Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pura Gunung Bhujangga Sepang berlokasi di


Desa Sepang Kecamatan Busungbiu Kabupaten
Boleleng Provinsi Bali. Berdasarkan data artefaktual
atau tinggalan purbakala, cikal bakal Pura Gunung
Bhujangga Sepang dibangun pada masa Raja Asmara
Kepakisan di Gelgel dan Kedatangan Rsi Madura di
Bali tahun Icaka 1302/1380 M), dan dilanjutkan pada
masa Kemerdekaan Indonesia setelah terbentuknya
Organisasi Maha Warga Bhujangga Waisnawa.

Bentuk bangunan Pura atau Palinggih dipakai


untuk pemujaan Maha Rsi Markandheya, yang
merupakan Leluhur Brahmana Bhujangga Waisnawa,
sekaligus sebagai pemujaan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, sebagai kekuatan alam
yang memberikan perlindungan dalam kehidupan
manusia.

Dalam perkembangannya Pura Gunung


Bhujangga Sepang, mengalami penataan sesuai
dengan perkembangan jaman, dan penataan dilakukan
setelah terbentuknya organisasi Maha Warga
Bhujangga Waisnawa (MWBW), dengan membangun
sejumlah bangunan palinggih, sesuai tata bangunan
pura atau palinggih tempat pemujaan leluhur
Bhujangga Waisnawa.

1
Ditata pula halamannya atau mandala pura, yang
disesuaikan dengan ketentuan pembangunan pura
pada umumnya, dimana tanpak perubahan struktur
pura kadangkala disertai dengan perubahan beberapa
aspek yang terkait dengan pura tersebut, seperti
perubahan nama, fungsi, status, tata-cara upacara
dan upakara, serta perubahan tata pengelolaannya.

Perkembangan selanjutnya sering muncul


permasalahan di dalam kelompok pangempon pura,
seperti bagaimana sejarah Pura, bagaimana fungsi dan
status pura, siapa yang distanakan atau dipuja pada
masing- masing palinggih pura, dan bagaimana
manajemen pengelolaan pura.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka


sejumlah tokoh Maha Warga Bhujangga Waisnawa,
pengempon dan penyiwi pura Gunung Bhujangga
Sepang dan Organisasi Kemoncolam MWBW sepakat
mecarikan upaya pemecahannya, yaitu menggali data
dengan cara mencari informasi dari berbagai pihak,
mencari nara sumber, mencari peneliti dan penulis
yang dapat menganalisis data, untuk bias menjadi
fakta yang dapat dipakai untuk menjawab semua
permasalahan tersebut secara Ilmiah atau Akademis.

Berdasarkan data, informasi dan fakta-fakta


tersebut, semua masalah yang muncul dapat
diselesaikan, dan dapat direkonstruksi atau dirangkai
dalam bentuk sebuah purana pura, yang diberi nama
Purana Pura Gunung Bhujangga Sepang sebagai titik
awal dan akhir Moksanya Maha Rsi Markandheya
sebagai Leluhur Brahmana Bhujangga Waisnawa, yang

2
kemudian dikuatkan dengan adanya peristiwa spiritual
dan religius dalam bentuk Pasupati, sehingga Purana
Pura memiliki nilai sakral atau kesucian, sesuai ajaran
Bhujangga Waisnawa dan Agama Hindu pada
umumnya.

B. Pengertian Purana

Batasan konsep atau pengertian tentang puràna


ada beberapa versi. Berdasarkan etimologi kata
puràna, merupakan salah satu kata dalam Bahasa
Sansekerta yang berarti mengatakan jaman kuna,
menceritrakan jaman kuna atau sejarah kuna, juga
legenda dan sejenisnya (Monier-Williams, 1899).

Selanjutnya Semadi Astra (1982/1983),


mengartikan kata puràna berarti antara lain barang-
barang kuna, ceritra mengenai jaman kuna, kitab yang
memuat ceritra-ceritra kuna. Terkait dengan
pengertian tersebut, puràna berisi tentang ceritra
kuna, yang berkaitan dengan dewa-dewa, raja-raja,
para rsi, sejarah kuna, peraturan-peraturan, hukum,
dan bangunan suci dan juga kumpulan ceritra kuna.

Sehubungan dengan bangunan suci, salah satu


diantaranya yakni bangunan suci sebagai tempat
pemujaan Tuhan, oleh masyarakat khususnya di Bali
pada masa lalu, disebut dengan istilah parahyangan
dan kini lebih dikenal dengan istilah pura atau disebut
juga kahyangan untuk pura-pura yang berstatus
debagai pura umum seperti kahyangan jagat, dang
kahyangan, maupun sad kahyangan.

3
Purana pura adalah cerita kuna dan aturan-
aturan yang berkaitan dengan aspek-aspek budaya
yang menyangkut keberadaan suatu pura, yang
dipercayai dan diyakini kebenarannya.

Purana juga disebutkan suatu cerita kuno yang


terkumpul dari kalangan rakyat yang mengisahkan
kehidupan para dewa tentang penciptaan alam
semesta. Pada dasarnya Purana itu ada 18 buah yang
dirangkum menjadi 5 bagian yang disebut dengan
Panca Laksana, yang kelimanya itu memiliki corak
khusus seperti Sorga adalah mengisahkan tentang
penciptaan alam semesta, Pratisarga adalah
penciptaan kembali dunia ini, jika sebelumnya
mengalami pralaya. Wamca adalah mengisahkan asal-
usul para Dewa, Rsi atau pendeta tertinggi, ada
Manwamtarani adalah pembagian waktu satu hari
Brahman dalan 14 masha, dan ada Wamca Nucarita
adalah sejarah raja-raja yang memerintah di atas
dunia.
Perbedaan antara Purana, Prasasti, Babad,
Pabancangah, Prakempa, semuanya itu mempunyai
pengertian yang berbeda dan ciri yang berbeda pula,
hal mana dimaksudkan untuk menghindari salah
penapsiran, berikut definisinya.

1. Purana adalah ceritera yang mengisahkan jaman


kadewatan yang berstana pada parahyangan
tertentu, misalnya Purana Pura Dalem Kawitan
Bhujangga Waisnawa Srokadan Bangli, tahun 2022
masehi.
2. Prasasti adalah suatu maklumat raja atau
keputusan dari raja yang berkuasa tatkala prasasti

4
itu dikeluarkan, Misalnya Prasasti Raja Bhatara
Guru tahun 1324 Masehi.
3. Babad adalah ceritera suatu golongan termasuk
perkembangan keturunannya, misalnya Babad Rsi
Waisnawa.
4. Pabancangah adalah kumpulan dari berbagai
ceritera atau kajian yang isinya tentang
rangkuman-rangkuman dari ceritera itu, misalnya
pabancangah Bhujangga Waisnawa Selat Rat, 1992
Masehi.
5. Prakempa adalah mengisahkan tokoh pada suatu
wilayah yang tanpa menguraikan kedatangannya
dari tokoh bersangkutan, Misalnya Prakempa
Gajah Mada, 1350 Masehi.

Dari pengklasifikasian tersebut di atas, maka


Purana dianggap yang paling tua umurnya dan sangat
dibutuhkan sehingga pada setiap Pura terdapat
Purananya, dalam Purana akan tersirat dengan jelas
tentang manifestasi Tuhan yang berstana di Pura
bersangkutan.

Setiap Pura yang dibangun di jaman dahulu sudah


semestinya mempunyai Purana, namun data
menunjukkan tidak semua mengempon dan Penyiwi
Pura mengetahui tentang Purana Pura yang
disungsungnya, hal ini disebabkan karena terbatasnya
pengetahuan untuk menyusun Purana, juga bias terjadi
perubahan atau perpindahan penduduk ke desa atau
wilayah yang lain atau karena Desa atau Wilayah
mengalami bencana alam atau mengalami kondisi pos
meyer.

5
C. Arti Suatu Puràna Pura

Menyimak perkembangan masyarakat Hindu di


Bali dan Nusantara saat ini yang sedemikian
dinamisnya, untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak
diinginkan dalam mengikuti perkembangan jaman dan
perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, maka
keberadaan sebuah puràna pura, menjadi kebutuhan
yang sangat diperlukan, dengan beberapa alasan
sebagai barikut.
1. Purana pura merupakan dokumen pura yang
bernilai sejarah atau itihasa, yang berguna bagi
umat Hindu dimana pura itu berada.
2. Purana pura merupakan sebuah catatan penting
dan lengkap, untuk bisa dipakai sebagai pedoman
oleh umat Hindu dalam melakukan aktivitas
keagamaan pada suatu pura yang mempunyai nilai
sakral dan magis.
3. Purana pura merupakan suatu bukti tertulis yang
memiliki catatan kronologis dan sistematis, tentang
keberadaan pura yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya, serta
berguna bagi generasi muda Hindu baik kini
maupun yang akan datang.
4. Purana pura sebagai salah satu dokumen resmi
dari suatu pura, juga berguna sebagai data akurat
dalam melakukan penelitian dan pengamatan
terhadap suatu pura tertentu, oleh para intelektual
Hindu maupun para ilmuan lainnya, baik secara
regional, nasional, dan internasional.
5. Purana pura masih tergolong langka
keberadaannya di Bali dan Nusantara, sehingga

6
diperlukan upaya nyata untuk penulisan,
penataan, dan pendokumentasiannya.

Berdasarkan alasan tersebut diataslah, yang


dipakai sebagai dasar utama betapa pentingnya purana
pura, yang harus dimiliki atau dibuat oleh umat Hindu
di jaman kemajuan ilmu pengetahuan yang serba
canggih seperti sekarang ini, untuk menangkal sisi-sisi
negatif pengaruh globalisasi.

Betapapun sederhananya bentuk purana pura,


namun sangat berarti bagi keberadaan pura dan
masyarakat saat ini, dan di masa selanjutnya atau yang
akan datang.

D. Tujuan dan Manfaat

Berdasarkan pengertian dan arti penting purana


pura, maka tujuan dari penelusuran dan rekonstruksi
atau penyusunan Purana Pura Gunung Bhujangga
Sepang, yakni berusaha mengungkapkan eksistensi
pura, serta berusaha memberikan pemahaman kepada
masyarakat tentang keberadaan pura tersebut, dan
sedapat mungkin merevitalisasi warisan budaya
laluhur.

Manfaat dari terekontruksinya suatu purana


pura, diharapkan dapat meningkatkan pemaham
masyarakat tentang eksistensi suatu pura dan juga
mentaati pitêkêt-pitêkêt atau petuah-petuah dan
rambu-rambu yang termuat di dalam purana pura,
sehingga purana pura inilah yang diharapkan akan
dapat dipakai sebagai acuan dalam melakukan

7
pengelolaan pura, tata cara upakara dan upacara,
pengelolaan kehidupan masyarakat atau pengempon
pura secara berkesinambungan.

Disamping itu purana pura juga diharapkan


dapat dipakai sebagai daya pengikat terhadap hakekat
historis sebuah pura, rasa kebersamaan, dan
mempertebal keyakinan bagi umat pemilik dalam arti
pangempon, pangemong dan panyungsung serta
penyiwi suatu pura, sehingga pelestarian budaya
leluhur dapat terwujud, mulai dengan pemikiran yang
cerdas yang diaplikasikan dalam kehidupan komunitas
beragama, mulai dari umat, tokoh masyarakat dan
pihak-pihak yang terkait.

E. Struktur Isi Puràna Pura

Purana Pura Gunung Bhujangga Sepang,


merupakan karya sastra yang disusun dalam bentuk
prosa, dirangkum dari berbagai sumber sastra seperti :
prasasti, babad, pamancangah, purana, sumber sastra
lainnya serta tinggalan arkeologi yang terdapat di pura
bersangkutan dan sekitarnya.

Sesuai dengan substansinya maka naskah


Purana Pura Gunung Bhujangga Sepang, disusun
dengan menggunakan bahasa jawa kuna dengan
terjemahannya. Oleh karena itu naskah Purana Pura
Gunung Bhujangga Sepang menggunakan bahasa Jawa
Kuna Tengahan yang lazim disebut Bahasa Kawi Kapara
yakni Bahasa Kawi yang umum dipakai di Bali.

8
Secara keseluruhan struktur isi dari Purana Pura
Gunung Bhujangga Sepang, terdiri atas tiga bagian
yaitu :
1. Bagian Pembukaan. terkait dengan tatwa,
parahyangan yang bersifat abstrak atau niskala,
yang dikaji secara ontology sebuah ilmu, yang
berisikan pernyataan, permakluman, asal usul serta
permohonan maaf kepada Tuhan dan leluhur yang
dipuja atau distanakan di pura tersebut.
2. Bagian isi, terkait dengan susila, metoda, etika, yang
dikaji dengan pendekatan epistimologi sebuah ilmu,
yang berisikan latar belakang sejarah, status dan
fungsi pura, struktur pura atau tapak mandala,
fungsi masing-masing palinggih dan bangunan,
tatacara upacara dan upakara, pengelolaan pura
oleh pengempon, dan panyiwi.
3. Bagian penutup, terkait dengan tatanan acara,
palemahan yang dikaji secara aksiologi ilmu, yang
berisikan penegasan kembali rincian pengelola,
biaya upacara, perihal kepemangkuan, milik atau
druwe Pura, laba pura, dan pengaturan sumber
daya manusianya.

