Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) merupakan perguruan tinggi
plus. Ia memiliki kelebihan tersendiri, dibanding perguruan tinggi lainnya.
Sekurang-kurangnya, ada dua kelebihan mendasar PTKI dibanding dengan
perguruan tinggi lainnya. Pertama, PTKI memiliki kemampuan mengharmoniskan
relasi Islam dan ilmu pengetahuan. Kedua, PTKI memiliki kontribusi besar dalam
membangun relasi Islam dan negara dengan baik.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaiman Relasi Islam dan Ilmu Pengetahuan
2. Bagaimana Relasi Islam dan Negara

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Relasi Islam dan Ilmu Pengetahuan


Dalam amatan penulis, dunia perguruan tinggi di Indonesia ini dalam
aspek keilmuan sekurang-kurangnya terdapat tiga bidang ilmu yang ditekankan.
Pertama, disiplin ilmu-ilmu pengetahuan umum-murni, seperti disiplin sosial-
sains dan sosial-humaniora. Ini dikembangkan perguruan tinggi umum, terutama
di bawah naungan Kemendikbud, seperti UI, ITB, UGM, dan lain-lain. Keilmuan
yang dikembangkan oleh sejumlah perguruan tinggi itu lebih banyak menekankan
pada disiplin ilmu-ilmu umum murni, sehingga lulusannya menghasilkan berbagai
sarjana di bidang keilmuan yang digelutinya itu. Sementara disiplin ilmu agama
Islam cenderung kurang mendapatkan tempat yang cukup.
Kedua, perguruan tinggi yang berorientasi pada disiplin keislaman murni
yang berorientasi pada mutafaqqih fiddin, menghasilkan ahli-ahli agama Islam.
Disiplin keilmuan ini dikembangkan oleh Ma’had Aly dan beberapa fakultas
keislaman murni pada PTKI, seperti Fakultas Ushuluddin, Syariah, dan lain-lain.
Lulusan dari Ma’had Aly dan fakultas-fakultas keislaman murni pada PTKI ini
adalah para ahli keislaman, yang menguasai kajian-kajian kitab kuning,
metodologi istimbath al-hukm, ahli ilmu kalam, mufassir, muhadits dan lain-lain.
Sementara disiplin ilmu sosial-sains dan sosial-humaniora (murni) mendapatkan
tempat yang minimal.
Ketiga, perguruan tinggi yang mengintegrasikan kedua disiplin itu, yakni
di samping menguasai bidang ilmu-ilmu umum murni, seperti disiplin sosial-sains
dan sosial-humaniora, juga ia menguasai bidang keislaman. Perguruan tinggi yang
mampu menghasilkan ini adalah UIN atau IAIN yang membuka fakultas atau
program studi pada rumpun ilmu pengetahuan sosial-sains dan sosial-humaniora.
Lulusan yang diharapkan dari fakultas atau program studi sosial-sains dan sosial-
humaniora pada UIN atau IAIN adalah memiliki prototipe semacam Al-
Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Jabbar, Ibnu Batutah, dan lain-lain. Para sarjana ini, di

2
samping ahli di bidang sosial-sains dan sosial-humaniora, juga ahli di bidang
keislaman.
Dalam konteks ini, yakni pada perguruan tinggi yang mengintegrasikan
disiplin ilmu keislaman dengan disiplin sosial-sains dan sosial-humaniora ini,
PTKI memiliki kontribusi besar dalam menjembatani relasi Islam dan ilmu
pengetahuan dengan baik. Sebab, dalam sejarah umat beragama, tercatat sejarah
cukup kelam yang memperhadapkan agama dengan ilmu pengetahuan.
Sejarah mencata, pada 13 Februari 1633, sang filsuf, astronom, dan pakar
matematika asal Italia, Galileo Galilei, diadili oleh otoritas gereja karena dianggap
menemukan teori ilmu pengetahuan yang dianggapnya “bid’ah”, bertentangan
dengan doktrin gereja. Galileo Galilei mengafirmasi temuan Copernicus dengan
teori heliosentrisme, yang menyatakan bumi mengitari matahari; sementara
doktrin gereja berkeyakinan pada teori geosentrisme, yang menyatakan bahwa
bumi sebagai pusat alam semesta. Atas temuan yang dianggap “bid’ah” ini,
Galileo Galileo harus menerima inkuisisi yang digelar Gereja Katolik dan pada
April 1633 bersedia mengaku bersalah untuk mendapatkan hukuman. m
Membangun relasi agama (Islam) dengan ilmu pengetahuan merupakan
persoalan yang sangat serius. Perbincangan mengenai hal ini, hampir tidak pernah
habis. G. Ian Barbour, fisikawan dan teolog, dalam karyanya berjudul When
Science Meets Religion, (San Francisco: Harper San Francisco, 2000)
memaparkan setidaknya terdapat 4 (empat) pola relasi, yakni konflik, independen,
dialog, dan integrasi. Keempat relasi ini terus digali dan dicari pola-pola
konstruksi yang produktif. Dalam konteks ini, PTKI yang melakukan integrasi
keilmuan ini memiliki kontribusi besar dalam menjembatani relasi Islam dan ilmu
pengetahuan dengan baik.
Di samping itu, integrasi keilmuan dimaksudkan untuk memperkuat peran
dan kontribusi umat Islam dalam pembangunan bangsa. Di tengah tuntutan
partisipasi dalam pembangunan yang demikian besar, sarjana muslim diminta
untuk mengisi ruang-ruang sosial dengan memiliki kecakapan dan integritas
keilmuan yang memadai guna membangun bangsa. Melalui PTKI, diharapkan

