Diserahkan kepada
Dr. Jarot Kristianto, M.Si
Mata kuliah
Sejarah Kebijakan Pendidikan Indonesia
Oleh:
Kevin William Albert
Catur Siatya Yulianto
2022/2023
1
A. Pendahuluan
Apakah agama bisa mengambil bagian dalam kehidupan publik? Pertanyaan ini tentu
selalu menjadi soal dalam berbagai kehidupan publik umat beragama di Indonesia. Diskusrus
eksistensi agama di dalam kehidupan bernegara selalu menjadi persoalan yang krusial. Agama
yang dianggap menempati ruang privat dalam urusan kenegaraan, sering kali dibatasi untuk
terlibat dalam kehidupan politik.
Dengan kata lain, agama tidak boleh ikut campur dalam urusan politik kenegaraan.
Urusan politik adalah urusan publik sedangkan agama adalah urusan privat. Salah satu tokoh
abad 20, Jurgen Habermas adalah seorang yang sangat peka terhadap diskursus mengenai
peran agama di ruang publik. Bagi dia, sebagaimana ditulis Franz Magnis Suseno,
agamaagama harus berpartisipasi da lam diskursus publik tentang ke mana kita mau bergerak.
Tulisan ini akan mengantar kita kepada dialektika tentang konsep ideal hubungan agama dan
politik dalam ruang publik dengan memakaiteori demokrasi deliberatif, Habermas.
2
a. Pertama,
Paulo Freire dalam karya-karyanya, ia memiliki posisi atau sikap politik pendidikan yang
lebih jelas dari tokoh teori kritis lain semisal Antonio Gramsci dan para pemikir mazhab
Frankfurt. Sikap politik pendidikan Freire berpusat pada pembebasan kaum tertindas dan
konsisten terhadap upaya memanusiakan manusia. Bagi Freire, sistem pendidikan mesti menjadi
kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia.
Pendidikan itu sebagai upaya membebaskan manusia dalam pandangan Freire, melampaui
formalisme pengajaran di sekolah, untuk itu diperlukan model pembelajaranyang kontekstual agar
terbangun kehidupan publik yang humanis dan demokratis,karenanya ditekankan pentingnya
dialektika antara teks dan konteks, teks dan realitas.
b, Kedua
Jack L. Seymour yang membahas tentang model pendidikan dan pengajaran agama
memandang bahwa diperlukan adanya model pendidikan agama yang memungkinkan
terbentuknya sikap penerimaan antar sesama atau sikap toleran dikalangan peserta didik . Hal ini
dapat dimungkinkan apabila pendidikan agama tidak hanya mengajarkan pengetahuan terkait
iman dan pengajaran agamanya sendiri tetapi juga pengetahuan tentang agama lain di luar
agamanya.
Dalam konteks keberagamaan, kehadiran dan penggunaan teknologi informasi yang massif
ini mendorong terjadinya kontestasi terbuka berbagai faham dan ajaran. Sekitar tahun 1980-an,
3
untuk mendapatkan pengetahuan agama dan mengkonfirmasi interpretasi ajaran—dalam berbagai
aspek—masyarakat merujuk kepada ulama dan ormas tertentu yang teruji kompetensinya. Otoritas
agama yang disematkan pada ulama sebagai rujukan ini teruji bukan oleh hal-hal di luar kapasitas
dirinya. Tapi belakangan, rujukan itu bergeser. Media, khususnya media sosial, menjadi tempat
efektif untuk belajar agama.
Mengutip John Stuart Mill, ia menyebutkan bahwa pasar gagasan ini (marketplace of ideas)
diekspresikan secara terbuka melalui diskusi atau pengajian. Sejauh logika pasar, kontestasi
gagasan pun berjalan terbuka, fair, bebas dan sepenuhnya ditentukan oleh dominasi pendukung
dan pengikut. Gagasan yang dianggap lemah. dan oleh pasar dinilai tidak menjual akan tersingkir.
Kedua, munculnya figur publik, khususnya di media, yang dinilai memiliki daya tarik tersendiri
dan mendapatkan tempat di kalangan masyarakat. Tokoh-tokoh populer inilah yang oleh
Muhammad Qosim Zaman (2002) disebut sebagai ‘cendekiawan agama baru’. Mereka lahir
secara instan melalui ruang publik digital. Ironisnya, tak sedikit yang muncul berbarengan dengan
kelompok-kelompok Islam pembawa semangat eksklusif.
Bagi mereka yang baru belajar agama kehadiran tokoh-tokoh populer tersebut cenderung
sangat memikat setidaknya karena dua hal. Pertama, paham yang diajarkan dinilai, atau dianggap
baru dan seolah memenuhi dahaga spiritual di tengah kompleksitas masalah hidup yang memang
cenderung mencerabut manusia dari jati diri. Fenomena hijrah—yang kemudian diamplifikasi
oleh keterlibatan kalangan selebritas—misalnya, menggambarkan situasi ini. Kedua, penggunaan
media sosial yang efektif membuat tokoh-tokoh atau ‘cendekiawan agama baru’ ini mudah
diakses publik. Hubungan tokoh dan audiens menjadi terasa intens. Jarak dipangkas habis. Biaya
pun dianggap murah. Lalu kemasan, gimmick marketing, dan berbagai aspek yang
memungkinkan setiap pesan bisa dengan mudah diterima serta menjangkau khalayak di berbagai
level usia maupun strata sosial, memainkan perannya.
Otoritas agama yang lahir dari riuhnya media sosial ini, mungkin tampak tidak secara vulgar
melakukan perlawanan terhadap faham keagamaan yang ramah sebagaimana menjadi karakter
utama kalangan di ormas keagamaan. Namun seringkali juga tampak jelas basis ideologi dan
pemikirannya mengandung spirit salafi.
4
Ekspresi anti tradisi dari para tokoh agama populer ini berkali-kali menyeruak dan menjadi
kontroversi. Tidak jarang pula gejala itu muncul dalam bentuk pernyataan ‘serampangan’ seperti
dalam kasus pengharaman dua merk minuman mineral karena merupakan produk ‘orang kafir’.
Atau penyampaian materi ceramah keagamaan yang menoleransi Tindakan kekerasan dan
intoleran.
Di level yang lebih mengerikan adalah ketika gejala-gejala faham keagamaan eksklusif ini
dimainkan di arena politik. Jelas, kita sudah cukup melihat pemandangan ini terjadi dalam
bebeberapa tahun terakhir.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Coleman, James.S,Foundations of Social Theory, Harvard: The Belknap Press ofHarvard
University Press, 1994.
Christiani, Tabita Kartika.Blessed are the Peacemakers: Christian Religious Education for
Peacebuilding in the Pluralistic Indonesian Context, Ph.D. (Dissertation)TheGraduate School of
Arts and Sciences Instutute of Religious Education andPastoral Ministery of Boston
College, 2005.Collins, Denis, Paulo Freire: Kehidupan, Karya & Pemikirannya, Cet.III,
Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011.Freire, Paulo,
Pendidikan Kaum Tertindas, Cet. 3, Jakarta: LP3ES, 2000.