Anda di halaman 1dari 7

PROLOG

Kisah ini dimulai di masa SMA, masa-masa persahabatan dan cinta para remaja dimulai.

Pagi itu sama seperti biasanya. Guru menjelaskan pelajaran, beberapa murid memerhatikan, ada yg
sibuk mencatat penuh,ada juga yang ketiduran. Salah satu yang memerhatikan adalah Bujang. Baginya,
masa SMA adalah waktunya mengukir prestasi, mengejar mimpi-mimpi.

Tak lama, Pak Malik masuk, menghentikan sejenak proses belajar mengajar. Wajah-wajah tegang penuh
tanya. Hanya ada dua hal saat bapak ini datang. Ada murid bermasalah atau ada murid berprestasi.

“Ehem”, sekali dehemnya menghentikan keributan di kelas. Hari itu ia memanggil nama-nama murid
yang akan mengikuti Olimpiade. Mereka akan dikumpulkan di perpustakaan untuk belajar bersama. Ya,
belajar bersama antara murid, tanpa ada guru pembimbingnya. Oy, tentu saja jagoan utama kita si
Bujang juga ikut dipanggil, calon peserta Olimpiade Fisika.

Bujang pun segera menuju perpustakaan. Di kelas seberang, Burjo, sahabat baik Bujang mengikuti dari
belakang. Harusnya hari itu menjadi hari-hari yang biasa seperti sebelumnya. Toh, ini bukan pertama
kalinya ia akan mengikuti Olimpiade. Namun tidak untuk hari itu, takdir berkata lain. Di saat yang sa. a,
seorang siswi juga ikut dipanggil, ini pertama kalinya ia mengikuti Olimpiade, Siti namanya.

Mereka pun berkumpul di perpustakaan, masing-masing sibuk dengan bukunya. Coret sana sini
mengerjakan soal. Bujang dan Burjo saling mengobrol, membicarakan banyak hal mulai dari pelajaran
sampai episode terbaru serial detektif cilik. Untuk apa pula serius belajar jika tak ada guru
pembimbingnya. Secukupnya sajalah. Di sela obrolan itu, mata Bujang tak sengaja melihat perempuan
itu, duduk di pojokan. Duhai, senyum perempuan itu berhasil membuat Bujang terdiam sesaat. Hatinya
berdesir tak menentu. Waktu seolah terhenti antara dirinya dan perempuan yang tak lain adalah Siti.
Burjo sampai harus menampol Bujang untuk menyadarkannya. Alamak, ada apa ini. Selama ini yang ia
tahu hanyalah hukum Newton, macam-macam gaya, energi kinetik dan potensial. Tapi perasaan apa ini?
Tak pernah ia temukan dalam buku-buku pelajaran. Namun, yang Bujang tahu pasti hanyalah satu hal, ia
harus mengenal siapa perempuan itu, yang berhasil membuatnya sejenak lupa rumus menghitung gaya
gravitasi. Burjo hanya heran melihatnya, “Duh, kenapa pula si kawan ini.”

Hari itu takdir dimulai, coretan pertama ditorehkan, dalam lembaran kisah panjang arti sebuah cinta.

Ch. 01

Hari-hari berjalan lambat. Tak ada kemajuan berarti. Bagaimana pula Bujang mau mengenalnya.
Mengajaknya bicara saja susah. Lidahnya kelu. Untaian kata-kata yang sudah disiapkan buyar seketika di
depan perempuan itu. Burjo kasihan melihat temannya itu. Walaupun nasib Burjo sebelas dua belas
dalam percintaan tapi ia tahu temannya ini sedang dilanda asmara. Aduh, rumit sekali urusan ini.
Bagaimana mau membantu sedangkan ia sendiri tak punya banyak pengalaman. Burjo hanya bisa
menemani temannya setiap hari ke perpustakaan,berharap bertemu hadirnya sang penggoyah hati
Bujang. Setelah berbagai usaha dilakukan, Bujang hanya tahu nama perempuan itu, Siti. Itu pun dari
teman sekelasnya.

Takdir kadang sulit tuk dipahami. Berbagai cara untuk mendekati Siti malah berujung kegagalan. Di
tengah keputusasaan itu, justru Siti yang datang sendiri dalam kehidupan Bujang.

Siang itu karena ada satu dua urusan, Burjo telat untuk pulang. Bujang dengan setia menunggu
temannya padahal angkot pulang mereka berbeda arah. Setelah angkot Burjo datang lebih awal, giliran
Bujang menunggu angkot yang menuju rumahnya. Di saat itu, keluarlah Siti dari sekolah. Ia baru selesai
mengerjakan tugas kelompok. Bersama lah mereka berdua menunggu angkot. Siti menyapa Bujang lebih
dulu, “Hai, Bujang. Pulang naik angkot berapa?”

