Abstrak
Pura merupakan wujud warisan budaya tangible yang selain berfungsi primer sebagai tempat
persembahyangan bagi umat Hindu, pura juga berfungsi sekunder sebagai daya tarik wisata. Pura sri
sedana/bedugul yaitu sebuah pura suci yang memiliki sumber mata air untuk penglukatan/membersihkan
diri yang terletak di di pulau Lombok, memiliki latar belakang yang kaya akan sejarah dan tradisi
keagamaan. Pura ini dikelola dengan penuh dedikasi oleh kelompok pengelola yang terdiri dari warga
setempat yang beragama hindu di daerah tersebut. Selain menjadi tempat ibadah yang penting bagi umat
Hindu, pura ini menjadi daya Tarik bagi pengunjung yang tertarik dengan keindahan alam yang bertempatan
ditengah-tengah persawahan hijau akan alam yang masi asri dan kehidupan spiritual yang masi kental
PENDAHULUAN
Pulau Lombok adalah salah satu pulau terbesar yang terdapat di wilayah Provinsi Nusa Tenggara
Barat yang memiliki ragam wisata terkhusus dengan kekayaan alamnnya yang mengagumkan. Di sini
terdapat 5 administratif pemerintahannya yaitu Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten
Lombok Timur, Kabuaten Lombok Utara, dan Kabupaten Lombok Tengah.
Pulau Lombok menyimpan banyak pesona wisata nan menarik. Mulai dari alam, budaya hingga
keagamaan. Salah satunya yaitu Kabupaten Lombok Barat yang terdapat 12 desa yang ditetepkan sebagai
desa wisata di kabupaten Lombok barat yaitu Desa Suranadi yang kaya akan tempat destinasi wisatanya
dan memiliki potensi besar untuk pengembangan destinasi wisata, baik destinasi alam, sejarah maupun
budaya. Keunikan yang dimiliki Desa Suranadi adalah perpaduan antara budaya dan alamnya. Pengunjung
yang datang ke Desa Wisata suranadi tidak hanya sekedar melihat peninggalan sejarah berupa pura namun
juga dapat melihat pemandangan yang masih alami dan suasana sejuk dan sungai yang sangat jernih airnya.
Potensi wisata yang sudah berkembang di Desa Suranadi menjadi daya tarik wisatawan untuk
mengunjungi Desa Wisata Suranadi. Salah satu tempat wisata yang menjadi daya tarik pemedek khususnya
umat hindu di Desa Suranadi yaitu Pura Suranadi. Pura Suranadi adalah tempat bersejarah sekaligus tempat
spiritual bagi umat hindu. Pura Suranadi berlokasi di Kabupaten Lombok Barat yang mempunyai kaitan
erat dengan perjalan Dhang Hyang Nirarta yang dikisahkan beberapa kali beristirahat ketika sampai di
Lombok.
Pura Suranadi terdiri atas empat jenis pura antara lain Pura Ulon/Pura Gaduh, Pura Majapahit,
Pura Pengentas dan Pura Pembersih. Dibagian dalam setiap pura tersebut terdapat sumber mata air yang
dikenal dengan sebutan Panca Tirtha. Pura di dirikan di tempat-tempat yang telah terpilih berdasarkan atas
kitab suci Weda, dan selanjutnya dikembangkan wawasan lingkungan yang lebih dekat dengan kehidupan
manusia, gunung, danau, laut, sungai, sangat mendapatkan perhatian, karena diketahui dan dirasakan tidak
saja memberi ketenangan tetapi juga memberikan ketenangan tetapi juga kesucian pikiran. Karena pura
adalah wadah memotivasi kesucian agar manusia selalu berbuat suci didunia maka pura dinyatakan sebagai
kawasan lebih suci dari pada kawasan lain. Keberadaan pura bagi umat hindu sangat penting dan bernilai,
nilai-nilai yang terkandung didalamnnya telah mampu berfungsi menata sikap dan perilaku umat hindu
sehingga selalu berjalan kejalan yang benar.
