Anda di halaman 1dari 19

PENGELOLAAN DAN PENGUNJUNG PURA SRI SEDANA/BEDUGUL

Ni Luh Tania Ningsih


Program Studi: Manajemen Ekonomi Institut Agama Hindu Negeri
Gde Pudja Mataram
Email: niluhtania@icloud.com

Abstrak
Pura merupakan wujud warisan budaya tangible yang selain berfungsi primer sebagai tempat
persembahyangan bagi umat Hindu, pura juga berfungsi sekunder sebagai daya tarik wisata. Pura sri
sedana/bedugul yaitu sebuah pura suci yang memiliki sumber mata air untuk penglukatan/membersihkan
diri yang terletak di di pulau Lombok, memiliki latar belakang yang kaya akan sejarah dan tradisi
keagamaan. Pura ini dikelola dengan penuh dedikasi oleh kelompok pengelola yang terdiri dari warga
setempat yang beragama hindu di daerah tersebut. Selain menjadi tempat ibadah yang penting bagi umat
Hindu, pura ini menjadi daya Tarik bagi pengunjung yang tertarik dengan keindahan alam yang bertempatan
ditengah-tengah persawahan hijau akan alam yang masi asri dan kehidupan spiritual yang masi kental

PENDAHULUAN
Pulau Lombok adalah salah satu pulau terbesar yang terdapat di wilayah Provinsi Nusa Tenggara
Barat yang memiliki ragam wisata terkhusus dengan kekayaan alamnnya yang mengagumkan. Di sini
terdapat 5 administratif pemerintahannya yaitu Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten
Lombok Timur, Kabuaten Lombok Utara, dan Kabupaten Lombok Tengah.
Pulau Lombok menyimpan banyak pesona wisata nan menarik. Mulai dari alam, budaya hingga
keagamaan. Salah satunya yaitu Kabupaten Lombok Barat yang terdapat 12 desa yang ditetepkan sebagai
desa wisata di kabupaten Lombok barat yaitu Desa Suranadi yang kaya akan tempat destinasi wisatanya
dan memiliki potensi besar untuk pengembangan destinasi wisata, baik destinasi alam, sejarah maupun
budaya. Keunikan yang dimiliki Desa Suranadi adalah perpaduan antara budaya dan alamnya. Pengunjung
yang datang ke Desa Wisata suranadi tidak hanya sekedar melihat peninggalan sejarah berupa pura namun
juga dapat melihat pemandangan yang masih alami dan suasana sejuk dan sungai yang sangat jernih airnya.
Potensi wisata yang sudah berkembang di Desa Suranadi menjadi daya tarik wisatawan untuk
mengunjungi Desa Wisata Suranadi. Salah satu tempat wisata yang menjadi daya tarik pemedek khususnya
umat hindu di Desa Suranadi yaitu Pura Suranadi. Pura Suranadi adalah tempat bersejarah sekaligus tempat
spiritual bagi umat hindu. Pura Suranadi berlokasi di Kabupaten Lombok Barat yang mempunyai kaitan
erat dengan perjalan Dhang Hyang Nirarta yang dikisahkan beberapa kali beristirahat ketika sampai di
Lombok.
Pura Suranadi terdiri atas empat jenis pura antara lain Pura Ulon/Pura Gaduh, Pura Majapahit,
Pura Pengentas dan Pura Pembersih. Dibagian dalam setiap pura tersebut terdapat sumber mata air yang
dikenal dengan sebutan Panca Tirtha. Pura di dirikan di tempat-tempat yang telah terpilih berdasarkan atas
kitab suci Weda, dan selanjutnya dikembangkan wawasan lingkungan yang lebih dekat dengan kehidupan
manusia, gunung, danau, laut, sungai, sangat mendapatkan perhatian, karena diketahui dan dirasakan tidak
saja memberi ketenangan tetapi juga memberikan ketenangan tetapi juga kesucian pikiran. Karena pura
adalah wadah memotivasi kesucian agar manusia selalu berbuat suci didunia maka pura dinyatakan sebagai
kawasan lebih suci dari pada kawasan lain. Keberadaan pura bagi umat hindu sangat penting dan bernilai,
nilai-nilai yang terkandung didalamnnya telah mampu berfungsi menata sikap dan perilaku umat hindu
sehingga selalu berjalan kejalan yang benar.
Bagi umat Hindu tempat suci yang mempunyai sejarah dalam kaitannya dengan orang suci yang
melaksanakan pertapaan atau tempat beliau mendapatkan wahyu suci maka tempat suci itu menjadi pusat
– pusat Tirta Yatra. Oleh karena itu tempat melakukan Tirta Yatra memerlukan pengelolaan atau
pemeliharaan yang baik untuk menjaga kesuciannya. Pengelolaan Pura Tirta Pengentas sejak awal dibangun
sampai sekarang pura pengentas digunakan sebagai tempat sarana kegiatan ritual keagamaan. Status
kepemilikan atau pengelolaannya tetap ada pada masyarakat pemakainya atau pengunjung.
pengelolaan adalah rangkaian kegiatan yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengawasan. Kegiatan tersebut diatur oleh pemerintah. Menurut Peraturan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata- pengelolaan berkelanjutan adalah pengelolaan yang dapat memenuhi kebu- tuhan dan aspirasi
manusia saat ini, tanpa mengorbankan potensi pemenu- han kebutuhan dan aspirasi manusia di masa
mendatang. Pengelolaan yang baik adalah pengelolaan yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja
tapi juga melibatkan masyarakat dan swasta, karena keterpaduan kerjasama akan menghasilkan tujuan
bersama bagi masa depan suatu pariwisata.
Evaluasi pengelolaan lansekap budaya Pura sri sedana/bedugul diangkat menjadi topik penelitian
dengan tujuan untuk mengetahui pengelolaan lansekap Pura sri sedana/bedugul, mengetahui potensi dan
permasalahan pengelolaan lansekap Pura sri sedana, dan mengetahui usaha-usaha yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan kualitas pengelolaan lansekap pura sri sedana/Bedugul.
Masyarakat yang melakukat ritual melukat di pura rambugt sri sedana/bedugul mayoritas
merupakan masyarakat asli Lombok ada juga masyarakat luar seperti pemedek dari Bali karena pura rambur
sri sedana atau bedugul ini dikenal dengan pura yang loyar dapat mengabulkan apa yang didoakan oleh
pemedeknya yang dipercaya apabila melaksanakan pemelukatan salah satunya bermamnfaat
menyembuhkan penyakit medis maupun non medis. Meskipun demikian ada pula tata cara melukat yang
benar yang dilakukan pada saat melakukan ritual melukat di pemelukatan rambut sri sedana atau bedugul
untuk menjaga kesusian dan menghormati aturan yang dibuat oleh para pendiri dari pemelukatan rambut
sri sedana atau Bedugul.
Manfaat dari ritual melukat yakni di percaya dapat mensterilkan pikiran terhindar dari pengaruh
buruk,dengan melukat dapat merasakan ketenagan,dengan ketenagan lebuh mudah dapat menerima segala
