..” Amber

menunjukan liontin yang sudah dikenakan di lehernya itu pada Rachel. “Ada

tulisan „Matt, Amber, Michelle‟ di liontinnya.” Aku tidak ingat benda itu sudah

ada disana apa belum kemarin….

“Indah sekali..” Rachel berkomentar. “Kalau dari kakak dan adikmu?.”

“Mereka berdua menghadiahkanku tiket bioskop dan voucher belanja alat

musik yang sudah kuhabiskan di liburan kemarin.” Amber tergelak dalam

ucapannya, begitu juga Rachel. “Yah, itu pasti kurasa. Film apa yang kalian

tonton kemarin?.”tanya Rachel masih dalam suaranya yang tergelak.

“Mm…semacam film aksi. Tapi bukan. Judulnya… „Get Over‟.”jawab

Amber.

Aku menyuapkan sarapanku dalam diam sambil menonton acara itu, mulai

tidak memedulikan obrolan mereka di dalam sana. Setidaknya sampai Rachel

menunjukan foto pernikahan Darren dan Amber.

“…oh, tidaak…”dengus Amber malas. Tapi itu tidak sungguhan, aku tahu.

“Kau pasti masih mengingatnya, kan?.” Wajah kemenangan Rachel terlihat

sangat jelas ketika ia bisa mengembalikan ingatan Amber pada masa lalunya.

“Ya… masih.” Amber menjawab. “Lalu, apa yang ingin kau tanyakan tentang

ini?.”

“Kau masih berhubungan dengan…pria ini?.”tanya Rachel lambat-lambat.

Mendengar suaranya yang begitu mengintimidasi, aku mendengus dan

mengalihkan fokusku ke makanan, tidak menonton acara itu lagi. Rasa kesal

201 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
mendadak muncul dalam kepalaku. Tapi tidak membuatku mengganti acara itu

karena aku pun ingin tahu apa yang sebenarnya Amber lakukan dengan

kenangannya.

“Tidak.. Dia sudah sibuk dengan pekerjaannya sekarang…”jawab Amber

santai.

“Lalu, kemarin kalian saling bertamu atau tidak?.”

“Tidak.” Amber menukas. “Terakhir kutahu, Darren dan keluarganya sudah

tidak disana. Mereka pindah ke tempat yang entah dimana itu.”jelasnya pada

Rachel.

Mendengar keterangan itu, aku mengangguk-angguk sendiri. Intinya Amber sudah

tidak berhubungan dengan mantan suaminya. Perlahan, aku mendengus lega dan

menyelesaikan makananku.

-Amber-

SELESAI sudah kegiatanku di luar. Sekarang sudah jam 12 siang dan aku akan

kembali studio seperti kemarin. Matt dan aku sendiri sudah selesai dengan acara

di TeeMusic. Setelah berpamitan pada kru radio itu, kami keluar gedung.

“…mau membeli makanan dulu atau apa untuk persediaan?.” Matt tiba-tiba

bertanya. Dia sendiri tengah sibuk mencari-cari kunci mobilnya.

“Beli. Tapi nanti saja di supermarket depan studio. Beli beberapa makanan

ringan dan minuman saja. Di studio baru ada kopi dan Doritos. Itu juga sisa

kemarin…” Dalam hati, aku tergelak sendiri. Ujung-ujungnya makanan yang jadi

pesanan Chad dan aku kemarin disimpan di studio. Tapi herannya dengan lima

202 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
orang yang jadi penghuni bangunan berlantai tiga itu, tidak membuat dua barang

itu habis seketika.

Matt mengangguk sekali dan ketika sudah menemukan kuncinya, senyuman lebar

keluar dari wajahnya. Kemudian, aku dan dia masuk ke mobil.

“Tebak orang pertama yang datang ke studio.”kataku pada Matt sembari

memasangkan sabuk pengaman.

Matt berpikir sejenak, kemudian dia tersenyum. “Chad...”

Aku menyeringai saja mendengar jawaban itu. Yah, sudah pasti dia yang datang

pertama kali lagi siang ini.

“Aku mulai ragu kalau itu hanya untuk melunakan sikap Chad agar tidak

terlalu kaku selama proyek ini berjalan…”ucap Matt tiba-tiba. Dia memundurkan

mobilnya keluar dari lapangan parkir radio TeeMusic dan tersenyum jahil padaku.

“Jadi…?.” Aku mulai mencelos mendengar ucapannya, sadar perkataanku tadi

adalah salah total. Aku memang menceritakan alasan yang sebenarnya kenapa

bersikap seperti itu kepada Chad kemarin karena Matt terus saja menggodaku

selama perjalanan pulang dan di rumah. Dia tetap pada intuisinya bahwa Chad

menyukaiku, juga sebaliknya. Yang benar saja?. Kami baru kemarin bertemu…

“Dia ingin cepat-cepat melihatmu, Am…” Matt berseloroh, kemudian

menjalankan mobilnya.

“Jangan bercanda…”kataku pendek. Aku tidak mau mengomentari lebih lagi

perkataannya.

203 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Kalau memang benar?.”sahut Matt langsung. Tapi aku tidak begitu

menghiraukannya karena ponselnya yang diletakan di tempat ponsel belakang

persneling berkedip, menunjukan panggilan masuk.

“Matt. Hentikan dulu mobilnya. Ada telepon.” Aku memberitahu.

Matt menoleh ke arah ponselnya dan menghentikan mobil. Lalu mengangkatnya.

“Halo?.”

Tak lama, ekspresinya mengerenyit, heran. Aku mengisyaratkan untuk mengubah

mode panggilan menjadi „loudspeaker‟. Matt menuruti itu.

Hanya helaan nafas yang terdengar. Aku dan Matt menunggu.

Tak lama kemudian, terdengar guratan benda tajam ke sebuah meja. “…aku

akan memburumu..kemanapun kau pergi!.” Suara itu terdengar naik turun. Jujur,

aku kaget dengan kalimat pertama yang kudengar. Siapa si penelepon ini?.

“Masa bodoh soal perselingkuhan!. Jangan jadi wanita yang cengeng!.

Kembalilah pada Darren!. Atau…” Dia melanjutkan dengan nada yang merendah

di akhir ucapannya. Lalu, tak lama sebuah hujaman benda tajam itu mengenai

sesuatu. “…aku akan membunuhmu…”

Mendengar ancaman dari orang tak dikenal ini, aku tertegun. Bukannya takut atau

apa – karena bisa jadi dia hanya seorang yang kurang akal dan mendapatkan

nomor ponsel Matt dari selebaran kertas di jalan raya – tapi lebih kepada : kenapa

dia menyebut nama Darren?.

“Jangan konyol… Artisku dan Darren sudah bercerai, penelepon tidak

bernama…”tanggap Matt santai. “Aku ingatkan kau, jangan berani-beraninya

mengancam kami.”

204 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Lalu dia tertawa. “Hei!. Aku…tidak…bercanda.”ucapnya lambat-lambat.

“Kembalilah. Atau dimanapun itu… sesuatu, atau seseorang…akan

membunuhmu…”

Aku masih tidak berucap mendengar ancaman yang sama. Yang aku lakukan

hanyalah mendengarkan ucapannya dan seketika, kutemukan kesungguhan pada

ucapannya itu.

Tanpa berkata apapun lagi, Matt memutus sambungan itu dan menyimpan

ponselnya di saku jaket. Dia memutuskan tidak menghiraukan ucapan orang tadi

dan melanjutkan perjalanan.

“Dasar aneh…”gumam Matt heran.

Aku tidak memedulikan itu dan memasangkan headset ke telinga. Mungkin

saja dengan tidur sebentar, aku bisa melupakan ancaman itu….

Ckkt!.

Aku tersentak, begitupun Matt di sisiku. Ketika aku menoleh ke arahnya,

wajahnya sudah tidak karuan. Matt terlihat begitu pucat, membuatku yakin bahwa

ucapan orang tadi itu adalah kenyataan.

“Kau menabrak…seseorang?.” Aku bertanya dengan lambat, sangat takut

kalau apa yang dibilang penelepon tadi benar-benar terjadi.

Matt tidak menjawab ucapanku. Dia keluar, memeriksa apa yang sebenarnya

terjadi.

Tapi ekspresinya jauh berbeda dari yang tadi ketika dia tahu apa yang

sebenarnya ada di hadapan mobilnya. Dia tertawa lepas dan tak lama terdengar

205 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
suara papan skateboard di gilirkan ke pinggir jalan. Lalu, dia masuk kembali ke

mobil.

“Ternyata…”racaunya sendiri.

“Apa?.”

“Seorang anak melemparkan papan skateboardnya kepada temannya yang ada

di seberang jalan ketika kita lewat…”jawab Matt masih tergelak. Dia kembali

memakai sabuk pengamannya dan menjalankan mobil.

Aku sendiri begitu tahu yang sebenarnya langsung mendengus lega dan

menghempaskan badanku ke jok mobil. Lalu, aku memejamkan mataku tapi tidak

tertidur.

Tiba-tiba, aku terpikir sesuatu. “Katamu, apakah Darren punya penggemar

fanatik?.”tanyaku pada Matt setelah terdiam. Ya.. kalau memang Darren punya

penggemar fanatik, tadi itu berarti penggemarnya dan harus dia yang urusi.

Bukannya aku.

Matt mengangkat bahu menanggapi pertanyaanku. “Aku rasa, pasti. Tapi mungkin

bukan khusus penggemar Darren. Penggemar kalian berdua, masih

memungkinkan.”jawabnya menyimpulkan. Dia tahu kepada siapa aku

menunjukan pertanyaan ini.

“Aku harus tanggapi penelepon tadi atau tidak?.” Aku bertanya lagi. Sangat

takut kalau memang orang itu akan berlaku nekat padaku, Darren, Hilton, apalagi

keluarga kami.

Matt mendengus mendengarnya. Dia menengok padaku, “Tidak. Anggap saja dia

itu orang tidak dikenal atau apalah… Tidak penting juga untuk karirmu…”

206 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku tidak berucap lagi, berusaha melakukan apa yang Matt ucapkan. Biasanya

semuanya tidak akan terasa sulit.

“…kecuali kalau kau masih menganggapnya penting dalam hidupmu.”lanjut

Matt tiba-tiba.

Ah, dia mulai lagi… Otak kananku membatin santai. Namun berbeda dengan

sebelahnya. Pemikiran sisi otak kritis itu membuat ekspresiku berubah total. Dari

biasa, ke tidak terima. “Jika kau sudah bisa melupakan semuanya,

seharusnya kau terima saja apa yang kuucapkan tentangnya, segamblang apapun.”

Matt berkata. “Tapi tidak. Kau belum bisa melupakannya.”

“Kenapa kita jadi melenceng dari pembicaraan awal?.” semprotku tidak

terima.

Matt mengerenyit, “Melenceng apa?. Sejak awal kita membicarakan si penelepon

aneh itu, kan?. Dan bahasan di dalamnya adalah Darren dan kau.”tuduhnya tajam.

“Bisa kita berhenti membicarakan semua itu?.” Aku memalingkan wajah ke

arah jalan, tidak mau memandanginya saat dia sedang emosi seperti ini.

“Kau sendiri yang membuatku tidak bisa menghentikan pembicaraan tentang

pria brengsek itu.”balas Matt datar. Yah…mungkin dia sudah mempunyai dendam

kesumat pada Darren. Begitu dia tahu Darren telah menghamili Hilton saat masih

menikah denganku, Matt langsung marah besar dan tidak ingin aku berhubungan

dengan mereka, bagaimanapun caranya.

Kemudian, keheningan menyelimuti kami, membuat semuanya terasa kaku

hingga kami tiba di studio.

***

207 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Begitu tiba di studio, aku langsung keluar dari mobil dan masuk ke studio tanpa

menghiraukan Matt dan Chad yang sudah menunggu kami di luar. Matt terdengar

menyapa pria itu dan langsung ke supermarket seberangjalan untuk membeli

makanan dan minuman, sementara Chad melangkah masuk setelahku.

Tak ada suara dalam studio ini. Chad diam, begitupun aku. Begitu masuk ke

ruang rekaman, aku langsung ke pentry yang ada di sebelahnya, membuat kopi.

Awalnya semuanya berlangsung sepi. Sampai tak lama kemudian, aku keluar

dari pentry. Chad sendiri sudah dalam posisinya di depan meja audio, melihat

sesuatu. Atau bisa dibilang, berpikir.

“Matt sudah menyerahkan hasil kemarin kepada Ian?.”tanya Chad tiba-tiba,

tanpa menoleh ke arahku.

Aku duduk di sofa ruang itu dan mendengus. “Belum… Dia mau menunggu ke

lima belas lagu itu selesai dalam demo kasar…”kataku menjawab. Aku meneguk

kopiku dan berdiri menghampiri Chad, meninggalkan kopiku di meja.

“Sudah punya ide lain?.”tanyaku tak lama.

Menanggapinya, Chad tergelak sendiri dan membalikan kursi putar itu. Dia

tersenyum lebar dan kemudian, mengambil beberapa lembar kertas, lalu pulpen.

“Lagu keenam… tentang melepaskan seseorang.”

“Kau mengira, aku pasti lancar dalam menuliskan lagu ini?.” Aku bergurau.

Walaupun sebenarnya aku penasaran dengan definisi berbeda soal „melepaskan

seseorang‟ itu sendiri darinya.

208 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Tidak… Bukan begitu. Bisa jadi kau lancar…”katanya setengah tergelak. Dia

memberikan dua lembar kertas padaku dan menarik kursi putar yang lain ke

sisinya. “Tapi kita coba saja dulu tulis lagu ini.”“Duduk.”

Aku tersenyum mendengar ajakannya. Entah kenapa, meski aku tidak begitu

yakin, Chad seperti tahu semua yang ada dikepalaku, terlebih lagi terhadap semua

yang seharusnya ku lakukan untuk lepas dari sebuah masalah. Seperti saat ini : dia

sudah membuatku lupa dengan semua pembicaraan melelahkan bersama Matt di

mobil tadi.

Aku duduk di sisinya dan menyebutkan dua buah kata yang terpikir dalam

kepalaku.

“Let All Memories Go.”

“Apa?.” Chad menoleh, meminta penjelasan atas kata tanggung itu.

“Judulnya.”sambungku tak lama. “Kita akan memulai dengan irama piano.”

Aku memberi usul.

“Tiga kali tekan dengan nada tonika?.” Giliran Chad yang bicara.

Aku membayangkan apa yang disebutkannya barusan. Dengan birama yang pelan,

akan jadi awal yang bagus, kurasa. Maka, aku pun mengangguk, menyetujui

usulannya. “Liriknya…” Aku bergumam dan mengangkat kepalaku ke atas. “

„Love likes one tone on the floor..‟ “

“Setuju.”sahut Chad tiba-tiba.

Aku menoleh padanya dan menuliskan keputusan kami sambil menyanyikan nada

versiku.

209 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Bagaimana jika jalan ceritanya begini, Am :” Chad berbicara lagi setelah aku

selesai menulis. Dia menyodorkan kertas dan pulpen yang ada di depannya ke

hadapanku, lalu menuliskan sesuatu. “…awalnya, kau menjelaskan bagaimana

perasaanmu saat memiliki sesuatu yang kau cintai… kau pikir, itu berarti. Tapi

ternyata, semuanya hanya khayalan. Pada klimaksnya, reff lagu ini akan

menceritakan perasaan kecewamu terhadap sebuah realita. Kau tidak rela sesuatu

yang kau cintai itu pergi. Tapi kau jelaskan itu dengan perasaan marah. Di bridge,

menjelaskan bagaimana lamanya kau menunggu rasa kehilangan dan kecewamu

itu disembuhkan. Kembali lagi ke Reff, lalu di bagian akhir, kau bernyanyi seakan

memutuskan : „lepaskan saja dia‟. Setelah itu, selesai.”

Chad menyandarkan tubuhnya. Dia menungguku bicara. Tapi aku

memandanginya, tetap tertegun dan belum bisa berkata apapun karena aku masih

membayangkan alur lagunya.

“Bicara sesuatu… Ayolah…” Chad menyadarkanku dari alur buatannya. “Kau

setuju?.”

Lalu tak lama, setelah aku mengerti keseluruhan dari ucapan Chad, aku pun

mulai menulis liriknya tanpa berkata apapun. Chad tidak protes. Dia diam

memandangiku dalam senyum yang tetap mengembang. Memperhatikanku

menulis lagu kami.

-Chad-

MESKI menangkap keanehan antara Matt dan Amber tadi, aku berusaha tidak

menghiraukannya dan fokus ke untuk apa aku disini. Untuk itu, setelah aku masuk

210 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
ruang rekaman, aku tidak bertanya atau apapun pada Amber soal apa yang sedang

terjadi diantara dia dan kakaknya. Aku lebih memilih diam dan mengajaknya

untuk kembali fokus ke album kelimanya.

Melihat ekspresinya yang kembali cerah setelah aku mengajaknya membuat

lagu keenam, jujur saja membuatku lega. Lega karena apa, aku tidak tahu pasti.

Yang pasti, setiap melihat senyuman atau tertawaan wanita bertinggi 155 cm itu,

ada suatu kehangatan tersendiri di tubuhku. Tepatnya sesuatu yang membuatku

semangat kembali ke studio ini lagi.

Saat ini, di hadapanku, dia sedang menuliskan lirik atas alur ceritaku, yang

mungkin saja sudah sangat dia mengerti karena ini juga ada dalam kehidupan

pribadinya. Tanpa bermaksud menyinggung, aku sengaja membuat tema untuk

lagu ini seperti ceritanyaagar dia bisa meluapkan semuanya juga ke dalam sana.

Dia terlihat lancar menuliskan semuanya. Diam-diam aku tersenyum juga melihat

tangan kecil itu memegang pulpen dan menari-nari di atas kertas HVS dengan

lincahnya.

“…Mau membuka sesuatu dulu untuk bersantai?. Shellback dan Max datang

sore, katanya. Mereka berdua ada urusan dulu.” Tiba-tiba suara Matt

mengacaukan pikiran kami yang sedang betul-betul masuk ke dalam lagu itu.

“Ada keripik atau semacamnya?.”tanyaku setelah menengok padanya.

“Ada. Aku membeli banyak.”jawab Matt. Dia mengeluarkan benda yang

kuminta dan meletakannya di meja sebelah sofa bersama beberapa makanan dan

minuman lain. Lalu Matt ke pentry dan meletakan sisanya disana.

211 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Dari sudut mataku, aku bisa melihat Amber menghentikan penulisan liriknya.

“Silahkan dibaca. Sesuai apa tidak dengan bayanganmu?.”katanya sembari

menyodorkan kertas tulisannya padaku. Setelah itu, Amber beranjak dan

mengambil keripik.

“Aku pinjam kunci mobilmu, Matt!.” Dia berkata pada Matt sambil membuka

keripik yang ada di tangannya.

“Untuk apa?.”sahut Matt dari pentry.

“Aku ingin mengambil baju-bajuku.”

Percakapan yang awalnya kuanggap biasa saja, setelah Amber berucap seperti itu,

membuatku menoleh. Aku menghentikan kegiatan membaca lirik pada kertas itu

dan menyimak percakapan mereka berdua dengan mata yang masih tetap pada

kertas.

“Aku ingin menginap disini sampai album ini selesai.” Amber melanjutkan.

Masih belum keluar dari pentry, Matt membalas ucapan adiknya, “Kalau begitu

aku ikut.”

Menanggapi balasan kakaknya, Amber tergelak sinis. Dia berdiri dan

menghampiri Matt di pintu pentry. “Hanya „aku‟. Kau tahu apa artinya itu.”

Tak ada balasan lagi dari Matt. Mungkin di dalam sana dia tertegun menyadari

ucapan Amber yang benar-benar ketus dan sangat menunjukan keinginannya

untuk sendiri. Begitupun aku di tempatku sekarang ini. Ucapannya barusan

membuatku yakin Amber dan Matt sedang tidak sepaham dan sebentar lagi

mereka akan melakukan perang dingin.

212 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Kunci cadangan ada di dashboard mobil. Pintu mobil tidak kukunci.”kata

Matt tiba-tiba. Dia mengizinkan Amber memakai mobilnya untuk mengambil

pakaian. Secara tidak langsung, Matt mengizinkan Amber menginap di studio ini

sampai albumnya selesai. Yang ada dipikiranku saat dia berkata seperti itu adalah

: apakah dia serius?.

Amber sendiri begitu Matt memberi izin untuknya, dia langsung berlalu dari

ruang rekaman dan melakukan apa yang dia inginkan. Setelah mendengar suara

mesin mobil dinyalakan dan tak lama berlalu, aku beranjak, menghampiri Matt

yang sudah menyelesaikan menata stok makanan dan minuman di lemari

penyimpan.

“Kau serius mengizinkannya untuk menginap?.”

Matt tertunduk. Dia berdiri dan berbalik menghadapku. “Kalau dia sudah

memutuskan, aku tidak akan bisa menolaknya.” Lalu, pergi dari hadapanku.

Aku tertegun sesaat setelah itu. Apapun yang jadi biduk permasalahan mereka,

yang jelas Matt lebih memilih mengalah kali ini. Tapi yang pasti dia tidak akan

membiarkan adiknya itu tanpa pengawasan.

Dengan berusaha mengenyahkan pikiran penasaran yang tiba-tiba saja

menggelayut di kepalaku, aku kembali kepada kertas lirik lagu „Let All Memories

Go‟ dan tidak memikirkan apa yang baru saja terjadi.

Sepuluh menit kemudian, aku sudah selesai dengan kertas itu dan menyetujui

apa yang Amber tulis. Posisiku sendiri sekarang sudah berpindah dari ruang

213 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
rekaman ke pentry studio dan sedang membuat mie instan. Tapi tak lama, pintu

pentry terbuka.

“Aku terpikir satu hal, Chad.” Matt membuka percakapan diantara kami. Dia

sudah selesai dengan urusannya yang entah dimana itu.

Aku menengok padanya setelah mengaduk mie-ku, “Apa?.”

“Kau mau menemani Amber disini?.”

Mendengar permintaan itu, aku tertegun. Jujur saja, aku tidak yakin dengan apa

yang diucapkan Matt barusan.

“Ayolah… Shellback dan Max sudah pasti tidak bisa. Mereka punya

keluarga.”kata Matt lagi. Ekspresinya berubah ketika menyadari arti ucapannya

barusan untukku. “Aku tidak bermaksud bilang kau tidak….”

Memotong ucapannya, aku tergelak dan kembali ke mie-ku, mengangkatnya.

“Yang harusnya jadi pertanyaan adalah : memangnya Amber mau?.”

“Kau harus buat ini semua terselubung.”balas Matt. “Seolah-olah kau ingin

menginap disini. Bukannya diminta olehku.”

Aku mengangguk sekali sembari memindahkan mie-ku ke piring. “Ya… aku

mengerti soal itu. Tapi..”

Giliran Matt yang memotong ucapanku. Dia mengesah. “Amber diancam. Ada

orang yang tidak terima oleh perceraian dia dan Darren. Yah..meskipun kami

telah anggap itu angin lalu, tapi bisa saja itu jadi kenyataan, kan?.”“Aku mohon.”

Nampaknya menginapnya Amber disini adalah salah satu hal yang harus

kutanggapi dibalik permasalahan yang entah apa itu. Walau ragu Amber akan

marah atau tidak padaku ketika aku memutuskan menginap disini – terutama

214 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
setelah aku memberitahu alasan yang sebenarnya – aku mengangguk juga,

menyetujui permintaan Matt.

“Ya. Aku mau.”

“Bagus…”

Kemudian, secercah senyuman keluar dari wajah Matt. Dia mengangguk sekali

dan berlalu dari hadapanku, ke lantai satu.

***

Untuk memuluskan keinginan Matt, aku menggunakan rencanaku. Intinya adalah,

aku akan membuat Amber yang memintaku untuk menemaninya di studio selama

lima bulan ke depan. Bukan bermaksud apa-apa. Aku hanya menjalankan

permintaan Matt.

Rencananya adalah : aku akan meminta bantuan Mike untuk „membuat

masalah‟ di rumahku sehingga aku tidak bisa kesana selama lima bulan ke depan.

Lalu, aku berinisiatif mencari wisma dekat studio. Entah Amber akan langsung

memintaku untuk menemaninya atau atas sedikit paksaan dari yang lain, aku tidak

tahu. Tapi dia harus mengetahui ini agar semuanya terlihat masuk akal. Begitu

juga Matt – agar dia tahu apa sebenarnya rencana yang kugunakan untuk

permintaannya. Untung saja dia tetap disini, menjadi penghubung Ian di studio

ini.

Ketika aku hendak menelepon Mike – setelah Amber datang ke studio, saat

dia sedang mengerjakan lagu ketujuh bersama Max – , dia sudah meneleponku

duluan dan meminta izin untuk memakai rumahku. Katanya, ada seorang

penggemarnya yang ternyata anak muridnya sendiri, meminta bimbingan musik

215 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
secara khusus dengan cara yang konyol : menginap di rumah Mike selama lima

bulan ke depan dan tidak boleh ada satu orang pun yang mengganggu mereka.

Berhubung rumah Mike yang sekarang jauh dari tempat kerja sementaranya di

SMA Montenegro Hills, jadi dia bilang akan memakai rumahku.

Yah, baguslah… Setidaknya kalau suatu hari Amber mempertanyakan sedang

ada apa di rumahku, tidak ada kebohongan dibalik itu semua….

Dalam posisiku yang memunggungi Amber di pintu masuk, aku mendengus

sesaat setelah memutus sambungan dengan Mike.

“Ada apa?.”tanya Amber tiba-tiba. Dia nampaknya sudah menyelesaikan lagu

ke tujuhnya yang sekarang sedang dicoba-coba oleh Max, Shellback, dan

diperhatikan oleh Matt.

Aku berbalik dan mengesah. “Aku harus mencari tempat tinggal lain untuk

sementara.”

Alisnya mengerut heran mendengar jawabanku. “Kenapa?.”

Aku tergelak sendiri sebelum menjawab pertanyaan satu kata itu.

“Penggemar Mike… Seorang dari mereka yang ternyata anak muridnya

sendiri, yang meminta bimbingan musik secara khusus dengan cara yang konyol :

menginap di rumah Mike selama lima bulan ke depan dan tidak boleh ada satu

orang pun yang mengganggu mereka. Berhubung rumah Mike yang sekarang jauh

dari tempat kerja sementaranya di SMA Montenegro Hills, jadi dia bilang akan

memakai rumahku.” Aku menjelaskan pada Amber.

“Menginap saja disini.” Sesuai apa yang aku rencanakan, Amber memaklumi.

Matt yang mendengarnya juga, nyaris tersenyum lebar.

216 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Apakah boleh?.”tanyaku ragu. Pertanyaan itu membuat Matt mendengus,

meski pelan. Amber tidak menyadarinya.

“Tentu boleh. Aku hanya sendiri disini.”jawab Amber pasti. Dia menyodorkan

sebungkus kentang goreng yang sedang dia makan kepadaku, menawarkan.

Aku mengambil serauk dan memakannya.

“Ayolah… Wisma terdekat disini jauhnya sepuluh kilometer…”sambung

Amber lagi. Gilirannya memakan kentang goreng itu. “Tidak usah meminta izin

pada siapapun. Lagipula kita bisa mengarang banyak lagu jika bergadang

disini..bercerita banyak hal, menonton film….”

Sejenak, aku memikirkan ucapannya. Tanpa perlu menyebutkan kata „wisma‟,

Amber sudah satu kepala denganku. Dia bahkan bisa dibilang memohon padaku

untuk menemaninya disini.

“Ya sudah. Aku mengambil baju dulu kalau begitu.” Akhirnya, aku

menyetujui ucapannya. Sesaat sebelum aku pulang, aku sempat melirik Matt. Dia

tersenyum padaku dan mengacungkan satu ibu jarinya. Hh…kalau bukan karena

aku sedang bermitra bersama Amber sekarang, aku rasa aku tidak akan mau

melakukan ini….

-Amber-

MIKE ternyata punya penggemar yang gila juga. Mendengar alasan Chad kenapa

harus mencari tempat tinggal lain selama lima bulan ke depan, jujur, aku

mengerenyitkan dahi, heran. Tapi berhubung sebelum itu Chad menerima telepon

dari Mike, jadi aku percaya itu adalah alasan yang sebenarnya.

217 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku sendiri sebenarnya tidak peduli aku akan sendiri atau ditemani di studio.

Tapi daripada Chad harus mencari tempat tinggal lain, sementara wisma yang

terdekat dari sini saja lebih jauh dari rumahku. Lebih baik dia menginap disini

menemaniku, aku pikir. Aku di kamar yang terletak di lantai tiga studio ini,

sementara dia, terserah mau dimana.

Chad pulang dulu untuk mengambil baju-bajunya. Setelah memandangi

kepergiannya, aku berbalik, kembali terfokus ke orang-orang di depan meja audio

sana.

“Ayo kita rekam lagu ke tujuh, Am!.” Max berkata padaku. Aku

menghampirinya dan mengambil kertas lagu yang berjudul „Flew Away‟ itu

darinya lalu masuk ke tempat perekaman.

“Mulai dalam hitungan ketiga.”ucap Shellback dari earphone.

“Satu…dua…tiga.”

Aku mulai menyanyikan lagu itu versi audionya – tidak memakai musik

apapun – dan mereka mendengarkan dari luar sana.

***

Kami menyelesaikan pekerjaan ini dengan lebih cepat dari pada hari pertama.

Hari ini aku dan yang lainnya menyelesaikan lagu ke sepuluh dalam demo kasar.

Tinggal lima lagu lagi, setelah itu tunggu keputusan Ian dan manajemen atas

semua lagu itu. Ada sensor atau apapun, itu keputusan mereka.

Pekerjaan kami hari ini diselesaikan pada pukul 7 dan semuanya pulang ke

rumah masing-masing terkecuali aku dan Chad. Matt pun pulang tanpa

mengungkit-ungkit lagi masalah tadi siang dan dia tidak mempertanyakan Chad

218 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
yang tidak pulang ke rumahnya. Matt diam-diam saja sejak tadi siang. Itu

membuatku penasaran dengan apa yang ada di kepalanya sekarang.

Setelah mereka semua pulang, aku dan Chad masuk ke studio dan langsung ke

lantai dua. Dia sendiri telah menetapkan mana yang akan menjadi kamarnya. Dia

akan tidur di ruang rekaman dan sudah mengemasi baju-bajunya ke sebuah lemari

kosong di sudut ruangan itu. Chad sendiri hanya membawa beberapa pasang baju,

gitar, lalu laptopnya.

Di dalam, kami sibuk dengan aktivitas kami masing-masing. Sampai sekitar

dua puluh menit kemudian, Chad menghampiriku yang sedang ada di kamar,

beristirahat, tapi tidak tidur.

“Hei, sedang sibuk?.”tanya dia di pintu kamar.

Aku menoleh, “Tidak… masuklah.”

Chad tersenyum dan masuk ke kamarku. Sesaat, dia tampak mengedarkan

pandangan ke interior kamar ini yang sebenarnya biasa saja. Lalu Chad duduk di

sofa kamarku.

“Ada apa antara kau dengan Matt?.”

Aku melengos mendengar pertanyaannya. Kupalingkan wajah ke ponselku yang

sedang memutarkan lagu Sum14 dengan samar dan tidak menjawab

pertanyaannya.

“Matt yang membujukku untuk menginap disini.”beritahu Chad kemudian.

Perkataannya barusan berhasil membuatku menoleh. Jadi, apa semua ceritanya

tentang Mike dan penggemar gilanya itu hanya bohong?. Pemikiran itu

membuatku mengerenyit, tidak menyangka.

219 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Maksudmu?.” Hanya itu yang mampu kuucapkan.

“Tapi alasan Mike tentang penggemarnya itu adalah benar.” Chad menyela

dengan tenang. “Kalau kau tidak percaya, silahkan tanya Matt atau Mike sendiri.”

Mendengar penjelasannya barusan. Aku menyandarkan diriku di tempat tidur dan

menghela nafas. Memutuskan untuk memercayai alasannya. “Matt bercerita apa

saja padamu?.”

“Soal ancaman penggemarmu dan Darren. Itu saja yang dia ceritakan. Tapi

aku yakin bukan itu yang jadi akar masalah kalian.”jawab Chad. Aku baru sadar

kalau malam dia akan berubah 180 derajat dari siangnya. Dari ramah, ke tegas…

Chad merubah posisi duduknya, mencondongkan tubuhnya ke hadapanku. “Ada

yang kalian perdebatkan sebelum atau setelah ancaman itu.”

Kepala tempat tidur yang berhadapan dengan sofa yang sekarang di duduki

Chad membuatku bisa melihat jelas ekspresinya sekarang ini. Dia begitu

menginginkan sebuah penjelasan atas perang dinginku dan Matt. Aku

mengalihkan fokusku dari pikiran itu kepada ponselku lagi. Berusaha tidak

membuka mulut.

“Amber, setidaknya jangan bersikap seperti ini pada kakakmu sendiri.” Chad

berucap. “Tanpa dia yang membelamu di depan pihak sekolahmu dulu,

mengantarmu sampai ke Los Angeles, dan yang lainnya, kau tidak akan berada

disini sekarang.”

Memikirkan ucapan Chad tadi, aku tertunduk, mataku memanas dan memang

selalu begitu setiap mengingat jasa-jasa Matt dalam perjalanan karirku, termasuk

220 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
sukses yang terlalu muda itu. Matt memang punya peran besar disini. Aku tahu

dan aku sangat menyadari itu.

“Dia mulai mengkhawatirkanmu. Pulanglah. Berbaikkan.”

Matt sudah bercerita semuanya pada Chad, kecuali satu hal. Biduk permasalahan

yang kami obrolan di mobil tadi siang. Makanya dia ingin penjelasan dari hal itu

atau paling tidak, membiarkan aku membereskan semuanya sendiri dengan pulang

atau meminta Matt menginap disini juga.

Tapi sebelum aku sempat membalas semua ucapannya, sebutir air mataku sudah

turun. Membuat suasana sunyi di ruangan ini.

“Kau juga merindukannya.”simpul Chad datar. Kemudian dia diam,

menungguku bertindak atau mengucapkan sesuatu.

-Chad-

MAU tidak mau aku harus memperjelas semuanya, meminta ketegasan sikap pada

Amber. Karena jika mereka meneruskan ini, aku tidak akan jamin Amber akan

nyaman dalam menjalani hari-harinya ke depan. Setelah aku mendengar cerita

Matt, dari mulai keluh kesahnya sampai dia menyebutkan nama Darren – aku

yang menghentikan ceritanya karena ingin mendengar cerita itu dari Amber

sendiri – kemudian ancaman itu, aku menyimpulkan satu hal : aku harus membuat

Amber terbuka soal masalah mereka. Dia ternyata tukang penyimpan masalah,

ternyata…. Bagus kalau dia mau terbuka denganku. Itu berarti secara tidak

langsung, bebannya mulai berkurang.

221 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Maka setelah menelepon Matt, aku ke atas, ke kamar Amber dan

menasihatinya – atau paling tidak menyampaikan semua yang Matt katakan

padaku. Setelah itu, aku lihat responnya. Dan dia menangis. Ternyata Amber juga

tidak ingin mereka seperti ini. Aku diam menyaksikannya menangis,

menunggunya bicara apapun itu – sekalipun dia akan mengusirku dengan kasar

dari sini setelah ini. Aku tidak peduli.

Tak lama, Amber menarik nafasnya, menghentikan tangisannya. “Kami sama-

sama kesal..”ceritanya tak lama.

“Matt selalu mengungkit kesendirianku selama ini. Siang tadi pun begitu.

Saking seringnya dia mengungkapkan itu, aku jadi malas membahas soal itu lagi.

Matt bingung kenapa aku begitu sulit melupakan…Darren….” Amber

melanjutkan. Dia menghela nafasnya lagi dan kembali terisak. “Aku… mulai

bertanya-tanya pada diriku sendiri….”“Mengapa…?.”“Padahal sudah

berlalu…nyaris tiga tahun…”

Ternyata Darren yang jadi akar permasalahan mereka… Aku membatin

mengerti. Tapi sebagian diriku mulai bertanya-tanya, apa yang membuat Amber

sulit melupakan pria yang telah mengkhianatinya?. Apa kebersamaan mereka di

masa silam begitu indah?

“Kau masih tidak percaya Darren sudah tidak di sisimu lagi.”kataku,

menanggapi cerita Amber. “Semua yang kalian lakukan saat bersama masih terasa

melekat di kepalamu.”

Amber mengangguk membalasnya, membenarkan. “Aku ingin melupakan itu

semua… Banyak hal yang sudah aku..lakukan. Sibuk dalam karir, badan

222 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
amalku… Tapi tidak ada yang berhasil..”rengeknya. Dia menekuk kaki dan

menunduk, memalingkan wajahnya dariku. Amber kembali menangis.

Aku bangkit, menghampirinya. “Am..?.”

“Itu sebabnya aku ingin sendiri, Chad…”sambung Amber dari ceritanya.

“Aku ingin merenungi semuanya…”

Aku mengangguk sekali membalasnya. Tak lama, aku berlutut di sisi tempat

tidurnya,“Justru dia yang merugi karena kehilangan orang yang sangat

mencintainya.” “Konsep melupakan memang sederhana, tapi tidak semudah

prakteknya. Aku tahu.”kataku setelah itu.

Melihat Amber tetap tertunduk dengan nafas yang masih terisak, aku menarik

nafas dan berdiri, memutuskan membiarkan Amber menyendiri di kamarnya.

Mungkin besok, setelah aku menemukan penginapan yang pas, aku akan pindah

dari sini.

Kupandangi laman sebuah website penginapan kelas A yang berada 5

kilometer jauhnya dari studio, sementara sudah pasti aku tidak bisa mengambil

kendaraanku di rumah karena ada Mike dan penggemarnya itu. Sesaat, aku

merenung, memikirkan akan seperti apa aku disana dalam lima bulan ke depan.

“Chad…?.”

Aku menengok. Amber tersenyum padaku di pintu masuk ruang rekaman. Giliran

dia yang menghampiriku malam ini.

“Tinggallah.”mohonnya kemudian. “Aku akan cari waktu yang tepat untuk

bicara dengan Matt. Tapi, tinggallah. Temani aku disini.”

223 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku menahan tatapan padanya dan seketika menyadari kesungguhan dalam

ucapannya. Dia memohon kepadaku untuk tinggal. Aku nyaris tersenyum lebar

jika saja aku tidak sadar diri sekarang ini.

“Bagaimana?. Lumayan juga kau bisa menghemat uang. Banyak makanan

disini.” Kini, gaya bicaranya sudah seperti sales perumahan. “Aku akan

menceritakan semua yang kau inginkan.”

Mendengar jaminan darinya dalam kalimat terakhir, aku tergelak. “

„Semuanya‟?.”

“Termasuk soal masa laluku.”tambah Amber.

“Bukankah itu terlarang untuk dibicarakan?.”

Amber tergelak. “Berkat kau, aku berjanji untuk terbuka. Mulai dari sekarang.”

“Kepada siapa?. Dirimu sendiri?.” Aku meledek padanya karena tidak yakin

juga dia akan membuka semua masalahnya yang selama ini dia pendam sendiri.

Semua orang, kalau sudah berjanji masalah hati akan mudah pula

mengingkarinya.

“Padamu. Aku tidak akan bercerita apapun pada Matt. Tapi padamu.”ucap

Amber langsung.

Seakan tidak percaya, aku berdiri, memandangi wajahnya lebih jelas. “Aku?”

“Ya. Aku pikir, kau bisa membantuku untuk melupakan Darren....”

***

Benar saja, sampai tiga bulan berikutnya, aku dan Amber terjebak dalam

kesibukan menulis, merevisi, dan mendengarkan lagu hasil kami. Akhirnya aku

dan Amber sepakat memilih enam lagu untuk diserahkan pada Ian dari lima belas

224 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
lagu yang kami buat. Lima diantaranya adalah lagu plesetan. Dan sepuluh lainnya

baru lagu sungguhan...

Selama menemani Amber di studio, dia menepati janjinya untuk bercerita

semuanya tentang masa lalunya. Dari mulai Darren, pertemuan pertama mereka

yang sebenarnya cukup gila karena dilakukan di sebuah kafe saat badai salju, lalu

berlanjut pada bagian Darren menyatakan perasaannya pada Amber. Pernikahan,

dan perceraiannya. Itu semua sangat mencengangkan aku pikir. Yang ada di

pikiranku setiap mengingat bagaimana Darren berpisah dengan Amber adalah :

yang benar saja?. Dia sudah sangat beruntung mendapatkan wanita seperti itu….

Kemudian aku juga menceritakan kisahku. Dari mulai karir, keluarga, sampai

kehidupan pribadiku yang hanya diisi 2 wanita sepanjang 36 tahun hidupku.

Whitney dan Sofie. Pertama adalah wanita yang menjadi cinta pertamaku, dan

kedua adalah wanita yang memaksaku untuk menjadi cinta terakhirnya….

Saat kuceritakan soal Whitney dan Sofie, Amber tak habis pikir tentang

perbedaan dua wanita yang sekarang entah kemana itu. Terutama terhadap alasan

aku berpacaraan dengan mereka. Alasanku berpacaran dengan Whitney adalah

karena aku memang menyukainya sejak kelas 2 SMA, dan kami sempat

berpacaran hingga sama-sama menyelesaikan kuliah, namun berpisah karena karir

yang berlawanan : aku sebagai musisi, dan dia sebagai aktivis perdamaian dunia.

Kalau dengan Sofie adalah karena ancaman dan paksaannya pada saat aku baru

saja merintis karir di kafe-kafe pinggiran Hanna Alberta. Saat itu dia memaksaku

untuk menerimanya menjadi istri. Tidak melalui masa penjajakan atau apapun itu.

Memang sedikit arogan….

225 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Keduanya pun aku ketahui telah punya kehidupan yang bahagia sekarang ini.

Whitney dengan putri pertamanya : Charlotte – namun dengan suaminya yang

sudah tiada akibat korban perang – dan Sofie dengan jaringan kafe besar yang saat

ini dipimpinnya.

Kembali pada aku dan Amber.

Kuakui, selama aku menemani Amber distudio, aku menyadari satu hal – yang

padahal sudah dari awal kurasakan, tapi aku baru menyadarinya saat di suatu

malam, saat kami membuat lagu plesetan dan menyanyikannya bersama ; aku

sudah terjebak cinta lokasi dengannya. Yang Mike katakan waktu itu adalah

benar.

Saat Mike mengetahui ini – di suatu tengah malam, waktu aku meneleponnya

saat terkena insomnia – dia mendukungku penuh untuk menyatakan perasaanku

pada Amber.

“Amber pasti akan menerimamu. Aku yakin” Begitu katanya sesaat sebelum

aku tutup sambungan telepon kami.

Sebelum aku yakin atas perkataannya yang sebenarnya tanpa dasar itu, aku

harus meyakinkan diriku sendiri atas pilihanku. Maka akupun melakukan

semacam pengintaian pada Amber. Aku mencari semua hal tentang Amber di

internet. Dari mulai keluarganya sampai seputar perjalanan karirnya. Dari fans

sampai dengan pembencinya. Setelah memahami Amber dari segala sudut

pandang, aku dapat menyimpulkan satu hal : Amber adalah wanita istimewa.

Malam ini, aku membulatkan tekad untuk menyatakan cinta padanya. Apa

jawaban Amber, itu masalah nanti.

226 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Nyaris bulan keempat aku bekerja sama dengannya. Dalam jangka waktu itu,

kami telah menyelesaikan pembuatan demo halus atas lagu-lagu yang dipilih Ian.

Malam ini pun seluruh kru studio tengah bersantai disini. Aku sendiri tengah

menikmati minuman yang dibuatkan Matt sembari mengobrol dengan yang

lainnya. Tak lama, Amber keluar dari obrolan kami, ke pentry studio untuk

meletakan gelas minumannya yang sudah kosong. Setelah aku selesai, aku

mengikutinya ke dalam sana. Memutuskan untuk melakukan itu.