3
dapat melahirkan sarjana muslim yang menguasai keahlian di bidang sosial-sains
dan sosial-humaniora secara massif.

B. Relasi Islam dan Negara


Peran penting yang tidak dapat dipisahkan dari PTKI adalah menjadi
katalisator sekaligus dinamisator yang mampu merawat dan menjalin hubungan
harmonis antara Islam dan negara dalam konteks keindonesiaan. Relasi Islam dan
demokrasi di Indonesia dapat berjalan dengan apik, saling mengisi dan
mutualistik. Peran sosial yang amat dahsyat ini hampir diakui oleh semua
kalangan bahwa PTKI merupakan garda terdepan dalam membangun demokrasi
di Indonesia. Kehidupan berdemokrasi di tengah-tengah keragaman
keindonesiaan, yang tidak hanya pada aspek wilayah, suku, dan sosial budaya,
tetapi juga keragaman pada kehidupan keagamaan yang demikian plural, mampu
dibangun dengan penuh cinta damai dalam bingkai kesadaran keindonesiaan
berdasarkan Pancasila. Tentu, peran ini menjadi kontribusi PTKI yang tak ternilai
yang sekaligus menjadi tantangan tersendiri agar PTKI tetap konsisten dan tidak
terkontaminasi dengan ideologi dan gerakan-gerakan yang mengaburkan relasi
agama dan negara yang telah lama dibangun oleh bangsa ini.
Diakui, belakangan telah terjadi polarisasi di sebagian masyarakat yang
tetap kokoh dengan ideologi keagamaan yang produktif terhadap ideologi
kebangsaan, di satu sisi, dan munculnya sebagian kelompok masyarakat yang
mempertentangkan ideologi kebangsaan berdasarkan faham keagamaan, di sisi
lain. Polarisasi ini semakin menguat terutama dengan menyeret-nyeret paham
keagamaan demi kepentingan politik-praktis, terutama saat hajat Pilkada atau
Pemilu berlangsung. Walhasil, politisasi agama dan keagamaan yang politis
semakin menguat. Polarisasi dan politisasi agama ini jika dibiarkan akan
berdampak destruktif bagi kelangsungan ini.
PTKI di bawah naungan Kementerian Agama telah merawat, terus
menekadkan diri serta membangun kebersamaan untuk menghalau gejala-gejala
tersebut sekaligus meneguhkan kembali akan kiprah dan peran PTKI, yakni dalam
bentuk moderasi beragama. Sejumlah kebijakan dan pendirian rumah moderasi

4
beragama di setiap PTKI merupakan salah satu wujud nyata akan semangat
moderasi beragama itu.
Saat ini, moderasi beragama telah menjadi bagian penting dari instrumen
modal sosial dalam membangun bangsa. Melalui Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2020-2024, moderasi beragama ditempatkan sebagai
bagian dari strategi pembangunan sumber daya manusia di bidang penguatan
karakter. Ini berimplikasi pada moderasi beragama menjadi “khittah” yang tak
terpisahkan dari denyut nadi program dan kerja pada PTKI, secara khusus, dan
Kementerian Agama, secara umum.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada 2 (dua) ciri moderasi beragama itu,
agar dapat dirumuskan dan diturunkan ke dalam langkah taktis-operasional.
Pertama, memahami dan mempraktikkan agama yang diarahkan sesuai dengan
hakikat dan fungsi agama itu sendiri. Hakikat beragama adalah memanusiakan
manusia. Sebab, agama diturunkan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia. Yang
butuh terhadap agama adalah manusia, bukan Tuhan. Oleh karenanya, beragama
itu harus mampu menyelesaikan problem-problem kemanusiaan, bukan
sebaliknya, yakni beragama menjadi sumber masalah bagi manusia. Untuk itu,
kita perlu melakukan upaya agar agama itu dapat dipahami dengan bahasa-bahasa
kemanusiaan dan berdampak terhadap kemasalahatan bagi manusia.
Kedua, moderasi beragama itu harus mampu meletakkan pondasi faham
keagamaan yang sesuai dengan faham kebangsaan, sehingga faham keagamaan
dengan faham kebangsaan itu saling mendukung dan mengisi, bukan saling
memperhadapkan dan menegasikan. Mencintai tanah itu merupakan bagian dari
implementasi keimanan. Di samping sebagai umat beragama, kita juga sebagai
warga negara Indonesia, yang harus dapat diwujudkan secara sinergis dan saling
menguatkan.
Dalam konteks merevitalisasi moderasi beragama di lingkungan
masyarakat kampus, PTKI terus memperkuat gagasan-gagasan para pemikir dan
tokoh bangsa yang telah sukses meletakkan pondasi moderasi beragama dengan
baik. Terdapat sejumlah nama untuk disebut. Kuntowijoyo yang berhasil

