Anda di halaman 1dari 29

Mpu Kuturan

Mpu Kuturan merupakan salah satu dari Panca Pandita yang tiba
di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal
ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923
(1001M) yang berkaitan dengan Siwa Buddha yang ada di Bali,
selanjutnya berparhyangan di Pura Silayukti (Padang).

Dari adanya lontar Calon Arang dapat diketahui bahwa Mpu


Kuturan berasal dari Jawa Timur yaitu di suatu tempat bernama
Girah, dan disanalah beliau pernah berkuasa sebagai seorang
Raja. Beliau berangkat dan menetap di Bali didorong oleh tiga
factor penyebab yaitu:

1. Memenuhi permintaan raja suami istri Gunaprya


Dharmapatni & Udayana Warmadewa yang bertahta di Bali
pada tahun caka 910 sampai dengan 988 atau tahun 988M
sampai dengan tahun 1011M, yang memerlukan keahlian
beliau dalam bidang adat dan agama untuk merehabilitasi
dan mestabilisasi timbulnya ketengangan-ketegangan dalam
tubuh masyarakat Bali Aga
2. Karena bertentangan dengan istri beliau yang menguasai
magic. Sebab itu istri beliau ditinggalkan di Jawa yang
dijuluki Walu Natheng Girah atau Rangda Natheng Girah
(jandanya Raja Girah)
3. Sebagai bhiksuka atau Sanyasa, beliau lebih mengutamakan
ajaran dharma dari pada kepentingan pribadi

Kesempatan yang baik itu beliau pergunakan untuk untuk datang


ke Bali, karena dorongan kewajiban menyebarkan dharma. Selain
Senapati, beliau juga diangkat sebagai sebagai ketua Majelis
Pakira kiran I Jro makabehan:, yang beranggotakan sekalian
senapati dan para pandita Ciwa dan Budha. Dalan suatu rapat
majelis yang diadakan di Bataanyar yang dihadiri oleh unsur tiga
kekuatan pada saat itu, yaitu

Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang


juga sebagai ketua sidang
Dari pihak Ciwa diwakili oleh pemuka Ciwa dari Jawa
Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga

Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana


menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai
aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan
paham Tri Murti untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang
layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang
Hyang Widhi Wasa.

Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan


pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di
Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut Ciwa Budha
sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut
Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura)
untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya
yaitu Pura Kahyangan Tiga yang menjadi lambang persatuan
umat Ciwa Budha di Bali.
Di Bali, Salah satu nama Tuhan adalah Sang Hyang Mbang atau
Mahasunyi yang dalam agama Buddha ada istilah Sunyata. Tahun
baru di Bali dirayakan dengan sunyi (sunyata). Di Bali Selatan,
ada Pura Sakenan yang puncak piodalannya jatuh pada Hari Raya
Kuningan. Sementara Sakenan berasal dari kata Sakyamuni.
Sakyamuni nama asli Sidartha Gautama.
Mpu Kuturan sendiri adalah pendeta Buddha yang
peninggalannya adalah Meru, hasil modifikasi Pagoda umat
Buddha.
Pada Abad ke-16, Bali mengalami masa kejayaan di bawah Raja
Dalem Waturenggong. Dalam masa kerajaan itu ada penasihat
spiritual yaitu pendeta Siwa-Buddha. Peninggalannya berupa
Padmasana.

Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7


prasasti peninggalan purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu
Kuturan di Bali berpangkat Senapati, dan prasasti-prasasti
tersebut kini masih terdapat:

1. Di desa Srai, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah


tinggkat II Bangli, bertahun Caka 915 atau 993M
2. Di desa Batur, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah
tingkat II Bangli, bertahun caka 933 atau 1011M
3. Di desa Sambiran, kecamatan Tejakula kabupaten tingkat II
Buleleng, bertahun caka 938 atau 1016M
4. Di desa Batuan, kecamatan Sukawati kabupaten tingkat II
Gianyar bertahun caka 944 (1022M)
5. Di desa Ujung Kabupatendaerah tingkat II Karangasem
bertahun caka 962 (1040M)
6. Di Pura Kehen Bangli, kabupaten tingkat II Bangli, karena
sudah rusak tidak tampak tahunnya
7. Di desa Buahan, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah
tingkat II Bangli bertahun caka 947 (1025M)

Sekian banyaknya prasasti sebagai fakta sejarah yang


mencantumkan nama Mpu Kuturan sebagai Senapati di Bali.
(ref1)

Dan menurut salah satu komentar di forum diskusi jaringan hindu


nusantara (ref2), adapun sekte - sekte di Bali yang dipersatukan
Mpu Kuturan pada waktu pemerintahan Raja Udayana menjadi
tiga, yaitu Siwa, Budha, dan Waisnawa. Kesembilan sekte itu
adalah:

1. Brahmana.
2. Bodha atau Sogatha.
3. Bhairawa
4. Ganapatya
5. Pasupata.
6. Rsi.
7. Sora
8. Waisnawa
9. Siwa Sidantha

Ciwa Budha - Mpu


Kuturan
Ditulis oleh Jero Mangku Pasek Mukti Murwo Kuncoro
Adu Kesaktian
Suatu hari saya mendapat telepon dari Pinisepuh bahwa
nanti malam harus berkunjung ke Silayukti, Padangbai,
Karangasem, Bali. Pinisepuh memerlukan tangkil ke Pura
Perhyangan Silayukti karena atas petunjuk Beliau Ida
Bhatara Mpu Kuturan juga disebut Mpu Rajakretha. Saya
tidak berani bertanya apa-apa selain duduk menemani
Pinisepuh.

Akhirnya saya dan Pinisepuh Agung Yudistira yang saya


hormati melewatkan malam yang indah di atas tebing dan
sekali-sekali dihibur oleh bel kapal laut dari pelabuhan
Padangbai. Sebelumnya sedikitpun saya tidak paham
tentang siapa sebenarnya Beliau Mpu Kuturan. Tetapi
karena rasa penasaran, saya bertanya siapa sejatinya
Beliau ini. Dengan sabar Pinisepuh bercerita sepatah-
sepatah karena saya sangat awam dengan nama-nama Ida
Bhatara. Saya menyerap pengetahuan ini dengan senang
hati dan seperti ada rasa rindu untuk lebih banyak lagi
mendengar cerita tentang Beliau.