F. Lokasi Kegiatan

Kegiatan penelusuran dan rekonstruksi Purana


Pura Gunung Bhujangga Sepang, dengan lokasi
kegiatan sebagai berikut :
1. Pura Gunung Bhujangga Sepang berlokasi di Desa
Sepang Kecamatan Busungbiu Kabupaten Boleleng
Provinsi Bali.

9
2. Gerya-Gerya dan/ atau Pasraman Bhujangga
Waisnaswa yang tersebar di seluruh Bali dan
Boleleng Khususnya.
3. Perpustakaan di Pasraman maupun Pura-Pura dan
Perpustakaan Konpensional atau Resmi.
4. Sekretariat MWBW Pusat di Denpasar mapun di
Sekretariat MWBW Kabupaten Boleleng.

G. Stategi Kegiatan

Untuk mencapai hasil yang optimal dan agar


dapat memenuhi kebutuhan berbagai pihak, maka
dalam kegiatan penyusunan Purana Pura Gunung
Bhujangga Sepang, ditempuh langkah-langkah sebagai
berikut :
1. Langkah pertama yang dilakukan yakni penjajagan
ke obyek sasaran, dengan tujuan untuk
mengetahui potensi obyek dan partisipasi
masyarakat terutama pangempon dan penyiwi
pura.
2. Langkah berikutnya dilanjutkan dengan sosialisasi
terhadap rencana kegiatan di hadapan para elite
organisasi, tokoh masyarakat dan masyarakat
pangempon pura yang disaksikan oleh pihak-pihak
terkait, untuk mencari masukan-masukan dari
tokoh, dan peserta lainnya. Masukan-masukan
tersebut kemudian dihimpun dan dikaji
sedemikian rupa, agar dapat dipakai sebagai
sumber data dalam penyusunan atau rekonstruksi
purana pura.
3. Setelah sosialisasi rencana program, dilaksanakan
survey lapangan, dengan melakukan pengamatan
secara saksama dan sistematis terhadap obyek,

10
dalam hal ini struktur pura, mulai dari tapak
mandala, tata letak halaman, tata letak palinggih
dan bangunan-bangunan penunjang lainnya,
dengan menggunakan instrumen pedoman
observasi.
4. Selain itu untuk memperkuat data hasil survey
juga dilakukan pemutretan atau foto pada setiap
obyek survey dan pemetaan keberadaan pura.
5. Langkah berikutnya dilakukan wawancara dengan
tokoh dan masyarakat, terutama yang mengetahui
tentang seluk-beluk serta keberadaan pura. Tokoh
dan masyarakat yang disasar dalam wawancara ini
antara lain para pemangku pura, moncol MWBW
beserta jajarannya, pejabat-pejabat desa, sesepuh,
dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang
berkompeten. Jenis wawancara yang digunakan
yakni wawancara terfokus, dengan instrumen
pedoman wawancara.
6. Selain langkah-langkah tersebut di atas dalam
pengumpulan data lapangan, dan pengolahan data
dan informasi juga dilakukan Focus Group
Discussion (FGD).
7. Disamping pengumpulan data lapangan, juga
dilakukan studi pustaka dengan cara melakukan
kritik sumber, mengkaji sumber-sumber tertulis
seperti : prasasti, purana, babad, pamancangah,
dan sumber tertulis lainnya, yang sudah
diterbitkan maupun yang masih berupa alih
aksara, bahkan yang masih berupa lontar,
terutama yang terkait dengan pura tersebut, guna
mendapatkan gambaran dan konsep-konsep dasar
yang berkaitan dengan obyek yang akan digarap.

11
8. Setelah langkah-langkah tersebut di atas barulah
dilakukan pengkajian data secara deskriptif
kwalitatif dan interpretatif dengan cara mereduksi,
mengakomodasi, menginterpretasi data-data yang
berupa masukan-masukan melalui sosialisasi,
informasi yang diperoleh melalui wawancara,
survey lapangan, FGD, hasil studi pustaka,
seminar ilmiah, sehingga menghasilkan fakta-fakta
yang dapat dipakai sebagai bahan untuk
rekonstruksi atau penyusunan purana pura.
9. Selanjutnya penyajian hasil pengkajian data
dilakukan secara obyektif informal dan formal.
Informal dalam arti disajikan dengan pernyataan-
pernyataan berupa kata-kata dengan bahasa
ragam ilmiah populer, yang disesuaikan dengan
tata cara penulisan purana atau sejarah yang
disebut historiografi, sedangkan formal dalam arti
penyajian dengan menggunakan bagan dan foto-
foto sebagai pelengkap dan memperjelas
pernyataan-pernyataan informal.

H.Upakara dan Upacara

Agar menjadi sebuah Purana yang memiliki nilai


sacral dan suci, maka proses pembuatan purana wajib
memenuhi nilai- nilai kesucian dan kesakralan,
sehingga secara nyata dalam proses penyusunan,
pemeliharaan Purana Pura Gunung Bhujangga Sepang,
dilaksanakan upakara dan upacara sebagai berikut :
1. Langkah pertama, setelah selesai musyawarah
mufakat akan membuat purana, wajib dilakukan
upacara atur piuning di Pura Gunung Bhujangga
Sepang, oleh pengempon, dengan tujuan bahwa

12
Pura Gunung Bhujangga Sepang akan dibuatkan
purana.
2. Langkah berikutnya, setelah penulisan narasi
purana pura selesai sesuai tatanan penyusunan
purana dan siap ditulis dalam lembar lontar atau
tembaga, dilaksanakan upacara nyurat perdana
purana oleh penyurat purana yang diikuti dan
didampingi oleh pengempon, pengelingsir di Pura
Gunung Bhujangga Sepang.
3. Setelah selesai nyurat purana, pengempon dan
pengelingsir pura melaksanakan pemendakan
purana ke tempat penyusun purana, untuk dibawa
ke Purana Pura Gunung Bhujangga Sepang,
seterusnya dilaksanakan upacara pasupati.
4. Selesai upacara pasupati, purana sudah memiliki
nilai sacral dan kesucian dan wajib disimpan, dan
dihaturkan upacara setiap saat sesuai dresta
berlaku.
5. Jika kemudian pengempon bermaksud untuk
membuka kembali purana, dengan tujuan
membaca, mensosialisasikan isi dari purana yang
dimiliki, wajib dibuatkan upacara dan upakara
sesuai dresta yang ada.

13
BAB II

ITI PURANA PURA GUNUNG BHUJANGGA SEPANG


DI DESA SEPANG KABUPATEN BULELENG
PROVINSI BALI

(ALIH BAHASA)

Om Awigenemastu Namo Sidhem,, Iti Purana Pura


Gunung Bhujangga Sepang di Desa Sepang Kabupaten
Buleleng Provinsi Bali,,

Om, Om, Om,, Om Bhur, Bwah, Swah, Tat


Sawitur Ware Niyam, Bhargo Dewasyo Dimahi,
Dyoyonah Praco Dahyat,, uncarakena ping tiga (3),
kauntatin antuk “Om Santih, santih, antih,,

Ahung Hyang Parama Sunia, Parama Jnana


Putus, Parama Luhur, Muang Hyang Mami, Mulaning
Puja Weda, Pangastawa, Manra, Tantra, Yantra Savitri
Narayana Jati Utamania, Catur Guru Widhi Parama
Rahasia Ta Kita, Nyungsasng Ngadeg, Madu Muka,
pasah,Ongkara Merta Prabawania, Ikatunan minta sih
wara nugraha ngodar nirguna, saguna prakertining
Tatwa Widhi Luhur Kabeh, Jnar akweh Singsal nia,
cerita aken ta kita Hyang Maha Jati Sampurna, ulun
angaturken Jnana pangaksama ri jeng Maha Guru
Kabeh, wastu ulun tan keneng sodsod upadrawa,
kacakrabawa kaluhuran Maha Luwur Kabeh,,

Keberadaan Pura Gunung Bhujangga Sepang di


Desa Sepang Kabupaten Buleleng Provinsi Bali,
merupakan Tonggak Sejarah awal dan akhir dari

14
Perjalanan Suci Maha Rsi Markandheya di Bali pada
abad ke- 8,,

Tahun 500 Masehi rombongan pengungsi asal


India tiba di wilayah Sumatra Utara. yang kemudian
diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan kecil
seperti Kandhari, Pali, Malayu-Shriboja dan lainnya.
Tahun Icaka 682-686 Hyang Shri Jayanaga melakukan
penyerangan ke beberapa wilayah, dari Malayu Shriboja
ke selatan dan di bagian utara wilayah Sumatra,
termasuk kerajaan Kandhari dan kerajaan Pali,
kemudian berhasil dikuasainya. Ini menjadikan para
bangsawan dan Rsi dari kerajaan Pali dari keturunan
India menyingkir ke arah timur dengan perahu hingga
mendarat di Nusa Goh, Pulau Sapi, disini mereka
kemudian mendirikan kerajaan yang bermula dari
sebuah desa kecil, dengan nama kerajaannya sama
dengan sewaktu masih di Sumatra, yaitu kerajaan Pali,,

Sang Ratu Bumi Mataram yaitu Shri Maharaja


Sanjaya secara resmi menjadi raja Pulau Jawa, tidak
termasuk tanah Sunda. Walaupun sebelumnya Sanjaya
adalah pewaris kerajaan Sunda dari istri pertamanya
dan sekaligus pewaris kerajaan Galuh Tasikmalaya dari
ayahnya yang bernama Sanna, Sena, Brata Senawa,,

Setelah Sanjaya berhasil mengalahkan pamannya


yang bernama Purbasora, yang sebelumnya Purbasora
menguasai tahta Sanna dengan pemberontakan
berdarah. Tahun icaka 730 Raja Sanjaya berhasil
menaklukkan Shriwijaya, Ligor Thailand, Hujung
Medini Malaysia Barat,,

15
Raja Sanjaya pula yang berhasil menghindukan
kerajaan Bali di tahun Icaka 730. Sang Raja Sanjaya
dalam pemerintahannya gemar memelopori dan
membudayakan serta mengembangkan ajaran agama
Hindu dalam bentuk bangunan Linggayoni,,

Maha Rsi Markandhya yang merupakan Purohita


atau Pendeta Kerajaan Sanjaya, pada tahun icaka 730
tercatat pergi ke arah timur untuk mendirikan
pertapaan. Beliau bergerak dari pasraman Gunung
Wukir atau Demalung, tempat di mana prasasti Canggal
ditemukan, berlanjut ke lereng pegunungan Hyang di
Purbalingga, lalu ke lereng Gunung Raung di tepi
sungai Paralingga Banyuwangi, kemudian berakhir di
Gunung Agung atau Lingga Acala tempat Pura Besakih
di Bali,,

Kedatangan Maha Rsi Markandheya pada abad


ke-8 untuk melakukan penanaman Panca Dhatu yaitu
lima jenis logam yaitu emas, perak, perunggu, tembaga,
besi, dan soca merah adhi di Besuki atau Besakih,,

Ketika kedatangan Maha Rsi Markandheya, Bali


sedang dipimpin oleh raja-raja yang termasuk raja Bali
kuno yaitu Sri Kesari Warmmadewa (isaka 804-835), Sri
Ugrasena (isaka 837-858), Sri Haji Tabanendra
Warmadewa (877-889), Sri Jaya Singa Warmadewa
(isaka 892) dan Sri Janasadhu Warmadewa (isaka 897),,

Maha Rsi Markandheya adalah cucu buyut atau


kompyang dari seorang Rsi yang bernama Sang Hyang
Meru, kakek atau Kakyang beliau bernama Sang Niata,
ayah beliau Sang Markanda dan memiliki seorang ibu

16
yang sangat cantik bernama Dewi Manaswini, Saudara
tua dari kakyang beliau bernama Sang Ayati, yang
mempunyai putra bernama Sang Prana. Maha Rsi
Markandheya kawin dengan Dewi Dumara, dan
mempunyai seorang putra yang dikenal dengan nama
Hyang Rsi Dewa Sirah. Kemudian Hyang Rsi Dewa
Sirah kawin dengan Dewi Wipari, yang selanjutnya
memiliki keturunan,,

Maha Rsi Markandheya mengawali berjalanan


Beliau dari tempat pertapaan beliau di sebuah gunung
bernama Wukir Damalung di pegunungan Di Hyang
(Dieng), Jawa Tengah. Beliau adalah seorang Yogi Besar,
sehingga disebut Sang Yogiswara. Suatu saat karena
memang kehendak Hyang Widhi, beliau melakukan
perjalanan kearah timur dari pertapaan beliau, dan tiba
di Gunung Raung di pegunungan Ijen, Jawa Timur,
disana beliau membangun pasraman dan bangunan
suci, sebagai tempat memuja Ida Hyang Widhi. Rupanya
beliau diterima oleh masyarakat disana, sehingga Beliau
memiliki banyak pengikut,,