Di dalam, dia terlihat sedang membuat segelas kopi. Aku menarik nafas, mulai

gelisah. Akhirnya, dengan sedikit keberanian, aku menegurnya. “Am…”

“Hm?.”Amber menyahut dengan santai. Otak kananku mulai berpikir Amber

akan tertawa tergelak setelah aku mengungkapkan perasaanku. Dengan coba

mengenyahkan pikiranku tentang itu, aku melanjutkan dengan mengambil gelas

dari rak piring pentry studio. Aku kembali ke sisinya dan berucap, “Aku

penasaran soal satu hal.”

“Apa?.” Amber berbalik dan bersandar di meja dapur, lalu mengaduk

cappuccinonya.

Baiklah, Chad... ayo ucapkan!.“Bagaimana reaksimu saat ada seorang pria yang

menyatakan cintanya padamu?.” Jujur, aku sangat menyayangkan kenapa kalimat

itu yang keluar dari mulutku....

Untuk menutupi kegugupanku, akhirnya aku merobek bungkus kopiku dan

menyeduhnya. “Kau akan langsung menerimanya atau tidak?.”

227 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Amber mengesah setelah meniup-niup kopinya dan menjawab, “Tergantung.

Kalau aku menyukainya, aku pasti akan terima. Tapi kalau tidak, ya…jadi teman

saja dulu….”

Aku mengangguk paham membalasnya. Berarti, kalau dia tidak menerimaku,

aku masih bisa menjadi temannya. Setelah menyelesaikan adukan kopiku, aku

kembali menarik nafas, baru sadar aku gelisah. Aku meletakan kopiku dan

menunggu dingin minuman itu. Aku berbalik dan mengambil posisi yang sama

dengan Amber kemudian terdiam. Meski yakin dalam pandangan Amber

sekalipun aku terlihat gelisah, tidak tenang, tapi dia diam, tidak berucap apapun

dan menghabiskan kopinya.

Tepat setelah aku kembali menarik nafas, aku berkata, “Kalau orang itu aku?.”

Amber menoleh tepat setelah aku mengatakan itu. Sebelum dia bisa membalas,

aku buru-buru menambahkan, memperjelas semuanya.

“Aku mencintaimu. Mungkin terdengar konyol... tapi ini sungguhan.”“Aku

sangat mengerti kalau kau tidak bisa menjawabnya dulu. Kau pernah trauma. Aku

tahu –” Tak lama setelah itu, aku mengesah. 'Trauma'... Amber sangat trauma.

Seketika, aku sangat takut dengan apa yang akan diucapkannya sebagai balasan.

Tapi Amber memotong ucapanku dengan gelengan pelan. Dia memalingkan

wajah dariku, “Itu sudah lama sekali.”katanya kemudian.

Aku diam, mengambil dan menyeruput kopiku sambil menunggunya bicara.

“Ingat saat kita menulis lagu „Let All Memories Go‟?.” Amber memulai

ucapannya dengan pertanyaan.

Aku mengangguk sekali, “Ya.”

228 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Dia menarik nafas setelah itu dan berucap. “Entah bagaimana, saat itu, aku

merasakan hal yang sama denganmu.”balasnya. Mendengar jawaban terselubung

darinya, aku bisa merasakan wajahku mencerah. Aku tersenyum lebar dan

mengangkat alis, meminta penjelasan.

“Trauma terhadap pria harus disembuhkan dengan pria juga. Iya, kan?.” Lalu

Amber mengekeh, “Matt pasti sangat senang mendengar kabar ini.”

“Jadi kita berpacaran?...” Entah kenapa kalimat polos itu keluar dari

mulutku....

“Ya. Menurutmu?.” Amber melontarkan pertanyaan retoris yang membuatku

tidak bisa berkata-kata.

Membalasnya, aku hanya bisa tersenyum. Tanganku terangkat. “Bolehkah?.”

Amber tergelak. Dia mengangguk. “Ya.”“Ayo.”

Aku menggenggam tangannya dan membawa Amber keluar dari pentry

studio.

-Amber-

RASANYA seperti muda kembali. Kalau bisa melompat kegirangan,

melompatlah aku. Aku kira Chad ingin membicarakan apa ikut masuk ke pentry

studio. Ternyata.... Saat aku mendengar kalimat pernyataan cinta itu keluar lebih

jelas, rasanya aku tidak percaya pada pendengaranku sendiri.

Aku dan Chad keluar tepat setelah kami meresmikan status terbaru kami

masing-masing.

229 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Seisi kru di ruang perekaman dari mulai produser, Matt, sampai dengan bandku

ternyata telah menguping pembicaraan kami. Mereka semua ada di depan kami

saat kami keluar. Itu membuat Chad mendengus, tidak percaya pernyataan

cintanya didengar oleh orang sebanyak ini.

“Apa yang kalian lakukan?.” Aku memulai. Tapi tak lama dari itu, mereka

langsung membawaku dan Chad ke sofa dua dudukan, mengintrogasi kami,

kurasa...

“Apa yang kalian lakukan di dalam?.” Fredy memulai. Dia memandangi Chad

dan aku dengan serius.

Mendengar pertanyaan yang sebenarnya sudah sangat bisa ditebak itu, Chad

mendengus, “Memangnya kenapa?.”

“Lalu kenapa kalian berpegangan tangan saat keluar?.”tanya Sabio, tanpa

menghiraukan ucapan Chad.

Sebelum aku dan Chad bisa berucap lebih lagi, Matt melerai kerumunan

bandku, membagi mereka menjadi dua kubu. “Biarkan Amber dan Chad

memberitahukan semuanya.., teman-teman.. Santailah...” Lalu Matt menoleh

padaku. Pandangannya menghangat padaku. Aku pun tersenyum membalasnya.

Setelah lama Matt tidak melakukan itu padaku, aku merindukannya juga,

ternyata...

“Ceritakalah.”

Chad mengangguk sekali. Dia menarik nafas dan mengedarkan pandangan, “Tapi

janji tidak akan melakukan apapun.”

230 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Mereka semua mengangguk. Chad berdiri dan berucap, “Aku dan Amber baru

saja berpacaran.”

Setelah pemberitahuan itu, sedetik, hening. Tapi tiba-tiba mereka semua

bersorak. “Amber? Kau serius?.”“Haha! Akhirnya!...”

Fredy, Sabio, Nick dan Wade menarikku dari Chad lalu tiba-tiba Max datang

menyiram kami dengan sekilo terigu yang sebenarnya persediaan kami di pentry

untuk memasak camilan….

“Ah...hei bajuku!...”keluhku. Tapi dengan tertawaan yang terlalu meyakinkan.

Aku sepertinya tahu akhir dari ini semua... Pasti ruang rekaman akan berubah

putih pada esok hari....

Kemudian, tertawaanlah yang menggema dari ruangan itu hingga tengah

malam tiba.

***

Besoknya, aku sudah kembali ke rumah Matt. Dia mengucapkan selamat pada

kami. Hari terakhir aku dan Chad di studio, Chad membantuku membereskan

pakaianku, juga sebaliknya. Setelah perang terigu itu, aku, dia dan bandku

membersihkan studio bersama Matt sementara Max dan Shellback yang

sebenarnya bertanggung jawab atas ini semua izin pulang karena keluarga mereka

sudah menunggu di rumah. Sudah begitu, tak ada imbalan apapun bagi kami

untuk kekacauan yang mereka timbulkan tadi malam di studio ini… Hh….

Pagi ini, aku sedang sekedar bermain gitar di tempat biasa sembari menunggu

Chad yang akan menjemputku untuk pergi bersama ke Arist Records. Matt sendiri

sejak kemarin memang belum pulang karena dia tengah mengurusi deal bersama

231 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
pihak FoxTroops untuk konserku disana satu bulan setelah ini. Matt bilang, ini

tahap terakhir.

Tak lama kemudian, Chad datang dengan mobilnya. Aku baru tersadar

sesuatu. Aku pikir rumahnya tidak boleh dimasuki sampai lima bulan ke depan....

Tapi kenapa?...

“Untung saja orang tua dari anak itu menjemput. Kalau tidak aku tidak bisa

pulang ke rumahku sendiri...” Tak lama dari itu, Chad memberi keterangan

padaku.

Dalam hati aku mengangguk-angguk sendiri. “Bagus kalau begitu.. Ayo.” Aku

berdiri, menyudahi permainan gitarku dan berangkat ke Arist Records.

Kami tiba di Arist Records sepuluh menit kemudian. Aku dan Chad langsung

ke ruangan Ian begitu tiba. Tapi seseorang yang tidak aku tahu namanya

memberitahuku kalau Ian tidak ada disana. Dia ada di ruang rapat, lantai 5 gedung

ini.

“...batalkan saja konser di FoxTroops. Aku tidak yakin Amber mau kesana

kalau seperti ini jadinya.”

Suara Matt terdengar kesal. Dia sudah disini. Tapi nampaknya sesuatu sedang

terjadi di dalam sana.

Chad menoleh padaku. “Kau mau masuk?.”

Aku mengangguk, “Untuk memastikan...”

Maka, kami pun masuk. Dan yang kami dapati di dalam adalah satu wajah kesal

dan satu lagi wajah datar.

232 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Aku juga tidak tahu kalau dia ada konser itu, Matt.”ucap Ian. Keduanya

terjebak dalam diam sampai tak lama, mereka menyadari kehadiranku.

Matt dan Ian serentak menoleh ke arah pintu masuk. Mereka tidak bergerak

dari tempat duduk mereka masing-masing. Tapi keduanya mempersilahkan aku

dan Chad masuk. “Masuklah. Kami masih berdebat tentang agendamu di

FoxTroops.”kata Ian tak lama.

Aku dan Chad duduk bersebelahan di meja bundar itu dan memandangi

mereka penasaran.

“Ada masalah apa?.” Aku memulai.

Ian menghela nafas. Dia memalingkan wajahnya padaku, “Kau tidak akan

percaya....”

Mendengar balasannya, aku otomatis tergelak tidak percaya. Ada apa ini?... “Soal

apa?.”

Matt melemparkan berkas kesepakatan dengan pihak FoxTroops, “Baca saja.”

Aku mengambil berkas itu dan membacanya.

“Mereka memperbaharui berkasnya lagi dan menambahkan beberapa

ketentuan disana.”sambung Ian. Dia bangkit dari kursinya dan meremas

pundakku, “Semua keputusan ada di tanganmu. Pikirkan baik-baik.”

Aku tertegun mendengar ucapannya yang penuh penekanan itu. Sesuatu yang

gawat sedang mereka bicarakan. Tapi aku belum bisa menerka apa itu. Aku tidak

membalas ucapan Ian dan membaca berkas itu lebih teliti.

“Konser Amber disana sekalian dengan meluncurkan album barunya

juga?.”tanya Chad pada Ian.

233 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Dari sudut mataku aku bisa melihat Ian menggeleng. “Tidak. Album baru

akan diluncurkan dalam tur internasional yang diselenggarakan setelah pembuatan

full album audio dan video klipnya.”

Selanjutnya aku sudah tidak mendengarkan obrolan mereka lagi. Salah satu

pasal kesepakatan itu menyebutkan kalau aku akan bekerja sama dengan promotor

acara. Aku pikir...itu biasa. Apanya yang gawat atau salah?.

Tidak merasa ada yang salah, aku pun mengangkat wajahku, memandangi Ian

dan Matt dengan bingung. “Apa yang salah?. Aku pikir konser itu tidak usah

dibatalkan...”

“Pasal 12. Itu salah satu pasal tambahan.”sahut Matt ketus.

Aku membaca pasal yang dimaksud oleh Matt. Disana tertulis : 'Band

pengiring yang digunakan harus memakai formasi awal.'

Oh..tunggu. Ini aneh. Apa maksudnya ini?....

“...Dan kau tahu apa akibatnya kalau tidak mematuhi ketentuan.”sela Ian.

“Kecuali kalau kau berminat membatalkan konsernya.”

Aku kembali mengangkat wajah, memandang tidak mengerti kepada mereka

semua. “Apa aku harus lakukan ini?.”

Ian mengangkat bahu. “Pihak penyelenggara bilang, masih banyak fans kalian di

Prince Rupert. Mereka telah menerima banyak permohonan yang memintamu

untuk menyertakan Darren di konsermu. Disana, publikasi sudah dilakukan.

Tanggal, tiket, dan set juga sudah selesai.”

234 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Mendengar keterangan itu, terdengar tertawaan sinis dari Chad. Dia menggeser

kursinya ke belakang dan bersandar, “Kalau begitu, lakukan saja. Apa

susahnya?.”

“Aku tidak mau Amber berhubungan dengan dia lagi. Cukup sudah kekacauan

yang dia timbulkan untuk Amber.”semprot Matt langsung.

“Matt.” Chad menyela. “Hanya dalam hubungan professional saja. Aku rasa

tidak masalah...”lanjutnya, masih dengan suara yang tenang. Aku kira setelah Ian

menyebut nama Darren, dia tidak akan bernafsu mengikuti pembicaraan kami dan

setuju aku membatalkan konser di FoxTroops. Tapi ternyata dia memberikan

semacam petuah bijak pada Matt....

Akhirnya aku memutuskan untuk tidak ikut campur dan memilih memandangi

dialog mereka dalam diam, begitupun Ian.

“Kau rela pacarmu bekerja sama dengan pria itu?. Setelah kesepakatan ini,

Darren akan latihan bersama yang lainnya selama satu bulan. Aku tahu betul

bagaimana dia.” Matt menimpali dengan agak emosi.

Tapi Chad masih tenang. Dia tidak terpengaruh oleh intuisi Matt. Membalas

ucapan kakakku, nadanya juga masih seperti tadi. “Aku harus melihat bagaimana

Amber menghadapi orang yang pernah dicintainya.” Chad menukas, tenang. Tapi

tak ayal, itu membuat seisi ruang rapat terdiam. Begitupun aku. Mendengar

ucapan simpulannya, aku memalingkan muka, tidak percaya.

Ian menghela nafas. Dia berjalan kembali ke kursinya, “Bagaimana dengan

Sabio?.”

235 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Setelah merasa cukup kuat untuk bicara wajar, aku mengangkat wajahku, menoleh

pada Ian, “Aku akan mengumpulkan band setelah ini. Aku saja yang menjelaskan

ini pada mereka.”

Ian mengagguk sekali, menyetujui ucapanku. “Baiklah kalau begitu.”“Kau tanda

tangan berkas itu biar setelah ini aku bisa langsung ke Prince Rupert.”

Aku mengambil pulpen dan menandatangani berkas itu. Memberikan

salinannya ke Matt dan aslinya kepada Ian. Ian langsung keluar dari ruang rapat

dan meninggalkan kami bertiga di dalam.

“...aku..mau pulang dulu.” Matt tiba-tiba berkata. Dia berdiri dan mengemasi

barang-barangnya, lalu Matt menoleh padaku. “Nanti akan ada kru produksi

albummu. Mereka akan langsung kemari. Langsung saja diskusikan semuanya.

Tidak usah menungguku dan Ian.”

Aku mengangguk, “Ya. Hati-hati, Kak.” Lalu memandangi kepergiannya dalam

diam.

-Chad-

MATAKU tak bisa teralihkan darinya semenjak dia memutuskan untuk menjalani

semuanya di FoxTroops nanti sesuai dengan kemauan pihak penyelenggara.

Tatapannya pada Matt dan Ian terlihat menyembunyikan kekhawatiran tersendiri.

Meski aku sangat tahu karena apa, tapi aku tetap dengan intuisiku untuk supaya

Amber jangan membatalkan konser disana.

Benar, memang, permintaan pihak penyelenggara terlalu ektrem. Tapi mau

bagaimana lagi kalau yang meminta itu adalah fansnya sendiri?. Itulah salah satu

236 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
alasan aku mendukung Amber dan Darren bekerja sama lagi dalam konser ini.

Selain itu, aku ingin melihat seberapa jauh Amber bisa mendefinisikan hubungan

mereka sekarang. Terutama saat sesi latihan yang akan digelar sebulan sebelum

hari H.

Karena intuisiku jugalah Matt nampaknya agak marah padaku. Dia tidak

memandangiku sama sekali saat pulang tadi. Wajahnya juga terlihat tidak terlalu

antusias dengan apa yang dia dan Amber akan lakukan setelah ini.

Tiba-tiba terdengar helaan nafas dari Amber. Dia telah menoleh padaku, tetapi

menundukan pandangan dariku.

Tak lama, Amber bersandar. Masih dengan mata yang tidak tertuju padaku. Dia

diam. Lama sekali.

“Ada apa?.”tanyaku, membuka obrolan diantara kami.

Amber menggeleng dalam diamnya.

Kutepiskan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga dan menghela nafas,

“Aku tidak akan cemburu dengan hubungan professional...”

Amber tidak kunjung mengangkat kepalanya. Dia masih diam.

“Apa ada yang sesuatu yang salah dengan ucapanku?.” Aku bertanya lagi,

dengan gerakan tangan yang masih sama.

Membalasnya, Amber menggeleng. Dia mengangkat wajahnya, “Aku hanya takut

teringat kembali semua kenangan itu..”

Anggukan paham keluar dariku setelah mendengar ucapannya. Perlahan, aku

membelai rambutnya. “Anggap saja ini sebagai pembuktian darimu. Pembuktian

kalau kau sudah melupakan semua kenangan pahit tentangnya.”kataku tenang.

237 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Chad...” Amber menyela, membuat aku memperhatikan ucapannya. “Aku

bingung harus bersikap seperti apa jika seandainya kalian ada dalam satu ruangan,

satu kepentingan. Mungkin kalau dua atau tiga bulan lagi, aku akan siap. Tapi

kalau sekarang?...” Amber mengesah, mengatupkan kedua tangannya di muka.

“Aku takut...”

Seakan bisa menebak pikirannya, aku memotong ucapannya, “...jatuh cinta

padanya?.” Sesaat, aku tergelak, “Ya..itu hal wajar, aku pikir...”

Mendengar kelanjutan ucapanku, Amber mendelik, memandangiku tidak

terima. “Aku tidak tahu pasti apa yang ada dalam pikiranmu sekarang. Tapi,

serius, inikah penyebab kau tidak mendapatkan pasangan hidup selama 36 tahun

hidupmu?. Kau terlalu membiarkan mereka semua sibuk dengan mantan-mantan

mereka atau pria lain?.”ucapnya dengan terburu-buru.

Haha... sudah kuduga itu yang akan dia ucapkan. Meresponnya, aku hanya

tersenyum. Dan alhasil, aku mendapat tatapan 'orang aneh' dari Amber. Dia tidak

membalas lagi, memalingkan wajah dariku.

“Hei..” Setelah tak lama, aku memanggil.

Amber tidak kunjung menoleh.

Akhirnya, aku membuat dia menoleh ke arahku dengan mengatakan satu kalimat

istimewa.

“Setelah aku tahu bagaimana kau menjalani hubungan professional dengan

Darren, aku bisa mencari cara agar kau tetap mencintaiku.”

238 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Amber terlihat tertegun mendengar perkataanku. Dia tersenyum, menatapku

dalam, dan tak lama kemudian, Amber tergelak. Dalam suasana yang lebih baik,

dia kembali memalingkan wajah. “Chad...?.”

“Apa?.” Aku pura-pura tidak menyadari apa yang dia rasakan. Dengan

tampang polos, aku menatapnya balik.

“Kenapa...kau?....” Amber tidak bisa melanjutkan ucapannya, terpotong

dengan tertawaannya sendiri. Dia kembali menatapku, kali ini semuanya terasa

lebih nyata.

“Kau sedang mencoba merayuku atau bagaimana?...”tanyanya tak lama.

Aku menggeleng membalasnya. Lalu tanpa bicara, aku terus membelai rambutnya

dengan lembut. Membuat dia mengambil tanganku dan mengecupnya pelan. “Aku

berjanji tidak akan membuatmu merasa seperti pelarian. Kau bisa pegang itu.”

***

Hasil pertemuan tadi adalah proses pembuatan full album, khusus untuk audionya,

akan dimulai besok, jam tiga sore. Terus begitu sampai dua minggu ini. Baru

setelah itu, proses pembuatan video klip akan dimulai pada pukul tiga sore

seminggu kemudian dengan waktu pengerjaan satu bulan. Tapi kalau soal video

klip, tergantung kemauan Amber dan sutradara, sebenarnya. Semuanya bisa saja

berubah…. Dan sementara itu, jadwal latihan Amber untuk konser FoxTroops

menjadi pukul 8 pagi sampai 2 siang selama sebulan ini.

Sekarang ini, kami sedang dalam perjalanan menuju tempat pertemuan kami

dengan Fredy, Nick, Wade, dan Sabio di rumah Nick. Sejak tadi kami berada

dalam diam. Aku di balik kemudi, sementara Amber di sebelahku, sedang

239 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
memandangi jalanan dengan pandangan datar. Tapi disana terselip perasaan

gundah. Tadinya aku sengaja membiarkannya, siapa tahu dengan diam, dia bisa

membuka percakapan dengan topik baru. Tapi ternyata sampai lima belas menit

kemudian Amber hanya diam, membuatku tertarik untuk menoleh, mengusir

keheningan diantara kami.

“Gelisah?.”

Amber menggeleng, “Kira-kira mereka akan salah sangka dengan berita ini atau

tidak..?.”

“Bisa iya, bisa tidak.”jawabku sejujurnya.

Tapi Amber malah memandangiku gemas. Yah, aku nyaris lupa kalau yang

Amber butuhkan itu sebenarnya hanya bagaimana membuat dia merasa

teryakinkan. “Aku serius, Sayang...”

Mendengar nama panggilan baru itu, aku tersenyum lebar dan membalas, “Kalau

kau bisa menjelaskannya, aku rasa tidak akan masalah...”

Amber mengangguk sekali dan kembali memandangi ke depan. Tapi tak lama, dia

kembali menoleh padaku, “Aku rasa kita harus mengubah lagu 'Let All Memories

Go'...”

Aku mengerenyit mendengar perkataannya barusan.

Amber meneruskan ucapannya, “Kita duet. Dan otomatis tema lagunya akan

berubah. Dari melepaskan seseorang ke melepaskan seseorang dari masa lalu

untuk mencintai orang di masa depan.”

240 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku menghela nafas mendengar usulan itu. Sepertinya, sebelum aku dan Amber

sampai kesana, kami harus membuat lagunya dulu. Bukan 'merubah' seperti yang

Amber katakan.

“Aku setuju.”kataku, menanggapi ucapannya. “Tapi sepertinya jatuhnya kita

jadi membuat 2 lagu saja. Hanya berjudul sama.”

Amber mengangguk-angguk, setuju saja dengan ideku. Dia mengalihkan

pandangan ke jendela dan kembali diam.

Kami sudah tiba di rumah Nick sekarang. Aku sendiri sudah memarkirkan

mobil di garasi rumah Nick. Kemudian kususul Amber yang sudah di dalam.

Dari dalam sendiri, terdengar sapaan dari teman-temannya pada Amber.

“...omong-omong, ada apa kau menyuruh kami berkumpul malam ini?.” Nick

bersuara ketika aku masuk.

Ketika semuanya sudah menduduki tempat masing-masing, Amber bicara. “Ini

soal penampilan kita di FoxTroops.”

“Hm, ya. Kenapa? Ada masalah?.”timpal Wade santai.

Perlahan Amber mengangguk. Dia memandangi Sabio hati-hati dan langsung

kembali pada semuanya, “Pihak penyelenggara memintaku untuk membawa

personel pertama. Dan itu berarti, Darren ikut dan Sabio...tidak.”“Dari pihak

penyelenggara, semuanya sudah disiapkan : dari mulai tiket, hingga set. Jadi aku

rasa, kita tidak bisa berbuat apa-apa…”

Sedetik, dua detik, hening. Semuanya mencoba mencerna apa maksud kalimat

Amber. Tak lama kemudian, Fredy mendengus.

241 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Tetap tidak. Apa urusannya dia kembali kesini?.”keluhnya dengan tampang

masam.

Aku berusaha tidak menginterupsi ucapan itu dan hanya mendengarkan mereka.

Amber terlihat gusar mendengar penolakan langsung itu dan berusaha menyusun

kata-kata untuk melanjutkan ucapannya. Dia akhirnya berdecak gemas.

“Begini, ini semua murni permintaan dari FoxTroops.”katanya lambat-lambat.

Dia sangat ingin ini semua segera selesai. Amber gelisah dengan besok hari.

“Ya…” Giliran Nick yang bicara. Dia mengambil snack yang disediakan di

meja dan mendengus, “Tapi aku rasa kami tidak bisa janji semua perlakuan

padanya akan sama seperti dulu.”

“Harus.” Amber menukas. “Ini permintaan fans, teman-teman…”

Terlihat wajah tidak terima dari semua personil lama band pengiring. Mereka tak

bicara. Aku berani taruhan, mereka sedang memikirkan bagaimana caranya agar

Darren tidak diikut sertakan dalam konser ini.

Tiba-tiba, Sabio menengahi. Dia memandangi aku dan Amber bergantian. “Kalau

ini permintaan fans, aku rasa tak apa. Lagipula kenapa kalian sangat tidak ingin

Darren kembali?. Ini juga hanya hubungan professional.”

Mendengar perkataan itu, Fredy melepaskan rokoknya dan menyeringai, “Tak

banyak yang kau tahu soal ini… Jadi diam saja.”

“Kalau begitu biarkan aku tahu. Aku bagian dari kalian sejak dua tahun

lalu.”balas Sabio sengit.

“Ini hanya persoalan personal, Sab..” Wade menyahut tenang. “Antara Amber

dan Darren. Lalu kami terlibat di dalamnya.”

242 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Tak ada balasan dari Sabio. Dia diam, memutuskan tidak ikut campur dengan

urusan yang sama sekali tidak dia mengerti. Yang dia lakukan hanya

menyandarkan diri di kursinya dan mendengarkan.

“Ada opsi lain?.”tanya Nick tak lama. “Seperti mengikutkan Sabio dengan

ganti rugi lebih kepada pihak penyelenggara, misalnya?.”

Amber menggeleng. “Aku tidak yakin Arist mau melaksanakan opsi itu..–”

“Ya..ya...aku mengerti sekarang.” Fredy memotong. Dia menghisap rokoknya

lagi dan mematikan benda itu setelah tak lama. Lalu barulah berkata dengan

ekspresi wajah yang masih masam, “Intinya yang harus muncul dari kita hanyalah

„hubungan istimewa antara seorang Amber dengan Darren‟. Itu yang mereka

inginkan.” “Tapi apakah kau tidak memikirkan perasaan Chad?.” Fredy berkata

dengan geram. Dan ketika mengucapkan kalimat terakhir, nadanya merendah,

membuat Amber kembali tertunduk dan semuanya menjadi diam.

“Amber…kau tetap bisa menolak konser itu. Hidup harus terus berlanjut.

Kenapa kau tidak lakukan itu?. Kenapa kau tidak tolak saja konsernya dengan

kesepakatan yang muluk-muluk itu?.”sambung Fredy dengan tajam. Tak lama

kemudian, dia diam, menunggu respon dari kami semua.

Akhirnya, aku memutuskan bicara. Penolakan ini lama kelamaan bisa membuat

Amber terpojok.

“Dia telah memikirkannya, Fred.”ucapku tenang. “…dan aku terima itu.” Aku

memandang semua wajah itu. Mereka memperhatikanku bicara meski dengan

tatapan yang tidak sepenuhnya tertuju padaku. Maka aku melanjutkan ucapanku,

“Aku pun telah memikirkan semua konsekuensinya. Baik dari pihakku, Amber,

243 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
maupun Darren. Lagipula Darren hanya ikut satu kali konser. Setelah itu,

semuanya selesai. Dan aku sarankan, direntang waktu itu sebaiknya kalian

berbaikan dengannya. Personal dan professional tidak patut disatukan.”jelasku

pada mereka. Aku sangat berharap, dengan ini mata hati mereka terbuka. Karena

kalau mereka terus menganggap Darren sebagai pria penghancur hidup vokalis

tersayang mereka, Amber pun tidak akan bisa melupakan kenangan pahit itu.

Selanjutnya, tidak terdengar satu suara pun yang membalas ucapanku. Tapi tidak

lama dari itu, Amber mengangkat wajahnya. “Aku akan bilang pada Ian jika

kalian tetap tidak mau…”katanya kemudian. Dia beranjak. Tapi tertahan oleh

ucapan Wade.

“Kami akan usahakan.”

Amber memasukan ponselnya kembali ke dalam saku celana. Dia berbalik dan

senyumnya mengembang kepada semua teman-temannya. Sejurus kemudian, dia

menjatuhkan dirinya di kursi. “Besok jam 8 pagi di studio yang kemarin, ya?.”

Fredy, Nick, dan Wade mengangguk mengiyakan. Dan tak lama, semuanya sudah

kembali normal. Mereka menerima keputusan FoxTroops, juga Amber telah

merasa teryakinkan dengan keputusannya untuk menyetujui konser itu.

Ketika canda tawa diantara mereka kembali, aku ikut tersenyum. Terutama

saat memandangi Amber. Entah kenapa aku sangat suka kegiatan satu itu. Sesuatu

dalam diriku membatin khawatir dengan tiba-tiba, membuatku memalingkan

wajah dari keasyikan obrolan mereka dan merenung. Akankah itu?. Amber dan

Darren?.

244 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku pun tidak tahu pasti soal itu. Seperti sebelumnya, hanya waktu yang bisa

menjawabnya.

-Amber-

SATU hal sudah selesai. Aku menghela nafas lega saat keluar dari halaman rumah

Nick di satu jam kemudian. Tepat pukul 8 malam. Chad akan mengantarkan aku

sampai rumah malam ini meski tahu Matt sedang tidak sibuk, membuatku merasa

mempunyai seorang bodyguard istimewa….

Chad membelokkan mobilnya keluar dari jalan rumah Nick saat aku

menyadari satu hal. Oh ya… Aku harus menelepon Darren juga.

Kuambil ponsel dan mencari-cari nomor Darren. Semoga saja nomornya belum

ganti….

Kutekan tombol „call‟. Lalu tak lama kemudian, terdengar nada sambung.

Nit…nit…

Di dering kedua, Darren mengangkat panggilanku. “Halo, Am?.”

Dalam hati aku mendengus. Dia masih menyimpan nomorku….“Ya..halo. Aku

mau bertanya sesuatu.”

Terdengar helaan nafas dari seberang. “Soal apa?.”

Aku pun menarik nafas, mencari kata yang tepat untuk seorang „mantan‟..,

“Maukah kau mengisi posisi gitaris di konserku?.”Akhirnya kalimat formal itulah

yang keluar dari mulutku.

245 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Oh?, kenapa memangnya?.”tanya Darren spontan. Sejurus kemudian dia

berdecak, “Maksudku, ada masalah dengan Sabio?.” Dia memperbaikki

ucapannya.

“Tidak…” “Ini permintaan dari pihak penyelenggara.”kataku memberitahu.

“Ngomong-omong, kau belum terikat dengan label apapun, kan?.” Ya, karena

kalau dia sudah terikat, akan panjang urusannya, terutama dengan label yang

menawarkan kontrak besar pada Darren….

Diseberang sana, Darren tertawa kecil. “Tidak. Aku sedang fokus ke keluarga.”

“Ya sudah kalau begitu. Bagaimana mekanisme kerjanya?.”

Oh…baguslah… Darren tidak mau mempersulit ini semua… “Kita akan

latihan selama sebulan ke depan. Aku sudah bilang soal ini pada yang lainnya dan

mereka setuju. Latihan dimulai besok. Jam 8 sampai 2 siang, di Shelfield Studio.”

“Hmm…” Darren terdengar mengerti semua ucapanku. “Boleh kututup dulu?.

Aku beri kepastian lima menit lagi.”

Dalam hati, aku mengesah. Oh, ya… Dia pasti akan meminta izin pada Hilton

dulu soal ini… Disini, aku mengangguk-angguk dan berucap padanya. “Ya.

Silahkan.”

“Baik. Terimakasih.”tutup Darren. Dan tak lama, sambungan diputus satu

arah.

“Bagaimana?.” Chad tiba-tiba bertanya, membuatku menoleh.

Membalasnya, aku mengesah, “Dia akan beri kepastian lima menit lagi.”

Chad terlihat mengangguk-angguk dan tak lama kemudian, dia berkata lagi.

“Siapa nama anak mereka?.”

246 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Sean Whibley Wyck. Seorang anak perempuan.”jawabku sekenanya. Aku

bersandar dan memalingkan muka ke luar jendela, menunggu kepastian dari

Darren, juga ucapan dari Chad. Kebetulan sekali aku sedang tidak menemukan

topik bagus kali ini.

Tapi tak lama kemudian, aku terpikir sesuatu : soal ucapan Chad di kantor

tadi. Saat dia bilang sesuatu yang intinya tak apa jika aku kembali jatuh cinta pada

Darren dan menganggap itu hal wajar. Sisi diriku yang lain berpikir, apa yang

akan dilakukannya seandainya itu terjadi?.

“Chad…”

“Hm?.”

“Kalau sampai aku masih mencintai Darren, apa yang akan kau lakukan?.”

Aku menyampaikan pikiranku, berharap dia menjawabnya dengan pertimbangan

matang dan serius.

Chad diam, tidak langsung menjawab pertanyaanku. Tak lama kemudian,

terdengar helaan nafas berat darinya. Tapi, dia tidak kunjung bicara. Sementara

aku memutuskan untuk menunggu.

“Soal itu…” Chad memulai setelah lama terdiam. “Aku tidak tahu, Am.

Bagiku, sulit untuk melupakan seseorang yang sangat aku cintai. Mungkin

menyendiri selama beberapa tahun adalah satu-satunya hal yang akan aku

lakukan.”ucapnya.

Dia kembali menghela nafas dan menoleh padaku, “Meski aku tahu tidak ada

waktu lagi untukku, aku tidak akan memaksakan kehendak. Jika kau benar-benar

masih mencintainya, aku akan pergi.”

247 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Mendengar jawabannya, aku tertegun, memandangi sesuatu di hadapanku

dengan datar. Aku merenungi ucapannya tadi. Dan sudah bisa ditebak kalau

semua itu sampai terjadi, aku sama saja telah menghancurkan hidup Chad.

“…dan aku tidak pernah mengingkari apa yang sudah aku ucapkan.” Chad

berkata lagi dengan tenang. Matanya kembali tertuju ke jalan setelah itu dan tak

terasa, kami sudah sampai ke dekat rumahku.

Kulepaskan pikiran dari hal berat itu dan mengecek ponselku yang kebetulan

dalam mode diam – dan aku baru ingat itu – disana, benar saja sudah ada tiga

panggilan dan 1 pesan singkat dari Darren.

Sender : Darren Wyck 08.28 p.m

Receiver : Amber E. Lavigne

Aku ikut. Sampai ketemu besok, Ammby 

Diam-diam, aku tersenyum mendengar nama panggilan baru itu. Satu yang

kuharapkan darinya untuk besok, sebenarnya. Dia akan mempermudah semuanya

untuk kami.

***

Oke. Aku benar-benar tidak tenang sekarang. Dalam kamarku, aku terus saja

gelisah meski sudah nyaris pukul setengah delapan pagi. Aku belum turun untuk

berangkat ke studio. Matt pun tidak menegurku sama sekali pagi ini. Termasuk

soal mandi dan sarapan sekalipun. Dia benar-benar berlaku pendiam sejak

kemarin.

248 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku membenamkan diri ke tempat tidur dan memandangi plafon kamar.

Sejenak, aku memejamkan mata, mencoba tenang. Hari ini, Darren dan Chad akan

bertemu di studio. Begitu juga dengan anggota bandku. Aku sungguh tidak tahu

apa yang akan kulakukan kalau sampai kekacauan terjadi seperti

misalnya…perang dingin, mungkin?....

Karena itu, aku membuka mata, lalu kembali terduduk dan tersentak ketika

pintu kamar akhirnya diketuk. Dengan lunglai, aku berjalan kesana, membukanya.

Matt. “Turun.”katanya datar.

“Ya.” Aku menghela nafas, memalingkan wajahku ke bawah. Wajah gelisah

itu kembali muncul. “Kak.”

“Hm?.”

“Menurutmu, aku harus bagaimana sekarang?.” Aku akhirnya mengajukan

pertanyaan itu, meski sebenarnya tidak yakin Matt akan menjawabnya dengan

serius.

Matt mengangkat wajahku. Dia tersenyum getir memandangiku, “Laksanakan saja

keputusan kalian. Kupikir, ada benarnya juga ucapan Chad, Am. Dan ngomong-

omong soal dia, orang itu sudah ada di bawah, menjemputmu. Aku tidak bisa

mengantarmu hari ini karena ingin ke yayasan dulu. Dia bilang sarapannya nanti

saja di studio.”

“Oh?...” Aku sungguhan mencelos mendengar ucapannya, tidak bisa berkata

apa-apa lagi.

Belum sempat aku membalas lebih lagi, Matt sudah menarikku untuk turun.

249 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
08.00 a.m…

Aku sudah ada di studio dan saat ini sedang di pentry, memasak makanan

untuk Chad sementara dia sendiri sedang mengecek keadaan alat musik di ruang

alat praktek yang berada di lantai dua. Kali ini, untuk sarapan, aku memasakan

omelet kesukaannya. Pertama kali aku memasakan makanan ini, ekspresinya

langsung berubah takjub. Hh… aku masih mengingat jelas bagaimana cara dia

memuji masakan ini….

Dengan hati-hati, kubalikan omelet itu dan menunggu sisi yang lain matang

sementara aku bersandar di meja perkakas, merenung. Ingatanku kembali ke masa

itu, saat Darren juga memuji masakanku.

Ketika itu, kami baru saja melewati hari ke 32 pernikahan kami. Seperti biasa,

aku membangunkan Darren setelah makanan siap. Dia tersenyum lebar mencium

aromanya sambil menuruni tangga rumah kami.

“Baunya tercium sampai sini…”ucapnya menggoda. Begitu tiba di sisiku,

Darren mencium keningku lalu duduk, memandangi omelet itu sejenak dan

mengambil garpu dan pisau yang sudah ada di sisinya. Dia menoleh padaku,

“Sudah makan?.”

Aku menggeleng dan duduk di hadapannya. “Aku belum mau makan.”

“Temani aku kalau begitu.”ajak Darren. Dia mengibaskan tangannya,

menyuruhku duduk diatas kakinya. Dalam senyum, aku menurut dan melakukan

itu.

Sedetik kemudian, aku tersenyum dan kembali teralih ke meja kompor,

menyajikan omelet itu. Kemudian, kuantarkan dua porsi omelet itu untuk Chad.

250 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Dari ruang praktek, terdengar Chad sedang menyanyikan lagunya. Ketika tiba

di pintu, aku tersenyum memandanginya. Melihat dia begitu menjiwai musiknya

sendiri, membuatku enggan menyapanya dan memilih mendengarkan lagu yang

sedang ia mainkan.

Tak lama kemudian, dia berhenti karena menyadari aku sedang

memperhatikannya dari pintu masuk. Senyuman lebar keluar darinya. “Masuklah.

Sedang apa kau disana?.”

Sesaat, aku tergelak menanggapinya dan melangkah masuk, memberikan sepiring

omelet untuknya dan mulai makan.

“Hm…” Chad menggumam, “Enak sekali.”pujinya kemudian.

Aku tidak membalas dan melanjutkan makanku.

Kami menikmati makan dalam diam. Namun tak lama kemudian, aku bisa

merasakan Chad memandangiku. Aku pun mengangkat wajah, memastikan itu

benar atau tidak.

Benar saja, dia sedang memandangiku dengan tatapan yang serius. Aku

mengesah sesaat dan menghentikan makanku sejenak. “Ada apa?.”

“Tidak…” Chad tergelak menanggapinya. Kemudian, dia mengambil air putih

dari dispenser ruangan ini dan berucap lagi. “Darren akan kemari hari ini.”

Mendengar apa yang sebenarnya menjadi topik pembicaraan kami, aku melengos

dan kembali makan, menyibukkan diri.

Dari sudut mataku, aku bisa melihat Chad meneguk air putihnya. “Apa yang akan

kau lakukan?.” Dia masih ngotot kepada topik itu.

251 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Agak malas, sebenarnya, aku mengangkat wajahku, berusaha membuat Chad

mengganti topik pembicaraan kami. “Bisa kita tidak usah bicarakan itu?.”kataku

agak ketus.

“Aku hanya ingin tahu apa yang akan kau lakukan.” Chad menyela dengan

santai. Seperti dia tidak tahu saja, kepalaku sudah panas mendengar topik yang dia

lontarkan di tengah pagi yang bagus ini.

“Kau sangat ingin tahu?.” Aku bersungut. “Lihat saja nanti.”

“Semoga itu tidak berarti buruk…” Chad tergelak dengan leluconnya yang

sama sekali tidak lucu itu. Dia mendengus sesaat ketika tidak ada balasan dariku.

Kemudian, helaan nafas lelah keluar darinya. “Semalam, aku tidak bisa tidur.”

Hati-hati, aku kembali mengangkat wajahku padanya, memandangnya lebih jelas

dan seketika merasakan apa yang ada dibalik kalimatnya barusan. Dia

memikirkan apa yang mungkin terjadi di hari ini.

“Tak banyak yang kupikirkan, sebenarnya. Sebagian besar adalah dirimu.”

Chad menyambung ucapannya dengan guyonan yang membuat senyumku

melebar. Ah, dia pintar sekali dalam bidang rayu merayu, kurasa. Sudah berapa

kali aku terjebak dalam hal satu itu…?.

Menanggapinya, aku tidak bisa menahan senyumku dan memalingkan wajah

darinya lalu tertawa. “Lagi?.”

“Jangan menganggap semua ini terlalu serius, Am. Ayolah…” Chad

menimpali dengan santai dan kami kembali makan.

Namun dalam suapan kami yang kesekian, pintu ruang praktek dibuka. Aku

tidak menghiraukannya sampai mendengar suara yang mulai terasa familiar.

252 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Hei… Maaf jika mengganggu kalian.” Darren menyapa kami dengan kikuk.

Aku dan Chad sama-sama mengangkat wajah dan kami berdua mengerenyit. Aku

langsung memalingkan wajahku kembali dan Chad memandangi tamu itu dengan

senyum yang bersahabat, seolah sudah mengenal dan berteman lama.

“Tidak…” Chad tergelak sendiri. “Masuklah.” Kemudian dia meminggirkan

gelas yang dia gunakan untuk minum tadi dan mempersilahkan Darren duduk.

“Kami baru saja makan pagi. Dengan omelet.”

Darren duduk, sedikit sungkan. Aku bisa merasakan tatapan penasarannya

merayapi tubuhku. Namun dia tidak berkata apapun, hanya menanggapi sambutan

Chad dengan hal yang wajar-wajar saja. “Omelet?. Kedengarannya

enak…”katanya berusaha antusias.

“Memang enak.”balas Chad ramah. Dia menyelesaikan makannya dan

menumpuk piringku, piringnya, lalu gelas kotor kami.

Darren memandangnya sekilas. Tapi kemudian, ekspresi wajahnya berubah

menjadi biasa. “Selamat untuk kalian berdua.”

Seandainya aku masih memakan sesuatu, pasti akan langsung tersedak. Darren

memulai pembicaraannya dengan Chad dengan topik yang pribadi.

“Oh?, dia sudah bercerita banyak padamu?.”tanya Chad balik. Aku

memandanginya dengan mendelik, tidak terima dengan nada menuduh dari

pertanyaannya barusan.

Darren tergelak membalasnya. “Bukan… Aku tahu kabar hubungan kalian dari

media…”

“Oh…” Chad menyahuti jawaban Darren. “Aku kira…”

253 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Tidak… Kami sudah lama tidak berhubungan.”balas Darren. “Ya, kan,

Am?.” Dia meminta konfirmasi dariku atas ucapannya.

Akhirnya aku hanya bisa membalas ucapannya dengan apa yang dia inginkan.

“Ya.”

“Kalau begitu, silahkan mengobrolah dulu sambil aku membereskan bekas

makan kami.” Chad berucap lalu berdiri, kemudian berlalu. Dia tidak

memberikanku kesempatan mengelak atas ucapannya. Seketika, suasana ruang

praktek menjadi sunyi sama sekali. Aku dan Darren sama-sama terjebak dalam

diam, membuatku harus mengingat momenku dengan Chad lebih intens dari

biasanya untuk membuatku sadar diri.