sesuatu yang baik itu hal yang sedih,gembiraa,susah dan senang, manfaat dari melukat juga dipercaya dpat
menyembuhkan penyakit fisik maupun psikis dikenal dengan pengobatan tradisional,ada juga yang
menggunakan sarana seperti daksina pejati,pejati,kuangan dengan bunga jempiring,sekar tanjung biru dan
pis bolong tisarankan tidak memakai perhiasan. pada pura bedugul saat melukat cukup dengan
menghaturkan canang dang melukat dengan pakaian yang sopan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini berlokasi di Bagirati Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat,
saya mengunjungi pura Sri Sedana/Bedugul pada tanggal 1 mei 2023 bersama tim kelompok saya ada tiga
orang dari kelompok saya dan dibantu dengan satu teman saya sebagai dokumentasi beserta dengan
narasumber yaitu pemangku Made Parsa. rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu
rancangan kualitatif. Teknik penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive
sampling dan random sampling. Analisis data dan penyajian hasil analisis data menggunakan tahap reduksi
data, tahap penyajian data, tahap kesimpulan (verifikasi).
Hasil penelitian menunjukan bahwa potensi daya Tarik wisata Pura Sri Sedana/bedugul yaitu wisata
spiritual, wisat selfi, wisata tirta, wisata agro. Langkah-langkah yang dilakukan pengelola dalam
menerapkan pengelolaan Pura Sri Sedana sebagai daya tarik wisata yaitu menerapkan protokol kesehatan
dan destinasi berstandar pada era new normal. Penerapan CHSE di Pura Sri Sedana dalam pengelolaan
daya tarik wisata dinilai potensial dalam mendorong terwujudnya pariwisata berkelanjutan dengan
berpedoman pada Panduan pelaksanaan kebersihan, Kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan di
Pura Sri Sedana/Bedugul.
Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan hasil penelitian tentang bagaimana sistem pengelolaan
pura dan pemedek yang berkunjung ke Pura Sri Sedana/Bedugul di Lombok. Artikel ini diharapkan dapat
meberikan manfaat secara signifikan bagi para pembaca mengenai pengelolaan dan pemedek yang
berkunjung dan dapat dijadikan referensi pustaka.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Sejarah Pura Sri Sedana/Bedugul
Kata “pura” dalam bahasa Sansekerta berasal dari akar kata “pur” yang berarti. Kuba, tembok,
benteng, daerah, atau kota. Keberadaaan pura menjadi daya tarik wisata karena memiliki daya magis
religious, sehingga mengundang ketertarikan wisatawan untuk datang atau mengunjungi pura tersebut. Pura
yang sering dikunjungi wisatawan, antara lain Pura Mayura, Pura Batu Bolong, Pura Lingsar, Pura Suranadi
dan Pura Narmada.
Pura Sri Sedana (Bedugul) yang terletak di Bagirati kecamatan Cakranegara, Kota Mataram, Nusa
Tenggara Barat. Menjadi salah satu pura yang terdapat mata air yang biasanya dipakai sebagai penglukatan.
Berdasarkan dari silsilah Prasasti yang ada yang menyebutkan bahwa pada mulanya di dirikan dari 8 karang
atau 8 orang. Masing- masing dari karang ini di wakilkan oleh 1 orang, termasuk dari Karang Ates, Karang
Jeruk Manis, karang Cemara, Karang Jasi, Karang Bambang, Karang Kubu , Karang Blumbang. Dahulu
hanya ada 1 pelinggih yang ada yang sudah ada lebih dari 250 tahun yang lalu. Dahulunya pura ini
dikelilingi oleh persawahan, seperti di Bali yang Bernama subak atau yang dikenal dengan sistem
pengairan. Hingga sampai saat ini pura Sri Sedana Bedugul ini masih terdapat persawahan disekitarnya.
Pura ini diberikan nama Pura Bedugul karena terletak di persawahan yang berfungsi sebagai pura sawah.
Pada awalnya hanya terdapat 1 pelinggih saja, pelinggih tersebut yang dinamakan Bedugul yang
menjadi cikal bakal dari nama pura ini. pada awalnya memang hanya terdapat 1 pelinggi saja tapi lambat
laun ada banyak pelinggih yang di bangun. Odalan Pura Bedugul ini saat purnama kedasa. Sejak ada
pelinggih Sri Sedana nama pura ini berubah menjadi pura sri sedana (Bedugul). Pura Sri Sedana ( Bedugul)
ini merupakan pura umum yang artinyasiapa saja yang boleh tangkil kesana, tiap hari pasti ada yang tangkil
di pura ini dan tidak dibatasi. Banyak pemedeg datang untuk meminta rezeki karena di pura ini sudah ada
pelinggih Sri Sedana yaitu sebagai perlambangan kemakmuran, kemujuran, keberuntungan. Banyak
pemedeg yang berprofesi sebagai kuli, pegawai, dokter, karyawan swasta datang ke pura ini untuk
memohon rezeki. Perbedaan pura melanting dengan Pura Sri Sedana (Bedugul) ini adalah pura melnating
di khususkan untuk orang yang mempunyai usaha berjualan, namun di Pura Bedugul ini menyeluruh boleh
meminta permohonan rezeki disini.
Selama ini pengelolaan Pura sri sedana dengan beberapa pura yang ada di Bali sebagai daya tarik
wisata spiritual masih mengandalkan pengempon yang ada di area Pura tersebut serta belum ditata secara
optimal potensi yang ada di pura tersebut seperti sejarah dari pura tersebut, keberadaan mata airnya,
informasi pasang surut air laut, toilet, ruang ganti, akses bagi penderita orang cacat serta fasilitas kesehatan
bagi wisatawan. Dengan adanya kondisi pandemi Covid-19 yang membutuhkan penerapan protocol
kesehatan yang berbasis CHSE (Cleanliness, Healty, Safety and Environment Sustainability) bagi semua
daya tarik wisata untuk kebersihan, kesehatan dan keselamatan wisatawan yang berkunjung ke daya tarik
wisata tersebut.
Penelitian ini memiliki dampak yang positif dengan dikaitkannya dari beberapa penelitian
terdahulu. Beberapa penelitian yang diambil salah satunnya dengan membahas mengelolaan dana yang
dimana pengelolaan dana yang terjadi di pura dalam pura sri sedana/Bedugul di terapkan dengan adanya
penerapan pengelolaan dana akan berdampak positif bagi pengelola dengan pengunjung. Dari penelitian ini
setelah di bahas dengan tambahan artikel-artikel yang berkaitan dengan tema ada beberapa masukan kepada
pengelola puraseperti memberi tarif harga untuk wisatawan luar kota yang ingin berkunjung ke pura sri
sedana/Bedugul, kemudian hasil dari tarif tersebut dugunakan untuk menambahkan fasilitas-fasilitas dan
peralatan yang masih kurang lengkap di pura sri sedana/Bedugul.