Maha Rsi Markandheya memutuskan untuk


melanjutkan perjalanan ke-arah Timur ke Pulau di
seberang lautan yaitu Bali, perjalanan saat itu menjadi
perjalanan sangat bersejarah karena diikuti oleh sekitar
800 orang Jawa Aga (Jawa Pegunungan) sebagai
pengikut setianya,,

Perjalanan Maha Rsi Markandheya dari Gunung


Raung Jawa Timur sampai di Pulau Bali ini, adalah
perjalanan yang panjang yang memakan waktu lama,
dan ternyata banyak pengikut beliau yang menderita

17
sakit dan bahkan mati akibat menemukan berbagai
rintangan ditengah hutan belantara Bali pada saat itu.
Beliau memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung,
dan berapa lama berada di Gunung Raung, akhirnya
kembali lagi ke Bali setelah mendapat petunjuk niskala
dalam tapa-brata, dengan membawa para pengikut
beliau sebanyak 400 orang,,

Kedatangan yang pertama ke Bali dimulai dari


membuat perlindungan di pintu masuk Bali barat
disepanjang pantai Bali barat yaitu di Pura Rambut
Siwi. Maha Rsi Markandheya melanjutkan perjalanan
kearah timur, sampailah beliau kesuatu tempat yang
struktur geografis tempatnya sangat mirip dengan
lokasi pertapaan beliau di Gunung Raung Jawa Timur
yang dikenal dengan Gumuk Kancil, tempat tersebut
bernama Gumbrih, dimana terdapat gundukan batu
yang selanjutnya bernama Teledu Nginyah di Desa
Gumbrih Jemberana,,

Teledu Nginyah adalah suatu tempat dengan


struktur tanah yang seperti bukit kecil, dimana
ditempat ini pada zaman dahulu banyak didiami oleh
hewan kalajengking atau teledu, sesampainya diitempat
ini, Maha Rsi Markhandia teringat dengan tempat
pertapaan beliau di Jawa, sehingga Beliau beristirahat
dan bertapa dipuncak bukit kecil ini, untuk memohon
petunjuk kemana beliau harus melanjutkan
perjalanannya di Bali,,

Selama tinggal di Teledu Nginyah, Maha Rsi


Markandheya membangun sebuah pesraman dimana
lokasi pesraman di bagi menjadi 2 tempat, tempat yang

18
pertama adalah di lokasi pura segara yang ada dipinggir
pantai yang dinamakan dengan pesraman agung
dengan fungsi sebagai tempat penyeleksian awal bagi
orang-orang yang mau menjadi murid Beliau. Di tempat
ini beliau mengajarkan tentang ilmu agama, ilmu
kanuragan serta ilmu-ilmu kesaktian lainnya. Jika
murid-murid bisa lulus menuntut ilmu dari pesraman
agung ini, maka kemudian para murid yang lulus ini
akan dikirim ke tempat pesraman berikutnya yaitu
bernama Pesraman Teledu Nginyah,,

Setelah sekian lama tinggal di Pesraman Teledu


Nginyah, Maha Rsi Markandheya mendapatkan
petunjuk bahwa jika ingin melihat Bali dengan lebih
jelas, maka naiklah ke puncak bukit yang ada di hulu
sungai Madewi,,

Dengan mengikuti petunjuk ini, maka Maha Rsi


Markandheya melanjutkan perjalanan untuk menyusuri
pinggiran sungai Madewi sampai ke hulu, sesampainya
dihulu sungai, kemudian Beliau melihat sebuah bukit,
dan bukit inilah yang dikenal dengan Gunung
Bhujangga, yang terletak diperbatasan antara wilayah
Kabupaten Negara dan Buleleng, tepatnya di daerah
Sepang Buleleng,,

Ketika Maha Rsi Markandheya berada di Gunung


Raung Jawa Timur Beliau didampingi oleh pengikutnya
yang sangat setia yaitu Ida I Gusti Pacung, disanalah
Beliau dapat melihat api besar di bagian timur, yang
dinyatakan api maha utama, ketika Beliau mendekat
menuju ke tempat tujuan ternyata tidak ada api, yang
ada hanya hutan belantara, dihutan ini beliau bersama

19
pengikutkan melakukan perabasan hutan untuk
membuat tempat tinggal, yang dinamakan Abas Akih
karena merabas hutan dengan banyak orang,,

Setelah beberapa lama tinggal di hutan Abas


Akih, beliau kembali ke Gunung Raung, dan kembali
lagi beliau dapat melihat api maha utama di bagian
timur dari pertapaannya di Gunung Raung, kemudian
beliau kembali lagi ke Bali dan selanjutnya melanjutkan
untuk merabas hutan, kemudian tempat ini disebut
Alas Ketila, ditempat tersebut beliau beryoga dan
memuja keagungan Ida Hayng Widhi, kemudian karena
yoganya berhasil disana beliau memuji angga lalu
tempat tersebut dinamakan Gunung Bhujangga,,

Di Gunung Bhujangga inilah Maha Rsi


Markandheya bersemedi, dari hasil semedi Beliau,
barulah Beliau bisa melihat untuk pertama kali atau
awal tentang gambaran pulau Bali secara keseluruhan
lewat alam niskala, dari tempat inilah Maha Rsi
Markandheya bisa melihat lokasi munculnya sinar
besar yang Beliau lihat dari Jawa, yang mengundang
keinginan beliau datang ke- Bali,,

Melalui Gunung Bhujangga Maha Rsi


Markandheya pertama kali beliau bisa melihat
gambaran pulau Bali seutuhnya melalui penglihatan
mata batin, maka tempat ini pulalah yang beliu pilih
untuk melihat Bali untuk terakhir kalinya dalam hidup
Beliau,,

Maha Rsi Markandheya moksa di atas batu


hitam, yang sampai saat sekarang ini masih ada di

20
Puncak Gunung Bhujangga. Di Gunung Bhujangga,
Maha Rsi Markandheya menyimpan pajenengan
dan/atau pustaka suci yaitu alat-alat upacara, seperti
Narabhajra, Siwakarana, dan sebagainya,,

Ketika kedatangan atau perjalanan kembali Maha


Rsi Markandheya yang kedua kalinya ke Bali, bukan
tidak mendapat halangan, tapi karena sudah
berpengalaman korban tidaklah sebanyak sebelumnya,
namun tetap banyak pengikut Beliau yang menderita
sakit dan meninggal, namun karena kuat tekadnya
untuk kembali berangkat dari Gunung Raung, beliau
lantas memohon keselamatan demi untuk keselamat
para pengikutnya, dengan cara menanam Panca Datu
dengan lima macam jenis logam di sekitar Tolangkir/
Besakih,,

Dari Gunung Bhujangga banyak tempat yang


beliau singgahi hingga beliau sampai di Gunung Agung.
Tempat-tempat tersebut, antara lain : Puncak Manik
Pulaki, Pura Penegil Dharma, Pura Ponjok Batu,
Gunung Agung, Pura Dalem Balingkang, Pura Ulun
Danu Songan, Pura Air Hawang, Pura Tuluk Biyu
Batur, Pura Jati, Pura Tampurhyang, Puru Ulun Danu
Batur, Pura Bukit Mentik, Pura Pucak penulisan, Pura
Puncak Bukit Indrakila, Pura Puncak Bukit Sinunggal,,

Setelah beberapa lama di Tolangkir, maka beliau


kembali ke barat dengan diikuti oleh sebagian besar
pengikutnya, untuk kembali membuka hutan dan
membangun pemukiman di Puakan Desa Taro
Kecamatan Tegallalang Gianyar, kemudian melanjutkan
memilih tempat di Pura Campuhan Ubud, Pura Dalem

21
Pingit, Pura Puncak Payogan, Pura Dalem Suargan,
Pura Murwa Bumi di Paynagn Gianyar, Pura Gunung
Lebah di Ubud Gianyar,,

Maha Rsi Markandheya bersama pengikutnya


membangun Pura Lempuyang dan Pura Andakasa di
Karangasem, Pura Sukawana di Bangli dan Pura Batu
Karu di Penebel Tabanan.

Gunung Bhujangga di Sepang merupakan tempat


awal Maha Rsi Markandheya memulai perjalanannya
untuk membuka pulau Bali pada abad ke-8, karena di
Gunung Bhujangga ini, beliau mengawali pembukaan
pulau Bali pada kedatangan pertama, dan ketika
kedatangan kedua kalinya, setelah Beliau
melaksanakan perjalanan sucinya secara keseluruhan
di Bali, maka di Gunung Bhujangga pulalah beliau
mengakhiri perjalanan sucinya dan akhirnya berpulang
ke alam sana atau Moksa,,

Pada masa Dalem Asmara Kepakisan di Gelgel,


Bali kedatangan Ida Resi Madura tahun Icaka
1302/1380 M, Beliau datang untuk mengatasi
kekacauan yang ada di Bali yang sebelumnya belum
berhasil ditangani oleh adiknya yang bernama Ida Rsi
Bhujangga Aji Manu, karena keadaan di Bali ketika itu
sangat kacau dan rusak, upacara-upacara di dalam
pura sering kali ditiadakan, pengurus-pengurus
desanya sering bertengkar satu sama lain, yang
menimbulkan perang antar desa,,

Kedatangan Ida Resi Madura serta membawa


lontar pustaka raja lontar Hindu Bali Daha dan

22
Brahmanda Purana. Setelah beliau tiba di Bali, dengan
segera beliau mengajarkan semua para Bhujangga
Waisnawa yang telah ada di Bali, baik Waisnawa dari
Bali Aga, dari keturunan Maha Rsi Markandheya
maupun Ida Rsi Mustika, tentang kebajikan Bhujangga
Waisnawa,,

Ida Resi Madura mengawali perjalanannya di Bali


di Pulaki Daerah buleleng, pada hari Rabu Keliwon
Wuku Dunggulan, Bulan Hinu Awidia, satuan 2,
puluhan 0, icaka 1302 (1380 M),,

Ida Rsi Madura yang ada di Pulaki Daerah


Buleleng, karena beliau sudah lama di sana, kemudian
beliau meninggalkan Pulaki untuk melaksanakan
perjalanan suci, Beliau pergi menuju Desa Beratan.
Beliau sepanjang perjalanannya banyak mendirikan
tempat suci salah satunya adalah sebuah parahyangan
Widhi yang disebut Pura Gunung Sari yang sekarang
dikenal Pura Rsi Markandheya di Desa Asah Danu,
pura tersebut merupakan tempat pemujaan untuk
leluhur Beliau yaitu Maha Rsi Markandheya, yang
diyakini telah lama mangkat dan/atau Moksa di
Gunung Bhujangga di Sepang,,

Pura Gunung Sari atau Pura Rsi Markandheya di


Desa Asah Danu, dibangun untuk tempat pemujaan
Maha Rsi Markandheya yang distanakan di Gunung
Bhujangga, karena lokasi Pura di Gunung Bhujangga
tempat moksanya Maha Rsi Markandheya sangat jauh
dan tinggi serta sulit dijangkaunya pada saat itu,,

23
Sebelum bernama Gunung Bhujangga, tempat ini
dinamakan Alas Katila atau juga bernama Hutan
Basturi, karena memang keberadaanya adalah hutan
belantara, dengan kedatangan Rsi Markandhya tahun
abad ke-8, Rsi Markandhya beryoga disana dan yoganya
berhasil, disana beliau Muji Angga, lalu tempat ini
dinamakan Gunung Bhujangga,,

Para Rsi BW memberikan petunjuk agar MWBW


sudah saatnya membenahi palinggih Maha Rsi
Markandheya yang ada di Gunung Bhujangga, agar
lebih baik dan layaknya sebagai bangunan Palinggih
Leluhur Bhujangga Waisnawa,,

Menyikapi petunjuk Pra Rsi BW, maka para


Pangelingsir Bhujangga Waisnawa di Buleleng dan Bali
umumnya berkoordinasi dengan Kemoncolam MWBW
Pusat dan MWBW Buleleng untuk melakukan
pembahasan terkait pembangunan pura Gunung
Bhujangga Sepang,,

Pengelolaan masing- masing parahyangan


Bhujangga Waisnawa di Bali, maka dilakukan
pembagian tugas untuk setiap Kabupaten/ Kota sebagai
pengempon pura kahyangan MWBW, seperti Padharman
Brahmana Bhujangga Waisnawa Besakih
pengemponnya oleh Kemoncolan MWBW Bali Timur
yaitu Gianyar, Bangli, Klungkung dan Karangasem.
Pura Luhur Kawitan BW Gunungsari Jatiluwih
pengemponnya oleh Kemoncolan MWBW Tabanan,
sedangkan Pura Luhur BW Batubolong oleh
Kemoncolan MWBW Badung. Pura Teledu Nginyah di
Gumbrih oleh Kemoncolan MWBW Negara dan Pura