Beliau Mpu Kuturan adalah seorang penasehat raja di


Jawa yang setelah pensiun menjadi Senopati dan
penasehat raja-raja di Bali. Di sela-sela waktu sebagai
petinggi Beliau bersemedhi di Silayukti. Di antara
penjelasan tersebut saya bertanya kepada Pinisepuh, tadi
sebelum tangkil ke Perhyangan Mpu Kuturan kami tangkil
ke pura Perhyangan Mpu Bradah. Saya bertanya siapa
Mpu Bradah dan kenapa Beliau juga mempunyai Pura
Perhyangan di Silayukti ini?

Mpu Bradah adalah salah satu saudara dari Mpu Kuturan


yang menggantikan sebagai penasehat raja di Jawa setelah
Mpu Kuturan pensiun. Mpu Kuturan mempunyai istri
bernama Ratna Manggali yang mempelajari ilmu yang
disebut Tantrayana yang jalannya adalah aliran kiri. Ratna
Manggali kemudian dikenal juga dengan Calon Arang atau
Walu Nateng Dirah atau Rondo Nateng Dirah. Rondo
Nateng Dirah kalau sedang merapalkan ilmunya dan
mereh mejadi bentuk lain disebut Calon Arang yang
berwujud sangat seram dan menakutkan. Kalau di Bali
seperti Rangda. Dan sebenarnya kata rangda ini berasal
dari kata rondo bahasa Jawa atau artinya adalah janda.
Dalam perkembangannya menjadi rongdo dan terdengar
sebagai rangda di Bali yang kemudian kata rangda ini
seolah mewakili sesuatu yang menyeramkan. Akhirnya
sosok Rondo Nateng Dirah atau Rangda Calon Arang ini
mengganggu kerajaan dengan menyebarkan sakit grubug
di wilayah kerajaan Airlangga.

Semua punggawa dan kesatria kerajaan tidak ada yang


bisa menandingi ilmu Rangda Calon Arang. Termasuk Mpu
Bradah. Tetapi kemudian, Mpu Bradah mempunyai anak
yang bernama Mpu Bahula yang dikawinkan dengan anak
dari Calon Arang yang bernama Diah Ratna Manggali.
Kemudian Mpu Bahula berhasil mencuri kitab Tantrayana
yang kemudian diserahkan kepada ayahandanya Mpu
Bradah dan serta merta mempelajarinya hingga pada
suatu waktu bisa mengalahkan kesaktian Rangda Calon
Arang. Mpu Bradah akhirnya mendapat gelar Inan Liak
Lembah Tulis. Liak berarti: Linggih Ulian Aksara dan
kemudian dikenal dengan kata Leak di Bali.

Singkat cerita, Mpu Bradah yang sakti mandraguna


berkunjung ke Bali. Ia ingin menguji kesaktian Mpu
Kuturan kakaknya. Pertempuran adu kesaktian berjalan
berhari-hari akan tetapi tak kunjung ada yang kalah
sampai akhirnya Mpu Bradah memutuskan untuk berhenti
dan kembali ke Jawa. Mpu Bradah dalam perjalanan
pulang ke Jawa, setelah lewat di lautan luas selalu
dihadang ombak yang sangat besar dan akhirnya selalu
kembali terdampar ke pesisir Silayukti. Beliau menyerah
dan akhirnya mengakui bahwa kakaknya Mpu Kuturan
lebih sakti darinya. Juga memutuskan untuk menemani
kakaknya di Silayukti. Beliau berdua akhirnya Moksha di
Silayukti dan masing-masing telah mempunyai Pura
Perhyangan.

Silsilah Mpu Kuturan

Ida Bhatara Lingsir Hyang Pasupati menurunkan Sang


Hyang Putranjaya, Sang Hyang Dewi Dhanu dan Sang
Hyang Genijaya. Sang Hyang Genijaya (melinggih di Pura
Lempuyang Luhur) menurunkan Panca Dewata, yaitu:
1. Mpu Gnijaya
2. Mpu Semeru
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan
5. Mpu Bradah
Sekedar tahu, Sanak Sapta Rsi diturunkan oleh Mpu
Gnijaya yang beristrikan Ida Bhatari Dewi Manik Geni
yaitu putri dari Ida Bhatara Putranjaya.

sumber: banyak sumber dan pinisepuh


Pemujaan horisontal dan vertikal

Horisontal Budha - Perdhana


Mpu Kuturan, meringkas sekte pemujaan menjadi
Trimurti: Brahma, Wisnu dan Ciwa yang akhirnya dalam
desa pekraman menciptakan 3 soroh pura:
1. Pura Desa : Sthana Ida Bhatara Brahma
2. Pura Puseh: Sthana Ida Bhatara Wisnu
3. Pura Dalem: Sthana Ida Bhatara Ciwa

Ida Bhatara Brahma


Menitis ke Hyang Genijaya yang bersthana di Pura
Lempuyang Luhur, Beliau dianggap yang menguasai hal-
hal spiritual beserta sub-subnya termasuk usadha
(balian).

Ida Bhatara Wisnu


Menitis ke Ida Bhatara Dewi Dhanu, Beliau Bersthana di
Pura Batur, Ulun Danu. Beliau dianggap yang menguasai
hal-hal kesuburan, kesejahteraan, kekayaan dan welas
asih.

Ida Bhatara Ciwa


Beliau menitis ke Hyang Putranjaya, menurut penuturan
Pinisepuh, Beliau belum bersthana di mana-mana tetapi
sementara ini Beliau melinggih di Gunung Agung dan
beliau juga dianggap yang berkuasa atas ha-hal2
kepemerintahan.

Sekte-sekte yang dimaksud:


1. Bairawa: Bhatara Durga yg di Tuhan kan
2. Ganaphati: Bhatara Ganesha di Tuhan kan
3. Ciwa: Bhatara Ciwa di Tuhan kan
4. Waisnawa: Bhatara Wisnu di Tuhan kan
5. Budha Mahayana: sekte yang dianut Mpu Kuturan
Sebenarnya ada banyak sekali sekte namun sekte ini
adalah sekte-sekte yang dianggap besar pada jaman
tersebut seperti sekte yang menyembah: Bhatara Bayu,
Bhatara Indra, Bhatara Kala, Sambu yang menyembah
arca. Sekte ini mengadakan paruman atau pesamuan atas
pimpinan Mpu Kuturan yang saat itu menjabat sebagai
Senopati Raja di Bali dan tempat pertemuan tersebut
kemudian dibangun Pura Samuan Tiga yang terletak di
desa Bedulu, Gianyar.

