Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pura Ulun Danu Beratan, atau yang kerap disingkat penyebutannya
menjadi Pura Ulun Danu, merupakan salah satu pura terbesar di Bali setelah Pura
Besakih. Nama pura ini merujuk pada lokasinya yang berdiri di tepi Danau
Beratan. Lokasi pura ini cukup istimewa karena berada di dataran tinggi Bedugul,
yakni sekitar 1.239 meter di atas permukaan laut (dpl). Kondisi yang demikian
membuat lingkungan pura cukup sejuk, dengan temperatur udara antara 18-22
derajat celcius. Selain itu, lansekap Danau Beratan yang asri juga menambah
suasana indah di tempat ini.
Pura Ulun Danu Batur menjadai salah satu pura kebanggaan di Bali karena
keunikan lokasinya yang berada ditengah danau. Selain itu pura ini juga kerap
dikunjungi wisatawan dalam maupun luar negeri. Untuk membahas mengenai
Pura Ulun Danu Batur, berikut penulis akan menjelaskan lebih jauh pada bagian
pembahasan.

Pura Ulun Danu Beratan di Desa Candikuning, Tabanan, Bali.


1

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam
penulisan makalah ini ialah untuk membahas mengenai sejarah Pura Ulun Danu
Batur.
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk mengetahui mengenai Pura
Ulun Danu Batur.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan makalah ini ialah dengan cara pengumpulan data
melalui media internet kemudian penulis uraikan kembali dengan menggunakan
kata-kata sendiri.

1.5 Tinjauan pustaka


Pengertian
Kata "Pura" sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sanskerta (-pur,
-puri, -pura, -puram, -pore), yang artinya adalah kota, kota berbenteng, atau kota
dengan menara atau istana. Dalam perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali,
istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat ibadah; sedangkan istilah "Puri"
menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan bangsawan.

Tata Letak
Pelinggih Meru berbentuk atap bersusun tinggi serupa pagoda ini adalah
salah satu ciri khas arsitektur pura. Tidak seperti candi atau kuil Hindu di India
yang berupa bangunan tertutup, pura dirancang sebagai tempat ibadah di udara
terbuka yang terdiri dari beberapa lingkungan yang dikelilingi tembok. Masingmasing lingkungan ini dihubungkan dengan gerbang atau gapura yang penuh
berukiran indah. Lingkungan yang dikelilingi tembok ini memuat beberapa
bangunan seperti pelinggih yaitu tempat suci bersemayam hyang, meru yaitu
menara dengan atap bersusun, serta bale (pendopo atau paviliun). Struktur tempat
suci pura mengikuti konsep Trimandala, yang memiliki tingkatan pada derajat
kesuciannya, yakni:
1. Nista mandala (Jaba pisan): zona terluar yang merupakan pintu masuk
pura dari lingkungan luar. Pada zona ini biasanya berupa lapangan atau
taman yang dapat digunakan untuk kegiatan pementasan tari atau tempat
persiapan dalam melakukan berbagai upacara keagamaan.
2. Madya mandala (Jaba tengah): zona tengah tempat aktivitas umat dan
fasilitas pendukung. Pada zona ini biasanya terdapat Bale Kulkul, Bale
Gong (Bale gamelan), Wantilan (Bale pertemuan), Bale Pesandekan, dan
Perantenan.
3. Utama mandala (Jero): yang merupakan zona paling suci di dalam pura.
Di dalam zona tersuci ini terdapat Padmasana, Pelinggih Meru, Bale
Piyasan, Bale Pepelik, Bale Panggungan, Bale Pawedan, Bale Murda, dan
Gedong Penyimpenan.