24
Gunung Bhujangga Sepang oleh Kemoncolan MWBW
Buleleng,,

Pangelingsir Bhujangga Waisnawa yang ada di


Buleleng, memberikan dukungan moral maupun
material dengan malakukan penggalangan dana, baik
intern keluarga BW maupun pihak-pihak terkait seperti
dukungan Pemerintah untuk membangun Pura Gunung
Bhujangga Sepang,,

Pembangunan pura Gunung Bhujangga melalui


proses yang panjang dan bertahap, dengan melibatkan
seluruh Maha Warga Bhujangga Waisnawa dan pihak-
pihak lain yang terkait,,

Pembangunan pelinggih di Pura Gunung


Bhujangga di Sepang merupakah hasil kerjasama
semeton Bhujangga Waisnawa dari Banyuatis, dimana
pura dibangun untuk pertama kalinya tahun 1970, dan
selanjutnya dilakukan diperbaiki dan dilengkapi pada
tahun 2008,,

Ketika pembagunan Pura Gunung Bhujangga


Sepang, juga dilakukan pembangunan Pura Rsi
Markandya Asah Danu Desa Sepang Kecamatan
Busungbiu Kabupaten Buleleng, berawal dari Peran
serta semeton dari Jembrana atas koordasi dari Ida
Bhetara Rsi Suci sakeng Griya Batur Suci Desa
Gumbrih, Beliau membangun bersama kerama Dadia
Asah Badung, sampai akhirnya terwujudlah sebuah
bangunan suci di Asah Danu, yang diberi nama Pura
Rsi Markandya (Sedana, 2022),,

25
Pada tahun 1953 berdiri bangunan utama Pura
Rsi Markandya berupa Palinggih Gedong, Palinggih
Surya, Palinggih Pengrurah, dan Piyasan yang
bentuknya masih sederhana. Selanjutnya tahun 1999
dan tahun 2006 dilakukan perbaikan kembali untuk
Palinggih Gedong, Palinggih Piyasan yang telah rusak,,

Pada tahun 2014, karena usia bangunan fisik


pelinggih Pura Rsi Markandya sudah rusak, disamping
juga bentuk bangunannya sangat sederhana, maka ada
pemikiran krama pengempon untuk memperbaiki
kembali bangunan yang ada. Selanjutnya
dikumpulkanlah krama dadia pangempon untuk
mengadakan paruman dalam rangka memperbaiki
bangunan yang ada, setelah menemui kata sepakat,
dibentuklah Panitia Pembangunan Pura Rsi Markandya,
kemudian melakukan penggalian dana baik secara
ineter keluarga maupun ekstern pemerintah,
selanjutnya perbaikan palinggih dilaksanakan,,

Disamping pembanguan Pura Gunung Bhujangga


Sepang dan Pura Rsi Markandheya di Sepang juga
dilakukan pembanguan Pura Dalem Kawitan Bhujangga
Waisnawa Asah Badung yang dibangun mulai tanggal
17 Desember 1952, dan mengalami perbaikan secara
berkala yaitu tahun 2005, kemudian tahun 2008 dan
selanjutnya tahun 2021, yang dilaksanakan oleh
keluarga Bhujangga Waisnawa Asah Badung Sepang
Kelod,,

Cikal bakal Pura Dalem Kawitan Bhujangga


Waisnawa Asah Badung, sebelumnya sudah ada tempat
pengayatan beliau leluhur yang di sebut Sanggah

26
Suhun Kemulan Sakti, dan satu buah pelinggih yang
disungsung oleh keluarga dadia disebut Gedong,,

Adapun bangunan Sanggah Suhun kemulan sakti


itu terdiri dari Palinggih Kemulan Sakti sebagai Linggih
Ratu Hyang Gede Diluhur, Palinggih Rong Kalih sebagai
Linggih Sanghyang Rwa Bineda, dan Pelinggih Taksu
sebagai Linggih Sanghyang Taksu,,

Sesuai Awig-Awig Desa Adat Sepang (2013)


dituliskan, bahwa keberadaan Sanggah Suhun Kemulan
Sakti di Sepang Kelod banyaknya 33 buah/lokasi,
dimana ke 33 buah sanggah suhun ini merupakan cikal
bakal berdirinya Desa Adat Sepang, yang mewakili
semua klen / warga yang ada di Desa adat Sepang,,

Sesuai Awig-Awig Desa Adat Sepang (2013)


dituliskan, bahwa Lokasi keberadaan Pura Dalem
Kawitan Bhujangga Waisnawa tepat pada Sanggah
Suhun Kemulan Sakti semeton Bhujangga Waisnawa,
yang didirikan oleh leluhur Guru Mangku Putu Sedana
yang bernama Pan Duriaman,,

Tahun 1952 setelah Semeton Bhujangga


Waisnawa di Asah Badung mengetahui asal leluhurnya
atau kawitan, maka dibangunlah Pura Dalem Kawitan
Bhujanga Waisnawa di Asah Badung, dan Sanggah
Suhun Kemulan Sakti yang ada dihilangkan, diganti
menjadi Pura Dalem Kawitan Bhujangga Waisnawa di
Asah Badung,,

Lokasi Sanggah Suhun Kemulan Sakti yang


dibangun Pura Dalem Kawitan Bhujangga Waisnawa,
27
setelah melewati beberapa waktu, diputuskan kembali
untuk membangun Sanggah Suhun Kemulan Sakti oleh
keturunan Pan Duriaman yaitu Guru mangku Putu
Sedana, yang lokasinya di bagian hulu pekarangannya,
dengan dilakukan upacara ngelinggihang pada saat
Purnama Sasih Ketiga tahun 2000, selanjutnya
dilakukan upacara pemelaspas alit pada Purnama
Sasih ke Pitu Dina Anggara tgl 29 Desember tahun
2020 yang dipuput oleh Guru Mangku Putu Sedana,,

Pura Dalem Kawitan Bhujangga Waisnawa di


Asah Badung dibangun sebagai tempat distanakannya
Ida Bhatara Kawitan dengan Biseka Ida Rsi Waisnawa
putra dari Ida Rsi Madura, sehingga pura tersebut
sebagai tempat persembahyangan keluarga Bhujangga
Waisnawa di Asah Badung Desa Sepang Kelod . Kata
Dalem mengambil nama dari Pura Dalem Pauman
Padang Entas di Badung, karena Ida Betara Kawitan
mawiwit dari sana. Nama Kawitan adalah asal mula
atau wit, sedangkan nama Bhujangga Waisnawa adalah
nama trah atau kelompok pasemetonan dari Maha
Warga Bhujangga Waisnawa,,

Ciri ciri yang dapat ditemukan di Gunung


Bhujangga sebagai tempat moksanya Rsi Markandheya,
yaitu terdapat Batu Hitam yang berada di bagian
gundukan paling atas, yang kenyataannya terlihat kecil
tetapi tidak bisa digerakkan. Dibagian bawah pura di
sebelah timur laut kurang lebih 200 meter ada petirtan
Ida Betara, yang airnya tidak pernah kering walaupun
musim kemarau panjang, dan keadaan tanah dibagian
Utama Mandala kalau diinjak akan bersuara sepertinya
ada gua dibawahnya,,

28
Tatanan Bangunan Pelinggih di Pura Gunung
Bhujangga yaitu Padmasana sebagai lingih Ida
Sanghyang Widhi, Gedong untuk linggih Ida Bhatara
Lingsir atau Ida Rsi Markandya, Pengerurah sebagai
linggih Ida Ratu Ngurah, Piyasan sebagai tempat
Linggih Ida Sanghyang Aji Saraswati,,

Ciri-ciri yang ada di Pura Rsi Markandheya di


Sepang yang ditemukan adalah sebagai tempat tapak
tilas dari Maha Rsi Markandheya setelah datang dari
Gunung Bhujangga, di tempat ini Maha Rsi
Markandheya pernah tinggal dan sempat membuat
taman bunga sehingga tempat tersebut dinamakan
Gunung Sari Asah Danu, di pura Rsi Markandheya ini,
Maha rsi Markandheya menyimpan atau mendem
seperangkat alat kepanditaan yang disebut Ciwa
Upakarana, disisi sebelah timur lautnya ada petirtan,
dan disebelah barat daya ada batu besar yang
dinamakan batu lempeh sebagai tempat beliau beryoga,,

Tatanan Pelinggih Pura Gunung Sari di Asah


Danu atau pura Rsi markandheya yaitu Palinggih
Padma Tiga sebagai Linggih Sanghyang Tri Purusa,
Palinggih Meru Tumpang Tiga sebagai Lingih Ida Rsi
Markandya, Palinggih Pengelurah sebagai linggih Ida
Ratu Ngurah, Balai Piyasan sebagai Linggih Sanghyang
Aji Saraswati, Bale Pewedan sebagai Linggih Ida
Sulinggih rikala muput yadnya, Palinggih Apit Lawang
sebagai linggih Dora Kala, Maha Kala, dan Gelung Kori
sebagai Linggih Sanghyang Pretangga Dipa,,

29
Tatanan Pelinggih di Pura Dalem Kawitan
Bhujangga Waisnawa di Asah Badung yaitu di Utama
Madala terdapat Palinggih Padmasana sebagai linggih
Ida Sanghyang Widhi, Palinggih Ibhu sebagai Linggih
Ida Hyang Ibhu, Palinggih Meru Tumpang Pitu untuk
Linggih Ida Bhatara Kawitan, Palinggih Kemulan Rong
Tiga sebagai Linggih leluhur dewata dewati, Palinggih
Rong Kalih sebagai Linggih Sanghyang Rwa Bhineda,
Palinggih Taksu sebagai Linggih Sanghyang Taksu,
Palinggih Pengelurah sebagai Linggih Ida Ratu Ngurah,
Palinggih Pengaruman sebagai Linggih Ida Bhatara
Katuran Pujawali, Balai Piyasan sebagai Linggih
Sanghyang aji Saraswati, Gelung Kori sebagai Linggih
Sanghyang Pratangga Dipa. Pada Madya Mandala
terdapat Palinggih Tugu Apit Lawing sebagai Lingih
Wayan Teba lan Made Jelawung, Bale Gong untuk
Genah Nabuh, Bale Perantenan sebagai genah
ngerateng. Pada Lokasi Nista Mandala terdapat Candi
Bentar dengan Apit Lawang Nyoman Sakti
Pengadangan, dan Ketut Petung, Papan Nama Pura
Dalem Kawitan Bhujangga Waisnawa di Asah Badung,,

Keberadaan Pura Gunung Bhujangga di Sepang,


dan Pura Rsi Markandheya di Asah Danu Sepang serta
Pura Dalem Kawitan Bhujangga Waisnawa di Asah
Danu Badung di Sepang Kelod, menjadi satu kesatuan
yang berkaitan dengan perjalanan suci Maha Rsi
Markandheya, sampai akhirnya Moksa di Pura Gunung
Bhujangga,,

Setelah Bangunan pelinggih di Pura Gunung


Bhujangga selesai di perbaiki, dilanjutkan dengan
dilakukan upacara pada tahun 2008, yaitu dilakukan
30
upacara pecaruan, pendem pedagingan, dan ngenteg
linggih yang dipuput olih Ida Rsi Bhujuangga Waisnawa
Darma Santika dari Grya Batur Suci Gumbrih dan Ida
Rsi Bhujangga Waisnawa Anom Paguna dari Gerya
Tegal Cangkring,,

Setelah bangunan pelinggih di Pura Rsi


Markandheya di Asah Danu sudah selesai, maka tahun
2014 yaitu anggara kliwon kulantir, dilakukan upacara
atau karya yang meliputi Mecaru Manca Sanak Alit,
Ngurip, Makuh, Mendem Pedagingan dan Pemelaspas,
yang dipuput oleh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Darma
Santika dari Griya Gumbrih. Dilanjutkan tahun 2014
tepat Sukra Kliwon Tolu, dilakukan upacara
Ngelinggihang dan Piodalan, dipuput oleh Ida Rsi
Sakeng Grya Petamon Negara,,

Pujawali di Pura Gunung Bhujangga Sepang, dan


di Pura Rsi Markandheya di Asah Danu, serta di Pura
Dalem Kawitan Bhujangga Waisnawa di Asah Badung
Sepang Kelod, dilaksanakan setiap tahun sekali yaitu
setiap Purnama Sasih ke Lima,,

Prosesi pelaksanaan upacara pujawali diawali dari


nuur atau mendak Tirta Ida Bhatara Lingsir atau Ida
Maha Rsi Markandheya di Gunung Bhujagga dibawa
turun ke Pura Rsi Markandheya di Asah Danu, disini
Beliau diberikan upacara puja wali, dan setelah Proses
Upacara Pujawali di Pura Rsi Markandheya Asah Danu
selesai, maka Ida Bhatara keiring ke Pura Dalem
Kawitan Bhujangga Waisnawa di Asah Badung, disini
Ida Betara nyejer selama 3 hari, kemudian setelah
pujawali selesai, diakhiri dengan upacara penyineban
31
dan ngewaliang budal soang- soang manut linggih, yang
dilakukan di madya mandala Pura Dalem Kawitan
Bhujangga Waisnawa di Asah Badung,,

Tata pelaksanaan upakara dan upacara rutin di


Pura Gunung Bhujangga, Pura Rsi Markandheya Asah
Danu dan Pura Dalem Kawitan Bhujangga Waisnawa
Asah Badung, disesuaikan dengan dresta..