Vertikal Ciwa Purusha


Mpu Kuturan juga melahirkan konsep pemujaan ke atas
yang di wujudkan dengan Tri Purusha yaitu:
1. Ciwa
2. Sadaciwa
3. Paramaciwa
Ciwa
Disimbolkan dengan keberadaan gunung karena
merupakan Sthana Dewata tertinggi di alam Bali dan
gunung tersebut adalah gunung Agung yang disimbolkan
sebagai Ciwa di mana pura Kahyangan Jagat Besakih
didirikan sebagai pusat Leluhur Nusantara sekarang ini.

Sadaciwa
Adalah manifeatasi dari Ida Bhatara Sang Hyang Ismaya
atau dikenal dengan Sabda Palon atau dikenal juga sebagai
Semar atau Tualen di Bali. Beliau adalah pengemong atau
yang menjaga dan penasehat para Leluhur dari jaman ke
jaman. Dikhabarkan bahwa sebelum Kerajaan Majapahit
runtuh Sabda Palon berjanji untuk kembali lagi 500 tahun
kemudian untuk membangkitkan kembali ajaran Ciwa
Budha.

Paramaciwa
Beliau adalah Ida Betara Lingsir Hyang Pacupati sendiri
yang menurunkan umat manusia. Adalah tingkatan
tertinggi dari tatanan kehidupan manusia du dunia.

Perpaduan konsep horisontal (mendatar) dan vertikal


(atas bawah) kalau digabungkan adalah Tapak dara,
Purusha Pradhana, Rwabhineda yang disebut dengan
Ardhanareswari yaitu Bapak dan Ibu atau Ciwa (bapak)
dan Budha (ibu), Padamasana adalah Ciwa dan Rong Tiga
adalah Budha, menjadi satu disebut Hyang Tunggal dan
segala sebutan Beliau Hyang Widhi Wasa.

Karya Spiritual Mpu Kuturan

Sungguh kemampuan yang sangat luar biasa yang dimiliki


oleh Beliau Mpu Kuturan. Peninggalannya tentang konsep
pemujaan Ciwa Budha adalah karya spiritual yang
sungguh hebat karena menyatukan kerumitan silsilah
Dewata menjadi konsep sederhana yang sangat mudah
untuk dipahami dan lestari sampai sekarang.

Berikut adalah karya spiritual Mpu Kuturan:


1. Konsep Ciwa Budha adalah yang terbesar seperti
dijelaskan di atas karena menjadi acuan pemujaan
seluruh umat Hindu Dharma di Nusantara.
2. Konsep Desa Dalem Puseh sebagai lanjutan
penerapan konsep Ciwa Budha.
3. Konsep Catur Loka yaitu konsep mendirikan pura
pemujaan pada masing-masing maksud yang terdiri
dari: a). Pura Kawitan b). Pura Dhang Kahyangan c).
Pura Sad Kahyangan atau Perhyangan Jagat d).
Kahyanan Jagat.
4. Bentuk pelinggih seperti meru dan lain-lainnya
adalah hasil dari penciptaan Beliau. Namun
Padmasana disempurnakan lagi bentuknya
oleh Dhang Hyang Niratha salah satu dari keturunan
Beliau juga.
Pura-pura Karya Mpu Kuturan
1. Pura Besakih bersama dengan Rsi Markandhea
2. Pura Silayukti di Padangbai, Karangasem adalah
tempat Beliau bersemedhi dan Moksha.
3. Pura Batu Pageh, Desa Ungasan, Badung adalah pura
yang disebut sebagai pagar Niskala alam Bali diatur
dari pura ini.
4. Pura Samuan Tiga, adalah pura bersejarah waktu
mempersatukan sekte-sekte di Bali.
5. Pura Sakenan, di Serangan
6. Pura Watu Klotok, di Klungkung
7. Pura Uluwatu, di Ungasan
8. Pura Menjangan, di Buleleng barat
9. Pura Ponjok Batu, di Buleleng timur
10. Pura Pejeng di Pejeng Gianyar

Menurut penuturan Pinisepuh masih banyak pura-pura


bersejarah dan berhubungan dengan Beliau. Pinisepuh
tengah melakuakn perenungan dan semedhi untuk
memohon petunjuk selanjutnya.

Mpu Kuturan Di Balik Desa Pekraman dan Penganut Ciwa Budha


Dari beberapa sumber sejarah dapat disimpulkan betapa eratnya

hubungan pulau Bali dan Jawa


terutama Jawa Timur. Ikatan tali kasih antara Bali dan Jawa Timur
bertambah erat dengan dilangsungkannya pernikahan agung
antara Sri Udayana Warmadewa dari Bali dengan Sri
Mahendradatta adik perempun raja daha Sri Dhamawangsa
Ananta Teguh putri raja Sri Makutawangsawardana, cicit dari Sri
Maharaja Paradewasikan Kamaswara Dharmawangsa, dimana
setelah upahcara dwijati atau diksa (inisiasi) bernama Empu
Sendok. Upacara agung itu dilaksanakan pada tahun 988 M,
dimana kemudian keduanya dinobatkan menjadi raja suami istri
di Bali dengan gelar Sri Gunapriya Dharmapatni/Dharmodayana
Warmadewa.
Pada masa pemerintahan suami istri inilah terjadi perubahan
besar-besaran di Bali. Perubahan ini hampir menyangkut seluruh
aspek kehidupan di Bali. Singkat kata perubahan ini menyangkut
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Zaman itu dapat
dikatakan sebagai zaman perubahan yang memberi corak dan
warna bagi kehidupan masyarakat Bali, dari situasi perselisihan
dan pertentangan kepada situasi persatuan dan kesatuan. Adanya
konflik ini diakibatkan oleh adanya perbedaan keyakinan dan
kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Bali yang mayoritas
terdiri dari orang-orang Bali Aga.