“Lebih baik dariku?.” Darren memecah keheningan diantara kami. Aku

langsung tahu maksud ucapannya adalah Chad.

Aku menatapnya dengan pandangan heran. “Pergantian topik, tolong?.”

“Aku bisa melihat, cinta yang ada pada Chad lebih banyak dari siapapun. Dan

itu bagus untukmu.”ucap Darren lagi, masih dalam topik pribadi itu.

“Jadi sekarang kau menjadi ahli cinta?.” Aku bertanya dengan ketus.

Kemudian aku menekuk kakiku dan bermain piano imajiner di atas lututku.

Mendengar balasanku, Darren tertawa pelan. Dia mengesah dan kemudian

menuruti apa yang aku lakukan.

Tak lama, tangannya terulur ke lututku dan bermain disana. “Aku yakin, kita

telah sama-sama berjanji untuk mengutamakan karir bila kembali disatukan dalam

sebuah proyek pekerjaan. Itu juga yang kupegang saat meninggalkan Hilton dan

Sean hari ini.”gumamnya pelan.

254 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Aku tidak akan mengungkit lagi apa yang sudah terjadi diantara kita, Am.

Tenang saja.” Darren menyambung gumamannya.

“Termasuk mengingatkan Chad akan apa yang telah terjadi diantara kita

berdua.” Aku menyela, seakan membuat perjanjian diantara kami.

Di hadapanku, Darren mengangguk. Dia membuat tulisan imajiner dengan

tangannya diatas lututku. “ „Te..ma..n.‟.” “Itulah kita sekarang.”

Aku mengangguk setuju mendengar kesimpulan darinya. Tanpa menungguku

meluruskan kakiku, dia melakukannya dan mengambil gitar akustik yang ada di

ruangan ini. “Sekarang, bagaimana kalau kita bermain?.”

“Lagu apa?.” Aku membalasnya dengan antusias dan menegakan kepalaku.

Ketika dia bermain, aku mulai bernyanyi. Aku ingat lagu itu. Itu lagu yang kami

ciptakan bersama di album pertamaku. Nyaris dijadikan duet juga kalau saja Ian

menyetujui lagu ini untuk dinyanyikan duet. Sayangnya saat itu aku tidak

mengajukannya. Judulnya „With You‟.

Wants the day like each day spent with you

But now it doesn‟t make sense anymore

You goin away leave me without grip

Like lose some goodness within you

I try to find a way

I try to find a time, such as our last time

But with you, everything‟s going alright

Just with you everything‟s gonna be great

255 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
-Chad-

MENDENGAR sayup-sayup canda dan tawa dari mereka, membuatku tertegun di

ruang rekaman. Sekalipun telingaku menikmati musik-musik hasil rekaman kami,

pikiranku fokus mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan di dalam sana.

Kebanyakan soal musik, masa lalu mereka saat dalam satu band yang sama, lagu-

lagu ciptaan mereka, dan yang lainnya yang sama sekali tidak ada sangkut

pautnya dengan masalah pribadi.

Sebuah rasa dalam diriku membatin pesimis tentang tawa dan canda yang

terselip diantara obrolan mereka. Ada dua kemungkinannya. Pertama adalah,

Amber terbukti masih mencintai Darren. Kedua, Amber mendefinisikan hubungan

mereka sekarang hanyalah sebagai seorang teman. Semoga yang terjadi saat ini

adalah yang kedua….

Tak lama kemudian, deru mobil terdengar dari bawah. Lalu suara Wade dan

Nick terdengar dari sana. Ceria. Tapi entahlah jika mereka sudah masuk ke dalam

dan melihat apa yang sedang dilakukan Amber dan Darren.

Langkah kaki yang berderap berantakan menyusul tak lama setelah itu. Tanpa

berusaha keluar dan memberitahu mereka sebelum mereka masuk ke ruang

praktek, aku hanya mendengarkan percakapan yang baru saja di mulai itu dari

sini.

“…jadi ini yang kami dapat setelah menyetujui permintaan konyol itu?.”

Fredy menyemprot seseorang dari luar. Kuduga itu adalah Amber.

256 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Tidak, kalian salah paham, teman-teman.”balas Amber tergesa. “Aku hanya

bermain dengannya di dalam. Lagu. Tidak lebih.” Kemudian kalimat

penyangkalan keluar darinya.

Terdengar decakan dari Fredy. “Lalu ada Chad disini?.”

Sebagai balasan, aku mendengar Amber mengesah. Disusul dengan decakan yang

masih tergesa. “Ya.”

“Sudah jelas kalau begitu.” Fredy menimpali dengan nada geram. Kemudian,

langkah kaki terdengar menjauhi lantai ini.

Ingin tahu, aku meletakan gitarku dan menuju ke jendela yang langsung

mengarah ke bawah – bermaksud ingin melihat bagaimana jalannya pertengkaran

diantara mereka. Di bawah sana Fredy sudah keluar. Disusul oleh Nick, baru

Wade setelah tak lama. Mereka bertiga terlihat berbicara. Tapi aku sudah bisa

menebak siapa yang menjadi penengah dalam pembicaraan mereka di bawah

sana. Wade.

Beberapa kali gestur bantahan dikeluarkan Fredy sementara Nick lebih

memilih bersikap netral, dan Wade menjadi pembujuk diantara mereka. Sampai

akhirnya, Darren keluar studio, berada diantara mereka. Aku melihat, suasana di

bawah sana menjadi sunyi sama sekali. Dinginnya terasa walaupun aku tidak

mendengar sepatah katapun dari perdebatan mereka.

Darren terlihat memulai bicara. Tak lama setelah itu, mereka semua masuk

kembali ke studio. Kemudian, sepi tapi tidak sampai sedetik, suara canda tawa,

gelakan, dan obrolan mulai menghiasi ruangan itu. Dalam diam, aku menghela

257 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
nafas sejenak. Gusar. Memang benar. Tapi jika aku ingin serius bersamanya,

maka aku harus lakukan ini.

Jam dua belas siang. Aku memutuskan keluar dari ruang rekaman sebelum

mereka keluar dari ruang praktek untuk makan siang. Dari dalam ruangan itu

masih terdengar obrolan mereka yang kini sudah sampai ke arransement musik

dalam lagu-lagu mereka. Darren sedang berbicara kali ini.

“…bagaimana jika intro lagu ini ditambahkan lebih lama. Selama sepuluh

detik. Lalu isi dengan gerakan menepuk, seperti ini… Baru, masuk musik.”

“Seperti ini?.” Amber bersuara. Kemudian, terdengar gelak tawa dari mereka.

“Bisa-bisa. Asal kau berani saja melakukan itu.” Wade menyahut dengan

suara yang masih tergelak.

Dan sebelum aku terlanjur penasaran dengan apa yang mereka lakukan di dalam

sana, aku masuk, mengajak mereka istirahat makan siang.

“Hei. Sudah jam dua belas. Mau makan disini atau keluar?.”kataku pada

mereka.

Fredy melihat jam tangannya. “Hmm… keluar saja.” Lalu dia mengangkat

wajahnya, “Atau, terserahlah… yang penting makan..”

Menanggapi balasannya, aku tertawa kecil. “Kalau ingin makan disini, aku

belikan.” “Makan disini atau keluar?.”

“Disini saja.” Darren yang menjawab.

Aku mengangguk sekali, mengiyakan pilihannya. “Yang lainnya?.”tanyaku

sambil mengedarkan pandangan.

258 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Kita makan disini.”jawab Amber, seperti membulatkan suara dari yang

lainnya. Lalu dia berdiri, mengamit tanganku dalam posisi berdiri yang

memunggungi mereka. “Aku ikut.”

Kami sudah di dalam mobil lagi, setelah membelikan makanan dari sebuah

resto makanan Amerika di dekat studio. Di sepanjang jalan berangkat, Amber

diam, dengan muka lelah dan datar sambil memandangi jalan dengan lurus. Dia

terlihat merenung, seperti menyadari sesuatu.

Aku tertarik untuk bertanya padanya soal apa yang ia pikirkan. “Hei.”

Amber menoleh padaku. Tapi dia diam, dengan pandangan yang tidak fokus.

“Apa yang kau pikirkan?.”tanyaku akhirnya.

“Jujur?.” Dia bertanya balik setelah menghela nafas.

Aku mengangguk mengiyakan. Tapi tak lama kemudian, dia diam lagi,

membuatku harus diam juga dengan sikap menunggu. Dan biasanya, setelah ini

akan ada hal mengejutkan yang diakuinya.

“Aku mulai berpikir…” Amber mulai bersuara. Beberapa detik kemudian, dia

diam lagi.

“Apa?.” Akhirnya aku ikut bicara setelah dia terlihat ragu.

“…untuk mengajakmu ke Western Seals.”lanjut Amber terhadap ucapannya.

Aku menghela nafas sabar karena ternyata yang dia pikirkan adalah itu – yang

tidak ada sangkut pautnya sama-sekali dengan latihannya kali ini – dan kemudian,

aku menyalakan mobil, mulai menggerakan benda itu untuk kembali ke Shelfield

Studio.

259 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Ada apa disana?.”tanyaku, berusaha antusias dengan topiknya sementara

mataku tetap tertuju pada jalanan.

“Terakhir kali, pertandingan hockey antar kelas. Tapi entah dengan

sekarang…”jawab Amber, yang lalu tergelak sambil bersedekap. Ia kembali

tersenyum. Gurat yang terbentuk di wajahnya terlihat baik-baik saja,

membuktikan semua yang ia takutkan hari ini tidak menjadi kenyataan.

Akhirnya, ketika kami hampir tiba di studio, aku membalas tawarannya itu.

“Boleh. Kapan?.”

“Hm?.” Sesaat, Amber terlihat tidak fokus dengan pertanyaanku. Maka aku

pun mengulanginya, “Kapan kita akan ke Western Seals?.”

“Oh…” Ekspresinya melega sesaat. Kemudian dia menoleh, “Setelah dari

FoxTroops. Bagaimana?.”

“Setuju.”

-Amber-

KEBOHONGAN pertamaku pada Chad…. Bukan itu yang harusnya kuutarakan

pada Chad di mobil. Seharusnya, aku dan dia berdiskusi tentang apa yang akan

kulakukan setelah kembali ke studio. Seharusnya, aku bertanya dan menuntut

jawaban darinya tentang kenapa dia tidak keluar sama sekali dari ruang rekaman

dari jam 8 sampai makan siang ini. Itu yang seharusnya jadi topik pembicaraan

kami.

Akhirnya, memikirkan itu, aku hanya bisa mempertahankan ekspresi palsu-

senangku dihadapannya selama perjalanan pulang. Tak lama dari itu, kami tiba di

260 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
studio dan langsung ke atas, ke ruang praktek. Chad membawakan makanan kami

kesana sementara aku mengambil piring, alat makan, dan gelas dari pentry studio.

Dan setelah semuanya siap, kami mulai makan.

Dua jam selanjutnya, latihan selesai. Darren pamit pulang kepadaku dan Chad

yang mengantarnya sampai depan studio. Setelah itu, kami masuk ke dalam untuk

mulai mencicil perekaman audio halus albumku. Setidaknya dengan lagu yang

diproduseri oleh Chad dulu saja sambil menunggu Max, Shellback, dan beberapa

sound engineer lainnya yang akan datang kemari.

Semua sudah berpindah ke ruang perekaman. Wade sudah siap di posisi untuk

mulai merekam suara gitar di lagu pertamaku „Roll This Deep‟, sementara aku,

Fredy, dan Nick duduk di sofa sembari menunggu Sabio datang. Chad duduk

dihadapan mixer audio dan memasangkan headset ke telinga.

“Siap, Wade?.” Chad berkata dari headsetnya.

Sebagai balasan, Wade mengacungkan ibu jarinya pada Chad. Lalu, perekaman

gitar dimulai.

Perekaman ini akan dilakukan sebagian-sebagian. Pertama, Wade akan

bermain di intro, setelah bagian itu terasa sempurna oleh Chad, perekaman akan

berlanjut ke verse 1, chorus 1, verse 2, chorus 2, bridge, lalu kemudian barulah ke

chorus 3 sebagai endingnya.

Setelah kurang lebih 5 detik, bagian intro selesai. Wade melepas earphonenya

dari dalam sana dan keluar tempat perekaman. Dia ingin mendengarkan intro yang

baru saja di mainkannya.

261 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“…bagaimana?.”

“Bagus…” Chad memberikan pendapatnya. “Tapi masih teredam. Kau tahu,

mungkin ini terpengaruh juga oleh posisi gitarmu barusan.”

Wade menerima pendapat itu dan mendengarkan rekaman bagian intro lagi.

Ekspresinya mengiyakan. “Memang masih teredam..”gumamnya dengan ekspresi

menyimak. Tak lama, dia melepas headsetnya, “Coba lagi.”

Wade kembali masuk ke tempat perekaman dan proses perekaman audio

kembali dimulai. Sepuluh menit kemudian – saat lagu sudah sampai perekaman

bagian chorus 1 – Sabio datang, membawakan makanan ringan untuk kami.

“…yah, ini yang sejak tadi aku tunggu!.” Nick mendengus lega dan langsung

merampok bawaan Sabio. Dia melayangkan snack keripik kentang itu tinggi-

tinggi, bermaksud menggoda Wade.

Dengan tidak menghiraukan itu, aku memperhatikan proses perekaman sambil

memakan snack rumput laut.

“Sudah sampai mana?.”tanya Sabio setelah duduk, kepadaku.

Aku menoleh padanya, “Baru lagu pertama. Chorus 1.”

Tak lama, dari balik kursinya, Chad menoleh dan mengulurkan tangan kirinya,

meminta snack dari kami. Aku mengambil serauk dari keripik kentang yang

dipegang Nick dan memberikannya pada Chad.

“Bagaimana latihannya tadi?.” Sabio kembali bertanya.

Kali ini, Fredy yang menjawab pertanyaan itu. “Lancar… Seniormu berbaur

dengan kami, tadi.”

262 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Sabio membalasnya dengan gelakan ramah yang biasa saja. Begitupun Fredy.

Meski aku sempat memelototinya tadi karena menggunakan pilihan kata yang

kurang tepat, tapi dia biasa-biasa saja.

***

Jam 6 sore. Nick, Wade, dan Fredy sedang pulang untuk berganti baju. Sementara

Sabio sedang membelikan makanan untuk kami sekalian juga pulang untuk

mengambil laptopnya. Rencananya kami akan menginap disini pada perekaman

kali ini. Yang ada di studio tinggal aku dan Chad. Matt bilang dari telepon

sesorean tadi, Max dan Shellback akan datang jam 7 nanti, bergantian shif

sementara nanti Chad akan pulang untuk membersihkan diri dan kemari lagi tiga

jam setelahnya. Sementara Matt, akan kemari jam 7 nanti. Dia membawa dua

pasang baju untukku dan dia, dan alat mandi. Aku mau mandi disini setelah dia

datang.

Progres perekaman sendiri sudah sampai lagu ketiga. Sebelum semua pulang,

kami menyelesaikan perekaman lagu ketiga dulu di studio. Kesemua lagu itu

sudah terdengar bagus di telinga Chad dan aku – kebetulan aku mencoba berada

di depan mixer audio saat perekaman lagu kedua yang berjudul „Flew Away‟ –

setelah ini, tinggal 12 lagu lagi tersisa. Lagu yang sudah selesai adalah : „Roll

This Deep‟, „Flew Away‟, dan „Rockin‟ You‟.

Saat ini, di ruang perekaman, aku terpikir akan menulis ulang lagi lagu „Let

All Memories Go‟ – yang semula sudah kuutarakan keinginan itu pada Chad dan

dia menerimanya.

263 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Kita jadi menulis ulang lagu „Let All Memories Go‟?.” Rupanya Chad yang

malah bertanya kepadaku dari balik meja audio – sementara aku ada di sisinya.

Kami sedang mendengarkan lagu hasil tadi.

“Tentu saja.” Aku membalas, membuka laci dan mengambil beberapa kertas

selembar, lalu pulpen.

“Dimulai dengan?.”tanya Chad, setelah dia memegang kertas dan pulpen juga.

Aku meliriknya sekilas. Headset masih tergantung di lehernya, membuat

posisinya agak bungkuk. Wajah lelah terlihat padanya, membuatku tidak yakin

akan meneruskan perekaman lagu secara nonstop dengannya.

Maka aku pun menarik kertas dan mengambil pulpen yang sudah dia pegang.

Chad mengerenyit melihat apa yang aku lakukan. Tapi dia tidak membantah,

hanya memandangiku pintas lalu, kemudian kembali ke lagu-lagu itu.

“Istirahatlah.”kataku sebelum sempat ia memasangkan headset ke telinganya.

Chad masih diam. Dia tidak menoleh sampai aku menarik headset itu dari

lehernya dan mendorong kursi yang didudukinya menjauh dari meja audio.

“Amber?.” Dia tidak terima aku melakukan itu.

“Habis, sulit sekali diberitahu…” Aku membalas dengan acuh dan menggeser

posisiku ke depan meja audio, lanjut dengan memasangkan headset ke telinga,

menggeser kertas dan pulpen itu ke hadapanku, kemudian, aku mulai menulis

ulang lagu „Let All Memories Go‟.

“Curang…” Chad menggerutu dari belakangku.

Pura-pura tidak mendengarnya, aku mengacuhkan ucapan yang sebenarnya

sudah tidak pantas lagi terucap darinya… Dalam hati, aku tertawa sendiri

264 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
mendengar nada ucapan itu. Seorang Chad?. Kalau orang-orang yang belum

mengenalnya pasti akan jijik mendengar ucapan itu keluar dari seorang Chad yang

serius, nyaris sinikal, dan dingin….

Tiba-tiba, tarikan nafas terasa di leherku. Konsentrasiku buyar seketika karena

itu. Tapi aku berusaha tidak menoleh dan tetap memegang pulpen. Kuduga, Chad

mau bicara.

“Bagaimana kesimpulanmu dengan hari ini?.”

Aku melengos mendengar pertanyaannya. Kata pertama yang keluar dalam

benakku adalah „Oh?‟. Tapi aku balas juga pertanyaannya yang mungkin saja dia

sudah lebih tahu jawabannya daripada aku. “Menyenangkan, soal musik, dan

teman.”

“Tidak ada yang lebih dari itu?.”tanya Chad lagi, pelan. “Jawablah dengan

jujur.. Karena kalau tidak, aku akan memikirkannya semalaman nanti..”

Tangannya meraih lengan kursi yang kududuki, memeluknya.

Dalam posisi yang memunggunginya, aku menggeleng. “Darren juga sudah

berkomitmen pada pasangannya. Jadi, jangan khawatir.”

Anggukan Chad terasa di leherku. Dia berpangku bahu disana dan mengecup

bahuku sekilas. “Ya… Terimakasih untuk meyakinkanku.”

Tangan kiriku berpindah, mengelus tangannya yang masih bertengger di kursi.

“Sama-sama.” Dan tak lama kemudian, aku terpikir. Dia sudah kembali mengulas

masalah tadi pagi. Aku tanyakan saja hal tadi itu sekarang padanya…

“Sayang?.”

“Hm?.”

265 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Kau menghindar sepanjang latihan tadi. Kenapa?. Padahal kau bisa

bergabung dengan yang lainnya..” Aku berusaha untuk tidak menyinggung Chad

atau apa yang akan jadi jawabannya dengan berkata sehalus mungkin tentang ini.

Setelah Chad kembali mengecup bahuku, dia menjawab pertanyaanku itu.

“Aku hanya tidak mau intuisi negatif berkeliaran di kepalaku ketika melihat

kalian. Kau tahu?, mata seringkali salah menangkap gerak-gerik seseorang. Aku

tidak mau hanya karena itu, kita selesai.”

“Besok kau akan seperti itu lagi?.”tanyaku setelah merasa lega mendengar

jawabannya yang cukup dalam. Dia berpikir dari segala sisi saat melakukan

pengasingan diri sepanjang latihanku untuk FoxTroops tadi.

“Sepertinya tidak. Aku ingin membandingkan, dengan mendengar suara atau

melihat kedekatan kalian kembali, yang mana yang membuatku lebih cepat

cemburu…” Chad menjawab dengan suara sepelan tadi. Tapi sebelum aku sempat

membalas lagi ucapannya barusan, dia sudah berkata lagi. “Setelah itu, aku jamin,

tidak ada celah baginya dalam hatimu.”

Dalam hati, aku mengaminkan ucapannya tersebut, sembari berdo‟a semoga

semua tindak-tandukku besok tidak ada yang – sengaja, atau tidak sengaja,

disadari, atau tidak – akan menyakiti hati Chad.

***

266 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“IS IT THE END?...”

-Amber-

SETELAH pembicaraan malam itu, Chad menepati janjinya. Dia berbaur dengan

Darren di latihanku untuk FoxTroops dan semuanya berlangsung baik-baik saja.

Sempat kucoba meninggalkan mereka dan menguping apa yang mereka bicarakan

di dalam untuk mengetahui apa yang sebenarnya berkecamuk dalam benak

mereka berdua selama kedekatanku dengan keduanya dalam dua proyek yang

berbeda. Hasilnya adalah sama saja : aku tidak menemukan tanda-tanda kalau

Chad membenci Darren, dan sebaliknya. Sekalinya aku mendengar mereka bicara

tentang urusan pribadi, lebih sering itu semua berakhir dengan senyuman, gelak

tawa, dan esoknya, mereka sudah berganti topik obrolan.

Lalu semuanya berlanjut sampai hari ke hari, dari latihan ke latihan.

Hubungan antara aku dan Darren, Chad dan Darren, Darren dengan anggota

bandku –membaik. Chad dan Darren seperti biasanya, mereka berbaur satu sama

lain, bercanda, meski kadang-kadang saling tanya jawab mengenai pendapat

masing-masing selama dekat denganku. Mereka berdua selalu terlihat akur dari

latihan ke latihan. Chad pun sudah lebih sering bicara kepada semuanya, baik itu

memberi saran, usulan, hingga lawakan yang tak jarang membuat kami tergelak.

Sementara Darren benar-benar menepati janjinya untuk membuat semuanya

mudah bagi kami berdua. Dia bersikap seperti sepuluh tahun yang lalu : menjadi

kakak bagiku, teman, dan yang terdekatnya adalah sahabat.

267 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Bandku pun begitu. Nick, Wade, dan Fredy bisa memberikan tempat yang

nyaman untuk keberadaan Darren. Meski di hari pertama masih terlihat

pembedaan sikap dari mereka, lambat laun mereka bertiga menerima Darren

seperti dulu lagi. Mulai bercanda, tertawa, menciptakan lagu bersama lagi. Tak

jarang Wade mengajak kami bernostalgia yang kemudian topik itu berganti karena

tidak mengertinya Chad atas topik itu.

Dan soal pria satu itu, setelah pertemuan terakhir kami pada liburan lalu, dia

tidak pernah mengungkit semuanya lagi. Wade kembali seperti dulu dan tidak

pernah mengingatkan apalagi menjadikanku seperti satu tahun delapan bulan yang

lalu. Kami kembali bersahabat.

Kemudian, hari-hari terus berlalu. Akhirnya aku berhasil menyelesaikan

perekaman audio halusku. Kelima belas lagu itu rampung dalam dua minggu. Aku

dan Chad juga sudah menyelesaikan versi terbaru dari lagu „Let All Memories

Go‟ dengan sempurna.

Hari keempat belas latihan, aku tiba di sesi syuting video klip pertamaku yang

berjudul „Roll This Deep‟. Sesuai rencana, video klip pertama adalah ini, disusul

dengan „Rockin‟ You‟. Kemudian aku melanjutkan dengan lagu „Let All

Memories Go‟, lalu dengan lagu „Hello World!‟. Akan ada empat lagu yang

dibuat video klipnya dalam album ini.

Syuting akan dimulai sejak pagi hingga malam, jam 7, dan barulah aku

kembali berlatih di studio dari jam 8 hingga jam 10. Darren sudah diberitahu dan

dia akan datang studio saja, tidak sejak pagi ikut syuting bersamaku dan bandku.

268 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Di lokasi syuting „Roll This Deep‟, aku dan bandku sudah dalam kostum

video klip ini. Kami sedang menerima arahan dari sutradara video klip ini, Harv

Bennett.

“…nanti, begitu aku bilang, „action‟, kau, Amber, langsung masuk set dengan

skateboard ini.” Harv menoleh pada bandku. “Nah, kalian mulai bermain saat

musik dinyalakan, ya?. Di posisi. Mengerti, kan?.”

“Siap.” Kami semua kompak mengangguk dan bersiap di posisi masing-

masing. “Kamera, record,…siap… Action!.”

Saat kata itu terdengar, aku masuk, meluncur di atas skateboard dan berhenti,

lalu menyanyikan bagian awal lagu ini. Karena temanya tentang pesta dansa di

perpisahan sekolah, aku mencoba untuk seceria mungkin di depan kamera.

Dan tak lama kemudian, terdengar „cut‟ dari Harv. “Bagus!.” Dia

mengacungkan kedua ibu jarinya. “Kamera, pindah!.” Lalu Harv mengambil

gambar peralihan dari posisiku ke bandku yang ada jauh di belakang sana.

“…26, huh?. Aku tidak percaya…” Sebuah suara berbisik di dekatku. Aku

menoleh, dan tersenyum ketika tahu siapa pemilik suara itu. Chad.

“Kau bilang tidak bisa datang..”kataku padanya. Ya, dia bilang padaku, dia

dan bandnya ada pekerjaan di studio terkait mini albumnya yang ketiga – setelah

5 album besar dan 2 mini album. Chad bilang, prosesnya sudah sampai perekaman

audio untuk demo ke label. Jumlahnya hanya ada enam lagu.

Chad melengos mendengarnya. Dia duduk bersila di depanku dan menyodorkan

sebungkus doritos. “Pengerjaannya selesai lebih cepat, sayang… Jadi aku bisa

kesini.”katanya, memberi alasan.

269 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Hmm.. ya. Tapi..kan ini masih pagi?. Apa saja yang dia kerjakan, kalau begitu?.

“Aku hanya menjelaskan konsep albumnya. Dan setelah bandku, produser,

dan sound engineernya mengerti, aku izin kemari. Jam sepuluh nanti aku akan

disana sampai lusa.” Chad menjelaskan apa yang jadi pertanyaanku. Dia tidak

akan menemaniku syuting ataupun latihan sampai lusa.

Sebelum aku bisa membalas penjelasannya barusan dengan kalimat, Harv

sudah keburu memanggilku untuk menuju ke set berikutnya. “Amber!.”

Aku menoleh pada Chad lagi, “Aku bekerja dulu.”

“Sound, siap..!.” Dari set yang lain, Harv memberi komando.

Membalasnya, Chad mengangguk dan membiarkanku pergi, melanjutkan

pekerjaanku.

***

Lima hari berlalu. Setelah beberapa kesepakatan dengan Ian, Matt, dan Arist,

akhirnya hari ini latihan untuk FoxTroops ditiadakan dulu sampai proses

pembuatan keempat video klip itu selesai. Progres latihan juga sudah sampai

susunan acara konser, jadi tinggal bagaimana disananya saja. Soal arransement,

intro, improvisasi, dan yang lainnya itu, sudah selesai terkonsep dan sekarang ini

sedang disimpan rapat-rapat di sudut kepala kami masing-masing untuk dibuka

lagi pada sebelas hari setelah ini.

Video klip pertamaku sudah selesai dan siap edar. Makanya, hari ini aku break

syuting untuk mempromosikan album baru, sekaligus single dan video klip

pertamaku. Deretan acara sudah menantiku hari ini. Pertama : hadir di AM

Morning Session dari jam 8 sampai jam 10 pagi, kedua : hadir di Orphan TV

270 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Show dari jam 11 sampai jam 1 siang, ketiga : mengecek kesiapan kopi albumku

yang mulai hari ini akan disebar ke seluruh toko kaset di Amerika. Album itu

berisi laguku dalam versi audionya saja. Video dibuat untuk dipromosikan ke

YouTube, yang kemudian dari sana akan mengalir royalti jika jumlah penyuka

video klipku mencapai, dan melebihi target yang ditetapkan oleh sponsor dan

label, yaitu 1 juta penyuka.

Dalam lima hari ini, yang aku lakukan hanya – seperti biasa – syuting, ke

studio, menginap. Memang Matt dan Ian tidak mengagendakan acara apapun

selama pembuatan albumku belum selesai total. Lumayanlah…aku bisa

berkonsentrasi. Sepanjang itu pun tidak ada hal gawat yang terjadi. Semuanya

tetap berlangsung seperti seharusnya.

Namun di balik hal biasa itu, sebenarnya, ada satu yang mengganjal di

benakku, tepatnya sejak tiga hari lalu. Setelah dari syuting hari pertama itu, Chad

memang tidak menemaniku di hari selanjutnya. Tapidia selalu memberi kabar dan

menanyakan balik keadaanku dan progress albumku. Baru tiga hari belakangan ini

tidak ada kabar darinya sama sekali. Sekali waktu aku mencoba menghubunginya,

tapi tidak ada yang menjawab. Terkadang mati, tidak ada sinyal, atau sedang

sibuk. Tak ayal, hal seperti ini cukup membuatku khawatir juga.

Hari ini, dengan masih memikirkan itu, aku mengangkat tubuhku dari zona

nyaman, berusaha seceria mungkin untuk beraktivitas. Di acara AM Morning

Sessions, aku hanya membawa Wade ke studio. Yang lainnya tidak ikut karena

sedang ada acara masing-masing. Fredy : menghadiri ulang tahun temannya,

271 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Sabio : pulang ke Mexico karena ibunya sedang sakit, dan Nick : sedang malas

keluar rumah. Wade-lah harapanku satu-satunya.

“…kita berangkat jam 7, Am!. Cepatlah!.” Matt berkata dari bawah.

Tanpa menyahut, aku keluar kamar dan langsung turun. Lalu tak lama, berangkat

ke Studio AM Morning Sessions.

Empat puluh menit kemudian, kami sudah berada dalam AM Morning

Sessions Studio. Aku dan Wade masuk ke tempat perekaman dan mengambil

bagian masing-masing sementara Matt memperhatikan kami dari luarbersama kru

studio yang lainnya. Di dalam sini, kami melakukan briefing dan mendengarkan

briefing pula dari pihak studio.

“…mau kau apa kami yang membuka siaran kali ini?.” Christine Barsley,

kepala siarannya, bertanya padaku.

“Bagaimana enaknya?.” Wade bertanya balik dari sisiku.

Menanggapinya, Christine tergelak sesaat. “Terakhir kali, Amber yang membuka

acara ini. Tapi jika ingin ada perubahan, aku tidak menutup

kemungkinan.”jawabnya ramah.

“Ya sudah, kalau begitu aku saja yang membuka.” Aku memberi keputusan

kepada mereka berdua. “Teknisnya masih sama kan?.”tanyaku pada Christine.

Dia mengangguk, “Ya. Tapi karena hari ini kau akan sekalian promosi single dan

album baru, aku berikan kebebasan selebihnya.”

Dalam diam aku mengangguk-angguk tanda mengerti ucapannya. Barulah

kemudian Christine keluar tempat perekaman untuk membiarkanku dan Wade

272 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
memilih lagu yang akan dinyanyikan dalam dua jam ke depan. Akan ada 20 lagu,

sama seperti sebelumnya, lalu akan diselangi istirahat setelah 6 lagu, masing-

masing selama 8 menit.

“Baik, pertama apa?.”tanya Wade.

“Hmm… „Future‟.” “Lalu dilanjutkan dengan „Too Late‟, „Nomad‟, „Fake It‟,

„Fast Asker‟, dan terakhir, „Punk Boy‟.” Aku memberikan list lagu yang

kesemuanya dari album pertamaku.

Wade mengangguk sekali menerima list itu. Kemudian dia mulai mengetes gitar

yang dipegangnya. “Future.”

“Kita mulai dengan seperti biasa, 3 kali ketukan. Baru aku masuk.”kataku

padanya.

Anggukan keluar dari Wade.Tepat setelahnya, terdengar komando dari Christine

melalui headsetku. “Buka, Am.”

Tanganku mengisyaratkan kepada Wade untuk diam sejenak. Barulah aku

membuka acara AM Morning Sessions pagi ini.

“Pagi, Amerika!. Senang sekali hari ini, aku, Amber Lavigne, bisa menemani

kalian semua di acara AM Morning Sessions. Nah, dalam siaran kali ini, aku

ditemani sahabatku, seperti biasa. Wade Feldmann. Aku berada disini bukan

hanya untuk menyanyikan beberapa buah lagu untuk kalian, tapi, ada satu momen

penting, yang sia-sia kalau sampai kalian lewatkan. Pagi ini, disini, untuk pertama

kalinya aku akan memperdengarkan lagu-lagu dari album kelimaku. Namun

sebelum itu, akan kubuka pagi kali ini dengan beberapa lagu dari album

pertamaku. Selamat mendengarkan!.”

273 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Setelah itu, aku mengambil posisi, menarik nafas. Saat Wade memainkan intro

lagu „Future‟, aku masuk, mulai bernyanyi.

Tiba di lagu keenam, „Punk Boy‟. Sebelum aku menuju ke lagu itu, aku

mengajak pendengar berbasa basi sebentar sembari mengatur nafas.

“…lagu keenam dari kami, „Punk Boy‟. Setelah ini, silahkan bagi kalian yang

ingin mandi, sarapan, atau menyiram tanaman, untuk melakukan kegiatan itu

karena kami juga beristirahat dulu sebentar.”kataku renyah.

Dari sisiku, Wade tergelak dan ikut bicara, “..atau ingin membuang sesuatu,

mungkin?.”

Berhubung di kepalaku terpikir arti kalimat terselubung itu, dan cenderung jorok,

aku mendelik pada Wade, “Hei?.” “Siapa tahu saja diantara mereka ada yang

sedang sarapan…”

“Mungkin hanya kau yang berpikir ke arah sana, Am.”timpal Wade mengelak.

“Membuang sampah, atau apa, misalnya?.”

Mendengar bantahan guyonan itu, aku melengos, “Terserahlah…”

“Hanya bercanda. Aku tahu kalian tidak akan sampai segitunya.” Wade bicara

lagi sebelum aku sempat melanjutkan. Di diamku, aku melirik ke luar,

memandangi Matt yang tadinya biasa saja menjadi serius memandangi sesuatu di

ponselnya dalam posisi yang nyaris memunggungiku. Tak lama kemudian, dia

terlihat menelepon seseorang, lalu keluar.

Masih dalam diam, aku berusaha tidak memedulikan itu dan kembali kepada

siaran ini karena Wade menyudahi basa-basinya. Dia mulai membunyikan gitar

274 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
pada intro lagu „Punk Boy‟. Dan kemudian, saat bagianku tiba, aku mulai

bernyanyi lagi.

***

“…kau yakin?. Sudah periksa kebenarannya?.” Suara menggeram itu terdengar

dari luar. Aku yang tengah mendengarkan hasil siaran dalam 6 lagu tadi, tertarik

untuk keluar tanpa menghiraukan keseruan yang tercipta diantara kami di sesi

istirahat yang tinggal 5 menit lagi itu.

Ketika aku keluar, Matt ada disana dan tengah termenung sendiri di ujung

kursi dipan dalam posisi memunggungiku. Dia diam. Tubuhnya membungkuk

tegang dan kepalanya tertunduk.

“Matt?.” Aku terpaksa menegurnya dengan teguran standar.

“Hm?.” Dia menyahut, tapi tanpa bergerak dari posisinya sedikitpun.

Aku mendekatinya, duduk di belakang Matt, “Ada apa?. Kau seperti kesal, tadi.”

Detik selanjutnya tidak ada balasan dari Matt. Dia masih diam sampai aku

mengelus punggungnya. Secara tak langsung, memaksanya untuk berbalik

menghadapku. Akhirnya dia menjawab juga. Tapi dengan nada yang bisa dibilang

tidak santai.

“Boleh kalau untuk selanjutnya aku saja yang mencarikan pasangan

untukmu?.” Matt berkata dengan ketus.

Aku mengerenyitkan alis menanggapinya, “Apa maksudmu?.”

Matt mengesah sesaat kemudian. Dia berdecak gemas kepadaku dan kembali

berucap, “Sumber dari Alaska memberitahuku tentang keberadaan Chad. Lalu Ian

juga berkata hal yang sama.” Nada berucapnya berubah merendah.

275 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Pertama kali yang ada di dalam kepalaku adalah : Alaska?, untuk apa dia

kesana?. Kedua: Mengapa tidak ada yang memberitahuku sejak kapan dia ada

disana?. Ketiga : Kenapa Matt sampai seketus itu tadi?. Semua itu mengkristal

menjadi satu hingga hanya sebuah kata yang kujadikan sebagai balasan, “Lalu?.”

Tanpa kata, Matt yang tak kunjung berbalik, memberikan ponselnya padaku.

“Itu dari sumber. Francois Gener, namanya. Dia penggemar Neckredback.”kata

Matt memberitahu.

Aku mengangguk sekali dan menerima ponsel itu. Ada sebuah foto di

layarnya. Di bawahnya ada beberapa foto lain yang memperlihatkan objek lebih

dekat dan jelas. Saat aku melihatnya lagi, kerutan terbentuk di dahiku, disusul

dengan hentakan keras pada tangan Matt saat kukembalikan ponselnya.

Yang kulihat pada lima foto itu membuat pikiran tidak percaya menggelayut

di benakku. Chad, minum, wanita, bar, kamar. Apa artinya itu?. Dia tidak

mengabariku sama sekali selama tiga hari berturut-turut, dan itu yang dia

kerjakan?. Saat ini semua kalimat penyangkalan seakan mengkristal menjadi satu

pertanyaan yang sangat singkat : „Kenapa?‟.

“Aku tidak mengharapkan itu benar. Tapi semuanya terlihat masuk akal,

Am.”ucap Matt di sela-sela diamku.

Sementara aku masih tidak bisa membalas apapun selain beranjak, kembali

masuk, dan mengambil ponselku, menelepon Chad bermaksud menanyakan

kebenaran berita ini padanya langsung. Siapa tahu saja orang itu hanya orang

iseng yang pintar menyatukan foto-foto yang sebenarnya berbeda momen….

276 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku harap begitu. Tapi lagi-lagi, saat aku coba menghubungi ponselnya, sama

sekali tidak ada hasil. Malah ucapan „Maaf, nomor yang anda tuju sedang berada

di luar jangkauan. Cobalah hubungi beberapa saat lagi‟ yang kudengar dari

operator telepon.

Akhirnya, karena aku sudah harus menyambung siaranku di AM Morning

Sessions, aku memutuskan untuk menindak lanjuti itu nanti, setelah semua

kegiatanku di hari ini selesai. Aku mengembalikan ponselku ke tas dan masuk ke

tempat perekaman.

Professional, Amber… Aku menguatkan diri untuk kembali membangun

atmosfer ceria dalam siaran kali ini. Setelah Wade membuka lagi dengan beberapa

patah kata, kami beranjak ke lagu ketujuh. „Goodbye‟.

-Darren-

H-7 konser di FoxTroops. Seperti perjanjian antara pihak label dan promotor

konser, H-3 dari hari H, Amber, Wade, Nick, Fredy dan aku akan berangkat

kesana. Yang akan ikut bersama kami nanti adalah Ian, Matt, dan kalau Chad,

entahlah. Terakhir kali aku melihatnya adalah saat latihan terakhir. Itu juga lima

hari lalu. Oleh karena itu, hari ini aku akan ke lokasi syuting video klip „Rockin‟

You‟ di Santa Monica untuk menanyakan kabar Chad sekalian mengobrol dengan

yang lainnya.

Wade bilang saat kutelepon, tinggal adegan terakhir. Jadi semuanya akan

berlangsung singkat dan aku bisa bersantai dulu disana. Daripada di rumah, sepi.

Hilton dan Sean juga kebetulan sedang pulang ke rumah orangtuanya yang

277 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
sebenarnya dekat dari sini. Jadi aku bisa berjalan-jalan sebentar sebelum

menjemput mereka lagi besok sore. Hilton tidak aku temani karena dia ingin

menyelesaikan sebuah masalah keluarga yang sangat pribadi, katanya hingga dia

tidak ingin aku tahu apa itu. Mungkin sepulangnya dari rumah orangtuanya, aku

bisa menanyainya tentang itu….

Setibanya di lokasi, perekaman adegan sedang dilakukan. Aku mencari kursi

dan duduk, memperhatikan mereka berakting di depan kamera dalam konsep

video klip ala game Amerika ini. Sekilas aku melihat setnya, memang sangat pas :

padang pasir, mobil klasik, kaktus ala film-film cowboy dan yang lainnya.

“Hei.” Matt menyapaku dan duduk di sisiku. Dia menyodorkan sekaleng soda.

Aku menerimanya. “Hai.” “Ini adegan klimaksnya, kah?.”tanyaku berusaha

mengakrabkan diri.

Matt mengangguk, “Kalau menurut konsep, seperti itu.”

Anggukan balasan keluar dariku, tanda mengerti. Tapi aku terpikir topik lain

dalam obrolan kami : soal Chad dan Amber.

Aku pun mengubah posisi dudukku menjadi agak menghadapnya. “Chad

datang?.” Kumulai obrolan kami tentang itu dengan dua kata yang sederhana.

Mendengarnya, Matt langsung mencelos. Ekspresinya berubah serius. “Tidak.

Sudah semingguan ini dia tidak menampakan diri. Aku dan Amber sama-sama

tidak tahu kenapa. Padahal besok dia akan melakukan syuting di video klip ketiga,

yang berduet dengan Amber.” Matt menjelaskan dengan pelan. Tatapan matanya

lurus pada Amber, merenung.

278 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku pun jadi begitu. Dalam diam sesaatku, aku tertegun, mencoba

membayangkan apa yang Chad lakukan dan dimana. Yang ada di dalam kepalaku

adalah : Chad sedang sibuk dengan albumnya – karena itulah yang terakhir kutahu

– lalu menyelesaikan audio halus secara nonstop, sehingga dia tidak bisa

menghubungi Amber sama sekali.

“Kabar terakhir, dia berada di Alaska. Chad kedapatan bersama seorang

wanita, dan mereka terlihat mesra.”

Selaan Matt barusan membuktikan apa yang kupikirkan adalah salah total.

Aku menoleh begitu selesai menyadari maksud ucapannya. “Amber sudah tahu?.”

Matt mengangguk mengiyakan. “Tapi tidak dengan yang lainnya. Dia sedang

berusaha tidak memikirkan itu dulu.”jawabnya dengan nada yang sama pelannya

dengan yang tadi.

Memutuskan untuk tidak membahas itu lagi, aku akhirnya hanya diam dan

memperhatikan proses pengambilan gambar yang ada di hadapanku sambil

berusaha tidak memikirkan apa yang akan terjadi pada Amber karena merasakan

sakit untuk yang kedua kalinya.

***

Hardrock Café, Santa Monica, California… 7 p.m

Kenapa aku ada disini?. Jawabannya adalah ikut dalam perayaan suksesnya

peluncuran album baru Amber di berbagai media. Yang ikut serta hanya : Amber,

Matt, bandnya, dan aku. Setelah Amber menyelesaikan syutingnya di jam 5 sore,

acara yang diprakarsai oleh Matt ini dimulai. Kami kemari sejam setelahnya dan

saat ini sedang menunggu makanan datang.

279 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Di acara kecil kali ini, Amber mentraktir kami makan, bebas pesan sampai

sebanyak apapun juga. Aku jadi ingat, dulu kami juga sering melakukannya baik

di saat seperti ini, maupun perayaan-perayaan internal lainnya.

Mengingatnya, aku tersenyum lebar, nyaris tergelak bersamaan dengan

lelucon dari Nick yang baru saja terlontar.

Tak lama kemudian, makanan datang. Amber dengan pizza – berdua dengan

Matt – dan sodanya, Wade: jus lemon dengan pasta, Nick: es teh dengan beberapa

porsi lasagna – dia sangat lapar kali ini katanya, Sabio: es kopi dengan steak,

Fredy : coffee latte dengan seporsi steak, dan aku : es lemon tea dengan beberapa

lembar telur.

“Tunggu..” Nick menyela sesi makan kami. “Bagaimana kalau kita

berlomba?.”tawarnya kemudian.

