Anda di halaman 1dari 9

Mengenang 1000 Tahun Kedatangan Empu Kuturan,

Refleksi Untuk Masyarakat Adat Bali

Bulan lalu tepatnya tanggal 17 April 2011 adalah piodalan di Pura Samuan Tiga, Desa Bedulu,
Kecamatan Blahbatuh Gianyar, Bali. Pura Samuan Tiga adalah sebuah bangunan pemujaan bagi
pemeluk agama Hindu di Bali. Bangunan tersebut terletak di Desa Bedulu, Gianyar, yang telah
berdiri sejak masa-masa prasejarah. Hakekatnya, pura ini berfungsi sebagai salah satu media
pemujaan kepada kekuatan alam dan nenek moyang.

Dalam Lontar (kitab Suci Weda) Tatwa Siwa Purana dalam lembar 11 menyebutkan, “Dan lagi
semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka (Candrabhayasingha Warmadewa)
membangun pura, antara lain Penataran Sasih dan Samuan Tiga.”

Pada saat-saat tertentu diadakan upacara-upacara ritual di Pura Samuan Tiga. Di antara rangkaian
ritual tersebut, umumnya dipertunjukkan beberapa tarian, di antaranya; Nampyog Nganten, Siat
Sampian, Sanghyang Jaran Menginjak Bara, Mapelengkungan, Siat Pajeng, Pendet dan Bale
Pegat untuk menghilangkan berbagai ketidaksucian atau leteh. Pada saat piodalan (semacam
upacara syukuran), selalu diadakan suatu ritual agama yang sangat menarik dan unik yang disebut
ritual “Mesiat Sampian“. Keunikan ritual ini bisa dilihat pada piodalan Pura Samuan Tiga pada
waktu Purnama Jyesta (Kesebelas).

Menurut catatan sejarah, Pura Samuan Tiga dibangun pada Abad X dalam rangka penerapan
konsepsi keagamaan pada masa silam. Saat itu, setiap kerajaan harus memiliki tiga pura utama.
Untuk maksud tersebut, dibangunlah Pura Gunung, dalam hal ini Pura Tirta Empul di Manukaya
Tampaksiring, Pura Penataran yang berada di pusat kerajaan yang tidak lain adalah Pura Samuan
Tiga, dan yang ketiga Pura Segara.

Samuan Tiga, Pertemuan Tiga Sekte/Aliran Besar


Pura Samuan Tiga di Bedulu Gianyar terkenal tatkala Mpu Kuturan (Senapati Kuturan) berhasil
mempersatukan berbagai aliran kepercayaan/paham, seperti paham Siwa, Budha, dan Bhairawa
dipersatukan menjadi paham Tri Murti(Brahma, Wisnu, Siwa).

Siapa Mpu Kuturan?

Sebagian besar prasasti tersebut erat kaitannya dengan keberadaan Mpu Kuturan di Pulau Bali.
Mpu Kuturan adalah salah seorang penasihat raja Airlangga di kerajaan Kahuripan (Medang
Kemulan) baik dalam bidang agama maupun pemerintahan. Tidak ada cukup bukti tentang agama
yang dianut oleh Mpu Kuturan. Ada beberapa petunjuk yang mengarahkan bahwa beliau adalah
seorang pendeta agama Budha. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa beliau adalah seorang
pendeta Hindu yang pada saat pemerintahan raja Airlangga, bersinergi secara berdampingan
dengan agama Hindu. Tampaknya Mpu Kuturan mengayomi kedua agama tersebut dan
mengembangkan toleransi yang sangat kuat terhadap penganutnya baik selama beliau di di Jawa
maupun di Bali. (http://dwimistyriver.wordpress.com/2010/09/02/dharmayatra-mpu-kuturan/).
Kenapa Sekta Di Bali Dipersatukan ?

Di Bali sendiri pada saat itu terjadi pertentangan yang sangat kuat antar sekte agama, bahkan
diyakini cerita Maya Denawa merupakan sebuah ilustrasi pertentangan antara sekte Waisnawa
yang memuja Wisnu yang dianggap sebagai dewa air (Danu –> Denawa) dengan penganut sekte
Indra. Sekte pemujaan terhadap dewa Indra sangat luas berkembang di India. Sekte yang seperti
ini sekarang masih dianut oleh masyarakat Desa Tenganan. Salah satu desa kuno di Bali Timur
(Kabupaten Karangasem). Kemungkinan raja Airlangga mengutus penasihat utamanya Mpu
Kuturan untuk mengatur tatanan agama maupun pemerintahan di Bali.