B. Bagian-bagian bentuk Pura Sri Sedana/Budugul


Pura Sri Sedana/Bedugul yang terletak di kota mataram cakranegara, di bagirati, tepat di Kawasan
tengah-tengan perumahan dan dikelilingi persawahan disekitarnya. Beberapa bentuk tampilan pura Sri
Sedana/Bedugul bagian depan sebagai berikut:

Gambar 1. Sri Sedana/Bedugul


Dapat dilihat bangunan candi yang berasal dari Bali yang memang terkenal dengan budayanya yang
kental. Masyarakat memang teguh kebudayaan yang mereka dapat dari para leluhur. Hal ini masih
berlangsung hingga saat ini. Salah satu sikap mereka tersebut tercermin dalam arsitektur tradisional bali
yang sangatlah berbeda dengan arsitek yang dimiliki tempat lain.
Arsitektur tradisional Bali memanglah sangat menarik untuk dinikmati dan dipelajari. Bukan hanya
pura, tapi rumah hingga gedung modernpun tetap memiliki satu kesamaan yang indah. Hal ini rupanya
justru yang membuat Bali teasa begitu berbeda dan cantik. Rumah tradisional Bali tidak sebatas hanya
merupakan tempat tinggal sebuah keluarga saja. Namun, ditempat ini pula banyak dilakukan upacara-
upacara keagamaan untuk mendekatkan diri dengan Pencipta. Maka dari itu, bentuk dan arsitektur di Bali
tampak berbeda.
Dalam arsitektur tradisional Bali, ada acuan yang disebut Asta Kosala Kosali. Asta Kosala Kosali
adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa, rumah atau pelinggih. Bentuk-bentuk tersebut meliputi ukuran
panjang, lebar, tinggi, pepalihan atau tingkatan dan juga hiasan. Selain itu, juga dalam asta kosala kosali
perlu juga memperhatikan luas halaman. Halaman perlu dipikirkan untuk pembagian ruangan serta halaman
yang digunakan. Di dalam konsep rumah tradisional Bali, jarak antara pelinggih juga tidak bisa
sembarangan. Semua bentuk-bentuk tersebut menjadi elemen wajib yang harus digunakan dalam,
membangun arsitektur tradisional Bali. Oleh karena itu, disini dapat terlihat bahwa masyarakat Bali
sangatlah detail dalam merancang bangunan demi mendapatkan hasil sesuai kebutuhan sekaligus bernilai
seni tinggi.
Hal yang menarik dari rumah tradisional Bali adalah terlihat dari arah puranya. Letak pura yang
berada di utara membuat pembangunan rumah menjadi sarat akan arah mata angin. Ternyata, arah tersebut
juga dipengeruhi oleh aturan kosala kosali. Arah-arah tersebut terbagi menjadi arah timur dan arah kaja
sebagai hulu. Arah timur merupakan arah yang sama dengan difinisi kita ketika menggunakan kompas.
Sedangkan arah kaja adalah arah yang ditentukan dengan menggunakan patokan letak gunung maupun
bukit. Namun penggunaan arah Kaja hendaknya juga dilengkapi dengan menggunakan arah kompas. Hal
ini dimaksudkan agar pembangunan arah pura bisa tepat persis sesuai dengan arah mata angin yang utama.
Jika sudah demikian, maka akan mempermudah mengatur pelinggih-pelinggih, mempermudah saat
diselenggarakannya upacara, serta mempermudah arah untuk bersembahyang.

C. Tata letak bangunan


Tata letak bangunan pura biasanya mengikuti seperti di Bali seperti konsep Nawa Sanga (9 arah mata
angin ). Setiap bangunan itu memiliki tempat sendiri seperti misalnyan.
sebagai berikut:
1. Dapur, karena berhubungan dengan Api maka Dapur ditempatkan di Selatan.
2. Tempat Sembahyang karena berhubungan dengan menyembah akan di tempatkan di Timur tempat
matahari Terbit.
3. Karena Sumur menjadi sumber Air maka ditempatkan di Utara dimana Gunung berada begitu
seterusnya. Selain itu sosial status juga menjadi pedoman. jadi rumah di bali itu ada yang disebut
Puri juga atau Jeroan biasanya dibangun oleh warna / wangsa Kesatria. tapi karena sekarang banyak
yang sudah kaya diBali, jadi siapapun boleh membuat yang seperti ini. Namun mungkin nanti
bedanya di Tempat Persembahyangan di Dalamnya saja. Warna itu merupakan sistem hirarki, di
Bali Hirarkial itu juga berpengaruh terhadap tata ruang bangunan rumahnya. Dalam pembuatan
rumahnya rumah akan dibagi menjadi:
1.) Jaba untuk bagian paling luar bangunan
2.) Jaba jero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah. Jero
untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap
sebagai ruang paling suci atau paling privacy bagi rumah tinggal. di konsep ini juga disebutkan
tentang teknik konstruksi dan materialnya. ada namanya Tri Angga, yang terdiri dari:
➢ Nista menggambarkan hirarki paling bawah dari sebuah bangunan, diwujudkan dengan
pondasi rumah atau bawah rumah sebagai penyangga rumah. bahannya pun biasanya
terbuat dari Batu bata atau Batu gunung.
➢ Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela
dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia.
➢ Utama adalah symbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang
diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat
tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang
digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.

D. Bagian-bagian dari rumah Bali

1. Adapun beberapa pengertian dari bagian-bagian rumah Bali sebagai berikut:


2. Pamerajan adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan
tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di Timur Laut pada
sembilan petak pola ruang.
3. Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus
cukup terhormat.
4. Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga lain
yang masih junior.
5. Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu.
6. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat bendabenda seni atau merajut pakaian
bagi anak dan suaminya.
7. Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.
8. Paon (Dapur) yaitu tempat memasak bagi keluarga.
9. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan
masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak
langsung lurus ke dalam
10. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura
jalan masuk.

