Anda di halaman 1dari 5

TUGAS KELOMPOK 2

AGAMA DAN RUANG PUBLIK SEKOLAH

Diserahkan kepada
Dr. Jarot Kristianto, M.Si
Mata kuliah
Sejarah Kebijakan Pendidikan Indonesia

Oleh:
Kevin William Albert
Catur Siatya Yulianto

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BERITA HIDUP


KARANGANYAR

2022/2023

1
A. Pendahuluan
Apakah agama bisa mengambil bagian dalam kehidupan publik? Pertanyaan ini tentu
selalu menjadi soal dalam berbagai kehidupan publik umat beragama di Indonesia. Diskusrus
eksistensi agama di dalam kehidupan bernegara selalu menjadi persoalan yang krusial. Agama
yang dianggap menempati ruang privat dalam urusan kenegaraan, sering kali dibatasi untuk
terlibat dalam kehidupan politik.

Dengan kata lain, agama tidak boleh ikut campur dalam urusan politik kenegaraan.
Urusan politik adalah urusan publik sedangkan agama adalah urusan privat. Salah satu tokoh
abad 20, Jurgen Habermas adalah seorang yang sangat peka terhadap diskursus mengenai
peran agama di ruang publik. Bagi dia, sebagaimana ditulis Franz Magnis Suseno,
agamaagama harus berpartisipasi da lam diskursus publik tentang ke mana kita mau bergerak.
Tulisan ini akan mengantar kita kepada dialektika tentang konsep ideal hubungan agama dan
politik dalam ruang publik dengan memakaiteori demokrasi deliberatif, Habermas.

Untuk mengatasi tegangan hubungan antara agama dan sekolah, Habermas


menawarkan teori demokrasi deliberatif sebagai kerangka solusi. Istilah deliberasi berasal dari
bahasa Latin deliberatio yang kemudian diadopsi dalam bahasa Inggris menjadi deliberation,
yang berarti konsultasi, menimbang, yang atau dalam bahasa politik disebut musyawarah (Sun
Choirol Ummah, “Dialektika Agama dan Negara Dalam Karya Jurgen Hebermas”. Humanika,
Vol. 16, Nomor 1, September 2016, hlm. 86). Sedangkan demokrasi sebagaimana sudah
dikenal luas berarti kedaulatan atau kekuasaan rakyat. Dengan demikian dapat dipadukan
bahwa demokrasi deliberatif berarti perkumpulan rakyat yang membentuk suatu kekuatan
dengan jalan musyawarah kepada mufakat.

B. Model Pembelajaran Agama Dalam Membangun Toleransi Di Ruang Publik Sekolah


Terkait dengan penggunaan teori model pembelajaran agama dalam konteks penulisan
makalah ini, penulis mengikuti pemikiran Paulo Freire yang menekankan pada pendidikan yang
membebaskan dan Jack L. Seymour, yang memberi pemikiran tentang model pendidikan dan
pengajaran agama. Baik Freire maupun Seymour sama-sama berangkat dari pengalaman konteks
pendidikan di Amerika tetapi pemikirankeduanya penulis anggap relevan dengan kondisi
pendidikan kita di Indonesia saat ini karena :

2
a. Pertama,

Paulo Freire dalam karya-karyanya, ia memiliki posisi atau sikap politik pendidikan yang
lebih jelas dari tokoh teori kritis lain semisal Antonio Gramsci dan para pemikir mazhab
Frankfurt. Sikap politik pendidikan Freire berpusat pada pembebasan kaum tertindas dan
konsisten terhadap upaya memanusiakan manusia. Bagi Freire, sistem pendidikan mesti menjadi
kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia.
Pendidikan itu sebagai upaya membebaskan manusia dalam pandangan Freire, melampaui
formalisme pengajaran di sekolah, untuk itu diperlukan model pembelajaranyang kontekstual agar
terbangun kehidupan publik yang humanis dan demokratis,karenanya ditekankan pentingnya
dialektika antara teks dan konteks, teks dan realitas.

b, Kedua

Jack L. Seymour yang membahas tentang model pendidikan dan pengajaran agama
memandang bahwa diperlukan adanya model pendidikan agama yang memungkinkan
terbentuknya sikap penerimaan antar sesama atau sikap toleran dikalangan peserta didik . Hal ini
dapat dimungkinkan apabila pendidikan agama tidak hanya mengajarkan pengetahuan terkait
iman dan pengajaran agamanya sendiri tetapi juga pengetahuan tentang agama lain di luar
agamanya.

Mengacu pada pemikirantersebut, Jack L. Seymour dan Tabita Kartika Christiani


menjelaskan tentang model-model pendidiakan dan pengajaran agama, yaitu in the wall, at the
wall,dan beyond the wall Pedidikan dengan model in the wall menekankan pada pengajaran
agama yang berorisntasi terbatas pada agama sendiri, dan tidak mengajarkan agama lain.

C. Kontestasi Ideologi di Ruang Publik


Ruang publik media digital mengubah gaya hidup masyarakat dalam banyak aspek,
termasuk bidang agama. Kemudahan, kecepatan akses dan kebebasan berekspresi di media digital
menjadi pemandangan biasa hari ini. Meski memiliki nilai positif, penggunaan media sosial untuk
menyampaikan apa saja, cenderung kurang disadari bahayanya baik bagi individu maupun
masyarakat luas.  Para ahli, seperti Fuchs (2014), mengingatkan betapa media sosial merupakan
ruang eksploitasi kapitalisme jenis baru yang kurang atau bahkan tidak disadari.

