Anda di halaman 1dari 12

AGAMA HINDU DAN

PURA LUHUR LUWATU

Oleh :

KELOMPOK 4

1. NI PUTU INDAH MELIANTARI ( 1815834006 / 02 )


2. NI KADEK RINI BUDIARTINI ( 1815834046 / 10 )
3. DEBY ANJANI ( 1815834091 / 19 )
4. I WAYAN LINTAR RANDU DIFA ( 1815834116 / 24 )
5. I KOMANG ADI TRISNA ADI WINATA ( 1815834121 / 25 )
6. I PUTU GEDE ARYA PRATAMA ( 1815834126 / 26 )
7. KADEK ISA ENGELITA DEWI ( 1815834131 / 27 )

MBP 2A
D4 MANAJEMEN BISNIS PARIWISATA
PARIWISATA
POLITEKNIK NEGERI BALI
TAHUN AJARAN 2018 / 2019
PURA SECARA UMUM
Pura adalah istilah untuk tempat ibadah agama Hindu di Indonesia. Pura
di Indonesia terutama terkonsentrasi di Bali sebagai pulau yang mempunyai
mayoritas penduduk penganut agama Hindu.
Kata "Pura" sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sanskerta (-pur, -puri,
-pura, -puram, -pore), yang artinya adalah kota, kota berbenteng, atau kota dengan
menara atau istana. Dalam perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura"
menjadi khusus untuk tempat ibadah; sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk
tempat tinggal para raja dan bangsawan.
Tidak seperti candi atau kuil Hindu di India yang berupa bangunan tertutup, pura
dirancang sebagai tempat ibadah di udara terbuka yang terdiri dari beberapa
lingkungan yang dikelilingi tembok. Masing-masing lingkungan ini dihubungkan
dengan gerbang atau gapurayang penuh berukiran indah. Lingkungan yang
dikelilingi tembok ini memuat beberapa bangunan seperti pelinggih yaitu tempat suci
bersemayam hyang meru yaitu menara dengan atap bersusun,
serta bale (pendopo atau paviliun). Struktur tempat suci pura mengikuti konsep
Trimandala, yang memiliki tingkatan pada derajat kesuciannya, yakni:
1. Nista mandala (Jaba pisan): zona terluar yang merupakan pintu masuk pura
dari lingkungan luar. Pada zona ini biasanya berupa lapangan atau taman
yang dapat digunakan untuk kegiatan pementasan tari atau tempat persiapan
dalam melakukan berbagai upacara keagamaan.
2. Madya mandala (Jaba tengah): zona tengah tempat aktivitas umat dan
fasilitas pendukung. Pada zona ini biasanya terdapat Bale Kulkul, Bale Gong
(Bale gamelan), Wantilan (Bale pertemuan), Bale Pesandekan, dan
Perantenan.
3. Utama mandala (Jero): yang merupakan zona paling suci di dalam pura. Di
dalam zona tersuci ini terdapat Padmasana, Pelinggih Meru, Bale Piyasan,
Bale Pepelik, Bale Panggungan, Bale Pawedan, Bale Murda, dan Gedong
Penyimpenan.
Pada aturan zona tata letak pura maupun puri (istana) di Bali,
baik gerbang Candi bentar maupun Paduraksa merupakan satu kesatuan rancang
arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang
membatasi kawasan luar pura dengan Nista mandala zona terluar kompleks pura.
Sedangkan gerbang Kori Agung atau Paduraksa digunakan sebagai gerbang di
lingkungan dalam pura, dan digunakan untuk membatasi zona Madya
mandala dengan Utama mandala sebagai kawasan tersuci pura Bali. Maka
disimpulkan baik untuk kompleks pura maupun tempat tinggal bangsawan, candi
bentar digunakan untuk lingkungan terluar, sedangkan paduraksa untuk lingkungan
dalam.

Terdapat beberapa jenis pura yang berfungsi khusus untuk menggelar beberapa
ritual keagamaan Hindu dharma, sesuai penanggalan Bali.