Pemangku yang ada di Pura Gunung Bhujangga


dan Pura Rsi Markandheya Asah Danu serta di Pura
Dalem Kawitan Bhujangga Waisnawa Asah Badung
yaitu pertama Guru Mangku Wayan Mitra dan Byang
Mangku Wayan Singlih serta Byang mangku Ketut Sirin,
sane ngewintenin Ida Rsi Suci sakeng Grya Batur Suci
Gumrih pada tanggal 17 – 12 - 1952. Pemangku ke dua
yaitu Guru Mangku Wayan Pandra dan Byang Mangku
Luh Sinta, Guru Mangku Putu Sedana dan Byang
mangku Nyoman Sunadi, sane ngewintenin Ida Rsi
Bhujangga Waisnawa Dharma Santika sakeng Graya
Batur Suci Desa Gumrih, pada tahun 2008. Pemangku
ke tiga yaitu Guru Mangku Made Sutawan dan Byang
Mangku Luh Kartini, yang diwinten oleh Ida Rsi
Bhujangga Waisnawa Dharma Santika sakeng Graya
Batur Suci Desa Gumrih, pada tahun 2021,,

Pengempon Pura Gunung Bhujangga di Sepang


adalah Maha Warga Bhujangga Waisnawa di Sepang
Kelod dan menjadi tanggung jawab Kemoncolan Maha
Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Buleleng, dan
sebagai penyiwi adalah seluruh masyarakat Desa
Sepang Kelod dan seluruh Maha Warga Bhujangga
Waisnawa di Bali dan Nusantara,,
32
Pengempon Pura Rsi Markandheya di Asah Danu
Sepang adalah Maha Warga Bhujangga Waisnawa di
Sepang Kelod dan menjadi tanggung jawab Kemoncolan
Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Buleleng,
dan sebagai penyiwi adalah seluruh masyarakat Desa
Sepang Kelod dan seluruh Maha Warga Bhujangga
Waisnawa di Bali dan Nusantara,,

Pengempon Pura Dalem Kawitan Bhujangga


Waisnawa Asah Badung, adalah 4 paibon atau merajan
yaitu Merajan Bujak di Banjar Bujak, Merajan Asah
Wani di Banjar Asah Badung, Merajan Penataran di
Banjar Penataran dan Merajan Asah Badung di Banjar
Asah Badung,,

Purana Pura Gunung Bhujangga di Desa Sepang


Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng Provinsi
Bali, ditulis dan diterbitkan serta Upacara Pasupati
oleh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Kertananda dari
Gerya Bubunan Buleleng, Ida Rsi Bhujangga Waisnawa
Darma Santika dari Griya Gumbrih, dan Ida Rsi
Bhujangga Surya Adnyana dari Gerya Pemaron
Buleleng, yang disaksikan oleh Perangkat Desa Sepang
Kelod, Perangkat Kecamatan Busungbiu, Perangkat
Kabupaten Buleleng, seluruh Maha Warga Bhujangga
Waisnawa, Kemoncolan Maha Warga Bhujangga
Waisnawa Kabupaten Buleleng, dan Kemoncolan Pusat
Maha Warga Bhujangga Waisnawa, pada rahina
Anggara Wuku Ukir Purnama Kelima, Isaka 1944/2022
M, hari Selasa Tanggal 8 Bulan Nopember Tahun 2022,,

33
Papaklesa karapuh denira Angganing Hyang
manadi Sadya Rahayu, Dukita Mala kaparisuda denira
Devaning Hyang manadi Jenar Dumilah makatar-
kataran, Punarbawa kahentas denira Sunyaning Hyang
manadi Jati, Satya, langgeng, Sakeluwirniem andegan
palihan Bhuana nemok hita karana santi, ika kapaweh
ri wong satinut ri bisama purana lelangit Pura Gunung
Bhujangga Sepang di Desa Sepang Kabupaten Buleleng
Provinsi Bali jeng paripurna nemu sadya rahayu,,

Ong asatoma sad gamayam, Aum tamasoma jyotir


gamayam, Aham mithyorma amritham gamayam, Loka
samastas sukino bawantu, Loka samasta sukino
bawantu, Loka samasta sukino bawantu,, Om Santih,
Santih, Santih, Om,,

34
BAB III
PURANA PURA GUNUNG BHUJANGGA DESA SEPANG
KECAMATAN BUSUNGBIU KABUPATEN BULELENG
PROVINSI BALI

(TERJEMAHAN)

Menurut Buwana Tattwa Maha Rsi Markandheya


(1987) dituliskan, bahwa Pura Gunung Bhujangga
Sepang di Desa Sepang Kabupaten Buleleng Provinsi
Bali, merupakan Tonggak Sejarah awal dan akhir dari
Perjalanan Suci Maha Rsi Markandheya di Bali pada
abad ke- 8 (Ginarsa, 1987).

Berdasarkan Sejarah datangnya Rsi Markandheya


(2018) dituliskan, bahwa sekitar tahun 500 Masehi
rombongan pengungsi asal India tiba di wilayah
Sumatra Utara. yang kemudian diikuti dengan
berdirinya kerajaan-kerajaan kecil seperti Kandhari,
Pali, Malayu-Shriboja dan lainnya. Tahun Icaka 682-
686 Hyang Shri Jayanaga melakukan penyerangan ke
beberapa wilayah, dari Malayu Shriboja ke selatan dan
di bagian utara wilayah Sumatra, termasuk kerajaan
Kandhari dan kerajaan Pali, kemudian berhasil
dikuasainya. Ini menjadikan para bangsawan dan Rsi
dari kerajaan Pali dari keturunan India menyingkir ke
arah timur dengan perahu hingga mendarat di Nusa
Goh, Pulau Sapi, disini mereka kemudian mendirikan
kerajaan yang bermula dari sebuah desa kecil, dengan
nama kerajaannya sama dengan sewaktu masih di
Sumatra, yaitu kerajaan Pali.

35
Sesuai Salinan Prasasti Canggal yang
diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah (2021)
menyatakan, bahwa Sang Ratu Bumi Mataram yaitu
Shri Maharaja Sanjaya secara resmi menjadi raja Pulau
Jawa, tidak termasuk tanah Sunda. Walaupun
sebelumnya Sanjaya adalah pewaris kerajaan Sunda
dari istri pertamanya dan sekaligus pewaris kerajaan
Galuh Tasikmalaya dari ayahnya yang bernama Sanna,
Sena, Brata Senawa.

Setelah Sanjaya berhasil mengalahkan pamannya


yang bernama Purbasora, yang sebelumnya Purbasora
menguasai tahta Sanna dengan pemberontakan
berdarah. Tahun icaka 730 Raja Sanjaya berhasil
menaklukkan Shriwijaya, Ligor Thailand, Hujung
Medini Malaysia Barat.

Raja Sanjaya pula yang berhasil menghindukan


kerajaan Bali di tahun Icaka 730. Sang Raja Sanjaya
dalam pemerintahannya gemar memelopori dan
membudayakan serta mengembangkan ajaran agama
Hindu dalam bentuk bangunan Linggayoni.

Sesuai Salinan Prasasti Canggal yang


diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah (2021)
menyatakan, bahwa Maha Rsi Markandhya yang
merupakan Purohita atau Pendeta Kerajaan Sanjaya,
pada tahun icaka 730 tercatat pergi ke arah timur
untuk mendirikan pertapaan. Beliau bergerak dari
pasraman Gunung Wukir atau Demalung, tempat di
mana prasasti Canggal ditemukan, berlanjut ke lereng
pegunungan Hyang di Purbalingga, lalu ke lereng
Gunung Raung di tepi sungai Paralingga Banyuwangi,

36
kemudian berakhir di Gunung Agung atau Lingga Acala
tempat Pura Besakih di Bali.

Berdasarkan Sejarah Padharman Brahmana


Bhujaggga Waisnawa Besakih (2021) dituliskan, bahwa
kedatangan Maha Rsi Markandheya pada abad ke-8
untuk melakukan penanaman Panca Dhatu yaitu lima
jenis logam yaitu emas, perak, perunggu, tembaga, besi,
dan soca merah adhi di Besuki atau Besakih.

Menurut sejarah raja-raja Bali kuno dituliskan,


bahwa pada abad ke-8 ketika kedatangan Maha Rsi
Markandheya, Bali sedang dipimpin oleh raja-raja yang
termasuk raja Bali kuno yaitu Sri Kesari Warmmadewa
(isaka 804-835), Sri Ugrasena (isaka 837-858), Sri Haji
Tabanendra Warmadewa (877-889), Sri Jaya Singa
Warmadewa (isaka 892) dan Sri Janasadhu Warmadewa
(isaka 897).

Menurut Buwana Tattwa Maha Rsi Markandheya


(1987) dituliskan, bahwa Maha Rsi Markandheya adalah
cucu buyut atau kompyang dari seorang Rsi yang
bernama Sang Hyang Meru, kakek atau Kakyang beliau
bernama Sang Niata, ayah beliau Sang Markanda dan
memiliki seorang ibu yang sangat cantik bernama Dewi
Manaswini, Saudara tua dari kakyang beliau bernama
Sang Ayati, yang mempunyai putra bernama Sang
Prana. Maha Rsi Markandheya kawin dengan Dewi
Dumara, dan mempunyai seorang putra yang dikenal
dengan nama Hyang Rsi Dewa Sirah. Kemudian Hyang
Rsi Dewa Sirah kawin dengan Dewi Wipari, yang
selanjutnya memiliki keturunan.

37
Sesuai Salinan Prasasti Canggal yang
diketemukan di Gunung Wukir Jawa Tengah (2021)
menyatakan, bahwa berawal dari tempat pertapaan
beliau di sebuah gunung bernama Wukir Damalung di
pegunungan Di Hyang (Dieng), Jawa Tengah. Beliau
adalah seorang Yogi Besar, sehingga disebut Sang
Yogiswara. Suatu saat karena memang kehendak Hyang
Widhi, beliau melakukan perjalanan kearah timur dari
pertapaan beliau, dan tiba di Gunung Raung di
pegunungan Ijen, Jawa Timur, disana beliau
membangun pasraman dan bangunan suci, sebagai
tempat memuja Ida Hyang Widhi. Rupanya beliau
diterima oleh masyarakat disana, sehingga Beliau
memiliki banyak pengikut.

Menurut Buwana Tattwa Maha Rsi Markandheya


(1987) dituliskan, bahwa Maha Rsi Markandheya
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke-arah
Timur ke Pulau di seberang lautan yaitu Bali,
perjalanan saat itu menjadi perjalanan sangat
bersejarah karena diikuti oleh sekitar 800 orang Jawa
Aga (Jawa Pegunungan) sebagai pengikut setianya.

Menurut Buwana Tattwa Maha Rsi Markandheya


(1987) dinyatakan, bahwa perjalanan beliau dari
Gunung Raung Jawa Timur sampai di Pulau Bali ini,
adalah perjalanan yang panjang yang memakan waktu
lama, dan ternyata banyak pengikut beliau yang
menderita sakit dan bahkan mati akibat menemukan
berbagai rintangan ditengah hutan belantara Bali pada
saat itu. Beliau memutuskan untuk kembali ke Gunung
Raung, dan berapa lama berada di Gunung Raung,
akhirnya kembali lagi ke Bali setelah mendapat

38
petunjuk niskala dalam tapa-brata, dengan membawa
para pengikut beliau sebanyak 400 orang.

Menurut Salinan Sejarah perjalanan Suci Ida


Maha Rsi Markandheya di Teledu Nginyah (2010)
dituliskan, bahwa Kedatangan yang pertama ke Bali
dimulai dari membuat perlindungan di pintu masuk
Bali barat disepanjang pantai Bali barat yaitu di Pura
Rambut Siwi. Maha Rsi Markandheya melanjutkan
perjalanan kearah timur, sampailah beliau kesuatu
tempat yang struktur geografis tempatnya sangat mirip
dengan lokasi pertapaan beliau di Gunung Raung Jawa
Timur yang dikenal dengan Gumuk Kancil, tempat
tersebut bernama Gumbrih, dimana terdapat gundukan
batu yang selanjutnya bernama Teledu Nginyah di Desa
Gumbrih Jemberana.