“Ah eh”, Bujang salah tingkah. “Angkot oranye itu. Ah iya angkot itu”, Bujang berusaha menenangkan
diri.

Siti tersenyum melihat tingkah Bujang. Hati Bujang sudah kondusif, ia memberanikan diri untuk
mengobrol. Kesempatan ini tidak boleh dilewatkan.

“Dari mana tahu namaku, Bujang?”, tanya Bujang yang sadari tadi penasaran.

“Hei, tentu saja tahu. Siapa pula yang tidak kenal Bujang si juara umum”, jawab Siti dengan senyumnya
yang membuat Bujang terdiam. Bangga sekali Bujang mendengarnya.

Tidak lama, angkot kuning yang dinaiki Siti lewat. Ia pamit pada Bujang. Bujang hanya bisa menggangguk
singkat. Mengobrol dengan Siti menguras cukup tenaga. Obrolan singkat sepulang sekolah itu sungguh
berharga walau Bujang dalam hati mengutuk angkot kuning yang cepat sekali datang.

Ch. 02

Hari berganti hari. Kemajuan Bujang hanya sampai pada percakapan singkat menunggu angkot. Walau
kini ia bisa bicara santai dengan Siti, tapi itu hanya saat menunggu angkot. Bujang pun sengaja pulang
agak lama, demi bisa bersama Siti menunggu angkot. Lebih sering tidak bertemunya sih.

Di sekolah, jangankan bicara, menyapa pun Bujang takut. Hanya senyum bak cengir kuda ketika
berpapasan. Burjo merasa kasihan melihat temannya. Terkadang tersenyum sendiri saat di kantin, di
mushola bahkan saat ingin menyeberang jalan. Membuat satpam keheranan. Burjo sangat ingin
membantu sahabatnya.

Setahun sebelumnya

Burjo berbeda kelas dengan Bujang. Saat itu di akhir tahun ajaran pertama. Para juara 1 di tiap kelas
saling melirik dan mencari informasi tentang juara di kelas lain. Mereka mengincar juara umum. Bah,
lumayan sekali beasiswa untuk juara umum. Bukan main. Saat itu, Burjo meraih juara 1 di kelas X-2 dan
Bujang juara 1 di kelas X-12. Perkenalan mereka dimulai saat saling kepo melihat nilai rapot, dari rival
hingga akhirnya menjadi teman dekat.

Tiga bulan berlalu, Burjo dan Bujang naik ke kelas XI. Saatnya pemilihan ketua OSIS. Burjo maju sebagai
salah satu kandidat. Tak disangka, kepintaran Burjo tidak hanya di rapot, tapi juga dalam berbicara
menyampaikan visi misinya. Ditambah fisiknya yang tinggi besar, Burjo terpilih menjadi ketua OSIS.
Bujang pun senang melihatnya teman terpilih. Ia tak tertarik dengan OSIS, baginya ekskul ilmiah sudah
cukup. Persahabatan mereka unik. Saling bersaing menuju nomor satu, saling menantang dalam tes.
Suatu hari, Burjo datang membawa brosur try out di salah satu bimbel dekat sekolah. Ia menantang
Bujang untuk ikut, ingin melihat siapa yang nilainya lebih tinggi. Oi, tentu saja Bujang menerima
tantangan itu. Ia tak mau kalah dari sahabatnya. Semenjak itu, hubungan mereka menjadi lebih akrab,
dimana ada Burjo pasti ada Bujang. Mereka adalah duo teratas di sekolah saat itu.

Kembali ke masa sekarang

Burjo terus memikirkan ide untuk membantu Bujang. Diam-diam, dia mencari informasi tentang Siti.
Bukan kabar baik yang ia dapat, ia harus segera memberitahu Bujang. Siti sudah punya pacar.

Ch. 03

Waktu olimpiade tiba, hal yang menarik terjadi. Jangan bayangkan sengitnya aura berkompetisi saat
mengerjakan soal olimpiade. Karena beberapa alasan, panitia penyelenggara mengubah aturan.
Olimpiade take home. Oi, ini sungguh terjadi. Para peserta mengambil soal dan kembali ke sekolah
masing-masing, dikumpulkan pada hari yang ditentukan. Duh, bukan olimpiade lagi ini, lomba menjawab
soal lebih tepatnya. Bujang, Siti dan para peserta lomba fisika ini pun kembali ke sekolah. Berkumpul di
lab fisika untuk mengerjakan soal bersama. Hey, dimana Burjo? Dia asik mengerjakan soal olimpiade
biologi take home di perpustakaan. Sendiri, ia tak ingin mengganggu masa pendekatan sahabatnya.
Justru, ia terus mendukung.

