Anda di halaman 1dari 26

GEOREAKTOR (R-01)

ALGORITMA PERANCANGAN

Menentukan parameter perancangan georeaktor (P, T, Dimensi,dll)

Mencari data dan studi literature (Analisis Proximat, Ultimate, dan Sulfam

n diagram proses untuk simulasi dan membagi sistem menjadi beberapa unit

Input data kondisi operasi, trial error, dan analisis hasil

Penarikan Kesimpulan

Tugas

: Mereaksikan batu bara lignit dengan oksigen dan uap air

Pemilihan reaktor
Jenis reaktor
Fase
Suhu
Tekanan
Operasi
Konfigurasi injeksi

:
:
:
:
:

Reaktor gasifikasi bawah tanah.


Padat-gas
1373 K
20 bar
Adiabatik
: CRIP (Controlled Retracted Injection Point)

Asumsi :
1. Reaksi bersifat tidak simultan, urutan reaksi dikaji melalui analisis posisi zat
(di cavity (fasa gas), atau di padatan) dominasi reaksi terhadap reaksi lainnya.
2. Bahan baku masuk reaktor dengan perbandingan sedikit di atas stoikiometri
dimana jumlah oksigen 1,5 kali jumlah oksigen yang diperlukan.
3. yang menentukan kecepatan reaksi overall adalah kecepatan reaksi dan
kecepatan transfer massa.
4. Dalam perancangan reaktor, beberapa reaksi samping diabaikan terhadap
reaksi utama.

Sistem Pengeboran
1. Sistem Linked Vertical Wells
Pengeboran untuk instalasi georeaktor terdiri dari dua jenis, system Linked
Vertical Wells (LVW), dan Continuous Retracting Injection Point (CRIP). Keduanya

termasuk metode tanpa poros (shaftless method), meskipun dari detail operasi
keduanya berbeda. Layout Sub permukaan gasifikasi bawah tanah sangat penting
untuk dikaji untuk menjaga kehandalan proses dari simulasi.
Geometri LVW dapat dilihat pada gambar dibawah. Jalur penghubung antara dua
sumur terletak di sepanjang lapisan batubara, mempermudah aliran gas hasil
gasifikasi antara sumur produksi dan injeksi. Aliran gas memungkinkan terjadinya
perpindahan panas antara gas bersuhu tinggi dan batubara terpirolisis sebelum
pembakaran. Permodelan perpindahan panas untuk system LVW bersifat krusial
untuk system LVW.

Gambar 3. Layout georeaktor dengan sistem LVW (Andrianopoulos, 2015)


2. Sistem Continuous Retracting Injection Point
Pada sistem CRIP, sumur injeksi dibor horizontal secara langsung di sepanjang
dasar dari lapisan batubara sampai mendekati sumur produksi. Sumur injeksi
mempertahankan proses dengan suplai reaktan atau agen gasifikasi. Selama proses

gasifikasi, rongga lokal terbentuk, dan sumur injeksi dapat ditarik kembali ke
belakang untuk menyediakan agen gasifikasi berupa batubara yang belum bereaksi.
Sumur produksi yang baru dapat dibor di dekat dengan sumur injeksi horizontal
untuk memindahkan gas menuju permukaan, meminimalkan kerugian akibat
pertumbuhan rongga selama batubara terkonsumsi. Geometri CRIP, dibandingkan
dengan desain LVW, menawarkan efisiensi eksploitasi batubara yang lebih tinggi,
karena meningkatkan kemudahan dalam mengendalikan proses gasifikasi dengan
sumur injeksi yang dapat ditarik kembali. Mengingat kemudahan dan efisiensi yang
ada, sistem CRIP dipilih dalam penentuan geometri georeaktor yang akan
dirancang.