1. Pura Kahyangan Jagad: pura yang terletak di daerah pegunungan.


Dibangun di lereng gunung, pura ini sesuai dengan kepercayaan Hindu Bali
yang memuliakan tempat yang tinggi sebagai tempat bersemayamnya
para dewa dan hyang.
2. Pura Segara: pura yang terletak di tepi laut. Pura ini penting untuk
menggelar ritual khusus seperti upacara Melasti.
3. Pura Desa: pura yang terletak dalam kawasan desa atau perkotaan, berfungsi
sebagai pusat kegiatan keagamaan masyarakat Hindu dharma di Bali.

Sad Kahyangan atau Sad Kahyangan Jagad, adalah enam pura utama yang


menurut kepercayaan masyarakat Bali merupakan sendi-sendi pulau Bali.
Masyarakat Bali pada umumnya menganggap pura-pura berikut sebagai Sad
Kahyangan:

1. Pura Besakih di Kabupaten Karangasem.


2. Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem.
3. Pura Goa Lawah di Kabupaten Klungkung.
4. Pura Uluwatu di Kabupaten Badung.
5. Pura Batukaru di Kabupaten Tabanan.
6. Pura Pusering Jagat (Pura Puser Tasik) di Kabupaten Gianyar.
DAYA TARIK PURA ULUWATU SEBAGAI TEMPAT LIBURAN

Tempat wisata di Bali selatan yang sangat terkenal sampai ke mancanegara


adalah objek wisata Pura Luhur Uluwatu Bali.

Pura Uluwatu Bali, memiliki status sebagai Pura Sad Kahyangan Jagat atau
penyangga poros mata angin pulau Bali. Lokasi pura terletak di atas sebuah bukit
karang dengan ketinggian sekitar 97 meter di atas permukaan laut. Karena lokasi
pura yang berada di atas tebing batu karang, maka pura ini di beri nama Uluwatu,
yang dalam bahasa Sanskerta berarti puncak batu karang.

Lokasi berdirinya bangunan pura Luhur Uluwatu, membuat wisatawan yang datang
berkunjung, tidak hanya dapat menikmati suasana yang sakral dan religius, tetapi
juga pemandangan yang indah serta unik
LOKASI OBJEK WISATA DILENGKAPI DENGAN PETA

Mengenai lokasi pura Luhur Uluwatu tepatnya berada di desa Pecatu, Kecamatan
Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Jarak yang ditempuh dari Bandara Ngurah
Rai menuju lokasi pura Luhur Uluwatu Bali, sekitar 1 jam ke arah selatan dengan
kendaraan pribadi.

PERTUNJUKAN TARIAN KECAK DI PURA ULUWATU

Selain daya tarik arsitektur pura serta keindahan pemandangan sunset,


wisatawan juga dapat menyaksikan pertunjukan tari tradisional Bali, yaitu Tari
Kecak Bali. Tari Kecak Uluwatu dimainkan oleh 50 – 100 orang penari. Penari
Kecak akan duduk melingkar dan memakai kain sarung berwarna hitam putih.

Para penari Kecak sebagian besar adalah laki-laki dan lakon yang diceritakan
biasanya cerita Ramayana. Ciri khas tari Kecak adalah suara cak,cak, cak yang
diucapkan oleh penari laki-laki yang saling bersahut-sahutan. Waktu pertunjukan tari
kecak Uluwatu di lakukan di sore hari menjelang sunset, tepatnya dipentaskan pada
pukul 18.10 – 19.00 waktu Bali. Lokasi menonton tarian kecak di Uluwatu masih
berada di kawasan pura. 
HARGA TIKET MASUK & TARIF MENONTON TARI
KECAK ULUWATU

Karena pementasan tari Kecak di Uluwatu berada di kawasan objek wisata pura
Luhur Uluwatu, artinya anda harus membayar tiket masuk objek wisata terlebih
dahulu, kemudian baru membayar tiket menonton tari Kecak.