5
membangun gagasan Islam-Transformatif, Nurcholish Madjid yang membangun
hubungan antara Islam, Indonesia, dan Kemanusiaan, Abdurrahman Wahid
dengan ide Pribumisasi Islam, M. Quraish Shihab dengan perspektif
Membumikan Alquran, dan lain-lain. Ide dan gagasan briliyan ini perlu direplikasi
dan didiseminasi serta dikembangkan lebih lanjut, terutama dalam
penyelenggaraan tridarma perguruan tinggi.
Selain itu, PTKI juga perlu melakukan penguatan moderasi beragama yang
tidak hanya melalui pengembangan dan kapasitas akademik an sich, tetapi juga
memperkokoh praktek-praktek kebudayaan yang telah lama dilakukan oleh
masyarakat. Merevitalisasi kebudayaan masyarakat sebagai entitas dasar
keindonesiaan merupakan langkah strategis yang perlu digarap PTKI.
Indonesia dibangun atas dasar keanekaragaman kebudayaan, sehingga
tidak perlu dilakukan unifikasi menjadi satu kebudayaan tertentu. Masing-masing
negara-bangsa juga memiliki kebudayaannya sendiri, yang sangat ditentukan oleh
berbagai faktor. Oleh karenanya, antara kebudayaan di Indonesia dengan
kebudayaan di luar sana tidak perlu untuk dipaksa untuk disamakan. Termasuk,
kebudayaan dalam wujud tata berpakaian, misalnya, yang menjadi ciri khas
sebuah negara tertentu tidak perlu untuk dipaksakan untuk digunakan.

PTKI juga hendaknya menyadarkan masyarakat agar tidak perlu mengatakan


bahwa kebudayaan Indonesia tidak lebih baik dari kebudayaan luar sana. Sebagai
bagian dari bangsa Indonesia, kita patut bangga akan budaya Indonesia,
mengembangkan dan memperkuat identitas kebudayaan bangsa, termasuk
kebudayaan lokal daerah masing-masing sebagai kebijakan lokal (local wisdom).
Dengan memperkuat kebudayaan masing-masing, itu akan semakin memperluas
wawasan dan kearifan masyarakat dalam memahami sebuah realitas.

6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dunia perguruan tinggi di Indonesia ini dalam aspek keilmuan sekurang-
kurangnya terdapat tiga bidang ilmu yang ditekankan. Pertama, disiplin ilmu-ilmu
pengetahuan umum-murni, seperti disiplin sosial-sains dan sosial-humaniora.
perguruan tinggi yang mengintegrasikan kedua disiplin itu, yakni di samping
menguasai bidang ilmu-ilmu umum murni, seperti disiplin sosial-sains dan sosial-
humaniora, juga ia menguasai bidang keislaman

B. Saran

Penulis menyadari bahwa didalam makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan. Untuk itu demi pemahaman kita bersama, mari kita membaca dari
buku-buku lain yang bisa menambah ilmu dan pengetahuan kita tentang Aliran
Murji’ah, dan penulis sangat mengharapkan kritik maupun saran yang sifatnya
membangun, dari Dosen Pembimbing dan para pembaca agar untuk berikutnya
makalah ini bisa lebih baik lagi.

7
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, M., dan Sukmana, R. 2011. “Deposit Behaviour in Indonesia Islamic


Banking: Do Crisis and Fatwa Matter?”. Indonesia Islamic Banking
Research Forum 2011. Bandung.

Allison, Michael dan Jude Kaye. 2005. Perencanaan Strategis Bagi Organisasi.
Nirlaba, Pedoman Praktis dan Buku Kerja. Jakarta: Yayasan Obor.

Karim, Adiwarman. 2005. Fiqh and Financial Analysis. Jakarta: PT. Raja.
Grafindo Persada.

Lestari, Alfi Mulikhah. 2015. “Pengaruh Religiusitas, Produk Bank, Kepercayaan,


Pengetahuan, Dan Pelayanan Terhadap Preferensi Menabung Pada
Perbankan Syariah (Studi Kasus Pada Mahasiswa Fakultas Ekonomi Dan
Bisnis Universitas Brawijaya Malang)”. Tesis. Universitas Brawijaya
Malang.

Anda mungkin juga menyukai