Gambar 1. Skematik Diagram dari UCG dengan konfigurasi injeksi


CRIP (

Gambar 2. Detail Konfigurasi dari Georeaktor dengan system CRIP


(Andrianopoulos, 2015)
Kriteria Lahan
Dalam penerapannya, konsep gasifikasi memerlukan analisis kelayakan untuk
meninjau beberapa aspek penting dalam masyarakat. Meskipun aktivitas eksplorasi
yang dilakukan dapat terbilang ramah lingkungan, terdapat beberapa kriteria yang
dapat dikaji untuk menentukan langkah lanjut pemanfaatan lahan yang ada. Kriteria
tersebut meliputi:
1. Ketebalan Lapisan Batubara
Terdapat beberapa pandangan mengenai ketebalan minimum dari
lapisan batubara yang akan dieksplorasi. Menurut GasTech, ketebalan
optimum dari lapisan batubara adalah lebih dari 10 m, Namun menurut The
Powder River Basin, Wyoming ketebalan yang disarankan adalah 10
sampai 30 m. Terdapat kontradiksi dari Ergo Exergy bahwa ketebalan
batubara bisa sekitar 0,5 m. Pada kasus georeaktor kami, tebal minimum
yang dipersyaratkan adalah sekitar 5 m, dan ketebalan georeaktor aktual di
lapangan (Muara Enim) sekitar 5 m.
2. Kedalaman Lapisan Batubara
Dalam proses UCG, kedalaman lapisan batubara sebenarnya tidak
terlalu krusial. Menurut Burton et.al, kedalaman operasi yang baik untuk
menghindari subsidence adalah >200 m. Jika terlalu dalam (>300 m),

teknologi pengeboran akan memakan biaya yang tinggi, dan teknologi


yang lebih rumit. Lapisan batubara yang lebih dalam akan menimbulkan
lebih sedikit pengaruh terhadap sirkulasi air tanah sehingga tidak
mencemari air tanah. Namun, pada kedalaman yang dangkal, lapisan
batubara dapat ditambang dengan tambang permukaan. Kedalaman
lapisan batubara untuk georeaktor adalah sekitar 300 m.
3. Kualitas Batubara dan Sifat Lainnya.
Kualitas batubara yang sebaiknya dipakai dalam sistem UCG adalah
batubara kualitas rendah seperti batubara sub-bituminu, dan lignit. Hal ini
dikarenakan batubara cenderung untuk menyusut saat pembakaran,
meningkatkan permeabilitas dan hubungan antara sumur injeksi dan
produksi. Selain itu, pengotor dalam batubara kualitas rendah dapat
mempercepat kinetika reaksi gasifikasi dengan menjadi katalis untuk proses
pembakaran. Untuk batubara dengan kualitas yang sama, heating value dari
gas UCG meningkat dengan meningkatnya heating value batubara.
4. Kemiringan Lapisan Batubara
Sury et.al mengatakan bahwa kemiringan yang kecil lebih diinginkan.
Lapisan dengan sudut kemiringan yang kecil mampu menyediakan
drainase, dan perawatan untuk hidrostatik dari georeaktor. Potensi
kerusakan akibat miringnya lapisan batubara dapat dikurangi. Laporan
dari GasTech merekomendasikan kemiringan lapisan batubara sekitar 020. Namun, beberapa operasi UCG dapat secara sukses dilakukan di
lapisan dengan kemiringan lebih besar sehingga kemiringan lapisan bukan
suatu kriteria utama untuk operasi UCG.
5. Air Tanah
Air merupakan suatu komponen

penting

dalam

UCG,

dan

keberadaannya dalam lapisan batubara menjadi karakteristik yang penting.


Batuan sebaiknya memiliki kandungan air asin (total >10000 ppm untuk
padatan terlarut, dari regulasi US Environmental Protection Agency).
6. Jumlah Batubara
Kriteria jumlah batubara pada suatu cekungan/lapisan menjadi faktor
penting penentu kelayakan operasi UCG. Tergantung dari aplikasi dari pasca
proses UCG yang dijalankan, jumlah batubara dapat menentukan prospek ke

depan dari suatu proyek eksplorasi. Pembangunan industri kimia berbasis


syngas, atau untuk membangkitkan listrik membutuhkan batubara dalam
jumlah besar.
Tabel 2. Sumber Daya Batubara Indonesia untuk UCG
No

1
2
3
4
5

Cekungan

Formasi

Jumla
h
Seam

Total
Ketebala
n (m)

Sumatera
Selatan
Ombilin
Barito

Muara
Enim
Ombilin
Warukin
-Tanjung
Warukin
-Tanjung
Prangat

61,47

3
7

17,4
48,55

14,87

Luas Sebaran
Sumberdaya
Batubara
Batubara UCG
untuk UCG
(ton)
(m2)
9.400.000.000 375.581.700.00
0
60.750.000
687.082.500
8.100.000.000 255.615.750.00
0
502.500.000
4.856.913.750

31,55

7.776.000.000

Pasir/Asam
2
Kutai

25.839.250.00
0

159.466.320.00
0
796.207.766.25
0

7. Batasan Penggunaan Lahan


Dalam berbagai literatur, tidak terdapat indikasi bahwa lokasi operasi
UCG harus berada jauh dari kota, jalan raya, atau objek lain selain
pertambangan bawah tanah. Asumsi valid diberikan bahwa dari monitoring
lingkungan, dampak operasi UCG mengeliminasi pencemaran udara dan
pencemaran air. Jadi, batasan penggunaan lahan untuk penambangan bawah
tanah dapat diterapkan untuk daerah yang berpotensi UCG.

