Anda di halaman 1dari 14

Sunda Wiwitan

Jason Christ A.
2015420071
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan
berkat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas ini. Terima kasih juga kepada Ibu
Nuraeni selaku dosen mata kuliah Fenomenologi Agama yang telah membimbing
dengan sangat baik selama satu semester, baik dalam memberikan dasar teori
maupun melakukan pengecekan terhadap hasil karya yang telah kami buat. Tugas ini
pun tak akan menjadi sebaik ini tanpa ada bantuan dari Ibu Nuraeni.
Dalam penyelesaian penulisan paper ini masih banyak kesalahan serta
kekurangan dalam pembahasan maupun penyusunan. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan, pengalaman serta kemampuan saya sebagai penulis.
Saya memohon maaf kepada pembaca apabila ditemukannya kesalahan penulisan,
informasi, maupun adanya perbedaan pemikiran. Dimohon kesediannya untuk memaklumi hal
tersebut dan kami terbuka terhadap kritik serta saran yang mungkin muncul atas tugas kami.
Terima kasih.

Bandung, 5 Mei 2016

Jason Christ Alessandro

I
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN

KATA PENGANTAR
i

DAFTAR ISI
ii

BAB I PENDAHULUAN
1

1.1 Identifikasi Masalah


1
1.2 Tujuan penulisan 1

BAB II LANDASAN TEORI


2

2.1 Landasan Teori 2

BAB III ANALISIS


7

3.1 Wawancara
7
3.2 Pembahasan 7
3.3 Foto-foto 8

BAB IV SIMPULAN
10

DAFTAR PUSTAKA
11

II
Bab I

1.1. Identifikasi Masalah


Melihat adanya banyak tradisi agama adat leluhur di Indonesia ini,yang salah
satunya adalah Sunda Wiwitan, maka saya merumuskan masalah yang
ada berupa :
1. Kemunduran yang dihadapi oleh tradisi agama Sunda Wiwitan dalam
menghadapi zaman modern ini.
2. Kurangnya pemahaman masyarakat zaman kini dengan konsep tradisi agama
adat leluhur.

1.2. Tujuan Penulisan


Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk:
1. Memberikan informasi tentang sejarah dari Sunda Wiwitan serta
perkembangannya dalam lingkup bermasyarakat.
2. Memaparkan nilai-nilai ajaran yang dimiliki oleh agama adat Sunda Wiwitan.

1
Bab II

2.1. Landasan teori


Indonesia adalah satu bangsa untuk semua suku bangsa dan bangsa yang ada
dan hidup di Bumi Nusantara. Semua suku bangsa memiliki kebebasan
berkebudayaan demi kemajuan Indonesia yang dimiliki bersama itu. Aspek
berkebudayaan di dalamnya mengandung aspek religius atau aspek
berkepercayaan terhadap “Tuhan” yang diyakininya. Kalaulah merujuk pada
keanekaragaman kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di Nusantara, kita
akan melihat keanekaragaman kepercayaan kepada Tuhan dengan berbagai
ekpresi budaya spiritual dan dalam berbagai ritual yang dilakukannya. Semua
bentuk kehidupan berkepercayaan itu dijadikan landasan bersama sebagai
bangsa Indonesia dalam kerangka sistem nilai kepercayaan bersama terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan kajian antropologi, Indonesia terdiri atas lebih dari 500 suku dan
subsuku bangsa dengan ciri-ciri bahasa dan kebudayaan tersendiri. Setiap suku
bangsa dan subsuku bangsa di Indonesia dapat dikatakan mempunyai satu
daerah asal, pengalaman sejarah, dan nenek moyang. Suku bangsa atau etnis
adalah golongan sosial yang memiliki ciri-ciri tersendiri berdasarkan karakter
budaya etnisnya dan cenderung dipertahankan keberadaan budaya mereka,
secara khusus oleh pada pendukung etnis tersebut. Gambaran saling
mempertahankan keberadaan ciri-ciri budaya etnis ini begitu indah terlukiskan
dan hidup di sepanjang bentangan pulau-pulau di Nusantara, sehingga para
pendiri bangsa ini memberikan motto kepada bangsa Indonesia: Bhinneka
Tunggal Ika.

Kita akan mencoba memahami apa dan bagaimana berkembangnya ajaran


Sunda Wiwitan, mulai dengan menelusuri sekilas aspek historis ‘manusia Sunda’
dalam konteks religiusitas dan hal-hal yang terkait dengan unsur dan sistem
kepercayaannya. Berangkat dari asumsi dasar bahwa Tuhan Semesta Alam ini
(dengan berbagai sebutan dan cara bersembahyang dari berbagai sistem
kepercayaan di dunia) telah menciptakan manusia dengan bangsa-bangsanya,
dan di antaranya adalah manusia yang hidup dengan dan mencirikan
kebudayaan Sunda. Dilihat dari peristilahannya, kata ‘Sunda’ telah dikenal sejak
lama baik dalam peta dunia (geografis) maupun budaya dunia (filosofis). Adapun
dalam aspek kesukubangsaan, istilah Sunda mengacu pada posisi dan rasa
kesukubangsaan yang dinegasikan dengan posisi dan rasa kebangsaan setelah
Republik Indonesia berdiri.

2
‘Sunda Wiwitan’ terdiri atas dua kata: Sunda dan Wiwitan. Istilah ‘Sunda’
(menurut P. Djatikusumah) dimaknai dalam tiga kategori konseptual dasar,
yaitu: (1) filosofis: Sunda berarti bodas (putih), bersih, cahaya, indah, bagus,
cantik, baik dan seterusnya; (2) etnis: Sunda berarti atau merujuk pada
komunitas masyarakat suku bangsa Sunda yang Tuhan ciptakan seperti halnya
suku dan bangsa lain di muka bumi. Dalam hal ini berkaitan dengan kebudayaan
Sunda yang melekat pada cara dan ciri manusia Sunda; (3) geografis: Sunda
berarti mengacu sebagai penamaan suatu wilayah berdasarkan peta dunia sejak
masa lalu terhadap wilayah Indonesia (Nusantara), yaitu sebagai tataran wilayah
‘Sunda Besar’ (The Greater Sunda Islands) meliputi himpunan pulau yang
berukuran besar (Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan) dan ‘Sunda Kecil’ (The
Lesser Sunda Islands), yaitu deretan pulau yang berukuran lebih kecil dan
terletak di sebelah timur Pulau Jawa (Bali, Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba,
Roti, dan lain-lain).

Kata ‘wiwitan’ secara literal berarti ‘asal mula’, sedangkan ‘Sunda Wiwitan’
berarti Sunda asal atau Sunda asli (Danasamita et.al., 1986: 4-5).

Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu
Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal
(Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala
(Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep
Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada
Batara Seda Niskala.[3]

Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan
dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:

1. Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling
atas
2. Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di
tengah
3. Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah

Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang
tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang
atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang.
Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci
Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.

Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu
dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai

3
leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang
memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun
(menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.

Menurut pengakuan dan kepercayaan orang Kanekes, leluhur mereka


mempunyai hubungan langsung dengan Adam (manusia pertama) dan agama
yang mereka anut disebut Sunda Wiwitan (Geise, 1952: 204; Danasasmita et.al,
1986: 75-106; Garna, 1988). Selanjutnya, Sunda Wiwitan juga sering dipakai
sebagai penamaan atas keyakinan atau sistem keyakinan “masyarakat keturunan
Sunda” yang masih mengukuhkan ajaran spiritual leluhur kesundaan. Penamaan
itu tidak muncul serta merta sebagai sebuah konsep penamaan keyakinan oleh
komunitas penganut Sunda Wiwitan, tetapi kemudian dilekatkan pada beberapa
komunitas dan individu Sunda (orang Sunda) yang dengan kokoh
mempertahankan budaya spiritual dan tuntunan ajaran leluhur Sunda. Dengan
demikian Sunda Wiwitan secara literal berarti Orang Etnis Sunda Awal atau awal
mula orang Sunda. Sunda Wiwitan yang sejauh ini oleh para antropolog
Indonesia dianggap sebagai salah satu sistem religi dan identitas masyarakat
Sunda, khususnya di masyarakat Baduy atau Kanekes, dapat kita baca dalam
perspektif masyarakat Kanekes sendiri.

Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang
tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas
dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat
adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda
Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan
Cara Ciri Bangsa.

Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan
manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:

 Welas asih: cinta kasih


 Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan
 Tata krama: tatanan perilaku
 Budi bahasa dan budaya
 Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala
sesuatu sebelum melakukannya

Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka
manusia pasti tidak akan melakukannya.

4
Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia
memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-
hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya.
Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut
didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:

 Rupa
 Adat
 Bahasa
 Aksara
 Budaya

Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang
bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar, manusia
sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat
akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan
bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa
yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.

Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para


pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada
dua.

 Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain
 Yang bisa membahayakan diri sendiri

Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan


keramat (Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas)
serta menaati serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen,
maka ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu (dalam
bahasa orang Kanekes disebut "Buyut") paling banyak diamalkan oleh mereka
yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai orang
Baduy Dalam.

Dalam ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian


pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara
syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada
penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun. Di berbagai
tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh
ribuan orang. Perayaan Seren Taun dapat ditemukan di beberapa desa seperti di
Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok,

5
Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan. Di Cigugur, Kuningan
sendiri, satu daerah yang masih memegang teguh budaya Sunda, mereka yang
ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru negeri.

Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk
agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh
agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang
Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini.

6
Bab III

3.1. Wawancara
Berikut cuplikan wawancara dengan salah seorang warga Kanekes (sekitar tahun
2000) yang berasal dari Cikadu Pasir, daerah Puun Cikartawana ( tangtu
Karatauan/kaprabuan).

“…Sunda Wiwitan teh mun ibaratna jaman baheula mah nya hartina Sunda mimiti.
Pertamana aya urang sunda teh nyaeta nerjemahkeun nyaeta Sunda Wiwitan. Nu matak
diayakeun KTP. Memang baheulana mah nu kasebut ngabaratapakeun nusa telu puluh
telu bangawan sawidak lima, pancer salawe nagara teh pikeun ngasuh ratu ngajayak
menak, euweuh agama baheula mah, kitu ceuk kolot mah. Ngan kulantaran ayeuna
mah jalma geus loba, diayakeun cenah kudu ngabogaan KTP. Nyaeta dibere titah ti baris
kolot nyieun ngaran agama nyaeta Sunda Wiwitan. Ari pagaweanana Sunda Wiwitan
lamun hayang nyaho atawa kurang natrat, pagawean Sunda Wiwitan eta nyaeta nu telu
puluh telu nagara sawidak lima, pancer salawe nagara, eta bagianana, nyaeta
ngukus,ngawalu, muja, ngalaksa, kalanjakan, kapundayan, ngabersihan Sasaka Domas.
Pikeun nulung kanu butuh nalang kanu susah, nganteur anu sieun, mere kanu weleh,
ngobor kanu poek eta bagianana. Nyokona anu saciduh metu saucap nyata di
lingkungan daerah Baduy. Nu matak masalah ka kiri ka kananna mah kami moal daek
nerangkeun ku sabab , ka hiji bisi salah jalan, kaduana bisi urangna kurang mapay. Ngan
aya basa cenah mun cara eta tea mah basa singkatan, lojorna bae teu bisa dipotong,
pendekna bae teu bisa disambung. Ari geus kitu mah kitu bae ti meletuk sampe ka
meletek di lingkungan daerah Baduy mah moal aya perobahan kitu bae dina masalah
hukum adat…”

3.2. Pembahasan
Hubungan manusia dengan Tuhannya merupakan hubungan yang sangat privat. Terkait
dengan hal ini dalam pandangan Agama atau ageman Sunda Wiwitan tidak pernah dan
memang tidak dilakukan propaganda agama atau kepercayaan berupa syiar atau misi,
karena paham Sunda Wiwitan bukanlah “agama misi”. Bahkan, sebenarnya tidak mudah
orang mengaku atau memeluk keyakinan Sunda Wiwitan. Ajaran Sunda Wiwitan dianut
dan berkembang hanya pada masyarakat Suku Sunda, dan dengan demikian sistem ritus
serta bahasa yang digunakan pun menggunakan tatacara budaya dan bahasa Sunda.
Para penganut Sunda Wiwitan umumnya menitikberatkan tuah (amal, perbuatan).
Agama mereka (Sunda Wiwitan) menekankan apa yang harus dilakukan sebagai
manusia, serta cenderung lebih tertutup dalam hal mempermasalahkan atau
memperdebatkan pada “apa yang mereka percayai”. Hal ini disebabkan di kalangan
penganut Sunda Wiwitan, Yang Dipercayai (yang diimani) itu bukan untuk
diperdebatkan, tetapi yang penting bagaimana melaksanakan pikukuh atau aturan
kehidupan manusia berdasarkan pada aturan-aturan adat di masingmasing
wewengkon-nya atau wilayahnya.

7
Bagi masyarakat penganut Sunda Wiwitan AKUR, dalam menghayati kepercayaan
terhadap Tuhan yang maha Esa, manusia harus yakin dan merasakan bahwa kehidupan
ini terwujud dari perpaduan serta jalinan antara segala ciptaan Tuhan sebagai
pernyataan keagungan-Nya. Kuasa dan pancaran kasih Yang Maha Asih terwujud dalam
kemurahanNya, saat segala cipta dan kehidupan diatur-Nya dengan masing-masing
fungsinya

3.3. Foto

ritual Ngertakeun Bumi Lamba

8
Ekspresi syukuran Seren Taun

9
Bab IV
Simpulan

Pengingkaran apalagi diskriminasi terhadap keyakinan atau kepercayaan yang


hidup dan berkembang di Nusantara adalah sebentuk penolakan (sejarah)
kemanusiaan bangsa Indonesia sendiri. Bisa dikatakan bahwa sikap yang
menafikan dan mendiskriminasi individu atau masyarakat dalam berkepercayaan
terhadap Tuhan yang diyakininya dengan segenap aspek ritual dan spritualnya
adalah tidak berjiwa kebangsaan Indonesia.

Salah satunya kepercayaan nusantara yang menerima penolakan tersebut


adalah kepercayaan Sunda Wiwitan yang oleh negara sendiri mengalami
penyangkalan bahwa Sunda Wiwitan bukan merupakan agama namun hanya
sebatas budaya atau tradisi semata. Hal ini dikarenakan karena Sunda Wiwitan
tidak memiliki kitab suci yang tertulis.

Hal ini disebabkan oleh pemahaman bahwa pentingnya berketuhanan bagi


masyarakat penganut Sunda Wiwitan bukanlah pada seringnya berdoa atau
‘beribadah’ menyembah Tuhan, melainkan pada menjaga sikap dan perbuatan
sebagai manusia yang menjaga keseimbangan hubungan dengan sesama
manusia, alam lingkungan beserta isinya, dan Tuhan. Bagi masyarakat ini,
pengukuhan budaya bangsa (lokal/etnis) adalah juga wujud kesadaran
berketuhanan, sebab di situ ada kesadaran berbudaya bangsa sendiri, yakni
bukti “manusia Sunda Wiwitan” menjalankan “amanat ciptaan kudrat” dari
Tuhan Sang Maha Pencipta.

10
Daftar Pustaka

https://id.wikipedia.org/wiki/Sunda_Wiwitan

journal.unpar.ac.id/index.php/melintas/article/v
iewFile/1284/1254

http://alitopands.blogspot.co.id/2015/02/sunda-wiwitan-di-tengah-perkembangan.html

http://kompasmuda.com/2015/11/16/ekspresi-syukur-sunda-wiwitan/

11

Anda mungkin juga menyukai