Mpu Kuturan sendiri dianggap sangat berjasa dalam meredam konflik antar sekte dan antar
wangsa/klan yang pada masa itu terus terjadi di Bali. Dalam suatu pertemuan dengan komponen
masyarakat Bali pada suatu tempat yang sekarang dikenal sebagai desa Samuan Tiga, beliau
mengusulkan pendirian Kahyangan Tiga sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat tanpa
memandang sekte maupun wangsa/klan mereka. Ikatan yang lebih ditekankan pada kesatuan
geografis tersebut (kesatuan desa adat) yang ada di masing-masing desa di Bali.

Dalam wilayah yang lebih luas yaitu kesatuan seluruh pulau Bali, konsep Kahyangan Tiga ini
juga diterapkan di Pura Besakih sebagai pura paling utama (Mother Temple) di Bali. Di Pura
Besakih pada saat ini dijumpai juga 3 pura yang dianggap sebagai induk dari Kahyangan Tiga di
seluruh Bali yaitu Pura Penataran Agung (sebagai pura Bale Agung), Pura Basukihan (sebagai
pura Puseh) dan Pura Dalem Puri (sebagai pura Dalem Kahyangan Jagat Bali). Jadi Mpu Kuturan
ingin menjadikan Pura Besakih sebagai Pura Utama sebagai pemersatu untuk semua sekte,
wangsa/keluarga dan juga desa/asal. Di samping Pura Besakih sebagai Pura Utama Kahyangan
Jagat, beliau juga diduga sebagai pendiri (atau paling tidak mengembangkan) dari Pura
Kahyangan Jagat lainnya yang disesuaikan dengan konsep Dewata Nawa Sanga seperti Pura
Batur, Pura Batukaru, Pura Uluwatu dan lain-lain.

Dari beberapa sumber sejarah dapat disimpulkan betapa eratnya hubungan pulau Bali dan Jawa
terutama Jawa Timur. Ikatan tali kasih antara Bali dan Jawa Timur bertambah erat dengan
dilangsungkannya pernikahan agung antara Sri Udayana Warmadewa dari Bali dengan Sri
Mahendradatta adik perempun raja daha Sri Dhamawangsa Ananta Teguh putri raja Sri
Makutawangsawardana, cicit dari Sri Maharaja Paradewasikan Kamaswara Dharmawangsa,
dimana setelah upacara dwijati atau diksa (inisiasi) bernama Empu Sendok. Upacara agung itu
dilaksanakan pada tahun 988 M, dimana kemudian keduanya dinobatkan menjadi raja suami istri
di Bali dengan gelar Sri Gunapriya Dharmapatni/Dharmodayana Warmadewa.

Pada masa pemerintahan suami istri inilah terjadi perubahan besar-besaran di Bali. Perubahan ini
hampir menyangkut seluruh aspek kehidupan di Bali. Singkat kata perubahan ini menyangkut
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Zaman itu dapat dikatakan sebagai zaman perubahan
yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat Bali, dari situasi perselisihan dan
pertentangan kepada situasi persatuan dan kesatuan. Adanya konflik ini diakibatkan oleh adanya
perbedaan keyakinan dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Bali yang mayoritas terdiri
dari orang-orang Bali Aga.
Pada saat itu penduduk di Bali menganut sembilan paksa/keyakinan yang berbeda, yaitu : Siwa,
Khala, Brahma, Wisnu, Bayu, Iswara, Bhairawa, Ghanapatya, dan Sogotha (Budha) yang didalam
pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan di masyarakat. Rakyat tidak menentang Raja, dan
tidak ada pemberontakan yang ingin menggulingkan raja, hal ini disebabkan karena masing-
masing paksa/keyakinan pada masa itu menempuh jalannya sendiri-sendiri, sehingga raja sulit
mengendalikan rakyatnya karena banyaknya visi dan misi pada tataran pemikiran rakyatnya.
Akibat dari perbedaan dan keanekaragaman keyakinan itu, keamanan dan ketertiban menjadi
terganggu. Peristiwa ini menjadi masalah sosial yang berlarut-larut dan jika dibiarkan akan sangat
mengganggu stabilitas kerajaan, dan pulau Bali pada umumnya. Hal ini tidak dapat diatasi oleh
Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni. Untuk mengatasi kemelut tersebut,
raja suami istri ini mengundang Sang Catur Sanak dari Panca Tirta (empat dari lima pandita/Mpu
bersaudara putra Mpu Lampita) di Jawa timur yang telah terkenal keahliannya dalam berbagai
bidang kehidupan. Mereka adalah para Mpu yang datang secara bertahap, kemudian
mendampingi pemerintahan raja dan ratu ini di Bali. Para Mpu ini antara lain :