Amber menepukan tangannya tanda antusias. “Setuju!. Siapa yang bisa

menghabiskan makanan paling cepat, dia pemenangnya. Bagaimana?.”

“Yah, kalau tahu begitu, aku pesan satu porsi lasagna saja…” Nick

mendengus mendengar syarat perlombaan mereka kali ini. “Jangan begitulah…”

Sabio menyahut dari kursinya, “Hadiahnya?.” Sejenak dia merengut bingung.

Aku bergabung dalam obrolan mereka, mengusulkan hadiahnya. “Menonton

film terbaru Amerika.”

“Oh…berarti aku ikut!.” Nick berseru semangat. Walaupun dengan makanan

gabungan dari kami bertujuh sekalipun, kalau hadiahnya menonton film terbaru,

Nick pasti akan ikut. Aku masih sangat ingat dia maniak film. Film apapun itu.

280 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Matt terlihat membagi dua porsi pizzanya. “Aku tidak ikut. Jadi wasit saja,

ya?.”

“Harus adil.”kata Wade menyela.

“Pasti.”jawab Matt terhadap selaan itu. “Siap-siap.” “1…2…3…. Mulai!.”

Dengan dua kalimat berjeda itu, kami berlomba, berusaha menjadi yang

tercepat menghabiskan makanan masing-masing. Sekitar 3 menit selanjutnya,

Wade mengentakan meja, berdiri. “Aku menang!.”

“Sial…” Nick menyandarkan tubuhnya ke kursi, berusaha menelan makanan

itu dengan cara yang normal. “…padahal sedikit lagi habis…”

“Belum keberuntunganmu, Nick.”timpal Fredy. Dia merenggut minuman soda

Amber karena coffe latte yang ada di hadapannya sudah habis.

Amber bersikap membiarkan dan mengambil gelas soda milik Matt. “Kurasa

kita harus mengadakan pertandingan ulang…”

“Tidak…aku tidak terima..” Wade mengelak dari ucapan Amber barusan. Dia

beralih pada Matt, “Aku pemenangnya. Iya, kan?.”

“Seperti katamu…”balas Matt santai. Dia menyuapkan pizza bawangnya dan

melipat tangan di dada, menunggu obrolan selanjutnya keluar dari kami.

Sabio meminum minumannya dan menyambung obrolan di meja ini. “Hei,

kalian berdua punya lagu duet kah?.”

“Siapa?.” Fredy bertanya, tidak mengerti.

“Amber dan Darren.”jawab Sabio.

281 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Oh… duet.. Meresponnya, aku membersihkan mulutku dengan tisu dan membalas

jawabannya. “Tidak…” Kemudian aku beralih pada Amber, “Tapi lagu ciptaan

kami, ada.”

Amber mengangguk membenarkan menimpalinya. “Biar kutebak, kau ingin

melihat kami berduet di panggung kafe ini, begitu?.”

“Benar.” Sabio menepukan tangannya, seraya mengangguk mengiyakan.

“Sambil menunggu malam.”katanya lagi.

“Bagaimana, kau mau?.”tanyaku pada Amber, meminta persetujuannya.

Dia mengangguk cepat dan berdiri setelah membersihkan sisa makanan dari mulut

dan bajunya. “Ayo. Lagu apa?.”

Aku mengikuti, “ „With You‟.”

“Terlalu klise…” Nick berkomentar. “Faktanya kalian sudah tidak dalam

hubungan itu lagi…” Selanjutnya dia mengeluarkan kalimat yang sebenarnya

termasuk meledek, tapi jadi membuat kami sadar diri.

Amber melengos mendengar alasan yang keluar setelahnya. “Lalu?. Lagu

apa?.”

“Tidak ada yang lain?.”tanya Fredy.

“ „Punk Boy‟..?. Aku yakin kau masih hafal lagu itu.” Wade mengusulkan

kepadaku.

Aku mengangguk setuju terhadap usulan itu, dan menoleh pada Amber. “

„Punk Boy‟?.”

“Ya.” Dia langsung setuju.

282 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Tak lama setelah itu, kami beranjak dari pusara, mencari manajer kafe ini.

Tidak butuh waktu lama untuk kami menemukan orang berdasi dibalik

kesuksesan cabang Hardrock ini. Setelah meminta izin dan menanyakan

ketersediaan alat musik di kafe ini, aku dan Amber naik ke atas panggung.

Seketika, semuanya menjadi sunyi. Yah, sudah pasti karena melihat siapa yang

ada di atas panggung sini….

Amber berdeham dan tergelak sesaat. “Kenapa jadi sunyi seperti ini?. Kami

hanya ingin menghibur kalian.. Tidak lebih.”selorohnya kepada semua

pengunjung kafe ini.

Aku mengambil gitar dan mencobanya, “Ya...”

“ „Punk Boy‟ akan kami bawakan secara akustik di atas sini.” Amber

memberitahu kepada pengunjung kafe.Kemudian dia menengok padaku, “Siap?.”

Aku mengangguk membalasnya. Lalu kemudian, mulai masuk ke intro.

Amber masuk ke lagu. Dia menyanyikan lagu ini dengan sempurna, masih

seperti dulu. Ketika tiba di verse 2, aku mencoba bernyanyi, disambut oleh

anggukan-anggukan kecil dari para pengunjung, tanda menikmati apa yang kami

nyanyikan di atas sini. Beberapa saat kemudian, kami menyelesaikan lagu ini

dengan tarikan nada rendah dari Amber. Disusul oleh tepukan tangan meriah dari

para tamu, juga pusara kami di ujung sana.

Amber dan aku turun panggung dan kembali ke pusara kami. Tapi ketika tiba,

kami berdua sama-sama mematung dengan apa yang ada dihadapan kami. Chad,

dan dia sedang mengobrol dengan yang lainnya. Tampak santai dan biasa-biasa

saja.

283 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Di sisiku, Amber diam. Dia menatap Chad lurus-lurus, seperti penasaran akan

satu hal yang aku sudah tahu pasti apa itu. Sementara aku, duduk dan berusaha

bersikap seperti biasa pada obrolan kami yang sudah berganti topik lagi sejak

Chad datang, tadi.

Di tengah obrolan mereka, terdengar kalimat „…pembuatan album, masih.

Semuanya selesai lebih cepat. Sudah akan menuju tahap video klip.‟. Tapi dengan

pernyataan Matt tadi pagi, rasanya aku tidak percaya akan kalimat yang terlontar

dari Chad..

“…dia baru tiba tadi dan langsung mencari Amber. Tapi dia biasa saja, tidak

kesal atau berubah menjadi pendiam saat mendengar keakraban kalian di atas

panggung, tadi.”bisik Matt padaku.

Aku tidak membalas itu dan meminum minumanku dengan pandangan

mengamati ke ekspresi Chad yang sedang mengobrol dengan Nick, Wade, Fredy,

dan Sabio. Begitu…biasa. Dia seperti tidak menyadari apa yang sedang

berkecamuk di benak Amber selama dia pergi.

Dan seperti jawaban atas pemikiranku itu, Amber yang masih berdiri langsung

merenggut tangan Chad tanpa bicara, mengajaknya bicara di luar kafe ini.

Dalam hati aku hanya berharap, percakapan yang berakhir dengan permintaan

maaf dari Chad-lah yang terjadi pada mereka berdua. Kemudian, semuanya akan

baik-baik saja pada esok hari.

Semoga.. Aku memandangi mereka hingga ke balik pintu masuk kafe ini.

284 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
-Amber-

BAGUS dia sudah pulang hari ini dan langsung kemari. Yang pertama terlintas

dalam pikiranku begitu melihatnya dengan ekspresi yang biasa-biasa saja di

pusara kami, adalah : apakah dia tidak memikirkan apa yang aku rasakan?.

Karena itu aku langsung mengajaknya berbicara di luar. Kami harus

menyelesaikan masalah ini malam ini juga.

Dia bilang tadi, saat kawan-kawanku menanyakan „Kemana saja kau?‟, adalah

tetap dengan apa yang dia umumkan selama ini kepada semua orang, bahwa dia

sibuk dengan penggarapan album barunya. Penggarapan album baru di Alaska??.

Setelah kami berada sejauh mungkin dengan hingar bingar kafe, aku

menghentikan langkah tergesa kami, “Sejak kapan studiomu berpindah ke

Alaska?.”tanyaku ketus. Namun nada teredam terdengar dariku, berusaha tidak

terbawa emosi menghadapi apapun responnya nanti.

“Maksudmu?.” Chad mengerenyit tidak mengerti.

Mendengar pertanyaan yang sangat polos itu, aku berdecak, balik tidak

mengerti terhadap balasannya. “Dan sejak kapan kau minum?.”

Aku melanjutkan introgasiku padanya sambil mengingat foto-foto itu,

membuat nada kesal terdengar lebih meyakinkan dari seharusnya – dan soal

minum, aku trauma dengan pria peminum. Darren dulu peminum. Saat dia baru

saja sembuh, keluargaku sudah nyaris tidak percaya lagi pada kelangsungan

rumah tangga kami yang baru berjalan 2 tahun saat itu – walaupun sebenarnya

kami berpisah juga – tapi aku tidak mau yang kedua ini bernasib sama….

285 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Ekspresi mengingat dikeluarkan Chad. Tapi sejurus kemudian, dia tergelak

menanggapi kalimat ketusku. “Oh… itu…”

„Oh…itu…‟? Apa artinya?. Jadi semua yang kulihat dalam foto itu adalah

benar?. Kini aku sudah tidak peduli lagi dengan semua kalimat manisnya dulu.

Yang bisa kulihat dan rasakan sekarang adalah wajahnya, dan gamang. Aku tidak

tahu harus bagaimana.

“…ya. Aku ke Alaska setelah menyelesaikan perekaman audio halus..”kata

Chad, seakan membenarkan keterangan yang sudah aku punya. Mendengar

suaranya yang masih santai, membuat mataku panas. Ingin sekali menangis, tapi

dia akan mencibirku begitu saja. Pasti….

“Lalu?.” Akhirnya, dengan suara yang dipaksakan meninggi, aku membalas

ucapannya barusan.

“Semuanya terjadi begitu saja.” Chad membalas, masih dengan santai. Tapi

bagiku, seperti apapun nadanya, kalimatnya barusan sudah cukup jelas. Semua itu

benar. Chad bukan lagi laki-laki dewasa yang pengertian, setia, dan sulit

berpindah hati ketika mencintai seorang wanita. Bukan lagi. Atau memang, ini

bukanlah dia.

Bayangan peristiwa dua tahun lalu kembali menghantuiku. Kalimat

„Semuanya terjadi begitu saja‟ dalam kepalaku adalah kurang lebih sama dengan

sebab Darren menceraikanku dua tahun lalu. Itu berarti, Chad sudah berlaku

kelewat batas dalam hubungan kami.

Aku diam memikirkan itu. Yang bisa kulakukan hanyalah terpaku

memandanginya dengan mata yang mulai berair.

286 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Siapa dia?.”tanyaku setelah bisa membalas lagi dengan nada yang

sewajarnya.

“Whitney.”jawabnya. Kemudian sikapnya berubah tidak peduli. Dia

memasukan tangannya ke saku jaket yang dipakainya dan berkata lagi, “Kami

melakukan banyak hal disana. Tapi tidak sampai separah yang kau pikirkan..dan

aku yakin kita bisa menyambung semuanya kembali.”

Chad mengelak dan menyarankan. Dia baru saja berucap dengan nada yang

masih saja santai.

Tatapanku berubah marah dan lelah akan semua penantian kehadirannya yang

berakhir dengan sangat tidak menguntungkan untukku. Akhirnya, sebagai puncak

atas emosiku, cepat, aku menamparnya. Dalam malam yang sunyi ini, suara

tamparan itu ibarat pelecut kuda dalam balap yang menegangkan. Suasana sunyi

benar-benar terbentuk diantara kami setelah itu.

“Menyambung semuanya kembali?.” Aku bertanya balik padanya. Dia sendiri

balas menatapku dengan sikap tertegun. Tapi tidak ada jejak rasa bersalah

padanya.

“Bisa kita lakukan itu?. Aku rasa tidak, Chad..”tukasku sebelum dia sempat

berkata.

Chad diam menanggapinya. Dia masih mendengarkan luapan emosiku. Dari

hadapanku, posisinya masih seperti tadi.

Setelah tarikan nafas yang kesekian karena kesesakan yang mendadak timbul,

aku melanjutkan bicaraku. “Kenapa saat aku sudah sangat mengharapkanmu,

kau…membuang semuanya begitu saja…?. Seperti sampah…tak berguna..”

287 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Tidak ada balasan darinya, membuat air mata penyesalan dan kekesalan

dariku meluncur juga. Tapi yang dia lakukan hanyalah diam, memandangiku

dengan sikap menunggu yang acuh.

Ketika akhirnya tidak ada lagi yang bisa aku ucapkan, dia berkata sesuatu.

“Tapi sayangnya aku baru saja menyadari kalau aku tidak merasakan hal yang

sama.”

Perkataan itu seperti menghentikan semuanya dalam sekejap. Aku makin

membisu mendengar kalimat itu darinya. Kalau begitu, terjawab sudah. Semua

ucapan darinya selama ini hanya bohong. Semua perkataan cintanya, hanya fiktif

yang ada di dalam pikiranku. Tidak nyata.

Sekali lagi, aku menarik nafas dengan dalam. “Oke…” Anggukan pelan keluar

dariku. Dengan mata yang berkabut, aku kembali berucap. “Selesai. Seperti ini

saja…?.”

“Aku memberikan pilihan kepadamu untuk memulai semuanya kembali.”kata

Chad dengan sikap acuhnya. “Terserah. Aku tidak rugi dengan apapun keputusan

darimu.”

Acuh. Lagi-lagi acuh. Aku tidak membalas apapun atas perkataannya dan

menatapnya sekilas, lalu pergi, masuk ke kafe untuk langsung mengajak Matt

pulang. Rasanya setelah semua pembicaraan tadi, aku tidak bernafsu lagi untuk

berada disini lebih lama lagi.

288 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
26 Mei 2015…

Pernah kau merasa semua pria sama saja?. Ungkapan itu memang ambigu…Mengingat

jika saja kau berkata seperti itu di depan seorang filsuf, orang itu akan bilang : “Siapa

yang menyuruhmu mencoba semua pria?”. Benar adanya memang.

Maka kali ini aku hanya akan bilang : Chad dan Darren adalah 11-12. Entah aku

akan mencoba lagi untuk menjalin hubungan dengan pria lain atau tidak. Yang jelas,

untuk waktu dekat ini sepertinya tidak dulu. Karir lagi, mungkin. Dan kutebak, Matt

akan melakukan hal yang sama dengan yang dia lakukan saat aku baru saja selesai

dengan Darren.

Satu hal lagi : album baru. Ah, proyek satu itu sudah rampung dengan satu lagu

duet dengannya… Mungkin aku akan membatalkan total semua konsep yang sudah

terbangun untuk video klip lagu duetku dengan Chad. Biarlah audionya sudah

terlanjur tersebar juga. Toh semua yang ada di lagu itu tidak menjadi kenyataan.

Ps : Untuk pria-pria tidak tahu diri yang mengisi kehidupanku selama ini, cobalah

menggunakan cara yang lebih menyakitkan untuk menyakitiku. Bunuh saja aku

sekalian setelah kalian puas mempermainkanku.

Amber Edinson Lavigne

289 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“THAT‟S…COMPLICATED THOUGHT!”

-Amber-

DUA belas jam setelah pertengkaran kami di kafe itu, aku telah berada di studio.

Hari ini semua rencana yang telah terbentuk dibatalkan begitu saja. Aku benar-

benar tidak bisa berkonsentrasi untuk beraktivitas sesuai jadwal hari ini. Saat

ditanya Matt apa alasan dari keputusanku, aku hanya diam hingga akhirnya dia

menyerah pada intuisinya sendiri yang tidak aku tahu apa itu.

Akhirnya aku minta agar proses syuting video klip „Let All Memories Go‟

diundur hingga waktu yang belum ditentukan dan aku memutuskan untuk

menenangkan diri dulu di studio. Tidak ditemani siapapun. Hanya sendiri. Dalam

diam, aku merenungi semuanya kembali. Yang ada di kepalaku hanyalah

penggalan-penggalan ucapan Chad malam tadi. Itulah yang menemaniku juga

selama perjalanan ke studio.

Di dalam, di ruang perekaman, aku merebah di kursi. Lelah. Tanpa bicara, aku

memejamkan mata dan berusaha mengosongkan pikiranku. Tapi malah muncul

banyak hal di dalam sana : kenangan, pembicaraan, tertawa, tergelak, dan semua

wejangan Chad.

Akhirnya, aku membuka mata dan duduk menegak. Lalu beranjak, berpindah

ke ruang praktek. Mungkin bermain musik bisa membuatku melupakan sesaat

semua itu.

Aku masuk dan langsung duduk di atas piano. Tapi saat akan bermain, aku

tertegun. Mataku menatap lurus-lurus ke sebuah scrapbook di atas tempat nada.

290 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Tanpa berpikir, aku membukanya. Yang terlihat disana, membuatku bertanya-

tanya. Kaget dan bertanya-tanya, tepatnya.

Foto, dan tulisan tangan „Maukah kau menikah denganku?‟ di sisinya. Foto

Chad sedang memegang cincin dan sudah pasti tulisan yang ada di sisinya adalah

tulisan tangan Chad. Masih kaget, aku berdiri dan membawa serta scrapbook itu

ke luar ruangan praktek. Di luar, aku mengeluarkan ponsel, akan menghubungi

Chad.

Tapi sebelum sempat aku melakukan itu, sosok yang kumaksud sudah muncul

dari balik tangga dengan senyuman lebarnya. Senyuman itu jauh berbeda dari

yang tadi malam.

“Aku sungguh tersanjung kau berkata seperti itu semalam.”katanya jahil.

Chad mendekatiku yang masih tidak sanggup menyembunyikan ekspresi

senang dan tidak percaya atas semua ini. “Jadi, bagaimana?. Aku sendiri sudah

yakin akan semua ini.” Dia meminta jawaban atas lamarannya dalam scrapbook

itu.

Jadi semua ini, seminggu menghilangnya dia dariku, hanyalah untuk ini?. Dia

menguji kesetiaan dan perasaanku dengan hal yang lebih ekstrem dari biasa – dan

hasilnya adalah lamaran in?... Chad…

Aku masih tertegun menanggapi semua ini sampai dia mengeluarkan sebuah

kotak kaca dari sakunya dan membuka benda itu.

“Bagaimana?.”tanyanya lagi. Dia mencabut cincin yang ada disana dan

menunjukannya padaku dengan lebih jelas.

291 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Seketika, terlontar sebuah jawaban meyakinkan dariku. Yang membuatnya

tersenyum lebih lebar dan memasangkan benda itu di jariku. “Ya. Aku bersedia.”

-Chad-

BEGITU selesai mengatakan jawaban itu, Amber mendekat dan langsung

memelukku. Erat, hingga rasa hangat terasa sepintas di tubuhku, membuatku

memendamkan kepalaku dalam posisi berdiri yang membungkuk kepada

tubuhnya.

Kucium rambutnya sekilas. “Terimakasih.”, dan aku bisa merasakan Amber

mengangguk membalasnya. Dia diam. Ketika pelukan kami dilepas, aku tertegun

menatap wajahnya yang memerah. Amber menangis. Dia menundukan wajah

dariku dan berusaha meredakan tangisnya sendiri.

Tanganku terangkat untuk menghapus air matanya. Kami masih diam,

menikmati konsentrasi pada batin masing-masing.

“Hm…hei…” Amber menarik nafas. “Kapan kita memberitahu kabar baik

ini?.”

Oh…oke…dia sudah siap untuk memberitahu ini, rupanya. “Secepatnya.”

Sesi itu pun menjadi kenyataan. Beberapa saat setelahnya, aku dan Amber

berpisah. Kami merencanakan pesta kecil-kecilan di kafe biasa malam nanti. Saat

ini aku mendatangi teman-temanku di lokasi syuting video klip pertama kami, di

Brooklyn, sementara Amber pulang dan memberitahu Matt, Ian, dan bandnya.

292 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Satu yang aku harapkan sebenarnya : jika saja dia memberitahu Darren,

semuanya akan tetap berlangsung baik-baik saja untuk malam nanti.

Tatapan setengah acuh dilemparkan teman-temanku begitu aku tiba dan

menyapa mereka. Yah, sejenak itu membuatku sadar diri juga… Aku harus

memberitahukan berita burung yang kurang baik itu hanya rekayasaku belaka.

Setidaknya sebelum aku memberitahukan tentang undangan ini pada mereka….

Atau mungkin, langsung saja.

“Bisa berkumpul dulu sebentar, semuanya?.” Aku memulai percakapan pada

mereka yang mulai menjauh dariku, ke posisi mereka masing-masing di dalam set

untuk memulai proses pengambilan gambar.

Mendengar kalimat pertama dariku, Wilem menyela, “Kau yakin?. Kau sudah

telat setengah jam dan minta mengulur waktu lagi?.”

“Tolong?. Aku ingin memberitahukan sesuatu.”balasku setengah memelas,

mencoba membuat mereka langsung mau mendengarkanku.

“Kenapa tidak kau saja yang mendekat?.” Mike menimpali, agak ketus. Dia

nampaknya juga tidak menyadari semua itu hanya bohong belaka. Biasanya dia

langsung tahu jika aku terlihat bertindak keluar jalur, berarti semuanya hanya

bercanda. Tapi sepertinya tidak kali ini.

Akhirnya, aku menyerah. Dengan meminta waktu kepada sutradara video klip

ini : Bradley Stubber, aku mulai bicara di hadapan mereka, di posisiku. “Oke..

Begini. Datanglah nanti malam.”

“Untuk?.”tanya Daniel masih acuh dari balik drumnya.

293 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Acara perayaan pertunanganku dengan Amber.”jawabku langsung, sengaja

membuat yang lainnya tidak berkomentar atas tiga kata pertama dengan langsung

mengucapkan siapa yang menjadi tunanganku.

Alhasil, lima kata itu membuat ketiga pria paruhbaya itu tidak bisa membalas

apapun lagi. Mereka tertegun sesaat, mencoba mencerna apa arti ucapanku

barusan yang sebenarnya sudah sangat jelas.

“Hei, benar?.” Akhirnya Mike duluan yang bisa mengeluarkan suara.

Aku mengangguk mengiyakan. “Siapa yang berbohong…”

“Tidak, tunggu. Bukankah….” Wilem tidak bisa melanjutkan ucapannya.

Menanggapi reaksi mereka, aku tergelak. “Heeh…kawan-kawan, aku

bekerjasama dengan Whitney. Semua itu hanya bohong. Setengah jam yang lalu

aku baru saja melamar Amber di studio dan dia menerimanya.” “Kalau aku

jelaskan secara detail kita tidak akan bisa ambil gambar hari ini…”

Hening lagi dari mereka hingga aku berbalik pada sutradara dan meminta

skenario video klipnya. Aku baca kertas-kertas itu sejenak.

“Oke. Jam berapa?.” Daniel berkata, merespon undanganku dengan lebih

wajar.

“Jam 7 saja. Selesainya kita dari sini.”

***

Sender : Amber E. Lavigne 06.45 p.m

Receiver : Chad A.M

Aku sudah dijalan bersama Matt dan bandku. Ian tidak bisa ikut katanya.

Mungkin aku akan bawakan makanan saja. Bagaimana denganmu?. Berhasil, kan

memberitahukan mereka?. Kau tahu, Matt nyaris pingsan begitu aku memberitahu

294 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
alasan dibalik bertenggernya cincin berlian itu di jari manis kiriku :v . Dan

anggota bandku yang kebetulan sedang bertamu ke rumah, begitu selesai

memberitahukan ini, mereka langsung melemparku ke dalam kolam renang :D .

Balas. Kita akan menerima ucapan selamat yang bertubi-tubi beberapa

menit lagi 

Sender : Chad A.M 06.48 p.m

Receiver : Amber E. Lavigne

Seperti hal langka saja, ya? :v . Yah kalau aku, seperti biasa…

Memberitahukan hal ini ke orang yang otaknya sudah Pentium 3 tentunya punya

reaksi yang berbeda. Semuanya hanya terdiam dan berkata terbata merespon

undanganku. Setelah itu kami langsung sibuk ke syuting video klip pertama di mini

album kami. Syukurlah kalau semuanya bisa menerima. Aku sebentar lagi menuju

kesana. Sekarang sedang beres-beres di lokasi syuting.

Sender : Chad A.M 06.48 p.m

Receiver : Amber E. Lavigne

Kau mengajak Darren juga?.

Sender : Amber E. Lavigne 06.50 p.m

Receiver : Chad A.M

Tidak… Hehe…Aku tidak mau membuat suasana menjadi dingin… Dia

juga akan tahu, Chad. Media itu berisik, kau tahu, kan?... :v

295 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Sender : Chad A.M 06.51 p.m

Receiver : Amber E. Lavigne

Ya..begitulah. Sampai ketemu disana, Sayang.

Hardrock Café, Santa Monica, California…

Setengah jam kemudian aku baru tiba di tempat. Mereka semua sudah

menungguku di tempat VIP di lantai atas. Begitu aku muncul, Nick dan Sabio

bangkit dan memisahkanku dengan bandku sementara Fredy menarikan kursi

untukku, dihadapan Matt dan Wade membawa anggota bandku ke tempat di

sebelahnya.

“Silahkan duduk.”kata Fredy sok bersikap serius, seperti aku ini sedang

melaksanakan sesi lamaran leg kedua saja….

Tapi tak ayal, aku pun duduk juga sementara yang lainnya duduk bersama

anggota band Amber dan Amber di tempat yang sama.

Aku teralihkan dari kekonyolan mereka kepada Matt, dan apa yang

sebenarnya ingin kami lakukan di dalam sini. Setelah agak lama tidak terdengar

kata dari Matt, aku memulai dengan penjelasan karena kurasa itulah yang dia

inginkan.

“Yah…itu murni rencanaku, Matt. Aku yang mengerjakan semuanya.”kataku

sambil menyeringai kuda. Seperti murid yang ketahuan mengirimkan surat cinta

ke guru perempuannya….

Tapi Matt masih menatapku, cukup serius hingga aku terpaksa memalingkan

pandangan darinya dan berkilah seakan dia mau memarahiku karena kelakuanku

yang sudah menyakiti adik perempuan ajaibnya itu. “Tapi kan tidak menjadi

296 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
kenyataan, Matt. Ayolah… Jangan menganggap ini terlalu serius…”selaku

setengah mendengus.

“Bagaimana tidak?. Aku nyaris percaya semua itu, Chad.” Matt akhirnya

membalas juga dengan nada ketus. Oh…mungkin dia memang marah padaku.

Oke…. Kalau begitu urusannya akan agak panjang pada malam ini….

Dengan berusaha mengimbangi atmosfer serius yang sudah terlanjur tercipta,

aku juga mencoba berkata demikian. “Oke, maaf. Soal pergi ke Alaska itu,

perempuan itu, kamar, hotel, nyaris berpelukan, semua itu memang benar. Tapi

bukan untuk mempermainkan Amber. Sama sekali bukan, Matt.”

Kemudian, aku meneruskan penjelasanku pada Matt. “Aku pergi ke Alaska

setelah menyelesaikan pekerjaanku. Disana, aku mengontak teman lamaku,

Whitney, dan menjelaskan rencanaku untuk membuat Amber cemburu dengan

foto itu, kedekatan kami, dan semuanya. Soal minum, yang aku minum waktu itu

adalah air putih, bukan alkohol.”

“Kenapa tidak sekalian saja kau buat itu menjadi kenyataan?.” Matt menyela

dengan terburu-buru, membuatku menarik nafas dan segera mencari kata-kata

yang tepat untuk membalas ucapannya barusan.

“Matt, aku tidak mau salah pilih. Percuma saja jika aku menetapkan hati pada

adikmu tapi dia sendiri mudah berpindah hati atau mudah cemburu. Kau tahu,

seringkali mata salah melihat sesuatu. Apalagi kami berdua sama-sama di dunia

entertainment. Aku hanya ingin menguji Amber. Apakah itu salah?.”balasku

terhadap selaannya.

297 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Kalau dia sudah tidak mudah cemburu padamu, berarti sudah ada pria lain di

hatinya. Itu kata lain dari tujuan tindakanmu.” Matt menyimpulkan sendiri

balasanku. “Yang jelas, begini : kau yakin dengannya sejak awal, kan?. Apa

susahnya langsung melamar?. Tidak usah menggunakan uji coba konyol seperti

itu. Bisa saja Amber seketika berpindah hati dan berpacaran lagi di belakangmu.

Dengan Wade, misalnya?. Atau bahkan kembali lagi mencintai mantannya itu.

Bagaimana kalau itu yang terjadi pada tindakanmu yang coba-coba dan bercanda

itu?.”

Tik. Aku benar-benar diam dibuatnya. Berusaha memikirkan jawaban yang

tepat dari bantahan Matt, aku malah dibuat makin tidak berkutik. Dalam diamku,

aku menyadari satu hal. Wade. Matt menyebut namanya tadi. Apa itu artinya

Wade pernah berpacaran dengan Amber?.

Terlarut dalam pikiran itu, aku tertegun dan menoleh sesaat pada pria itu.

Wade terlihat sibuk dengan ponselnya dan tidak begitu memperhatikan kami yang

padahal sedang melakukan perdebatan panjang. Tapi aku percaya, dia

memperhatikan setiap detailnya. Hingga aku rasa pria itu akan mengingat

peristiwa ini seumur hidupnya.

“Itu sama saja dengan mempermainkan, Chad. Kau tahu itu.”

Ucapan Matt mengembalikan fokusku pada percakapan kami. Dia bersandar,

menungguku membalas.

Tapi karena tidak kunjung terdengar kata dariku, Matt berucap lagi. “…karena

tidak mudah bagi perempuan seperti Amber untuk melupakan setiap detail

berharga dalam hidupnya. Kau mulai jadi hal yang berharga baginya.”

298 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Mendengar intonasi yang penuh penekanan itu, aku menghela nafas. Perasaan

kesal Matt jadi tertular kepadaku. Kenapa dia terlalu memojokanku?, padahal kan

ini hanya permainan yang sementara. Tidak fatal. Amber juga mengerti semua

alasan dibalik tindak tandukku. Kenapa tidak dengan Matt?.

“Hei.” Aku berusaha agar nadaku tetap serendah biasanya. “Aku punya alasan

logis dibalik semua ini. Dibandingkan perlakuan serba langsung atas saranmu

itu.”

“Dibalik perbuatan yang tidak logis. Aku mulai ragu kau mencintainya….

Lepaskan saja cincin berlian jelek itu…”balas Matt acuh plus ketus. Oh…oke…

Ini sudah keterlaluan namanya.

Dengan berusaha tidak emosi mendengar ledekan itu, aku mencondongkan

tubuhku pada Matt, melipat tangan di meja setelah mengusap wajahku sesaat.

“Aku mencintainya. Kalau tidak, mana mungkin aku repot-repot melaksanakan

serangkaian kegiatan yang menurutmu bodoh itu?. Setelah ini aku pastikan tidak

akan ada yang menyakitinya. Aku janji, dan kau bisa pegang itu.”

“Belum sama sekali menikah, kan?. Apa kau tahu arti „cinta‟ yang

sebenarnya?.”tanya Matt balik, masih belum terpengaruh dengan intonasiku yang

agak dinaikkan.

Mendengar itu, emosiku benar-benar memuncak. Aku memalingkan wajah

dari Matt untuk menghindari membentaknya. Setelah merasa cukup mereda untuk

berucap, barulah aku kembali memandangi Matt. “Tahu apa kau?. Aku yang

memilih Amber. Aku yang memutuskan untuk menetap pada Amber. Tidak usah

protes dengan apa yang aku lakukan terhadapnya. Tidak ada yang tidak

299 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
mempunyai makna. Karena kau tahu?. Aku rasa hanya orang bodoh yang

melakukan banyak kegiatan tanpa makna.” “Aku mencintainya. Dan tidak ada

urusan denganmu. Setelah beberapa saat kemudian, aku akan datangi orangtua

kalian untuk langsung menentukan persiapan pernikahan. Dan bodohnya, untuk

apa aku bermain-main dengan wanita sesempurna adikmu itu?. Dia terlalu

berharga untuk di sia-siakan. Lebih baik aku mati daripada menyia-nyiakan dia.”

Kemudian, setelah ucapan panjang itu, tidak ada suara dari Matt. Dia

menatapku dengan tatapan yang tambah datar dan menoleh kepada kerumunan

itu. Sepi.

Lalu Matt menoleh kepadaku. “Laksanakan lamaran ulang sekarang, di

panggung kafe. Setelah itu nyanyikan lagu kalian berdua. Barulah kita berpesta

disini sampai puas!.” Di akhir ucapannya, Matt tertawa lepas. Menyadari mimik

itu, aku ikut tersenyum lebar. Matt hanya melihat kesungguhanku terhadap

adiknya. Oh…aku kira dia benar-benar marah….

“Kalau begitu, kita ke bawah. Ayo!.” Suara dari anggota band Amber

menyemarakan tempat VIP yang sebelumnya sepi ini.

Anggota bandku dan Amber menyatukan diri mereka dalam satu meja,

sementara aku naik ke panggung kafe, di susul Amber. Kuambil microfon dan

mulai bicara.

“Hm…maaf, sebelumnya. Mungkin yang akan aku lakukan ini konyol. Tapi

dengarkan saja dulu. Semeja orang gila di pojok dekat panggung ini memaksaku

melakukan ini untuk kedua kali di depan kalian semua…”

300 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Sementara di sisiku, Amber hanya tersenyum dan duduk di kursi penyanyi. Aku

mengantongi mic di saku bajuku dan mengeluarkan kotak cincin itu. Isinya sudah

dikembalikan terlebih dulu tadi.

“Hm…Amber. Ini hanya cincin biasa, sebenarnya. Tapi dengan ini, aku ingin

menanyakan padamu….” Aku membuka kotak cincinnya dan mengeluarkan

isinya. “…maukah kau menikah denganku? …” Di akhir ucapanku, aku menghela

nafas lega karena hening, tanda mereka terjebak dalam suasana lamaran leg kedua

ini.

Sesaat kemudian, Amber mengangguk pelan. Dan tanpa bicara, aku

memasangkan cincin ini padanya.

Tapi tiba-tiba, Amber merenggut mic dari bajuku. “Hei, sudah, kan?. Ini hal

pribadi, kawan-kawan…ayolah….” Dia berkata kepada kerumunan anggota band

kami plus Matt, membuat gelak tawa terdengar di kafe ini dan nyaris semua mata

tertuju pada kerumunan itu.

Aku mengambil mic satunya dari tempat gitaris dan gitar akustik di sekitar sana.

Setelah mentune-up benda itu, aku menegur Amber. “Kita turuti saja kemauan

mereka…” “Ayo bernyanyi, sayang..”

Amber teralihkan. Dia kembali duduk dan tersenyum. “Yah.. itu sekilas

intermezzo saja…. Setelah kemarin aku bernyanyi juga disini, sekarang pun

begitu. Kali ini kami akan membawakan lagu terbaru kami. Dari album kelimaku.

Judulnya „Let All Memories Go‟.”

Kemudian, aku mulai masuk ke intro lagu ini. Beberapa saat selanjutnya, seisi

kafe ini seakan terjebak dalam alunan lagu ini dan sebagian lainnya perlahan

301 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
mulai mengangguk-angguk, tanda menikmati. Yang aku syukuri dari hari ini

adalah, semuanya berjalan sempurna. Kami sama-sama puas dan setuju. Tidak ada

masalah. Tugasku selanjutnya adalah, memberitahu keluarga kampung halaman

kami, dan barulah mempersiapkan pernikahan. Setelah itu, Amber dan aku akan

sama-sama berada dalam hidup baru yang seratus kali lebih menyenangkan

daripada sebelumnya.

-Wade-

AKU tertegun, menatap lurus ke jalan raya yang remang itu dengan lesu. Sudah

bisa ditebak, rasa cemburuku memuncak ketika menyaksikan dan mendengarkan

kenyataan secara langsung ketika aku tidak lebih baik dari Chad untuk menjadi

orang terbaik bagi Amber, seperti yang dulu sering aku gembar gemborkan

padanya.

Aku kalah. Yah, memang rasanya tepat membatin seperti itu sekarang ini.

Melihat betapa dekat dan cocoknya mereka di kafe tadi dan bagaimana

kedewasaan Chad yang mampu meredam semua intuisi Matt terhadap lamaran ini

yang tadinya panjang menjadi hanya kurang dari sepuluh menit. Dia memang pria

yang tepat untuk Amber. Aku harus akui itu.

Seperempat jam kemudian, aku membelokkan mobilku masuk ke jalan

menuju rumah. Setelah tiba, aku tidak bisa menahan diri untuk melangkahkan

kaki ke studio. Lagu-lagu sendu lagi lah yang akan kubuat. Lagi, setelah enam

tahun lalu aku juga melakukan hal yang sama.

302 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Benar saja, tidak butuh waktu lama, aku sudah tertunduk lagi di hadapan meja

audio dalam diam karena menikmati keheningan ini.

Kuambil beberapa kertas kosong, bolpoin, dan gitar untuk memulai. Tak lama

kemudian, beberapa kalimat sebagai liriknya mulai dituliskan di atas kertas itu.

Sementara itu, aku diam, seakan terjebak terlalu dalam pada keheningan dan

keasyikan ini. Lalu di menit-menit selanjutnya, aku kembali menulis lagu kedua,

ketiga, dan seterusnya dengan kenangan yang terus berputar lambat dalam

kepalaku. Begitu lambat hingga aku dapat mengingat setiap detail perasaanku,

ekspresinya, dan apa yang terjadi waktu lampau. Sangat mengena.

Cukup lama aku tenggelam dalam lagu-lagu baru ini hingga sesaat kemudian,

tanganku berhenti menulis. Aku meletakan bolpoin di atas kertas dan tertunduk

sendiri. Sebagian diriku membatin skeptis, untuk apa kau seperti ini, Wade?!,

untuk siapa?!. Dia sudah tidak memedulikanmu lagi!. Kau sadar itu?!.

BRRAK!!. Antara sadar dan tidak, mataku memandang datar ke bangkai gitar

yang baru saja kulempar. Sejurus kemudian, aku memilih beranjak dari studio ke

ruang makan untuk mengambil kunci mobil yang tadinya kuletakan di meja

makan. Lalu, keluar. Di luar, aku menelepon Ian. Kami harus bertemu malam ini.

303 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
11.30 p.m…

“…untuk apa kita bertemu malam-malam begini, Wade?.”tanya Ian begitu kami

masuk ke ruangannya. Kami akhirnya memutuskan tempat pertemuan adalah di

ruangan Ian, Arist Records. Kantor sepi malam ini. Hanya ada satpam yang

memberi akses masuk untuk kami.

“Aku ingin meninggalkan band, Ian. Dan dengan segala hormat, aku harap itu

bisa mulai berlaku besok hari. Aku keluar sebelum keberangkatan ke Prince

Rupert untuk FoxTroops.” Aku menjawab dengan tegas dan sudah pasti terdengar

penuh kepastian di telinganya.

Mendengar keinginanku yang menurutnya tiba-tiba itu, Ian mengerenyit. Dia

memandangiku dengan heran dan sejurus kemudian, menggeleng. “Tidak bisa.

Dan, sebelum FoxTroops?. Kau tidak ingat kesepakatan pasal 12 itu?.”

“Aku harus meninggalkan band.”kataku lagi, ngotot menyampaikan

keinginanku yang ini. Tanpa pikir panjang, setelah pikiran skeptisku tadi,

keputusan inilah yang kuambil : keluar dari band yang telah membesarkan

namaku. Dari seorang Wade Feldmann yang biasa-biasa saja, menjadi sang

superstar yang memiliki segalanya. Mau disebut tidak tahu diri?, terserahlah…

Aku pun tidak peduli lagi dengan itu.

“…dan lagipula, aku sangat tahu, yang mereka inginkan hanyalah kehadiran

Darren di konser itu dengan modus pasal „personil yang dibawa harus personil

lama‟. Omong kosong dengan itu, Ian. Apa kau tidak menyadarinya?.” Aku

kemukakan saja unek-unek yang terlanjut mengganjal benakku selama ini….

304 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Ian berdecak dan berkacak pinggang dari kursinya mendengar keteguhan

keinginanku dan bantahan atas pasal 12 yang terasa tidak masuk akal itu. Dia

berdiri dan duduk di atas mejanya, “Justru omong kosong dengan keinginanmu

ini!. Aku datang malam-malam seperti ini hanya untuk mendengarkanmu

mengatakan serentetan kalimat lelucon?.”

Dan Ian pun menghela nafas panjang, “Wade, kau baru merayakan hal penting

bersama band malam ini. Kenapa di malam yang sama kau minta keluar dari band

yang telah membesarkan namamu?.”

Aku mendengus, “Kenapa kau tidak berucap hal yang sama dengan meminta

Darren tinggal waktu itu?.”tanyaku balik, mengingatkan dia pada masalah yang

sama, walau dengan duduk masalah yang berbeda.

Ian diam, tidak berminat menjawab pertanyaanku. “Apa yang salah?.” Dia

bergumam, seakan pada dirinya sendiri, tapi aku tahu itu sebuah pertanyaan yang

ditujukan untukku.

“Aku hanya ingin mencari suasana baru. Itu saja.”jawabku serius. “…sudah

sepuluh tahun aku disini. Kupikir, saatnya mencoba pekerjaan baru. Penata musik,

misalnya?. Atau bahkan, menjadi pemilik kafe yang mengadakan lomba makan

setiap bulannya?.” Kuberikan lelucon di ujung kalimat sambungan, berusaha

menciptakan kesan baik-baik sebelum aku keluar. Yah, sebagian besar hanya

karena aku tidak mau Ian mengetahui alasan yang sebenarnya : Amber. Aku

keluar karena wanita itu, dan harus keluar jika tidak ingin terpuruk begitu saja

menghadapi semua hari-hari ke depan jika aku tetap di band ini.

305 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Ian tertawa kecil mendengar alasanku. “Hh… suasana baru bisa kita ciptakan

dalam band ini, Wade.”komentarnya, masih tidak setuju dengan keinginanku.

“Ayolah… Itu tidak sulit, Ian. Hanya bilang, „ya‟. Dan aku akan mencari

pengganti untuk posisiku…” Aku berkata, mengelak dari berbagai macam kalimat

„memintaku bertahan‟ dari Ian. Baik tadi, ataupun kalimat selanjutnya.

“Masalahnya bukan sekedar tentangmu. Kau sadar telah membuat banyak

kenangan dalam band ini, kan?. Nick, Fredy, Sabio?. Bagaimana dengan mereka?.

Kalau alasannya hanya karena itu, mereka pasti akan mengatakan hal yang sama

denganku. Dan, Amber?. Mungkin sebaiknya kau harus mengkonsultasikan ini

padanya dulu sebelum bicara denganku.”

Benar saja… kalimat yang kurang lebih sama dilontarkan Ian sebagai balasan

dari perkataanku. Memang, bukan sekedar tentangku. Tapi ini keputusanku dan

mereka pasti akan mengerti. Lalu soal Amber, barusan Ian menyarankan untuk

mengkonsultasikan ini pada wanita itu dulu. Apa aku harus bilang : „Hei, aku

ingin keluar dari band, dan kalau kau bertanya kenapa, aku keluar karena dirimu

dan pertunangan romantismu itu. Ya, dengan Chad. Siapa lagi?. Aku harap kau

mengerti. Sudah ya, sampai jumpa.‟ kepadanya?. Itu gila, Ian....

Memikirkannya, aku melengos, memandangi Ian dengan datar dan berucap,

“Aku tahu. Begini sekarang : aku ini artismu, dan ini keputusanku. Tinggal

kumpulkan saja mereka besok dengan rapat persiapan FoxTroops dan aku akan

pamit. Selesai.”