Pada saat itu penduduk di Bali menganut sembilan


paksa/keyakinan yang berbeda, yaitu : Siwa, Khala, Brahma,
Wisnu, Bayu, Iswara, Bhairawa, Ghanapatya, dan Sogotha (Budha)
yang didalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan di
masyarakat. Rakyat tidak menentang Raja, dan tidak ada
pemberontakan yang ingin menggulingkan raja, hal ini
disebabkan karena masing-masing paksa/keyakinan pada masa
itu menempuh jalannya sendiri-sendiri, sehingga raja sulit
mengendalikan rakyatnya karena banyaknya visi dan misi pada
tataran pemikiran rakyatnya. Akibat dari perbedaan dan
keanekaragaman keyakinan itu, keamanan dan ketertiban
menjadi terganggu. Peristiwa ini menjadi masalah sosial yang
berlarut-larut dan jika dibiarkan akan sangat mengganggu
stabilitas kerajaan, dan pulau Bali pada umumnya. Hal ini tidak
dapat diatasi oleh Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya
Dharmapatni. Untuk mengatasi kemelut tersebut, raja suami istri
ini mengundang Sang Catur Sanak dari Panca Tirta (empat dari
lima pandita/Mpu bersaudara putra Mpu Lampita) di Jawa timur
yang telah terkenal keahliannya dalam berbagai bidang
kehidupan. Mereka adalah para Mpu yang datang secara
bertahap, kemudian mendampingi pemerintahan raja dan ratu ini
di Bali. Para Mpu ini antara lain :

1. Mpu Semeru atau Mpu Mahameru, tiba di Bali thun 999 M,


beliau pemeluk agama Siwa dan beliau menjalani Sukla
Brahmacari (Tidak kawin seumur hidup).
2. Mpu Ghana tiba di Bali tahun 1000 M, beliau pemeluk paham
Ghanapatya dan beliau menjalani Sukla Brahmacari.
3. Mpu Rajakretha atau Mpu Kuturan tiba di Bali tahun 1001 M,
beliau pemeluk Agama Budha, aliran Mahayana. Beliau menjalani
Sewala Brahmacari (kawin hanya sekali dalam seumur hidup
dengan satu istri).
4. Mpu Genijaya tiba di Bali tahun 1006 M, beliau pemeluk paham
Brahmaisme dan menjadi ayah dari 7 Mpu yang kemudian dikenal
dengan nama Sang Sapta Rsi di Bali, beliau menjalani Swala
Brahmacari.

Sedangkan yang paling bungsu bernama Mpu Bharada tidak ikut


ke Bali. Beliau tetap tinggal di Lemah Tulis, Pajarakan, Jawa Timur
dan kemudian menjadi purohito kerajaan Daha pada masa
pemerintahan Raja Sri Airlangga.

Kedatangan empat Pandita/Mpu ini ke Bali membawa perubahan


dan angin segar bagi pulau ini. Sebab empat Rohaniawan ini
bukan saja ahli di bidang Agama, namun juga menguasai berbagai
hal dan keahlian yang berkaitan dengan politik dan
pemerintahan. Seorang yang menonjol dalam berbagai bidang
keahlian diantara keempat pandita itu adalah Mpu Kuturan. Pada
masa pemerintahan raja dan ratu ini, Mpu Kuturan selain
diangkat menjadi Purohito di Kerajaan Bali, Mpu Tuturan juga
memegang beberapa jabatan penting, antara lain :
1. Senapati Kerajaan yang bergelar Senapati Kuturan.
2. Ketua majelis Pakira-kira Ijro Makabehan yang beranggotakan
seluruh senapati, Pandita Dangacarya dan Dangupadhyaya
(Pandita Siwa dan Budha) dimana majelis ini bertugas sebagai
lembaga tinggi kerajaan yang berfungsi untuk memberikan
nasehat dan pertimbangan kepada Raja, serta melakukan
pembinaan di segala bidang, untuk menciptakan keamanan dan
ketertiban di masyarakat.

Pada saat itu, atas persetujuan Raja Udayana Warmadewa dan


Ratu Gunapriya Dharmapatni, Mpu Kuturan mengadakan
penelitian untuk mencari akar permasalahan yang sedang
melanda kerajaan. Dari sini Mpu Kuturan banyak mendapat
informasi, data, dan fakta yang sangat bermanfaat tuntuk
mengatasi kemelut yang terjadi di masyarakat. Mpu Kuturan
menyampaikan akar permasalahan yang terjadi di kerajaan
adalah masalah keyakinan yang berbeda satu sama lain dan saat
itu beliau menemukan kiat untuk mengatasi kemelut di
masyarakat dan memandang perlu untuk melakukan perubahan
di masyarakat.

Atas restu dari raja dan ratu, Mpu Kuturan melakukan Pesamuan
Agung (rapat akbar) dengan mengambil tempat di Bataanyar (kini
Gianyar). Saat itu ada 1370 desa di seluruh Bali yang ikut dalam
Pesamuan Agung ini. Pada saat pesamuan agung itu diundanglah
tokoh-tokoh dari masing-masing keyakinan yang dibedakan
menjadi 3 kelompok, yaitu:

1. Empu kuturan disamping selaku ketua majelis Pakira-kira Ijro


Makabehan dan pemimpin Pesamuhan Agung tersebut juga
sebagai wakil penganut Budha.
2. Tokoh-tokoh atau pimpinan orang-orang Bali Aga, dari masing-
masing paksa/keyakinan yang terdiri dari berbagai sampradaya,
dijadikan 1 kelompok yang jumlahnya paling banyak.
3. Tokoh-tokoh dan pimpinan Agama Siwa didatangkan dari Jawa,
dimana mereka merupakan kelompok tersendiri.

Peserta Pesamuhan Agung tersebut telah siap dan telah


membawa konsep dari masing-masing kelompok yang di ajukan
dan dibicarakan dalam Pesamuan Agung tersebut. Kepada hadirin
diberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat, pandangan,
dan gagasan masing-masing. Semua pendapat dan pandangan
ditampung oleh Mpu Kuturan selaku ketua Pesamuhan Agung.
Mpu Kuturan juga menyampaikan pendapat dan pandangannya,
bahwa perlu diadakan perubahan perubahan serta mengatur
kembali tatanan kehidupan masyarakat dengan suatu peraturan
dengan berdasarkan situasi dan kondisi serta aspirasi dari
masyarakat. Sidang menerima pandangan Mpu Kuturan dengan
suara bulat. Akhirnya dalam Pesamuan Agung ini, diambil
keputusan yang memuat beberapa jenis bidang yang menyangkut
5 pokok permasalahan yaitu;

1. Paham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan yang telah


mencakup paham dan aliran kepercayaan yang berkembangan di
Bali pada saat itu.
2. Dijadikan perubahan terhadap organisasi kemasyarakatan,
dengan wadah yang disebut Desa Pekraman, untuk itu didirikan
tiga pura yang disebut pura Khayangan Tiga, yaitu:

(a) pura bale agung atau pura desa sebagai tempat suci untuk
memuliakan Dewa Brahma, yang bertugas sebagai pencipta alam
semesta.