Mekanisme reaksi
Data yang dimiliki untuk modeling reaKtor bawah tanah sangat terbatas. Data
tersedia umumnya adalah data tekanan, suhu, aliran massa gas, dan konposisi gas di
sumur injeksi dan produksi. Reaktor ini mengalami perubahan dimensi yang konstan
namun tidak diketahui. Pirard et al. menggunakan teknik injeksi helium untuk
mengukur volume rongga dan back-mixing pada reactor gasifikasi bawah tanah.

Dengan tes yang sama pula, Brasseur et al. menggunakan perubahan isotope C-12
dan C-13 untuk mengestimasi suhu efektif gasifikasi.
Seperti model yang telah dikembangkan oleh Perkins dan Sahajwalla,
membagi menjadi dua sub-problem. Pertama, analisis terhadap bagian kecil dari
dinding rongga. Kedua, analisis terhadap perubahan total di antara sumur injeksi dan
produksi. Dinding,terbagi menjadi empat zona selama aliran dari bulk gas ke batu
bara, film gas (transfer massa dari dan ke dinding dengan model lapisan batas),
lapisan ash yang menutupi dinding, zona kering, dan zona basah. Panas ditransfer dari
bulk gas panas ke batu bata yang dingin. Suhu akan menuju ke titik didih air pada
permukaan antara zona kering dan basah.
Zona kering terbagi menjadi tiga subzone. Pada subzone kering, suhu berada
diatas titik didih bulk air, namun masih dibawah suhu pirolisis. Air di mikropori batu
bara mengalami gaya kapiler, sehingga memiliki tekanan uap yang lebih rendah, dan
titik didih yang lebih tinggi daripada bulk air. Air di mikropori batu bara ini menguap
di zona kering. Pada zona pirolisis, kondisi suhu cukup tinggi untuk mendekomposisi
batu bara. Tar mewakili semua produk pirolisis C2+. Pada sub zona gasifikasi char,
char terkonversi menjadi gas dengan gasifikasi uap, gasifikasi CO 2, dan reaksi
hidrogenasi langsung:
C(s)+H2O(g)CO(g)+H2(g) Hrxn = +131,46 kJ/gmol
C(s)+CO2(g) 2CO(g) Hrxn = +172.67 kJ/gmol
C(s)+2H2(g) CH4(g) Hrxn = -74.94 kJ/gmol
Seperti gasifikasi diatas tanah, laju gasifikasi overall sangat dipengaruhi oleh
laju reaksi gasifikasi char. Perkins dan Sahajwalla menggunakan model kinetik yang
dikembangkan Roberts dan Harris. Untuk simplifikasi perhitungan, Perkins dan

Sahajwalla menggunakan perkiraan power-law dari kinetika reaksi daripada


menggunakan persamaan laju bentuk Langmuir-Hinshelwood.
Tidak seperti reaktor konvensional, rongga UCG memiliki dinding yang
permeable. Batu bara umumnya jenuh terhadap air, dan air berada pada tekanan
hidrostatis. Evaporasi dan pirolisis menghasilkan gas. Pada sub-zona gasifikasi char,
gasifikasi uap air dan CO2 terjadi lebih cepat dibandingkan dengan reaksi hidrogenasi
langsung, sehingga lebih banyak gas dihasilkan dibanding konsumsi gas pada subzona ini. Akibatnya, terdapat net aliran bulk gas menjauh dari dinding menuju ruang
rongga. Padatan berpori pada zona kering dan lapisan ash memang kecil, namun
memiliki batasan aliran yang signifikan. Pada operasi UCG normal, tekanan rongga
akan sedikit dibawah tekanan hidrostatis.
Tekanan gasifikasi bukanlah variable desain yang bebas, tapi lebih ke sebagai
fungsi tekanan hidrostatis yang meningkat dengan semakin dalam lapisan batu bara.
Laju gasifikasi meningkat dengan meningkatnya kedalaman batu bara karena
meningkatnya tekanan gasifikasi.
Perkins dan Sahajwalla mendefinisikan factor efektivitas thermal, , sebagai:
= (Energi kimia pada gas produk/energy panas menuju permukaan batu bara)
Faktor ini meningkat dengan semakin dalamnya lapisan dan tekanan karena
dua alasan, panas yang diperlukan untuk menguapkan air yang menuju rongga (panas
laten air menurun dengan meningkatnya tekanan), dan peningkatan tekanan
cenderung mengarah pada terjadinya reaksi metanasi.
CO(g) + 3H2(g) CH4(g)+H2O(g) Hrxn = -206.2 kJ/gmol
Metana yang terbentuk dari reaksi ini memiliki panas pembakaran yang
tinggi, dan pengeluaran panas eksotermis menurunkan jumlah tambahan panas yang
diperlukan untuk gasifikasi batu bara.