Bagi umat Hindu tempat suci yang mempunyai sejarah dalam kaitannya dengan orang suci yang
melaksanakan pertapaan atau tempat beliau mendapatkan wahyu suci maka tempat suci itu menjadi pusat
– pusat Tirta Yatra. Oleh karena itu tempat melakukan Tirta Yatra memerlukan pengelolaan atau
pemeliharaan yang baik untuk menjaga kesuciannya. Pengelolaan Pura Tirta Pengentas sejak awal dibangun
sampai sekarang pura pengentas digunakan sebagai tempat sarana kegiatan ritual keagamaan. Status
kepemilikan atau pengelolaannya tetap ada pada masyarakat pemakainya atau pengunjung.
pengelolaan adalah rangkaian kegiatan yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengawasan. Kegiatan tersebut diatur oleh pemerintah. Menurut Peraturan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata- pengelolaan berkelanjutan adalah pengelolaan yang dapat memenuhi kebu- tuhan dan aspirasi
manusia saat ini, tanpa mengorbankan potensi pemenu- han kebutuhan dan aspirasi manusia di masa
mendatang. Pengelolaan yang baik adalah pengelolaan yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja
tapi juga melibatkan masyarakat dan swasta, karena keterpaduan kerjasama akan menghasilkan tujuan
bersama bagi masa depan suatu pariwisata.
Evaluasi pengelolaan lansekap budaya Pura sri sedana/bedugul diangkat menjadi topik penelitian
dengan tujuan untuk mengetahui pengelolaan lansekap Pura sri sedana/bedugul, mengetahui potensi dan
permasalahan pengelolaan lansekap Pura sri sedana, dan mengetahui usaha-usaha yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan kualitas pengelolaan lansekap pura sri sedana/Bedugul.
Masyarakat yang melakukat ritual melukat di pura rambugt sri sedana/bedugul mayoritas
merupakan masyarakat asli Lombok ada juga masyarakat luar seperti pemedek dari Bali karena pura rambur
sri sedana atau bedugul ini dikenal dengan pura yang loyar dapat mengabulkan apa yang didoakan oleh
pemedeknya yang dipercaya apabila melaksanakan pemelukatan salah satunya bermamnfaat
menyembuhkan penyakit medis maupun non medis. Meskipun demikian ada pula tata cara melukat yang
benar yang dilakukan pada saat melakukan ritual melukat di pemelukatan rambut sri sedana atau bedugul
untuk menjaga kesusian dan menghormati aturan yang dibuat oleh para pendiri dari pemelukatan rambut
sri sedana atau Bedugul.
Manfaat dari ritual melukat yakni di percaya dapat mensterilkan pikiran terhindar dari pengaruh
buruk,dengan melukat dapat merasakan ketenagan,dengan ketenagan lebuh mudah dapat menerima segala
sesuatu yang baik itu hal yang sedih,gembiraa,susah dan senang, manfaat dari melukat juga dipercaya dpat
menyembuhkan penyakit fisik maupun psikis dikenal dengan pengobatan tradisional,ada juga yang
menggunakan sarana seperti daksina pejati,pejati,kuangan dengan bunga jempiring,sekar tanjung biru dan
pis bolong tisarankan tidak memakai perhiasan. pada pura bedugul saat melukat cukup dengan
menghaturkan canang dang melukat dengan pakaian yang sopan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini berlokasi di Bagirati Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat,
saya mengunjungi pura Sri Sedana/Bedugul pada tanggal 1 mei 2023 bersama tim kelompok saya ada tiga
orang dari kelompok saya dan dibantu dengan satu teman saya sebagai dokumentasi beserta dengan
narasumber yaitu pemangku Made Parsa. rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu
rancangan kualitatif. Teknik penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive
sampling dan random sampling. Analisis data dan penyajian hasil analisis data menggunakan tahap reduksi
data, tahap penyajian data, tahap kesimpulan (verifikasi).
