Anda di halaman 1dari 15

got lovestruck (went straight to my head) got lovesick all over my bed

Posted originally on the Archive of Our Own at http://archiveofourown.org/works/54716926.

Rating: Teen And Up Audiences


Archive Warning: Creator Chose Not To Use Archive Warnings
Category: M/M
Fandom: 방탄소년단 | Bangtan Boys | BTS
Relationship: Jeon Jungkook/Min Yoongi | Suga
Characters: Min Yoongi | Suga, Jeon Jungkook
Additional Tags: Tooth-Rotting Fluff, Age Difference, Established Relationship, Secret
Relationship
Language: Bahasa Indonesia
Stats: Published: 2024-03-25 Words: 3,907 Chapters: 1/1
got lovestruck (went straight to my head) got lovesick all over my
bed
by kalabiru

Summary

Kalau ada yang bilang Jungkook simpenan bapak-bapak yang udah married, bekap aja
mulutnya—orang Jungkook pacarnya Yoongi satu-satunya, meskipun Yoongi hampir—baru
hampir!—om-om.
Yoongi mengusap matanya yang lelah karena terlalu banyak terkena sinar flashlight di
sekitarnya. Kalau bukan karena manusia gen-Z favoritnya itu, seorang Min Yoongi tidak akan
pernah ada di tempat seperti ini, menonton live band dan menikmati segelas vanilla
milkshake—and he really hates milk. Min Yoongi adalah manusia generasi milenial yang
membosankan dan hampir tidak pernah ke tempat ramai seperti ini untuk bersosialisasi—
emphasis on almost —dan bertukar basa-basi dengan orang yang tidak ia kenal. Hampir
bukan berarti tidak pernah, karena kalau ia tidak pernah, maka ia tidak akan bertemu dengan
manusia favoritnya—

Ding !

Little Prince, 10.20pm:

you actually stayed till my gigs end!!! makasih kakak sayang!!! nanti aku kecup 1000000x
(jangan diitung, nanti capek, mending balas kecup, akan aku bales terus sampe kamu capek
terus aku menanggg!) aku mau say bye sm yg lain, kita ketemu di lobiiii okkkk!!

Yoongi tidak bisa tidak tersenyum.

Manusia favoritnya itu—hm, bagaimana Yoongi menjelaskannya? Yang jelas, manusia


favoritnya itu selalu berhasil membuat Yoongi merasa spesial, merasa dibutuhkan, dan
merasa bisa membuat bahagia seseorang—ya, itu dia. Jungkook, namanya—Jeon Jungkook
—dan nama terfavorit Yoongi sepanjang hidup—semua hal soal laki-laki itu adalah favorit
Yoongi, jadi sabar , karena akan sangat banyak kata favorit yang terucap.

Jungkook itu berbeda sepenuhnya dengan Yoongi. Di saat Yoongi sibuk menjadi CEO di
balik perusahaan otomotif ternama, Jungkook adalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang
memiliki segudang kesibukan dan segudang penggemar. Kesibukan: karena ia ada di tingkat
akhir, skripsi, pembenahan nilai mata kuliah, magang, bahkan pemenuhan poin keaktifan dari
partisipasi mahasiswa di program kerja juga tidak ada habisnya—berdasarkan curhatan
Jungkook, yang Yoongi tidak pernah tidak perhatikan—dan penggemar, karena selain
kesibukan kuliah, Jungkook juga menjadi vokalis band—yang awalnya hanya tingkat kampus
—tersohor di daerah Jakarta.

Yoongi berjalan cepat ke arah mobilnya yang terparkir paling rapi di antara jajaran mobil-
mobil lainnya. Kemeja birunya mulai menempel di punggung karena panasnya berada di
antara banyaknya penggemar Oracle—band Jungkook—atau banyaknya penggemar
Jungkook itu sendiri. Yoongi menggeleng, masih tidak paham bagaimana bisa mereka
bersama, terlepas dari perbedaan sembilan tahun yang membentang.

“KAKAK!” Jungkook scream-whispers, membuat Yoongi reflek menoleh dan pupilnya yang
melebar menunjukkan bahwa ia terkejut. “Sorry if I startled you.”