“Kau benar-benar menginginkan itu seperti salah satu diantara kami sudah

berbuat kesalahan…” Ian bergumam kepadaku, memandangiku dengan

306 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
mengamati untuk mencari alasan yang sebenarnya. “…kemukakan alasan yang

sebenarnya, Wade. Setidaknya semua akan berbeda jika kau ingin keluar dengan

alasan itu 7 atau 6 tahun yang lalu. Aku masih bisa terima. Tapi kau ingin keluar

dengan alasan itu setelah sepuluh tahun kau melewati berbagai macam suasana di

band ini?. Tidak masuk akal. Dan setidaknya aku sangat tahu kau akan lebih

memilih bertahan dengan band ini apapun yang terjadi kecuali jika kelakuan salah

satu diantara mereka ada yang menyakitimu.”

Selanjutnya, intuisi Ian menuntunnya pada penyebab yang sebenarnya. Jika

peka, pasti dia akan langsung mengetahui itu. Maka untuk mengulur waktu, aku

hanya diam dan memalingkan wajah darinya, sengaja membuat dia

mempertimbangkan keinginanku dengan maksud agar dia tahu alasan yang

sebenarnya tanpa harus kujelaskan. Atau yah… semoga saja dia berubah jadi tidak

peduli dengan keinginanku yang ini hingga langsung menyetujuinya….

Kami diam. Untuk beberapa saat, hanya tarikan nafas yang terdengar dari

kami berdua. Bernada tenang, namun agak memburu akibat lelah dalam intuisi

masing-masing. Kemudian, Ian bergerak kembali ke kursinya. Kukira, dia sudah

memutuskan.

“Baiklah…”

Dan aku menghela nafas lega.

“…kita lihat besok. Kalau lebih dari 50% setuju dengan keputusanmu, kau

keluar, tidak terikat dengan band pengiring dan Arist lagi.” Ian berkata. Intinya

bagiku adalah, aku harus membuat band dan Amber membulatkan suara untuk

mengizinkanku keluar, besok.

307 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku berdiri dan mengulurkan tangan. “Terimakasih.”

“Pastikan kau tidak akan menyesal, Wade..” Ian membalas uluran tanganku.

Hm…tidak akan.. “Tidak sama sekali.”

Dan sunggingan senyum pada akhir kerja samaku dengan Arist Records,

mengakhiri pertemuan kami malam ini.

__________

-Daren-

SENYUMKU mengembang damai menatap wajah kecil itu yang mulai

menunjukan kemiripan denganku. Setelah mengelus wajah itu sekilas, aku beralih

kepada ibunya yang berada di sebelah pemilik wajah kecil itu.

“Besok aku akan ke label. Mudah-mudahan mereka menerima

demoku.”kataku pada Hilton, setengah berbisik.

Dia mengangguk seraya tersenyum. Tangan Hilton yang sebelumnya mengelus

rambut Sean, berpindah ke tanganku, “Ya, semoga..” “Dan sepertinya setelah itu

kau harus mengunjungi Amber, Sayang. Dia baru merayakan sesuatu….”

Mendengar satu nama itu disebut olehnya, aku tertawa pelan. Baru kali ini Hilton

menyebut nama itu lagi…

“Secara khusus?.. Perayaan apa, memangnya?.”

“Dia sudah bertunangan. Dengan Chad Morrison.”jawab Hilton, masih dalam

senyum. “Foto mereka dan teman-temannya berpesta di Hardrock sudah tersebar

di internet.” “Mereka sangat cocok..”

Dari jawabannya barusan, aku tertegun, mencoba menyimpulkan sesingkat-

singkatnya tentang kabar itu. Hasilnya adalah dua kata: Amber bertunangan. Dan

308 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
bagusnya adalah, berpacarannya dia dengan Chad menjadi kenyataan yang cukup

membahagiakan. Tapi mengingat bagaimana hubungan mereka sebelum berita ini,

rasanya ada hal yang perlu aku pertanyakan. Mereka kan sebelumnya berjauhan

dan Chad mendua dari Amber. Apa berita ini bohong?, atau kejadian sebelum itu

yang cuma rekayasa belaka??

“Kau tidak cemburu, kan?..” Pertanyaan Hilton barusan membuatku menoleh

kepadanya.

“Buat apa?. Justru aku senang, sayang…” Aku membalas dengan senyum.

Kukecup sekilas dahinya dan beranjak, membiarkannya tidur. Kemudian aku ke

ruang musik, untuk memeriksa berkas calon album baruku.

***

06.50 a.m, Buena Festa Record…

Tempat pertemuanku hari ini adalah di ruang calon manajer labelku, Nicholas

Harper. Kami membuat janji temu pukul 7 pagi untuk langsung membahas demo

musikku. Kalau diterima, aku akan langsung menyodorkan lagu-lagu yang akan

jadi pengisi album solo pertamaku. Semuanya sudah rapi dalam keping CD dan

tinggal diperdengarkan pada Nicholas. Setelah itu, babak baru karirku akan benar-

benar dimulai.

KLK!. Kubuka pintu kaca ruangan itu. Sudah bisa ditebak, Nicholas ada di

dalamnya dan berdiri menyambutku. “Hei, Tuan Tepat Waktu…”katanya ramah,

seraya menyambutku dengan jabat tangan.

Aku membalasnya. “Kau lebih tepat waktu…” dan duduk.

309 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Kita akan langsung saja membahas demo musikmu, Darren.”ucap Nicholas.

Sedetik selanjutnya dia membuka laci mejanya dan mengeluarkan berkas demo

musikku, berupa lirik, chord, dan kepingan CD yang berisi lagu-lagu itu.

“Bagaimana keputusannya?. Semuanya baik-baik saja?.” Aku bertanya,

setengah penasaran, tapi tidak berusaha terlalu antusias dengan semua ini.

Agak lama, Nicholas terdiam. Dia memandangiku dan berkas demoku bergantian

sebelum kembali fokus kepadaku lagi. Dalam diam yang sama, aku mendengus.

Cukup membosankan dalam sesi menunggu seperti ini….

“Ya. Semuanya bagus. Girsham menyetujui musikmu.” Akhirnya, Nicholas

berkata. “Kalau kau sudah punya materi lagunya, kita bisa langsung membuat

album baru.”

Mendengar keputusan itu, aku tersenyum lebar. Setengah mengangguk, aku

teringat berkas lagu baru yang sudah kubawa. Kukeluarkan itu dari tas dan

menyodorkannya pada Nicholas.

“Kebetulan sekali, mengenai itu, aku sudah punya. Bisa kau dengarkan. Judul

albumnya „Screaming On The Memories‟.” “Sudah rampung”

Nicholas mengambil berkas album baruku dan tertawa sejenak. “Nampaknya kau

sudah sangat yakin demomu akan diterima… Bagus kalau begini…” Dia

menatapku, “Kita bisa langsung merencanakan album solo pertamamu.”

“Tapi mungkin kau bisa dengarkan dulu lagu-lagu itu. Aku juga tidak akan

terburu-buru karena masih ada proyek juga dengan label lamaku.” Aku berkata

lagi, teringat dengan konser di FoxTroops yang akan dilaksanakan empat hari

lagi.

310 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Oh, iya. Dengan Arist.” Nicholas bersedekap penasaran. “Proyek apa?.”

“Konser personil lama di FoxTroops, Prince Rupert.”jawabku. “Kita mulai

proses pembuatan album baru seminggu setelah ini saja.”

Menerima usulanku, Nicholas mengangguk sekali, setuju. “Oke, baiklah. Aku

akan memberitahu krumu. Atau mungkin kau ada usulan kru lain?. Beritahukan

saja.”

Tapi tak lama kemudian, ponselku bergetar. Panggilan, dari Amber. “Tunggu

sebentar.”kataku pada Nicholas.

Pria itu mengangguk dan membiarkanku keluar. “Silahkan.”

Diluar, aku mengangkat panggilan itu. “Halo, Am?.”

“Hm, ya…halo juga…” “Begini, jam 8 nanti akan ada rapat di Arist untuk

keberangkatan kita ke Prince Rupert, lusa. Kau bisa datang?. Telat juga tidak apa,

sebenarnya… Aku tahu kau perlu waktu keluarga di rumah.” Amber berkata,

sekaligus menjelaskan agendaku selanjutnya. Rapat di Arist bersama yang lainnya

untuk keberangkatan kami ke Prince Rupert.

Tapi mendengar kata „waktu keluarga‟ darinya membuatku menyeringai kuda.

“Oh, ya. Tentu aku bisa. Dan tidak usah khawatir dengan orang rumah, karena

aku sedang tidak di rumah sekarang…”

“Oh?. Aku kira….” Suaranya terlalu jenaka, banting dengan nada malunya

atas tanggapan yang salah terhadap kehidupanku sekarang ini.

“Personil lama saja kan yang datang?.”tanyaku lagi, membuat kami kembali

ke topik sebelum terlanjur membahas hal-hal pribadi.

311 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Iya. Kau, Wade, Nick, Fredy, aku, plus Chad dan Matt.”jawab Amber dengan

suara yang sudah seperti biasa lagi. Mendengar satu nama itu, aku menghela

nafas, berusaha tidak melontarkan pertanyaan dulu lewat telepon. Aku ingin

melihatnya langsung dengan cincin pertunangan itu.

“Oke. Sampai ketemu disana, Am.” Aku menutup percakapan kami dan

setelah itu, selesai. Aku kembali masuk ke ruangan Nicholas, dan tak lama

kemudian, keluar untuk langsung ke Arist dengan perjalanan santai. Sarapan dulu

di jalan, mungkin saja….

Aku memutuskan berhenti dulu di dekat Arist untuk sarapan. Kubelokkan

mobil ke arah Gag FoodCourt dan memarkirkannya disana, lalu keluar mobil

kemudian masuk ke restoran itu. Hm…mungkin omelet saja dan teh hangat.

Tanpa basa basi, aku pun langsung memesan kedua menu itu untuk sarapanku

barulah mencari meja yang pas untuk sarapanku hari ini.

Saat mengedarkan pandangan, aku tertegun memandangi sosok pria di pojok

sana, sedang termenung memandangi jendela. Wade. Dia juga sarapan disini. Tapi

aku penasaran dengan ekspresinya yang kelewat lelah itu. Sekedar menyapanya,

aku berjalan ke arah sana, memutuskan berada satu meja dengan Wade saja di

makan pagi kali ini.

“Hei.” Aku menyapanya lalu duduk.

Dan seperti mengembalikan seorang yang telah termenung lama, Wade tidak

menyahut. Tapi sorot matanya mulai tidak fokus memandangi jendela seperti tadi.

312 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Perlahan dia menoleh padaku dan hanya tersenyum membalas sapaanku. Dia

terlihat menerima aku duduk satu meja dengannya.

“Sarapan disini juga?.”tanya Wade kemudian.

Membalasnya aku mengangguk. “Ya.. Kebetulan sekali aku ada agenda pagi ini.

Jadi tidak sempat sarapan di rumah…”jawabku ramah.

Lalu, kami berada dalam diam selama beberapa saat, hingga Wade

menyelesaikan makannya dan aku mulai makan. Dia membersihkan bajunya dan

dari sudut mataku, aku bisa lihat dia meletakan tangannya di meja, ancang-ancang

untuk berdiri. “Aku duluan.”

Aku mendongak karena posisi Wade yang sudah terlanjur berdiri, “Kenapa tidak

bersama-sama saja berangkat kesana?.” Ya, karena aku lihat, dia tidak bawa mobil

kesini….

Wade tersenyum kecil menanggapinya. “Tidak usah. Aku juga tidak akan

lama disana.”

Hm?. Dia ikut merencanakan konser itu, kan?. Pastilah akan sampai sore….

Atau kecuali….

Aku mengingat kembali. Hubungan dengan pertunangan Amber, Chad,

ekspresi lesunya pagi ini, ucapannya barusan.. Apa itu artinya…

“Jangan bilang kau memutuskan mengundurkan diri..?.” Aku menyimpulkan

sendiri setelah beberapa saat terjebak dalam pemikiran terparah dari ucapan Wade

barusan. Dia mengundurkan diri dari band, keluar karena kemelut hatinya sendiri.

313 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Menanggapinya, Wade memalingkan wajah dariku. Kemudian dia tertawa sinis

padaku. “Ya. Persis sepertimu. Tapi aku tidak akan hadir di FoxTroops. Toh yang

publik sana butuhkan hanyalah cerita kalian, bukan semua anggota band lama..”

Oh. Itu benar. Dan Wade keluar karena pertunangan Amber dan Chad. Dia

tidak akan ikut dalam FoxTroops meski yang kutahu dari Ian adalah, kesepakatan

antara mereka personil lama yang dibawa dalam konser disana.

“Aku sudah membicarakan ini dengan Ian. Dia masih menimbang-nimbang

sampai akhirnya memutuskan untuk keputusan boleh atau tidaknya aku keluar

dari band adalah tergantung semuanya. Jika lebih dari 50% setuju, aku keluar

sebelum FoxTroops terselenggara.”kata Wade lagi. “Dan aku akan jamin, semua

menerima keputusanku. Jadi aku tidak akan lama disana.”

Akhirnya, aku hanya bisa terdiam mendengar perkataan Wade sementara

dalam diam itu, aku menimbang-nimbang. Akankah semuanya setuju?. Aku harus

melihatnya di Arist nanti.

Saat aku datang, suasana ruang meeting ramai. Canda tawa yang kebanyakan

adalah hasil dari peristiwa semalam sekarang terdengar dari sana, bahkan hingga

keluar. Aku masuk, disambut oleh ekspresi biasa-biasa saja dari mereka. Chad

juga datang. Dia duduk di sisi Amber, sementara Wade di sisi meja yang satunya,

diapit oleh Nick dan Fredy, lalu Matt ada di kursi yang berhadapan dengan Ian.

Otomatis tempatku adalah di sisi Amber yang satunya. Aku pun duduk disana.

“Aku sarapan dulu tadi. Rapatnya belum dimulai kan?.” Aku memulai,

membuka obrolan yang mulai masuk ke topik dalam ruangan rapat ini.

314 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Ian menggeleng dari kursi sana. “Belum. Kan menunggu kau datang…”

Kemudian dia mengambil berkas FoxTroops dan meletakannya di atas meja.

“Kita mulai.”

“Bawa urutan lagunya?. Kurasa ada yang perlu kita ubah.. Kemarin siapa yang

mencatat hasil ini?.”tanya Fredy pada semuanya.

Amber yang pertama kali merespon pertanyaan itu. Dia mengeluarkan beberapa

lembar kertas yang kami gunakan untuk mencatat waktu itu. “Ini. Apa yang harus

diubah, memangnya?.”

“Urutan – ”

“Hm, tunggu sebentar.” Wade memotong ucapan Fredy dan menoleh pada

Ian. Aku tebak, dia akan mengumumkan pengunduran dirinya dari band…

“Oh…ya. Wade akan bicara sesuatu dulu pada kalian.” Ian tahu maksud

tolehan Wade padanya. “Silahkan Wade.”

Wade berdeham. “Aku tidak akan berlama-lama disini.” Dia memulai. “Aku

keluar dari band. Terhitung mulai hari ini, jika kalian setuju.”katanya kemudian.

Lalu Wade diam. Dia menunggu respon dari teman-temannya. Tapi dari semua

itu, yang aku perhatikan adalah bagaimana ekspresi Amber. Begitu mendengar

kalimat dari Wade tadi, dia langsung menghela nafas panjang. Dari sisi yang

satunya, Chad balas menggenggam tangannya lebih erat. Amber terdiam setelah

itu. Tidak ada ekspresi berarti selain lesu yang mulai ketara padanya.

Kemudian, Fredy memulai. Merespon kabar ini.

“Kau bercanda kan?.”tanya dia tidak percaya.

Wade membalas dengan gelengan. “Tidak. Aku serius.”

315 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Sudahlah…kalau begini aku tinggal memandangi saja kekhidmatan suasana

ruangan ini…

“Apa motivasimu?.” Nick merespon kabar ini. “Kita sudah melalui semuanya

selama sepuluh tahun. Kalau ada sesuatu yang salah, setidaknya jangan seperti

ini.”lanjutnya pada Wade, menoleh.

“Ya. Aku tahu.” Wade membalas. “Aku hanya ingin mencari suasana baru.

Karena itu aku pamit kepada kalian sekarang ini.”

“Yakin hanya itu, Wade?.” Matt menimpali balasannya. “Suasana baru bisa

kita ciptakan di dalam sini. Dan lagipula, jika ingin mengundurkan diri, kau hanya

bisa melakukannya setelah FoxTroops. Ingat kesepakatan itu, kan?.” Dia

melanjutkan dengan nada yang lebih wajar dan tegas daripada yang lainnya.

“Tinggal berkata yang sejujurnya saja pada pihak promotor. Aku jamin tidak

akan masalah.”jawab Wade, masih tenang. “Lagipula aku tidak akan benar-benar

pergi. Kita masih tetap bisa bekerja sama.” “Jika kalian setuju, aku akan langsung

pergi dari sini.”

Tak lama kemudian, Chad menyela pembicaraan ini. “Sudah kau pikirkan

matang-matang?.”

“Ya. Setidaknya aku sudah punya calon label baru sekarang ini. Setelah ini,

semuanya akan mudah saja, kurasa.”jawab Wade pada selaan itu. Dia melipat

tangannya di meja. “Yah..aku tidak mau berlama-lama. Jadi langsung saja. Kalian

menerima keputusanku ini atau tidak?.” Pria itu mengembalikan kami pada topik

yang dia bangun sesaat tadi.

316 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Lalu, lama, diam. Tidak ada suara dari yang lain sementara aku lebih memilih

ikut terjebak dalam keheningan ini daripada menjadi provokator keramaian yang

justru malah akan berubah menjadi menjengahkan.

“Terimakasih untuk sepuluh tahun ini. Silahkan keluar sekarang.” Amber

akhirnya menyela, dengan nada yang bisa dibilang sangat tidak santai dan

cenderung ketus. Mendengarnya, aku tahu kalau dalam kepalanya saat ini sedang

berputar memori mereka. Emosinya memuncak, hingga menjadi bukan seorang

Amber sama-sekali.

Semuanya mendengar keputusan Amber barusan dan menoleh pada wanita itu

dengan kaget sementara Wade berdiri.

“Sama-sama. Terimakasih dan maaf, semuanya.” Wade membalas dan

langsung keluar dari ruang rapat ini.

Hening semakin tercipta setelah itu. Ian mengubah posisi duduknya dan

memandangi semuanya dengan menerawang. “Oke…ayo kita mulai rapat asli

kita.”

-Amber-

AKU menyadari nada itu. Nada yang bisa dibilang kelewat ketus untuk dikatakan

pada Michelle sekalipun. Setelah berucap dua kalimat perpisahan itu, aku kembali

tertunduk. Tertegun. Kutatap lurus-lurus meja besar ini dalam diam hingga tidak

menghiraukan semua yang terjadi disini. Pikiranku melenceng sudah dari

FoxTroops pada Wade.

317 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku paham. Aku sangat tahu apa penyebab dia melakukan itu. Dalam diam,

aku menyesal. Tiba-tiba merasa sangat bodoh telah berkata sebegitu ketus pada

Wade barusan. Seharusnya aku menahan dia lebih lama lagi disini, bukannya

memberikan keputusan sepihak atas permintaan keluarnya Wade dari band ini….

Kalau sudah begini ingin sekali rasanya keluar dan menyusul Wade untuk

menarik kata-kataku kembali.... Ah, bodoh….

Tapi sebelum aku terlanjur terlarut dalam pikiran itu, Ian sudah

mengembalikan kami pada topik awal di rapat persiapan konser FoxTroops.

“…Kita berangkat dengan penerbangan jam berapa?.”

“8.”sebut Darren sebagai usulan.

“10 atau agak siang dari itu.” Fredy menyela, mulai terbawa dalam topik ini.

Namun dari sisiku, Chad berkata hal lain lagi. “Penerbangan jam 6 pagi, tanpa

aku.”

Aku mendengus mendengar perkataannya. Dia punya rencana lain, dan seperti

biasa, aku tidak tahu apa itu. Tapi yang pasti, kali ini syaratnya itu tidak

membuatku bertanya-tanya. Yah, siapa tahu saja pria itu sibuk dengan bandnya.

Sah-sah saja, menurutku…

“Yah… Siapa yang setuju?.” Ian menghela nafas mendengar usulan Chad dan

mengedarkan pandangan.

Sementara itu, Nick tertunduk. Dia terlihat mengutak-atik ponselnya dan

kemudian mengangkat wajah. “Ya. Aku setuju jam 6..”

“Kau bisa, Darren?.” “Kalau semuanya setuju, aku akan pesan tiket

pesawatnya.” Ian mengambil jalan tengah.

318 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Darren terlihat menimbang-nimbang. Tak lama dia menyanggupi keputusan itu.

“Ya. Baiklah, jam 6.”

***

Aku tiba di agenda keduaku. Jam 11 di acara VanQois Music. Kali ini aku pergi

bersama Matt dan Darren. Di Arist tadi, aku berpisah dengan Chad karena dia

juga ada agenda kedua, masih di Brooklyn, tempat syuting video klip mini

albumnya. 10.45 kami tiba di tempat dan langsung persiapan dengan pihak acara.

Satu yang berbeda : biasanya aku ditemani oleh Wade. Aku harus membiasakan

diri dengan ini.

“…seperti biasa, dalam rangka promosi lagu kedua dan album barumu, di

akhir akan ada bagian kalian tersendiri. Dan karena temanmu saat ini lebih dari

biasanya, akan ada juga pertanyaan tambahan dari kami.” Dewey menjelaskan

teknis acaranya plus perubahan dadakan dalam list pertanyaan redaksi acara ini.

Dari sisiku, Darren tertawa, “Oh..ya. Dan, aku ikut ke set?.”

“Tentu. Kalian duduk berdampingan.”jawab Dewey.

Aku menoleh pada Darren setelah membayangkan set isi kami nanti.

Dewey menyahut cepat sebelum aku sempat membalas, “Lima menit lagi,

ya?.” Dan kemudian, dia berlalu dari kami.

Hening tercipta. Aku sendiri langsung berkonsentrasi pada skenario tidak

terduga dalam kepalaku sendiri untuk di atas set nanti. Mantan suamiku duduk di

sisiku dan kami akan menyanyi bersama di atas panggung nanti. Jelas harus ada

pembiasaan sebagai teman disini agar tidak membuat media yang meliput

agendaku ini salah sangka….

319 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Hei.” Darren memulai.

Aku menoleh.

“Kau tidak benar-benar memutuskan hal itu, kan?.”tanya Darren kemudian.

Aku langsung tahu kemana arah pembicaraannya. Soal tadi.

Karena itu, aku menghela nafas. Dalam, dan cukup lega setelah melakukan itu.

“Seandainya aku bisa menarik kata-kataku kembali, Darren..” Aku menjawab

dengan cukup lesu.

Mendengar jawabanku, dia langsung tahu maksudnya. Darren tidak membalas

lagi dan tangannya terangkat, menyingkap rambutku. “Yah, setidaknya kau tidak

bertele-tele seperti yang lain…”katanya seraya tersenyum. “Dengan ini, semoga

saja Wade dapat berpindah hati. Karena memang itu tujuannya keluar dari band

ini..”

“Ya. Semoga.” Dalam hati, aku mengaminkan ucapan Darren. Ya, semoga

saja setelah itu semuanya akan kembali seperti sedia kala…

“Amber?.” Dan suara dari pengatur acara mengeluarkanku dari topik itu.

Aku masuk bersama Darren ke set setelah dipersilahkan oleh Dewey. Kilatan

lampu dan suara tepukan tangan yang meriah menyadarkan kami.

“Wah…seperti kembali ke 4 tahun lalu…”kata Qois menyambut kami dari

sofa pembawa acaranya.

Darren tertawa dari sisiku. “Hm, ya.. Sayangnya itu sudah berlalu sangat lama.”

“Kalian tahu, aku nyaris tidak percaya kalian bisa bersama lagi di

panggungku.” Tertawaan Qois menyusul setelahnya. “Silahkan duduk, Amber,

Darren.”

320 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Dan kami pun duduk. Setelah itu, aku, Darren, Qois, dan penonton live acara ini

bersatu dalam obrolan jeneral yang tidak menjemukan, malah nyaris terasa

menyenangkan jika saja sebelum ini peristiwa satu itu tidak terjadi. Sampai

rumah, aku harus segera menghubungi Wade untuk meminta maaf. Ya, harus.

***

Nit…nit…nit…

Entah sudah berapa kali nada itu terdengar. Sejak lima belas menit lalu aku terus

menghubungi Wade dan sama sekali tidak diangkat. Tak terhitung berapa banyak

panggilan tak terjawab di ponselnya sekarang ini, mungkin saja. Apa dia sengaja

tidak menjawab karena ini panggilan dariku?. Oh, ayolah…Angkat Wade..

Mengenyahkan semua pikiran itu, aku menyerah menghubungi Wade dan

mulai bersungut sendiri dalam hati. Aku hanya ingin minta maaf!. Angkat

teleponku Wade!. Dan itu berimbas pada ekspresi Matt kepadaku. Dia yang baru

saja selesai berenang malam, mengerenyit heran melihatku yang gemas sendiri

dihadapan ponselku.

“Ada apa?.”tanyanya polos.

Aku menoleh padanya dan merengek. “Wade…”

Ekspresi Matt berubah mengerti. Dia duduk di sisiku sembari mengeringkan

rambutnya. “Kenapa?.”

“Dia tidak mengangkat teleponku sama sekali..”

“Ke rumahnya.” Matt bernada seakan memutuskan. Dia memandangiku

sejenak dan kembali mengeringkan rambutnya. “Jika terus berusaha

321 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
menghubunginya, yang namanya Wade, kalau dia belum tenang, tidak akan

mengangkat telepon dari siapapun itu.”

Hm… Kalau begitu, aku akan menghadapi percakapan menjengahkan jika

menuruti saran Matt barusan. Wade itu pendiam. Sementara aku bingung harus

mulai darimana. Setelah itu, paling-paling tidak ada percakapan berarti diantara

kami….

Maka dari itu, aku memprotes pada Matt. “Tidak ada cara lain?...”

“Yah…setidaknya itu pun kalau kau mau. Kalau tidak, ya tidak ada cara

lain…” Matt menjawab, dengan nada acuh. Membuatku melengos, mengetahui

tidak ada cara lain selain menemui Wade di rumahnya sendiri..

-Wade-

ITU balasannya. Amber kecewa padaku dengan keputusan dan keteguhanku

terhadap hal satu itu. Alhasil, dia tidak menatapku sama sekali saat mengucapkan

salam perpisahan itu tadi pagi. Setelah dari sana, aku berkeliling Los Angeles

sambil menyusun rencana berikutnya. Akhirnya, langkah yang akan kujalani

setelah itu adalah : menandatangani kontrak dengan label baruku, lalu

menghubungi Evan – temanku, seorang gitaris yang lebih sering menjadi

produser, untuk menggantikan posisiku di band – dan kemudian, barulah aku

membuat konferensi pers untuk menyatakan status kontrakku dengan Arist

Records. Tapi kalau soal Evan, baru besok hari dia akan mengonfirmasikan bisa

atau tidaknya dia menerima pekerjaan itu.

322 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Di sepuluh jam sebelum saat ini, aku sudah melakukan itu. Semuanya sudah

selesai dan satu terakhir, tinggal kulaksanakan pada esok hari, sesuai janjiku pada

Ian sesiangan tadi. Sepulang ke rumah, aku mandi dan berniat beristirahat. Tapi

saat baru saja masuk ke kamar dan mengecek ponsel, sudah ada 36 panggilan

tidak terjawab disana. Dari siapa lagi kalau bukan Amber?.

Oh… Aku kira dia tidak berniat melontarkan kalimat persetujuan sepihak itu

tadi pagi. Tapi bagiku, itu justru ucapan yang tepat. Amber sebenarnya sama

sekali tidak salah dengan berucap seperti itu. Toh, aku terima-terima saja meski

ada sedikit rasa kecewa disana ketika mendengar intonasinya yang bisa dibilang

tidak peduli dan ketus. Wajar saja kupikir…. Sudahlah.

Lalu kemudian, ada panggilan masuk lagi. Kupandangi ponsel itu sejenak dan

meletakannya. Berusaha mengacuhkan panggilan dari satu nama itu sampai..

mungkin saja sampai dia lupa siapa aku dalam kehidupannya yang lalu.

Akhirnya, untuk lebih menjauhkan benda itu dari hadapanku, kumasukan

ponselku ke lemari baju dan membiarkan benda itu disana semalaman ini.

Kemudian, aku beranjak ke studio, mulai mengerjakan pekerjaan di label baruku,

BigStars Records dan untuk score sebuah film anak-anak.

***

07.00 a.m…

Sender : EvanT_Agger 07.00 a.m

Receiver : Wade Feldmann

Wade, aku terima pekerjaan itu. Kapan aku bisa mulai?.

Sender : Wade Feldmann 07.05 a.m

323 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Receiver : EvanT_Agger

Bagus. Terimakasih, kawan  . Hmm…kapan kau siap?.

Sender : EvanT_Agger 07.08 a.m

Receiver : Wade Feldmann

Lusa. Bagaimana?. Aku sudah mengecek jadwal. Hari itu aku kosong.

Sender : Wade Feldmann 07.10 a.m

Receiver : EvanT_Agger

Oh… Ngomong-omong kau bisa langsung mengisi konser Amber?.

Konsernya sehari setelah itu. Kalau kau bisa, aku akan langsung mengontak Ian

agar surat-surat kontrakmu disiapkan dan kau tinggal datang ke Prince Rupert,

menyusul. Besok rombongan sudah akan berangkat. FoxTroops, tempatnya. Ian

Volke akan menyambutmu.

Sender : EvanT_Agger 07.12 a.m

Receiver : Wade Feldmann

Hm…begitu ya?... Ya sudah. Lusa, aku siap.

Sender : Wade Feldmann 07.20 a.m

Receiver : Ian_V_Arist

Penggantiku akan datang lusa, di hari kedua persiapan di set. Siapkan

surat kontraknya, ya!.

Sender : Ian_V_Arist 07.25 a.m

324 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Receiver : Wade Feldmann

Oke. Tapi dia bisa cepat belajar, kan?.

Sender : Wade Feldmann 07.30 a.m

Receiver : Ian_V_Arist

Aku sudah memastikan soal itu. Jangan khawatir. Dia bisa cepat

beradaptasi. Namanya Evan Thomas Agger. Produser dari album ketiga Carly

yang sukses berat itu. Dia pemain gitar yang baik.

Sender : Ian_V_Arist 07.32 a.m

Receiver : Wade Feldmann

Baiklah kalau begitu. Jangan lupa beritahukan Amber!.

Sender : Wade Feldmann 07.35 a.m

Receiver : Ian_V_Arist

Ya, pasti..

Kumatikan ponselku dan memilih untuk keluar kamar. Setelah kunyalakan

lagi benda itu saat bangun tidur tadi, pukul 5, ada kurang lebih 50 panggilan

masuk dan 4 pesan singkat dari Amber. Dengan agak gamang, sekaligus sikap

yang berusaha merelakan dan acuh, aku menghapus histori itu dan berlanjut ke

percakapanku dengan Evan lalu Ian di jam 7 tadi. Semuanya sudah selesai. Aku

hanya tinggal berurusan dengan Amber untuk memberitahukan data diri

penggantiku. Mungkin nanti saja agak sorean aku akan bertamu ke rumahnya.

325 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Sekarang, dengan segalanya yang sudah lebih baik, aku beranjak ke kolam

renang.

Saatnya berendam!.

Selaman yang ke sekian. Aku mulai berpikir.. mungkin ucapan Ian kemarin

ada benarnya juga…. Seharusnya aku membicarakan ini dengan Amber dulu,

maka semuanya akan baik-baik saja. Tidak seperti kemarin : aku kecewa dengan

balasannya, dia kecewa dengan keputusan sepihakku, begitu juga yang lainnya.

Kenapa baru terpikir sekarang,..Wade?.

Aku membatin. Ada sedikit rasa penyesalan juga kenapa aku begitu teguh

mempertahankan keinginanku di depan semuanya kemarin. Jika saja aku mau

bersabar, mungkin aku bisa memberikan mereka alasan yang lebih logis dari

keinginanku. Yah, tapi sudahlah… Setidaknya aku sudah memutuskan.. Lagipula

aku tidak bisa meminta Ian memasukanku lagi ke manajemen dan mengulang

semuanya supaya menjadi lebih baik. Inilah…penyesalan selalu saja datang

belakangan…

Setidaknya tidak ada yang mengganggumu dengan membuat intuisi rumit

dalam kepalamu… Otak kananku membatin santai, mendukungku dengan

keputusan yang sudah terlanjur itu. Ya, benar. Jangan ada yang datang hari ini, itu

sudah cukup buatku.

Aku mengangkat kepala ke udara, mengambil nafas. Apa yang kulihat

dihadapan membuatku mendengus keras. Hh…keinginanku tidak terkabul…

Aku bisa merasakan pandanganku berubah biasa terhadap sosok di hadapaku

itu. Amber ada disini dengan senyumnya. Senyum yang sama dengan senyum

326 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
yang sudah membuatku bertahan selama 10 tahun ini. Kulihat dia sedikit

mengkeret. Pastilah takut dengan apa yang aku jadikan sebagai balasan

kedatangannya yang mungkin saja untuk minta maaf soal ucapannya kemarin

pagi….

Namun, tanpa berbasa basi, aku menyapanya juga. Otak kiriku yang tiba-tiba

saja kesal mendukungku untuk menyapanya dengan datar dan acuh. Dia pasti

menyangka aku benar-benar marah terhadap ucapan „pengusiran‟nya itu..

“Hei. Ada apa?.”sapaku pendek.

Sebelum menjawab sapaanku, Amber berjalan mendekatiku, ke tepi kolam

renang. Aku naik. Saat kami duduk bersisian di tepi kolam renang, aku berusaha

mengontrol emosiku sembari memandangi kaki Amber yang bermain di dalam air

biru itu.

Kemudian, lama sekali hanya diam yang terjadi diantara kami. Hingga tak

lama, Amber berucap sesuatu.

“Maaf. Aku tidak bermaksud, Wade.”

Dia masuk ke topik. Aku tidak membalas ucapannya itu sampai mengangkat

wajah dan memandang tepi kolam di hadapanku dengan datar. Terlontarlah

sebuah kalimat dariku.

“Seharusnya aku keluar sejak dulu.”

-Amber-

KEDATANGANKU disambut oleh ekspresi dan ucapan datar Wade. Aku yang

awalnya memasang senyuman dan wajah yang ceria, jadi terdiam mendengar

327 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
responnya atas permintaan maafku. „Seharusnya aku keluar sejak dulu.‟. Dia

benar-benar marah padaku. Kutebak, sangat marah, malah.

Bisa ditebak, bagai tersedak, aku tertohok mendengar balasan darinya. Wade

kecewa dengan apa yang jadi balasanku ketika dia berniat baik untuk keluar

dengan baik-baik, tapi aku malah mengacuhkannya.

Menanggapinya, aku hanya bisa diam dan membiarkan Wade naik. Masih

belum bisa melanjutkan pembicaraan ini, aku hanya bisa memandangi pria itu dari

tempatku. Dia acuh, sibuk dengan minuman dinginnya di meja santai sana dan

tidak mempedulikan kehadiranku.

Setelah merasa sanggup melanjutkan niatanku untuk meminta maafnya, aku

beranjak ke sisinya lagi yang kali ini sedang membuat teh hangat. Mungkin

mencoba lagi bisa membuat dia luluh..

“Aku tidak bermaksud mengatakan itu. Sungguh. Aku hanya…tidak terima.

Keputusan yang kau ambil kemarin terlalu sepihak.”kataku lagi, berusaha

terdengar sewajar dan seyakin mungkin di telinga Wade.

“Ya aku tahu.” Dia membalas dengan cepat ucapanku, seakan perasaan

marahnya itu berubah menjadi sebaliknya. Wade menoleh padaku, “Aku sangat

tahu kenapa kau berkata seperti itu kemarin.”

Mencoba menarik nafas lega, aku tidak dulu membalas ucapannya. Wade

memalingkan wajahnya dariku, menunduk, “…aku..merasa begitu bodoh.”

Kemudian dia kembali memandangku. “…memang masih banyak cara untuk itu.

Dan salahku tidak membicarakan ini secara pribadi padamu. Aku yang harusnya

minta maaf, Am.”

328 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Oh, syukurlah…dia tidak marah. Tapi seperti biasa, Wade menyalahkan

dirinya sendiri, lagi.

“Sama-sama. Kita berdua salah kalau begitu…”selaku terhadap kalimatnya.

“Label apa yang sudah menandatangani kontrak denganmu?.” Oke, pergantian

topik, sebelum semuanya terlanjur beralih ke masalah hati.

Menjawab pertanyaan itu, Wade tersenyum lebar. Dia menyerahkan segelas

teh hangat padaku dan berucap, “BigStars Records. Tapi proyek pertamaku adalah

mengisi soundtrack film.”

“Film apa?.” Aku berusaha benar-benar tertarik atas topik yang kubangun

sendiri ini.

“Kartun. Hanya membuat scorenya saja. Tidak dengan semua lagu di OST

film itu. Lagipula ada musisi lain juga yang akan mengisi.” Wade menjawab

dengan sama antusiasnya. Aku dan dia duduk di atas kursi santai panjang di tepi

kolam renang dan mengobrol tentang banyak hal lebih lanjut.

“Lalu…–”

“Bagaimana dengan persiapan pernikahanmu?. Sudah dimulai kah?.”

Wade memotong ucapanku dengan sesuatu yang sangat amat tidak tepat..

Oh.. ayolah..Wade. Aku sedang tidak mau mengobrolkan itu…. Dan

menanggapinya aku hanya bisa mengesah gemas pada Wade. Tidak peduli dengan

ekspresi wajahnya yang sebenarnya biasa-biasa saja.

“Bagaimana?.” Wade tetap ngotot dengan topik itu. Dia menenggak

minumannya hingga tak bersisa, barulah menoleh padaku, menuntut jawaban.

329 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Akhirnya, aku terpaksa mengikuti alur pembicaraannya. “Kami akan ke Ontario

tanggal 4 Juni nanti untuk perkenalan keluarga dan lain sebagainya.”

Wade mengangguk paham mendengar jawabanku. Dia berpaling ke tanah sejenak

dan lebih memilih diam, menungguku bicara. Sepertinya Wade bingung dengan

apa yang akan kami bicarakan selanjutnya. Daripada tak lama lagi disambung

olehnya dan malah berlanjut ke masalah hati yang tidak ada putus-putusnya, aku

teringat satu hal. Hadiah lomba makan itu : saat Wade memenangkan lomba

makan terakhir kami di Hardrock Café tiga hari kemarin.

“Kau mau menonton film?. Kebetulan hadiah lomba makan itu masih

berlaku.”kataku, membuka topik baru.

“Film?. Tidak ada yang bagus kurasa…” Wade membalas dengan nada yang

mulai lesu. Oh, aku tidak suka ini. Biasanya ini adalah tanda bahwa ujung-

ujungnya Wade akan memilih diam di rumah dan tidur.

Aku berdiri dan meraih tangannya. “Ayolah... Aku mau kita bersenang-senang

hari ini, Wade…”

Senyuman keluar dari Wade. Dan tak lama kemudian, kami keluar dari rumah

tingkat dua ini dengan mobilku. Tujuan pertama : mengitari Los Angeles dan

mencari film bagus dan baru.

***

Sekian jam kemudian, kami sudah berada di sekitaran Boston, menjelajahi kota

ini untuk mendapatkan film baru lagi. Enam jam berlalu, sekarang sudah jam 4

sore, dan kami telah menonton kurang lebih 3 film berdurasi masing-masing dua

jam di bioskop Los Angeles. Film pertama yang kami tonton adalah film komedi

330 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
romantis berjudul „Grab Second Chance‟, lalu yang kedua berjudul „Hallway‟,

bergenre politik, dan ketiga, film horror, berjudul „Variety Secret‟. Wade yang

memilih semua film itu dan kebetulan ketiganya tidak mempunyai cerita yang

membosankan bagi kami.

Hari ini, entah kami akan menonton berapa film. Yang jelas, perjalanan ini

akan berakhir di pantai barat Amerika dimana aku akan memberikan hadiah

terakhir dan terbaik itu kepada Wade, khusus dariku. Dia sendiri tidak tahu

menahu soal ini. Aku hanya bilang, di awal perjalanan kami tadi, bahwa hari ini

adalah harinya. Makan, menonton, jajan, semua aku yang mentraktir. Itu bisa

kuanggap bonus, kurasa. Dan yang nanti malam itu adalah plus-plus.

“…Hm…yang mana, Am?. „Lie Down‟ saja, ya…” Wade menggumamkan

pilihannya sambil memandangi poster film itu.

Aku melihatnya juga. “Musik…?. Ya sudah. Ayo.” Dan sebagai jawaban, aku

setuju dengan pilihannya. Kali ini, „Lie Down‟. Film romantis yang diproduksi

Lion Gates Entertainment ini bertemakan dunia musik. Oh, aku tebak ceritanya

11-12 dengan ceritaku….

Akhirnya, setelah kami sepakat dan membeli tiket serta popcorn di kedai

makanan, kami masuk ke ruang pemutaran film.

Film belum dimulai, masih menunggu jam tayang sesuai jadwal yang

sebenarnya tinggal 2 menit lagi. Aku dan Wade mencari tempat duduk yang tepat,

sesuai yang tertera pada tiket. Setelah menemukannya, kami duduk bersebelahan,

setengah bersandar sambil menunggu filmnya benar-benar dimulai.

Beberapa saat kemudian, film dimulai.

331 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Perry‟s Café, Santa Monica, 7 p.m…

Wade bertanya-tanya kenapa dia diajak kemari. Begitu masuk pun, pria itu

masih terbingung-bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dia tidak

bertanya kepadaku atau apapun itu. Wade hanya diam di sisiku sampai kami tiba

di tempat yang dituju : sebuah ruangan khusus, 6 x 6 meter, dan di dalamnya,

sudah seperti yang kuinginkan. Aku memesan semua ini atas bantuan Matt dan

sangat berterimakasih karena semuanya sudah sesuai dengan keinginanku.

Ruangan ini tepat menghadap ke laut, menciptakan suasana damai dalam

pembicaraan pribadi yang akan kubangun nanti. Yang kusuka adalah, posisi meja

makan yang sangat tepat berada di tengah jendela sementara dua kursi diposisikan

berhadap-hadapan, seperti memang didesain untuk pertemuan pribadi yang butuh

ketenangan. Tak lupa, dekorasi foto-foto kami dengan band yang terpajang di

dinding ruangan ini. Kemudian juga ada ucapan terimakasih yang ditulis dalam

banner, membuatku tersenyum memandangi itu semua dalam posisi yang

memunggungi Wade.

“Untuk apa kita kemari?.” Wade akhirnya membuka suara.

Aku berbalik dan tersenyum padanya, “Ini hadiahmu, khusus dariku.”

“Makan malam?... Bagus sekali.”kata Wade setengah tergelak. Rupanya dia

tidak menyangka perjalanan kami akan berakhir disini.

Setelah puas menikmati dekorasi ruangan ini, aku mempersilahkan Wade

duduk, baru aku. Tak lama kemudian, pelayan datang ke ruangan ini, membawa

332 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
buku menu. Ketika dia menawarkan menu-menu standar café California, aku

memilih satu diantara itu : Steak, dengan minumnya : Lemon Tea. Sementara

Wade lebih menetapkan pilihannya pada Bacon dan Strawberry Milkshake.

Selesai kami menyebutkan pesanan, pelayan pergi dari ruangan ini dan aku

memulai obrolan di hadapan Wade yang bersikap menunggu.

“Kau suka?.”

“Ya. Terimakasih.” Dia tersenyum dan melipat sebelah tangannya di meja,

“Apa ini salah satu bujukan darimu agar aku kembali ke band?.”tanyanya

kemudian, dengan wajah yang sangat bisa dibilang tidak sepenuhnya serius.

Menjawab pertanyaannya, aku tergelak. “Mungkin saja.” “Karena jujur, kemarin,

kalau bisa aku menarik ucapanku, akan kulakukan itu.” Aku membawa kami

kembali ke pokok bahasan makan malam ini : keluarnya Wade dari band serta

kejadian sebelum dan sesudahnya.