Mpu Semeru atau Mpu Mahameru, tiba di Bali thun 999 M, beliau pemeluk agama Siwa dan
beliau menjalani Sukla Brahmacari (Tidak kawin seumur hidup).
Mpu Ghana tiba di Bali tahun 1000 M, beliau pemeluk paham Ghanapatya dan beliau menjalani
Sukla Brahmacari.
Mpu Rajakretha atau Mpu Kuturan tiba di Bali tahun 1001 M, beliau pemeluk Agama Budha,
aliran Mahayana. Beliau menjalani Sewala Brahmacari (kawin hanya sekali dalam seumur hidup
dengan satu istri).
Mpu Genijaya tiba di Bali tahun 1006 M, beliau pemeluk paham Brahmaisme dan menjadi
ayah dari 7 Mpu yang kemudian dikenal dengan nama Sang Sapta Rsi di Bali, beliau menjalani
Swala Brahmacari.

Sedangkan yang paling bungsu bernama Mpu Bharada tidak ikut ke Bali. Beliau tetap tinggal di
Lemah Tulis, Pajarakan, Jawa Timur dan kemudian menjadi purohito kerajaan Daha pada masa
pemerintahan Raja Sri Airlangga.

Kedatangan empat Pandita/Mpu ini ke Bali membawa perubahan dan angin segar bagi pulau ini.
Sebab empat Rohaniawan ini bukan saja ahli di bidang Agama, namun juga menguasai berbagai
hal dan keahlian yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Seorang yang menonjol dalam
berbagai bidang keahlian diantara keempat pandita itu adalah Mpu Kuturan. Pada masa
pemerintahan raja dan ratu ini, Mpu Kuturan selain diangkat menjadi Purohito di Kerajaan Bali,
Mpu Tuturan juga memegang beberapa jabatan penting, antara lain :

Senapati Kerajaan yang bergelar Senapati Kuturan.


Ketua majelis Pakiran-kiran Ijro Makabehan yang beranggotakan seluruh senapati, Pandita
Dang Acarya dan Dangupadhyaya (Pandita Siwa dan Budha) dimana majelis ini bertugas sebagai
lembaga tinggi kerajaan yang berfungsi untuk memberikan nasehat dan pertimbangan kepada
Raja, serta melakukan pembinaan di segala bidang, untuk menciptakan keamanan dan ketertiban
di masyarakat.

Pada saat itu, atas persetujuan Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, Mpu
Kuturan mengadakan penelitian untuk mencari akar permasalahan yang sedang melanda kerajaan.
Dari sini Mpu Kuturan banyak mendapat informasi, data, dan fakta yang sangat bermanfaat tuntuk
mengatasi kemelut yang terjadi di masyarakat. Mpu Kuturan menyampaikan akar permasalahan
yang terjadi di kerajaan adalah masalah keyakinan yang berbeda satu sama lain dan saat itu beliau
menemukan kiat untuk mengatasi kemelut di masyarakat dan memandang perlu untuk melakukan
perubahan di masyarakat.

Atas restu dari raja dan ratu, Mpu Kuturan melakukan Pesamuan Agung (rapat akbar) dengan
mengambil tempat di Bataanyar (kini Gianyar). Saat itu ada 1370 desa di seluruh Bali yang ikut
dalam Pesamuan Agung ini. Pada saat pesamuan agung itu diundanglah tokoh-tokoh dari masing-
masing keyakinan yang dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu:

Empu kuturan disamping selaku ketua majelis Pakiran-kiran Ijro Makabehan dan pemimpin
Pesamuhan Agung tersebut juga sebagai wakil penganut Budha.
Tokoh-tokoh atau pimpinan orang-orang Bali Aga, dari masing-masing paksa/keyakinan yang
terdiri dari berbagai sampradaya, dijadikan 1 kelompok yang jumlahnya paling banyak.
Tokoh-tokoh dan pimpinan Agama Siwa didatangkan dari Jawa, dimana mereka merupakan
kelompok tersendiri.