“Katanya di lobi?” Keterkejutan itu hilang ketika Yoongi melihat bagaimana bersinarnya
wajah Jungkook dengan kesenangan: senyuman kelinci dan mata bambi Jungkook—sekali
lagi, favoritnya —yang mana digantikan oleh senyuman tipis yang tertahan.
Jungkook dengan semangat menggeleng, perlahan menyelinap masuk ke mobil dan menutup
rapat pintunya dan wajahnya dari jarak pandang manusia luar. Ya , mereka menjalin
hubungan diam-diam. Tidak , Yoongi tidak mempunyai rumah tangga—istri, suami, apapun
itu—ia benar-benar menjalin hubungan serius dengan mahasiswa tingkat akhir yang memiliki
banyak penggemar.

“It was fun but tiring at the same time, jadi anak-anak udah nggak sabar buat pulang. Aku
juga nggak sabar mau cuddle.”

“Siapa yang mau kasih cuddle kamu?” Yoongi berucap, nadanya terkesan bercanda, tetapi
sebuah pukulan mendarat di lengannya, membuat Yoongi menatap Jungkook dengan
amusement. “What?”

Jungkook—dengan manyun, kening yang berkerut, dan mata yang mendelik tajam—menatap
Yoongi seolah-olah Yoongi mengatakan hal paling terkutuk satu dunia. Gila , pikir
Jungkook.

“Bisa-bisanya punya pikiran begitu!” Sekali lagi satu pukulan mendarat, cukup keras, cukup
membuat Yoongi paham kalau Jungkook setengah menganggap serius ucapannya—
sepertinya Yoongi harus lebih luwes lagi dalam hal bercanda agar Jungkook tidak salah
menangkap maksudnya. “Udah nggak sayang aku kah?”

“That’s offensive.” Yoongi tertawa pelan. Dia jarang mengucapkan I love you atau sejenisnya
secara gamblang, ia tau dirinya masih belum bisa membiasakan diri dengan kata-kata—
melainkan ia sudah sangat terbiasa dengan tindakan.

“What’s offensive?! Harusnya aku yang offended karena Kakak nggak mau cuddle.”
Jungkook mengeluarkan jurus cemberutnya, di mana bibirnya maju beberapa mili, dan
matanya yang berbinar, siapapun tidak akan berani berucap tidak atau mengatakan apapun
yang berlawanan dengan keinginan cowok itu.

“Okay, okay. I’ll cuddle you.” Yoongi mengalah. Ia akan selalu mengalah pada Jungkook.
Bahkan, tidak perlu ada perbedaan pendapat karena Yoongi akan menuruti apa yang menjadi
mau Jungkook.

“‘Till morning?” Dengan cepat, suasana hati Jungkook berubah menjadi lebih baik, hanya
dengan mengetahui bahwa Yoongi lemah terhadapnya.

Damn Min Yoongi. So weak .

“‘Till you get tired of me.”

Dan, Yoongi tau kalau Jungkook tidak setuju dengan statement-nya barusan, tetapi Yoongi
mengubah topik pembicaraan, membahas bagaimana penampilan Jungkook tadi, dan mudah
saja untuk Jungkook dengan antusias menanggapi—melupakan topik terakhir.


“Kook, kita lagi pada mau nugas, ikutan nggak? Ayo lah.” Suara di ujung telepon memohon
pada Jungkook yang sedang asik menempel-nempel foto Yoongi yang sudah ia pilih di
scrapbook. “Jungkook!”

“Apesih?” tanya Jungkook pada akhirnya, tau bahwa dirinya tidak terlalu menyimak apa
yang menjadi omongan Mingyu. “Lu ngapa dah nelfon?”

Di ujung sana, Mingyu mengeluarkan keluhan sebal. “Lo ngapain sih? Ayo nugas.”

“Gue mau dinner.” Jungkook terlewat jujur, sedetik ia mematung, tetapi detik berikutnya ia
kembali rileks karena jawaban Mingyu adalah jawaban yang tidak perlu dikhawatirkan.

“Gaya lo. Mau dinner ke mana sih? Bentar doang ini, ramean sama yang lain.” Mingyu masih
berusaha keras untuk mengajak Jungkook, dan meskipun di tengah kegiatan crafting-nya,
Jungkook tau Mingyu dan teman-temannya yang lain sedang dalam misi mencomblangkan
Jungkook dengan entah siapa .