Meskipun demikian tata letak untuk zona Nista mandala dan Madya
mandala kadang tidak mutlak seperti demikian, karena beberapa bangunan seperti
Bale Kulkul, atau Perantenan atau dapur pura dapat pula terletak di Nista
mandala.
Pada aturan zona tata letak pura maupun puri (istana) di Bali, baik gerbang
Candi bentar maupun Paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur.
Candi bentar merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi
kawasan luar pura dengan Nista mandala zona terluar kompleks pura. Sedangkan
gerbang Kori Agung atau Paduraksa digunakan sebagai gerbang di lingkungan
dalam pura, dan digunakan untuk membatasi zona Madya mandala dengan Utama
mandala sebagai kawasan tersuci pura Bali. Maka disimpulkan baik untuk
kompleks pura maupun tempat tinggal bangsawan, candi bentar digunakan untuk
lingkungan terluar, sedangkan paduraksa untuk lingkungan dalam.
Jenis Pura
Terdapat beberapa jenis pura yang berfungsi khusus untuk menggelar
beberapa ritual keagamaan Hindu dharma, sesuai penanggalan Bali.
1. Pura Kahyangan Jagad: pura yang terletak di daerah pegunungan.
Dibangun di lereng gunung, pura ini sesuai dengan kepercayaan Hindu
Bali yang memuliakan tempat yang tinggi sebagai tempat bersemayamnya
para dewa dan hyang.
2. Pura Segara: pura yang terletak di tepi laut. Pura ini penting untuk
menggelar ritual khusus seperti upacara Melasti.

3. Pura Desa: pura yang terletak dalam kawasan desa atau perkotaan,
berfungsi sebagai pusat kegiatan keagamaan masyarakat Hindu dharma di
Bali.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Pura Ulun Danu


Sejarah pendirian Pura Ulun Danu Beratan dapat dilacak pada salah satu
kisah yang terekam dalam Lontar Babad Mengwi. Dalam babad tersebut
dituturkan mengenai seorang bangsawan bernama I Gusti Agung Putu yang
mengalami kekalahan perang dari I Gusti Ngurah Batu Tumpeng. Untuk bangkit
dari kekalahan tersebut, I Gusti Agung Putu bertapa di puncak Gunung Mangu
hingga memperoleh kekuatan dan pencerahan. Selesai dari pertapaannya, ia
mendirikan istana Belayu (Bela Ayu), kemudian kembali berperang melawan I
Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan memperoleh kemenangan. Setelah itu, I Gusti
Agung Putu yang merupakan pendiri Kerajaan Mengwi ini mendirikan sebuah
pura di tepi Danau Beratan yang kini dikenal sebagai Pura ulun Danu Beratan.
Dalam Lontar Babad Mengwi juga dikisahkan bahwa pendirian pura ini
dilakukan kira-kira sebelum tahun 1556 Saka atau 1634 Masehi, atau sekitar satu
tahun sebelum berdirinya Pura Taman Ayun, sebuah pura lain yang juga didirikan
oleh I Gusti Agung Putu. Pendirian Pura Ulun Danu Beratan konon telah

membuat masyhur Kerajaan Mengwi dan rajanya, sehingga I Gusti Agung Putu
dijuluki I Gusti Agung Sakti oleh rakyatnya.

2.2 Struktur Pura


Berkunjung ke Pura Ulun Danu Beratan, para pelancong dapat menikmati
keunikan pura dan lingkungan alam yang asri di sekitarnya. Suasana asri, sejuk,
dan udara yang bersih mulai terasa sejak wisatawan menginjakkan kaki di lahan
parkir menuju pura. Dari tempat parkir ini, wisatawan terlebih dahulu harus
membeli karcis untuk memasuki lingkungan pura. Para pelancong kemudian akan
melewati jalan setapak yang dihiasi bunga-bunga, hamparan rumput, serta
pepohonan cemara yang menghijau. Jalan setapak ini mengarah pada pintu masuk
menuju pura (gapura).

Jalan setapak menuju Pura Ulun Danu Beratan


Sebelum memasuki gapura, cobalah untuk menengok sejenak bangunan
stupa (candi Buddha) yang hingga sekarang masih digunakan sebagai tempat
6

ibadah. Tidak jauh dari areal pura, juga terdapat bangunan masjid sebagai tempat
ibadah untuk umat muslim. Keberadaan stupa dan masjid ini mengingatkan kita
betapa toleransi beragama sudah dipraktekkan sejak lama oleh masyarakat Bali.
Memasuki gapura, kita akan melihat bangunan pura khas Bali yang dicirikan oleh
menaranya yang bertingkat (meru). Di dalam kompleks pura setidaknya terdapat
beberapa bangunan bermenara yang memiliki atap bertingkat, yaitu menara
dengan atap 11 tingkat, 7 tingkat, dan 3 tingkat. Keberadaan menara bertingkat
tersebut menggambarkan pemujaan terhadap tiga dewa, yakni Dewa Wisnu (11
tingkat), Dewa Brahma (7 tingkat), dan Dewa Siwa (3 tingkat). Yang menarik,
karena terletak di tepi danau yang agak rendah, membuat daratan di sekitar pura
kerap tergenang air ketika debit air danau sedang meluap. Kondisi ini
menciptakan pemandangan yang sangat indah, di mana kompleks pura dengan
gugusan menara bertingkat-nya seolah-olah berada di tengah danau. Keadaan saat
air meluap ini merupakan momen terbaik untuk memotret Pura Ulun Danu
Beratan.