ULUWATU DENGAN AGAMA HINDU


Pura Luhur Uluwatu atau Pura Uluwatu merupakan pura yang berada di
wilayah Desa Pecatu, Kecamatan Kuta, Badung, sekitar 30 km ke arah selatan dari
kota Denpasar. 

Pura yang terletak di ujung barat daya pulau Bali di atas anjungan batu karang
yang terjal dan tinggi serta menjorok ke laut ini merupakan Pura Sad Kayangan yang
dipercaya oleh orang Hindu sebagai penyangga dari 9 mata angin. Pura ini pada
mulanya digunakan menjadi tempat memuja seorang pendeta suci dari abad ke-11
bernama Empu Kuturan. Ia menurunkan ajaran Desa Adat dengan segala aturannya.

Pura ini juga dipakai untuk memuja pendeta suci berikutnya, yaitu Dang Hyang
Nirartha, yang datang ke Bali pada akhir tahun 1550 dan mengakhiri perjalanan
sucinya dengan apa yang dinamakan Moksa atau Ngeluhur di tempat ini. Kata inilah
yang menjadi asal nama Pura Luhur Uluwatu. Pura Uluwatu yang juga disebut Pura
Luwur ini merupakan salah satu dari Pura Sad Kahyangan, yaitu enam Pura
Kahyangan yang dianggap sebagai pilar spiritual Pulau Bali.
Pura Uluwatu terletak pada ketinggian 97 meter dari permukaan laut. Di depan pura
terdapat hutan kecil yang disebut alas kekeran, berfungsi sebagai penyangga kesucian
pura.

Pura Uluwatu mempunyai beberapa pura pesanakan, yaitu pura yang erat
kaitannya dengan pura induk. Pura pesanakan itu yaitu Pura Bajurit, Pura Pererepan,
Pura Kulat, Pura Dalem Selonding dan Pura Dalem Pangleburan. Masing-masing
pura ini mempunyai kaitan erat dengan Pura Uluwatu, terutama pada hari-hari
piodalan-nya. Piodalan di Pura Uluwatu, Pura Bajurit, Pura Pererepan dan Pura Kulat
jatuh pada Selasa Kliwon Wuku Medangsia setiap 210 hari. Manifestasi Tuhan yang
dipuja di Pura Uluwatu adalah Dewa Rudra.

Ada dua pendapat tentang sejarah berdirinya pendirian Pura Uluwatu. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa pura ini didirikan oleh Empu Kuturan pada abad
ke-9, yaitu pada masa pemerintahan Marakata. Pendapat lain mengaitkan
pembangunan Pura Uluwatu dengan Dang Hyang Nirartha, seorang pedanda
(pendeta) yang berasal dari Kerajaan Daha (Kediri) di Jawa Timur. Dang Hyang
Nirartha datang ke Bali pada tahun 1546 M, yaitu pada masa pemerintahan Dalem
Waturenggong. Sang Pedanda kemudian mendirikan Pura Uluwatu di Bukit Pecatu.
Setelah melakukan perjalanan spiritual berkeliling P. Bali, Dang Hyang Nirartha
kembali ke Pura Uluwatu. Di pura inilah Sang Pedanda 'moksa', meninggalkan
'marcapada' (dunia) menuju 'swargaloka' (surga). Upacara atau 'piodalan' peringatan
hari jadi pura jatuh pada hari Anggara Kasih, wuku Medangsia dalam penanggalan
Saka. Biasanya upacara tersebut berlangsung selama 3 hari berturut-turut dan diikuti
oleh ribuan umat Hindu.

Pura Uluwatu menempati lahan di sebuah tebing yang tinggi yang menjorok
ke Samudera Indonesia dengan ketinggian sekitar 70 m di atas permukaan laut.
Karena letaknya di atas tebing, untuk sampai ke lokasi pura orang harus berjalan
mendaki tangga batu yang cukup tinggi. Bangunan pura ini menghadap ke arah
timur, berbeda dengan pura lain di Bali yang umumnya menghadap ke arah barat
atau ke selatan. Di sepanjang jalan di tepi luar pura terdapat ratusan kera yang
berkeliaran. Walaupun tampak jinak, kera-kera tersebut seringkali mengganggu
pengunjung dengan menyerobot makanan atau barang-barang yang dikenakan.