(b) pura puseh sebagai tempat suci untuk memuliakan Sri Wisnu
sebagai pemelihara alam semesta beserta isinya

(c) pura dalem atau pura hulu setra sebagai tempat suci untuk
memuliakan dewa Siva dan saktinya Dewi Durga selaku
pengembali unsur panca maha butha/ pralina.

Disamping itu, perlu didirikan tempat suci di sawah, yang


disungsung oleh krama subak, kemudian dalam sejarah
perkembangannya berubah nama jadi desa adat.

1. Pada setiap rumah tangga di wajibkan mendirikan sebuah


pelinggih berbentuk Rong Tiga (Rong Telu), sebagai tempat
memuliakan dan memuja roh suci para leluhur dan Sanghyang
Widhi Wasa. Sebutan lain dari rong tiga adalah kemulan yang
terdapat dalam setiap sanggah atau merajan.
2. Semua tanah pekarangan dan tanah yang terletak di desa
pakraman dan pura khayangan tiga adalah milik desa pakraman
yang juga berarti milik kayangan tiga, oleh sebab itu, tanah-tanah
ini tidak boleh dijual belikan.
3. Tentang nama agama yang dianut oleh masyarakat Bali disebut
agama Siva Budha.

Silsilah Mpu Kuturan

Ida Bhatara Lingsir Hyang Pasupati menurunkan Sang Hyang


Putranjaya, Sang Hyang Dewi Dhanu dan Sang Hyang Genijaya.
Sang Hyang Genijaya (melinggih di Pura Lempuyang Luhur)
menurunkan Panca Dewata, yaitu:

1. Mpu Gnijaya
2. Mpu Semeru
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan
5. Mpu Bradah

Sekedar tahu, Sanak Sapta Rsi diturunkan oleh Mpu


Gnijaya yang beristrikan Ida Bhatari Dewi Manik Geni
yaitu putri dari Ida Bhatara Putranjaya.

sumber: banyak sumber dan pinisepuh


Pemujaan horisontal dan vertikal

Horisontal Budha - Perdhana


Mpu Kuturan, meringkas sekte pemujaan menjadi
Trimurti: Brahma, Wisnu dan Ciwa yang akhirnya dalam
desa pekraman menciptakan 3 soroh pura:
1. Pura Desa : Sthana Ida Bhatara Brahma
2. Pura Puseh: Sthana Ida Bhatara Wisnu
3. Pura Dalem: Sthana Ida Bhatara Ciwa

Ida Bhatara Brahma


Menitis ke Hyang Genijaya yang bersthana di Pura
Lempuyang Luhur, Beliau dianggap yang menguasai hal-
hal spiritual beserta sub-subnya termasuk usadha
(balian).

Ida Bhatara Wisnu


Menitis ke Ida Bhatara Dewi Dhanu, Beliau Bersthana di
Pura Batur, Ulun Danu. Beliau dianggap yang menguasai
hal-hal kesuburan, kesejahteraan, kekayaan dan welas
asih.

Ida Bhatara Ciwa


Beliau menitis ke Hyang Putranjaya, menurut penuturan
Pinisepuh, Beliau belum bersthana di mana-mana tetapi
sementara ini Beliau melinggih di Gunung Agung dan
beliau juga dianggap yang berkuasa atas ha-hal2
kepemerintahan.

Sekte-sekte yang dimaksud:


1. Bairawa: Bhatara Durga yg di Tuhan kan
2. Ganaphati: Bhatara Ganesha di Tuhan kan
3. Ciwa: Bhatara Ciwa di Tuhan kan
4. Waisnawa: Bhatara Wisnu di Tuhan kan
5. Budha Mahayana: sekte yang dianut Mpu Kuturan

Sebenarnya ada banyak sekali sekte namun sekte ini


adalah sekte-sekte yang dianggap besar pada jaman
tersebut seperti sekte yang menyembah: Bhatara Bayu,
Bhatara Indra, Bhatara Kala, Sambu yang menyembah
arca. Sekte ini mengadakan paruman atau pesamuan atas
pimpinan Mpu Kuturan yang saat itu menjabat sebagai
Senopati Raja di Bali dan tempat pertemuan tersebut
kemudian dibangun Pura Samuan Tiga yang terletak di
desa Bedulu, Gianyar.

Vertikal Ciwa Purusha


Mpu Kuturan juga melahirkan konsep pemujaan ke atas
yang di wujudkan dengan Tri Purusha yaitu:
1. Ciwa
2. Sadaciwa
3. Paramaciwa

Ciwa
Disimbolkan dengan keberadaan gunung karena
merupakan Sthana Dewata tertinggi di alam Bali dan
gunung tersebut adalah gunung Agung yang disimbolkan
sebagai Ciwa di mana pura Kahyangan Jagat Besakih
didirikan sebagai pusat Leluhur Nusantara sekarang ini.

Sadaciwa
Adalah manifeatasi dari Ida Bhatara Sang Hyang Ismaya
atau dikenal dengan Sabda Palon atau dikenal juga sebagai
Semar atau Tualen di Bali. Beliau adalah pengemong atau
yang menjaga dan penasehat para Leluhur dari jaman ke
jaman. Dikhabarkan bahwa sebelum Kerajaan Majapahit
runtuh Sabda Palon berjanji untuk kembali lagi 500 tahun
kemudian untuk membangkitkan kembali ajaran Ciwa
Budha.

Paramaciwa
Beliau adalah Ida Betara Lingsir Hyang Pacupati sendiri
yang menurunkan umat manusia. Adalah tingkatan
tertinggi dari tatanan kehidupan manusia du dunia.

Perpaduan konsep horisontal (mendatar) dan vertikal


(atas bawah) kalau digabungkan adalah Tapak dara,
Purusha Pradhana, Rwabhineda yang disebut dengan
Ardhanareswari yaitu Bapak dan Ibu atau Ciwa (bapak)
dan Budha (ibu), Padamasana adalah Ciwa dan Rong Tiga
adalah Budha, menjadi satu disebut Hyang Tunggal dan
segala sebutan Beliau Hyang Widhi Wasa.