“Orang gue dinner-nya di Marina Bay Sands.”

“Kook, sumpah. Ini ada Tzuyu, mau nggak? Ada Kak Jimin juga, lo dulu naksir kan? Ayo,
Kook. Jangan jadi simpenan om-om.”

Jungkook menatap ponselnya datar, mematikan tanpa merasa bersalah. Enak saja Yoongi
dibilang om-om. Ya , kalau perbandingannya Kak Jimin—kakak tingkatnya yang luar biasa
memesona tapi playboy itu—memang Yoongi sedikit lebih tua—hanya sedikit!—tapi bukan
om-om!

“Kak, kalo dikasih kesempatan buat muter waktu, mau nggak ketemu akunya lebih cepet?
Atau semisal nggak jadi ketemu aku?”

Yoongi menatap Jungkook yang berbaring menghadap ke langit-langit dengan memegang


erat iPad-nya yang sedari tadi ia gulir untuk mencari film yang tepat, sebelum kembali
menatap laptop dan work paper-nya yang menumpuk.

“Kamu libur semester kapan? Kakak pengin ke Thailand. Tiga hari aja, kalo suka kita ulang
lagi setelahnya.” Ujaran Yoongi yang tidak sesuai topik membuat Jungkook reflek merubah
posisi dan memicingkan mata, menatap Yoongi.

“Orang ngomong apa dijawabnya apa.” Ia melemparkan bantal yang menyanggah kepalanya,
telak mengenai lengan Yoongi— lega , karena yang kena bukan laptop dan tumpukan kertas
yang Jungkook bahkan tidak paham .

“Pertanyaan kamu udah mulai nggak aturan kalo kamu bosen. Aku liat juga udah semingguan
marathon banyak series. Then I thought why nggak jalan-jalan sekalian aja?” Yoongi
mengutarakan alasannya menjawab Jungkook dengan hal yang berkebalikan dengan
pertanyaannya. “Thailand sounds good? Or you have another one in mind?”
“Kak, mending daripada mikirin Thailand, mending pikirin deh itu kertas di depan kamu.
Aku liatnya—tanpa ngerti aja—udah mual.” Jungkook menatap bergidik ke arah tumpukan
kertas Yoongi sekali lagi, yang mana membuat Yoongi tertawa pelan. “Tadinya aku pikir
liburan kamu masih dua minggu lagi? Atau bulan depan? I kinda forgot how college works,
to be honest. I think it turned out that right now is your semester break?”

“Not really. Ini harusnya minggu tenang karena mau UAS. Tapi aku muak belajar, so I just
hanging around here.” Jungkook mengangkat bahu, dan Yoongi membuang napas lega .
“Then I have at least one week before we go to Thai, right?”

“Kakak! Siapa yang mau ke Thai sih?!” Jungkook gemas, tetapi Yoongi bangkit berdiri dan
menepuk pelan ubun-ubun Jungkook beberapa kali. “Hadiah. Because you were born a
genius.”

Jungkook meniup poninya yang berantakan karena tangan besar Yoongi yang menangkup
batok kepalanya. “Kak, justru karena udah bawaan, nggak perlu hadiah. Nggak ada esensi
perjuangannya kali.”

Yoongi memiting pelan—lembut, dan Jungkook bisa mengalahkannya kapan saja, bahkan
tanpa menaruh kekuatan yang berarti—kepala Jungkook, menebar ciuman ringan di ubun-
ubunnya—yang membuat Jungkook bersyukur karena tidak jadi memiting balik . “Emang
kenapa kalo Kakak mau bangga sama kamu? Nggak boleh ‘kah, aku bangga sama pacarku?”

Emang Min Yoongi kurang ajar .

Tapi kalau kata orang, punya pacar yang lebih tua, kitanya harus nurut, soalnya mereka orang
tua .

“Lah? Lu abis darimana? Banyak banget ini jajan.” Mingyu menatap tas go green yang
dibawa oleh Jungkook, berisi banyak snack dan minuman berkaleng. Eunwoo menyenggol
rusuk Mingyu. “Lu nggak liat apa story-nya Jungkook weekend kemarin?”

