Anda di halaman 1dari 2

Unexpected moments

Motor, mobil, bus, truk, semua berlalu-lalang di kedua jalur. Menyisakan asap beracun yang
pasti akan terhirup oleh para pengguna jalan lain. Aku terbatuk-batuk saat sebuah bus
melewatiku dan meninggalkan asap mematikan yang mengepul dari knalpotnya. Segera saja
aku menjauh dari pinggir jalan dan berjalan melewati emperan toko-toko.

Panas dan letih yang sekilas hampir membuatku putus asa, akhirnya sudah kulupakan. Kini
yang ada dalam pikiranku hanya keinginan agar tidak terlambat sampai ke tempat yang sudah
dijanjikan beberapa hari sebelumnya. Untuk kesekian kalinya, aku menghapus keringatku
lagi. Fighting, Mira!

Setelah terlebih dahulu merapikan penampilanku, aku naik ke pendopo yang bertuliskan
‘Kandang Kebo 2’. Aku celingak-celinguk sebentar lalu berjalan ke arah dua orang yang
sangat kukenal. Bella dan Sera, seperti yang kuduga. Ternyata mereka masih bersama. Aku
memanggil mereka dan langsung memeluk mereka erat. Kami bersenda gurau ria seperti 6
tahun terakhir. Tidak berapa lama, anak-anak yang lain mulai datang. Penampilan mereka
sudah sangat berubah, ditambah lagi mobil-mobil dan motor baru mereka. Wah, hanya aku
saja yang masih seperti dulu. Terakhir, Tara dan Radhi datang bersama, membuat kami
sekilas seperti kembali ke masa SMA, siulan dan kata-kata cemburu dilontarkan oleh teman-
teman yang lain.

Setelah semua berkumpul, acara utama pun dibuka. Sebagai ketua pelaksana reuni ini, Radhi
membuka acara dengan beberapa kalimat sambutan dan ucapan terima kasih. Beberapa menit
kemudian, kami sampai pada acara inti. Di sini, kami harus bercerita apa yang sudah masing-
masing dari kami lakukan selama 6 tahun terakhir.

Giliranku tiba. Aku agak gugup saat bercerita. Apalagi melihat mereka sepertinya tidak
memerhatikanku. Perlahan jantungku berdesir. Yah, meski di saat seperti ini pun aku masih
tidak dihiraukan. Memang aku ini tak akan pernah terlihat.

Acara inti yang terakhir tiba. Kali ini kami memainkan TOD (Truth or Dare). Sebuah
permainan yang sangat tidak aku sukai. Sejak tadi aku berharap agar saat ini aku
diperlakukan seperti biasa, tidak diperhatikan. Tapi sepertinya harapanku terlalu melambung.
Di akhir ronde, aku ditunjuk oleh orang yang tidak pernah kuduga. Rein. Dan dia
menanyaiku hal yang di luar perkiraanku.

“Apa yang kamu rasakan saat ada di antara kami? Dan adakah hal yang tidak kamu suka dari
kami?”

DEG. Jantungku seperti berdenyut lebih pelan, tapi terasa sakit. Keringat dinginku perlahan
muncul. Kenapa pertanyaan seperti ini dilontarkan padaku?
“4 tahun lalu, tepatnya waktu ulangtahunmu, kami berdua sama Tara niatnya mau main ke
rumahmu. Tapi waktu itu rumah kamu sudah kosong. Kami tanya pada tetanggamu, tidak ada
yang tahu kamu ke mana. Kamu pindah?” Kini Sera yang bertanya. “Kenapa kamu nggak
cerita ke kami?” Mendengar pertanyaan sensitif itu, tatapanku menajam, hatiku mengeras.

“Memang kalau aku cerita pada kalian, apa yang akan kalian lakukan? Toh, kalian juga
nggak pernah menghiraukanku,” kataku terus terang.

“Apa maksudmu? Kenapa kamu berkata seolah kami nggak peduli padamu?” sela Tara. Aku
tidak bisa menahan emosiku lagi begitu aku mendengar suara Tara.

“Kenyataannya begitu! Saat aku masuk, saat aku berdiri di depan kelas, saat aku presentasi di
depan, saat aku bertanya pada kalian, saat aku ikut bermusyawarah dengan kalian. Apa kalian
sekalipun memerhatikanku? Apa kalian akan mengajakku ngobrol jika bukan aku dulu yang
menggabungkan diri dengan kalian?” terangku. Aku berhenti sejenak. Mengambil nafas yang
disertai dengan isakan. Beberapa orang sudah terbawa kata-kataku. Aku ingin melanjutkan
kata-kataku, tapi tidak jadi karena aku sendiri tidak tega melihat mereka.

“Maaf,” kata seseorang. Aku mendongak.

“Aku mewakili teman sekelas untuk meminta maaf padamu. Tapi asal kamu tahu,
ketidakperhatiannya kami padamu bukan karena kami tidak peduli padamu. Kami hanya tak
tahu kamu itu orang seperti apa karena sejak awal kamu sudah sangat tertutup. Takutnya,
bukannya menghiburmu, kami justru melukaimu tanpa kita tahu. Karena itu kami berharap
kamu mau terlebih dahulu membuka diri di hadapan kami, agar kami bisa menyesuaikanmu,”
jelas Rein dengan tegas. Aku terdiam, meresap kata-katanya satu per satu.

“Kamu tahu kan kalau burung tidak akan pernah bisa terbang, kalau dia sendiri tidak
mencoba untuk mengepakkan sayapnya dulu? Begitu pun dengan kamu.” Rein menarik
nafasnya dengan lega. “Karena itu kami meminta maaf padamu karena telah membuatmu
salah paham dan berpikiran seperti itu,” lanjutnya. Aku terisak, lalu tangisku tumpah. Kali ini
bukan karena merasa tak terlihat, tapi karena diam-diam mereka ternyata telah mengukirkan
ketenangan di hatiku.

“Maafkan keegoisanku.”

Anda mungkin juga menyukai