Dalam konteks keberagamaan, kehadiran dan penggunaan teknologi informasi yang massif
ini mendorong terjadinya kontestasi terbuka berbagai faham dan ajaran. Sekitar tahun 1980-an,

3
untuk mendapatkan pengetahuan agama dan mengkonfirmasi interpretasi ajaran—dalam berbagai
aspek—masyarakat merujuk kepada ulama dan ormas tertentu yang teruji kompetensinya. Otoritas
agama yang disematkan pada ulama sebagai rujukan ini teruji bukan oleh hal-hal di luar kapasitas
dirinya. Tapi belakangan, rujukan itu bergeser. Media, khususnya media sosial, menjadi tempat
efektif untuk belajar agama.

Riset Alexander R. Arifianto (2020) menunjukkan bahwa menguatnya faham keagamaan


eksklusif dan cenderung intoleran diakibatkan minimal oleh dua hal. Pertama, menguatnya
interaksi dan saling pengaruh gagasan, ide, pandangan dan ajaran secara terbuka.

Mengutip John Stuart Mill, ia menyebutkan bahwa pasar gagasan ini (marketplace of ideas)
diekspresikan secara terbuka melalui diskusi atau pengajian. Sejauh logika pasar, kontestasi
gagasan pun berjalan terbuka, fair, bebas dan sepenuhnya ditentukan oleh dominasi pendukung
dan pengikut. Gagasan yang dianggap lemah. dan oleh pasar dinilai tidak menjual akan tersingkir.
Kedua, munculnya figur publik, khususnya di media, yang dinilai memiliki daya tarik tersendiri
dan mendapatkan tempat di kalangan masyarakat. Tokoh-tokoh populer inilah yang oleh
Muhammad Qosim Zaman (2002) disebut sebagai ‘cendekiawan agama baru’. Mereka lahir
secara instan melalui ruang publik digital. Ironisnya, tak sedikit yang muncul berbarengan dengan
kelompok-kelompok Islam pembawa semangat eksklusif.

Bagi mereka yang baru belajar agama kehadiran tokoh-tokoh populer tersebut cenderung
sangat memikat setidaknya karena dua hal. Pertama, paham yang diajarkan dinilai, atau dianggap
baru dan seolah memenuhi dahaga spiritual di tengah kompleksitas masalah hidup yang memang
cenderung mencerabut manusia dari jati diri. Fenomena hijrah—yang kemudian diamplifikasi
oleh keterlibatan kalangan selebritas—misalnya, menggambarkan situasi ini. Kedua, penggunaan
media sosial yang efektif membuat tokoh-tokoh atau ‘cendekiawan agama baru’ ini mudah
diakses publik. Hubungan tokoh dan audiens menjadi terasa intens. Jarak dipangkas habis. Biaya
pun dianggap murah. Lalu kemasan, gimmick marketing, dan berbagai aspek yang
memungkinkan setiap pesan bisa dengan mudah diterima serta menjangkau khalayak di berbagai
level usia maupun strata sosial, memainkan perannya.

Otoritas agama yang lahir dari riuhnya media sosial ini, mungkin tampak tidak secara vulgar
melakukan perlawanan terhadap faham keagamaan yang ramah sebagaimana menjadi karakter
utama kalangan di ormas keagamaan. Namun seringkali juga tampak jelas basis ideologi dan
pemikirannya mengandung spirit salafi.

4
Ekspresi anti tradisi dari para tokoh agama populer ini berkali-kali menyeruak dan menjadi
kontroversi. Tidak jarang pula gejala itu muncul dalam bentuk pernyataan ‘serampangan’ seperti
dalam kasus pengharaman dua merk minuman mineral karena merupakan produk ‘orang kafir’.
Atau penyampaian materi ceramah keagamaan yang menoleransi Tindakan kekerasan dan
intoleran.

Di level yang lebih mengerikan adalah ketika gejala-gejala faham keagamaan eksklusif ini
dimainkan di arena politik. Jelas, kita sudah cukup melihat pemandangan ini terjadi dalam
bebeberapa tahun terakhir.

Kesimpulan

Model pembelajaran agama merupakan media pembentukan toleransi di ruang publik


sekolah. Secara ideal, Pendidikan agama pada hakekatnya adalah memanusiakan manusia. Dalam
perspektif ini,Pembelajaran agama dimaksudkan untuk membantu siswa menjadi manusia dalam
KRISTUS, yakni manusia yang beriman, berpengetahuan, berahklak mulia, berbudi pekerti,
berbudaya dan memiliki kepekaan sosial. Uraian pada bagian sebelumnya telah menunjukan
bahwa secara makro, pelaksanaan pembelajaran diIndonesia lebih menekankan pada aspek
kognitif siswa, dan kurang memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik siswa. Padahal kedua
aspek tersebut sangat penting dalam konteks pembelajaran agama saat ini, dalam membangun
sikap toleransi dan moral siswa, serta memberi ruang bagi kreativitas siswa

Daftar Pustaka
Coleman, James.S,Foundations of Social Theory, Harvard: The Belknap Press ofHarvard
University Press, 1994.
Christiani, Tabita Kartika.Blessed are the Peacemakers: Christian Religious Education for
Peacebuilding in the Pluralistic Indonesian Context, Ph.D. (Dissertation)TheGraduate School of
Arts and Sciences Instutute of Religious Education andPastoral Ministery of Boston
College, 2005.Collins, Denis, Paulo Freire: Kehidupan, Karya & Pemikirannya, Cet.III,
Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011.Freire, Paulo,
Pendidikan Kaum Tertindas, Cet. 3, Jakarta: LP3ES, 2000.

Anda mungkin juga menyukai