Kompleks pura saat debit air danau sedang surut


7

Meskipun dianggap sebagai tempat pemujaan kepada trimurti (Dewa


Wisnu, Brahma, dan Siwa), namun sebetulnya pura ini semula merupakan tempat
untuk memuja Dewa Siwa dan Dewi Parwati, yang merupakan simbol bagi
kesuburan. Perkiraan ini merujuk pada kosmologi tentang lingga dan yoni, di
mana Gunung Mangu (tempat bertapa I Gusti Agung Putu) dianggap sebagai
lingga dan Danau Beratan sebagai yoni. Simbol-simbol lingga yoni secara nyata
juga nampak pada beberapa bagian dalam kompleks pura ini. Simbol lingga-yoni
merupakan simbol pemujaan kepada Dewa Siwa dan Dewi Parwati.
Dugaan bahwa pura ini merupakan tempat pemujaan terhadap SiwaParwati makin menguat melihat fungsi pura ini sebagai pura subak, yakni pura
yang disokong oleh organisasi sosial masyarakat Bali yang mengatur pembagian
irigasi pertanian. Pura subak sendiri khusus dibuat untuk memohon kesuburan
bagi pertanian. Para penganut Hindu yang bersembahyang di pura ini memuja
dewi danau, atau dalam bahasa setempat disebut dewi danu (disebut juga dewi
air). Dewi danu ini kemungkinan menunjuk kepada sosok Parwati, istri Siwa yang
merupakan simbol kesuburan. Di sini nampak bahwa aktivitas pertanian di sekitar
danau tak hanya didukung oleh sistem peririgasian yang baik, tetapi juga
ditunjang oleh ritual agama yang kuat. Pura Ulun Danu Beratan memberikan
gambaran yang cukup jelas bagaimana organisasi subak mengatur sistem irigasi
pertanian dan sekaligus membangun sarana peribadatan untuk mengupayakan
hasil panen yang melimpah.
Selain menjadi situs bersejarah yang merekam perkembangan ajaran
Hindu pada masa Kerajaan Mengwi, kompleks Pura Ulun Danu Beratan juga
menyimpan artefak lain yang berasal dari zaman megalitik (sekitar 500 tahun

sebelum Masehi). Di sebelah kiri halaman depan Pura Ulun Danu Beratan dapat
disaksikan sebuah sarkofagus dan papan batu. Sarkofagus merupakan peti batu
yang biasa difungsikan untuk menyimpan mayat (kubur batu), sementara papan
batu yang terdapat di lokasi yang sama diperkirakan sebagai tempat pemujaan
masyarakat prasejarah. Temuan ini menunjukkan bahwa tempat dibangunnya pura
sebelumnya juga telah digunakan sebagai tempat ibadah oleh masyarakat arkais.
Selain berwisata sejarah, wisatawan juga dapat menikmati indahnya Danau
Beratan yang memiliki kedalaman hingga 23 meter ini. Wisatawan yang merasa
tidak puas hanya dengan memandanginya saja dapat menyewa perahu tradisional
atau perahu motor untuk mengelilingi danau. Atau, jika ingin menjajal tantangan
berbagai permainan air, dapat pula menyewa permainan parasailing, bana boat,
serta jetski. Untuk sekedar menghabiskan waktu, wisatawan juga bisa memancing
di tepi danau, tepatnya di bawah rimbunnya rumpun bambu untuk sekedar
menghabiskan waktu. Apabila menginginkan suasana hutan dengan tanaman
buah-buahan yang menggoda selera, wisatawan dapat menuju Kebun Raya Eka
Karya yang terletak sekitar 300 meter dari Danau Beratan.