Di ujung jalan yang mendaki terdapat dua pintu masuk ke komplek pura, satu
terletak di sebelah utara dan satu lagi di sebelah selatan. Pintu masuk tersebut
berbentuk gapura bentar dan terbuat dari batu. Di depan gapura terdapat sepasang
arca berbentuk manusia berkepala gajah dalam posisi berdiri. Dinding depan gapura
dihiasi pahatan yang sangat halus bermotif daun dan bunga.
Di sebelah dalam, di balik gapura, terdapat sebuah lorong berlantai batu
berundak, menuju ke pelataran dalam. Lorong terbuka ini diteduhi oleh pohon yang
ditanam di sepanjang kiri dan kanan lorong. Pelataran dalam merupakan pelataran
terbuka. Lantai pelataran tertutup oleh lantai batu yang tertata rapi. Di dekat gapura,
di sisi utara, terdapat bangunan kayu. Di sebelah barat, berseberangan dengan jalan
masuk, terdapat sebuah gapura paduraksa yang merupakan jalan masuk ke pelataran
yang lebih dalam lagi.

Berbeda dengan gapura luar, gapura ini merupakan gapura beratap yang
terbuat dari batu. Ambang pintu berbentuk lengkungan dan dibingkai oleh susunan
batu. Di atas ambang terdapat pahatan kepala raksasa. Puncak gapura di berbentuk
seperti mahkota dan dihiasi dengan berbagai motif pahatan. Celah di antara gapura
dengan dinding di kiri dan kanan pelataran tertutup oleh dinding yang juga dihiasi
dengan pahatan.

Di sebelah selatan terdapat pelataran kecil berbentuk memanjang dan


menjorok ke arah laut. Di ujung pelataran terdapat sebuah bangunan kayu yang
tampak seperti tempat orang duduk-duduk sambil memandang lautan. Sejak
dibanunannya, Pura Uluwatu telah banyak kali menjalani pemugaran. Bahkan sekitar
tahun 1999, bangunan pura ini sempat terbakar akibat sambaran petir.
MPU KUTURAN DAN SEJARAH PURA ULUWATU