E. Pengelolaan Pura Sri Sedana/Bedugul


Pengertian pengelolaan adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan
sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan (Hasibun 2000). Pura Tirta
Pengentas merupakan salah satu kawasan spiritual maka yang memiliki tugas untuk mengelola Pura Tirta
Pengentas adalah desa adat. Desa adat memiliki kewenangan untuk mengelola, merawat maupun
mengembangkan pura.
Gambar 2. Dalam pura Sri Sedana/Bedugul
Pengelolaan Pura Sri Sedana/Bedugul dilimpahkan kepada kepada pemangku yang yang telah
diberi kepercayaan untuk bertugas/ngayah melayani Pemedek yang berkunjung ke sebuah pura. Pengelola
atau pengamong pura biasa sudah membuat suatu aturan yang telah disepakati dalam sebuah peraturan
terkait batas-batas yang boleh dilakukan oleh wisatawan/pengunjung pura seperti: Pemedek yang
berkunjung yang akan memasuki pura menggunakan kain, selendang dan tidak dalam keadaan datang
bulan. Dari hal tersebut dapat membuat Pura Sri Sedana/Bedugul tetap terjaga kesucian puranya. Jumlah
punjungan atau pemedek yang datang ke Pura Pengentas tidak menentu biasanya dihari rahinan/ hari raya
pun tidak begitu ramai.

Gambar 3. Wawancara dengan pemangku yang bertugas


Tata tertib atau tata cara kelola Pura Srii Sedana/Bedugul adalah sebagai berikut:
1. Menjaga kebersihan lingkungan di sekitar Pura Tirta Pengentas agar pemedek atau
pengunjung merasa nyaman saat berada disekitar Pura.
2. Memberikan pelayanan atau arahan kepada pemedek yang akan melukat di Pura Tirta
Pengentas dengan baik dan memberikan fasilitas-fasilitas yang cukup untuk
pengunjung.
3. Pengelola Pura Tirta Pengentas mengontrol atau mengawasi bagaimana kegiatan yang
dilakukan oleh pemedek.
Dari beberapa pengunjung yang datang Kepura Sri Sedana/Bedugul tidak hanya umat hindu saja
tetapi umat non hindu juga bisa di perkenankan untuk melakukan penglukatan/melukat di Pura Sri
Sedana/Bedugul. Terkait untuk menjaga kesucian dan pemeliharaan tempat suci, maka dalam
pengelolaannya Pura dikelola oleh pengempon atau pengamong. Pengempon adalah kelompok masayarakat
(desa pakraman) yang bertanggung jawab penuh terhadap tempat suci (pura) yang di-among, termasuk.
Pemangku yang bertugas mengelola Pura Sri Sedana/Bedugul memang tidak mendapakan gaji,
namun pengelola dan pemangku mendapatkan upah dari sesari yang didapatkan. Kas yang dimiliki Pura
Sri Sedana/Bedugul juga berasal dari Bajirati Cakranegara atau sumbangan yang diberikan oleh pemedek
maupun para wisatawan yang berkunjung dan juga para donatur-donatur. Untuk punia/sumbangan sukarela
yang masuk ke kas akan dipaki untuk renovasi dan perbaikan fasilitas yang terdapat dalam Pura Sri
Sedana/Bedugul. Peran langsung Pengamong dalam pengelolaan Pura Sri Sedana/Bedugul yaitu ikut
bertanggung jawab dalam merawat dan dan menjaga daya tarik Pura TSri Sedana/Bedugul seperti ikut
menjaga kebersihan, menjaga keamanan, dan menlawani pemedek atau wisatawan yang berkunjung dan
mendukung pelaksanaan upacara.

F. ETIKA MENGUNJUNGI PURA


Pura merupakan wujud warisan budaya tangible yang selain berfungsi, primer sebagai tempat
persembahyangan bagi umat Hindu, pura juga berfungsi sekunder sebagai daya tarik wisata. Ketika
mengunjungi suatu tempat, pasti tidak terlepas dari berbagai aturan yang ada di daerah tersebut. Termasuk
ketika berada di pura. Ada etika mengunjungi pura di Bali yang harus kamu taati.
Karena bagaimanapun, pura di Bali masih warga setempat gunakan untuk melaksanakan peribadatan.
Oleh karena itu, perhatikan tata krama dan etika berikut ketika berada di pura. Seperti yang sudah tertulis
sebelumnya, pura berfungsi sebagai tempat ibadah yang mana sebagai tempat suci atau lokasi seseorang
bisa berkomunikasi dengan Tuhan.
Selayaknya memasuki area “suci” atau tempat ibadah, ada hal-hal yang perlu kamu perhatikan. Lalu,
apa saja hal tersebut?

a. Aturan di Bagian-Bagian Pura


Mayoritas, pura terdiri atas tiga bagian.
Pertama ada Hutama Mandala atau halaman yang letaknya di tengah. Halaman ini hanya boleh
diakses oleh orang yang sembahyang. Karena fungsinya untuk sembahyang, di sini tersimpan
peralatan kesenian, arca, patung, atau stupa lambang dewa kepercayaan masyarakat.
Kemudian, Madya Mandala. Ini adalah halaman tempat pertunjukan kesenian seperti barong
dan lokasi untuk memasak berbagai kebutuhan pura. Sama seperti halaman Hutama Mandala,
areal ini hanya boleh dimasuki oleh orang yang sembahyang.
Terakhir, Nista Mandala. Ini merupakan halaman terluar. Halaman yang boleh dikunjungi siapa
pun. Meski boleh dimasuki, di sini tetap ada peraturan yang harus ditaati.

b. Aturan Masuk Ke Pura Bali


Berikut tata cara memasuki pura yang perlu kamu perhatikan:
1. Pakaian harus bersih alias tidak boleh kotor (cuntaka).
2. Bukan hanya pakaian yang harus bersih, jasadi atau tubuh juga. Contoh perempuan yang
sedang haid, seseorang dalam kondisi berduka karena baru saja ditinggal keluarga, juga
orang yang sedang berdarah. Berdarah di sini, baik seorang ibu setelah melahirkan (masa
nifas) atau terluka berdarah.
3. Pakaian harus sopan. Tidak boleh mengenakan baju yang terbuka.
4. Selain itu, penampilan juga rapi. Rambut tertata baik, tidak acak-acakan.
5. Terakhir, menjaga perilaku dan perkataan karena pura adalah tempat suci, tempat ibadah.
Seperti bermesraan di pura, itu tidak boleh. Berkata kasar juga menjadi larangan selama
berada di area pura.