Mingyu bergantian menatap Jungkook dan Eunwoo dengan tatapan bingung. “Gue kan abis
opname anjing kemarin. Mana sempet.”

“Oh.” Eunwoo terkekeh. “Itu kemarin Jungkook abis dari Kuala Lumpur. Terus gue protes,
gara-gara waktu ke Thailand tempo hari nggak bawa jajan yang banyak. Jadilah sekarang
dibawain.”

“Ke mana?!”

“KL,” Jungkook memutar bola matanya, tetapi Mingyu lebih tidak habis pikir lagi. “LO
LIBUR BERAPA HARI YA, PAKE KE KL?!”

“Sabtu Minggu?” Eunwoo menebak. “Orang Jumat gue masih liat Jungkook rapat proker kok
sorenya.”
“Definisi gila. Lama-lama gue juga mau dong, Kook, lo kenalin ke kenalannya sugar daddy
lo.”

Jungkook melemparnya dengan tisu bekas yang ada di meja kantin ke jidat Mingyu. “Definisi
gila !”

“Kak, aku mau buat DIY yang pake cap jari tangan itu, terus nanti ditempel di kertas, dihias-
hias. Nanti aku taruh di belakang hape. Aku udah beli clear casing!” Jungkook menatap
Yoongi dengan mata berbinar, dan Yoongi tidak bisa menangkap semua perkataannya—
pertama, karena Jungkook berbicara terlalu cepat dan terlalu semangat dan kedua, karena
Yoongi adalah om-om demi apapun, ia tidak keep up dengan trend yang ada di gen Z
sekarang.

“Gimana, Sayang? Coba pelan-pelan deh. Kakak nggak ngerti.”

Jungkook cemberut, tetapi energi positif itu masih berapi-api di dalam dirinya. Ia tau, Yoongi
kesulitan untuk mengetahui trend terkini—sosmed yang laki-laki itu punya sejauh ini hanya
Instagram, itupun isinya juga sesama petinggi dan budak korporat lainnya, which is so boring
—karena aplikasi di ponselnya adalah aplikasi penting —Google Docs, Spreadsheet, Google
Calendar, Zoom Meeting, dan bejibun aplikasi saham yang Jungkook tidak paham karena
he’s an architect major for fuck’s sake, economy isn’t his forte at all —jadi Jungkook
memaklumi .

“Kakak ih. ” Karena pada dasarnya, ia memaklumi, bukan menerima dengan lapang dada dan
secepat kilat. “Itu, bentar aku tunjukin videonya.”

Jungkook buru-buru membuka video yang sudah ia karena ia tau Yoongi tidak mungkin
paham tanpa sebuah visual. Memang begitulah seorang Min Yoongi.

“Oh. Gampang aja,” Yoongi berucap setelah selesai menonton video dari ponsel Jungkook.
Jungkook ingin mencibir karena bisa-bisa nya Yoongi sok bilang Gampang di saat tadinya
dia yang tidak paham apa yang Jungkook maksud. Dasar orang tua , pikirnya.

“Iya. Tapi ntar pake cat air aja ya?”

“Kenapa? Pake lipstick juga boleh.”

Jungkook menatap Yoongi datar. “Nggak punya.”

“Warna lipstick lebih cakep kayaknya, Sayang.”

Jungkook memukul pelan lengan Yoongi, menegaskan, “Nggak punya, ih!”

“Iya nanti Kakak beliin—“ “Nggak ya! Kalo Kakak beliin nanti dibeliin satu toko. Nggak
usah.”

“Enggak. Nanti aku suruh PA aku buat nyariin.”


“Bener ya?”

Yoongi tersenyum, dan Jungkook sadar apa yang membuat ia jatuh pertama kali pada Yoongi.
“Anything for you, Little Prince.”

Jungkook tidak pernah berpikir kalau menjadi vokalis band bisa membuatnya bertemu CEO
muda berduit yang actually knows how to do a relationship. Jungkook dari dulu suka
menyanyi, dan ibunya berkata bahwa suaranya bagus , dan Jungkook jadi besar kepala soal
itu.

“Kamu tumben udah dua mingguan nggak ada jadwal manggung?” Suara Yoongi
membuyarkan lamunan Jungkook soal nostalgia awal mereka bertemu.