Tidak diketahui secara jelas kapan pura uluwatu dibangun oleh Mpu Kuturan
atau Mpu Rajakreta pada masa pemerintahan suami-istri Sri Msula-Masuli pada
sekitar abad XI. Namun, ada fakta menarik dari tinggalan historis di Pura Luhur
Uluwatu. Tinggalan kuno di pura ini berupa candi kurung atau kori gelung agung
yang menjulang megah membatasi areal jaba tengah dengan jeroan pura, diprediksi
pura ini sudah ada sejak abad ke-8. Candi kuno itu menatahkan hitungan tahun Isaka
dengan candrasangkala gana sawang gana yang berarti tahun Isaka 808 atau sekitar
886 Masehi. Jadi, sebelum datangnya Mpu Kuturan ke Bali.
Pura Luhur Uluwatu Berperan mempunyai peranan penting dalam ista dewata
Bali. Dalam PadmaBhuana di Bali Purai Uluwatu terletak di daerah baratdaya,
dimana merupakan tempat memuja dewa Rudra.. Selain posisi geografis, keunikan
lain dari Pura Luhur Uluwatu adalah arah pemujaan yang menuju Barat Daya.
Umumnya, di beberapa prahyangan lainnya di Bali, yang pemujaannya menghadap
ke utara dan timur.Ketika kita lihat di sebelah kiri sebelum memasuki candi terdapat
pelinggih Dalem JUrit ini dapat ditemukan 3 tugu Tri Murti, merupakan subuah
tempat memuja Dewa Siwa Rudra. Di jaba tengah ini kita menoleh ke kiri lagi ada
sebuah bak air yang selalu berisi air meskipun musim kering sekalipun. Hal ini
dianggap suatu keajaiban dari Pura Luhur Uluwatu. Sebab, di wilayah Desa
Pecatu adalah daerah perbukitan batu karang berkapur yang mengandalkan air hujan.
Karena ada keajaibannya, maka bak air itu dikeramatkan. Biasanya digunakan untuk
kepentingan tirta suci. Kemudian selanjutnya dari jaba tengah terus masuk akan
melalui Candi kurung, candi Kurung ini yang menduga dibuat yaitu sekitar abad 11,
Masehi jika dihubungkan dengan keberadaan Candi Kurung bersayap yang ada di
Pura Sakenan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa Candi Kurung bersayap
seperti ini ada di Jawa Timur peninggalan purbakala di Sendang Duwur dengan
Candra Sengkala yaitu tanda tahun Saka dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuna
sbb: Gunaning salira tirtha bayu, artinya menunjukkan angka tahun Saka 1483 atau
tahun 1561 Masehi.
Candi Kurung Padu Raksa bersayap di Sendang Duwur sama dengan Candi
Kurung Padu Raksa di Pura Luhur Uluwatu. Dengan demikian nampaknya lebih
tepat kalau dikatakan bahwa Candi Kurung Padu Raksa di Pura Luhur Uluwatu
dibuat pada zaman Dang Hyang Dwijendra yaitu abad XVI. Karena Dang Hyang
Dwijendra-lah yang memperluas Pura Luhur Uluwatu. Setelah kita masuk ke jeroan
(bagian dalam pura) kita menjumpai bangunan yang paling pokok yaitu Meru
Tumpang Tiga tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra. Bangunan yang lainnya adalah
bangunan pelengkap saja seperti Tajuk tempat meletakkan upacara dan Balai
Pawedaan tempat pandita memuja memimpin upacara. Upacara piodalan atau hari
raya besar di Pura Uluwatu jatuh pada hari Kliwon, wuku medangsia.

KISAH SEJARAH PURA ULUWATU DIAWALI DENGAN


PEMBERIAN WAHYU KEPADA DHANGYANG DWIJENDRA.

Dikisahkan ketika pada suatu hari pada anggara kliwon wuku medangsia
Dhangyang Dwijendra diberi wahyu dari Tuhan pada hari itu juga beliau harus pergi
ke sorga. Pendeta Hindu asal Jawa Timur yang juga menjadi bhagawanta (pendeta
kerajan) Gelgel pada masa keemasan Dalem Waturenggong sekitar 1460-1550,
merasa bahagia karena saat yang dinanti-nantikannya telah tiba. Namun, pendeta
yang juga memiliki nama Danghyang Nirartha itu masih menyimpan satu pusataka
yang bakal diberikan kepada putranya. Di bawah ujung Pura Uluwatu, tampak
seorang nelayan bernama Ki Pasek Nambangan. Danghyang Dwijendra meminta
agar Ki Pasek Nambangan mau menyampikan kepada anaknya, Empus Mas di desa
Mas bahwa Danghyang Dwijendra menaruh sebuah pustaka di Pura Luhur Uluwatu.
Kemudian Ki Pasek Nambanganpun memberikan sebuah permintaan dari Dhangyang
Nirarta. Kemudian Ki Pasek Nambangan akhirnya pergi, sementara Dhangyang
Dwijendra melakukan tapa yoga semadi. Selanjutnya  Maha Resipun akhirnya
moksah (Pergi ke surga tanpa meninggalkan badan kasar) dengan cepat seperti
sebuah kilat. Ki Pasek nambangan hanya melihat sebuah cahaya ke angkasa.
Cerita sejarah Pura Uluwatu ini kemudian berkembang menjadi kepercayaan
masyarakat setempat dan Hindu di Bali. Bahwa keberadaan Pura Uluwatu
memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan beragama masyarakat Hindu
di Bali.
Sebelum memasuki pura, wisatawan wajib mengenakan pakaian khusus, yaitu
kain sarung untuk mereka yang mengenakan celana atau rok di atas lutut, serta
selendang untuk wisatawan yang memakai celana atau rok di bawah lutut.
Kain sarung dan selendang kuning (salempot) tersebut menyimbolkan penghormatan
terhadap kesucian pura, serta mengandung makna sebagai pengikat niat-niat buruk
dalam jiwa.
Setelah memasuki bagian jabaan pura (halaman luar pura), wisatawan akan disambut
sebuah gerbang Candi Bentar berbentuk sayap burung yang melengkung.