Karya Spiritual Mpu Kuturan


Sungguh kemampuan yang sangat luar biasa yang dimiliki
oleh Beliau Mpu Kuturan. Peninggalannya tentang konsep
pemujaan Ciwa Budha adalah karya spiritual yang
sungguh hebat karena menyatukan kerumitan silsilah
Dewata menjadi konsep sederhana yang sangat mudah
untuk dipahami dan lestari sampai sekarang.

Berikut adalah karya spiritual Mpu Kuturan:


1. Konsep Ciwa Budha adalah yang terbesar seperti dijelaskan
di atas karena menjadi acuan pemujaan seluruh umat Hindu
Dharma di Nusantara.
2. Konsep Desa Dalem Puseh sebagai lanjutan penerapan
konsep Ciwa Budha.
3. Konsep Catur Loka yaitu konsep mendirikan pura pemujaan
pada masing-masing maksud yang terdiri dari: a). Pura
Kawitan b). Pura Dhang Kahyangan c). Pura Sad Kahyangan
atau Perhyangan Jagat d). Kahyanan Jagat.
4. Bentuk pelinggih seperti meru dan lain-lainnya adalah hasil
dari penciptaan Beliau. Namun Padmasana disempurnakan
lagi bentuknya oleh Dhang Hyang Niratha salah satu dari
keturunan Beliau juga.

Pura-pura Karya Mpu Kuturan


1. Pura Besakih bersama dengan Rsi Markandhea
2. Pura Silayukti di Padangbai, Karangasem adalah tempat
Beliau bersemedhi dan Moksha.
3. Pura Batu Pageh, Desa Ungasan, Badung adalah pura yang
disebut sebagai pagar Niskala alam Bali diatur dari pura ini.
4. Pura Samuan Tiga, adalah pura bersejarah waktu
mempersatukan sekte-sekte di Bali.
5. Pura Sakenan, di Serangan
6. Pura Watu Klotok, di Klungkung
7. Pura Uluwatu, di Ungasan
8. Pura Menjangan, di Buleleng barat
9. Pura Ponjok Batu, di Buleleng timur
10. Pura Pejeng di Pejeng Gianyar

Demikianlah keputusan penting yang telah dibahas dalam


Pesamuan Agung tersebut. Selanjutnya hal ini menjadi warisan
tak ternilai bagi umat Hindu dan masyarakat Bali, dimana hal ini
berkaitan dengan tata tertib, tata kehidupan masyarakat, dan
agama. Sebab keputusan tersebut sangat cocok dengan aspirasi
dan kondisi masyrakat Bali saat itu, yang kemudian melahirkan
masyarakat sosioreligius, dan masih dapat dilihat sampai saat ini.
Tempat Pesamuan Agung yang terletak di desa Bedahulu, Gianyar
kemudian dikenal dengan sebutan Samuan Tiga yang bermakna
pertemuan segi tiga, ditempat ini saat ini telah berdiri sebuah
pura yang disebut pura Samuan Tiga atau pura Samuan Telu. Dari
nama itu telah memberikan kesan, bahwa disinilah paham
trimurti mulai diperkenalkan dan ditegakkan, serta paham Siwa
Budha yang disatukan atas dalil yang berbunyi : Ndatan len kira
Siwa rupa Budha, maka pati urip ikang trimandala, Sang Sangkan
Paraning Sarat ganal alit hita ala ayu kojaring aji, utpett, stithi,
linaning dadi kita kocanani paramartha Sogatha. (Prasasti
Samuan Tiga) yang kurang lebih terjemahannya sebagai berikut:
Tiada lain Siwa yang berupa Budha, berkuasa menghidupkan
sekalian makhluk penghuni tiga alam semesta, manciptakan besar
dan kecil, kasar dan halus, suka dan duka, Engkau yang
mengadakan ajaran agama (Dharma), yang berdasarkan nilai
nilai kelahiran, kehidupan, dan akhirnya kematian. Jadi Engkau
adalah penyebab tertinggi wahai Budha.

Sejak saat itu, kehidupan masyarakan di Bali menjadi lebih tertib,


aman, rukun, dan damai. Mereka saling hormat menghormati
sesuai dengan semboyan Bhineka tunggal ika tan hana dharma
mangrwa, yang artinya walaupun berbeda beda tetapi tetap
satu dalam pelaksanaan terhadap dharma atau kewajiban. Seperti
keputusan di Pesamuan Agung yang diadakan di Bataanyar,
dimana Mpu Kuturan yang menjadi pemrakarsanya. Peristiwa itu
terjadi kurang lebih tahun 1002 M.

Pada tahun 1007 M, Mpu Kuturan atas persetujuan dari


Raja/Ratu dan yang hadir pada saat Pesamuan Agung di Samuan
Tiga, Bataanyar. Memberikan wewenang kepada para Bhujangga
Waisnawa untuk memimpin pelaksanaan yajna baik besar
maupun kecil yang diadakan di seluruh wilayah kerajaan, dan
Mpu Kuturan berpesan kepada Bhujangga Waisnawa sebagai
berikut : Wahai Bhujangga Waisnawa sekalian, jangan lupa
dengan junjungan dan tugas kewajiban kalian, yang disebut Tri
Wisesa, sebagai pemeluhara kita, apabila kalian lalai dan lupa,
kalian pun akan dilupakan oleh Sang Hyang Tri Wisesa, yang
dapat membuat kita bingung karena Sang Hyang Tri Wisesa itulah
sebagai sumber kita sekalian, agar kamu sekalian mengerti.