Soal-soal fisika lumayan membuat pusing kepala. Bahkan Pak Malik dan Bu Des dibuat geleng-geleng
mencoba mengerjakan.

Bel pulang sekolah berdering, soal lomba dilanjutkan di rumah, seharusnya seperti itu. Namun, tidak
dengan Siti, ia tidak langsung pulang. Siti bersama temannya pergi ke rumah Bu Des untuk melanjutkan
mengerjakan soal lomba fisika. Tak disangka rumah Bu Des cukup dekat dengan rumah Bujang. Bujang
tak tahu menahu soal hal ini. Jika Bujang tahu, mungkin ia sudah langsung menuju rumah Bu Des. Di sini
lah letak keajaiban selanjutnya terjadi.

Sore itu, Bujang sedang bersantai di halaman rumah. Tiba-tiba handphonenya bergetar. “Tumben
sekali”, pikirnya. Ada pesan masuk, dari nomor tak dikenal. Bujang mulai bertanya-tanya, hatinya
menduga-duga. Dibuka lah pesan itu. Senyum Bujang mengembang. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih,
rencana-Mu begitu indah.
Itu pesan dari Siti. Singkat, jelas dan mampu menggetarkan tangan Bujang. Juga hatinya.

Sore, Bujang. Ini Siti, aku baru selesai belajar di rumah Bu Des. Temanku sudah pulang duluan dijemput
temannya. Bu Des menyarankan agar kau yang mengantarkanku pulang. Bujang bisa?

Alamak, tak perlu basa-basi. Cukup dengan balasan singkat 'Ok', Bujang segera mengambil kunci motor,
helm, dan tak lupa motornya menuju rumah Bu Des. Dalam hati, ia bersungguh-sungguh mengucapkan,
'Terima kasih, Bu Des. Jasamu tak akan kulupakan.'

Bujang sampai di rumah Bu Des. Tak langsung mengantar Siti pulang, ia sempat mengobrol dulu dengan
Bu Des sambil mencoba mengerjakan beberapa soal. Bu Des ternyata tahu ada sesuatu di antara mereka
beberapa minggu belakangan. Bu Des mendukung penuh hubungan mereka.

"Orang pinter harus sama orang pinter juga", ujar Bu Des.

Merona sudah pipi Bujang. Naik pula telinganya.

Mereka pun pamit pulang. Perjalanan indah tak terbayangkan ini pun dimulai. Lidah Bujang sudah tak
kelu, lancar betul obrolannya. Siti pun menanggapinya dengan ceria, seolah memberi pesan bahwa ia
juga merasakan hal yang sama. Sepanjang jalan, perasaan itu tumbuh berkembang. Kini Bujang tidak
hanya suka, ia jatuh cinta pada Siti. Ia yakin betul. Melihat senyum Siti di gerbang sekolah saja tidak
cukup, Bujang ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama Siti.

Rumah Siti sebenarnya cukup jauh dari rumah Bu Des. Tapi, mengobrol bersama gebetan membuatnya
terasa singkat. Mereka telah sampai tujuan. Duh, rasanya Bujang ingin mengulang kembali perjalanan
tadi. Berkali-kali pun tak masalah. Mulai detik itu, hubungan mereka tidak lagi teman belajar olimpiade,
mereka saling memendam rasa.

Obrolan mereka tidak terputus saat itu. Sejak tahu nomor satu sama lain, mereka saling berbalas pesan.
Senyam-senyum sendiri, berulang-ulang membaca histori pesan doi. Dasar, jatuh cinta memang bisa
membuat orang berubah. Bahkan orang jenius yang selalu berpikiran rasional pun bisa dibuat
bertingkah aneh karenanya. Chatting malam itu diakhiri dengan saling mengucap selamat tidur.

Ch. 04

Besok paginya di sekolah, entah bagaimana kabar Siti dibonceng oleh Bujang menyebar di sekolah.
Berita itu sampai juga di telinga pacar Siti, Alvin.

“Siti sampai memeluk Bujang!”,

“Duhai, mesra sekali mereka berdua semalam”,

“Kalau cewekku tadi yang dibonceng, udah ku sikat orangnya”.