“Kau menyesal?. Aku pikir itu keputusan terbaikmu. Setidaknya selama aku

mengenalmu…” Dia melanjutkan ke topik yang kubangun, bilang bahwa ucapan

ketusku kemarin adalah hal yang memang harus diutarakan kepadanya.

“Walaupun, yah…sebenarnya aku agak kecewa mendengar nada ketus darimu

itu.. Tapi mungkin itu balasan setimpal untukku.”lanjut Wade terhadap

ucapannya.

Dia mengutarakannya barusan, secara gamblang. Aku lega karena bisa

merasakan kejujuran dari ucapannya itu dan senang dia melakukan hal yang sama.

Kukira, setelah ini kami akan berlanjut ke kalimat-kalimat perpisahan yang penuh

pengandaian, mungkin saja….

333 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Tapi sebelum itu, pelayan kembali. Dia mengantarkan pesanan kami dan

tersenyum. Lalu tanpa berbasa-basi, orang itu pergi dari hadapan kami. Tak lama,

kami mulai makan.

Sesaat, kami makan dalam diam. Sampai kemudian, Wade mengangkat

wajahnya dari makanan, kepadaku. “Am?.”

Aku pun menghentikan makanku sejenak, “Ya?.”

“Penggantiku akan datang di hari kedua latihan di set. Dia akan langsung ke

tempat dan ikut konser di FoxTroops. Namanya Evan.” Wade memberitahu nama

penggantinya dan waktu orang itu mulai bekerja.

Membalasnya, aku mengangguk sekali. “Evan… Kurasa dia tidak akan bermain

sebaik dirimu di band…”selorohku terhadap ucapannya.

“Yah, lihat saja nanti…” Kemudian dia tersenyum dan sedetik selanjutnya,

kami kembali berada dalam diam dan mulai makan.

Lima menit berlalu. Wade dan aku menyelesaikan makan dan berdiri. Kami

sama-sama melangkah ke jendela dan berdiri bersisian disana, masih diam.

Memecah keheningan, aku menoleh kepadanya dan memulai topik baru : masa

lalu kami. Atau khususnya adalah : sejak kapan dia mulai merasa menyayangiku

lebih dari seorang teman?.

“Sejak kapan kau merasakan itu?. Persisnya.”

Mendengar pergantian topik ke hal pribadi itu, Wade menoleh padaku, balas

menatapku dengan pandangan tertegun. “Video klip pertama kita.” “Dalam

pandanganku saat itu, aku merasa sangat beruntung dapat mengenal perempuan

multi talenta sepertimu.” Di tengah-tengah ucapannya, Wade mengesah sesaat dan

334 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
memalingkan wajah ke arah laut, “…Awalnya hanya mengagumi selera musikmu.

Tapi kemudian, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Lebih dari sebuah

kekaguman.”

Aku hanya bisa menghela nafas saat kalimat itu benar-benar selesai. Jujur.

Aku mendengar kejujuran yang amat jelas dari ucapan Wade barusan dan aku jadi

tahu ingin menyambung obrolan ini kemana lagi. Darren.

“Kau menyesalinya?.”tanyaku lagi, sebelum menyambung ke topik

berikutnya.

Wade tertawa pelan dan menoleh padaku, “Haruskah aku memberitahumu tentang

itu?.”

Aku mengangkat bahu membalasnya. “Yah, setidaknya kan sekarang kita rekan

kerja berbeda label. Apa salahnya membicarakan soal itu…?.”kataku mengelak,

memberi penekanan kata pada „berbeda label‟.

“Hh…” Dia memalingkan wajahnya lagi dariku dan memandangi laut

California di depan sana dengan tatapan menerawang. “Tidak, Am. Aku tidak

akan pernah menyesali semua kenangan itu.”

“Lalu bagaimana dengan ketika kau tahu aku berpacaran dengan

Darren?.”tembakku langsung, tanpa memberinya jeda untuk merenungi semua itu

agar Wade juga tidak terbenam dalam kenangannya sendiri. Aku hanya

bermaksud memberinya kebebasan untuk meluapkan semua perasaannya

kepadaku. Khusus untuk malam ini.

Dan karena mungkin Wade juga sudah pasrah saja dengan alur pembicaraan ini,

dia terlihat santai menanggapinya dan bicara, “Setengah kesal, setengahnya lagi

335 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
sadar diri bahwa aku masih tidak lebih baik dari laki-laki tukang tebar pesona itu.”

“Saat mengetahui kabar itu, aku menyesal juga karena sehari sebelum kepulangan

kalian dari Italia, aku telah selesai mengatur rencana untuk menyatakan

perasaanku. Naas, sepulangnya dari sana, malah kabar berpacarannya kalian yang

kuterima. Ya sudah lah…”cerita Wade dengan nada yang terdengar santai.

Pandangannya mengenang, jauh ke masa itu.

Di tengah-tengah ucapannya, aku tergelak sendiri sambil membayangkan

ekspresi Wade versi non serius saat itu.

“…Dan ketika kalian menikah, barulah emosiku memuncak. Tapi setelah

beberapa tahun berlalu, aku tertawa sendiri ketika mengingat apa yang kulakukan

sepulangnya dari pesta resepsi kalian….”

Kalimat terakhir Wade membuatku tertarik sembari masih mencoba

membayangkan. “Memangnya apa yang kau lakukan?.”

“Minum sampai mabuk di bar dekat rumah. Setelah itu aku pulang, dan

menyetir dalam keadaan setengah sadar.. Masih untung tidak menabrak apapun

waktu itu….”jawab Wade yang kemudian tertawa tergelak. Dia menoleh padaku,

“Sebenarnya jika aku bisa berpikir jernih saat itu, aku akan lebih memilih

berlama-lama di pestamu dan pulang bersama yang lainnya dengan sikap sewajar

mungkin kepada kalian berdua.”

“Itu namanya menyembunyikan perasaan..” Aku berkomentar

Wade termangu, ekspresinya membenarkan kata-kata itu. Tak lama kemudian, dia

berbalik dan naik, duduk di atas jendela. “Yah, tapi yang penting adalah, itulah

proses pendewasaanku menyikapi semua perubahanmu. Kau dengan perilaku 17

336 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
tahunmu itu, atau kau yang sekarang. Kedua pribadi itu masih sedikit

mengagetkanku.”katanya lagi, memberikan komentar balasan.

Aku tersenyum menanggapinya, “Beruntung bagiku, kau tidak berubah.”

Ya. Wade tidak pernah berubah. Sejak dulu, 10 tahun yang lalu, dia tetap

seperti ini ; dengan sifatnya yang lebih bisa dikatakan sebagai „kakak‟ daripada

„teman‟, aku sangat nyaman dengannya.

“Ya. Tidak akan, kecuali kau mengubah keputusanmu untuk bertunangan

dengan Chad, jadi denganku. Dan kita akan hidup bahagia selamanya…”balas

Wade setengah tergelak. Aku tahu dia hanya bercanda, maka tidak ada tanggapan

dariku. Hanya balas tersenyum dan meraih tangannya, menariknya turun.

Wade dan aku berdiri berhadapan. Tahu kami akan tiba di akhir kebersamaan

kami di kafe ini, dia memalingkan wajahnya memandangi dekorasi. Wade sedang

berusaha mengalihkan perhatiannya sendiri dari perpisahan personal antara dia

dan aku. Ekspresinya tidak bisa bohong. Ada segelintir rasa „ingin berlama-lama‟

disana.

“Bukankah kau harus membuat konferensi pers?.” Aku membuka topik baru

yang masih berhubungan dengan bahasan utama kami.

Wajah Wade memuram seketika. Dia kembali lagi memandangiku dengan

mengerenyit. “Ya. Tapi aku rasa aku masih punya banyak waktu denganmu

disini.”katanya menolak topik itu.

“Sudah hampir jam 9. Dan besok aku terbang jam 6 dari Los Angeles ke

Prince Rupert.”balasku masih dengan suara tenang. “Yah, seandainya kau tidak

keluar, besok kita masih bisa bersama-sama…”

337 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Dengan wajah yang masih mengerenyit, Wade tertegun. Tapi garis wajahnya yang

semula sedikit gusar, perlahan melembut. Tak lama kemudian, hangat mulai

terasa di sekujur tubuhku, dan melemas seiring eratnya pelukan yang diberikan

Wade.

Perlahan, tangan Wade melonggar, disusul oleh langkahnya yang bergerak

menjauh dariku. Sebuah senyum ikhlas tersungging di wajahnya, tanda terima atas

semua inti dari perginya dia bersamaku seharian ini.

“Terimakasih. Aku harap pertemuan kita hari ini bukan yang

terakhir.”ucapnya tulus. Dia kembali mendekat. Tangannya meraih kepalaku dan

sedetik kemudian, kecupan lembut dan pelan terasa di dahiku, membuat mataku

memejam.

Ketika Wade melepaskan bibirnya, aku mengesah, kemudian dia.

“Kita pulang. Kau benar, aku harus mengadakan konferensi pers

secepatnya…”

338 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
-FUTURE-
“Tinggal merelakan dia pergi, dan hidup baru akan terbangun sesuai keinginanmu!.

Dengan beberapa rencana jitu, tentunya…”

339 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“PLAN AGAIN”

-Chad-

AKU tahu Amber mengajak Wade jalan-jalan kemarin. Matt yang

memberitahukan ini, tapi tidak demikian dengan wanita itu. Hingga hari ini : di

hari keberangkatannya ke FoxTroops, dia tidak bilang apa-apa soal kemarin dan

Wade. Amber hanya meneleponku sebelum take off dan seperti biasa, mengharap

aku cepat datang ke tempat konsernya untuk menemaninya.

Sayangnya, rencanaku hari ini tidak memungkinkanku untuk melakukan itu,

juga untuk 2 hari ke depan. Hari ini, aku ada janji dengan Whitney dan Charlotte,

anak semata wayangnya yang berumur 10 tahun. Mereka akan dijemput di

Bandara Los Angeles untuk langsung membantuku memulai rencanaku. Atas

bantuan dari Matt juga lah sebenarnya rencana ini terbentuk.

Semalaman tadi, aku mengorek informasi dari Matt tentang keseharian Wade.

Apa yang akan kulakukan dengan semua itu?. Jawabannya adalah : membuat

Whitney jadi pengganti yang tepat untuk pria 28 tahun itu. Aku pikir, apa

salahnya?, iya, kan?. Bisa jadi mereka berdua memang cocok. Pembawaan

Whitney pun hampir mirip dengan Amber. Jadi kenapa tidak?. Siapa tahu saja

Wade bisa benar-benar mencintai wanita lain selain sahabat terbaiknya itu. Dan

bukan bermaksud apa-apa… Aku hanya ingin Wade cepat berpindah hati dan

fokus dengan kehidupan nyatanya lagi daripada harus meratapi nasib.

Saat kutelepon semalam, Whitney agak ragu, sebenarnya. Bagaimana

mungkin seorang janda tembak mati beranak satu bisa menaklukan hati gitaris

340 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
professional seperti Wade?. Begitulah pikirnya saat itu. Kuyakinkan saja dengan

beberapa kalimat yang ujung-ujungnya adalah : Charlotte butuh sosok ayah yang

bisa mendampinginya melewati semua terapi, menemaninya menonton National

Geographic, dan membacakannya buku ensiklopedia semalaman sebagai dongeng

sebelum tidur. Dari semua pria lajang yang kukenal, Wade adalah orang paling

tepat untuk mengisi posisi Harry.

Dan sebagai jawaban, Whitney mengabariku bahwa dia sudah ada di Bandara

Alaska untuk berangkat ke Los Angeles. Soal terapi, Charlotte memang

mempunyai riwayat ketahanan jantung yang kurang sejak dia lahir. Ibunya

berkata kepadaku, dia harus diterapi satu bulan dua kali hanya untuk

memperpanjang umurnya. Dan Harry : pria itu adalah ayah Charlotte, temanku

juga. Dia seorang tentara yang mati tertembak dalam misi kemanusiaan di Iran.

Peristiwa itu terjadi saat Whitney baru saja melahirkan Charlotte : 10 tahun yang

lalu.

Whitney bilang dia akan tiba di Bandara setengah jam lagi. Sebelum

berangkat, aku membaca lagi kertas rencana yang akan kami kerjakan hari ini

yang sebenarnya hanya berisi data-data kebiasaan Wade, lalu tenggat waktu

rencana ini dilakukan, yaitu satu bulan. Setelah itu, aku serahkan detailnya pada

Whitney karena dia yang akan melaksanakan, bukan aku.

Perlahan, senyumku mengembang membayangkan keberhasilan rencana ini :

Wade dan Whitney. Senangnya bisa melihat mereka bersama suatu saat nanti….

09.00 a.m…

341 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“…jadi, apa yang harus aku lakukan?.”tanya Whitney setelah kami tiba di rumah

yang akan menjadi tempat tinggal Whitney dalam sebulan ke depan.

Aku menyodorkan kertas rencana itu padanya. “Mudah. Seperti yang kubilang di

telepon : dekati Wade Feldmann dan kita lihat bagaimana respon pria itu

terhadapmu setelah sebulan kedekatan kalian. Caranya, aku serahkan

padamu.”jawabku menjelaskan apa yang harus dia lakukan.

“Satu bulan?. Bagaimana dengan terapi Charlotte?.” Whitney balik bertanya

dengan ragu.

“Kalau soal terapi, aku rasa rumah sakit Los Velas punya fasilitas terapi

untuk penderita lemah jantung.” Aku menjelaskan kepadanya jawaban dari

kekhawatirannya itu.

“Oh…” Whitney menghela nafas dan mengambil sebuah buku dari tas koper

yang dibawanya ketika Charlotte menghampirinya. Tepat saat dia memberikan

buku itu, ada telepon dari ponselku.

Aku mengangkatnya. “Halo?.”

“Chad, Wade akan ada di rumah sakit Los Velas untuk menjenguk pasien-

pasien rawat inap disana sekalian bekerja sama menjadi penyumbang dana bagi

pengobatan penyakit kelainan jantung di rumah sakit tersebut. Dia datang jam 9

ini.” Diseberang, Matt menjelaskan kesibukan Wade hari ini.

“Oh, begitu. Ya sudah, terimakasih Matt.”

“Ya. Sama-sama. Semoga berhasil, kawan…”

Dan, setelah tak lama, aku menutup sambungan dari Matt. Whitney sudah ada

lagi di hadapanku sementara Charlotte entah kemana.

342 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Dia sedang membaca ensiklopedia terbarunya di lantai atas.”ucap Whitney

seolah menjawab pertanyaan dalam benakku. Dia menarik kertas yang barusan

kusodorkan dan membacanya. “Hm…aku simpan kertas ini, ya?.”katanya setelah

diam sesaat. “Oh, ya…hari ini Charlotte ada terapi. Aku akan pikirkan nanti soal

bagaimana cara mendekati temanmu itu.” Kemudian dia berlalu di hadapanku dan

ke atas, membawa barang sekalian memanggil Charlotte.

Sisi diriku membatin.. Ya, bagus… Hari ini Wade juga ke rumah sakit. Aku

langsung berpikiran untuk menyarankannya agar terapi Charlotte dilaksanakan di

rumah sakit yang sama.

Lima belas menit kemudian, aku menurunkan Whitney dan Charlotte di depan

Rumah Sakit Los Velas. Setelah pamit padaku, mereka berdua langsung masuk,

lalu aku pergi. Tadi sudah kusampaikan kepada Whitney tentang keberadaan

Wade disini, dan dia langsung diam. Kutebak itulah caranya memikirkan sesuatu

– sama seperti dulu – lalu kemudian, Charlotte menceritakan kepadaku kalau dia

mengidolakan Wade. Saat kuberitahu tentang hal yang sama, dia langsung setuju

untuk melakukan terapi disana. Bagus sekali. Semuanya lancar hingga saat ini.

Aku membelokan mobil ke sebuah supermarket, memutuskan untuk

membelikan Charlotte buku baru dan bahan makanan untuk mengisi kulkas rumah

baru mereka. Tepat setelah aku memarkirkan mobil di tempat parkir dalam, ada

panggilan di ponselku. Dari Amber.

“Ya, halo, sayang?. Kau sudah tiba di tempat?.” Aku menyapanya terlebih

dulu.

343 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Ya.”jawab Amber renyah, agak tergelak. Sepertinya dia baru saja tertawa

karena sebuah lelucon di seberang sana. “..Bagaimana denganmu?. Jadi

menyusulkah?.”tanyanya kemudian.

Masih di dalam mobil, aku mencelos mendengar pertanyaannya. Lalu, aku

berdeham, “Sepertinya tidak, sayang. Aku ada kegiatan disini.”

“Hari ketiga?. Saat konser?.” Amber bertanya lagi tentang kemungkinan

kedatanganku untuk menemaninya.

“Tidak..” Dengan berat hati, aku menjawab. “Sebenarnya aku sedang

menjalankan sebuah rencana. Dan ini untuk Wade.”

Mendengar apa yang menjadi balasanku, Amber menghela nafas panjang di

seberang sana, “Rencana apalagi, Chad?. Apa yang sedang kau coba lakukan pada

Wade?.”

Aku tertawa pelan mendengar ucapan sabarnya. Dia pasti tidak habis pikir

dengan isi kepalaku ini.., “Masih ingat Whitney?.”

“Hm…ya… Kenapa?.”

“Aku akan menjodohkan Wade dengan dia.” Aku mengemukakan rencanaku,

“Semuanya sudah berjalan. Kita lihat saja hasilnya di sebulan setelah ini, sayang.”

“Chad?. Kau bercanda.” Amber menukas dengan kaget, “Berapa umur

Whitney?.”

Hh… Apa orang lain akan bertanya balik kalau Whitney yang menjalankan

rencanaku : „Berapa umur Chad?‟..?. “Berapa umur Chad?.”balasku langsung.

Kali ini agak malas mempersoalkan perbedaan umur yang cukup nyata diantara

kami.

344 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Tidak. Aku serius, sayang…” Amber menyela. “Wade tidak bisa dijejalkan

wanita sembarangan.. Apa kau tahu reaksinya kalau dia sudah mengetahui

rencanamu ini?.”tanyanya kemudian.

Aku bisa merasakan wajahku berubah tersinggung dengan ucapannya. „wanita

sembarangan‟?. Mungkin dia masih terpengaruh dengan gambar-gambar rekayasa

waktu itu.

“Bagus kalau begitu…”kataku cepat. “Karena kau tahu?, Whitney sama sekali

bukan wanita sembarangan.” Aku berkilah dari tidak setujunya dia atas rencanaku

yang ini, “Kalau semuanya tidak berjalan sesuai rencana, Whitney tinggal kembali

ke Alaska. Selesai, kan?.”

Di seberang sana, Amber menghela nafas. “Yah…terserah dirimu. Semoga

saja mereka berdua cocok…”

Lalu, tuutt… Sambungan diputus oleh Amber.

Berusaha tidak memikirkan itu, aku melihat kalender di ponselku, ingin tahu

hari apa rencana ini akan selesai. Kamis… Aku membatin. Tapi kemudian, saat

aku kembalikan pada bulan Mei lagi, perlahan senyumku mengembang. Melihat

apa yang akan terjadi di tanggal 2 Juni 2013, aku jadi punya rencana lain.

-Wade-

BARU saja aku menyelesaikan konferensi persku di Arist terhadap keluarnya aku

dari manajemen dan band di rumah, ditemani Ian dan Evan – meski mereka

berdua ikut melalui video konferens. Beberapa saat kemudian, aku berangkat ke

Rumah Sakit Los Velas guna berkunjung kesana untuk ikut serta menjadi

345 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
penyumbang untuk pengobatan penyakit kelainan jantung pada pasien di rumah

sakit tersebut.

Setibanya disana, aku disambut oleh direktur rumah sakit, Dr. Larry Foster.

Dia mengajakku melihat-lihat isi rumah sakit ini. Khusus ruang rawat inap,

tapinya. Yah, kukira siapapun itu tidak akan ada yang mau ruang prakteknya

dikunjungi oleh artis sekalipun….

Sekian menit kemudian, aku baru saja selesai bercengkrama dengan pasien

rawat inap penyakit dalam di bangsal 27, lantai 9 rumah sakit ini. Mayoritas dari

mereka menderita penyakit dehidrasi.

“…untuk penyakit kelainan jantung sendiri memang tidak begitu banyak yang

di rawat inap disini. Tapi berdasarkan data yang dimiliki pihak rumah sakit, ada

sekitar 100 orang yang didiagnosa menderita penyakit itu di Los Angeles.

Sementara yang dirawat disini hanya paling 10 persen dari itu.” Dr. Larry

menjelaskan padaku sambil membawaku ke bangsal selanjutnya yang ada di lantai

ini.

Mendengar penjelasannya, aku mengangguk paham. 100 orang… Sungguh

tragis. Aku mengomentari penjelasan Dr. Larry di dalam hati seraya tersenyum

getir, “Mereka ditampung dalam sebuah yayasan, kah?.”

“Tidak. Belum ada yayasan yang menampung penderita kelainan jantung di

Los Angeles. Mereka masih hidup sendiri-sendiri, menggunakan uang mereka

sendiri untuk terapi, dansebagian besar dari mereka hidup dari keluarga

menengah.”jawab Dr. Larry jelas dan lengkap.

346 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Tapi sebelum sempat aku membalas ucapannya, dua buah tangan sudah

menyambarku di pinggang. “Wadeee…”

Dr. Larry memandangi ke arah suara itu dengan mengerenyit. “Maaf..”

Pandangannya menunjuk ke sisi kiri tubuhku.

Aku menoleh, mendapati seorang gadis kecil memelukku dari samping.

Wajahnya berbinar ketika memandangiku yang lima puluh senti lebih tinggi

darinya. “He-i… Ada apa?.” Aku bertanya dengan bingung menanggapi ekspresi

gadis kecil itu sembari memberi isyarat pada Dr. Larry untuk meninggalkanku,

kembali ke pekerjaannya di ruangan direktur sana.

“Senangnya bisa bertemu denganmu disini…”ucapnya kepadaku.

Menanggapinya, tanganku bergerak mengelus kepala gadis itu, “Terimakasih…”

“Sedang apa kau disini….?.” Aku sengaja menggantungkan pertanyaanku karena

ingin tahu siapa namanya.

“Charlotte.”jawab gadis itu. “Aku baru saja selesai terapi di ruangan Dr.

Gerard.”

Aku mengerenyit heran mendengar jawaban Charlotte dan melepaskan tanganku.

Aku berjongkok agar tinggiku sejajar dengannya. “Terapi apa?.”tanyaku beramah

tamah dengan fansku yang satu ini.

“Kelainan jantung. Kata ibu, aku menderita lemah jantung sejak lahir.”jawab

Charlotte. Suara cerianya tidak hilang meski menceritakan penyakitnya sendiri.

Kebetulan, inilah yang aku cari : seorang penderita kelainan jantung. Hari ini aku

harus mendapatkan banyak informasi tentang penyakit itu dari Charlotte. Kembali

kuelus kepalanya dalam senyum.

347 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Tapi kemudian, suara seorang perempuan paruh baya menyela pertemuan kami,

“Charlotte… Tidak baik seperti itu, sayang….”

Kemudian sosoknya terlihat menghampiri tempatku berdiri, membuatku

melepaskan tanganku dari kepala Charlotte. Melihat kemiripan diantara

perempuan itu dan gadis ini, kupikir ini ibunya….

“Maaf,…dia tidak bermaksud mengganggumu…”ucap perempuan itu padaku,

“Kemari, Nak..” Lalu dia beralih pada Charlotte. “Maaf sekali lagi..”

“Buu?..” Charlotte menggerutu kepada ibunya. Melihat mereka berdua, aku

tersenyum. Begitu lucu. Sebelum aku membalas, mereka berdua sudah akan

berbalik untuk pergi. “Permisi.” Sang Ibu pamit padaku.

Tapi aku segera mencegah mereka untuk pergi dengan sebuah kalimat penawaran.

“Berminat berbincang denganku sebentar selama di kafetaria rumah sakit?.”

Dan berhasil. Perempuan itu berbalik, diikuti Charlotte.

“Bolehkah?.”tanya sang ibu balik.

Aku menghampiri mereka dalam senyum. “Kenapa tidak?.”

8 p.m…

Kupandangi foto-foto selama kunjunganku ke Rumah Sakit Los Velas dalam

senyum. Yang paling membuatku terkesan dari apa yang terjadi hari ini adalah

justru cerita-cerita soal Charlotte dan Ibunya : Whitney. Seorang gadis 10 tahun

berjuang mengendalikan organ vital lemahnya itu ditemani seorang perempuan

tegar, yang selalu setia mendampinginya dalam setiap terapi, menyemangatinya

ketika mendadak dia harus keluar masuk rumah sakit dan meninggalkan sekolah,

348 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
hingga nyaris meninggal karena kelelahan. Mereka berdua sosok yang luar biasa.

Apalagi sang ibu.

Setengah jam setelah aku menyelesaikan kunjunganku, aku mengajak mereka

ke taman kota. Meski dengan beberapa hambatan : remaja putri yang

menghampiriku lalu meminta tanda tangan dan sebagainya itu, aku tetap

melanjutkan sesi cerita-ceritaku dengan Whitney dan Charlotte. Kami memilih

sudut taman tadi siang. Setelah puas mendengar cerita Charlotte tentang

kehidupannya, aku membiarkan Charlotte bermain dengan gitarku – yang

kebetulan ada di mobil, dan aku sengaja mengeluarkannya sesiangan tadi – lalu

beralih ke sang ibu. Cerita darinya lah yang membuatku tercengang.

Whitney Gardsonn, seorang Amerika-Kanada, berumur 36 tahun dan seorang

akuntan di perusahaan asuransi, tapi sedang tidak bekerja karena baru pindah dari

Alaska, dengan suami yang sudah tenang di alam sana akibat menjadi korban

perang dalam misi kemanusiaan di Iran. Setiap hari, di rumah lamanya, dia harus

berkerja dari pukul 8 sampai dengan 5 sore, setelah itu dilanjutkan dengan

memantau sang anak di rumah, berubah menjadi ibu luar biasa bagi Charlotte

dengan selalu tidur setelah anaknya tidur. Whitney selalu setia mendengarkan

semua keluhan, curahan, dan kegembiraan anaknya. Tapi tadi siang, dia berkata

bahwa setiap kali Charlotte menyampaikan keinginannya untuk sekolah lagi

dengan normal seperti dulu, dia selalu berusaha mengelak dan melakukan

peralihan topik.

349 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Perlahan, pandanganku berubah tertegun ketika melihat foto Charlotte yang

kuambil saat dia bermain gitarku di taman tadi. Aku jadi teringat perkataan

Whitney tentang betapa lemah jantung anaknya itu.

“…Charlotte tidak bisa bersekolah lagi. Jantungnya terlalu lemah, bahkan

untuk berjalan-jalan bersama teman-temannya sekalipun... Sebenarnya tidak

begitu hingga suatu hari, teman-temannya meneleponku. Charlotte mengikuti

pelajaran olahraga di sekolahnya. Lari. Awalnya, dia terima-terima saja tidak

diizinkan mengikuti pelajaran olahraga olehku pada saat di rumah. Tapi entah

kenapa, kabar pingsannya dia yang kuterima. Dokter bilang, Charlotte nyaris saja

meninggal.”

“Makanya, sejak itu, aku tidak mau mengambil resiko. Charlotte keluar dari

sekolah dan karena tidak mampu membayar guru privat, aku hanya

memberikannya buku-buku ensiklopedia. Dan ternyata, dia menyukainya.”

Kemudian senyuman dari perempuan yang 9 tahun lebih tua dariku ini,

membekas dalam pikiranku. Begitu tegar, sekaligus rapuh. Nampaknya setelah

Rumah Sakit Los Velas, yang harus kujadikan prioritas atas sumbangan danaku

adalah Whitney dan Charlotte. Dan satu-satunya jalan untuk memberikan bantuan

itu adalah dengan berada dekat dengan mereka berdua.

***

“… „Hei, aku bawakan makanan dan beberapa buku untuk Charlotte.. Kau mau

terima?‟.... Ah, tidak, jangan begitu…. Bagaimana kalau… „Pagi, boleh aku

bertamu?‟… Tunggu… begitu formal…” Dan ditengah kalimat penyambutan

350 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
lainnya, aku menggerutu sendiri, heran kenapa bisa seribut ini hanya untuk

bertamu ke rumah Whitney yang terletak di depan kompleks perumahanku.

Sejenak tatapanku beralih pada setumpuk buku ensiklopedia dan sekantong

bahan makanan di sofa sana. Oke, Wade… dia hanya wanita. Tidak lebih. Dan

dengan satu tarikan nafas, aku keluar, berangkat ke rumah Whitney.

Tok! Tok! Tok!... Aku mengetuk pintu rumah Whitney dengan harapan yang

muncul darinya bukanlah wajah terkejut yang penuh keheranan karena dikunjungi

publik figur Hollywood.

Tak lama, pintu dibuka. Wajah yang ada dalam pikiranku lah yang muncul :

heran, terkejut, tidak nyaman. Ah, sudahlah… , “He-i…?..mencari

Charlotte?.”kata Whitney terbata, disusul decitan pintu yang agak lambat dari

belakangnya.

Aku tersenyum membalas perkataannya itu, “Aku hanya ingin bertamu.

Bolehkah?.”

“Tentu.” Whitney menyela, membuka pintu yang baru saja ditutupnya,

“..silahkan masuk.”

Di dalam, aku dipersilahkan duduk di ruang tengah rumah sementara Whitney

membuatkan minuman di dapur. Sejenak, kupandangi seisi rumah sederhana ini

dengan pandangan menerawang dan seketika, teringat sesuatu. Buku dan bahan

makanan itu.

351 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Tanpa bicara kepada tuan rumah, aku keluar, mengambil kedua kantong buah

tangan itu di mobil dan kembali masuk. “Hm…aku ada sesuatu.”kataku berusaha

beramah tamah dengan Whitney.

Dari dapur, Whitney yang telah selesai membuat minuman untukku, berbalik dan

tersenyum, membawakan segelas yang kupikir…kopi, ke ruang tengah rumah.

“Tidak perlu repot-repot, Wade.”balasnya sungkan.

Aku tetap meletakan buah tangan itu di meja yang ada di ruangan ini dan

menerima minumannya, “Aku tidak merasa repot… Tenang saja..” Kuseruput

kopi itu sekali dan mengangkat wajah padanya, “Dimana Charlotte?.”

“Dia sedang ada di halaman belakang, membaca beberapa buku.” Whitney

menjawab tanpa menoleh padaku karena sudah keburu memindahkan fokusnya ke

luar rumah ini, melangkah ke pintu untuk mengambil sesuatu di luar, mungkin

saja….

Maka tanpa menghiraukan Whitney, aku beranjak ke halaman belakang untuk

menghampiri Charlotte.

Sosok itu sedang bertelungkup ria di dekat ayunan satu dudukan dan terlihat

serius dengan bukunya. Dia mengemut lollipop yang warnanya sudah mulai

memudar dalam diam. Dari beranda belakang, aku mengamatinya dengan

senyum. Melihat Charlotte belajar dengan begitu serius disana, membuatku

tertarik untuk menghampirinya.

“Hei…”sapaku padanya.

Charlotte mengangkat wajah dan antusias melihatku. Dia langsung terduduk

begitu aku ada di hadapannya, “Datang lagi?...” Charlotte menyahut dengan lucu.

352 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Iya… Memangnya tidak boleh?.” Aku bertanya balik. Barulah kemudian

melihat buku-buku yang ada di sisinya. Ensiklopedia bahasa Jerman, musik,

sejarah benua Amerika…. Satu yang dapat kupikirkan, Wow…?. Anak ini

berumur 10 tahun… Apa dia serius?.

Sebelum pandangan takjub itu tertangkap Charlotte, aku berpaling padanya,

mengajaknya mengobrol.

“Apa yang baru darimu hari ini?.” Aku membuka obrolan dengan sebuah

kalimat yang rasanya cocok diutarakan kepada anak kecil.

“Hmm…” Ekspresi Charlotte serentak berpikir. “Ensiklopedi baru, rumah

baru, pekerjaan baru untuk ibu : bankir… Apalagi, ya…?...”

Sementara anak itu berpikir, aku memandanginya dalam diam sambil

memandangi wajah imut itu.

“…Oh, ya!. Calon ayah baru!.” Dan dia mengakhiri sesi berpikirnya.

Mendengar tiga kata terakhir, aku mengerenyit, setengah geli. „Calon-ayah-

baru‟… Rasanya bagi seorang Whitney, itu tidak akan mungkin terjadi….

“Memangnya siapa calon ayah barumu?.” Entah kenapa kalimat frontal itulah

yang aku utarakan.

Tapi, Charlotte senyam senyum sendiri memandangiku. Dia diam dengan mata

yang tetap memandangiku dan tak lama kemudian, jari telunjuk kecilnya

menunjukku. “Kau..”

Oh.. Kenapa dia bisa berpikir seperti itu?. Whitney bercerita sesuatu

kah?..Aku membatin sendiri terhadap kemungkinan yang terlalu dini itu. Yang

benar saja?, aku baru mengenal mereka kemarin.. dan Charlotte sudah berkata

353 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
seperti itu. Atau yah…mungkin ini hanya karena faktor Charlotte yang

mengidolakanku…

Membalasnya, aku mengambil jari telunjuknya dan menyelipkannya di

ketiakku, bermaksud memindahkan topik dari masalah kehidupan pribadi ke

dalam canda yang mengasyikan bersama gadis kecil ini.

Charlotte mendelik jijik melihatnya, “Iiuuhh….” Dia langsung menarik jari

telunjuknya dari tanganku dan mengelapnya dengan bajunya.

Melihat reaksinya, aku tertawa. “Bagaimana rasanya?.”tanyaku setengah

tergelak.

Charlotte memajukan bibirnya, tanda ngambek. “Hm…jorook…”keluhnya

kemudian. Tapi ekspresinya berubah tersenyum lagi. Kali ini, senyuman jahil

yang ditampilkannya, “Tapi itu tidak akan membuatku menjauhkanmu dari ibu…”

Oh…dia masih saja keras kepala dengan ucapannya yang satu itu, rupanya.

“Hei..”

“Hmm?.” Charlotte memasukan lollipop yang sudah hampir habis itu ke

mulutnya lagi.

“Kau mau kalau kita jalan-jalan lagi?.”

Charlotte masih menyimpan lollipop itu di mulutnya. Sampai akhirnya, ketika

aku mengatakan tempat yang akan kami tuju, dia melepas lolipopnya yang tinggal

tangkai itu dan melemparnya ke belakang. Gadis kecil itu berjalan ke dalam,

menghampiri ibunya, bermaksud meminta izin.

“Ibu!!. Boleh aku ke sekolah?!.”teriak Charlotte ke dalam rumah.

354 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“NEVER WITHOUT REASON.”

-Amber-

1 JUNI 2015…

Amber Lavigne @AmberLavigne 30 Mei

Oh, bagus sekali… Aku perlu membenarkan jalan pikiran seseorang,

sepertinya… Tapi, #FoxTroops, sambut aku! :D

Reply Retweet Delete Favorite

Amber Lavigne @AmberLavigne 31 Mei

Hari kedua @PrinceRupert #FoxTroops. Ada satu orang baru. Evan

Pict: Instagram@AmberLavigneIG @EvanTIGOfficiall

Reply Retweet Delete Favorite

Amber Lavigne @AmberLavigne 6h

#FoxTroops Persiapan nostalgia @DarrenW01 @FredyChamp @NickButler

#LatePostPict: Instagram@AmberLavigneIG

Reply Retweet Delete Favorite

Amber Lavigne @AmberLavigne 3h

@DarrenW01 @FredyChamp @NickButler @EvanTAgger Hari yang

melelahkan, ya kan?

Reply Retweet Delete Favorite

355 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku memandangi histori tweetku dalam diam, 3 jam setelah konser, dalam sesi

istirahat kami. Kemarin lusa aku bersikap dingin pada Chad di pembicaraan kami

yang terakhir. Rencana lagi dan lagi. Jujur saja, aku bingung dengan isi kepala

tunanganku sendiri. Apa maksudnya punya rencana akan menjodohkan Wade

dengan Whitney..?. Yah, bukannya aku bermaksud melarang Wade untuk

mengenal wanita lain selain aku.. Tapi, apakah tidak ada cara dan calon yang

lebih masuk akal?.

Kemudian, dengan pikiran itu pula, aku pulang dari Prince Rupert,

penerbangan jam 9 malam ke Los Angeles.

Sekian jam kemudian, Matt membangunkanku dari tidur di kursi pesawat

yang nyaman. Kami sudah sampai di Los Angeles. Saat aku melihat sekeliling,

semuanya sudah berjalan ke pintu keluar. Tanpa diperintah, aku berdiri dan

mengikuti yang lainnya keluar pesawat. Beda ketika keberangkatan ; di pesawat

hingga tiba pun kami isi dengan canda dan cerita. Kali ini, karena semuanya

sudah lelah, hanya diam yang tersisa.

Dengan mata yang masih setengah mengantuk, aku melangkah menuju pintu

keluar bandara sepi ini bersama yang lainnya. Dan hingga parkiran, semuanya

masih terasa senyap. Sampai kemudian, sebuah mobil – yang menjadi satu-

satunya mobil tambahan di parkiran – membuat mataku menyipit. Yang ada di

dalamnya keluar begitu melihatku memandang ke mobil itu.

“Ikut denganku?..”

Dan aku hanya bisa menuruti ajakannya dengan berjalan ke arah pria itu.

356 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Kami melewati pergantian hari dalam perjalanan menuju sebuah wisma di

pinggiran Los Angeles. Ketika tiba, Chad memesan sebuah cottage untuk kami

dan seketika, aku membuka sebuah pintu ruangan besar yang ternyata kamar, dan

memendamkan diriku di kasur empuk sana.

Memandanginya, aku bisa mendengar Chad tergelak. Karena mata dan

tubuhku yang sudah terlanjur lelah, aku hampir melayang ketika tidak

mendengar apa-apa lagi dari Chad setelah itu. Namun sedetik kemudian, sisi

kanan kasur double ini memberat. Disusul dengan belaian lembut tangan itu ke

sekitar leherku, menyibakan rambut yang tergerai menutupinya dalam posisiku

yang menelungkup.

“Maafkan aku.”bisiknya, persis di telingaku. “Aku tahu seharusnya aku

membicarakan soal rencana itu denganmu dulu.” Chad melanjutkan sambil terus

membelai leherku, lalu kepalaku.

Dan menanggapinya, aku hanya bisa diam. Mendengarkan penjelasannyalah

yang akan aku lakukan meski mata ini sudah sangat mengantuk.

“…Dan kalau Wade marah, aku yang akan menjelaskan semuanya.” Perkataan

Chad kian terdengar menjauh dari telingaku. Untuk mendengarkan kelanjutan

ucapannya dengan lebih jelas, aku berbalik jadi memandanginya. Barulah

memasang tangan kiriku ke pinggangnya dan yang satunya dibiarkan bebas begitu

saja.

“Ya sudah…” Aku memutuskan untuk menyudahi obrolan kami tentang ini.

“…Bagaimana album barumu..?..” Kubuka obrolan kami ke topik baru : album

barunya.

357 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Mendengar nada berucapku yang sudah mirip-mirip orang mabuk, Chad kembali

tergelak. Dia membelai lenganku dan kemudian kecupan hangat darinya di dahi,

disusul sebuah bisikan lembut, mengantarku kembali ke alam mimpi.

“Selamat ulang tahun, sayang…”

***

08.00 a.m…

Semburat cahaya yang terang itu memenuhi mataku. Ketika aku membuka mata

lebih lebar lagi dan melihat sekililing, malah terbentuk sebuah pertanyaan besar

dalam benakku : Dimana ini?. Aku hanya ingat kepulanganku dari Prince Rupert,

dan ucapan selamat ulang tahun dari Chad di tempat yang sama dengan ini – tapi

aku merasa gamang, itu mimpi atau bukan. Sepertinya, ucapan itu adalah

kenyataan karena sisa-sisa kejadian semalam masih menempel di kepalaku.

Kemudian, sebuah note dari Chad ditempel di atas meja kamar, membuatku

sepenuhnya sadar dan mengingat apa saja yang kami lakukan semalaman tadi.

“Aku sedang memasak sarapan untuk kita di luar.

Keluarlah setelah kau bangun dan kita akan bicara banyak hal..”

Chad

Di luar, pria itu berdiri memunggungiku dengan tangannya yang terlihat

lincah di hadapan penggorengan dan masakan yang mulai menyebarkan bau

harum. Dia diam, belum menyadari kedatanganku.

358 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Perlu bantuan?.” Aku menyapanya lebih dulu setelah berdiri bersisian

dengannya.

Chad tersenyum dan menyajikan ikan goreng buatannya. “Bantuan untuk

menghabiskan semua makanan itu..”katanya seraya menunjuk semeja makan

besar di ujung beranda belakang sana. Meja itu sudah penuh dengan makanan.

Aku sampai mengangkat alis melihatnya…

“Sejak kapan kau disini?.”tanyaku setelah selesai menyimpulkan agendaku

hari ini, disini.

“Jam 6 tadi.. Aku tidak bisa tidur semalaman. Jadi jam 5 aku siapkan tempat

untuk memasak dan makan..jam 6nya, aku mulai masak.”jawab Chad lengkap.

Sambil membantu dia membawa makanan untuk kami sarapan, aku nyaris

tertawa, atau tepatnya tergelak atas jawabannya itu. Setelah menjelaskan

semuanya dan mengucapkan selamat ulang tahun yang ke 27 untukku, aku jadi

penasaran apa saja yang dia lakukan setelah aku tertidur….

Kami memulai makan dalam diam. Hingga selesai, tak ada percakapan yang

terjadi di antara kami. Sampai kemudian, Chad membuka sebuah topik.

“Aku tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan.. Kau tahu itu, kan?..”

Oh…topik itu lagi… Dan aku melengos menjawabnya sambil mengambil kentang

goreng. “Ya.. Lalu apa alasanmu menjodohkan Wade dengan Whitney?.”tanyaku

kemudian, ikut masuk dalam topik yang dibangunnya.

“Charlotte.”jawab Chad singkat.

Mendengar satu nama itu, aku seperti teringat sesuatu. Hm…penjelasan Chad

waktu itu,.. mengenai kisahnya.

359 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“…Charlotte hanya ditemani ibunya sejak dia bayi. Terapi, belajar, bermain.

Dia hanya mengenal seorang teman sejatinya dalam melakukan kegiatan itu….”

“…mungkin Charlotte adalah orang yang tepat untuk diberi perhatian sama

olehmu, seperti penyandang disabilitas di Western Seals sana…”

“Satu-satunya alasanku melakukan ini adalah karena gadis itu.” Perkataan

Chad mengembalikanku ke percakapan kami pagi ini. Dia pun melanjutkan,

“Charlotte punya kesempatan untuk mendapat bimbingan ayah setelah 10 tahun

dia tidak merasakannya. Dan aku rasa Wade adalah pria yang cocok dan tepat

menjadi pendamping ibunya sekaligus ayah baginya.”

“Bagaimana perkembangan rencana itu?.” Aku memutuskan langsung ke inti

permasalahan : rencana itu dan perkembangannya – tidak melulu bicara soal

konsep rencana.

“Baik. Terakhir kali, Wade bersenang-senang bersama Charlotte di sebuah

sekolah dekat rumah, dan mereka terdengar baik-baik saja.” Chad menjawab dan

mengambil segelas air putih.

Tadinya aku ingin membalas dengan pertanyaan interogasi lainnya. Tapi aku

keburu teringat kata „disabilitas‟ dalam ucapan Chad tempo hari. “Mm..apa

penyakit yang diderita…Charlotte..?.”

“Kelainan jantung. Dia harus diterapi 2 kali sebulan hanya untuk menjaga

ketahanan jantungnya.”

Sedetik, aku mencoba membayangkan kehidupan Charlotte dengan orang tua

tunggal dan penyakit yang di deritanya. Tapi yang bisa aku lakukan hanyalah

tertunduk dan memegang perutku sendiri.

360 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Kita kan belum menikah, Am…” Chad menyeletuk.