Peserta Pesamuhan Agung tersebut telah siap dan telah membawa konsep dari masing-masing
kelompok yang di ajukan dan dibicarakan dalam Pesamuan Agung tersebut. Kepada hadirin
diberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat, pandangan, dan gagasan masing-masing.
Semua pendapat dan pandangan ditampung oleh Mpu Kuturan selaku ketua Pesamuhan Agung.
Mpu Kuturan juga menyampaikan pendapat dan pandangannya, bahwa perlu diadakan perubahan
– perubahan serta mengatur kembali tatanan kehidupan masyarakat dengan suatu peraturan
dengan berdasarkan situasi dan kondisi serta aspirasi dari masyarakat. Sidang menerima
pandangan Mpu Kuturan dengan suara bulat. Akhirnya dalam Pesamuan Agung ini, diambil
keputusan yang memuat beberapa jenis bidang yang menyangkut 5 pokok permasalahan yaitu;

Paham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan yang telah mencakup paham dan aliran
kepercayaan yang berkembangan di Bali pada saat itu.
Dijadikan perubahan terhadap organisasi kemasyarakatan, dengan wadah yang disebut Desa
Pekraman, untuk itu didirikan tiga pura yang disebut pura Khayangan Tiga, yaitu:

(a) pura bale agung atau pura desa sebagai tempat suci untuk memuliakan Dewa Brahma, yang
bertugas sebagai pencipta alam semesta.

(b) pura puseh sebagai tempat suci untuk memuliakan Sri Wisnu sebagai pemelihara alam
semesta beserta isinya

(c) pura dalem atau pura hulu setra sebagai tempat suci untuk memuliakan dewa Siva dan
saktinya Dewi Durga selaku pengembali unsur panca maha butha/ pralina.

Disamping itu, perlu didirikan tempat suci di sawah, yang disungsung oleh krama subak,
kemudian dalam sejarah perkembangannya berubah nama jadi desa adat.

Pada setiap rumah tangga di wajibkan mendirikan sebuah pelinggih berbentuk Rong Tiga
(Rong Telu), sebagai tempat memuliakan dan memuja roh suci para leluhur dan Sanghyang Widhi
Wasa. Sebutan lain dari rong tiga adalah kemulan yang terdapat dalam setiap sanggah atau
merajan.
Semua tanah pekarangan dan tanah yang terletak di desa pakraman dan pura khayangan tiga
adalah milik desa pakraman yang juga berarti milik kayangan tiga, oleh sebab itu, tanah-tanah ini
tidak boleh dijual – belikan.
Tentang nama agama yang dianut oleh masyarakat Bali disebut agama Siva – Budha.

Demikianlah keputusan penting yang telah dibahas dalam Pesamuan Agung tersebut. Selanjutnya
hal ini menjadi warisan tak ternilai bagi umat Hindu dan masyarakat Bali, dimana hal ini berkaitan
dengan tata tertib, tata kehidupan masyarakat, dan agama. Sebab keputusan tersebut sangat cocok
dengan aspirasi dan kondisi masyrakat Bali saat itu, yang kemudian melahirkan masyarakat
sosioreligius, dan masih dapat dilihat sampai saat ini. Tempat Pesamuan Agung yang terletak di
desa Bedahulu, Gianyar kemudian dikenal dengan sebutan Samuan Tiga yang bermakna
pertemuan segi tiga, ditempat ini saat ini telah berdiri sebuah pura yang disebut pura Samuan Tiga
atau pura Samuan Telu. Dari nama itu telah memberikan kesan, bahwa disinilah paham trimurti
mulai diperkenalkan dan ditegakkan, serta paham Siwa – Budha yang disatukan atas dalil yang
berbunyi : “Ndatan len kira Siwa rupa Budha, maka pati urip ikang trimandala, Sang Sangkan
Paraning Sarat ganal alit hita ala ayu kojaring aji, utpett, stithi, linaning dadi kita kocanani
paramartha Sogatha”. (Prasasti Samuan Tiga) yang kurang lebih terjemahannya sebagai berikut:
“Tiada lain Siwa yang berupa Budha, berkuasa menghidupkan sekalian makhluk penghuni tiga
alam semesta, manciptakan besar dan kecil, kasar dan halus, suka dan duka, Engkau yang
mengadakan ajaran agama (Dharma), yang berdasarkan nilai – nilai kelahiran, kehidupan, dan
akhirnya kematian. Jadi Engkau adalah penyebab tertinggi wahai Budha”.

Sejak saat itu, kehidupan masyarakan di Bali menjadi lebih tertib, aman, rukun, dan damai.
Mereka saling hormat – menghormati sesuai dengan semboyan “Bhineka tunggal ika tan hana
dharma mangrwa”, yang artinya walaupun berbeda – beda tetapi tetap satu dalam pelaksanaan
terhadap dharma atau kewajiban. Seperti keputusan di Pesamuan Agung yang diadakan di
Bataanyar, dimana Mpu Kuturan yang menjadi pemrakarsanya. Peristiwa itu terjadi kurang lebih
tahun 1002 M.