Sesuai Salinan Sejarah perjalanan Suci Ida Maha


Rsi Markandheya di Teledu Nginyah (2010) dituliskan,
bahwa Teledu Nginyah adalah suatu tempat dengan
struktur tanah yang seperti bukit kecil, dimana
ditempat ini pada zaman dahulu banyak didiami oleh
hewan kalajengking atau teledu, sesampainya diitempat
ini, Maha Rsi Markhandia teringat dengan tempat
pertapaan beliau di Jawa, sehingga Beliau beristirahat
dan bertapa dipuncak bukit kecil ini, untuk memohon
petunjuk kemana beliau harus melanjutkan
perjalanannya di Bali.

Menurut Salinan Sejarah Pura Teledu Nginyah


(2009) dituliskan, bahwa Selama tinggal di Teledu
Nginyah, Maha Rsi Markandheya membangun sebuah
pesraman dimana lokasi pesraman di bagi menjadi 2

39
tempat, tempat yang pertama adalah di lokasi pura
segara yang ada dipinggir pantai yang dinamakan
dengan pesraman agung dengan fungsi sebagai tempat
penyeleksian awal bagi orang-orang yang mau menjadi
murid Beliau. Di tempat ini beliau mengajarkan tentang
ilmu agama, ilmu kanuragan serta ilmu-ilmu kesaktian
lainnya. Jika murid-murid bisa lulus menuntut ilmu
dari pesraman agung ini, maka kemudian para murid
yang lulus ini akan dikirim ke tempat pesraman
berikutnya yaitu bernama Pesraman Teledu Nginyah.

Setelah sekian lama tinggal di Pesraman Teledu


Nginyah, Maha Rsi Markandheya mendapatkan
petunjuk bahwa jika ingin melihat Bali dengan lebih
jelas, maka naiklah ke puncak bukit yang ada di hulu
sungai Madewi.

Dengan mengikuti petunjuk ini, maka Maha Rsi


Markandheya melanjutkan perjalanan untuk menyusuri
pinggiran sungai Madewi sampai ke hulu, sesampainya
dihulu sungai, kemudian Beliau melihat sebuah bukit,
dan bukit inilah yang dikenal dengan Gunung
Bhujangga, yang terletak diperbatasan antara wilayah
Kabupaten Negara dan Buleleng, tepatnya di daerah
Sepang Buleleng.

Berdasarkan Salinan Lontar Indhu Batur


Kalawasan Petak (2021) disebutkan, bahwa ketika Maha
Rsi Markandheya berada di Gunung Raung Jawa Timur
yang ketika itu didampingi ole pengikutnya yang sangat
setia yaitu Ida I Gusti Pacung, disanalah Beliau dapat
melihat api besar di bagian timur, yang dinyatakan api
maha utama, ketika Beliau mendekat menuju ke tempat

40
tujuan ternaya tidak ada api, yang ada hanya hutan
belantara, dihutan ini beliau bersama pengikutkan
melakukan perabasan hutan untuk membuat tempat
tinggal, yang dinamakan Abas Akih karena merabas
hutan dengan banyak orang.

Setelah beberapa lama tinggal di hutan Abas


Akih, beliau kembali ke Gunung Raung, dan kembali
lagi beliau dapat melihat api maha utama di bagian
timur dari pertapaannya di Gunung Raung, kemudian
beliau kembali lagi ke Bali dan selanjutnya melanjutkan
untuk merabas hutan, kemudian tempat ini disebut
Alas Ketila, ditempat tersebut beliau beryoga dan
memuja keagungan Ida Hayng Widhi, kemudian karena
yoganya berhasil disana beliau memuji angga lalu
tempat tersebut dinamakan Gunung Bhujangga.

Di Gunung Bhujangga inilah Maha Rsi


Markandheya bersemedi, dari hasil semedi Beliau,
barulah Beliau bisa melihat untuk pertama kali atau
awal tentang gambaran pulau Bali secara keseluruhan
lewat alam niskala, dari tempat inilah Maha Rsi
Markandheya bisa melihat lokasi munculnya sinar
besar yang Beliau lihat dari Jawa, yang mengundang
keinginan beliau datang ke- Bali.

Menurut Buwana Tattwa Maha Rsi Markandheya


(1987) dinyatakan, bahwa di Gunung Bhujangga inilah
pertama kali beliau bisa melihat gambaran pulau Bali
seutuhnya melalui penglihatan mata batin, maka
tempat ini pulalah yang beliu pilih untuk melihat Bali
untuk terakhir kalinya dalam hidup Beliau.

41
Maha Rsi Markandheya moksa di atas batu
hitam, yang sampai saat sekarang ini masih ada di
Puncak Gunung Bhujangga. Di Gunung Bhujangga,
Maha Rsi Markandheya menyimpan pajenengan
dan/atau pustaka suci yaitu alat-alat upacara, seperti
Narabhajra, Siwakarana, dan sebagainya.

Menurut Buwana Tattwa Maha Rsi Markandheya


(1987) dinyatakan, bahwa Ketika kedatangan atau
perjalanan kembali Maha Rsi Markandheya yang kedua
kalinya ke Bali, bukan tidak mendapat halangan, tapi
karena sudah berpengalaman korban tidaklah sebanyak
sebelumnya, namun tetap banyak pengikut Beliau yang
menderita sakit dan meninggal, namun karena kuat
tekadnya untuk kembali berangkat dari Gunung Raung,
beliau lantas memohon keselamatan demi untuk
keselamat para pengikutnya, dengan cara menanam
Panca Datu dengan lima macam jenis logam di sekitar
Tolangkir/ Besakih.

Menurut Buwana Tattwa Maha Rsi Markandheya


(1987) dinyatakan, bahwa Dari Gunung Bhujangga
banyak tempat yang beliau singgahi hingga beliau
sampai di Gunung Agung. Tempat-tempat tersebut,
antara lain : Puncak Manik Pulaki, Pura Penegil
Dharma, Pura Ponjok Batu, Gunung Agung, Pura Dalem
Balingkang, Pura Ulun Danu Songan, Pura Air
Hawang, Pura Tuluk Biyu Batur, Pura Jati, Pura
Tampurhyang, Puru Ulun Danu Batur, Pura Bukit
Mentik, Pura Pucak penulisan, Pura Puncak Bukit
Indrakila, Pura Puncak Bukit Sinunggal.

42
Menurut Buwana Tattwa Maha Rsi Markandheya
(1987) dinyatakan, bahwa setelah beberapa lama di
Tolangkir, maka beliau kembali ke barat dengan diikuti
oleh sebagian besar pengikutnya, untuk kembali
membuka hutan dan membangun pemukiman di
Puakan Desa Taro Kecamatan Tegallalang Gianyar,
kemudian melanjutkan memilih tempat di Pura
Campuhan Ubud, Pura Dalem Pingit, Pura Puncak
Payogan, Pura Dalem Suargan, Pura Murwa Bumi di
Paynagn Gianyar, Pura Gunung Lebah di Ubud Gianyar.

Berdasarkan Salinan Markandheya Purana (2007)


dituliskan, bahwa Maha Rsi Markandheya bersama
pengikutnya membangun Pura Lempuyang dan Pura
Andakasa di Karangasem, Pura Sukawana di Bangli dan
Pura Batu Karu di Penebel Tabanan.

Menurut Buwana Tattwa Maha Rsi Markandheya


(1987) dinyatakan, bahwa Gunung Bhujangga di Sepang
merupakan tempat awal Maha Rsi Markandheya
memulai perjalanannya untuk membuka pulau Bali
pada abad ke-8, karena di Gunung Bhujangga ini,
beliau mengawali pembukaan pulau Bali pada
kedatangan pertama, dan ketika kedatangan kedua
kalinya, setelah Beliau melaksanakan perjalanan
sucinya secara keseluruhan di Bali, maka di Gunung
Bhujangga pulalah beliau mengakhiri perjalanan
sucinya dan akhirnya berpulang ke alam sana atau
Moksa.

Menurut Buwana Tattwa Maha Rsi Markandheya


(1987) dinyatakan, bahwa pada masa Dalem Asmara
Kepakisan di Gelgel, Bali kedatangan Ida Resi Madura

43
tahun Icaka 1302/1380 M, Beliau datang untuk
mengatasi kekacauan yang ada di Bali yang sebelumnya
belum berhasil ditangani oleh adiknya yang bernama
Ida Rsi Bhujangga Aji Manu, karena keadaan di Bali
ketika itu sangat kacau dan rusak, upacara-upacara di
dalam pura sering kali ditiadakan, pengurus-pengurus
desanya sering bertengkar satu sama lain, yang
menimbulkan perang antar desa.

Kedatangan Ida Resi Madura serta membawa


lontar pustaka raja lontar Hindu Bali Daha dan
Brahmanda Purana. Setelah beliau tiba di Bali, dengan
segera beliau mengajarkan semua para Bhujangga
Waisnawa yang telah ada di Bali, baik Waisnawa dari
Bali Aga, dari keturunan Maha Rsi Markandheya
maupun Ida Rsi Mustika, tentang kebajikan Bhujangga
Waisnawa.

Menurut Buwana Tattwa Maha Rsi Markandheya


(1987) dinyatakan, bahwa Ida Resi Madura mengawali
perjalanannya di Bali di Pulaki Daerah buleleng, pada
hari Rabu Keliwon Wuku Dunggulan, Bulan Hinu
Awidia, satuan 2, puluhan 0, icaka 1302 (1380 M).

Ida Rsi Madura yang ada di Pulaki Daerah


Buleleng, karena beliau sudah lama di sana, kemudian
beliau meninggalkan Pulaki untuk melaksanakan
perjalanan suci, Beliau pergi menuju Desa Beratan.
Beliau sepanjang perjalanannya banyak mendirikan
tempat suci salah satunya adalah sebuah parahyangan
Widhi yang disebut Pura Gunung Sari yang sekarang
dikenal Pura Rsi Markandheya di Desa Asah Danu,
pura tersebut merupakan tempat pemujaan untuk

44
leluhur Beliau yaitu Maha Rsi Markandheya, yang
diyakini telah lama mangkat dan/atau Moksa di
Gunung Bhujangga di Sepang.

Menurut hasil wawancara dengan tokoh MWBW


yaitu Guru Dokter Nyoman Sugitha dikatakan, bahwa
pura Gunung Sari atau Pura Rsi Markandheya di Desa
Asah Danu, dibangun untuk tempat pemujaan Maha
Rsi Markandheya yang distanakan di Gunung
Bhujangga, karena lokasi Pura di Gunung Bhujangga
tempat moksanya Maha Rsi Markandheya sangat jauh
dan tinggi serta sulit dijangkaunya pada saat itu.

Sebelum bernama Gunung Bhujangga, tempat ini


dinamakan Alas Katila atau juga bernama Hutan
Basturi, karena memang keberadaanya adalah hutan
belantara, dengan kedatangan Rsi Markandhya tahun
abad ke-8, Rsi Markandhya beryoga disana dan yoganya
berhasil, disana beliau Muji Angga, lalu tempat ini
dinamakan Gunung Bhujangga.

Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh


MWBW dan mendengar Wacana dari Para Rsi BW yang
datang melaksanakan Tirtayatra di Gunung Bhujangga
Sepang. Para Rsi BW memberikan petunjuk agar
MWBW sudah saatnya membenahi palinggih Maha Rsi
Markandheya yang ada di Gunung Bhujangga, agar
lebih baik dan layaknya sebagai bangunan Palinggih
Leluhur Bhujangga Waisnawa.

Menyikapi petunjuk Pra Rsi BW, maka para


Pangelingsir Bhujangga Waisnawa di Buleleng dan Bali
umumnya berkoordinasi dengan Kemoncolam MWBW

45
Pusat dan MWBW Buleleng untuk melakukan
pembahasan terkait pembangunan pura Gunung
Bhujangga Sepang.

Sesuai hasil keputusan Pesamuan Sabha Ida Rsi


Bhujangga Waisnawa Pusat (2017) dituliskan, bahwa
untuk pengelolaan masing- masing parahyangan
Bhujangga Waisnawa di Bali, maka dilakukan
pembagian tugas untuk setiap Kabupaten/ Kota sebagai
pengempon pura kahyangan MWBW, seperti Padharman
Brahmana Bhujangga Waisnawa Besakih
pengemponnya oleh Kemoncolan MWBW Bali Timur
yaitu Gianyar, Bangli, Klungkung dan Karangasem.
Pura Luhur Kawitan BW Gunungsari Jatiluwih
pengemponnya oleh Kemoncolan MWBW Tabanan,
sedangkan Pura Luhur BW Batubolong oleh
Kemoncolan MWBW Badung. Pura Teledu Nginyah di
Gumbrih oleh Kemoncolan MWBW Negara dan Pura
Gunung Bhujangga Sepang oleh Kemoncolan MWBW
Buleleng.

Berdasarkan dokumentasi Maha Warga


Bhujangga Waisnawa (MWBW) Buleleng, dan hasil
wawancara dengan Guru Mangku Putu Sedana (2022)
di tuliskan, bahwa para Pangelingsir Bhujangga
Waisnawa yang ada di Buleleng, memberikan dukungan
moral maupun material dengan malakukan
penggalangan dana, baik intern keluarga BW maupun
pihak-pihak terkait seperti dukungan Pemerintah untuk
membangun Pura Gunung Bhujangga Sepang.