Gambar 2. Pembagian posisi dalam batu bara berdasarkan jenis reaksi yang terjadi.
Bagian kedua dari model Perkins dan Sahajwalla adalah untuk menanalisis
perubahan pada komposisi dan suhu dari sumur injeksi ke sumur produksi. Produk
gas hasil gasifikasi tidak dianalisis dengan model kedua ini karena spesifikasi batu
bara yang dapat berbeda. Kandungan proximat, ultimat, dan sulfamat jelas menjadi
faktor penentu komposisi gas keluar UCG. Reaktan lain yang digunakan adalah gas
oksigen dan uap air. Oksigen masuk georeaktor dengan kemurnian 99% , dan argon
1%, sedangkan arus uap air masuk dalam keadaan murni. Kedua reaktan ini
diumpankan ke reactor dengan suhu 1473 K, dan tekanan 30 bar.

Desain Reaktor
Sistem reaktor yang digunakan adalah semi-batch, mengingat batu bara yang
bereaksi benar-benar tidak masuk sistem melainkan sudah terletak di reactor sejak

awal. Panjang dan kedalaman reactor ditentukan dari peta isopach dari lahan yang
mengandung batu bara. Analisis dan perhitungan dilakukan untuk menentukan waktu
habis dari batu bara dalam rongga georeaktor.
Lokasi georeaktor untuk georeaktor ini adalah di daerah muara enim, di area
milik PT Bukit Asam sebagai operator pertambangan (sistem pertambangan
konvensional, bukan georeaktor). Lokasi ini dipilih karena memiliki potensi batu bara
yang sangat besar, dan prospektif di Indonesia. Lahan yang digunakan untuk studi
sebelumnya adalah lebar 4 km, dan panjang 6 km. Di daerah ini terdapat cukup
banyak daerah lapisan batu bara yang berbeda beda potensinya. Lapisan yang tersedia
ada yang dalam, dan sedang dengan ketebalan yang berbeda-beda. Lapisan batu bara
pada Muara enim terdiri dari 6 lapisan batu bara utama. Setelah mengalami deposisi,
lapisan batu bara mengalami sedikitnya satu peristiwa tektonik di masa PlioPleistosen dalam bentuk lipatan dan patahan. Ketebalan total lapisan batu bara di
muara enim mencerminkan ketebalan seluruh sedimen di cekungan Muara enim,
dengan interseksi paling tebal di area Bukit Asam. Enam lapisan batu bara
diantaranya adalah Lapisan Kladi, lapisan Petai (C Seam), lapisan Suban (B Seam),
lapisan Mangus, lapisan Jelawatan, dan lapisan Enim.
Lapisan Enim memiliki ketebalan terbesar di area Suban Jeriji utara dimana
ketebalan netto diperkirakan sebesar 25 m. Lapisan Enim dapat dianggap ekuivalen
dengan lapisan Meraksa di area gunung Meraksa dan ekuivalen dengan lapisan
Benakat di utara daerah cekungan Sumatra selatan. Lapisan Enim tebal, dengan
susunan berpasir yang dianalisis sebagai deposit delta-front dan terletak dengan
susunan heterogen tipis dan secara lateral memiliki lanauan batu lembung . batu pasir,
dan batu bara yang dianggap sebagai deposit dari susunan transgressive laut.