“Belum ada panggilan. Anak-anak juga nggak ada yang cari, pada sibuk Kak. Skripsian.”
Jungkook melirik laptopnya yang sudah ada dalam mode tidur karena ia terlalu lama
daydreaming. “Kakak kangen kah, denger aku nyanyi?”

“Kind of.”

Jungkook menaik-turunkan alisnya, menggoda Yoongi yang hampir selalu buruk dalam
menyampaikan sesuatu melalui kata-kata. Ia menyenggol-nyenggol Yoongi, berharap bisa
memancing senyuman walaupun tipis. “Aww, you miss me!”

Yoongi akhirnya menyerah, tertawa pelan, mengacak rambut Jungkook lembut. “Yeah.”

“Remember when we first met?”

Yoongi mengangkat bahu, dan Jungkook tau sebenarnya laki-laki itu ingat—tetapi terlalu
bingung harus menyampaikan seperti apa di awal. Akhirnya, Jungkook memulai, “I don’t get
it—until now—what actually you’re doing in some gen Z cafe though?”

Yoongi pernah bilang, ‘kan kalau ia hampir tidak pernah pergi ke kafe—atau bisa dibilang
tempat nongkrong anak zaman sekarang—karena biasanya kafe yang Yoongi kunjungi adalah
tipikal Starbucks, Excelso, Djournal, dan sejenisnya, yang digunakan untuk pertemuan
dengan klien. Sedangkan kafe tempat Jungkook manggung, biasanya sangat kekinian. Jadi,
kemungkinan Yoongi ada di tempat seperti itu adalah satu banding seratus, dan di satu
kesempatan itu, ia bertemu Jeon Jungkook.

“I think that was stress.” Yoongi menjawab apa adanya. “I think I need some place that feels
more strange.”

“Bukan gara-gara putus cinta? I think my band was singing some sad songs—like Kill Bill?
Heartbreak Anniversary? Alsooooo!!! Aku waktu itu nyanyiin lagu buatan Oracle, Hate You!
Gimana nggak sedih banget itu temanya?” Berpikir keras membuat kening Jungkook
berkerut, bibirnya maju beberapa senti, membuat Yoongi harus memalingkan wajah sejenak
sebelum ia kehilangan kontrol dan mencium cowok ini sampai sesak napas.
“But I’m not. My exes are mostly just like me. CEO or something. We broke it off, then life
just goes on. Our relationship pun bosenin. Jadi nggak tau apa juga patah hati.” Yoongi
akhirnya menjawab pertanyaan yang Jungkook tanyakan secara kasual, tetapi Yoongi tau
cowok itu tetap mau tau jawaban seriusnya. “So no. It was just the stress. I need some escape
that is not related to my life at all—like a cafe with some live band?”

“Then you met me? I’m something that—offside dong berarti?”

Yoongi tidak tahan. Ia akhirnya mengecup cepat bibir Jungkook, membuat yang
bersangkutan mendelik terkejut. “Curang!” ujarnya, bibirnya semakin cemberut, membuat
Yoongi tertawa. “Malah makin cemberut.”

“Biar dicium lagi. KAKAK YANG BENER AJAAA. Kurang lama.”

Yoongi tertawa. Tawa yang tidak biasanya siapapun dengar—bahkan bagi telinga Yoongi
sendiri. Sampai, Jungkook pun gagal menahan senyuman ketika melihat gummy smile
Yoongi yang jarang sekali ia tunjukkan—pada Jungkook saja jarang, apalagi pada orang lain.

Kak, senyumnya pengin aku rekam terus aku simpen seumur hidup, pikir Jungkook.
Seandainya saja live photo di ponselnya bisa berdurasi selama lima belas detik, Jungkook
akan sangat senang—melihat proses selama tertawa itu, sampai jadi satu foto yang luar biasa
ia akan simpan selamanya.

Jungkook pikir, hal pertama yang paling ia sukai dari Yoongi adalah gummy smile-nya.

“Itu cowok yang kamu taksir kan?”

Jungkook menatap Yoongi, defensif. “Was! Aku udah nggak naksir ya. Enak aja.”