Hasil penelitian menunjukan bahwa potensi daya Tarik wisata Pura Sri Sedana/bedugul yaitu wisata
spiritual, wisat selfi, wisata tirta, wisata agro. Langkah-langkah yang dilakukan pengelola dalam
menerapkan pengelolaan Pura Sri Sedana sebagai daya tarik wisata yaitu menerapkan protokol kesehatan
dan destinasi berstandar pada era new normal. Penerapan CHSE di Pura Sri Sedana dalam pengelolaan
daya tarik wisata dinilai potensial dalam mendorong terwujudnya pariwisata berkelanjutan dengan
berpedoman pada Panduan pelaksanaan kebersihan, Kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan di
Pura Sri Sedana/Bedugul.
Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan hasil penelitian tentang bagaimana sistem pengelolaan
pura dan pemedek yang berkunjung ke Pura Sri Sedana/Bedugul di Lombok. Artikel ini diharapkan dapat
meberikan manfaat secara signifikan bagi para pembaca mengenai pengelolaan dan pemedek yang
berkunjung dan dapat dijadikan referensi pustaka.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 9.
Paradigma berpikir masyarakat lokal sebagai pendukung kebudayaan dan pemilik nilai budaya
lokal, akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, didukung dengan industri pariwisata global
yang mendunia mengalami sangat pragmatis dan berinteraksi terhadap perubahan lingkungannya, sehingga
konsepsi tentang nilai-nilai kesucian pura bergeser dan menjadi terfokus pada nilai-nilai materialistik, di
mana religiusitas pura mengalami perubahan nilai secara dramatis (Pujaastawa, 2008: 406).
Pusaka budaya Pura Tirta Empul merupakan representasi dari budaya lokal masyarakat Desa
Manukaya mengalami proses komodifikasi. Representasi lahir dari dalam diri masyarakat (faktor internal)
sendiri, sebagai tanggapan aktif masyarakat terhadap diri dan lingkungannya dalam memaknai praktik-
praktik budaya Pura Tirta Empul sebagai teks yang hidup, tetapi di sisi lain faktor eksternal secara
signifikan mereduksi pemaknaan baru terhadap Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global.
Di bawah ini akan diuraikan faktor-faktor yang mendorong terjadinya komodifikasi Pura Tirta
Empul, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal terdiri atas tersedianya sumber daya
budaya, kreativitas masyarakat, dan keinginan mendapatkan manfaat ekonomi. Selanjutnya faktor eksternal
terdiri atas perkembangan pariwisata, intervensi pemerintah daerah dan peranan media massa.
Pura Tirta Empul mempunyai sejarah yang sangat panjang. Sebelum tahun 1980-an pura ini belum
populer dan hanya berfungsi sebagai tempat suci. Keberadaan pura ini sebagai tempat suci dapat diketahui
berdasarkan keterangan Prasasti Manukaya tahun 960 yang dikeluarkan oleh Raja Bali Kuno Jayasingha
Warmadewa. Kini prasasti tersebut disimpan di Pura Sakenan di Desa Manukaya, Tampaksiring, Gianyar
(Goris, 1954: 75-76). Selain Prasasti Manukaya, sejarah Pura Tirta Empul juga dapat diketahui berdasarkan
Kitab Kakawin Usaha Bali karya Dang Hyang Nirartha, yang mengisahkan pertempuran Mayadanawa
dengan Dewa Indra yang akhirnya dimenangkan oleh Dewa Indra beserta pasukannya (Kusuma, 2005 : 64-
96). Tirta Empul adalah ”air suci” yang diciptakan oleh tongkat Dewa Indra yang dapat dimanfaatkan untuk
berbagai kepentingan, seperti membersihkan diri (melukat), membuang aib, termasuk juga untuk
kepentingan upacara keagamaan.
Gambar 10.
sumber tertulis tersebut, maka dapat diketahui bahwa pada mulanya Pura Tirta Empul jelas
didirikan untuk kepentingan keagamaan. Dengan kata lain, Pura Tirta Empul sebagai tempat suci berkaitan
erat dengan kehidupan keagamaan bagi masyarakat Hindu di Bali, khususnya Desa Manukaya,
Tampaksiring, Gianyar. Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan
adanya kekuatan gaib atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat.
Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa, memuja, serta menimbulkan sikap mental
tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainnya dari individu dan masyarakat yang
mempercayainya (Agus, 2006: 1).