Komentar-komentar tidak bertanggung jawab ini semakin memanasi Alvin. Ia hampir melabrak Bujang,
sebelum akhirnya dihentikan Siti. Akhir-akhir ini mereka memang sering bertengkar. Sudah tidak cocok.
Siti berusaha menahan hubungan mereka selama ini, tapi melihat Alvin yang semakin menjadi-jadi.
Tidak mau bertanya dulu pada Siti. Toh, kemarin dia juga sudah mencoba menghubungi Alvin untuk
menjemputnya tapi Alvin cuma membalas singkat, 'Sibuk', katanya.

Setelah berusaha menjelaskan apa yang terjadi. Alvin tetap tidak terima, ia tetap menyalahkan Siti.
Akhirnya, keputusan itu pun diambil Siti. Putus. Oi, ribut sudah urusan ini. Alvin tak terima, tapi apa
daya, keputusan Siti sudah bulat. Alvin menyesali perbuatannya. Penyesalan selalu datang terlambat.
Sejak hari itu, Alvin menyimpan dendam pada Bujang.

Kabar buruk bagi seseorang malah jadi kabar baik bagi orang lain. Tepatnya bagi Bujang. Kini, tak ada
yang menghalangi. Siti sudah resmi single, makin gesit lah Bujang melakukan pendekatan.

"Sikat saja terus, Kawan", kata Burjo.

Tak hanya Burjo, guru-guru pun ikut mendukung. Bagaimana guru tahu? Duh, jangan ditanya, saat orang
jatuh cinta, kata mungkin tak terucap tapi matanya tak bisa berbohong. Saat memandang wajah orang
yg disuka, mata itu jelas berbinar-binar. Apalagi Siti pun menunjukkan kode-kode yang jelas, bahwa
perasaannya sama seperti Bujang. Maka, tunggu apalagi. 'Bibit unggul ini, sayang dilewatkan', pikir
Bujang. Bujang menyatakan perasaan itu, Siti hanya diam dan mengangguk setuju. Resmi sudah mereka
berpacaran. Kabar baik ini justru menjadi kabar buruk bagi seseorang. Alvin tak akan tinggal diam, ia
akan merebut kembali Siti. Apapun caranya.

Ch. 05

Terkadang cinta memang tak masuk akal, membuat orang bertindak di luar nalar. Bukan soal Bujang dan
Siti. Mereka memang berpacaran, tapi tak ada yang berlebihan. Sesuai porsinya. Guru-guru mendukung
mereka, karena dalam hubungan itu sama sekali tidak mengganggu prestasi mereka. Yang tidak masuk
akal itu adalah ulah Alvin.

Dua minggu hubungan Bujang dan Siti berjalan, kabar itu datang. Alvin sudah tiga hari tidak masuk
sekolah. Dari keterangan wali kelasnya, Alvin sakit.

"Eh, lemah kali si kawan ini. Baru putus sakit.", ujar Burjo saat makan di kantin bersama Bujang.

"Sakitnya mencurigakan", ucap Bujang.

Seminggu berlalu, kabar burung mengatakan Alvin mengalami sakit ulu hati. Siti yang awalnya
mengganggap biasa saja penyakit Alvin, mulai kepikiran. Apakah semua ini salahnya. Sampai pada
minggu ketiga hubungan Bujang dan Siti, drama itu dimulai. Sungguh sebuah drama bak sinetron di layar
kaca. Hari kedelapan Alvin dikabarkan sakit, sore itu di rumah Siti, seorang ibu datang. Ia adalah Ibu
Alvin. Beliau memohon agar Siti mau kembali dengan Alvin, demi kesembuhan putranya.
Makin repotlah urusan ini. Siti terlanjur baik, ia tak menaruh curiga sedikitpun terhadap skenario yang
sedang dimainkan. Malam itu, ia menelpon Bujang, menceritakan segalanya. Bujang berusaha
meyakinkan Siti bahwa kemungkinan itu hanyalah permainan Alvin. Terlanjur pusing dengan keadaan,
Bujang dan Siti pun berpisah. Lebih tepatnya ini adalah keputusan Siti, yang mengganggap ini adalah
jalan terbaik, demi kesembuhan Alvin juga, pikirnya. Bujang kecewa, tapi apa mau dikata. Ia menghargai
keputusan Siti, setidaknya untuk saat itu.

Kecurigaan Bujang mulai terbukti. Tiga hari setelah putus dengan Siti, Alvin kembali masuk sekolah.

"Nampaknya sehat-sehat aja kawan itu", celetuk Burjo di bangku depan kelas.