Seketika aku mengangkat wajah dan mendelik memandangi ekspresi jahilnya

melihat reaksiku terhadap ucapannya tentang penyakit Charlotte. Aku pikir, apa

salahnya?. Aku hanya berdo‟a supaya anakku nanti dengan Chad terlahir sehat.

Yah, sebenarnya masih jauh juga… Tapi kan, apa yang aneh dari harapan itu?.

Sebagai protes, aku bangkit dan menjawil hidung Chad. “Ya, aku tahu!.

Makanya ayo kita ke Ontario dan beritahukan semuanya!.”

Yang jadi korban hanya membalas mendudukanku dengan cepat di atas pahanya

dan kami menikmati makanan penutup bersama.

***

7 Jam kemudian…

Judy Loew @Judy01 15h

Amber Lavigne Retweeted

@AmberLavigne Selamat ulang tahun ke 27, Ratu Rock!. Aku

mencintaimu >:D

#Amber27thBirthday @DarrenW01 @FredyChamp @NickButler

@EvanTAgger @SabioHerr @IanVolke @WadeF

Reply Retweet Delete Favorite

Amber Lavigne @AmberLavigne 7h

RT @AmberLavigne Selamat ulang tahun ke 27, Ratu Rock!. Aku

mencintaimu >:D @Judy01Terimakasih, kawan :D Aku sedang

menghabiskan hari di pinggiran Los Angeles. Mau bergabung?

Reply Retweet Delete Favorite

361 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Arist Official @Arist_True 7h

@AmberLavigne #Amber27thBirthday Semoga makin baik dalam segala

hal  Besok kau bekerja lagi, Amber! – Ian

Reply Retweet Delete Favorite

Amber Lavigne @AmberLavigne 6h

Amber Lavigne Retweeted

RT @Arist_True Ya…siap, Pak!

Reply Retweet Delete Favorite

Amber Lavigne @AmberLavigne 3h

@ChadMorrison Terimakasih makan siangnya 

#Chad#Aku

Selamat makan siang, semuanya!

Pict : Instagram @AmberLavigneIG @ChadAMIG

Reply Retweet Delete Favorite

Amber Lavigne @AmberLavigne 2h

#Lamaran #LatePost

Benda ini sudah hampir seminggu di tanganku.. <3

Pict : Instagram @AmberLavigneIG

Reply Retweet Delete Favorite

362 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Amber Lavigne @AmberLavigne 20m

Pulang. #lelah

Reply Retweet Delete Favorite

Dalam perjalanan pulang, senyumku mengembang melihat ucapan selamat ulang

tahun lainnya yang mulai bermunculan. Belum sampai jam dua siang, tapi hashtag

#Amber27thBirthday sudah menjadi trending topic di jejaring sosial Twitter.

Kemudian, datang ucapan selamat lainnya via twitter. Dari Chad, Arist, Ian –

yang bilang secara pribadi melalui sms juga– dan anggota bandku, Darren. Lalu

disambung lagi oleh Matt dan Michelle, dan ucapan lainnya dari fansku, lengkap

dengan berbagai macam karya mereka. Setelah itu, sudah, selesai. Beberapa saat

setelahnya, isi jejaring sosial ini sudah berganti topik, kembali ke kehidupan

sehari-hari.

Satu yang aku heran. Kenapa tidak ada ucapan selamat dari pria itu?.

Pikiran itulah yang menemaniku dalam obrolan sepanjang perjalanan pulang

ini.

-Chad-

Western Seals, 5 Juni 2015…

Sender : Whitney G 11.08 a.m

Receiver : Chad A.M

Aku sedang menikmati siang sambil makan es krim bersama Wade dan

Charlotte. Ini jalan-jalan ketiga kami setelah pertemuan itu. Kita mengobrol nanti

malam di telepon, Chad. Banyak yang aku temukan hari ini.

363 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku tersenyum kecil menerima pesan singkat dari Whitney di sela-sela

kunjunganku dan Amber ke Western Seals di siang ini. Kami baru tiba jam 10 tadi

dan sekarang masih asyik bermain dengan anak-anak disabilitas disini.

Teringat Charlotte dan terenyuh melihat keceriaan anak-anak ini berinteraksi

dengan Amber dan aku di aula utama, maka aku pun menepi, menghampiri Barn

di ruangannya yang – aku tahu setelah menjelajahi yayasan ini bersama Amber –

berada di sebelah barat aula utama, pintu pertama, bertuliskan „Chief Room‟.

Tok! Tok! Tok!...

Pada ketukan ketiga, ada sahutan dari dalam. “Masuk.”

Dan aku pun masuk. Yang di dalam, menyambutku dengan ikut berdiri,

barulah kami saling berjabat tangan. “Sudah selesaikah dengan

kunjungannya?.”tanya Barn sekedar basa-basi.

Aku menggeleng menjawabnya. “Belum..” “Hm…aku ingin bertanya sesuatu

padamu. Boleh?.” Aku kemukakan kalimat perizinan padanya setelah kami sama-

sama duduk.

Barn mengangguk, mempersilahkan. “Boleh saja. Apa itu?.”

“Penderita kelainan jantung ada berapa orang disini?.” Aku mengemukakan

pertanyaanku dengan lambat, supaya tak menyinggung Barn dan dia juga tidak

salah tanggap dengan nada berucapku.

Mendengar pertanyaanku, Barn meresponnya dengan mata yang langsung menuju

ke laptop. Kuduga, dia mencari data-data yang kumaksud.

“Hm…satu, Chad. Pablo. Selain autis, riwayat terakhirnya adalah lemah

jantung.” Barn menjawab pertanyaanku lengkap dengan data penderita. Pablo.

364 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Dia ditampung disini kah?, atau pulang pergi?.”tanyaku lagi, meminta

informasi lebih tentang anak bernama Pablo itu.

“Ditampung disini, sebenarnya. Tapi karena kondisinya memburuk, 2 hari lalu

dia dirujuk ke rumah sakit Barrington. Sekarang masih dirawat disana.”jawab

Barn.

“Alamat rumahnya?.” Aku bertanya lagi.

“Hm…” Barn agak tergelak mendengar keingintahuanku terhadap Pablo.

Tanpa bicara, dia mengambil sesuatu dari lemari arsipnya. Sebuah map.

Kemudian Barn memberikan benda itu padaku. “Simpan saja.”katanya pendek.

Dia menunjuk map biru, “Ini salinan daftar anak dan penyakitnya..” kemudian

menunjuk map hijau, “..dan ini data Pablo.”

Aku menerima kedua map itu seraya menyelipkan sebuah kartu ATM yang masih

baru. Menyadari kehadiran benda itu di tangannya, Barn memandangiku sekilas,

lalu ke kartu itu.

“Itu untuk mereka. Masih baru, tenang saja…” Aku menyela intuisi Barn

dalam kepalanya sendiri tentang kartu itu.

Barn tergelak menyadari maksud terselubung dalam selaanku barusan. Dia

mengangguk sekali dan menerima kartu itu sepenuhnya, “Terimakasih kalau

begitu… Kami akan pergunakan ini sebaik-baiknya.”

“Ya. Sama-sama..”

Dan aku pun pergi dari ruangan itu, bermaksud kembali ke aula – diiringi

sebuah suara telepon yang tak lama muncul di dalam ruangan Barn.

365 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Di aula, keceriaan yang tadi terasa, hilang sudah. Semua anak dan remaja

disabilitas itu terlihat berkumpul mengelilingi satu pusat. Tak ada lagi tawa,

apalagi keceriaan. Masih belum mengerti terhadap apa yang sebenarnya telah

terjadi disini, dari pintu masuk, aku mendekati kerumunan itu. Sejenak, aku

mengerenyit mendengar suara-suara itu. Tangisan. Kuletakan dua map yang

kupegang di atas panggung aula, dan membuka kerumunan itu.

Amber berada di tengah-tengah mereka dan sedang memeluk dua orang anak.

Mereka – dan yang lainnya – menangis bersama diiringi satu nama yang familiar.

“Pablo…”

Makam Pablo, 03.00 p.m…

Masih berdiri, aku hanya bisa memandangi Amber berjongkok di sisi makam

Pablo. Dia diam : tidak meraung-raung, bahkan menangis. Setelah dari Western

Seals tadi, aku, Amber, dan Barn ke rumah sakit Barrington dan ikut

menyemayamkan jenazah Pablo di kampung halamannya, Kentucky. Selepas

pemakaman, Barn kembali ke Philadelphia, sementara kami tetap disini. Yah,

Amber yang menginginkan itu, dan kebetulan aku pun memang sedang agak ingin

menjauh dari hiruk pikuk Los Angeles.

Aku memandanginya sekali lagi dan memutuskan ikut berjongkok, mengelus

tanah itu dengan pelan sambil membatin sebuah harapan. Semoga kau tenang

disana… Maaf aku terlambat, sobat kecil… Berbahagialah..

“Chad.” Sepatah kata keluar juga dari Amber setelah tiga setengah jam dia

membungkam mulutnya.

366 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Aku menoleh, “Ya?.”

“Pria kecil ini yang…membuatku berpacaran dengan Wade, dulu..”

Mendengar ucapannya, aku hanya bisa memindahkan tangan kananku dari

mengelus tanah, ke punggungnya, menabahkan. Aku tahu itu hanya sebuah

ucapan mengenang. Tidak lebih.

“…Selama ini..” Amber menarik nafasnya, dalam, dan mulai terdengar sesak,

“…aku tidak tahu dia punya riwayat lain selain autis…” Dia melanjutkan

ucapannya dengan tubuh yang mulai bergetar karena menahan tangis.

Aku mengerenyitkan dahi menanggapi ucapannya barusan. Amber tidak tahu?..

Dan pertanyaan dalam benakku itu berubah menjadi, “Barn tidak

memberitahumu?.”

Yang ditanya, hanya bisa menggeleng lemah dengan kepala yang makin

tertunduk. Tapi kemudian, terdengar suara lagi darinya. Bukan suara ucapan,

melainkan tangis.

Cepat-cepat aku mendekap tubuhnya untuk menenangkan. Tapi tubuh mungil

itu berguncang makin hebat, beradu dengan sesak nafas yang makin menjadi, dan

mata yang basah – membuatku menuntunnya berdiri dan mengajaknya segera

pergi dari makam itu. Amber butuh ketenangan.

***

9 p.m…

Saatnya istirahat. Mungkin itulah yang pantas kukatakan setelah mendengar bunyi

yang cukup nyata dari tulang-tulang renta ini. Setelah menghabiskan hari

mengitari Los Angeles sesorean tadi, aku mengantarkan Amber pulang –

367 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
disambut dengan ocehan Matt tentang keluhan kenapa ponsel Amber dan aku

sama-sama sulit dihubungi, dan disusul dengan sikap acuh Amber kepada semua

ocehan kakaknya itu – lalu kemudian, aku pulang, bersih-bersih, dan langsung

bersiap untuk tidur.

Tapi pesan singkat dari Joey di ponselku dan 3 panggilan tidak terjawab dari

Whitney, membatalkan kegiatan terakhir itu. Aku teringat dengan janji

pembicaraan kami. Sebelum itu, kubuka dulu pesan singkat dari Joey.

Sender : Joey_Labels 08.55 p.m

Receiver : Chad A.M

Hei, jangan lupa. Besok pagi ada rapat untuk tur album baru di label. Lalu

siangnya, kalian akan mempromosikan single pertama dari album ini. Eh, iya,

untuk Chad, bilang ke Amber, selamat ulang tahun. Maaf telat :D

Senyuman kecil tersungging di wajahku begitu membaca pesan dari Joey.

Tertebak sekali kalau dia mengirimkan pesan singkat ini langsung kepada Mike,

Daniel dan Wilem….

Dan...beralih ke Whitney. Sesaat kemudian, aku langsung meneleponnya

balik.

Dia mengangkat panggilanku di dering kedua. “Halo, Chad?.”

“Hm, ya… Langsung saja, apa yang mau kita bicarakan..?.” Aku bertanya

dengan suara yang kelewat lelah.

Tertawaan kecil yang jadi balasannya dari seberang sana. Pastilah keheranan yang

sedang hinggap di benaknya sekarang ini… “Ada apa, Chad?.”

368 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Untuk menetralkan suasana, aku tergelak, mengimbangi atmosfer ceria yang ia

ciptakan, “Hanya…sedikit lelah.”kataku padanya.

“Habis melakukan apa memangnya?.”tanya Whitney lagi.

“Kami mengitari Los Angeles sore tadi, dan menghabiskan siang di Kentucky.

Kerabat Amber dari yayasan amalnya meninggal dunia.” Aku menjawab dengan

lengkap, sengaja membuat obrolan kami langsung ke pokok, agar tidak

berlangsung begitu lama.

“Aku turut berduka, kalau begitu..” Suara Whitney berubah simpatik

membalas keterengan dariku. Dia menghela nafas dan diam sejenak. Dalam hati,

aku mendengus lega karena biasanya kalau sudah begini, dia akan melanjutkan

obrolan ke hal yang diperlukan saja.

“…Oh, baik… Soal tadi siang, aku bingung Chad.”

Benar. Bagus dia langsung ke inti permasalahan…

“Bingung?. Kenapa?.” Dari sini, aku sibuk memijat tanganku sendiri yang

kelelahan akibat menyetir seharian sementara mendengarkan Whitney

melanjutkan laporannya tentang kebersamaannya dengan Wade tadi siang.

“Aku merasa…– mungkin tidak pantas lagi mengatakannya, tapi semuanya

terasa makin jelas.” “Aku sudah bicarakan ini dengan Charlotte. Dia setuju-setuju

saja dan mendukungku.”

Aku menyimpulkan ucapannya barusan. Perlahan aku tersenyum dan mengubah

posisiku, jadi duduk di sisi tempat tidur. “Kalau begitu, tinggal cari waktu yang

tepat untuk membicarakan ini dengan Wade.”komentarku agak bergumam. Jujur

saja, sebagian tubuhku sudah nyaris berada di alam mimpi….

369 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Mengatakan begitu saja kalau aku menyukainya, begitu?. Yang benar saja,

Chad?...” Whitney menyemprotku di detik selanjutnya, membuat tubuhku

sepenuhnya kembali ke alam nyata.

“Ya... pilihannya adalah : kau mengatakannya sendiri – dengan terselubung,

tentunya, karena aku tahu Wade pria yang cukup peka – atau membiarkan

Charlotte mengatakannya dengan beberapa bagian yang dilebih-

lebihkan….”balasku masih berusaha menstabilkan suara ke level ramah yang

biasa.

Beberapa saat, tidak terdengar suara dari Whitney. Namun hingga aku

memutuskan membuat kopi – karena kukira pembicaraan ini akan memakan

waktu – sampai aku duduk di depan teve untuk menikmati kopi ini dengan

beberapa potong biskuit yang masih tersisa di stoples snack, belum terdengar

suara darinya juga, membuatku mengerenyit dan hampir mengira dia sudah

memutus sambungan kalau saja wanita itu tidak kembali bicara satu hal yang

membuatku memasang ekspresi menyimak.

“Tapi tadi, secara keseluruhan, obrolan kami hanya mengenai kenangan Wade

bersama tunanganmu itu.”

Dan Whitney pun melanjutkan, “Wade menceritakan seperti apa Amber

kepadanya, orang lain, keluarga, dan fans. Juga soal yayasan yang kini menjadi

ladang amalnya. Charlotte terkagum mendengar kisah tunanganmu dari Wade.

Dari sorot matanya, nada berucapnya, dan semua tentang Amber dari sudut

pandangnya, aku menyadari satu hal, Chad : Wade masih sangat mencintai

370 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Amber. Makanya aku tidak bisa melakukan apa yang kau maksud, terutama dalam

waktu dekat ini.”

Mulutku sudah akan membuka mengomentari ucapan Whitney barusan. Tapi dia

menyela lagi, “Dia juga menceritakan tentangmu dari sudut pandangnya. Yah…

intinya dia rela dan sadar diri kalau dirinya tidak lebih baik darimu…”

Ternyata dia mengakuinya juga…, batinku agak tergelak, membayangkan

bagaimana ekspresi Wade ketika menceritakan itu tadi siang kepada mantan

pacarku sendiri…

Kemudian Whitney melanjutkan. “…yang terakhir aku temukan adalah : dari

semua yang kebersamaan kami, aku rasa tidak ada gunanya rencana ini, Chad.

Aku malah merepotkanmu dengan seperti ini.”

Dahiku mengerenyit mendengar kalimat menyerah darinya. Sisi kananku

membatin, Oh, ayolah...hanya satu bulan. Tidak lama, kan?. Sementara sisi

kiriku tak berkomentar apapun di dalam sana dan hanya mendukungku

mengeluarkan satu kata bernada malas, “Kenapa?..”

“Aku rasa kau sudah tahu kenapa.”

“Ya, begini saja sekarang…” Aku berdecak gemas sebelum melanjutkan.

“…kau mulai mempunyai perasaan terhadapnya dan Charlotte pun juga

menyukainya. Aku pikir Wade sudah dewasa, Whitney. Dia tidak akan

mengambil keputusan atas sesuatu seenak jidatnya sendiri. Kau jelaskan

semuanya ; perasaanmu itu dan kejadian-kejadian setelahnya yang kau lalui

bersama Charlotte tentang Wade dari sudut pandang kalian, kemudian kau hanya

tinggal menunggu responnya. Aku yakin dia tidak hanya mempertimbangkan apa

371 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
yang dia rasakan terhadapmu. Banyak hal yang seorang Wade Feldmann dapat

pertimbangkan untuk memilih perempuan sepertimu, Whitney Gardsonn….”

Selanjutnya, kalimat „meyakinkan‟lah yang aku keluarkan, berusaha membuat

Whitney tetap berada di dalam rencana ini. Kemudian aku diam, menunggu

balasan darinya.

Di seberang sana, Whitney menghela nafas, berat – hingga aku rasa setelah ini dia

akan mulai menyesali hidupnya sendiri. Dan dia berucap sesuatu.

“Apa sesuatu yang bisa dipertimbangkan oleh seseorang yang sudah

mempunyai segalanya agar memilih seorang janda beranak satu, yang payah dan

tidak bisa apa-apa selain mengikuti takdir – sebagai pasangan hidupnya?.”

“Dengan beberapa kebersamaan, sifat, sikap, dan keseharianlah yang akan

membuat dia memilihmu.” Aku menukas, tegas, hingga nyaris seperti ayahnya

sendiri kalau sudah berurusan soal jodoh. Dalam diam di detik selanjutnya, aku

tersenyum ; menyadari ini jugalah yang aku lakukan kepada Harry saat dia ragu

untuk memberitahukan diterimanya ia di pasukan khusus Negara Kanada pada

Whitney yang saat itu masih pacarnya. 15 tahun lalu.

“Chad…”

Dan untuk kesekian kalinya, aku menguap – secara tidak langsung itu telah

memotong ucapannya – membuatku kembali menukas, mengakhiri pembicaraan

kami tentang Wade malam ini.

“Kenapa tidak kau coba saja bertanya pada Wade tentang bagaimana

pendapatnya terhadap kedekatannya denganmu dan ketika dengan Amber?. Kau

bisa tahu apa yang sebenarnya ia rasakan dari dialog kalian itu.”

372 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Whitney melengos karena aku cukup teguh mempertahankan topik ini dan

dukunganku terhadapnya. “Haruskah?.”

“Daripada kau terus gamang dengan hal itu?.”tanyaku balik padanya.

“Yah…iya, Chad. Baiklah.”

Kemudian setelah ucapan itu, aku melepaskan ponsel dari telinga dan merebah

di sofa. Tak lama, tertidur.

-Wade-

9 hari kemudian, BigStars Records, 10 p.m…

KEBERSAMAAN kami berlanjut hingga hari ini. Ini hari kelima belas sejak aku

mengenal kedua sosok itu. Di sela-sela rutinitasku ; mengerjakan soundtrack,

kolaborasi dengan beberapa musisi lain, dan proyek album solo perdana yang

mudah-mudahan akan selesai di bulan Agustus nanti, aku menyempatkan diri

mengunjungi mereka berdua setidaknya 15 menit per 2 hari atau mengajak

mereka jalan-jalan setiap minggunya. Yah, ku akui semuanya sudah berjalan

sangat baik. Whitney tidak lagi canggung kepadaku, begitu juga sebaliknya.

Charlotte, jangan ditanya bagaimana perkembangan anak itu… Lima belas hari

bersamaku membuat gadis kecil itu pintar bermain gitar. Padahal aku hanya

mengajarkan paling tidak satu atau dua kunci gitar di sela-sela pertemuan

kami…

Dalam lima belas hari itu pula, banyak perubahan yang sudah terjadi pada

taraf hidup mereka berdua. Whitney mendapat pekerjaan sebagai konsultan

keuangan di sebuah perusahaan trading, dan Charlotte mempunyai cukup banyak

373 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
buku yang ia bisa baca, hingga aku membuatkan perpustakaan pribadi untuknya

dengan dua rak buku sedang yang terpajang di pojok kamarnya. Dan jika

mengacu pada tujuan awalku mendekati keluarga kecil itu, kurasa tujuanku untuk

membahagiakan mereka sudah tercapai.

Tiba-tiba, saat merenungi semuanya dalam senyum sambil memandangi

semua foto kami dalam laptopku, aku tersadar sesuatu : terapi Charlotte. Kegiatan

itu akan dilakukan besok dan jadi terapi pertama dalam bulan Juni ini : tanggal 15

Juni.

Kubereskan laptop dari ruang meeting label dan memutuskan untuk segera

pulang, mengakhiri hari yang diisi oleh rapat melelahkan tentang album baruku

ini dengan segera beristirahat di rumah. Besok, aku harus kosong dari jam 8

hingga jam 10, paling tidak, untuk menemani Charlotte terapi. Lagipula aku

memang ingin sekali waktu melihatnya melakukan terapi seperti waktu pertama

kali kami bertemu….

Lagu-lagu Amber menemaniku di perjalanan pulang ini. Dengan mata yang

tetap berusaha fokus menatap ke depan, aku mengangguk-angguk sesekali

meresapi irama yang ada dalam semua lagu itu. Kali ini tidak ada lagi kenangan

yang terbangkitkan ketika mendengar suara wanita itu lagi. Benar-benar biasa

saja, dan aku pun bingung sendiri akan itu. Saat kejadian Darren, aku tidak

semudah ini melupakan semuanya.

374 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Alisku mengerut sendiri memikirkannya. Tapi sedetik kemudian, tambah

mengerut karena memandangi lurus ke arah satu perempuan yang berjalan di

tempat pejalan kaki, memakai blazer hitam, dan kedinginan.

Oh…Whitney. Dan tepat setelah menyadarinya, kupercepat mobilku ke sisi

perempuan itu. Kepalaku melongok keluar, menegurnya. “Hei.”

Yang dituju malah tidak menengok sama-sekali. Hm, yah…ini sudah jam 10.

Mungkin dia mengira suaraku tadi tidak nyata atau bukan ditujukan untuknya….

Maka aku pun menegurnya sekali lagi, “Whitney, butuh tumpangan?.” Dengan

suara agak keras.

Perempuan itu berbalik kepadaku. Alis matanya terangkat, bersamaan dengan

wajahnya. Dia tertegun.

Dari dalam sini, aku menghela nafas panjang memandanginya. Aku rasa dia sudah

terlalu lelah, dan jelas-jelas butuh tumpangan. Kuhentikan mobil dan turun,

menuntunnya masuk. Sejenak aku tersentak ketika memegang tangannya. Dia

demam.

Aku mengantarkannya hingga masuk ke kamar. Tubuhnya lunglai sekali.

Sepanjang perjalanan tadi kami tidak membicarakan apapun karena Whitney

langsung memalingkan wajahnya keluar jendela dan terbatuk beberapa kali,

membuatku sungkan mengajaknya bicara dan hanya bertindak : mengantarkannya

pulang hingga benar-benar aman dan nyaman.

Setelah membantunya merebah di atas kasur double itu, aku melepas

sepatunya dan menyelimutinya, barulah keluar kamar untuk mengambil kompres,

375 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
air hangat, dan obat. Saat aku kembali, posisinya sudah membelakangi pintu dan

anehnya, dengan tubuh yang bergetar.

Ragu, aku mendekatinya dan duduk di sisinya. “Hei..”

Tidak ada jawaban darinya. Hanya tangannya yang bergerak makin menutupi

tubuhnya sendiri dengan selimut.

Kuletakan kompres, air hangat, dan obat itu di meja kamar dan menyingkapkan

selimut itu. Tapi saat aku mencobanya, tangan Whitney semakin erat memegangi

benda itu, membuatku yakin dia menangis bukan hanya karena demam. Lagipula

konyol sekali…perempuan berumur 37 tahun menangis hanya karena hal

sedangkal itu..? tidak mungkin….

“Tinggalkan aku sendiri, Wade.”katanya tak lama.

Oh, kalau begitu, aku tidak akan melakukannya sampai kau memberitahu apa

yang sebenarnya terjadi… Otak kananku membatin demikian konyolnya. Dengan

dukungan dari sisi kirinya, kepalaku mempola apa yang akan aku lakukan malam

ini hingga besok hari : merawat Whitney, mengajaknya bicara, mengantar

Charlotte ke terapi, dan memberikan hadiah lagi kepada gadis itu.

Karena itu, aku diam di sisi tempat tidurnya, tidak bergerak dan memandangi

Whitney dengan penasaran, mencoba menerka apa yang kini ada di pikirannya.

“Ada apa?. Ada masalah di kantormu?.” Akhirnya, aku bertanya.

Dan Whitney menggeleng menjawabnya. Tapi dia tetap diam.

“Atau diagnosa dokter tentang Charlotte?.” Aku berlanjut ke pertanyaan

berikutnya.

376 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Wanita itu pun masih tetap menggeleng dan diam. Untuk membuat introgasi ini

tidak hanya berjalan satu arah, kedua tanganku memaksanya berbalik

menghadapku dengan lembut. Dan yang aku lihat adalah mata yang merah-

bengkak, nafas yang sesak, dan jejak tangis yang amat ketara darinya.

“Kau menyukai pria lain di kantormu, tapi ternyata dia sudah punya istri dan

anak?.” Selanjutnya, ucapan dariku lebih terkesan menebak dalam senyuman

lebar dan lebih ke canda, membuat Whitney mengulaskan senyumnya dan tertawa

kecil. Tangan lunglainya memukul lenganku, “Jangan asal bicara kau,

ya…”katanya tergelak, bercampur dengan jejak tangis itu.

“Lalu?..” Aku mengambil kompres dan meletakannya di dahi Whitney dengan

lembut sebelum melanjutkan, “Kenapa kau menangis?.”

Whitney menghela nafas dan memandangiku dengan tertegun. Lalu dia

menegakan dirinya di kepala tempat tidur beralaskan bantal. Aku tidak berucap

apa-apa dulu sebelum dia menjawab pertanyaan pamungkas itu.

“Kau tahu, seharusnya kutolak saja pertemuan kita di kafetaria rumah sakit

waktu itu.”

Oh, kalimat pertama yang dia jadikan sebagai jawaban membuat dahiku

mengerenyit. Satu yang terpikir dalam benakku : Kenapa dia berkata begitu?. Dan

untuk mengetahuinya, aku tidak membalas jawabannya dulu.

“…Wade, aku adalah orang yang sama dengan yang Chad gunakan dalam

rencananya terhadap Amber : di balik pertunangan mereka waktu itu. Mungkin

Amber atau Matt pernah menceritakannya, atau kau pernah mendengar dari

media?.”

377 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Kalimat selanjutnya membuatku semakin tidak mengerti dengan semua ini.

Rencana, Amber, Chad?. Aku memang ingat perkataan Amber waktu itu bahwa

semua kejadian di balik pertunangan mereka hanya lelucon dan nama perempuan

itu Whitney, teman Chad. Ternyata dia orangnya…?.

Saat otak kiriku mulai memberontak terhadap keterangan yang ia berikan, sisi

kanan masih berusaha sabar dengan hanya diam memandangi wanita itu dari

tempatku. Tidak sedikitpun wajahnya menyiratkan kebohongan. Apa itu artinya,

ini semua rencana Chad?.

Tapi sebelum aku bisa membalas, Whitney kembali berkata, “Semuanya sudah

diatur. Kita tidak bertemu secara kebetulan. Chad yang mengaturnya dengan

tujuan kita berdua bisa cocok, bagaimanapun caranya.”

Aku menarik nafas tepat setelah Whitney menyelesaikan keterangannya.

Kesal?, sudah pasti. Dan apakah itu artinya semua cerita Whitney tentang

kehidupannya di Alaska dan penyakit Charlotte juga bohong belaka?.

Intuisi itu membuatku memalingkan wajah darinya dan cepat memandanginya

lagi, “Kebohongan lainnya?.”tembakku setelah itu dengan nada yang agak

ditinggikan. Wajar saja kan orang kesal melakukan itu?.

Seakan tidak menghiraukan pertanyaanku, Whitney berucap hal lainnya, “Aku

sudah tidak bisa lagi melaksanakan semuanya – sesuai yang Chad perintahkan –

makanya aku memberitahumu. Aku tidak mau berbohong terlalu banyak, Wade…

Maafkan aku. Aku sangat berterimakasih untuk semuanya. Aku berjanji akan

mengganti semua yang sudah kau berikan.”

378 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Ini bukan sekedar soal uang!.” Aku memotong dengan agak emosi. “Pernah

dengar kepercayaan lebih penting dari uang kertas hijau yang membutakan itu?.”

Dan tanpa menunggu balasannya, aku beranjak. Seketika itu juga, dalam

pikiranku berkecamuk banyak hal : kebersamaan kami bertiga, semua hadiah-

hadiah itu, senyum itu, perkataan manis dan sok tegar itu, sudah terlanjur

membekas dalam kepalaku. Semuanya menyatu, bercampur dengan namaku dari

suara itu dan sebuah pernyataan yang mencengangkan tapi nyatanya tidak bisa

membuatku berhenti melangkah keluar.

“Aku mencintaimu, Wade. Maaf.” Terdengar terisak, namun aku tetap

melangkah keluar.

Di luar, seberkas cahaya bergerak-gerak di kaca mobilku. Aku mengangkat

wajah yang masih tertekuk ini ke sumber cahaya dan mengulaskan senyum ke

sosok itu : Charlotte dengan senternya. Tak lama, dia mengacungkan sebuah

kertas gambar A5.

Jangan lupa. Aku terapi besok, yaa.

Temani, Ok?

Hanya karena tidak mau mengecewakan wajah kecil yang sudah terlanjur aku

sayangi seperti anakku sendiri itu, aku mengangguk sambil kembali

menyunggingkan senyum yang lebih lebar. Kuacungkan ibu jariku padanya dan

segera pergi dari sana : dari rumah yang sudah pasti dibelikan atau disewa oleh

seorang Chad Adams Morrison yang sok tahu itu.

***

379 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
08.00 a.m…

Aku tengah dalam perjalanan untuk menemani Charlotte terapi hari ini. Meski

masih kesal kepada mereka soal keterangan Whitney semalam, aku hanya ingin

tahu soal Charlotte sakit lemah jantung itu benar atau tidak.. Makanya aku

menepati janjiku pada gadis itu dengan datang ke rumahnya pagi ini.

Saat nyaris tiba di depan rumahnya, aku mengulaskan senyum dari mobil

karena Charlotte sudah ada di depan dan aku yakin dia bisa melihat apapun

ekspresiku di dalam mobil. Kepalsuanlah yang terjadi sekarang ini….

Ketika benar-benar berhenti, aku turun dan menyapanya, “Sudah siap untuk

terapi hari ini?.”

Gadis kecil itu mengangguk cepat dan semangat. “Ya. Tapi sayang, hari ini ibuku

tidak bisa ikut. Dia sakit dan sedang tidur di kamarnya.” Ekspresinya memuram

teringat Whitney yang mungkin saja sedikit tersinggung dengan kata-kataku

semalam. Wanita itu pasti tidak keluar kamar semalaman tadi.

“…ibu tidak keluar semalaman tadi. Aku sungguh khawatir, Wade.” Benar…

Dahiku mengerut melihat ekspresi muramnya ketika menceritakan Whitney.

Hh…paling-paling dia mengurung diri dan sedang bermain sesuatu di dalam

kamarnya… Otak kiriku membatin tidak peduli. Tapi tidak membuatku berubah

jadi mengacuhkan gadis ini dengan hanya tersenyum dan membawanya masuk ke

mobil.

380 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Kami tiba di rumah sakit. Seturunnya Charlotte dari mobil, dia menggandeng

tanganku hingga di depan ruangan Dr. Gerard – atau begitulah yang dia

maksud…. Aku mulai curiga jika dokter itu juga bukan Dr. Gerard namanya….

Di tengah pikiran itu, kami masuk. Seorang perawat menyambutku dengan

senyum dan langsung berjongkok pada Charlotte, “Terapi pertama di bulan

ini?.”tanya perawat itu ramah.

Charlotte mengangguk membalasnya. Dia dibawa ke ruangan periksa sementara

aku mengikutinya dari belakang.

Ketika tiba di sana, seorang dokter menyambut kami. Sejenak, aku melirik jas

yang dipakainya. Disana tertulis nama yang sama, membuatku menghela nafas,

bukan kebohongan…

“Oh, halo, sayang… Mari duduk di atas tempat tidur itu. Kita mulai sesi

pertama.”kata Dr. Gerard ramah. Tapi saat kupandangi Charlotte dari ujung

ruangan periksa ini, wajahnya terlihat agak panik, berusaha menenangkan diri

sendiri. Melihatnya, aku mengerenyit. Sesakit itukah?.

Aku mendekati Charlotte untuk melihat proses terapi sesi pertama itu lebih

jelas. Dr. Gerard mengambil sepasang sarung tangan dan memakainya. Tak lama

kemudian, dia mengambil sebuah infusan aneh yang tidak aku mengerti apa

fungsinya.

Semenit, dua menit, aku perhatikan sesi pertama itu hingga selesai

sepenuhnya. Dan yang Charlotte lakukan selama terapi sesi pertama adalah terus

memegangi tanganku sementara tangannya sendiri mulai terasa berkeringat. Lalu

ketika berlanjut ke sesi kedua – yang katanya ini adalah terapi sesi terakhir dalam

381 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
pertemuan kali ini – Charlotte berbaring di tempat tidur. Ketika Dr. Gerard

mengeluarkan sebuah obat bius lokal, alisku mengangkat, ragu.

“Apakah perlu memakai obat itu?.”tanyaku begitu saja. Entah boleh bicara

atau tidak dalam sebuah sesi terapi… Biarkan sajalah….

“Ya.. Kecuali kalau anda mau anak ini kesakitan ketika aku melakukan

operasi kecil untuk jantungnya…”jawab Dr. Gerard agak tergelak. Dia

melanjutkan kegiatannya sementara aku berpindah fokus dari Dr. Gerard ke

Charlotte. Gadis kecil ini memandang plafon ruang praktek yang putih dengan

menerawang, seakan sedang membatin, kapan saja aku bisa pergi, ya kan?.

Menyadari hal yang sama dalam ekspresi Charlotte, aku jadi bersimpatik padanya.

Tak mau banyak teringat ibunya, aku mengelus kepala Charlotte dengan lembut,

membuat matanya memejam dalam diam yang sama sekali tidak menjengahkan.

Daniels FoodCourt, 10.00 a.m…

Sepanjang terapi yang baru selesai jam 9 tadi, pandanganku sedikit berubah

terhadap kedekatan kami selama ini yang baru saja hancur oleh keterangan

Whitney semalam. Setidaknya Charlotte masih sepenuhnya berkata jujur

kepadaku dalam cerita-ceritanya dan itu bagus.

Sebelum aku kembali ke rutinitasku, kami menyempatkan diri untuk sekedar

mengemil dan mengobrol sesuatu. Kurasa sekaranglah saatnya bertanya pada

Charlotte tentang keterlibatannya di rencana Chad itu. Aku hanya berharap satu

hal sebenarnya : jangan sampai dia berbohong atau tersinggung….

382 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Setelah makanan datang ke meja kami yang berada di sudut restoran ini, aku

mempersilahkan Charlotte makan terlebih dulu sementara aku meminum

cappucinnoku. Kupandangi dia dengan mengamati, lega tidak menangkap

kegugupan dari wajah itu dan mengangkat wajah ketika dia menegurku.

“Wade?.”

“Ya?”

“Maafkan kami.” Wajah Charlotte berubah muram.

Alisku mengerut mendengar kalimat itu. Dari hadapanku, ia menyedot

milkshakenya dan menghentikan makan, sepenuhnya terfokus padaku. Sejenak,

aku bisa melihat jejak ketegasan Whitney pada anak itu.

“Setelah ini kami akan kembali ke Alaska. Siang ini.” Charlotte melanjutkan.

“Dan soal ibu, dia memang sedang sakit. Tapi di rumah, semuanya sudah

terbungkus rapi : koper, tas, dan semua perabotan rumah tangga dari Chad juga

sudah dibersihkan, ditutupi dengan kain putih. Tiga hal yang harus kau tahu: kami

hanya disuruh, ibu akan kembali ke pekerjaannya di Alaska sana, dan aku benar-

benar sakit. Kami tidak bermaksud memanfaatkanmu. Aku mendengar semua

perkataanmu kepada ibu semalam dan jujur saja, aku sedikit tersinggung.”

Beberapa detik setelah itu, hening. Aku tertegun mendengar semua keterangan

yang keluar dari Charlotte barusan : rinci, jujur, berani, dan tegas. Saat aku

mencoba menatapnya lagi, gadis itu telah melemparkan pandangan keluar. Tapi

tak lama kemudian, dia berdiri dan beranjak, meninggalkanku dan makanannya

yang belum habis itu tanpa sepatah kata pun.

383 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Memandanginya keluar restoran ini, aku baru mengikutinya setelah dia keluar.

Di luar, tanpa berkata apapun, aku cepat meraih tangannya dan membawanya

masuk ke mobil. Satu yang kusimpulkan dari pertemuan dingin kami hari ini :

masa bodoh dengan rencana Chad. Aku harus meminta maaf kepada Whitney.

Bahkan mungkin, dia berhak menerima sesuatu yang lebih dariku.

Charlotte meninggalkan kami berdua di ruang makan. Dari hadapanku,

Whitney berdiri memunggungiku. Dia sedang memasak dan terlihat belum

menyadari kehadiranku di belakangnya. Tidak berusaha mengusiknya, aku hanya

diam, memadangi dan mencermati gesturnya. Seketika aku tertegun, tepat setelah

menyadari satu hal.

Akhirnya aku memberanikan diri mendekati wanita itu. Dia berbalik dan

seketika menjatuhkan pandangannya ke bawah, tidak memandangku sama sekali.

“Terimakasih telah menemani Charlotte terapi.”katanya datar.

“Ya, sama-sama..” Aku mengikutinya, berniat membaur dan mengembalikan

kami ke masa kemarin, saat semuanya masih baik-baik saja.

Tapi ketika Whitney hendak mencuci sayuran yang dibawanya, dia berbalik

menghadapku, “Belum puas kau membuatku merasa bersalah?–”

“Aku justru ingin minta maaf. Tak masalah dengan semua itu. Tinggallah

disini dan tetap seperti kemarin.” Aku memotong ucapannya, membuat dia

mengerenyit heran. Tapi tetap berlalu dariku, kembali berbalik dan mencuci

sayurannya.

384 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Kusejajarkan diri dengannya dan berusaha membuat Whitney merubah pikirannya

untuk tetap kembali ke Alaska, “Kalian bisa tinggal, kan?.”

Membalasnya, Whitney menghela nafas. Setelah menyelesaikan sayurannya,

barulah dia berbalik menghadapku. “Tidak. Tiket pesawat sudah dipesan dengan

penerbangan jam 2 dari sini. Tempat kerja lamaku juga sudah membuka diri untuk

menerimaku kembali.”katanya, teguh pada rencananya hari ini.

Ketika dia berlalu dari hadapanku untuk melanjutkan kegiatan memasaknya :

memotong sayuran-sayuran itu – aku menyahut, “Semuanya bisa dibatalkan.”

Whitney tertawa sinis mendengar sahutanku itu. Masih memotong sayuran yang

ada di hadapannya, dia membalas, “Tidak bisa. Kalau aku membatalkan semua

itu, tidak konsekuen namanya. Lagipula, tidak ada alasan bagiku dan Charlotte

untuk tinggal.”

Sesuatu dalam benakku tersinggung saat mendengar kalimat terakhir darinya.

Tapi sebelum sempat aku membalas, Whitney sudah melanjutkan ucapannya.

“Kami ini cuma pembohong bagimu. Pergi adalah jalan satu-satunya. Bagus,

kan, kau bisa kembali ke dunia musikmu itu tanpa harus rutin mengunjungi

perempuan tua dengan 1 anak ini.” “Kami tetap akan kembali ke Alaska, Chad

akan menjemput kami untuk ke bandara di jam setengah dua siang nanti.”

Hm… Sepertinya memang tidak ada yang bisa menahannya pergi… Ya

sudahlah..

Aku berbalik menghadap wanita itu. Tapi saat kembali memandanginya, aku

terpikir satu hal : yang mungkin bisa menahannya untuk pergi.

“Tunggu disini.”

385 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
***

10.15 a.m…

Tlit! Tlit! Tlit!

Ponselku berdering tepat ketika aku membelokkan mobil ke sebuah mall.

Setelah menerima karcis parkir, aku mengangkat panggilan itu : dari Eddie,

manajer baruku di BigStars Records.

“Halo?.”

“Wade? Dimana kau?. Ingat, kan ada agenda talkshow jam setengah sebelas

siang ini?. Lalu rapat album barumu dengan Sheeran satu setengah jam

setelahnya?.” Eddie langsung menyemprotku begitu saja. Perkataannya barusan

membuatku yang sudah masuk ke parkiran mobil menepuk dahiku sendiri. Ah,

sial, aku lupa…

“Hei?!. Kau mendengarkanku bicara atau tidak?!.” Di seberang sana Eddie

menyahut lagi, agak berteriak hingga membuatku menjauhkan ponsel dari telinga.

“Sekarang kau dimana?.”

Aku menarik nafas mendengar pertanyaan bernada menusuk itu, barulah

menjawab. “Mall.”

“Mall?!. Untuk apa –”

Sebelum dia mengomel lagi, aku cepat memotong ucapannya, “Ya, Eddie!,

ya!. Aku akan kesana… Tunggu!.”

“Cepat. Acara dimulai lima belas menit lagi. Di NDC Network.”

Tanpa bicara, aku menutup sambungan dan pergi dari tempat ini. Sebagian diriku

membatin, kerja dulu, Wade… Yah, setidaknya masih ada orang yang membuatku

386 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
sadar diri siapa aku sekarang ini setelah akhir-akhir ini berlaku sangat santai

terhadap karirku sendiri….

Tiga jam berlalu dan aku sudah menyelesaikan semua agenda hari ini.

Sekarang, tinggal menyelesaikan urusanku. Dengan mengebut, aku menyetir

mobilku ke sebuah mall di sekitaran kantor BigStars Records, memutuskan untuk

membelinya disana saja.

Saat masuk, kulihat jam. 1 lewat 15 siang. Tanpa basa basi lagi, tanpa

menghiraukan juga semua pasang mata yang tertarik memandangiku dari

sekeliling, bahkan ada yang berlari meminta tanda tangan, aku kabur dari mereka

semua dan langsung menuju sebuah toko untuk membeli apa yang kumaksud.

Sebuah tekad muncul dalam benakku : dia harus tetap tinggal!.

Hal yang sama kulakukan ketika kembali ke rumah Whitney untuk langsung

mencoba kembali permohonan tinggal yang sempat dibantah olehnya. Tapi laju

mobilku yang semula memelan ketika berbelok di belokan terakhir menuju rumah

wanita itu, langsung dipercepat karena Chad dan mobilnya sudah ada disana dan

Whitney serta Charlotte sudah akan masuk ke mobil pria itu untuk diantar ke

bandara.

Tak lama, aku mendengus memandangi depan sana. Dia sudah pergi. Chad

sudah menjalankan mobilnya ke rute bandara. Laju mobilku pun memelan.

Namun ketika kupandangi lagi benda itu, tekad itu kembali menguat. Kalau begitu

apalagi yang harus aku lakukan selain mengejarnya?. Ya.