Proses internasionalisasi yang terjadi melalui aktivitas pariwisata, telah menjadikan Bali sebagai
masyrakat dunia yang multibudaya. Namun demikian pada saat yang bersamaan terjadi pula proses yang
arahnya berlawanan, yaitu suatu proses ke dalam mencari identitas yang bisa disebut sebagai proses
tradisionalisasi. Proses ini antara lain ditandai dengan meningkatnya kegairahan beragama atau religiusitas
masyarakat. Kegairahan religiusitas dapat dilihat melaui indikator antara lain adanya intensitas pelaksanaan
ritual, intensitas keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia, dan
keyakinan akan adanya benda/objek sakral (Pitana, 2005 : 147-148).
Keyakinan akan kekuatan gaib dan kekuatan supranatural yang mempengaruhi kehidupan manusia
masih sangat kuat di antara masyarakat Hindu dewasa ini. Seiring dengan keyakinan itu, berbagai simbol
dan objek diyakini mempunyai kekuatan yang tidak mampu dijelaskan dengan logika rasional, dan objek
tersebut bagi masyarakat adalah wujud sekala dari berbagai kekuatan niskala, sehingga objek tersebut
benar-benar disakralkan. Perilaku masyarakat Bali (Hindu) terhadap objek sakral ini dengan mudah dapat
diamati dalam setiap kegiatan ritual. Banyak masyarakat dewasa ini mencari pengalaman religious
sebagaimana dipraktikkan dalam berbagai aliran pendalaman agama, seperti kelompok-kelompok spiritual,
kelompok tirta yatra, dan sejenisnya.
Gambar 11.
Pura Tirta Empul adalah salah satu tempat suci yang banyak mendapat kunjungan dari kelompok
spiritual tersebut di atas. Keberadaan Pura Tirta Empul sebagai tempat peribadatan dan penyucian diri
(melukat) memungkinkan masyarakat atau kelompok-kelompok spiritual melakukan prosesi ritual
keagamaan. Belakangan ini prosesi pembersihan diri (melukat) sangat ramai dilakukan masyarakat di kolam
suci Pura Tirta Empul. Tidak terhitung jumlah orang yang datang menyucikan diri di kolam suci di
kompleks pura tersebut, mulai dari anak-anak, orang dewasa, orangtua, bahkan para turis dari mancanegara.
Secara umum, melukat (penyucian diri) dilakukan dengan tujuan untuk menyucikan badan jasmani
dan rohani. Sehubungan dengan adanya air yang dianggap suci (tirta) di Pura Tirta Empul,
proses melukat yang dilakukan oleh masyarakat (lokal, asing) tidak hanya untuk membersihkan jasmani
dan rohani, tetapi juga untuk tujuan tertentu, misalnya penyembuhan penyakit, kelancaran rejeki,
keselamatan perjalanan, dan sebagainya.
Sebagaimana tujuan utama penciptaan tirta (air suci) di Pura Tirta Empul (menurut Kakawin Usana
Bali) adalah untuk mengobati pasukan para Dewa dari penderitaan akibat luka-luka setelah bertempur
melawan pasukan Mayadanawa. Air suci itu mempunyai khasiat yang luar biasa, selain menyembuhkan
penyakit, juga dapat menghidupkan kembali pasukan para Dewa yang sudah mati. Keterangan Kitab
Kekawin Usana Bali yang berkaitan dengan khasiat air suci tersebut tampaknya menjadi salah satu faktor
pendorong masyarakat melakukan prosesi melukat di Pura Tirta Empul, dengan harapan dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit dan keselamatan dalam kehidupan ini.
Budaya sangat penting perannya dalam pariwisata. Salah satu hal yang menyebabkan orang ingin
melakukan perjalanan wisata adalah adanya keinginan untuk melihat cara hidup dan budaya orang lain di
belahan dunia lain serta keinginan untuk mempelajari budaya tersebut. Industri pariwisata mengakui peran
budaya sebagai faktor penarik para wisatawan. Dengan kata lain, sumberdaya budaya dimungkinkan
menjadi faktor utama yang menarik wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata (Pitana, 2009 : 75).
Dalam pariwisata, jenis pariwisata yang memanfaatan sumberdaya budaya sebagai modal utama
dikenal sebagai pariwisata budaya. Jenis pariwisata ini memberi variasi yang lebih luas menyangkut budaya
mulai dari seni pertunjukkan, seni rupa, festival makanan tradisional, dan lain-lain termasuk juga bangunan
bersejarah. Pariwisata budaya dapat dilihat sebagai peluang bagi wisatawan untuk mengalami, memahami,
dan menghargai kekayaan atau keragaman budayanya. Pariwisata budaya memberi kesempatan kontak
pribadi secara langsung dengan masyarakat lokal yang memiliki pengetahuan khusus tentang suatu objek
budaya. Pura Tirta Empul dewasa ini selain sebagai tempat suci, juga dimanfaatkan sebagai daya tarik
wisata budaya. Seperti diketahui bahwa wisata budaya memanfaatkan aspek budaya sebagai daya tarik.
Para wisatawan yang mengunjungi Pura Tirta Empul sudah tentu berharap mendapatkan sesuatu
yang memberikan kepuasan atau kesan yang mendalam. Hal itu dapat diperolehnya dari keunikan situs atau
dari keunggulan mutu dari benda-benda tinggalan arkeologi yang ada di dalamnya. Para wisatawan dapat
memperoleh kesan mendalam mengenai suasana pura yang nyaman dan khas, serta merasa puas karena
mendapatkan pengetahuan baru dari apa yang ditemukan di dalam pura.
Pusaka budaya Pura Tirta Empul dimanfaatkan sebagai modal pengembangan pariwisata,
merupakan suatu proses komodifikasi, yaitu dalam posisinya sebagai bagian dari sistem pembangunan
daerah. Untuk itu, proses tersebut dapat dijelaskan dengan teori komodifikasi, karena ada upaya secara
sengaja dan penuh kesadaran untuk menjadikan produk budaya tersebut menjadi barang dagangan yang
siap dijual bagi wisatawan. Pura Tirta Empul mengalami proses komodifikasi karena menjadi komoditas.
Menurut Barker (2005 : 408), komoditas adalah suatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar.
Hancurnya batas-batas budaya dan ekonomi, sebagaimana yang sudah lama terjadi dalam praktik-praktik
kepariwisataan dengan pariwisata budayanya, menjadi penanda penting posmodernitas.
2. Kreatifitas Masyarakat
Faktor internal lain yang mendorong pemanfaatan Pura Tirta Empul adalah kemampuan kreativitas
masyarakat. Kreativitas adalah salah satu kemampuan intelektual manusia atau proses berpikir, kemampuan
memecahkan masalah, berkaitan dengan usaha menciptakan gagasan-gagasan dan hal-hal baru yang
berguna. Suatu kreativitas bisa dikembangkan dari hasil modifikasi atau mengubah, menambah, yang sudah
ada sebelumnya, atau kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru (Ratna, 2005 :
313). Pura Tirta Empul sebagai suatu produk budaya masyarakat Manukaya, dalam proses kehadirannya,
tidak bisa dilepaskan dari berbagai kreativitas manusia yang menjadi satu dalam memenuhi rasa keindahan.
Kreativitas pengembangan Pura Tirta Empul merupakan akumulasi dari pemikiranpemikiran kreatif
manusia sepanjang waktu sampai kekinian, sebagai suatu tanggapan aktif mereka terhadap pemenuhan rasa
keindahan yang terus-menerus.
Berbagai kreativitas ditunjukkan melalui berbagai bentuk dan variasi hiasan yang ditampilkan pada
bangunan suci Pura Tirta Empul. Pola massa spasial bangunan suci adalah bentuk massa (bangunan) dan
tata letak massa dalam lingkungan mandala. Bentuk massa berpengaruh terhadap fungsi secara
keseluruhan. Perubahan pola ruang dan pola massa berpengaruh terhadap perubahan spasialnya. Sebelum
tahun 1980, bentuk dan massa bangunan yang mengalami renovasi total mencerminkan kesederhanaan,
tetapi tetap mencerminkan nilai-nilai kesucian. Selain dari segi bangunan kreativitas masyarakat dalam
pengembangan dan pemanfaatan Pura tirta Empul juga ditunjukkan dengan penataan taman-taman
dihalaman Pura Tirta Empul. Taman-taman ini ditata dengan rapi sehingga menambah daya tarik Pura Tirta
Empul sebagai objek wisata yang menyajikan pemandangan yang indah dan sejuk.
Konsep tri hita karana diterapkan di Desa Adat Manukaya, yang merupakan pedoman keseimbangan
antara krama desa (warga desa), pekraman (teritorial desa), dan parhyangan desa (tempat pemujaan desa).
Sesuai dengan maknanya, bahwa dalam hidup ini perlu adanya keseimbangan antara kedamaian rohani
yang terkait dengan prinsip ketuhanan dengan penghuni serta rumah termasuk berbagai kebutuhan sehari-
hari. Desakan dari prinsip ekonomi yang merupakan bagian dari kebutuhan sehari-hari menimbulkan sikap
hidup yang kurang mampu memisahkan antara pura sebagai tempat suci dan sebagai objek komersial. Atau
sekurang-kurangnya akan terjadi perubahan dengan mengadakan variasi antara tata dasar dengan bentuk-
bentuk baru.
Sulitnya kehidupan ekonomi serta peluang pariwisata yang cukup menjanjikan kehidupan yang lebih
baik, berpengaruh terhadap dinamika kesadaran budaya masyarakat, seperti munculnya konsepsi dan
orientasi bahwa ruang dalam konteks ini adalah Pura Tirta Empul, adalah situs untuk mendapatkan uang
atau keuntungan dalam bentuk lain. Konsep tersebut semakin berkembang dan membentuk identitas ke arah
komersialisasi, yang ditandai dengan sikap promosi. Sikap itu dapat dilihat dalam realita seperti merenovasi
pura, memperindah pura dengan berbagai ornamen dan ragam hias, penataan lingkungan, pembuatan
taman, dan lain-lain yang dieksplotir untuk kepentingan komersial.
Bersamaan dengan perkembangan pola komersial, hadirnya teknologi juga memberikan corak tertentu
terhadap kesadaran tentang konsepsi pura. Dari fungsi sakral sampai dengan fungsi komersial, telah
menyajikan suatu bentuk pelayanan yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi. Bangunan dengan bahan
yang berkualitas rendah diganti dengan bahan yang berkualitas tinggi, atap bangunan dari alang-alang
diganti dengan ubin atau ijuk, lantai bangunan dari tanah diganti dengan keramik, ruang-ruang dengan
bentangan lebar, yang sebelumnya tidak mungkin dibuat dengan bahan kayu, diganti dengan beton cor.
Sejalan dengan desakan komersialisasi dan didukung oleh teknologi mutakhir, serta komunikasi yang
intensif dengan pihak luar melalui pariwisata dan mediamedia informasi, mempertegas pergeseran pusaka
budaya Pura Tirta Empul sebagai situs komersial.
Kreativitas adalah ruang kebebasan dalam mengolah pikiran untuk berekspresi dalam merefleksikan
pengalaman dan rangsangan dari lingkungannya. Manusia dituntut kepekaan, naluri, dan kemampuan
mengolah pengalaman-pengalaman untuk diekspresikan menjadi sebuah karya yang originial dan mampu
menjadikan pengalaman baru yang unik dan estetik bagi orang lain (Wirakusuma, 2005 : 30-31).
Dalam perkembangannya, inovasi dan kreativitas masyarakat banyak ditentukan oleh para sponsor,
yaitu penguasa ekonomi dan penguasa politik yang mempunyai kepedulian dan kepentingan dengan Pura
Tirta Empul. Lembaga atau instansi pemerintah yang secara langsung terlibat adalah Dinas Pariwisata
Kabupaten Gianyar. Seiring dengan perkembangan otonomi daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten
Gianyar melalui Dinas Pariwisata Daerah dengan giat mencari berbagai farmasi yang mungkin bisa
dikembangkan untuk menambah pemasukan daerah. Salah satunya adalah pemanfaatan Pura Tirta Empul
sebagai modal dalam upaya pengembangan pariwisata. Aset Pura Tirta Empul menjadi semacam ”magnet”
yang dipakai untuk mengajak setiap elemen masyarakat mendukung dan menerima kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan terkait dengan aset daya tarik wisata Pura Tirta Empul.