" Kita pantau aja dulu, yakan", balas Bujang.

Ch. 06

Dua minggu setelah putus dengan Siti, hal yang dikhawatirkan Bujang terjadi. Alvin kembali berpacaran
dengan Siti. Apa hal ini. Bujang tentu tidak membenci Siti. Toh, semenjak putus itu pun, sebenarnya
tidak banyak berubah. Ia tetap sering mengobrol dengan Siti. Yang menjadi masalah tentunya adalah
Alvin. Sampai sebegitu nya ia memainkan drama demi merebut kembali Siti. Sialnya, kenapa Siti
memberi kesempatan kembali kepada si cecunguk itu. Bujang tak habis pikir. Namun, Bujang tak ingin
bermain kotor. Ia yakin semuanya akan terungkap dan Siti akan menyadarinya. Kebohongan akan
terbongkar, cepat atau lambat.

Bukan hal yang mudah bagi Bujang melihat Siti kembali dengan Alvin. Namun, sungguh sebaik-baik
skenario manusia, skenario-Nya jauh lebih sempurna. Empat bulan berlalu, setelah penantian yang
melelahkan dan penuh kesabaran, pertolongan-Nya datang. Kebohongan sakit Alvin bocor, keluar dari
mulutnya sendiri saat sedang cek cok dengan Siti. Siti kira Alvin telah berubah, namun tidak sedikitpun.
Ia masih Alvin yang egois. Siti menyadari kesalahannya, perkataan Bujang waktu itu benar. Kini, ia tak
ragu sedikitpun. Putus dengan Alvin untuk kedua kali dan selama-lamanya. Kini, entah itu Alvin sakit
maag, jantung, kolestrol, diabetes, atau panu pun, Siti takkan peduli.

"Maafkan aku, Bujang", ujar Siti sepulang sekolah di depan mushola.

" Tak apa", jawab Bujang dengan santai dan sok cool.

Namun, ada kesepakatan baru di antara mereka. Masa-masa berpisah itu membuat mereka menyadari
satu hal. Pacaran tidak mengubah apapun. Tidak mengikat apa-apa. Mereka tetap dekat walau tak
berpacaran. Kesepakatan itu diambil, mereka tidak akan berpacaran. Walau mereka tidak berpacaran,
tetapi hubungan mereka jauh lebih dekat dari sebelumnya.

Keesokan harinya, Alvin kembali berulah. Ia tidak terima dengan kedekatan Siti dan Bujang. Sepulang
sekolah di parkiran, ia sudah menunggu Bujang. Menantang duel one by one, ramai sudah parkiran.
Pertunjukkan gratis, pikir murid-murid lain. Yah, walau pada akhirnya bukan duel baku hantam, hanya
duel adu mulut saja. Penonton kecewa, bubar. Burjo melerai perkelahian, kemudian mengajak Burjo
makan siang.

"Alah, cuma gertak aja dia tadi", kata Bujang.

"Emang kalau betulan, kau berani?", tanya Burjo.

"Eh, ya gak juga sih. Kalo betulan, kembut juga aku", jawab Bujang sambil menghabiskan sisa
makanannya.

Epilog

Bujang, Siti, Burjo dan seluruh teman mereka kini berada di kelas XII. Hubungan Bujang dan Siti baik-baik
saja. Tidak berpacaran adalah hal yang tepat. Tidak ada cemburu-cemburuan. Tidak ada janji-janji. Tidak
ada kecurigaan. Mereka nyaman dengan hubungan ini, karena tanpa status apa pun, perasaan mereka
tidak berubah. Mereka tidak berubah, tapi suasana sekolah yang berubah.

Kelas XII, akhir tingkat di SMA, semua murid mulai memikirkan langkah mereka selanjutnya. Ingin
kemana, ingin menjadi apa setelah lulus. Di saat kebanyakan murid berharap dapat kuliah di Perguruan
Tinggi Negeri dalam kota, Bujang, Burjo dan Siti punya impian yang lebih besar. Mereka ingin kuliah di
Jawa. Cinta Bujang dan Siti tidak akan menghalangi cita-cita mereka. Sedalam apapun perasaan mereka,
mereka tetaplah pelajar yang masih memiliki impian yang harus diraih, masa depan yang harus diukir.
Bujang juga menghabiskan waktu dengan Burjo lebih banyak. Belajar bersama, ikut tryout dimana-mana
dan saling memamerkan nilai mereka, berlomba siapa yang lebih tinggi. Kisah mereka di SMA telah
sampai di bagian akhir.

Bagian Pertama Selesai

Anda mungkin juga menyukai