HIKAYAT

Sebelah kanan dan kiri bangunan Pura atau Pelinggih Ida Bagus Jurit yang
terletak di kompleks Pura Uluwatu, terdapat dua palungan batu yang menyerupai
kapal. Ketika keduanya disatukan, maka bentuknya menyerupai sarcophagus, peti
mati batu yang terkenal peninggalan jaman Megalithikum (zaman batu besar). Ada
sebuah peninggalan purbakala yang berasal dari abad ke-16, yakni gerbang masuk
yang berbentuk lengkung atau bersayap. Gerbang bersayap ini adalah peninggalan
purbakala yang tidak lazim. Masa pembuatan gerbang bersayap yang ada di Pura
Uluwatu dapat dibandingkan dengan masa yang sama pada kompleks masjid di Desa
Sendangduwur, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Masa pembuatannya sesuai
dengan tahun Candrasengala yang ditemukan pada pahatan dalam masjid, yang
berbunyi Gunaning Salira Tirta Hayu, yang berarti tahun Saka 1483 atau 1561
Masehi.

Apabila sarcophagus yang berada area Dalem Jurit menggambarkan artefak,


maka Pura Uluwatu melukiskan tempat yang disucikan sejak jaman peradaban
megalitikum (sekitar tahun 500 SM). Dalam lontar Usana Bali menyebutkan bahwa
Mpu Kuturan (seorang paderi yang menyebarkan agama Hindu ke Bali) membangun
banyak pura di pulau ini dan salah satunya adalah Pura Uluwatu. Dalam lontar
Dwijendra Tattwa diuraikan bahwa Mpu Kuturan mengunjungi Bali dua kali, yakni:

 Kedatangan pertama saat beliau melakukan Tirta Yatra (ziarah ke tempat


suci). Saat Beliau tiba di Uluwatu, hatinya bergetar dan beliau mendengar
bisikan bahwa tempat tersebut bagus untuk sembahyang. Pada saat itu,
Beliau memilih tempat tersebut untuk ngeluwur (melepas sukma/mati untuk
kembali kepada kesejatian diri atau moksa). Lalu berdasarkan pertimbangan,
beliau meniatkan untuk membangun Parahyangan atau memperluas
bangunan Pura Uluwatu dari sebelumnya. Ketika Mpu Kuturan memperluas
bangunan pura, beliau juga membangun penginapan sebagai tempat tinggal.
Bagunan penginapan tersebut saat ini digunakan oleh masyarakat lokal
sebagai tempat suci yang diberi-nama Pura Bukit Gong. Bangunan pura atau
Parahyangan di Pura Uluwatu diselesaikan oleh Mpu Kuturan pada abad ke-
16 setelah beliau diangkat menjadi Purohita (pendeta penasehat raja) dari
Raja Dalem Waturenggong, yang memerintah pada tahun 1460-1552.
 Mpu Kuturan pada kedatangan beliau yang kedua mencapai Moksa, yakni
hari Selasa, Kliwon Medangsya (istilah dalam kalender Bali). Saksi mata
dalam peristiwa tersebut adalah seorang nelayan yang bernama Ki Pasek
Nambangan. Ia melihatnya cahaya yang sangat terang melesat ke angkasa
yang disebut Ngeluwur.Tersirat dalam Lontar Padma Bhuwana bahwa Pura
Uluwatu terletak menghadap ke barat daya, ditujukan untuk memuja Dewa
Rudra, salah satu dari Dewa dalam Sembilan Dewa (Dewata Nawa Sanga).
Dewa Rudra adalah Dewa Siwa sebagai Pemralina atau Muara Sejati. Dalam
lontar ini juga disebutkan bahwa Pura Uluwatu di Alam Kahyangan dipuja
oleh seluruh umat Hindu. Sejak dibuka untuk umum, Pura ini dikunjungi
oleh banyak orang dari seluruh dunia karena pemandangannya yang
menawan, matahari tenggelam, latar belakang Samudera Hindia yang
menakjubkan serta tebing karang yang curam. Sungguh tempat yang
sempurna untuk dikunjungi di Bali.