Pada tahun 1007 M, Mpu Kuturan atas persetujuan dari Raja/Ratu dan yang hadir pada saat
Pesamuan Agung di Samuan Tiga, Bataanyar. Memberikan wewenang kepada para Bhujangga
Waisnawa untuk memimpin pelaksanaan yajna baik besar maupun kecil yang diadakan di seluruh
wilayah kerajaan, dan Mpu Kuturan berpesan kepada Bhujangga Waisnawa sebagai berikut :
“Wahai Bhujangga Waisnawa sekalian, jangan lupa dengan junjungan dan tugas kewajiban
kalian, yang disebut Tri Wisesa, sebagai pemeluhara kita, apabila kalian lalai dan lupa, kalian pun
akan dilupakan oleh Sang Hyang Tri Wisesa, yang dapat membuat kita bingung karena Sang
Hyang Tri Wisesa itulah sebagai sumber kita sekalian, agar kamu sekalian mengerti”.

Disamping hal tadi ada juga panjelasan Mpu Kuturan yang mengatakan pada bilamana terjadi
kekeruhan di dunia, harus diadakan upacara yadna yang bernama tebasan. Upacara ini harus
dipuja dan dipimpin oleh Sang Bhujangga Waisnawa. Hanya Sang Bhujangga Wausnawa yang
berwenang memuja dan memimpin upacara, pangklukatan (penyucian) tersebut, bilamana terjadi
kekeruhan di dunia dan alam semesta ini, termasuk yang behubungan dengan pekarangan rumah,
tegalan (ladang), persawahan, dan lain – lain. Jika bukan Sang Bhujangga Waisnawa yang
memimpin dan memuja upacara pangklukatan itu, maka upacara tersebut tidak akan berhasil,
sebab hal tersebut merupakan tugas dari Sang Bhujangga Waisnawa. Apabila sudah dilaksanakan
seperti itu, barulah Pulau Bali akan menjadi aman sentosa. Dikisahkan pula bahwa para
Bhujangga Waisnawa yang berleluhur Maharsi Markandeya, ketika tiba di Bali membawa
berbagai pustaka suci Weda, yang memuat ajaran suci seperti : Sruti, Smerti, Candrakarana,
Kirthabhasa, Dasanama, Upanisad, Wedanta sutra, Itihasa (Ramayana dan Mahabrata), dan
berbagai Purana.
Desa pakraman hasil ciptaan Mpu Kuturan, melahirkan tatanan kehidupan masyarakat, suatu
wadah kesatuan dan persatuan masyarakat Bali, yang berisi tuntunan tata krama yakni suatu
aturan hidup untuk menciptakan suasana kehidupan yang serasi, selaras, dan seimbang di dalam
kehidupan masyarakat. Selain tatakrama juga terdapat nilai – nilai kebersamaan yaitu
musyawarah untuk mufakat. Dalam desa pakraman juga diatur tentang tata ruang karena dalam
kehidupan masyarakat manusia ini memerlukan kebutuhan hidup yang mencukupi, yang disebut
“Panca Wa Sasaning Nithi Warga”. Yang dimaksud Panca Wa itu adalah kebutuhan pokok hidup,
yang terdiri dari Wisma (perumahan), Wastra (sandang), Wareg (pangan), Waras (kesehatan),
dan Waskita (pendidikan dan rekreasi). Di dalam hal ini wawasan lingkungan ditentukan,
sehingga tata ruang jelas diketahui, dimana masing – masing wilayah ditetapkan tentang
kegunaan dan manfaatnya, seperti misalnya : lokasi kahyangan, perumahan, bangunan umum
untuk kepentingan bersama, lapangan, jalan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, model atau
corak desa di Bali, apabila mengikuti tataruang ini akan tampak ada persamaannya.