Gambar 3. Penampang (Geometri) Desain Georeaktor

Perancangan Georeaktor
Kompleksitas yang terdapat dalam sistem georeaktor menuntut penggunaan
dari tools simulasi untuk modeling proses yang terjadi didalamnya. Kajian yang
dilakukan terhadap sistem meliputi pendekatan pada fenomena fisis dan
kimianya. Permodelan secara kimiawi dilakukan dengan perangkat lunak ASPEN
PLUS Professional, dan untuk permodelan fisis digunakan perangkat lunak
COMSOL Multiphysics.

Fenomena Kimiawi
Permodelan kimiawi meninjau spesies apa saja yang terkonsumsi dan
terbentuk dalam georeaktor. Permodelan yang dilakukan tidak berdasarkan
kinetika reaksi, karena data kinetika yang tidak tersedia, sehingga
permodelan dilakukan dengan reaktor non-kinetik. Simulasi reaktor
dilakukan berbasis pada kesetimbangan yang terjadi pada setiap spesies
dalam georeaktor yang dipengaruhi kondisi operasinya.

Gambar 5. Diagram hipotetik proses dalam georeaktor dengan sistem CRIP


(Andrianopoulos, 2015)
Reaksi awal yang terjadi saat injeksi agen gasifikasi adalah
pengeringan. Fenomena yang notabene merupakan fenomena fisis ini
dapat dimodelkan dengan reaktor non kinetik. Pengeringan merupakan
proses yang membutuhkan panas sehingga suhu sistem turun, namun
kebutuhan panas tertutupi mengingat suhu input gas yang tinggi. Input
data mengenai komposisi batubara dilengkapi dengan berbasis analisis
proximat, ultimat, dan sulfanat. Detail input data komposisi batubara
ditunjukkan pada gambar berikut.

Gambar 7. Input Data Batubara Low-Rank di Muara Enim

Secara detail, berbagai rangkaian proses yang terjadi pada georeaktor adalah
sebagai berikut:

Gambar 7. Berbagai Zona Reaksi yang terdapat dalam suatu georeaktor

Mengingat eksplorasi termodinamika dapat memberikan gambaran detail


terkait georeaktor, maka untuk simulasi dipakai jenis reaktor yang
didominasi oleh reaktor berbasis kesetimbangan. Berdasarkan urutan
tersebut, diagram kondisi proses dalam sistem georeaktor dapat disusun
dalam ASPEN PLUS Professional seperti pada gambar 8.
Pada permulaan gasifikasi, air pada batubara mengalami menguapan
oleh gas panas masuk berupa uap air, dan gas oksigen. Panas dari agen
gasifikasi tersebut ditransfer menuju air di batubara sehingga terjadi
pengeringan. Uap air ini berjumlah jauh lebih sedikit dibandingkan uap air
umpan georeaktor, sehingga dalam air hasil pengeringan ini terbuang ke
lingkungan (dari sistem). Batubara lokal pada zona pengeringan kemudian
mengalami reaksi pirolisis dengan memanfaatkan panas sisa dari gas
reaktan gasifikasi menghasilkan CO, H2, CO2, CH4, dan H2O dalam jumlah
besar. Setelah mengalami pirolisis, gas hasil pirolisis mengalami reaksi
gasifikasi, baik gasifikasi H2O, maupun CO2 menghasilkan komponen
utama berupa syngas, campuran antara H2, CO, serta reaktan yang belum
bereaksi karena efek kesetimbangan.
Tahap gasifikasi terdiri dari 2 bagian, gasifikasi atas dan bawah
saluran georeaktor. Reaksi yang terjadi serupa, dengan kondisi operasi
yang serupa namun efek reaksi gasifikasi atas lebih besar. Selanjutnya,
terjadi reaksi pembakaran yang menghasilkan gas dengan kadar oksigen
yang lebih tinggi, seperti H2O (uap), dan CO2. Diantara berbagai reaksi,
reaksi gasifikasi mengambil peran paling dominan dalam menghasilkan
produk syngas, dan hal ini menjadi awal penentuan tekanan gas input
georeaktor sebesar 30 bar. Secara keseluruhan, reaksi-reaksi yang terjadi
dalam georeaktor terjadi pada kisaran suhu 750C-1100C, dan tekanan
29,8-30 bar.