Gambar 4. Memasuki pura

Gambar 5.

c. Pakaian khusus untuk mengunjungi Pura


Di sekitar pura, banyak warga menyewakan pakaian atau kain bali dan selendang untuk masuk
ke pura. Namun, benarkah hal ini wajib?
Sebenarnya, masuk pura bagian luar tidak harus mengenakannya. Namun, pakaian harus sopan.
Celana atau rok harus di bawah lutut. Baju atasan menutup hingga lengan, bukan tank top.
Oleh karena itu, banyak tempat sewa baju untuk memasuki pura. Gunanya untuk menutup aurat
yang terbuka dan dinilai kurang sopan memasuki tempat suci.
Meski begitu, kain bali dan selendang juga memiliki makna filosofis. Sehingga ada baiknya
kamu tetap mengenakannya meski tidak wajib.
Makna dari kain bali dan selendang berwarna kuning (salempot) adalah sebagai penghormatan
terhadap
kesucian pura. Selain itu, busana khusus tersebut juga sebagai simbol pengikat niat buruk atau
jahat dalam diri.
Jadi, bagi yang mengenakan pakaian tertutup, cukup pakai selendang. Sementara yang
berpakaian terbuka, akan diminta meminjam kain sarung Bali dan selendang untuk menutup
aurat.

d. Perhatikan Langkah kaki


Ketika mengunjungi pura, perhatikan langkah kaki karena kamu tidak boleh menginjak canang
atau sesajen di sana. Sesajen ini bisa dengan mudah kamu temui, seperti di depan bangunan,
arca, atau bawah pohon. Umumnya berupa dupa dan bunga yang terbungkus daun pisang.
Sesajen ini, menurut kepercayaan sebagai simbol penghormatan untuk alam semesta dari
masyarakat.
Apabila kamu tidak sengaja menginjak atau melangkahinya, segera minta maaf. Lalu, jangan
duduk lebih tinggi dari tempat sesajian berada dan tempat pendeta.

Gambar 6.

e. Perhatikan kondisi Pura


Tidak semua pura bebas wisatawan kunjungi. Beberapa pura di Bali masih sangat sakral bagi
masyarakat sekitar sehingga tidak sembarangan orang boleh masuk. Di pura inilah, kamu perlu
menjaga baik-baik tingkah laku, perkataan, dan pakaian.
Karena perkataan kasar bisa menimbulkan emosi negatif dan mengganggu konsentrasi warga
yang hendak sembahyang. Selain itu, perhatikan bagian mana yang terlarang dan tidak. Jangan
masuk ke area pura yang memang terlarang untuk kamu kunjungi.
Jadi, ada area pura yang benar-benar terlarang untuk orang asing kunjungi. Namun dengan
syarat khusus kamu bisa memasukinya, seperti mengenakan pakaian adat Bali. Umumnya,
larangan ini tertulis di batu yang masyarakat sebut awig-awig.
Gambar 7.
Sewaktu kamu berkunjung pada saat ibadah berlangsung, sebaiknya diam dan ikuti atau tunggu
hingga selesai. Selama masa menunggu, kamu bisa menyaksikan keunikan adatnya. Hal ini
akan menambah pengalamanmu selama berada di Bali.
Ibadah ini bisa terjadi kapan saja. Jadi, jika kamu berpapasan dengan ritual keagamaan,
sebaiknya jangan mengganggu prosesi ibadah. Bahkan jika itu kamu ingin mengabadikannya
dengan foto. Kamu perlu meminta izin terlebih dahulu.
Ketika mengambil gambar pun, kamu tidak boleh memakai flash camera. Selain itu, usahakan
untuk mengambil gambar bukan dari depan pendeta. Atau melintas di depan prosesi ibadah
yang berlangsung. Ibadahnya sendiri ada bermacam-macam. Salah satunya Nyepi. Sama
seperti kamu yang harus menghormati prosesi ibadah dengan tidak mengganggunya, kamu pun
harus menghargai juga ibadah Nyepi dengan turut berdiam diri di rumah atau tempat tinggal
juga memadamkan lampu pada malam hari serta tidak memakai peralatan listrik. Buat kamu
yang tinggal di hotel, kamu memang masih boleh menyalakan lampu atau peralatan listrik,
tetapi pasanglah secara temaram. Umumnya, hotel sudah menyediakannya. Kamu tinggal
mengaturnya.
f. Tidak Menyentuh atau Menaiki Ornamen di Pura
Di sisi lain, ada larangan untuk tidak menyentuh atau menaiki ornamen secara sembarangan.
Hal ini untuk menjaga segala sesuatu tetap baik. Karena bagaimanapun, pura peninggalan
leluhur harus dijaga dan dilestarikan agar tidak rusak.

g. Buang Sampah Sembarangan


Buang sembarangan di sini bukan hanya sampah, tetapi meludah; buang air kecil; dan buang
hajat lain tidak boleh berada di area pura. Selain menjaga kebersihan, hal ini guna menjaga
kesucian dan kesakralan tempat ibadah. Di sisi lain, hal ini akan masyarakat nilai sebagai tidak
sopan, tidak tahu adab, juga mengotori lingkungan jika terjadi. Oleh karena itu, usahakan cari
lokasi toilet terdekat untuk melakukannya. Karena biasanya, toilet ada di luar pura.
Gambar 8.
h. Pantangan Sejumlah Pura
Jadi, ada beberapa pura yang menetapkan aturan khusus. Seperti Pura Luhur Batukaru yang
melarang anak-anak yang belum tanggal giginya untuk memasuki pura atau melakukan
sembahyang di sini.
Lalu, ada juga aturan saat mengunjungi pura di Bali, Dalem Ped yang melarang pengunjung
dengan pakaian kotak-kotak (poleng) untuk memasuki area pura. Karena pakaian ini dianggap
memade-made Ida Bhatara.
Intinya, di mana pun, harus menjaga sopan santun, berpakaian yang sopan, dan bersih hati juga
pikirannya. Sehingga dengan begitu, kamu tidak akan kesulitan menerapkan etika mengunjungi
pura di Bali di atas. Dengan memperhatikan hal-hal di atas, tentu kamu juga yang akan
merasakan hal positifnya, seperti mendapat penilaian baik dari masyarakat.

G. PENGELOLAAN DAYA TARIK WISATA DI PURA


Sebagian besar pura yang terkenal akan keindahan arsitektur dan kentalnya budaya, banyak dikunjungi
para wisatawan baik hindu maupun non hindu. Terutama Pura Tirta Empul, yaitu nama sebuah Pura yang
terletak di desa Manukaya, kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar. Keunikan arsiktektur dan
adanya mata air pada area dalam pura, membuat Pura Tirta Empul menarik banyak dikunjungi wisatawan,
baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik.