2.3 Lokasi Pura


Pura Ulun Danu Beratan terletak di kawasan Bedugul, Desa Candikuning,
Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali, Indonesia. Pura Ulun
Danu Beratan berjarak sekitar 45 kilometer dari pusat Kota Tabanan, atau sekitar
55 kilometer dari Kota Denpasar. Untuk menuju pura ini, wisatawan dapat
menggunakan kendaraan umum, seperti taksi, bus pariwisata, maupun agen
perjalanan menuju jalur Denpasar-Singaraja. Pura ini terletak di perbatasan antara

Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Buleleng, berada di pinggir jalan raya,


tepatnya di tepi Danau Beratan.
Pengunjung Pura Ulun Danu Beratan harus membayar tiket sebesar
Rp7.500,00 untuk turis domestik dan Rp10.000,00 untuk turis asing. Sebagai
sebuah obyek wisata sejarah dan religi, Pura Ulun Danu Beratan telah dilengkapi
dengan fasilitas-fasilitas penunjang, seperti lahan parkir, taman bermain untuk
anak, serta toilet. Taman bermain tersebut menyediakan berbagai sarana
permainan, seperti ayunan, kursi putar, dan jungkat-jungkit. Di dekat taman
bermain terdapat restoran yang menyajikan aneka masakan. Restoran ini biasanya
akan penuh oleh pengunjung pada saat jam makan siang.
Wisatawan yang ingin mengelilingi danau dengan menyewa perahu
dikenakan biaya sebesar Rp25.000,00 untuk satu kali keliling, dengan waktu
sekitar 20 menit. Sedangkan bagi Anda yang ingin memancing dapat menyewa
peralatan pancing seharga Rp5.000,00, dengan waktu pemakaian sepuasnya. Di
sekitar pura juga terdapat jasa melukis wajah cepat, hanya dalam waktu 15 menit,
dengan

harga

Rp10.000,00

untuk

tiap

lukisan.

Sekiranya

wisatawan

menginginkan membeli oleh-oleh, di utara areal pura terdapat pasar tradisional. Di


pasar ini dijual berbagai hasil perkebunan, pertanian, kerajinan khas bali, serta
hewan khas Bali, yakni anjing kintamani.

10

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sejarah pendirian Pura Ulun Danu Beratan dapat dilacak pada salah satu
kisah yang terekam dalam Lontar Babad Mengwi. Dalam babad tersebut
dituturkan mengenai seorang bangsawan bernama I Gusti Agung Putu yang
mengalami kekalahan perang dari I Gusti Ngurah Batu Tumpeng. Untuk bangkit
dari kekalahan tersebut, I Gusti Agung Putu bertapa di puncak Gunung Mangu
hingga memperoleh kekuatan dan pencerahan. Selesai dari pertapaannya, ia
mendirikan istana Belayu (Bela Ayu), kemudian kembali berperang melawan I
Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan memperoleh kemenangan. Setelah itu, I Gusti
Agung Putu yang merupakan pendiri Kerajaan Mengwi ini mendirikan sebuah
pura di tepi Danau Beratan yang kini dikenal sebagai Pura ulun Danu Beratan.
Pura Ulun Danu Beratan terletak di kawasan Bedugul, Desa Candikuning,
Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali, Indonesia. Pura Ulun
Danu Beratan berjarak sekitar 45 kilometer dari pusat Kota Tabanan, atau sekitar
55 kilometer dari Kota Denpasar. Untuk menuju pura ini, wisatawan dapat

11

menggunakan kendaraan umum, seperti taksi, bus pariwisata, maupun agen


perjalanan menuju jalur Denpasar-Singaraja. Pura ini terletak di perbatasan antara
Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Buleleng, berada di pinggir jalan raya,
tepatnya di tepi Danau Beratan.

3.2 Saran
Pura Ulun Danu Batur merupakan salah satu Pura Suci yang harus dijaga
keberadaannya serta kesuciannya. Oleh karena itu sebagai masyarakat Bali dan
sekaligus umat beragama Hindu, kita harus terus menjaga pura ini supaya dapat
dilihat oleh anak cucu kita kelak.

12

DAFTAR PUSTAKA
http://www.baliwonderstours.com
http://tourdebali.com
www.google.com/ulundanubatur

13

Anda mungkin juga menyukai