Sesuai hasil wawancara dengan Pemangku Pura


Gunung Sari Asah Danu (2022) didapatkan, bahwa

46
pembangunan pura Gunung Bhujangga melalui proses
yang panjang dan bertahap, dengan melibatkan seluruh
Maha Warga Bhujangga Waisnawa dan pihak-pihak lain
yang terkait.

Menurut Ila Kitta di Pura Rsi Markandheya di


Asah Danu dituliskan, bahwa Pembangunan pelinggih
di Pura Gunung Bhujangga di Sepang merupakah hasil
kerjasama semeton Bhujangga Waisnawa dari
Banyuatis, dimana pura dibangun untuk pertama
kalinya tahun 1970, dan selanjutnya dilakukan
diperbaiki dan dilengkapi pada tahun 2008.

Menurut Ila Kitta di Pura Rsi Markandhewya di


Asah Danu dituliskan, bahwa disamping pembagunan
Pura Gunung Bhujangga Sepang, juga dilakukan
pembangunan Pura Rsi Markandya Asah Danu Desa
Sepang Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng,
berawal dari Peran serta semeton dari Jembrana atas
koordasi dari Ida Bhetara Rsi Suci sakeng Griya Batur
Suci Desa Gumbrih, Beliau membangun bersama
kerama Dadia Asah Badung, sampai akhirnya
terwujudlah sebuah bangunan suci di Asah Danu, yang
diberi nama Pura Rsi Markandya (Sedana, 2022).

Pada tahun 1953 berdiri bangunan utama Pura


Rsi Markandya berupa Palinggih Gedong, Palinggih
Surya, Palinggih Pengrurah, dan Piyasan yang
bentuknya masih sederhana. Selanjutnya tahun 1999
dan tahun 2006 dilakukan perbaikan kembali untuk
Palinggih Gedong, Palinggih Piyasan yang telah rusak.

47
Pada tahun 2014, karena usia bangunan fisik
pelinggih Pura Rsi Markandya sudah rusak, disamping
juga bentuk bangunannya sangat sederhana, maka ada
pemikiran krama pengempon untuk memperbaiki
kembali bangunan yang ada. Selanjutnya
dikumpulkanlah krama dadia pangempon untuk
mengadakan paruman dalam rangka memperbaiki
bangunan yang ada, setelah menemui kata sepakat,
dibentuklah Panitia Pembangunan Pura Rsi Markandya,
kemudian melakukan penggalian dana baik secara
ineter keluarga maupun ekstern pemerintah,
selanjutnya perbaikan palinggih dilaksanakan.

Disamping pembanguan Pura Gunung Bhujangga


Sepang dan Pura Rsi Markandheya di Sepang juga
dilakukan pembanguan Pura Dalem Kawitan Bhujangga
Waisnawa Asah Badung yang dibangun mulai tanggal
17 Desember 1952, dan mengalami perbaikan secara
berkala yaitu tahun 2005, kemudian tahun 2008 dan
selanjutnya tahun 2021, yang dilaksanakan oleh
keluarga Bhujangga Waisnawa Asah Badung Sepang
Kelod.

Menurut Ila Kitta di Pura Rsi Markandheya di


Asah Danu dituliskan, bahwa cikal bakal Pura Dalem
Kawitan Bhujangga Waisnawa Asah Badung,
sebelumnya sudah ada tempat pengayatan beliau
leluhur yang di sebut Sanggah Suhun Kemulan Sakti,
dan satu buah pelinggih yang disungsung oleh keluarga
dadia disebut Gedong.

Adapun bangunan Sanggah Suhun kemulan sakti


itu terdiri dari Palinggih Kemulan Sakti sebagai Linggih
48
Ratu Hyang Gede Diluhur, Palinggih Rong Kalih sebagai
Linggih Sanghyang Rwa Bineda, dan Pelinggih Taksu
sebagai Linggih Sanghyang Taksu.

Sesuai Awig-Awig Desa Adat Sepang (2013)


dituliskan, bahwa keberadaan Sanggah Suhun Kemulan
Sakti di Sepang Kelod banyaknya 33 buah/lokasi,
dimana ke 33 buah sanggah suhun ini merupakan cikal
bakal berdirinya Desa Adat Sepang, yang mewakili
semua klen / warga yang ada di Desa adat Sepang.

Sesuai Awig-Awig Desa Adat Sepang (2013)


dituliskan, bahwa Lokasi keberadaan Pura Dalem
Kawitan Bhujangga Waisnawa tepat pada Sanggah
Suhun Kemulan Sakti semeton Bhujangga Waisnawa,
yang didirikan oleh leluhur Guru Mangku Putu Sedana
yang bernama Pan Duriaman.

Menurut Ila Kitta di Pura Rsi Markandheya di


Asah Danu dituliskan, bahwa di tahun 1952 setelah
Semeton Bhujangga Waisnawa di Asah Badung
mengetahui asal leluhurnya atau kawitan, maka
dibangunlah Pura Dalem Kawitan Bhujanga Waisnawa
di Asah Badung, dan Sanggah Suhun Kemulan Sakti
yang ada dihilangkan, diganti menjadi Pura Dalem
Kawitan Bhujangga Waisnawa di Asah Badung.
Menurut Ila Kitta di Pura Rsi Markandheya di
Asah Danu dituliskan, bahwa lokasi Sanggah Suhun
Kemulan Sakti yang dibangun Pura Dalem Kawitan
Bhujangga Waisnawa, setelah melewati beberapa waktu,
diputuskan kembali untuk membangun Sanggah Suhun
Kemulan Sakti oleh keturunan Pan Duriaman yaitu
Guru mangku Putu Sedana, yang lokasinya di bagian

49
hulu pekarangannya, dengan dilakukan upacara
ngelinggihang pada saat Purnama Sasih Ketiga tahun
2000, selanjutnya dilakukan upacara pemelaspas alit
pada Purnama Sasih ke Pitu Dina Anggara tgl 29
Desember tahun 2020 yang dipuput oleh Guru
Mangku Putu Sedana.

Berdasarkan Salinan Lontar Indhu Batur


Kalawasan Petak (2021) disebutkan, bahwa Pura Dalem
Kawitan Bhujangga Waisnawa di Asah Badung
dibangun sebagai tempat distanakannya Ida Bhatara
Kawitan dengan Biseka Ida Rsi Waisnawa putra dari
Ida Rsi Madura, sehingga pura tersebut sebagai tempat
persembahyangan keluarga Bhujangga Waisnawa di
Asah Badung Desa Sepang Kelod . Kata Dalem
mengambil nama dari Pura Dalem Pauman Padang
Entas di Badung, karena Ida Betara Kawitan mawiwit
dari sana. Nama Kawitan adalah asal mula atau wit,
sedangkan nama Bhujangga Waisnawa adalah nama
trah atau kelompok pasemetonan dari Maha Warga
Bhujangga Waisnawa.

Ciri ciri yang dapat ditemukan di Gunung


Bhujangga sebagai tempat moksanya Rsi Markandheya,
yaitu terdapat Batu Hitam yang berada di bagian
gundukan paling atas, yang kenyataannya terlihat kecil
tetapi tidak bisa digerakkan. Dibagian bawah pura di
sebelah timur laut kurang lebih 200 meter ada petirtan
Ida Betara, yang airnya tidak pernah kering walaupun
musim kemarau panjang, dan keadaan tanah dibagian
Utama Mandala kalau diinjak akan bersuara sepertinya
ada gua dibawahnya.

50
Tatanan Bangunan Pelinggih di Pura Gunung
Bhujangga yaitu Padmasana sebagai lingih Ida
Sanghyang Widhi, Gedong untuk linggih Ida Bhatara
Lingsir atau Ida Rsi Markandya, Pengerurah sebagai
linggih Ida Ratu Ngurah, Piyasan sebagai tempat
Linggih Ida Sanghyang Aji Saraswati.

Berdasarkan Salinan Lontar Indhu Batur


Kalawasan Petak (2021) disebutkan, bahwa Ciri-ciri
yang ada di Pura Rsi Markandheya di Sepang yang
ditemukan adalah sebagai tempat tapak tilas dari Maha
Rsi Markandheya setelah datang dari Gunung
Bhujangga, di tempat ini Maha Rsi Markandheya
pernah tinggal dan sempat membuat taman bunga
sehingga tempat tersebut dinamakan Gunung Sari Asah
Danu, di pura Rsi Markandheya ini, Maha rsi
Markandheya menyimpan atau mendem seperangkat
alat kepanditaan yang disebut Ciwa Upakarana, disisi
sebelah timur lautnya ada petirtan, dan disebelah barat
daya ada batu besar yang dinamakan batu lempeh
sebagai tempat beliau beryoga.

Tatanan Pelinggih Pura Gunung Sari di Asah


Danu atau pura Rsi markandheya yaitu Palinggih
Padma Tiga sebagai Linggih Sanghyang Tri Purusa,
Palinggih Meru Tumpang Tiga sebagai Lingih Ida Rsi
Markandya, Palinggih Pengelurah sebagai linggih Ida
Ratu Ngurah, Balai Piyasan sebagai Linggih Sanghyang
Aji Saraswati, Bale Pewedan sebagai Linggih Ida
Sulinggih rikala muput yadnya, Palinggih Apit Lawang
sebagai linggih Dora Kala, Maha Kala, dan Gelung Kori
sebagai Linggih Sanghyang Pretangga Dipa.

51
Tatanan Pelinggih di Pura Dalem Kawitan
Bhujangga Waisnawa di Asah Badung yaitu di Utama
Madala terdapat Palinggih Padmasana sebagai linggih
Ida Sanghyang Widhi, Palinggih Ibhu sebagai Linggih
Ida Hyang Ibhu, Palinggih Meru Tumpang Pitu untuk
Linggih Ida Bhatara Kawitan, Palinggih Kemulan Rong
Tiga sebagai Linggih leluhur dewata dewati, Palinggih
Rong Kalih sebagai Linggih Sanghyang Rwa Bhineda,
Palinggih Taksu sebagai Linggih Sanghyang Taksu,
Palinggih Pengelurah sebagai Linggih Ida Ratu Ngurah,
Palinggih Pengaruman sebagai Linggih Ida Bhatara
Katuran Pujawali, Balai Piyasan sebagai Linggih
Sanghyang aji Saraswati, Gelung Kori sebagai Linggih
Sanghyang Pratangga Dipa. Pada Madya Mandala
terdapat Palinggih Tugu Apit Lawing sebagai Lingih
Wayan Teba lan Made Jelawung, Bale Gong untuk
Genah Nabuh, Bale Perantenan sebagai genah
ngerateng. Pada Lokasi Nista Mandala terdapat Candi
Bentar dengan Apit Lawang Nyoman Sakti
Pengadangan, dan Ketut Petung, Papan Nama Pura
Dalem Kawitan Bhujangga Waisnawa di Asah Badung.

Keberadaan Pura Gunung Bhujangga di Sepang,


dan Pura Rsi Markandheya di Asah Danu Sepang serta
Pura Dalem Kawitan Bhujangga Waisnawa di Asah
Danu Badung di Sepang Kelod, menjadi satu kesatuan
yang berkaitan dengan perjalanan suci Maha Rsi
Markandheya, sampai akhirnya Moksa di Pura Gunung
Bhujangga.

Menurut Ila Kitta pemangku di Pura Rsi


Markandheya di Asah Danu dituliskan, bahwa setelah
Bangunan pelinggih di Pura Gunung Bhujangga selesai
52
di perbaiki, dilanjutkan dengan dilakukan upacara pada
tahun 2008, yaitu dilakukan upacara pecaruan,
pendem pedagingan, dan ngenteg linggih yang dipuput
olih Ida Rsi Bhujuangga Waisnawa Darma Santika dari
Grya Batur Suci Gumbrih dan Ida Rsi Bhujangga
Waisnawa Anom Paguna dari Gerya Tegal Cangkring.

Menurut Ila Kitta pemangku di Pura Rsi


Markandheya di Asah Danu dituliskan, bahwa karena
bangunan pelinggih di Pura Rsi Markandheya di Asah
Danu sudah selesai, maka tahun 2014 yaitu anggara
kliwon kulantir, dilakukan upacara atau karya yang
meliputi Mecaru Manca Sanak Alit, Ngurip, Makuh,
Mendem Pedagingan dan Pemelaspas, yang dipuput
oleh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Darma Santika dari
Griya Gumbrih. Dilanjutkan tahun 2014 tepat Sukra
Kliwon Tolu, dilakukan upacara Ngelinggihang dan
Piodalan, dipuput oleh Ida Rsi Sakeng Grya Petamon
Negara (Sedana, 2022).