Diagram alir proses disusun dengan kondisi proses hipotetik dari


referensi yang ada. Permodelan reaksi pirolisis dilakukan dengan
pendekatan minimasi energi gibbs, dan permodelan reaksi gasifikasi
dilakukan dengan pendekatan perkiraan yield dari produk hasil reaksi.
Dengan sistem yang disusun, proses terjadi secara otomatis dengan
eksplorasi termodinamika dari kondisi operasi dalam reaktor, dan hasil
yang diperoleh dapat digunakan untuk menyusun neraca massa dan neraca
panas dari georeaktor.

NERACA MASSA : GEOREAKTOR (UNDERGROUND COAL GASIFICATION)


INPUT GEOREAKTOR
OUTPUT GEOREAKTOR
Arus

= ARUS COAL + STEAM + AIR


= 2246593 kg/jam
= SYNGAS + MOISTURE + BYPRODUCT
= 2246593 kg/jam

Massa Zat (kg/jam)


H2O
Tar

CO

CO2

H2

COAL

32292

IN-SEP1

26753.43

OUT-SEP1

MOISTURE

Coal

H2S

CH4

O2

530371.8

535910.4

26753.43

IN-MIXER

178204.9

76373.55

50915.7

127289.2

2545.785

OUT-MIXE

178204.9

76373.55

50915.7

127289.2

2545.785

IN-PYRO

261205.4

246442.4

46618.85

462962.6

2995.041

IN-ROOFG

0.0194

98629.13

0.002223

132020.6

449.2562

39180.81

36966.36

6992.827

69444.39

449.2562

OUT-SEP2

222024.6

209476

39626.02

393518.2

2545.785

1325930

248.113
2
9.03E27

2.51E-09
2.80E+0
5
3.58E+0
5

IN-RCOMB

STEAM

OUT-ROOF

AIR

73827.7
6
73827.7
6

37.2169
9
210.896
3
-

3.76E-10
2.13E-09
-

Total
562663.8
4
562663.8
4
0
26753.43
2
509156.9
7
509156.9
7
0
1020472.
4
511099.0
3
358000
153070.8
6
867401.5
7
1325929.
6

IN-BOTTG

OUT-BOTT

21.27738

2.68089

1325906

B-SYNGAS

222024.6

209476

39628.7

1719424

2545.785

SYNGAS

210923.4

199002.2

37647.26

1633453

2418.496

BYPRODUC
T

11101.23

10473.8

1981.435

85971.19

127.2892

210.896
3
25616.0
8
1348.24
5

21.27738
20.21351
1.063869

NERACA PANAS UNDERGROUND COAL GASIFICATION (Dalam MMBtu/jam)


PANAS MASUK

= -61062993.29 MMBtu/jam

PANAS KELUAR

= -65578171.94 MMBtu/jam

AKUMULASI

= 4515178.646 MMBtu/jam
= 1138.507044 kcal/jam

BLOCK

HEAT IN

HEAT OUT

TOTAL

R-DRYING

464491.4199

-464106.208

385.2123

R-COMBUS

268341.6798

-210449.43

-478791.11

R-PYROL

448.693
2043263.394
-14549244.1
464106.2076

-1832813.96

-1833262.7

-5231708
-13912950.9

-3188444.6
636293.24

-286912.307

177193.901

ROOF-GAS
BOTT-GAS
SEPR-01

0
1325929.
6
2193331.
2
2109080.
3
111004.26

SEPR-02
SEPR-03
MIXER
EMPTY-S

5231707.999
18373078.29
1832813.964
18373078.29

-5231711.97

-3.967

-18201627

171451.34

-1832813.96

-18373078.3
Total

0
-4515178.6

DIAGRAM ALIR PROSES HIPOTETIK


GEOREAKTOR

Dimensi Georeaktor
Panjang georeaktor (coal seam)

1500 m

Lebar georeaktor (coal seam)

70 m

Ketebalan georeaktor (coal seam)

15 m

Densitas batubara

1300 kg/m3

Massa total batubara

2.047.500 Ton

Konsumsi batubara

530371.844 kg/jam

Waktu konsumsi

5,3618 Bulan

Data relevan

Berdasarkan data pada table 1., daerah Muara Enim memiliki potensi batubara
sebesar 375.581.700.000 ton. Dengan sejumlah ini, jumlah georeaktor yang dapat
dibangun adalah 183434 georeaktor. Mengingat umur pabrik yang tidak lebih dari 10
tahun, maka dipilih daerah yang memiliki potensi besar dalam pemanfaatan batubara
karena berbagai hambatan dapat muncul. Hambatan tersebut berkaitan dengan alasan
pemilihan lokasi pengeboran georeaktor yang telah dibahas sebelumnya (kontinuitas
batubara, efek seismic, dll).