Yoongi mengangguk-angguk. mengamati pergerakan cowok berambut hitam pekat dan


berkacamata itu melintas sembari membawa ranselnya di sebelah bahu, menerobos hujan,
tertawa bersama dengan salah satu temannya yang juga bergaya mirip, hanya saja lebih tinggi
dan rambutnya merah.

“Why though?” tanya Yoongi, melihat bagaimana jiwa mudanya sudah tidak bisa lagi
dibandingkan dengan cowok yang pernah Jungkook taksir.

“He’s kinda playboy,” jawab Jungkook, dan jawaban itu cukup membuat Yoongi tidak lagi
merasa inferior, karena nyatanya ia bisa membuat Jungkook bahagia—sejauh ini—and he’s
proud of that.

“Selera kamu emang yang gimana? Kalo dibandingin Kakak sama dia kan nggak ada
samanya?” tanya Yoongi setelah mereka masuk ke jalan raya yang penuh kendaraan di
tengah jatuhnya air ke bumi. Jungkook masih tidak menganggap Yoongi serius soal Jimin,
maka ia menyahut, “Sama-sama lebih tua.”

“Sama-sama cakep? Aku naksir cuma sama orang cakep oke?” Jungkook terkekeh. “You’re
the most handsome out of all.”
“Heleh, gombal banget.”

Jungkook tertawa. “Kak, kalo logat orang Surabaya itu emang kayak gitu?”

Terkadang Jungkook terbawa dengan bagaimana aura Yoongi yang sangat CEO, sampai-
sampai ia lupa kalau dulu semasa SMP dan SMA, Yoongi jadi koko-koko Surabaya yang
paling ditaksir banyak orang—menurut sumber terpercaya: kakaknya Yoongi sendiri.

“Iya.”

“Coba ngomong lagi. Kata yang lain.”

Yoongi melirik Jungkook sejenak sebelum kembali fokus ke jalanan. “Mintamu kok aneh-
aneh to, Yang?”

Jungkook tertawa.

Sudah Yoongi bilang, ia tidak akan pernah menolak apapun yang Jungkook minta. Apalagi
jika balasannya tawa seperti ini.

“Love you, Kook.”

Jungkook berhenti tertawa, darahnya seolah-olah naik dengan cepat ke kepala, membuat
wajah dan telinganya memerah. Ia meninju lengan Yoongi—mungkin sedikit terlalu keras—
dan tertawa grogi. “Kak, tolong aba-aba.”

Meskipun, ketika Jungkook pikirkan nanti, mungkin itu cara Yoongi untuk meyakinkan diri
bahwa Jungkook sudah tidak ada rasa apapun lagi pada kakak tingkatnya. Tetapi, sekarang
Jungkook masih terlalu dysfunctional untuk bisa berpikir sejauh dan sepanjang itu. Ia
bergumam, “Aku cinta lebih banyak lagi, Kakak.”

Entah Yoongi dengar atau tidak, karena suara hujan yang begitu keras, dan Jungkook seolah
hanya berkata untuk dirinya seorang saja.

“Kook, kemarin kan udah sempro, ya?”

“Kak, you literally give me a fucking Pandora and you asked me that? Nggak kerasa apa
ngeluarin uangnya?”

Keduanya terdiam setelah Jungkook selesai bicara. Yoongi yang terkejut karena nada bicara
Jungkook yang berbeda—sedikit lebih keras dari biasanya, juga bagaimana ia menatap
jengkel seolah tidak suka dengan perkataan Yoongi—sedangkan Jungkook yang berusaha
menstabilkan emosinya—iya, dia emosi .

“You don’t like it? Bilang , balikin, nggak apa-apa.” Yoongi yang pertama kembali
menanggapi. Ia tidak paham kenapa tiba-tiba Jungkook seperti ini. Tidak pernah ia merasa
marah karena barang yang Yoongi beri. “It was just a promise ring, Sayang. Don’t think
about that too hard, okay?”
“Bukan itu masalahnya, Kakak.” Jungkook mengembuskan napas kesal, berpikir untuk
mengutarakan apa yang sedari beberapa minggu lalu bersarang di otaknya. “Aku berusaha
nggak pernah mikirin ini, to be honest. Karena menurutku nggak penting, and it part of our
unwritten rules in our relationship.”

Yoongi berdeham, mendorong Jungkook untuk terus bicara. “About the private but not
secret? We agreed to that terms. You won’t—and never—mad at me because I spilled some
of our holidays, gifts, etc. Right?”

“Yeah. Why would I be mad?” Yoongi menjawab, meyakinkan Jungkook bahwa mereka ada
di satu perspektif yang sama sejauh ini. “I love the fact where you show them that you’re no
longer available to date.”

“Yeah. To be honest, I love that too, Kak. I love you .” Jungkook menegaskan. “I love you
not because of all the gifts you gave to me. But for you , damnit.” Jungkook mulai kesal
sendiri menjelaskannya, ia mulai merasa frustrasi. “But people—of fucking course—start
talking . Bad. I didn't care about it at first, Kak. I swear I don’t. Sampa aku mikir, they can
call me a fucking slut—” “Hey—what the hell—” “— I don’t give a fuck.”

Yoongi menangkup kedua pipi Jungkook, membuat mereka berdua saling menatap. Jungkook
terdiam, Yoongi akhirnya memiliki kesempatan untuk buka suara, “What the hell exactly you
mean by ‘they can call me a slut’? You are definitely not a fucking slut, Kook. Why?”

“I’m so in love with you, Min Yoongi. Sampe di titik aku nggak peduli kalo nanti ada yang
tau kalo kamu pacaran sama anak kuliahan yang mereka kira cuma ambilin duit kamu
doang.”

Yoongi menyelipkan rambut Jungkook di balik telinga agar ia bisa lebih jelas melihat
wajahnya. “People in my life—mostly—are busy with their problems and company. Mereka
nggak akan peduli sama aku, palingan juga cuma bilang, ‘Lah, kegaet brondong juga?’ gitu.
Jadi, nggak usah mikir begitu. I don’t like it.”

Jungkook menyembunyikan wajahnya di balik bahu Yoongi, membuat gumaman seperti


rengekan, tetapi Yoongi tidak bisa memastikan seratus persen. Ia mengelus kepala Jungkook.
“What’s going on in your pretty little head, Little Prince?”

“The point is, I don’t care if they think I’m just some sugar baby or something.” Jungkook
memperhalus bahasanya, tidak bermaksud membuat Yoongi merasa kesal karena kata-kata
jeleknya. “Tapi, inget nggak kalo kemarin aku abis beres magang di perusahaan gede, kan?
Terus abisnya aku sempro, then you gave me a promise ring, terus—terus lamaranku di salah
satu perusahaan impian akhirnya ke-notice.”

“Yeah. Isn’t that good news? I remember I gave you flowers that day.” Yoongi ingat, dan ia
bangga dengan Jungkook.

“Yeah. Now people think that you are the person behind all of my fucking hardwork—
figuratively yes , but literally ? I fucking work hard for that, Kak.” Jungkook menggigiti
bibirnya, mengucapkannya secara langsung membuatnya merasa terlalu nyata, terlalu sedih.
“Mereka sering mikir kalo aku jadi simpenan bapak-bapak karena gimana mewahnya aku di
beberapa occasion. Gimana seringnya aku ke luar negeri—cuma buat dinner, atau a little
vacay for weekend. So, mereka mikir kalo ‘my sugar daddy’ itu yang bisa masukin aku
magang ke perusahaan gede, yang bisa bikin aku sempro secepet itu—dibayarin jokinya—
terus yang bisa nyelipin aku di perusahaan ternama padahal aku belum lulus. Padahal mereka
nggak tau gimana mau nangis darahnya aku waktu buat laporan, ‘kan? Gimana stress-nya aku
waktu magang kemarin, penyesuaian and shits .

“Aku nggak peduli Kak, kalo mereka cuma mikir aku morotin bapak-bapak. Simpenan
bapak-bapak even. I don’t care. But throwing my fucking hardwork? I can’t with that.”

“Hey.”

Jungkook mendongak. Ia berusaha melempar senyuman tipis ketika netranya bertabrakan


dengan netra Yoongi. Ia tidak menyalahkan Yoongi atau hubungan mereka sama sekali—ia
harap Yoongi tau—tetapi ia hanya ingin menumpahkan unek-uneknya.

“Wanna know a fun fact about that ‘fucking’ Pandora?”