Globalisasi yang sedang merambah masyarakat dewasa ini tampaknya bagi sebagian masyarakat
memahaminya sebagai peristiwa atau proses kebudayaan dalam arti luas. Di satu sisi globalisasi menuntut
keseragaman, tetapi di sisi lain membutuhkan perbedaan dan kekhasan sebagai suatu identitas. Dengan
demikian kreaktivitas masyarakat untuk pembaharuan merupakan salah satu faktor pendorong komodifikasi
Pura Tirta Empul.
KESIMPULAN
A. Simpulan
Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa system pengelolaan Pura Sri Sedana/Bedugul
yang terletak di Bagirati kecamatan cakranegara kota mataram, nusa tenggara barat merupakan pura
stana Tuhan sebagai manifestasinnya dewa kesejahteraan atau kemakmuran, konon pura ini sebagai
tempat permohonan agar usaha lancar. Diyakini bahwa dengan bersembahyang di pura ini akan
dimudahkan rejekinya, pura ini banyak didatangi oleh umat hindu yang berada di luar pulau Lombok.
Pengelolaan pura sri sedana/Bedugul kurang adanya fasilitas dan perlengkapan di sekitar pura
dikarenakan masyarakat sudah jarang tangkil kepura tersebut untuk melakukan penglukatan ataupun
persembahyangan. pelaba pura, jika ada segala sesuatunya yang terkait dengan pura untuk mengurus,
menjaga, memelihara serta melaksanakan upacara di pura tersebut.
A. Saran
Mungkin inilah yang saya dapat berikan dalam penulisan peneletian yang jauh dari kata sempurna
kita bisa mengimplemtasikan tulisan ini baik untuk diri kita sendiri maupun untuk keperluan orang
banyak. Penulisan ini saya buat agar bertujuan bisa memberikan kesadaran bagi orang banyak akan
pentingnya suatu sistem pengelolaan pura dan peran masyarakat atau pemedek yang berada di dalam
pengelolaan Pura Sri Sedana/Bedugul.
DAFTAR PUSTAKA
Putra, N. D., Lagatama, P., Wijaya, K. A., & Sukmadewi, N. P. R. (2022). REVITALISASI PENGELOAAN
DAYA TARIK WISATA SPIRITUAL PURA PONJOK BATU BERBASIS CHSE DI DESA PACUNG,
KECAMATAN TEJAKULA, KABUPATEN BULELENG. Widya Genitri: Jurnal Ilmiah Pendidikan,
Agama dan Kebudayaan Hindu, 13(1), 67-80.
Rudiarta, I. W., Sari, P. P., & Ariani, N. W. (2022). Menangkal Desakralisasi Destinasi Wisata Pura Melalui
Revitalisasi Ajaran Pendidikan Agama Hindu. Cultoure: Jurnal Ilmiah Pariwisata Budaya Hindu, 3(1), 50-
61.
Sumaeni, N. M., & Mahagangga, I. G. A. O. (2018). Sistem Pengelolaan Terhadap Pura Tirta Empul Sebagai
Daya Tarik Wisata Pusaka Di Tampak Siring Gianyar. Jurnal Destinasi Pariwisata, 5(2), 322-326.
UTAMI, K. A. D., SARWADANA, S. M., & SUDARSANA, A. A. G. D. Evaluasi Pengelolaan Lansekap
Pura Mengening, Desa Pakraman Saraseda, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali.
Wulandari, A., & Adikampana, I. M. (2018). Pengelolaan Taman Mumbul Sebagai Daya Tarik Wisata
Spiritual Di Desa Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Jurnal Destinasi Pariwisata, 5(2),
369.