Fenomena Fisis Georeaktor


Analisis termodinamika disusun dengan memperhatikan panas reaksi yang
timbul, sebagai bagian terpenting dalam kesetimbangan fisis dan kimia.
Penyederhanaan disertakan dalam analisis untuk menentukan spesies-spesies kimia
yang saling berinteraksi mempengaruhi sistem secara keseluruhan. Secara sekilas,
kandungan utama dalam batubara dapat dianggap terdiri dari unsur karbon saja.
Proses oksidasi yang tejadi pada atom-atom karbon menghasilkan spesies berfase gas
yang terdiri dari gas CO, CO2, H2O, H2, dan CH4. Sebenarnya, terdapat berbagai
macam hidrokarbon lainnya, namun dalam perhitungan termodinamika dapat
diabaikan dan dapat diwakili oleh spesies CH4.

Gambar 11. Proses Pirolisis (Mouljin, 2013)

Tabel 1. Reaksi-Reaksi dalam Georeaktor

Reaksi Heterogen :
C+H2O CO + H2
C+CO2 2CO
2C+O2 2CO
C + O2 CO2
C + 2H2 CH4
Reaksi Homogen:

Hr = 136 kj/mol
Hr = 173 kj/mol
Hr = -222 kj/mol
Hr = -394 kj/mol
Hr = -87 kj/mol

2CO + O2 2CO2

Hr = -572 kj/mol

CO + H2O CO2 + H2

Hr = -37 kj/mol

Dengan kenaikan suhu, fraksi CO dan H 2 akan meningkat karena mendukung


reaksi endotermis gasifikasi H2O. Selain itu, tekanan rendah juga dapat mendukung
pembentukan CO dan H2 karena peningkatan jumlah molekulnya. Maksimasi CO2
dan CH4 bergeser ke kenaikan suhu dengan naiknya tekanan operasi. Berdasarkan
gambar 7.1, parameter fisis dari kondisi operasi gasifikasi, baik tekanan maupun suhu
mempengaruhi produk keluar reaktor.Georeaktor dimulai dengan suplai oksigen
dalam jumlah yang cukup besar untuk menyediakan cukup energi bagi batubara untuk
memulai gasifikasi, sehinggaa reaktor in-situ dapat terbilang sebagai reaktor
autothermal.

Gambar 9. Pengaruh suhu dan tekanan pada kesetimbangan komposisi gas pada
reaksi autothermal batubara (C) : a. CH4, dan H2 ; b. CO, CO2, dan H2O

Kondisi operasi dari sistem georeaktor notabene sulit untuk dipastikan


kestabilannya. Banyaknya reaksi samping, monitoring yang sulit, dan kekurangan
teknologi dapat menjadi hambatan dalam kesuksesan proses dalam menghasilkan
produk yang diinginkan. Tekanan operasi sebesar 30 bar digunakan karena keinginan
untuk meminimalkan produksi gas CO2 dan memaksimalkan produksi CO. Meskipun
dengan tekanan tinggi produksi H2 akan lebih sedikit, namun jumlah gas H 2 yang
terbentuk telah melebihi kebutuhan stoikiometri dari unit reaktor setelahnya.
Meninjau efek suhu terhadap reaksi, hasil spesies kimia keluar georeaktor bersifat
sensitive terhadap suhu. Suhu tinggi sebaiknya dipilih karena dapat meningkatkan
produksi gas yang diinginkan (syngas), dan dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk
membangkitkan daya dengan turbin gas setelah gas korosif dipisahkan.
Analisis konsekuensi penerapan kondisi operasi georeaktor bersifat hipotetik
dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Model termodinamika pada sistem reaksi
yang berujung pada data konversi dapat berlandaskan minimasi energy gibbs,
kesetimbangan kimia, atau keduanya. Hasil reaksi yang diperoleh dari simulasi secara
tidak langsung dapat menjadi tolak ukur menentukan dominansi suatu reaksi terhadap
reaksi lainnya. Efek panas dari reaksi-reaksi yang terjadi di dalam georeaktor dapat
digunakan untuk memperoleh profil suhu dari georeaktor selama proses terjadi .
Estimasi dari pengaruh suatu reaksi lokal dalam georeaktor terhadap suhu dalam
setiap zona di georeaktor dapat dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai