Jason Christ A.
2015420071
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan
berkat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas ini. Terima kasih juga kepada Ibu
Nuraeni selaku dosen mata kuliah Fenomenologi Agama yang telah membimbing
dengan sangat baik selama satu semester, baik dalam memberikan dasar teori
maupun melakukan pengecekan terhadap hasil karya yang telah kami buat. Tugas ini
pun tak akan menjadi sebaik ini tanpa ada bantuan dari Ibu Nuraeni.
Dalam penyelesaian penulisan paper ini masih banyak kesalahan serta
kekurangan dalam pembahasan maupun penyusunan. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan, pengalaman serta kemampuan saya sebagai penulis.
Saya memohon maaf kepada pembaca apabila ditemukannya kesalahan penulisan,
informasi, maupun adanya perbedaan pemikiran. Dimohon kesediannya untuk memaklumi hal
tersebut dan kami terbuka terhadap kritik serta saran yang mungkin muncul atas tugas kami.
Terima kasih.
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
1
3.1 Wawancara
7
3.2 Pembahasan 7
3.3 Foto-foto 8
BAB IV SIMPULAN
10
DAFTAR PUSTAKA
11
II
Bab I
1
Bab II
Berdasarkan kajian antropologi, Indonesia terdiri atas lebih dari 500 suku dan
subsuku bangsa dengan ciri-ciri bahasa dan kebudayaan tersendiri. Setiap suku
bangsa dan subsuku bangsa di Indonesia dapat dikatakan mempunyai satu
daerah asal, pengalaman sejarah, dan nenek moyang. Suku bangsa atau etnis
adalah golongan sosial yang memiliki ciri-ciri tersendiri berdasarkan karakter
budaya etnisnya dan cenderung dipertahankan keberadaan budaya mereka,
secara khusus oleh pada pendukung etnis tersebut. Gambaran saling
mempertahankan keberadaan ciri-ciri budaya etnis ini begitu indah terlukiskan
dan hidup di sepanjang bentangan pulau-pulau di Nusantara, sehingga para
pendiri bangsa ini memberikan motto kepada bangsa Indonesia: Bhinneka
Tunggal Ika.
2
‘Sunda Wiwitan’ terdiri atas dua kata: Sunda dan Wiwitan. Istilah ‘Sunda’
(menurut P. Djatikusumah) dimaknai dalam tiga kategori konseptual dasar,
yaitu: (1) filosofis: Sunda berarti bodas (putih), bersih, cahaya, indah, bagus,
cantik, baik dan seterusnya; (2) etnis: Sunda berarti atau merujuk pada
komunitas masyarakat suku bangsa Sunda yang Tuhan ciptakan seperti halnya
suku dan bangsa lain di muka bumi. Dalam hal ini berkaitan dengan kebudayaan
Sunda yang melekat pada cara dan ciri manusia Sunda; (3) geografis: Sunda
berarti mengacu sebagai penamaan suatu wilayah berdasarkan peta dunia sejak
masa lalu terhadap wilayah Indonesia (Nusantara), yaitu sebagai tataran wilayah
‘Sunda Besar’ (The Greater Sunda Islands) meliputi himpunan pulau yang
berukuran besar (Sumatera, Jawa, Madura, Kalimantan) dan ‘Sunda Kecil’ (The
Lesser Sunda Islands), yaitu deretan pulau yang berukuran lebih kecil dan
terletak di sebelah timur Pulau Jawa (Bali, Lombok, Flores, Sumbawa, Sumba,
Roti, dan lain-lain).
Kata ‘wiwitan’ secara literal berarti ‘asal mula’, sedangkan ‘Sunda Wiwitan’
berarti Sunda asal atau Sunda asli (Danasamita et.al., 1986: 4-5).
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu
Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal
(Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala
(Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep
Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada
Batara Seda Niskala.[3]
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan
dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:
1. Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling
atas
2. Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di
tengah
3. Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang
tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang
atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang.
Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci
Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu
dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai
3
leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang
memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun
(menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.
Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang
tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas
dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat
adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda
Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan
Cara Ciri Bangsa.
Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan
manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:
Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka
manusia pasti tidak akan melakukannya.
4
Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia
memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-
hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya.
Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut
didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:
Rupa
Adat
Bahasa
Aksara
Budaya
Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang
bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar, manusia
sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat
akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan
bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa
yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.
Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain
Yang bisa membahayakan diri sendiri
5
Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan. Di Cigugur, Kuningan
sendiri, satu daerah yang masih memegang teguh budaya Sunda, mereka yang
ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru negeri.
Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk
agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh
agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang
Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini.
6
Bab III
3.1. Wawancara
Berikut cuplikan wawancara dengan salah seorang warga Kanekes (sekitar tahun
2000) yang berasal dari Cikadu Pasir, daerah Puun Cikartawana ( tangtu
Karatauan/kaprabuan).
“…Sunda Wiwitan teh mun ibaratna jaman baheula mah nya hartina Sunda mimiti.
Pertamana aya urang sunda teh nyaeta nerjemahkeun nyaeta Sunda Wiwitan. Nu matak
diayakeun KTP. Memang baheulana mah nu kasebut ngabaratapakeun nusa telu puluh
telu bangawan sawidak lima, pancer salawe nagara teh pikeun ngasuh ratu ngajayak
menak, euweuh agama baheula mah, kitu ceuk kolot mah. Ngan kulantaran ayeuna
mah jalma geus loba, diayakeun cenah kudu ngabogaan KTP. Nyaeta dibere titah ti baris
kolot nyieun ngaran agama nyaeta Sunda Wiwitan. Ari pagaweanana Sunda Wiwitan
lamun hayang nyaho atawa kurang natrat, pagawean Sunda Wiwitan eta nyaeta nu telu
puluh telu nagara sawidak lima, pancer salawe nagara, eta bagianana, nyaeta
ngukus,ngawalu, muja, ngalaksa, kalanjakan, kapundayan, ngabersihan Sasaka Domas.
Pikeun nulung kanu butuh nalang kanu susah, nganteur anu sieun, mere kanu weleh,
ngobor kanu poek eta bagianana. Nyokona anu saciduh metu saucap nyata di
lingkungan daerah Baduy. Nu matak masalah ka kiri ka kananna mah kami moal daek
nerangkeun ku sabab , ka hiji bisi salah jalan, kaduana bisi urangna kurang mapay. Ngan
aya basa cenah mun cara eta tea mah basa singkatan, lojorna bae teu bisa dipotong,
pendekna bae teu bisa disambung. Ari geus kitu mah kitu bae ti meletuk sampe ka
meletek di lingkungan daerah Baduy mah moal aya perobahan kitu bae dina masalah
hukum adat…”
3.2. Pembahasan
Hubungan manusia dengan Tuhannya merupakan hubungan yang sangat privat. Terkait
dengan hal ini dalam pandangan Agama atau ageman Sunda Wiwitan tidak pernah dan
memang tidak dilakukan propaganda agama atau kepercayaan berupa syiar atau misi,
karena paham Sunda Wiwitan bukanlah “agama misi”. Bahkan, sebenarnya tidak mudah
orang mengaku atau memeluk keyakinan Sunda Wiwitan. Ajaran Sunda Wiwitan dianut
dan berkembang hanya pada masyarakat Suku Sunda, dan dengan demikian sistem ritus
serta bahasa yang digunakan pun menggunakan tatacara budaya dan bahasa Sunda.
Para penganut Sunda Wiwitan umumnya menitikberatkan tuah (amal, perbuatan).
Agama mereka (Sunda Wiwitan) menekankan apa yang harus dilakukan sebagai
manusia, serta cenderung lebih tertutup dalam hal mempermasalahkan atau
memperdebatkan pada “apa yang mereka percayai”. Hal ini disebabkan di kalangan
penganut Sunda Wiwitan, Yang Dipercayai (yang diimani) itu bukan untuk
diperdebatkan, tetapi yang penting bagaimana melaksanakan pikukuh atau aturan
kehidupan manusia berdasarkan pada aturan-aturan adat di masingmasing
wewengkon-nya atau wilayahnya.
7
Bagi masyarakat penganut Sunda Wiwitan AKUR, dalam menghayati kepercayaan
terhadap Tuhan yang maha Esa, manusia harus yakin dan merasakan bahwa kehidupan
ini terwujud dari perpaduan serta jalinan antara segala ciptaan Tuhan sebagai
pernyataan keagungan-Nya. Kuasa dan pancaran kasih Yang Maha Asih terwujud dalam
kemurahanNya, saat segala cipta dan kehidupan diatur-Nya dengan masing-masing
fungsinya
3.3. Foto
8
Ekspresi syukuran Seren Taun
9
Bab IV
Simpulan
10
Daftar Pustaka
https://id.wikipedia.org/wiki/Sunda_Wiwitan
journal.unpar.ac.id/index.php/melintas/article/v
iewFile/1284/1254
http://alitopands.blogspot.co.id/2015/02/sunda-wiwitan-di-tengah-perkembangan.html
http://kompasmuda.com/2015/11/16/ekspresi-syukur-sunda-wiwitan/
11