Disamping hal tadi ada juga panjelasan Mpu Kuturan yang


mengatakan pada bilamana terjadi kekeruhan di dunia, harus
diadakan upacara yadna yang bernama tebasan. Upacara ini harus
dipuja dan dipimpin oleh Sang Bhujangga Waisnawa. Hanya Sang
Bhujangga Wausnawa yang berwenang memuja dan memimpin
upacara, pangklukatan (penyucian) tersebut, bilamana terjadi
kekeruhan di dunia dan alam semesta ini, termasuk yang
behubungan dengan pekarangan rumah, tegalan (ladang),
persawahan, dan lain lain. Jika bukan Sang Bhujangga Waisnawa
yang memimpin dan memuja upacara pangklukatan itu, maka
upacara tersebut tidak akan berhasil, sebab hal tersebut
merupakan tugas dari Sang Bhujangga Waisnawa. Apabila sudah
dilaksanakan seperti itu, barulah Pulau Bali akan menjadi aman
sentosa. Dikisahkan pula bahwa para Bhujangga Waisnawa yang
berleluhur Maharsi Markandeya, ketika tiba di Bali membawa
berbagai pustaka suci Weda, yang memuat ajaran suci seperti :
Sruti, Smerti, Candrakarana, Kirthabhasa, Dasanama, Upanisad,
Wedanta sutra, Itihasa (Ramayana dan Mahabrata), dan berbagai
Purana.

Desa pakraman hasil ciptaan Mpu Kuturan, melahirkan tatanan


kehidupan masyarakat, suatu wadah kesatuan dan persatuan
masyarakat Bali, yang berisi tuntunan tata krama yakni suatu
aturan hidup untuk menciptakan suasana kehidupan yang serasi,
selaras, dan seimbang di dalam kehidupan masyarakat. Selain
tatakrama juga terdapat nilai nilai kebersamaan yaitu
musyawarah untuk mufakat. Dalam desa pakraman juga diatur
tentang tata ruang karena dalam kehidupan masyarakat manusia
ini memerlukan kebutuhan hidup yang mencukupi, yang disebut
Panca Wa Sasaning Nithi Warga. Yang dimaksud Panca Wa itu
adalah kebutuhan pokok hidup, yang terdiri dari Wisma
(perumahan), Wastra (sandang), Wareg (pangan), Waras
(kesehatan), dan Waskita (pendidikan dan rekreasi). Di dalam hal
ini wawasan lingkungan ditentukan, sehingga tata ruang jelas
diketahui, dimana masing masing wilayah ditetapkan tentang
kegunaan dan manfaatnya, seperti misalnya : lokasi kahyangan,
perumahan, bangunan umum untuk kepentingan bersama,
lapangan, jalan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, model
atau corak desa di Bali, apabila mengikuti tataruang ini akan
tampak ada persamaannya.

Manusia di dalam kehidupannya membutuhkan suatu tempat


tinggal sekelompok manusia yang disebut hunian. Hunian ini
bukanlah merupakan sesuatu hanya dipergunakan melainkan
mempunyai fungsi sebagai perekat rasa atau batin untuk
memperkat hubungan sosial. Di dalam pembangunan, bukan saja
merupakan kegiatan yang bersifat fisik, namun melibatkan pula
hal hal yang bersifat non fisik, melalui ritual keagamaan. Jiwa
dan rasa penghuninya dikaitkan dengan setiap bangunan yang
didirikan. Tataruangan suatu hunian mengikuti dan berpedoman
kepada tataruang. Hunian bukan saja menampung manusia
semasa hidupnya, melainkan juga manmpung manusia yang telah
meninggal dunia, termasuk yang sudah tidak terwujud yaitu
arwah suci para leluhur, yang distanakan di tempat khusus yaitu
Sanggah atau Pemrajan. Oleh sebab itu, antara sekala (alam
nyata) dengan niskala (alam gaib) dapat dipadukan
kelestariannya dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga
masalah aktual dan spiritual dapat diwujudkan, disenyawakan,
dan diselaraskan seperti apa yang dikonsepkan dalam ajaran
Rwa Binedha. Persenyawaan ini harus diaktifkan malaui ritual.
Melalui ritual inilah, ruang memperoleh makna dan waktu serta
peristiwa sehingga pedoman yang mengatur kegiatan ini adalah
suatu lingkungan yang teratur dan utuh, sebab pedoman yang
terjadi berdasarkan atas kesepakatan yang diyakini bersama.
Kebutuhan lingkungan akan menjadi kuat apabila mulai dari
tataruang, bangunan, alat, pakaian, kelakuan sampai ritual
berdasarka suatu pedoman. Begitu pula pengendalian sumber
daya harus dijadikan upaya untuk menjaga keseimbangan
lingkungan, termasuk di dalamnya tentang ketahanan, ketertiban,
dan keamanan yang mantap, ampuh, dan terkendali.

Pada konsep tataruang yang bebudaya dan berwawasan


lingkungan positif, yang ditetapkan oleh Mpu Kuturan ke dalam
masyarakat Bali, dapat memberikan warna dan corak kehidupan
masyarakat di daerah ini. Seperti misalnya : Triangga,
Trimandala, Hulu teban, Astabhumi, Asta Kosala Kosali,
Bamakerthi, Jananpaka, dan lain sebagainya. Semua ini kemudian
menjadi landasan berpijak bagi masyarakat Hindu di Bali dan
pedoman di dalam setiap gerak kehidupan bermasyarakat yang
dapat memperkuat rasa kebersamaan diantara masing masing
kelompok dan perorangan. Semua konsep dan ajaran Mpu
Kuturan akhirnya dijadikan warisan tak ternilai bagi masyarakat
Hindu di Bali, walaupun tidak sedikit pemakai konsep dan ajaran
ini tidak mengetahui siapa arsitek konsep dan ajaran tersebut.

Karya lain dari Mpu Kuturan adalah berhasil memperluas dan


memperbesar Pura Besakih, serta menciptakan Pelinggih Meru
dan Gedong. Mpu Kuturan juga yang mengajarkan pembuatan
kahyangan secara spiritual, termasuk pembuatan jenis jenis
pedagingan. Selain itu, Mpu Kuturan juga yang telah menciptakan
konsep Tri Hita Karana, yang berarti tiga penyebab kebahagiaan,
yaitu : Parahyangan yang berarti hubungan manusia dengan
Tuhan, yang termanifestasi dalam bentuk Kahyangan Tiga,
Palemahan yaitu hubungan manusia dengan alam dan lingkungan
di sekitarnya tercermin dari wilayah tertorial dari desa
pakraman, dan Pawongan yaitu hubungan manusia dengan
sesama manusia yang tercermin dalam kramaning warga.