Jungkook memutar bola mata. “KAKAK. Aku nggak ngejelekin Pandora-nya.”

“I know. Just trying to be some gen Z.”

Keduanya tertawa.

“What? What’s the fun fact? Awas kalo aku nggak kaget.” Salah satu alasan Jungkook cocok
dengan seorang Min Yoongi adalah laki-laki itu paham bahwa Jungkook tidak butuh advice ,
ia hanya butuh telinga, dan sesuatu yang membuatnya tertawa—karena ia sadar bahwa
omongan orang lain tidak perlu didengar, dan orang-orang yang berharga baginya sudah
paham kalau ia bekerja keras untuk semua yang ia dapatkan secara prestasi—karena kalau
makan malam di Marina Bay Sands, itu uang Min Yoongi.

“At first I didn't know what it was about—the promise ring—” Jungkook terkekeh. “—but
you know, I’m very, very excited to know about something new so I asked my friends. They
actually explained it to me. But I was stupid and got the wrong idea at first—like I think it’s
something like an engagement ring but with the gen z names.”

“Then?”

“Ya jadi aku milih model itu awalnya dengan pikiran kalo itu buat cincin tunangan.” Yoongi
terkekeh ringan. “Because I think about forever when I think of you.”

Senyuman Jungkook hilang sepenuhnya, digantikan tatapan kosong—tetapi dalam hatinya


berantakan parah detaknya. Min Yoongi kurang ajar.

“Bercanda mulu.”

Yoongi sekarang menatapnya datar. “Emang Kakak keliatan bercanda?”

“YA???? Gitu banget?”


Yoongi akhirnya tertawa. “Serius. Itu kalo kamu liat teliti lagi di cincinnya ada engrave
inisial namaku.

“Terus gara-gara tau kalo ternyata it doesn’t work the way I thought, ya aku nanti cari cincin
lain deh buat engagement-nya. Tenang aja—” “Maksudnya tenang aja tuh gimana sih?! Gila
apa.”

“Mau Kakak spoilerin nggak?” tanya Yoongi, membuat Jungkook meninju lengannya.
“Kakak please, stop mempelajari hal-hal gen Z yang nyebelin.”

“But did you?”

“What?”

“Think about forever with me.”

“Kak—”

“Of course I think about it all the damn time. Tapi waktu itu aku masih takut lah, Kak. Masih
bocil. Takutnya kamu salah pilih juga—” “Apaan kok jadi Kakak?”

Keduanya terkekeh. “Aku waktu itu belum punya pikiran ke sana, tapi buktinya sekarang
udah, ‘kan? Being with you forever itu sesuatu yang harus aku pikirin, sesuatu yang harus
aku bener-bener paham how to handle us when the trouble comes, not just some lovesick boy
I was.”

“Oh udah nggak lovesick lagi?” tanya Yoongi, seringainya menempel di ujung bibir,
membuat Jungkook cemberut—mau bagaimanapun dewasanya, Jungkook tetap Pangeran
Kecil Yoongi sampai kapanpun.

“KAKAK! Aku udah terima lamarannya. Gila apa kalo udah nggak lovesick lagi.”

Yoongi terkekeh. “Jadi bedanya udah kerasa nyata?”

“Yeah. I think bukan aku yang nggak lovesick lagi—masih banget , tapi aku yang udah tau
dan nerima kalo nggak akan selalu rainbow and all. Bakal ada aku marah, kamu marah, kita
capek, and it’s normal, right?” Jungkook memvalidasi sekali lagi, memandangi cincin yang
ada di jarinya.

Yoongi perlahan terkekeh, sampai menjadi tawa sepenuhnya dan Jungkook mencubit
lengannya. “Padahal cuma beda jangka waktu setahun doang dari terakhir aku nanya.”

Jungkook memukul lagi. “Nggak jadi aja nih ya?”

Sisa tawa Yoongi sekarang tinggal gummy smile-nya yang lebar, dan laki-laki itu dengan
kilat mendekat ke arah Jungkook, menangkap bibir manusia favoritnya yang manyun itu,
melumat perlahan dan berucap pelan di sela-selanya. “Don’t. You’re mine now. No way
back.”
Please drop by the Archive and comment to let the creator know if you enjoyed their work!

Anda mungkin juga menyukai