KENAPA TIDAK BOLEH MASUK KE PURA SAAT SEDANG


DATANG BULAN?
Perempuan yang sedang datang bulan (menstruasi) tidak diperbolehkan masuk ke
pura.

Sebenarnya bukan hanya agama Hindu yang melarang perempuan menstruasi


masuk ke pura, tapi ada juga ajaran agama lain yang mengajarkan hal yang sama.
Karena, pura adalah tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (sebutan untuk Tuhan
Yang Maha Esa di agama Hindu). Dan darah menstruasi dianggap kotor, sehingga
bisa menyebabkan pura menjadi tidak suci.

Bukan hanya perempuan menstruasi yang tidak boleh masuk ke pura,


melainkan juga perempuan atau laki-laki yang sedang mengalami cuntaka (masa
“kotor” karena ada anggota keluarga yang baru meninggal). Orang yang mengalami
masa cuntaka, diperbolehkan kembali masuk ke pura setelah melewati 12 hari sejak
upacara ngaben. Begitu pula dengan orangtua yang memiliki bayi yang usianya di
bawah 6 bulan. Kedua hal tersebut berlaku untuk warga Bali.

APA AKIBATNYA JIKA TETAP INGIN MASUK KE PURA?


Ada banyak cerita soal perempuan menstruasi yang tetap ingin masuk ke
pura. Percaya atau tidak, banyak perempuan yang akhirnya mengalami kerasukan,
sakit, pingsan, dan hal lain yang kadang tidak masuk akal.karena, Dewa dan Bhatara
di pura marah akibat “rumah”nya dikotori.

Dampak negatifnya tidak hanya dirasakan oleh perempuan menstruasi, tetapi


juga oleh warga yang memiliki dan merawat pura. Warga di sekitarnya juga bisa
terkena musibah, seperti bencana alam dan penyakit. Untuk mengatasinya, warga
harus melakukan ritual guru piduka atau permintaan maaf. Ritual tersebut juga
mengorbankan materi yang tidak sedikit.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.tribunnews.com/travel/2016/01/31/etika-memakai-sarung-dan-selendang-serta-
tatakrama-masuk-pura-uluwatu-di-bali
https://id.wikipedia.org/wiki/Pura_Luhur_Uluwatu
https://id.wikipedia.org/wiki/Pura
http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-bali-pura_uluwatu
http://www.uluwatukecakdance.com/sejarah-pura-uluwatu/
http://warnainfo.blogspot.com/2012/06/pura-uluwatu-bali.html
https://www.pegipegi.com/travel/kenapa-nggak-boleh-masuk-ke-pura-saat-sedang-datang-
bulan/
https://www.google.com/search?
safe=active&ei=3n34XPf2Dqiv_QadmYDAAg&q=pura+uluwatu+dan+agama+hindu&oq=p
ura+uluwatu+dan+agama+hindu&gs_l=psy-
ab.3..33i22i29i30.2310.5304..6654...0.0..0.403.5097.3-14j1......0....1..gws-
wiz.......38j0i22i30j33i21j33i160.Hg_c0R8dJ74

Anda mungkin juga menyukai