Guna menjaga ketentraman masyarakat Bali, Mpu Kuturan


mendirikan dan menyempurnakan Pura Kahyangan Jagat yang
berjumlah delapan buah, yaitu : Pura Besakih, Lempuyang,
Andakasa, Goa Lawah, Batukaru, Beratan, Batur, dan Uluwatu.
Selain itu Mpu Kuturanlah yang memprakarsai upacara ngenteg
linggih atau yang sering disebut ngelinggihang (menstanakan)
Dewa Pitara (roh suci leluhur) di sanggah atau pemrajan pada
rong tiga (kemulan). Pelinggih Rong Tiga juga berlaku untuk
tempat suci memuliakn Tuhan yang Maha Esa dalam fungsinya
sebagai Kahyangan Tiga keluarga dalam fungsi Beliau sebagai
penguasa dari penciptaan, pemelihaaran, dan pengembali ke
unsur Panca Maha Butha, yang tersimbolisasi dari Dewa Brahma,
Sri Wisnu, dan Dewa Siwa.
Konsep bangunan Meru yang diperakarsai oleh Mpu Kuturan
disebut perlambang dari gunung Mahameru, tempat kediaman
para dewa. Namun ada yang berpendapat bahwa Meru adalah
perkembangan candi dari Jawa. Candi Jawa sebenarnya
melambangkan alam kosmos yang dapat di bagi menjadi 3 bagian,
yaitu bhur loka, yang dilambangkan pada kaki candi, bwah loka
yang dilambangkan sebagai badan candi, dan swah loka
dilambangkan atap candi. Di dalam perkembangannya, di Bali
meru tidak hanya bertumpang 3, melainkan dari tumpang 1
sampai tumpang 11. Perlu diketahui kalau tumpang meru selalu
ganjil, kecuali tumpang 2. Jadi ada tumpang 1, 2, 3, 5, 7, 9 dan 11.
Kenyataan membuktikan di Bali menurut fungsinya meru dapat
dikategorikan menjadi 2 jenis, yaitu sebagai dewa prathista atau
pelinggih dewa dan meru selaku atma pratistha atau sebagai
pelinggih roh suci. Perbedaan dari kedua jenis Meru ini terletak
pada sikutnya (ukurannya) seperti ditentukan pada lontar asta
kosala kosali.

Menurut lontar Andhabhuwana, Meru merupakan perpaduan dari


Pradana tatwa dan Purusa tatwa, yang melahirkan Batur
Kalawasa petak atau cikal bakal leluhur yang suci. Disebutkan
pula bahwa Meru sebagai lambang Andhabhuwana atau alam
semesta, sedang tumpang atapnya simbol lapisan alam. Begitu
juga disebut bahwa Meru adalah simbol aksara suci Dasaktara
yang menunggal menjadi Om dengan windu windhu baik,
diawali dari windhu satu sampai sebelas.

Dengan demikian Meru beratap sebelas adalah lambang dari


sebelas aksara suci, simbol ekadasa dewata. Meru beratap
sembilan aksara suci simbol Nawa Dewata (Sanga Dewata). Meru
beratap tujuh lambang tujuh aksara suci, simbol Sapta Dewata,
Meru beratap lima merupakan lambang lima aksara suci, simbol
Panca Dewata. Meru beratap tiga lambang tiga aksara suci, simbol
dari Tri Purusa. Meru beratap dua lambang dua aksara suci,
simbol rwa bhineda atau purusa pradana. Sedangkan meru
beratap satu merupakan lambang dari panunggalan seluruh
aksara menjadi Om, simbol Sang Hyang Tunggal.

Mpu Kuturan, sebagaimana telah disinggung dalam beberapa


sumber berupa lontar dan babad, tatkala masih di Jawa, Mpu
Kuturan pernah bertahta sebagai raja yang berkedudukan di Gira
dan mempunyai seorang istri serta seorang putri bernama Dyah
Ratnamanggali. Namun Mpu Kuturan dan istrinya mengalami
pertentangan sehingga keluarga ini menjadi retak. Konflik ini
terjadi karena istrinya menerapkan ilmu hitam, yaitu
menjalankan teluh teranjana, dimana ritual ini merupakan salah
satu cara untuk memuja bhatari Durga demi mendapatkan
kesaktian. Istrinya merupakan pengikut tantra kiri atau bhairawi.
Sedangkan Mpu Kuturan menerapkan ajaran kebajikan. Oleh
karena hal inilah Mpu Kuturan lalu meninggalkan istri dan
anaknya untuk pergi ke Bali menerima undangan Raja Udayana
Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni untuk membantu
menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Raja suami istri ini.
Walaupun pada akhirnya istrinya dikalahkan oleh adiknya sendiri
yaitu Mpu Bharadah dengan siasat menikahkan Dyah
Ratnamanggali dengan putranya yaitu Mpu Bahula, dimana
akhirnya Rangda Girah (istri Mpu Kuturan) berhasil dikalahkan.
Cerita ini sangat terkenal di Bali, dan hal tersebut tergambar
dalam pementasan sendratari Calonarang, bahkan di pura pada
saat pujawali, ditampilkan dalam bentuk tarian barong dan
rangda sebagai perlambang kekuatan baik dan buruk, dharma
dan adharma (rwa bhineda).
Untuk menghormati jasa jasa Mpu Kuturan, maka dibuatlah
pelinggih khusus untuk Beliau berbentuk Manjangan Salwang,
karena kedatangan Mpu Kuturan ke Bali konon menunggangi
seekor menjangan. Namun dibalik ungkapan tersebut, Menjangan
Salwang dapat diartikan sebagai balai yang panjang dan luas,
dimana Manjangan berarti panjang, salu berarti balai dan
wang berarti luas. Sehingga kata Manjangan Salwang diartikan
sebagai lambang dari balai yang panjang dan luas, dimana tempat
itu digunakan sebagai tempat pertemuan para dewa. Selain itu
Mpu Kuturan juga mendirikan tempat suci di Padang Bai,
Karangasem yang bernama Pura Cilayukti, dimana sila berarti
tingkah laku dan yukti berarti benar. Berarti jika diartikan yaitu
tingkah laku yang benar, karena di pura inilah Mpu Kuturan mulai
memimpin dan mengajarkan tingkah laku yang benar kepada
masyarakat Bali. Demikianlah karya dari Mpu Kuturan di Bali,
dimana hal ini masih dapat dilihat hingga sekarang sebagai salah
satu warisan penting bagi masyarakat Hindu di Bali. Hal ini
menjadi ciri khas dari kebudayaan Bali yang sosio religius.

Anda mungkin juga menyukai