Gambar 9.
Paradigma berpikir masyarakat lokal sebagai pendukung kebudayaan dan pemilik nilai budaya
lokal, akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, didukung dengan industri pariwisata global
yang mendunia mengalami sangat pragmatis dan berinteraksi terhadap perubahan lingkungannya, sehingga
konsepsi tentang nilai-nilai kesucian pura bergeser dan menjadi terfokus pada nilai-nilai materialistik, di
mana religiusitas pura mengalami perubahan nilai secara dramatis (Pujaastawa, 2008: 406).

Pusaka budaya Pura Tirta Empul merupakan representasi dari budaya lokal masyarakat Desa
Manukaya mengalami proses komodifikasi. Representasi lahir dari dalam diri masyarakat (faktor internal)
sendiri, sebagai tanggapan aktif masyarakat terhadap diri dan lingkungannya dalam memaknai praktik-
praktik budaya Pura Tirta Empul sebagai teks yang hidup, tetapi di sisi lain faktor eksternal secara
signifikan mereduksi pemaknaan baru terhadap Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global.

Di bawah ini akan diuraikan faktor-faktor yang mendorong terjadinya komodifikasi Pura Tirta
Empul, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal terdiri atas tersedianya sumber daya
budaya, kreativitas masyarakat, dan keinginan mendapatkan manfaat ekonomi. Selanjutnya faktor eksternal
terdiri atas perkembangan pariwisata, intervensi pemerintah daerah dan peranan media massa.

1. Tersedianya Sumber Daya Budaya

Pura Tirta Empul mempunyai sejarah yang sangat panjang. Sebelum tahun 1980-an pura ini belum
populer dan hanya berfungsi sebagai tempat suci. Keberadaan pura ini sebagai tempat suci dapat diketahui
berdasarkan keterangan Prasasti Manukaya tahun 960 yang dikeluarkan oleh Raja Bali Kuno Jayasingha
Warmadewa. Kini prasasti tersebut disimpan di Pura Sakenan di Desa Manukaya, Tampaksiring, Gianyar
(Goris, 1954: 75-76). Selain Prasasti Manukaya, sejarah Pura Tirta Empul juga dapat diketahui berdasarkan
Kitab Kakawin Usaha Bali karya Dang Hyang Nirartha, yang mengisahkan pertempuran Mayadanawa
dengan Dewa Indra yang akhirnya dimenangkan oleh Dewa Indra beserta pasukannya (Kusuma, 2005 : 64-
96). Tirta Empul adalah ”air suci” yang diciptakan oleh tongkat Dewa Indra yang dapat dimanfaatkan untuk
berbagai kepentingan, seperti membersihkan diri (melukat), membuang aib, termasuk juga untuk
kepentingan upacara keagamaan.

Gambar 10.
sumber tertulis tersebut, maka dapat diketahui bahwa pada mulanya Pura Tirta Empul jelas
didirikan untuk kepentingan keagamaan. Dengan kata lain, Pura Tirta Empul sebagai tempat suci berkaitan
erat dengan kehidupan keagamaan bagi masyarakat Hindu di Bali, khususnya Desa Manukaya,
Tampaksiring, Gianyar. Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan
adanya kekuatan gaib atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat.
Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa, memuja, serta menimbulkan sikap mental
tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainnya dari individu dan masyarakat yang
mempercayainya (Agus, 2006: 1).

Proses internasionalisasi yang terjadi melalui aktivitas pariwisata, telah menjadikan Bali sebagai
masyrakat dunia yang multibudaya. Namun demikian pada saat yang bersamaan terjadi pula proses yang
arahnya berlawanan, yaitu suatu proses ke dalam mencari identitas yang bisa disebut sebagai proses
tradisionalisasi. Proses ini antara lain ditandai dengan meningkatnya kegairahan beragama atau religiusitas
masyarakat. Kegairahan religiusitas dapat dilihat melaui indikator antara lain adanya intensitas pelaksanaan
ritual, intensitas keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia, dan
keyakinan akan adanya benda/objek sakral (Pitana, 2005 : 147-148).

Keyakinan akan kekuatan gaib dan kekuatan supranatural yang mempengaruhi kehidupan manusia
masih sangat kuat di antara masyarakat Hindu dewasa ini. Seiring dengan keyakinan itu, berbagai simbol
dan objek diyakini mempunyai kekuatan yang tidak mampu dijelaskan dengan logika rasional, dan objek
tersebut bagi masyarakat adalah wujud sekala dari berbagai kekuatan niskala, sehingga objek tersebut
benar-benar disakralkan. Perilaku masyarakat Bali (Hindu) terhadap objek sakral ini dengan mudah dapat
diamati dalam setiap kegiatan ritual. Banyak masyarakat dewasa ini mencari pengalaman religious
sebagaimana dipraktikkan dalam berbagai aliran pendalaman agama, seperti kelompok-kelompok spiritual,
kelompok tirta yatra, dan sejenisnya.

Gambar 11.
Pura Tirta Empul adalah salah satu tempat suci yang banyak mendapat kunjungan dari kelompok
spiritual tersebut di atas. Keberadaan Pura Tirta Empul sebagai tempat peribadatan dan penyucian diri
(melukat) memungkinkan masyarakat atau kelompok-kelompok spiritual melakukan prosesi ritual
keagamaan. Belakangan ini prosesi pembersihan diri (melukat) sangat ramai dilakukan masyarakat di kolam
suci Pura Tirta Empul. Tidak terhitung jumlah orang yang datang menyucikan diri di kolam suci di
kompleks pura tersebut, mulai dari anak-anak, orang dewasa, orangtua, bahkan para turis dari mancanegara.
Secara umum, melukat (penyucian diri) dilakukan dengan tujuan untuk menyucikan badan jasmani
dan rohani. Sehubungan dengan adanya air yang dianggap suci (tirta) di Pura Tirta Empul,
proses melukat yang dilakukan oleh masyarakat (lokal, asing) tidak hanya untuk membersihkan jasmani
dan rohani, tetapi juga untuk tujuan tertentu, misalnya penyembuhan penyakit, kelancaran rejeki,
keselamatan perjalanan, dan sebagainya.