Manusia di dalam kehidupannya membutuhkan suatu tempat tinggal sekelompok manusia yang
disebut hunian. Hunian ini bukanlah merupakan sesuatu hanya dipergunakan melainkan
mempunyai fungsi sebagai perekat rasa atau batin untuk memperkat hubungan sosial. Di dalam
pembangunan, bukan saja merupakan kegiatan yang bersifat fisik, namun melibatkan pula hal –
hal yang bersifat non fisik, melalui ritual keagamaan. Jiwa dan rasa penghuninya dikaitkan
dengan setiap bangunan yang didirikan. Tataruangan suatu hunian mengikuti dan berpedoman
kepada tataruang. Hunian bukan saja menampung manusia semasa hidupnya, melainkan juga
manmpung manusia yang telah meninggal dunia, termasuk yang sudah tidak terwujud yaitu arwah
suci para leluhur, yang distanakan di tempat khusus yaitu Sanggah atau Pemrajan. Oleh sebab itu,
antara sekala (alam nyata) dengan niskala (alam gaib) dapat dipadukan kelestariannya dalam
kehidupan bermasyarakat, sehingga masalah aktual dan spiritual dapat diwujudkan,
disenyawakan, dan diselaraskan seperti apa yang dikonsepkan dalam ajaran “Rwa Binedha”.
Persenyawaan ini harus diaktifkan malaui ritual. Melalui ritual inilah, ruang memperoleh makna
dan waktu serta peristiwa sehingga pedoman yang mengatur kegiatan ini adalah suatu lingkungan
yang teratur dan utuh, sebab pedoman yang terjadi berdasarkan atas kesepakatan yang diyakini
bersama. Kebutuhan lingkungan akan menjadi kuat apabila mulai dari tataruang, bangunan, alat,
pakaian, kelakuan sampai ritual berdasarka suatu pedoman. Begitu pula pengendalian sumber
daya harus dijadikan upaya untuk menjaga keseimbangan lingkungan, termasuk di dalamnya
tentang ketahanan, ketertiban, dan keamanan yang mantap, ampuh, dan terkendali.

Pada konsep tataruang yang bebudaya dan berwawasan lingkungan positif, yang ditetapkan oleh
Mpu Kuturan ke dalam masyarakat Bali, dapat memberikan warna dan corak kehidupan
masyarakat di daerah ini. Seperti misalnya : Triangga, Trimandala, Hulu teban, Astabhumi, Asta
Kosala – Kosali, Bamakerthi, Jananpaka, dan lain sebagainya. Semua ini kemudian menjadi
landasan berpijak bagi masyarakat Hindu di Bali dan pedoman di dalam setiap gerak kehidupan
bermasyarakat yang dapat memperkuat rasa kebersamaan diantara masing – masing kelompok
dan perorangan. Semua konsep dan ajaran Mpu Kuturan akhirnya dijadikan warisan tak ternilai
bagi masyarakat Hindu di Bali, walaupun tidak sedikit pemakai konsep dan ajaran ini tidak
mengetahui siapa arsitek konsep dan ajaran tersebut.

Karya lain dari Mpu Kuturan adalah berhasil memperluas dan memperbesar Pura Besakih, serta
menciptakan Pelinggih Meru dan Gedong. Mpu Kuturan juga yang mengajarkan pembuatan
kahyangan secara spiritual, termasuk pembuatan jenis – jenis pedagingan. Selain itu, Mpu
Kuturan juga yang telah menciptakan konsep Tri Hita Karana, yang berarti tiga penyebab
kebahagiaan, yaitu : Parahyangan yang berarti hubungan manusia dengan Tuhan, yang
termanifestasi dalam bentuk Kahyangan Tiga, Palemahan yaitu hubungan manusia dengan alam
dan lingkungan di sekitarnya tercermin dari wilayah tertorial dari desa pakraman, dan Pawongan
yaitu hubungan manusia dengan sesama manusia yang tercermin dalam kramaning warga.

Guna menjaga ketentraman masyarakat Bali, Mpu Kuturan mendirikan dan menyempurnakan
Pura Kahyangan Jagat yang berjumlah delapan buah, yaitu : Pura Besakih, Lempuyang,
Andakasa, Goa Lawah, Batukaru, Beratan, Batur, dan Uluwatu. Selain itu Mpu Kuturanlah yang
memprakarsai upacara ngenteg linggih atau yang sering disebut ngelinggihang (menstanakan)
Dewa Pitara (roh suci leluhur) di sanggah atau pemrajan pada rong tiga (kemulan). Pelinggih
Rong Tiga juga berlaku untuk tempat suci memuliakn Tuhan yang Maha Esa dalam fungsinya
sebagai Kahyangan Tiga keluarga dalam fungsi Beliau sebagai penguasa dari penciptaan,
pemelihaaran, dan pengembali ke unsur Panca Maha Butha, yang tersimbolisasi dari Dewa
Brahma, Sri Wisnu, dan Dewa Siwa.

Konsep bangunan Meru yang diperakarsai oleh Mpu Kuturan disebut perlambang dari gunung
Mahameru, tempat kediaman para dewa. Namun ada yang berpendapat bahwa Meru adalah
perkembangan candi dari Jawa. Candi Jawa sebenarnya melambangkan alam kosmos yang dapat
di bagi menjadi 3 bagian, yaitu bhur loka, yang dilambangkan pada kaki candi, bwah loka yang
dilambangkan sebagai badan candi, dan swah loka dilambangkan atap candi. Di dalam
perkembangannya, di Bali meru tidak hanya bertumpang 3, melainkan dari tumpang 1 sampai
tumpang 11. Perlu diketahui kalau tumpang meru selalu ganjil, kecuali tumpang 2. Jadi ada
tumpang 1, 2, 3, 5, 7, 9 dan 11. Kenyataan membuktikan di Bali menurut fungsinya meru dapat
dikategorikan menjadi 2 jenis, yaitu sebagai dewa prathista atau pelinggih dewa dan meru selaku
atma pratistha atau sebagai pelinggih roh suci. Perbedaan dari kedua jenis Meru ini terletak pada
sikutnya (ukurannya) seperti ditentukan pada lontar asta kosala – kosali.