387 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Maka kulakukan itu. Kutambah kecepatan hingga 80 km/jam karena mobil

Chad sudah hilang di belokan satunya. Ketika aku melewati belokan itu, mobilnya

masih 500 meter di depan. Dekaat… Otak kananku membatin positif, membuatku

tersenyum dan memancu mobil ini makin cepat.

Saat aku tiba di depan mereka, suara rem berdecit adalah satu-satunya hal

yang menyadarkanku bahwa aku telah mengebut. Tak mau memikirkan itu, aku

keluar dari mobil sambil membawa benda itu. Langsung ke sisinya.

Whitney membuka kaca mobil ketika melihatku. Sekilas, aku dapat melihat

sorot keheranan darinya. Tapi sebelum dia sempat berkata, buru-buru aku

menyodorkan benda itu : sebuah cincin yang tidak tahu pas atau tidak di jari

manis kirinya – ke hadapannya dan berkata. “Tinggallah. Kumohon.”

Dan sebuah jawaban keluar darinya, membuat sepi semua yang ada di

sekeliling kami.

-Amber-

TADI itu kedua kalinya aku ke rumah Pablo. Di masa rehatku untuk mulai tur

besok, aku mengunjungi keluarganya yang masih berkabung di Kentucky sana

dan baru pulang pukul 6. Saat ini aku sudah tiba di depan rumah, memarkirkan

mobil, dan keluar, untuk langsung masuk dan beristirahat.

Dengan baju serba hitam yang sudah mulai apek ini – karena aku pergi sejak

tadi pagi – aku merebah sejenak di sofa begitu tiba di dalam, mencoba mengingat

semua ucapan-ucapan manis Pablo yang seringkali membuatku tersenyum.

388 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Seharian tadi, di rumah Pablo, aku bercengkrama dengan keluarganya : dari

topik kehidupan Pablo sebelum didiagnosis menderita lemah jantung, autismenya

dan perasaan keluarga, hingga hari-hari terakhir Pablo. Jujur saja, ketika

mendengar dan meresapi semua itu, aku jadi semakin tidak percaya bocah pintar

nan lugu itu sudah pergi untuk selamanya.

Di tengah pikiran mendung itu, aku tertegun dan membuka mata. Tapi sejurus

kemudian, sebuah teriakan puas dari kamar Matt membuatku beranjak ke sumber

suara.

“Akhirnya!!....” “Haha! Wade!”

Aku mengerenyit memandangi Matt dari pintu kamarnya. “Ada apa, Matt?.”

Yang ditanya langsung kikuk, “Tidak ada apa-apa… Hanya…” Matt menutup

laptopnya langsung tanpa dimatikan dan dia berbalik padaku, “…terjebak

euphoria.”

“Euphoria apa?.” Aku bertanya, dengan nada antusias yang agak dilebih-

lebihkan.

Pandangan Matt meragu sesaat. Dia berdiri perlahan-lahan dan mengajakku

menjauh dari kamarnya, ke ruang makan, sambil berkata, “Kau belum makan,

kan?. Mau aku masakkan, atau makan di luar?.”

Hh… Aku mendengus mendengar perkataan itu. Akhirnya kuikuti saja topik

pembicaraan yang dia buat tanpa berusaha peduli dengan penyebab Matt

mengalami „euphoria‟ itu.

“Masakanmu, boleh?.”pintaku padanya.

389 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Oh, tentu. Tunggu sebentar.” Matt mendudukanku di kursi makan dan dia

segera berbalik ke meja dapur untuk memasakkan sesuatu. Sejenak, aku bisa

mendengar dia mendengus sangat pelan. Aku pun tersenyum, menyadari kalau

sudah begitu, pasti ada yang dia sembunyikan dan pasti setelah dengusan itu, Matt

akan lengah. Ini saatnya aku bertanya padanya.

Dan saat dia mengambil telur dari kulkas, aku mengutarakan pertanyaan yang

bakal membuat Matt mengatakan semuanya.

“Jadi, ada apa?.”

Dia menyeringai sembari memecahkan telur yang dipegangnya, “Wade…

sekarang dia sudah bertunangan.”

Oke, bagus. Dia menjawabnya… Aku rasa ini berhubungan dengan rencana yang

Chad lakukan pada Wade. Jadi rencana itu berhasil?.

“Dengan siapa?.” Aku melanjutkan obrolan kami.

“Dengan Whitney. Orang yang sama dengan yang Chad pakai di rencananya

dulu… Kuakui,…” Suara kocokan telur mengiringi obrolan kami. “…aku sama

sekali tidak menyesal sudah membantu Chad dalam rencananya itu. Sukses besar,

Am…”

Tertawaan mengakhiri penjelasan kelewat jujur dari Matt barusan. Dia sendiri

tidak menyadari bahwa aku sebenarnya belum mengetahui kalau dia berkontribusi

juga dalam rencana Chad. Tapi biarlah… Malah bagus, kurasa.

Dua detik berikutnya, tepat ketika Matt mulai menggorengkan telur untukku,

dia menyadari ucapannya. Refleks, dari mulutnya keluar sebuah kata. “Uups…”

390 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Sepertinya aku harus bilang pada Chad kalau kau yang jadi target rencana

berikutnya.”ucapku dalam senyuman lebar.

Menanggapinya, Matt berbalik padaku sambil menunggu telur itu matang, “Aku?.

Kenapa harus aku?. Dan…kau sudah tahu, ya?. Kapan Chad memberitahumu

tentang itu?.”

Aku mengangkat alis mendengar nada bertanyanya yang kelewat bodoh untuk

diutarakan. Meski begitu, aku menjawab juga pertanyaan-bercampur dugaannya

barusan, “Ya karena kau belum menikah, lah… Apalagi?. Dua rencana Chad

sukses besar. Apa salahnya mencoba itu padamu?.” Ucapanku tertahan karena

Matt sudah berbalik untuk menyajikan telurku. Saat dia menghidangkannya di

meja makan, barulah aku melanjutkan, “Iya, aku sudah tahu. Saat Chad

menculikku sepulang FoxTroops waktu itu.”

“Bertepatan dengan ulang tahunmu?.”tanya Matt dengan ekspresi yang seolah

mengatakan : oh, bagus sekali, Chad….

“Ya.” Karena takut Matt buru-buru memindahkan topik, aku cepat

menyambung ucapanku, “Jadi, bagaimana?. Kalau aku setuju-setuju saja…. Kau

jadi klien ketiga Chad setelah aku dan Wade…”

Heran karena aku masih ngotot dengan topik kemungkinan perjodohan dilakukan

terhadap Matt, alisnya terangkat, “Tidak mau. Cari saja klien lain..”

“Yakin tidak mau?.” Aku menggodanya setelah menyuapkan sepotong telur.

“Buat apa aku terlibat dalam hal semacam itu..?.”balas Matt masih sungkan.

Aku sangat tahu isi kepalanya sekarang ini hanyalah soal aku aku dan aku.

Rasanya dia sudah sangat kebal dengan urusan personalnya sendiri…. Hh, Matt…

391 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Kemudian dia menyambung bagiannya lagi, “Kenapa kita jadi melenceng dari

topik?.”

“Melenceng apa?. Sejak awal kita bicara soal rencana Chad, dan ada kau di

dalamnya. Iya, kan?.” Aku menimpali ucapan tidak terimanya itu dengan santai

dan mengulum senyum. Aku teringat, kalimat semacam ini pernah diutarakan oleh

Matt, dan berakhir dengan aku yang kabur dari rumah untuk menenangkan diri.

Haha…senjata makan tuan :p

Mendengar timpalanku terhadap ucapannya, Matt berdiri dan meremas bahuku

dengan lembut, “Adikku ini… Pintar ya sekarang….” Dia mengeluarkan ucapan

yang dulu sering membuatku tersenyum lebar walaupun seringkali itu hanya

menyindir…

“Peralihan topik lagi…” Aku menebak setelah kembali menyuapkan potongan

telurku yang kesekian.

“Oh, ya…ngomong-ngomong soal pernikahanmu dan Chad, aku punya usul..

Bagaimana kalau kalian adakan itu tanggal 1 Juni 2016?. Belum menentukan soal

itu, kan?.”ucap Matt dalam senyum palsunya. Aku melengos mendengar

pergantian topik yang sangat amat ketara itu. Yah…menurut saja dulu, Amber,

yaa… Otak kananku membatin pasrah dengan topik barunya kali ini.

“Ya, belum.” Aku agak menoleh padanya, “Kenapa kau memilih tanggal

itu?.”tanyaku, berusaha antusias dengan topiknya.

“Karena sehari setelahnya adalah ulang tahunmu.”jawab Matt cepat.

Senyuman lega sangat terlihat darinya ketika aku menurut kepada peralihan

topiknya ini.

392 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Dan?.” Aku yakin pasti ada alasan lain lagi selain alasan yang terlalu

kekanak-kanakan itu….

“Kau memulai tur album kelimamu besok dan sudah selesai pada tanggal 21

bulan Mei tahun depan. Aku bisa memberikanmu libur untuk persiapan

pernikahan itu bersama Chad..” Matt melanjutkan, mengucapkan alasan logisnya

padaku. “Bagaimana?.” Dia meminta konfirmasi.

Dan aku mengangguk menjawabnya. “Boleh saja… Tapi ada satu syarat.”

Aku akan membuat Matt cuti dulu selama tiga bulan untuk mencari pasangannya.

Tugasnya akan digantikan oleh Michelle, terhitung dari hari pernikahanku. Jika

dia tidak menyetujui syarat ini, maka pernikahanku tidak akan dilaksanakan dan

aku lebih memilih menjadi tunangan Chad seumur hidupku. Nekat?, ya… Kalau

tidak begitu, Matt tidak akan terima, masalahnya….

Ketika Matt penasaran akan syaratnya dan aku menyebutkan hal yang sama,

dia memandangiku dengan tatapan : kau gila atau apa??. Tapi aku tidak peduli.

Hanya diamlah yang kulakukan sampai dia menyetujui atau paling tidak,

menjawab syaratku itu.

“Yah…baiklah…” Akhirnya Matt menjawab dengan kalimat yang sangat aku

inginkan. Inilah yang namanya sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui… Wade,

Whitney, aku, Chad, dan Matt mendapat pasangan dalam satu alur kerja yang

nyaris sama. Aku tersenyum puas menyadari itu.

393 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“SPECTA MARRIAGE”

-Chad-

Paris, 1 Juni 2016, 5 p.m…

Undangan Pernikahan

Chad Adams Morrison

&

Amber Edinson Lavigne

Dengan segala hormat, kami beserta keluarga, mengundang anda semua untuk

menghadiri pernikahan kami yang akan dilaksanakan pada:

Rabu, 1 Juni 2016

Kastil Chantau de la Napole, Paris, Perancis

07.00 p.m s.d 02.00 a.m

Yang berbahagia,

Chad & Amber

KUPANDANGI undangan pernikahanku sendiri dengan senyum penuh arti. Dua

jam lagi akad nikah akan dimulai dan disaksikan oleh 50 tamu undangan dari

keluarga dan kerabat dekat kami.

Undangan ini milik Mike. Dia sendiri sedang berada di ruangan lain,

menemani Winley merias Amber sambil yah…mungkin sedikit menggoda wanita

394 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
itu tentang kehidupan kami setelah ini : bertanya tentang bulan madu, anak, dan

lain sebagainya itu….

Aku menghela nafas sendiri memikirkannya. Akan secepat itukah Amber

memintanya?. Aku rasa tidak… Karena setelah ini juga kan aku akan sibuk

dengan tur mini album, lalu Amber dengan album barunya lagi, mungkin saja…

Kami tidak akan sering bertemu setelah bulan madu nanti, di Portofino, Italia.

Amber tidak tahu soal dimana kami akan menghabiskan hari-hari awal

pernikahan. Jadi yang satu ini adalah kejutan tersendiri untuknya.

Saat masa-masa persiapan pernikahan : tanggal 21 Mei hingga sekarang, kami

melakukan semuanya berdua dan tanpa jeda pekerjaan dari label masing-masing.

Amber dibebaskan setelah tur, dan aku berada dalam masa rehat sebelum tur mini

albumku yang baru akan dimulai tanggal 15 Juni 2016 ini. Atau tepatnya, dua

minggu lagi.

Dari mulai baju, daftar tamu yang akan diundang, makanan, tempat, hingga

susunan acara setelah akad nikah nanti. Kami sengaja membuat semuanya tanpa

seorang penata acara. Lebih mudah bagi kami yang sama-sama tidak suka diatur

melaksanakan semuanya. Kalau soal baju, aku dan Amber sama-sama

menyelaraskan dengan temanya : putih-hitam yang rumit. Yah, aku sendiri tidak

begitu peduli soal nama tema… Intinya, pesta malam ini harus merangkum

semuanya : dari mulai masa perkenalan hingga sekarang, yang dihiasi hal-hal

rumit soal hati, karir, teman, keluarga, sampai dengan kenangan dari masa hitam

kami masing-masing.

395 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Saat akad nikah, kami akan mengenakan busana serba putih di depan para

tamu. Sedangkan saat resepsi yang akan disekaliguskan ini, kami mengenakan

busana serba hitam, sesuai dengan sub tema : gotik.

Untuk tamu sendiri, dariku hanya mengundang : ayah, ibu, Mike, anggota

bandku, Joey, rekan dari label, teman-teman lama masa SMA: Whitney,

Charlotte, Frank, Barnes, lalu Barn – usulan dari Amber – kemudian beberapa

rekanan bisnis ayah dan Mike, Winley. Kalau dari Amber : Darren, Wade,

anggota bandnya yang sekarang, lalu Ian, rekan dari Arist, ayah-ibunya, Matt,

keluarga sang adik : Michelle, dan beberapa teman wanita terdekatnya. Soal

tempat, Amber memilih kami melaksanakan pernikahan di Paris supaya dia juga

dapat bernostalgia dengan rumah lamanya yang memang ada di sekitar sini.

Amber pernah tinggal dan bersekolah di Paris hingga dia lulus sekolah dasar.

Selama persiapan pernikahan, kami sengaja membeli sebuah flat di sekitar

tempat acara dan memilih pekerja lokal. Yah, jelaslah kami tidak mau pulang-

pergi Los Angeles-Paris hanya untuk ini….

Acara nanti malam setelah akad nikah adalah : pelemparan bunga,

pemotongan kue pernikahan, lalu berlanjut ke pesta dansa dan acara mengobrol

yang akan dilaksanakan hingga pukul 10. Lalu akan ada pesta kembang api

sekaligus perayaan ulang tahun Amber yang ke 28, kemudian berlanjut dengan

penampilan dari kedua band kami, dan setelah itu, barulah acara penutupan.

Semoga saja semuanya akan berlangsung lancar hingga selesai….

396 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Karena pikiran itulah aku menyunggingkan senyum. Hm…kurang dari dua

jam lagi Amber akan resmi menjadi milikku. Rasanya semua rancangan ini

sebanding dengan apa yang aku dapatkan.

“Tidak sabar untuk pesta nanti malam, ya?.” Suara seseorang memotong

pikiranku. Darren. Aku sampai lupa dia sudah datang bersama Wade tadi pagi….

Aku meletakan undangan itu dan menoleh pada Darren, “Setengah tidak sabar…”

Aku mengaku dengan gelak tawa. “Kau pasti juga merasakan hal yang sama

dulu..”kataku lagi, memutuskan untuk tidak dulu membahas masalah nanti malam

pada Darren dengan mengalihkan topik pada kenangan pernikahannya dengan

Amber.

“Ya..” Pria itu tergelak. “Apalagi untuk sehari setelah itu..”

Tidak mencoba membayangkan, aku hanya tersenyum menanggapinya dan

berbalik ke arah jendela, memandangi pelataran ruangan tempat Amber berada.

Kalau pembicaraan tadi diteruskan, pasti akan mengarah ke arah sana, yang mana

makin membuatku tidak sabar untuk melaksanakan akad nikah….

“Hei..” Darren menegurku, mensejajarkan dirinya denganku.

“Hm?.” Aku menyahut, tanpa menoleh.

“Jangan sampai kau mengecewakan dia. Terakhir aku melakukannya, dia

tidak bisa berdiri selama 4 hari…”

Aku mengerenyit mendengar perkataan yang disusul oleh gelak halus itu. „Tidak

bisa berdiri selama 4 hari‟..?.

“Sakit.”ucap Darren lagi. “Setelah perceraian kami, Amber sangat terpukul.

Dia tidak pulang ke rumah orangtuanya atau berkeluh kesah dengan karirnya.

397 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Amber mengasingkan diri selama 4 bulan. Bersembunyi dari semua orang,

menutup diri, dan tidak berkomunikasi sama sekali dengan dunia luar meski

dengan Matt. Yang aku tahu saat itu dari Matt, seminggu dari masa menyepinya

dia habiskan dengan tangis dan tidak tidur sama sekali. Empat bulan itu, seperti

masa-masa terkelam untuknya. Makan kacau, tidur kacau, hanya merenunglah

yang ia lakukan. Aku sendiri tidak menyangka sebesar itu rasa kehilangannya.” Di

sela-sela ucapannya tentang Amber di masa-masa setelah perceraian mereka,

Darren memandang menerawang ke tempat yang sama denganku. “Tapi jika dia

sampai merasakan hal yang sama, apalagi dengan penyebab yang sama, untuk

kedua kalinya, aku yakin yang dia lakukan akan lebih dari itu.”

Tepat setelah ucapan itu – yang membuat aku bertekad sendiri untuk setia

padanya – , Amber keluar dari ruangan, ke pelataran, dengan gaun pernikahannya,

membuatku tertegun. Begitu…cantik. Aku baru melihatnya dengan balutan

busana nan indah seperti itu.

“Tidak bisa mengalihkan pandangan, Chad?.” Darren menggodaku. Dan yang

jadi jawaban dariku adalah senyuman dan sedikit tolehan padanya karena sama

sekali tidak bisa mengalihkan pandangan dari senyuman dan gestur perempuan itu

di seberang sana.

7 p.m…

Aku mengela nafas berkali-kali, berusaha tidak gugup mengucapkan akad nikah

di depan semua saksi dan tamu. Berbalut jas, celana, sepatu, dan dasi putih, aku

melangkah dari ruang persiapan ke tempat akad nikah. Sementara Amber akan

398 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
muncul dari pintu masuk kastil bersama ayahnya, melewati karpet hitam dengan

dua pengiring pengantin berbaju putih yang memegang satu bundel bunga putih.

Akan terlihat sangat manis, pastinya..

“Sudah siap, Chad?.”tanya hakim pernikahan padaku, berbisik, tepat saat

lantunan lagu pernikahan mengalun dari Mike dan piano yang dimainkannya.

“Ya.” Aku menjawab dengan yakin tanpa memandangi hakim pernikahan,

bersiap dengan gagahnya dalam posisi yang menghadap ke semua tamu, menanti

Amber naik ke sisiku.

Tak lama kemudian, pintu kastil dibuka. Amber muncul dari sana,

menggandeng tangan ayahnya, dengan dua keponakan kecilnya yang menemani

wanita itu. Mereka berjalan ke arahku dengan senyum yang merekah kepada

semua tamu. Setelah tiba, tangan kanan Amber dioper kepadaku karena tangan

kirinya memegang bunga dari pengiring pengantin kecil itu. Lalu kemudian, akad

dimulai.

“Di malam yang berbahagia ini, kita semua akan menyaksikan penyatuan dua

anak manusia. Chad Adams Morrison, dengan Amber Lavigne. Kedua insan ini

telah melalui perjalanan yang sangat panjang untuk menemukan hati masing-

masing. Semoga Tuhan memberkahi apa yang mereka niatkan pada kehidupan

mereka sekarang, dan nanti.”

“Untuk itu, marilah kita mulai.” Hakim pernikahan mengakhiri pidato

singkatnya dan menoleh padaku. “Chad, apakah kau siap menerima dan

mengakhiri masa lajangmu dengan mempersunting Amber sebagai istrimu?.”

399 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Ya. Aku siap.” Kujawab pertanyaan standar itu dengan suara yang jelas dan

lantang.

Kemudian, hakim pernikahan menoleh pada Amber. “Amber, apakah kau siap

untuk menerima Chad sebagai suamimu yang sah dan sebenar-benarnya?.”

“Ya. Aku siap.” Amber menjawabnya dengan suara dan pandangan yang

kelewat bahagia. Ketika aku meliriknya untuk mulai melaksanakan akad, aku bisa

melihat jejak senyuman lebar itu padanya. Dia memalingkan wajah sejenak ke

bawah dan terisak. Amber menangis.

Lalu kemudian, dengan beberapa kalimat, aku dan Amber resmi menjadi

pasangan suami-istri. Di depan semua tamu, aku menggenggam tangannya erat

dan mencium keningnya sesaat. Kurasa itu cukup untuk konsumsi para tamu. Aku

tidak akan berbuat sampai sejauh itu walau sudah tidak sabar menikmati momen

berdua kami nanti…. Ada anak-anak disini, Chad…

Semua bertepuk tangan memandangi kami dengan senyum yang sama

bahagianya dan pikiran yang bermacam-macam. Terserahlah… yang jelas,

semuanya sudah terjadi, berhasil, dan sesuai yang kuharapkan. Semua yang terjadi

setelah ini, menjadi urusan kami berdua, dengan campur tangan Tuhan di

dalamnya.

-Amber-

SUDAH selesai. Penantianku akan kehadiran seorang sosok yang bisa

menggantikan Darren sudah selesai sampai disini : 1 Juni 2016. Hari ini akan

400 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
menjadi hari yang selalu kuingat, pastinya. Sekarang, tepat setelah akad nikah,

aku dan Chad menuju depan tempat akad nikah dan berbalik memunggungi para

tamu untuk pelemparan bunga. Dalam hati aku berharap Matt lah yang akan

mendapatkan bunga ini….

Dan aku memberi aba-aba pada 21 tamu lajang yang ada disini. “1…2…3!.”

Bunga dilempar. Saat aku menoleh ke belakang, benar saja, Matt yang

mendapatkan bunganya. Dia sendiri malah sepertinya tidak sadar bunga itu bakal

mendarat persis di tangannya.

Matt memandangi bunga itu dan aku bergantian. Tak lama, setelah dia

sepenuhnya sadar, Matt menyuruhku menghampirinya. “Sini kau..”

Aku menurut dalam senyum yang menurut Matt memiliki makna lain itu.

“Apa?.” Aku bertanya dengan polosnya setelah berada di sisinya.

Bukannya bicara kepadaku, Matt malah menoleh pada Chad yang masih berdiri di

tempat kami semula dan berkata, “Dansa pertama Amber harus denganku..”

Dan yang bisa aku dan Chad lakukan hanyalah mendengus mendengar ucapan

Matt.

Musik sudah diputar. Dalam lagu pertama – dan entah hingga berapa lagu –

teman dansaku adalah Matt. Dia, dengan jas putihnya, memegang bunga itu di

tangan kanan yang juga mendekap pinggangku, mengajakku berdansa dalam lagu

pernikahan ini. Sementara aku, dengan gaun yang sudah berganti, balas mendekap

Matt di pinggang, melakukan hal yang sama dengannya.

401 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Pada bagian verse pertama lagu, Matt dan aku memulai obrolan. Sudah bisa

kutebak, dia akan memulai percakapan kami hari ini dengan topiknya. Terutama

karena besok dia sudah mulai nonaktif jadi manajerku untuk 3 bulan ke depan.

“Am,…kalau setelah tiga bulan aku tidak menemukan orang yang tepat,

bagaimana?.”tanya Matt, membuka obrolan.

“Rencana Chad berjalan..”jawabku enteng, dengan kedua tangan yang

berubah mendekap lehernya.

Mendengarnya, Matt mendengus dan memandang ke arah lain sementara kami

berputar-putar. “Semudah itukah?. Dan..Michelle?... Dia sudah punya Andrew,

sedang hamil anak kedua mereka, pula… Kau yakin dia akan sanggup

menggantikanku?.” Lalu Matt menghadapkan wajahnya lagi padaku. Ada jejak

keraguan padanya atas perjanjian kami tahun lalu itu.

“Jangan kira aku belum membicarakan soal ini pada Andrew juga…”kataku

langsung, membuat Matt membungkam mulutnya dan lebih memilih terus

berputar diiringi lagu yang sudah sampai bridge itu.

Semenit, dua menit, kami menikmati dansa dalam hening. Atau tepatnya

kembali terisi ketika Matt berkata sesuatu.

“Cukup ya?... Jangan ada lagi kejadian seperti kemarin.”

Tahu apa yang Matt maksudkan : soal Darren dan perilaku kurang

mengenakannya padaku di masa lalu, aku mengesah dan membalas ucapan Matt,

“Ya..” Sejenak, aku berdecak, “..lagipula sudah bosan aku berada dalam situasi

seperti itu, Kak.. Aku yakin, Chad laki-laki yang tepat.”

402 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Ya, semoga saja…” “Kalaupun nanti…sesuatu yang sama menimpamu, aku

yakin kalian bisa bersikap lebih dewasa. Perbandingan umur yang sangat jauh

ketika kau dan Darren dengan Chad dan dirimu pasti memengaruhi pola pikir

kalian..” Matt memberikan sebuah ucapan kemungkinan untuk kehidupan baruku

bersama Chad. Kemudian, dia melanjutkan lagi, “Karena kau tahu, laki-laki setia

belum tentu terlihat seharusnya di depan mata orang-orang. Pandangan setiap

orang akan berbeda ketika Chad melakukan A, B, dan seterusnya bersama wanita

yang bukan dirimu. Kau harus selalu bersiap akan itu.”

Mendengar wejangan yang keluar dari Matt aku mengangguk-angguk

mengerti dan memilih ikut diam, mengikuti dansa kami. Hingga saat aku

memandangi Matt dalam tatapan penuh arti untuk kesekian kalinya, aku bertanya

satu hal yang membuatnya mengerenyit.

“Kau punya cinta pertama saat SMA-kah?.”

“Hm… ada.. satu.” Dia menjawab juga pertanyaanku.

“Siapa?.” Aku melanjutkan tanpa berusaha peduli lebih lagi pada jawaban

Matt barusan.

“Megan..Nicole..”jawab Matt lagi dengan ekspresi mengingatnya. “Tapi aku

sudah lama sekali tidak mengontaknya. Entah dia masih tinggal di tempat yang

dulu atau tidak..”

“Atau, begini…” Aku merubah rencana yang ada dalam kepalaku. “…

Terserah kau akan mencari dimana pasanganmu itu. Yang jelas, kalau setelah tiga

bulan kau belum mempunyai pasangan juga, aku dan Chad yang akan bertindak..”

403 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Matt tergelak mendengar nada berucapku dan topik yang sama itu. Dia

mengangguk sekali dan tersenyum, “Ya, Am.”

“Ada yang menyebut namaku?.” Sebuah suara memotong dansa kami yang

ternyata sudah tiba di akhir lagu kedua.

Aku dan Matt sama-sama menoleh ke sumber suara, mendapati Chad ada disana

dengan jas hitam maskulinnya. Sejenak, aku tertegun memandanginya dari atas

sampai bawah.

“Sepertinya mulai ada yang cemburu..” Matt berceletuk dan melepaskan

pegangan dariku, “Am, terimakasih bunganya.”

Aku mengangguk sekali dan tersenyum pada Matt, sementara dia pergi. Berlanjut

dengan Chad yang mulai mengajakku berdansa di akhir lagu kedua.

Ketika posisi kami berdua sudah sesuai, Chad mulai mengajakku berputar,

diiringi lagu ketiga. Kuduga, dia akan memulai obrolan kami dengan pendapatku

mengenai semua ini.

“Paris, kastil, putih, dan hitam..” Chad menggumam pelan seraya merapatkan

tubuhku ke tubuhnya.

Menanggapinya, aku membenamkan kepala di dadanya yang bidang itu dan

memejam, “Ya.. Semuanya berjalan lancar.” Aku membalas dalam mata yang

masih memejam. “Chad..” Dalam tarikan nafas sesaat, aku terpikir untuk

kemungkinan salah satu dari kami berdua membelot dari janji yang baru saja kami

ucapkan di depan hakim pernikahan.

“Ya?.”

“Adakah beberapa perjanjian untuk ke depannya?.”

404 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Sambil terus mengajakku berputar di lantai dansa ini, Chad tergelak halus. Tangan

satunya beranjak mengelus kepalaku dengan lembut. “Perlukah?... Kita sudah

banyak membuat perjanjian secara tidak langsung selama ini.”

Aku membuka mata sebelum melanjutkan obrolan ini, mengangkat wajah

padanya. “Aku tentu tidak mau hal yang sama terjadi pada pernikahan ini.

Minimal, yakinkanlah aku kalau kau tidak akan membuat rencanamu itu menjadi

kenyataan.”kataku tegas, namun tetap dibawah nada berucap biasa, berupa

gumaman.

“Tidak..” Chad menyingkapkan rambutku yang tergerai di dahi dan

melanjutkan ucapannya, “Jika aku sampai menyakitimu, aku akan menyerahkan

semuanya padamu. Terserah, aku akan dimaafkan atau tidak. Ketika dimaafkan,

maka aku punya kesempatan untuk memperbaikki semuanya – dan pasti aku akan

melakukan itu, namun ketika kau sama sekali tidak memaafkan aku, kita bercerai

dan aku akan menjauh sepenuhnya sampai kau tenang.” Dia memberikan sebuah

perjanjian atasnya kepadaku. Kemudian, Chad berkata lagi, “Tidak akan ada

bentakkan dan kata-kata kasar. Kalaupun ada masalah, kita harus bisa

menyelesaikannya sendiri dan tidak membawa media, apalagi keluarga.”

Semua itu adalah perjanjian darinya untuk kehidupan kami ke depan. Aku

mengangguk sekali, setuju, dan memalingkan wajah darinya, menumpukannya ke

bahu Chad dan diam sepenuhnya, menikmati dansa kami.

Tapi itu semua terpotong karena Chad berucap lagi, “Tidak adakah perjanjian

kalau kau sampai melakukan hal yang sama?.”

405 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Oh…Otak kananku membatin sesuatu, membuat dahiku berkerut heran

memandanginya, “Kau mengira aku akan tidak setia, begitu?.”

Membalas dugaan itu, Chad tergelak. “Yah…kan yang tidak setia bukan hanya

pria.. Lebih bagus nanti kita sama-sama membelot..”

Aku mendelik mendengar leluconnya barusan, “Heh?. Jangan sembarangan

bicara, Chaad..”kataku gemas. Kebiasaan asal bicaranya sejak dulu tidak pernah

hilang…. -_-

“Lah?, siapa yang sembarang bicara?.. Perselingkuhan itu bukan cuma karena

ada niat, tapi juga karena ada kesempatan. Berarti siapa saja bisa melakukannya,

kan?.” Chad berucap lagi diiringi satu kalimat yang membuatku kembali

membenamkan kepalaku ke dadanya. Diam.

“Am… Tidak ada salahnya kita membicarakan kemungkinan terburuk dari

semua ini. Sebenarnya juga sudah sepatutnya kita diragukan.. Pacaran baru satu

bulan, dan aku sudah main melamarmu hanya dengan alasan : umur, kalau tidak

sekarang kapan lagi, dan kalau aku tidak segera melakukan itu, aku takut

kehilangan perempuan sepertimu. Semuanya tidak masuk akal.. Tapi aku

memilihmu, dan juga sebaliknya. Dibalik proses yang singkat itu, kemungkinan

terburuk jelas ada.”

Suara Chad akan bayangan kegagalan keduaku, kembali memenuhi kepalaku,

membuatku memejamkan mata makin dalam karena ingin sekali dia

menghentikan obrolan kami tentang topik satu itu. Jujur saja, rasa trauma itu

masih ada.

406 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Am..” Chad memanggilku lagi, membuat aku gerah dan mendongak

padanya, segera menjawab pertanyaan pertamanya pada topik baru kami

tentangku.

“Jika ternyata aku melakukannya, aku akan berusaha melupakan orang yang

siapapun itu, dan kembali kepadamu, bagaimanapun dan seberat apapun caranya.

Setidaknya aku pernah merasakan, bahwa melupakan seseorang yang terikat

dengan kita, lebih sulit daripada melupakan seorang sampah yang membuat kita

membelot dari sebuah janji suci seperti ini.”

Chad tertegun memandangiku. Tidak ada kata darinya hingga aku kembali

memalingkan wajah dan melanjutkan dansa ini dalam diam, merenungi kalimat

yang baru saja keluar dariku. Sebagian diriku mulai membatin : salahkah aku

berucap seperti itu padanya?.

Namun sebelum aku bisa menyela ucapanku, Chad sudah mengangkat

wajahku lagi. Dia mencondongkan tubuhnya dan seketika membuat mataku

memejam.

Tak lama, sekujur tubuhku melemas menyusul perlakuannya barusan. Kami

sama-sama terdiam hingga selesai. Tapi sebelum bisa mengambil nafas lagi,

sebuah suara kembali memotong sesi dansaku. Kali ini, dari Darren. Aku dan

Chad melonggarkan dekapan dan menoleh padanya, setengah terengah.

Yang memandangi kami, membalas tatapan penasaran ini dengan malu. “Maaf…

Tadi itu mengganggu, ya..?.”kata Darren berubah kikuk.

“Tidak..” Chad yang menjawab dengan mata yang terlihat masih meremang

karena juga terpejam tadi. “Mau..berdansa dengan Amber?.”

407 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Darren mengangguk pelan. Sepertinya dia masih tidak percaya dengan apa yang

dilihatnya…. Ada bagusnya Hilton dan Sean tidak datang hari ini.. Kalau iya,

Chad tidak akan melakukan hal tadi selama itu….

Chad melepaskan tangannya dariku dan membiarkanku mulai berdansa

dengan Darren di lagu kelima. Setelah Chad lumayan menjauh, melangkah ke

kerumunan bandnya, Darren tergelak halus, celingak-celinguk, barulah kemudian

terfokus kepadaku lagi.

“Tadi itu…”

Tahu dia akan mengungkit kejadian tadi, aku memukul dadanya pelan. “Lain kali

bilang-bilang dulu kalau menghampiriku…”

Darren berdecak menanggapi ucapanku, “Bagaimana aku bisa bilang?. Kalian

berdua begitu terhayut tadi..”sanggahnya, menggodaku dengan senyuman jahilnya

itu. “Taruhan, saat pernikahan Wade nanti, sudah ada si kecil di dalam sana.”

Aku mencibir ucapannya dan mengganti topik, dariku, jadi ke Wade. Darren

bilang, „pernikahan Wade‟.. “Kapan memangnya?.” Aku mengemukakan

pikiranku.

“Bulan ini. Tanggal 10.”jawab Darren dalam senyum. “Aku sudah dapat

undangannya.”

Menanggapinya, aku hanya bisa mengangguk paham dan kembali berputar dalam

dansa kami.

Sedetik, dua detik, kami berada dalam diam, hingga akhirnya Darren kembali

menegurku dengan sebuah belaian lembut ke sisi rambutku. “Hei..”

408 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Hm..?.” Aku menyahut dan diam, menunggu kelanjutan obrolan kami

darinya.

“Selamat untuk semua ini.”katanya kemudian. Tangannya berubah memegang

tanganku dan mengajakku berputar. Kutebak, setelah ini adalah kenangan kami

yang dia bicarakan.

Aku tersenyum membalasnya dan mengangguk, “Terimakasih.” Aku menghela

nafas dan nyaris tergelak mengingat peristiwa „besar‟ terakhir yang terjadi di

antara kami ; saat dia mencampakanku. “Terimakasih juga atas kekacauan yang

kau timbulkan dulu…”ucapku seraya mengeluarkan nada marah yang dibuat-buat.

Mendengar nada itu, Darren tergelak, karena mungkin dia juga

membayangkan bagaimana kehidupannya setelah kami bercerai. “Kadang, aku

berharap tidak pernah membentakmu dan membuka masalah kita waktu itu..”

“Tapi sudahlah… Semuanya sudah terjadi. Dan yang jelas, aku senang akhirnya

kau bisa keluar dari kekacauan itu dengan orang yang pas.”

Aku mengangguk setuju dan seketika memejam sambil tersenyum ketika

Darren mengecup keningku sekilas. “Rasanya tidak jauh beda… 22 dan 28…”

Saat aku ingin membalas guyonannya barusan, sebuah suara memotong

percakapan kami. Dari siapa lagi kalau bukan Wade?.

“Bolehkah aku merasakan dansa dengan pengantin baru?.”

Darren menoleh lebih dulu dan melepas tangannya dariku, “Tentu. Silahkan.”

Kemudian dia berlalu bersamaan dengan Wade yang mulai mengajakku berdansa

di lagu keenam.

409 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Hm…Am, rencana suamimu berhasil padaku.”buka Wade sambil tersenyum

sipu. Sesaat dia menoleh ke arah kerumunan band Chad. Disitu juga ada Whitney

dan Charlotte, sedang mengobrol dengan Chad.

“Bagus kalau begitu. Jadi…bagaimana?.” Aku memancingnya ke topik

„bagaimana Wade dan Whitney bisa memutuskan untuk bersama‟.

Wade mengeluarkan gelak halusnya dan memilih melonggarkan dekapan.

“Semuanya terjadi begitu cepat.” “Awalnya aku sempat kecewa dengan

kebohongan mereka – terutama karena mereka terlibat dalam rencana Chad.

Yah…sebenarnya juga semua ini karena Charlotte dan faktor aku merasa sudah

bisa melupakanmu.”jelasnya panjang lebar.

“Benarkah?.” Aku mengerenyit heran dan memandanginya menyelidik. Bukan

bermaksud apa-apa… Hanya ingin tahu sejauh mana yang dia maksud

„melupakan‟ itu.

“H-hm… Mau bukti?.” Dia mengeluarkan nada menantang yang kelewat

dibuat-buat – membuatku membalas ucapannya barusan dengan tergelak dan

mengangguk. Kutebak, buktinya adalah undangan pernikahan mereka..

Benar saja. Wade mengeluarkan undangan putih pucat dari dalam jasnya.

Disana tertulis : „W & W Invitation Wedding‟, dan terpampang foto mereka plus

Charlotte yang diambil di depan sebuah rumah bergaya Eropa.

“Ini. Jangan lupa datang, ya.” Dia memberikan undangan itu dan berubah

mengacak-acak rambutku. Aku sendiri ribut menyingkirkan tangannya dari

rambutku yang sebenarnya sudah acak-acakan juga…

410 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
“Hei?...” Ketika akhirnya tangan itu berhenti mengacak-acak, Wade

mengakhirinya dengan menghela nafas dan menjawil hidungku. Lalu seketika,

Wade kembali mengambil posisi berdansa yang agak tidak wajar, sebenarnya

karena terlalu dekat..

“Sedikit bocoran dan Chad : dia akan mengajakmu berbulan madu di

Portofino. Aku kira kau belum tahu itu..” Dia berbisik disela dansa kami tentang

tempat bulan maduku.

“Chad yang langsung mengatakan itu padamu?.” Aku balas bertanya padanya.

Wade mengangguk yakin. “Ya. Kalian akan menyewa 1 cottage disana,

berlayar, dan menikmati indahnya pantai.. Intinya Chad ingin memberikan sesuatu

yang terbaik untuk momen itu.”

Mendengar penekanan pada „momen itu‟ aku langsung berniat mengalihkan

pembicaraan kami jadi kembali ke topik dia. Tapi sebelum sempat melakukannya,

dari atas panggung, sudah terdengar suara lagi yang kembali memotong dansaku

di nyaris tujuh lagu ini.

“Boleh kami bercerita sesuatu disini?.” Chad mengomando semua tamu

mendekat ke atas panggung. Saat aku menengok kesana, ternyata di sebelahnya

sudah ada Darren. Tidak mengerti untuk apa mereka berdua di atas sana, tidak

memegang alat musik, dan bicara ingin bercerita, aku kembali menoleh pada

Wade, bermaksud bertanya. Tapi sejurus kemudian, ekspresi bingunglah yang

keluar dariku saat memandangi pria itu berlalu ke atas panggung juga. Wah,

sepertinya aku tahu apa yang akan mereka lakukan… : mengemukakan semua

411 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
unek-unek mereka selama dekat denganku di depan tamu-tamu malam ini. Ide

siapa ini??

Tidak mau memikirkan apa yang akan terjadi di atas sana, aku beranjak,

mendekat, dan duduk di antara bandku : memperhatikan apa yang akan mereka

bertiga ceritakan di atas sana.

“Hm, baik… Mulai dari mana?.” Chad bertanya kepada dua pria lainnya.

“Yang paling tua-lah…” Wade membalas dengan kalimat ambigu. „Yang

paling tua‟ umurnya, atau „yang paling tua‟ kebersamaannya denganku?

Chad mengartikan kalimat itu sebagai kalimat pertama. Dia mengerenyit dan

menjawab. “Oh, oke… Aku tahu aku tertua disini..” Ucapan itu disambut gelak

tawa dari para tamu dan anggota bandku.

Fredy – yang malam ini berlapis jas biru tuanya – menoleh sekilas padaku. “Yah,

aku heran juga kenapa kau tertarik mengencani kakek-kakek….”

“Oh.” Aku menyenggolnya, berusaha tidak peduli dan langsung melanjutkan

memperhatikan kegiatan di atas panggung sana.

“Oh, bukan-bukan…”potong Wade langsung. “Maksudku, yang paling lama

menjalin hubungan dengan Amber…”

“Oh…hahaha…. Kukira…” Chad membalas dengan kikuk yang tak terlalu

ketara. Kutebak, dalam hati dia menyayangka juga kenapa otaknya bisa berpikiran

sedemikian dekat… “Hm, yah…silahkan.. Apa yang mau kau utarakan?.

Mumpung dia ada disini..” lanjut Chad, mempersilahkan Darren untuk bicara

terlebih dulu.

412 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Selanjutnya, Darren mengambil posisi di tengah mereka dan mulai bicara

dengan kalimat yang membuatku tertunduk malu. “Yah, dekat dengannya

termasuk salah satu hal tergila yang

Lalu lanjut ke Wade. Wade ngelakuin hal yang sama, diakhiri dengan Amber

ngungkit topik Whitney dan Wade ngasih undangan pernikahannya. Amber

ngucapin selamat, dan selesai. Akhir : Amber tersenyum memandangi undangan

itu.)

Undangan Pernikahan

Wade Feldmann

&

Whitney Gardsonn

Dengan segala hormat, kami beserta keluarga, mengundang anda

semua untuk menghadiri pernikahan kami yang akan dilaksanakan

pada:

Minggu, 12 Juni 2016

30th Barry Street, Los Angeles, California

10.00 a.m s.d 10.00 p.m

413 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
Yang berbahagia,

Wade & Whitney

-Wade-

10 Juni 2016, 09.30 a.m…

(Opening act : bercanda Amber, band, Ian dan Matt saat mau akad)(Wade ngasih

tau jam resepsinya, Wade gugup, wade disemangatin sama Charlotte, Wade akad

di depan hakim nikah, Wade bahagia)

-Amber-

(Pesta resepsi, malam, berdansa sama Chad. Usia kandungan Amber udah tiga

hari)

(Mereka berdua ngomongin betapa meriahnya pesta pernikahan Wade)

(Chad nyerempet ngomongin soal kenangan mereka berdua dalam kisah cinta

masing-masing) (kisah Amber dengan Wade & Darren, Wade ngajak berdansa

Amber, cerita-cerita dan segala macamnya. Wade nyinggung soal nama bayi

pilihan Amber dan Chad, mereka mengobrol selama dua lagu sementara Chad

menonton mereka sambil menikmati minuman yang udah disediakan)

(Dansa sama Wade selesai. Chad balik ke Amber dan ngomong beberapa kalimat

menyimpulkan. Bla-bla-bla, endnya : “Rumit yang manis, tapi, kan?.”kata Chad,

“Ya…benar… Si kecil juga berkata hal yang sama…”balas Amber. Chad ngelus

414 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?
perut Amber, dan menopang dagu di bahu Amber, “Aku harap, semua ini akan

berlaku selamanya.”

Amber ngangguk, “Ya. Selamanya.”)

(Dan, selesaaiiii!!!)

415 | „ M Y H A P P Y E N D I N G ‟ ? ?

Anda mungkin juga menyukai