Sebagaimana tujuan utama penciptaan tirta (air suci) di Pura Tirta Empul (menurut Kakawin Usana
Bali) adalah untuk mengobati pasukan para Dewa dari penderitaan akibat luka-luka setelah bertempur
melawan pasukan Mayadanawa. Air suci itu mempunyai khasiat yang luar biasa, selain menyembuhkan
penyakit, juga dapat menghidupkan kembali pasukan para Dewa yang sudah mati. Keterangan Kitab
Kekawin Usana Bali yang berkaitan dengan khasiat air suci tersebut tampaknya menjadi salah satu faktor
pendorong masyarakat melakukan prosesi melukat di Pura Tirta Empul, dengan harapan dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit dan keselamatan dalam kehidupan ini.

Budaya sangat penting perannya dalam pariwisata. Salah satu hal yang menyebabkan orang ingin
melakukan perjalanan wisata adalah adanya keinginan untuk melihat cara hidup dan budaya orang lain di
belahan dunia lain serta keinginan untuk mempelajari budaya tersebut. Industri pariwisata mengakui peran
budaya sebagai faktor penarik para wisatawan. Dengan kata lain, sumberdaya budaya dimungkinkan
menjadi faktor utama yang menarik wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata (Pitana, 2009 : 75).

Dalam pariwisata, jenis pariwisata yang memanfaatan sumberdaya budaya sebagai modal utama
dikenal sebagai pariwisata budaya. Jenis pariwisata ini memberi variasi yang lebih luas menyangkut budaya
mulai dari seni pertunjukkan, seni rupa, festival makanan tradisional, dan lain-lain termasuk juga bangunan
bersejarah. Pariwisata budaya dapat dilihat sebagai peluang bagi wisatawan untuk mengalami, memahami,
dan menghargai kekayaan atau keragaman budayanya. Pariwisata budaya memberi kesempatan kontak
pribadi secara langsung dengan masyarakat lokal yang memiliki pengetahuan khusus tentang suatu objek
budaya. Pura Tirta Empul dewasa ini selain sebagai tempat suci, juga dimanfaatkan sebagai daya tarik
wisata budaya. Seperti diketahui bahwa wisata budaya memanfaatkan aspek budaya sebagai daya tarik.

Para wisatawan yang mengunjungi Pura Tirta Empul sudah tentu berharap mendapatkan sesuatu
yang memberikan kepuasan atau kesan yang mendalam. Hal itu dapat diperolehnya dari keunikan situs atau
dari keunggulan mutu dari benda-benda tinggalan arkeologi yang ada di dalamnya. Para wisatawan dapat
memperoleh kesan mendalam mengenai suasana pura yang nyaman dan khas, serta merasa puas karena
mendapatkan pengetahuan baru dari apa yang ditemukan di dalam pura.

Pusaka budaya Pura Tirta Empul dimanfaatkan sebagai modal pengembangan pariwisata,
merupakan suatu proses komodifikasi, yaitu dalam posisinya sebagai bagian dari sistem pembangunan
daerah. Untuk itu, proses tersebut dapat dijelaskan dengan teori komodifikasi, karena ada upaya secara
sengaja dan penuh kesadaran untuk menjadikan produk budaya tersebut menjadi barang dagangan yang
siap dijual bagi wisatawan. Pura Tirta Empul mengalami proses komodifikasi karena menjadi komoditas.
Menurut Barker (2005 : 408), komoditas adalah suatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar.
Hancurnya batas-batas budaya dan ekonomi, sebagaimana yang sudah lama terjadi dalam praktik-praktik
kepariwisataan dengan pariwisata budayanya, menjadi penanda penting posmodernitas.

2. Kreatifitas Masyarakat
Faktor internal lain yang mendorong pemanfaatan Pura Tirta Empul adalah kemampuan kreativitas
masyarakat. Kreativitas adalah salah satu kemampuan intelektual manusia atau proses berpikir, kemampuan
memecahkan masalah, berkaitan dengan usaha menciptakan gagasan-gagasan dan hal-hal baru yang
berguna. Suatu kreativitas bisa dikembangkan dari hasil modifikasi atau mengubah, menambah, yang sudah
ada sebelumnya, atau kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru (Ratna, 2005 :
313). Pura Tirta Empul sebagai suatu produk budaya masyarakat Manukaya, dalam proses kehadirannya,
tidak bisa dilepaskan dari berbagai kreativitas manusia yang menjadi satu dalam memenuhi rasa keindahan.
Kreativitas pengembangan Pura Tirta Empul merupakan akumulasi dari pemikiranpemikiran kreatif
manusia sepanjang waktu sampai kekinian, sebagai suatu tanggapan aktif mereka terhadap pemenuhan rasa
keindahan yang terus-menerus.

Berbagai kreativitas ditunjukkan melalui berbagai bentuk dan variasi hiasan yang ditampilkan pada
bangunan suci Pura Tirta Empul. Pola massa spasial bangunan suci adalah bentuk massa (bangunan) dan
tata letak massa dalam lingkungan mandala. Bentuk massa berpengaruh terhadap fungsi secara
keseluruhan. Perubahan pola ruang dan pola massa berpengaruh terhadap perubahan spasialnya. Sebelum
tahun 1980, bentuk dan massa bangunan yang mengalami renovasi total mencerminkan kesederhanaan,
tetapi tetap mencerminkan nilai-nilai kesucian. Selain dari segi bangunan kreativitas masyarakat dalam
pengembangan dan pemanfaatan Pura tirta Empul juga ditunjukkan dengan penataan taman-taman
dihalaman Pura Tirta Empul. Taman-taman ini ditata dengan rapi sehingga menambah daya tarik Pura Tirta
Empul sebagai objek wisata yang menyajikan pemandangan yang indah dan sejuk.

Konsep tri hita karana diterapkan di Desa Adat Manukaya, yang merupakan pedoman keseimbangan
antara krama desa (warga desa), pekraman (teritorial desa), dan parhyangan desa (tempat pemujaan desa).
Sesuai dengan maknanya, bahwa dalam hidup ini perlu adanya keseimbangan antara kedamaian rohani
yang terkait dengan prinsip ketuhanan dengan penghuni serta rumah termasuk berbagai kebutuhan sehari-
hari. Desakan dari prinsip ekonomi yang merupakan bagian dari kebutuhan sehari-hari menimbulkan sikap
hidup yang kurang mampu memisahkan antara pura sebagai tempat suci dan sebagai objek komersial. Atau
sekurang-kurangnya akan terjadi perubahan dengan mengadakan variasi antara tata dasar dengan bentuk-
bentuk baru.