Menurut lontar Andhabhuwana, Meru merupakan perpaduan dari Pradana tatwa dan Purusa
tatwa, yang melahirkan Batur Kalawasa petak atau cikal bakal leluhur yang suci. Disebutkan pula
bahwa Meru sebagai lambang Andhabhuwana atau alam semesta, sedang tumpang atapnya
simbol lapisan alam. Begitu juga disebut bahwa Meru adalah simbol aksara suci Dasa aksara yang
menunggal menjadi Om dengan windu – windhu baik, diawali dari windhu satu sampai sebelas.

Dengan demikian Meru beratap sebelas adalah lambang dari sebelas aksara suci, simbol ekadasa
dewata. Meru beratap sembilan aksara suci simbol Nawa Dewata (Sanga Dewata). Meru beratap
tujuh lambang tujuh aksara suci, simbol Sapta Dewata, Meru beratap lima merupakan lambang
lima aksara suci, simbol Panca Dewata. Meru beratap tiga lambang tiga aksara suci, simbol dari
Tri Purusa. Meru beratap dua lambang dua aksara suci, simbol rwa bhineda atau purusa pradana.
Sedangkan meru beratap satu merupakan lambang dari panunggalan seluruh aksara menjadi Om,
simbol Sang Hyang Tunggal.

Mpu Kuturan, sebagaimana telah disinggung dalam beberapa sumber berupa lontar dan babad,
tatkala masih di Jawa, Mpu Kuturan pernah bertahta sebagai raja yang berkedudukan di Girah
dan mempunyai seorang istri serta seorang putri bernama Dyah Ratnamanggali. Namun Mpu
Kuturan dan istrinya mengalami pertentangan sehingga keluarga ini menjadi retak. Konflik ini
terjadi karena istrinya menerapkan ilmu hitam, yaitu menjalankan teluh teranjana, dimana ritual
ini merupakan salah satu cara untuk memuja bhatari Durga demi mendapatkan kesaktian. Istrinya
merupakan pengikut tantra kiri atau bhairawi. Sedangkan Mpu Kuturan menerapkan ajaran
kebajikan. Oleh karena hal inilah Mpu Kuturan lalu meninggalkan istri dan anaknya untuk pergi
ke Bali menerima undangan Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni untuk
membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Raja suami istri ini. Walaupun pada
akhirnya istrinya dikalahkan oleh adiknya sendiri yaitu Mpu Bharadah dengan siasat menikahkan
Dyah Ratnamanggali dengan putranya yaitu Mpu Bahula, dimana akhirnya Rangda Girah (istri
Mpu Kuturan) berhasil dikalahkan. Cerita ini sangat terkenal di Bali, dan hal tersebut tergambar
dalam pementasan sendratari Calonarang, bahkan di pura pada saat pujawali, ditampilkan dalam
bentuk tarian barong dan rangda sebagai perlambang kekuatan baik dan buruk, dharma dan
adharma (rwa bhineda).

Untuk menghormati jasa – jasa Mpu Kuturan, maka dibuatlah pelinggih khusus untuk Beliau
berbentuk Manjangan Salwang, karena kedatangan Mpu Kuturan ke Bali konon menunggangi
seekor menjangan. Namun dibalik ungkapan tersebut, Menjangan Salwang dapat diartikan
sebagai balai yang panjang dan luas, dimana “Manjangan” berarti panjang, “salu” berarti balai
dan “wang” berarti luas. Sehingga kata Manjangan Salwang diartikan sebagai lambang dari balai
yang panjang dan luas, dimana tempat itu digunakan sebagai tempat pertemuan para dewa. Selain
itu Mpu Kuturan juga mendirikan tempat suci di Padang Bai, Karangasem yang bernama Pura
Cilayukti, dimana “sila” berarti tingkah laku dan “yukti” berarti benar. Berarti jika diartikan yaitu
tingkah laku yang benar, karena di pura inilah Mpu Kuturan mulai memimpin dan mengajarkan
tingkah laku yang benar kepada masyarakat Bali. Demikianlah karya dari Mpu Kuturan di Bali,
dimana hal ini masih dapat dilihat hingga sekarang sebagai salah satu warisan penting bagi
masyarakat Hindu di Bali. Hal ini menjadi ciri khas dari kebudayaan Bali yang sosio –
religius.(sumber: blognya Bli Ngarayana: http://ngarayana.web.ugm.ac.id

Bagaimana Sekarang?