Sulitnya kehidupan ekonomi serta peluang pariwisata yang cukup menjanjikan kehidupan yang lebih
baik, berpengaruh terhadap dinamika kesadaran budaya masyarakat, seperti munculnya konsepsi dan
orientasi bahwa ruang dalam konteks ini adalah Pura Tirta Empul, adalah situs untuk mendapatkan uang
atau keuntungan dalam bentuk lain. Konsep tersebut semakin berkembang dan membentuk identitas ke arah
komersialisasi, yang ditandai dengan sikap promosi. Sikap itu dapat dilihat dalam realita seperti merenovasi
pura, memperindah pura dengan berbagai ornamen dan ragam hias, penataan lingkungan, pembuatan
taman, dan lain-lain yang dieksplotir untuk kepentingan komersial.

Bersamaan dengan perkembangan pola komersial, hadirnya teknologi juga memberikan corak tertentu
terhadap kesadaran tentang konsepsi pura. Dari fungsi sakral sampai dengan fungsi komersial, telah
menyajikan suatu bentuk pelayanan yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi. Bangunan dengan bahan
yang berkualitas rendah diganti dengan bahan yang berkualitas tinggi, atap bangunan dari alang-alang
diganti dengan ubin atau ijuk, lantai bangunan dari tanah diganti dengan keramik, ruang-ruang dengan
bentangan lebar, yang sebelumnya tidak mungkin dibuat dengan bahan kayu, diganti dengan beton cor.
Sejalan dengan desakan komersialisasi dan didukung oleh teknologi mutakhir, serta komunikasi yang
intensif dengan pihak luar melalui pariwisata dan mediamedia informasi, mempertegas pergeseran pusaka
budaya Pura Tirta Empul sebagai situs komersial.
Kreativitas adalah ruang kebebasan dalam mengolah pikiran untuk berekspresi dalam merefleksikan
pengalaman dan rangsangan dari lingkungannya. Manusia dituntut kepekaan, naluri, dan kemampuan
mengolah pengalaman-pengalaman untuk diekspresikan menjadi sebuah karya yang originial dan mampu
menjadikan pengalaman baru yang unik dan estetik bagi orang lain (Wirakusuma, 2005 : 30-31).

Dalam perkembangannya, inovasi dan kreativitas masyarakat banyak ditentukan oleh para sponsor,
yaitu penguasa ekonomi dan penguasa politik yang mempunyai kepedulian dan kepentingan dengan Pura
Tirta Empul. Lembaga atau instansi pemerintah yang secara langsung terlibat adalah Dinas Pariwisata
Kabupaten Gianyar. Seiring dengan perkembangan otonomi daerah, Pemerintah Daerah Kabupaten
Gianyar melalui Dinas Pariwisata Daerah dengan giat mencari berbagai farmasi yang mungkin bisa
dikembangkan untuk menambah pemasukan daerah. Salah satunya adalah pemanfaatan Pura Tirta Empul
sebagai modal dalam upaya pengembangan pariwisata. Aset Pura Tirta Empul menjadi semacam ”magnet”
yang dipakai untuk mengajak setiap elemen masyarakat mendukung dan menerima kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan terkait dengan aset daya tarik wisata Pura Tirta Empul.

Globalisasi yang sedang merambah masyarakat dewasa ini tampaknya bagi sebagian masyarakat
memahaminya sebagai peristiwa atau proses kebudayaan dalam arti luas. Di satu sisi globalisasi menuntut
keseragaman, tetapi di sisi lain membutuhkan perbedaan dan kekhasan sebagai suatu identitas. Dengan
demikian kreaktivitas masyarakat untuk pembaharuan merupakan salah satu faktor pendorong komodifikasi
Pura Tirta Empul.

KESIMPULAN
A. Simpulan
Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa system pengelolaan Pura Sri Sedana/Bedugul
yang terletak di Bagirati kecamatan cakranegara kota mataram, nusa tenggara barat merupakan pura
stana Tuhan sebagai manifestasinnya dewa kesejahteraan atau kemakmuran, konon pura ini sebagai
tempat permohonan agar usaha lancar. Diyakini bahwa dengan bersembahyang di pura ini akan
dimudahkan rejekinya, pura ini banyak didatangi oleh umat hindu yang berada di luar pulau Lombok.
Pengelolaan pura sri sedana/Bedugul kurang adanya fasilitas dan perlengkapan di sekitar pura
dikarenakan masyarakat sudah jarang tangkil kepura tersebut untuk melakukan penglukatan ataupun
persembahyangan. pelaba pura, jika ada segala sesuatunya yang terkait dengan pura untuk mengurus,
menjaga, memelihara serta melaksanakan upacara di pura tersebut.

A. Saran
Mungkin inilah yang saya dapat berikan dalam penulisan peneletian yang jauh dari kata sempurna
kita bisa mengimplemtasikan tulisan ini baik untuk diri kita sendiri maupun untuk keperluan orang
banyak. Penulisan ini saya buat agar bertujuan bisa memberikan kesadaran bagi orang banyak akan
pentingnya suatu sistem pengelolaan pura dan peran masyarakat atau pemedek yang berada di dalam
pengelolaan Pura Sri Sedana/Bedugul.
DAFTAR PUSTAKA
Putra, N. D., Lagatama, P., Wijaya, K. A., & Sukmadewi, N. P. R. (2022). REVITALISASI PENGELOAAN
DAYA TARIK WISATA SPIRITUAL PURA PONJOK BATU BERBASIS CHSE DI DESA PACUNG,
KECAMATAN TEJAKULA, KABUPATEN BULELENG. Widya Genitri: Jurnal Ilmiah Pendidikan,
Agama dan Kebudayaan Hindu, 13(1), 67-80.
Rudiarta, I. W., Sari, P. P., & Ariani, N. W. (2022). Menangkal Desakralisasi Destinasi Wisata Pura Melalui
Revitalisasi Ajaran Pendidikan Agama Hindu. Cultoure: Jurnal Ilmiah Pariwisata Budaya Hindu, 3(1), 50-
61.
Sumaeni, N. M., & Mahagangga, I. G. A. O. (2018). Sistem Pengelolaan Terhadap Pura Tirta Empul Sebagai
Daya Tarik Wisata Pusaka Di Tampak Siring Gianyar. Jurnal Destinasi Pariwisata, 5(2), 322-326.
UTAMI, K. A. D., SARWADANA, S. M., & SUDARSANA, A. A. G. D. Evaluasi Pengelolaan Lansekap
Pura Mengening, Desa Pakraman Saraseda, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali.
Wulandari, A., & Adikampana, I. M. (2018). Pengelolaan Taman Mumbul Sebagai Daya Tarik Wisata
Spiritual Di Desa Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Jurnal Destinasi Pariwisata, 5(2),
369.

Anda mungkin juga menyukai