Seiring dengan perkembangan zaman, tatanan sosial, budaya masyarakat Bali pun mengalami
pergeseran-pergeseran disegala bidang kehidupan.

Di Bali, eksistensi desa pekraman begitu nyata dalam mendorong terciptanya stabilitas
ekonomi,sosial dan budaya. Tatanan desa pekraman yang diwarisi sejak zaman Mpu Kuturan
memberikan energi positif dalam gerak langkah manusia Bali yang dulunya mayoritas adalah
sebagai petani. Dewasa ini, mobilitas manusia Bali berjalan dengan sangat cepat, terlebih dengan
adanya booming pariwisata sejak akhir era 80-an, menjadikan manusia Bali begitu dinamis dan
cepat terpengaruh arus modernisasi.

Kalau dulu orang Bali banyak yang tidak berpendidikan, sekarang banyak dari mereka yang sudah
bergelar sarjana, lebih banyak yang pindah tinggal di kota, karena alasan ekonomi maupun karena
belajar. Hal-hal ini sepertinya tidak bisa dikendalikan seiring dengan perkembangan zaman yang
sangat cepat dan global. Kecenderungan orang Bali untuk tinggal di kota dikarenakan banyak
faktor, diantaranya, segala fasilitas untuk memenuhi tuntutan hidup modern lebih banyak ada di
kota, bisa juga karena gengsi.

Harus diakui untuk urusan yang satu ini, prestise bagi orang Bali harus diakui menempati
rangking yang tinggi.Sehingga kompetisi antar orang Bali secara ekonomi pun berlangsung seru
menjalar kemana-mana, di kota maupun di desa. Sebagai suatu konsekwensi hidup hal itu adalah
sangat wajar asalkan berjalan secara sehat dan tidak merugikan pihak lain. Bagaimana dengan
kehidupan adat Bali? Seperti disampaikan oleh pengamat hukum adat Bali, Wayan P. Windia
(Bali Post, Edisi 26 Januari 2008), adat istiadat Bali yang begitu kuat membelenggu memang
perlu direvisi sesuai dengan perkembangan zaman.Kalau ditarik ke belakang, bagaimana Mpu
Kuturan merumuskan konsep Tri Kahyangan dengan Desa Pekraman sebagai tiang
penyangganya, adalah disesuaikan dengan kondisi masyarakat Bali pada saat itu yang hampir
seluruhnya adalah petani tulen. Kalau dihadapkan dengan kondisi sekarang seperti gambaran
diatas, apakah masih bisa awig-awig yang kaku dipertahankan?

Berbagai kasus adat yang setiap tahun selalu saja terjadi membuat kita prihatin, beginikah orang
Bali dalam me-desa adat? Tentu kasus yang terjadi tidak bisa kita generalisir, namun biasanya
seperti kata pepatah”nila setitik rusak susu sebelangga” menjadi suatu hal yang perlu
direnungkan. Karena bagaimanapun segala sesuatu yang terjadi di suatu titik tempat di Bali, orang
luar biasanya akan mengambil hipotesa bahwa itu terjadi di Bali,Bali dan Bali. Nama Bali yang
sudah dikenal oleh seantero dunia menjadikan Bali sudah menjadi “milik” dunia. Untuk
menjadikan Desa Pekraman sebagai benteng bagi Bali, sudah selayaknya paradigma
masyarakatnya diubah secara perlahan dengan merevisi awig-awig yang tidak sesuai dengan
dinamika zaman sekarang. Pemerintah dari semua tingkatan di Bali melalui instansi terkait
hendaknya benar-benar terjun ditengah-tengah masyarakat, melakukan monitoring secara
kontinyu. Desa Pekraman di Bali adalah warisan leluhur yang patut dijaga kelestariannya dengan
tetap memperhatikan kearifan lokal tanpa mengabaikan perkembangan zaman. Kesamaan visi
dan gerak langkah semua pihak sangat diperlukan untuk menjaga ke-ajegan adat Bali sebagai
warisan budaya satu-satunya di dunia ini.(sumber: blog pribadi
penulis:http://dwijasuastana.blogspot.com/2008/01/revitalisasi-adat-bali-secara-bijak.html)

Anda mungkin juga menyukai