Menurut Ila Kitta pemangku di Pura Rsi


Markandheya di Asah Danu dituliskan, bahwa Pujawali
di Pura Gunung Bhujangga Sepang, dan di Pura Rsi
Markandheya di Asah Danu, serta di Pura Dalem
Kawitan Bhujangga Waisnawa di Asah Badung Sepang
Kelod, dilaksanakan setiap tahun sekali yaitu setiap
Purnama Sasih ke Lima.

Prosesi pelaksanaan upacara pujawali diawali dari


nuur atau mendak Tirta Ida Bhatara Lingsir atau Ida
Maha Rsi Markandheya di Gunung Bhujagga dibawa
turun ke Pura Rsi Markandheya di Asah Danu, disini
Beliau diberikan upacara puja wali, dan setelah Proses
53
Upacara Pujawali di Pura Rsi Markandheya Asah Danu
selesai, maka Ida Bhatara keiring ke Pura Dalem
Kawitan Bhujangga Waisnawa di Asah Badung, disini
Ida Betara nyejer selama 3 hari, kemudian setelah
pujawali selesai, diakhiri dengan upacara penyineban
dan ngewaliang budal soang- soang manut linggih, yang
dilakukan di madya mandala Pura Dalem Kawitan
Bhujangga Waisnawa di Asah Badung.

Tata pelaksanaan upakara dan upacara rutin di


Pura Gunung Bhujangga, Pura Rsi Markandheya Asah
Danu dan Pura Dalem Kawitan Bhujangga Waisnawa
Asah Badung, disesuaikan dengan dresta yang ada
(Sedana, 2022).

Menurut Ila Kitta pemangku di Pura Rsi


Markandheya Asah Danu dituliskan, bahwa Pemangku
yang ada di Pura Gunung Bhujangga dan Pura Rsi
Markandheya Asah Danu serta di Pura Dalem Kawitan
Bhujangga Waisnawa Asah Badung yaitu pertama
Guru Mangku Wayan Mitra dan Byang Mangku Wayan
Singlih serta Byang mangku Ketut Sirin, sane
ngewintenin Ida Rsi Suci sakeng Grya Batur Suci
Gumrih pada tanggal 17 – 12 - 1952. Pemangku ke dua
yaitu Guru Mangku Wayan Pandra dan Byang Mangku
Luh Sinta, Guru Mangku Putu Sedana dan Byang
mangku Nyoman Sunadi, sane ngewintenin Ida Rsi
Bhujangga Waisnawa Dharma Santika sakeng Graya
Batur Suci Desa Gumrih, pada tahun 2008. Pemangku
ke tiga yaitu Guru Mangku Made Sutawan dan Byang
Mangku Luh Kartini, yang diwinten oleh Ida Rsi
Bhujangga Waisnawa Dharma Santika sakeng Graya
Batur Suci Desa Gumrih, pada tahun 2021.

54
Menurut Ila Kitta pemangku di Pura Rsi
Markandheya Asah Danu dituliskan, bahwa
pengempon Pura Gunung Bhujangga di Sepang adalah
Maha Warga Bhujangga Waisnawa di Sepang Kelod dan
menjadi tanggung jawab Kemoncolan Maha Warga
Bhujangga Waisnawa Kabupaten Buleleng, dan sebagai
penyiwi adalah seluruh masyarakat Desa Sepang Kelod
dan seluruh Maha Warga Bhujangga Waisnawa di Bali
dan Nusantara.

Menurut Ila Kitta pemangku di Pura Rsi


Markandheya Asah Danu dituliskan, bahwa
pengempon Pura Rsi Markandheya di Asah Danu
Sepang adalah Maha Warga Bhujangga Waisnawa di
Sepang Kelod dan menjadi tanggung jawab Kemoncolan
Maha Warga Bhujangga Waisnawa Kabupaten Buleleng,
dan sebagai penyiwi adalah seluruh masyarakat Desa
Sepang Kelod dan seluruh Maha Warga Bhujangga
Waisnawa di Bali dan Nusantara.

Menurut Ila Kitta pemangku di Pura Rsi


Markandheya Asah Danu dituliskan, bahwa
pengempon Pura Dalem Kawitan Bhujangga Waisnawa
Asah Badung, adalah 4 paibon atau merajan yaitu
Merajan Bujak di Banjar Bujak, Merajan Asah Wani di
Banjar Asah Badung, Merajan Penataran di Banjar
Penataran dan Merajan Asah Badung di Banjar Asah
Badung.

Purana Pura Gunung Bhujangga di Desa Sepang


Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng Provinsi
Bali, ditulis dan diterbitkan serta Upacara Pasupati
55
oleh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Kertananda dari
Gerya Bubunan Buleleng, Ida Rsi Bhujangga Waisnawa
Darma Santika dari Griya Gumbrih, dan Ida Rsi
Bhujangga Surya Adnyana dari Gerya Pemaron
Buleleng, yang disaksikan oleh Perangkat Desa Sepang
Kelod, Perangkat Kecamatan Busungbiu, Perangkat
Kabupaten Buleleng, seluruh Maha Warga Bhujangga
Waisnawa, Kemoncolan Maha Warga Bhujangga
Waisnawa Kabupaten Buleleng, dan Kemoncolan Pusat
Maha Warga Bhujangga Waisnawa, pada rahina
Anggara Wuku Ukir Purnama Kelima, Isaka 1944/2022
M, hari Selasa Tanggal 8 Bulan Nopember Tahun 2022.

56
DAFTAR PUSTAKA

Anom I P. 2003. Bhujangga Waisnawa . Denpasar

Anonim. Lontar Bali Tatwa. Gianyar: Koleksi Jero


Kebayan Desa Pakraman Taro Kelod. Tt.

Anonim. 1995. Tutur Bhatara Pasupati, Alih Aksara


Lontar. Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya
Bali Provinsi Daerah Tingkat I Bali.

Anonim, 1995. Padma Buwana, Alih Aksara Lontar,


Denpasar: Kantor Dokumentasi Budaya Bali
Provinsi Daerah Tingkat I Bali.

Anonim, 1998. Tutur Dewa Yajnya – Manusa yajnya


(alih aksara lontar), Denpasar: Kantor
Dokumentasi Budaya Bali.

Ardana, I G, 1986. Sejarah Bali. Denpasar: Proyek


Penyusunan Sejarah Bali, Pemerintah Daerah
Tingkat I Bali.

Ardika, I W, 2009. Sejarah Bali Kuna Abad VIII – XIV .


Laporan Penelitian. Denpasar: Fakultas Sastra
Universitas Udayana.

Bungin, B, 2012. Analisis Data Penelitian Kualitatif.


Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Bajra IB, 2018, Asal Usul Bali

57
Cakra, A, P. 2021. Sejarah Padharman Brahmana
Bhujangga Waisnawa Besakih. Denpasar : MWBW
Pusat.

Cakra, A, P. 2021. Sejarah Pura Luhur Kawitan hujangga


Waisnawa Gunungsari Jatiluwih Tabanan.
Denpasar : MWBW Pusat.

Cakra, A, P. 2021. Sejarah Pura Luhur Bhujangga


Waisnawa Canggu Badung. Denpasar : MWBW
Pusat.

Cakra, 2022. Purana Pura Dalem Bhujangga Waisnawa


Srokadan Bangli. Denpasar: MWBW Pusat.

Ginarsa, 1979. Bhuwana Tattwa Maha Rsi


Markandheya. Singaraja : Balai Penelitian Bahasa
Singaraja.

Ginarsa, 1987. Bhuwana Tattwa Maha Rsi


Markandheya. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa
Singaraja.

Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya


Jyoti, dkk. 2014. Bhujangga Dharma . Denpasar:
Swasta Nulus.

Kusniarti. S, 2020. Jejak-jejak Kerajaan Majapahit


Masuk Bali, Kisah Keraton Linggarsa Pura di
Samplangan Gianyar. Denpasar; Bali Pos.

Lontar . Palelintih Bhujangga. Singaraja: Koleksi Gedung


Kertiya.

58
Lontar. Rsi Waisnawa. Singaraja: Koleksi Gedung
Kertiya.

Lontar. Tri Lingga Siwa Sasana

Lontar. Bhujangga Ring Bali. Singaraja : Balai Penelitian


Bahasa Singaraja.

Lontar. Eka Pratama : Ubung Badung.

Lontar. Kertha Bhujangga. Singaraja: Balai Penelitian


Bahasa Singaraja.

Lontar. Mpu Prajnyana. Singaraja: Koleksi Gedung


Kertiya.

Lontar. Padma Bhuwana. Singaraja: Koleksi Gedung


Kertiya.

Noor, J, 2013. Metodalogi Penelitian: Skripsi, Tesis,


Desertasi dan Karya Ilmiah. Jakarta: Kencana
Prenanda Media Group.

Narendra DPS, 1963. Sejarah Bali Dwipa. Denpasar:


Yayasan PR. Saraswati.

Oka I D. M, 2010. Salinan Babad Dalem . Koleksi Gerya


Jro Kanginan Sidemen Karangasem.

Rakanadi, 2012. Apa dan Siapa Itu Bhujangga.


Jemberana: Pasraman Teledu Nginyah.

59
Santri, R, 1989. Bhujangga Dharma. Denpasar: Eka
Bhuwana Suta MWBW Pusat.

Sariana, P, 2008. Sekilas Tentang Bhujangga Waisnawa.


Denpasar: Moncol Pusat Maha Warga Bhujangga
Waisnawa.

Sastra, G. S., 2008. Bhujangga Waisnawa dan Sang


Trini, Bagian dari Konsep Saiwa Siddhanta
Indonesia. Denpasar: Pustaka Bali Post.

Smerti Kusuma Wijaya Ida Bhagawan Rsi, 2017.


Penomena Soroh di Bali. Denpasar: CV. Kayumas
Agung.

Soebandi, 1983. Sejarah Pembangunan Pura-Pura di


Bali. Denpasar: CV. Kayumas Agung.

Sudira, 2005. Salinan Babad Dalem Tarukan. Denpasar.

Sugiyono, 2013. Metodalogi Penelitian Kuantitatif


Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugriwa, 1999. Hindhu Bali. Denpasar : CV. Kayumas


Agung.

Sulatra, 2012. Bhujangga Waisnawa. Jemberana:


Pasraman Teledu Nginyah.

Soejono. R. P. ed, 1976 . Jaman Prasejarah di Indonesia


dalam Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

60
Wikarman, S., 2010. Brahmana Bhujangga Waisnawa.
Denpasar: CV. Kayumas Agung.

Wirahaji, IB., 2005. Babad Dalem Dinasti Sri Aji Kresna


Kepakisan. Denpasar.

Zoetmulder, P.J., 1994. Kamus Jawa Kuna.

….………, 2017. Pura dan Asal-Usul Pretisentana


Bhujangga Waisnawa.

61
LAMPIRAN LAMPIRAN

A. Jenis Upakara yang dipersembahkan ketika


piodalan rutin, sebagai berikut :

1. Banten sane munggah ring Surya.:


1) Suci sorohan sasipatan ,
2) Peras Panyeneng,
3) Pengambeyan Pangulapan
4) Dapetan , Pucuk kuskusan,
5) Sayut Pabersihan,
6) Daar putih kuning,
7) Prayasista pabyakaonan
8) Panyegjeg, kedaton , siwabawu
9) Canang di bokor, Canang pemendak
10) Canang lengewangi burat wangi,
11) Canang Pengerawos , Canang raka .
12) Pesucian, Dewa Dewi,
13) Sesayut Pajegan lan teterag.

2. Banten sane munggah Ring Pajenengan Sami


1) Daksina
2) Suci Sorohan
3) Canang Galungan.
4) Canang Pemendak
5) Canang lengewangi Burat wangi
6) Canang di bokor
7) Pasucian.
8) Pucuk Bawu
-
3. Banten Sane Munggah ring Piyasan.
1) Daksina , Suci sorohan
2) Pucuk Bawu , Sasipatan , Panyegjeg

62
3) Kedaton , Tebasan Sekaranti
4) Taman , Bebangkit
5) Saji tarpana dewa
6) Peras Panyeneng
7) Pengambeyan Pangulapan
8) Pangiring , Pengapit.
9) Kurenan Lanang wadon
10) Longkap Odel
11) Ancak Bingin
12) Telaga Pancoran
13) Gebogan , Guru,
14) Jerimpen ategen,
15) Puncuk Kuskusan
16) Sayut Pabersihan
17) Daar Putih Kuning , Canang Raka
18) Datengan 11 tanding, maulam bebek Bulu
selem ( Bulu sikep )
19) Prayasista Luwih , Pabyakawonan,
Durmrngala, Pengulapan.
20) Taterag
21) Sayut Pajegan, Sayut Agung.
22) Rantasan, Cane,
23) Peras linggih , Gayah Recah
24) Daksina Linggih 2 ( kalih )
25) Pasucian, Canang Pamendak,
26) Cecepan, Rantasan, Tetabuhan.

4. Banten Dresta ring Desa Adat Sepang .


1) Peras taksu penyeneng surip , pengambyan
pengulapan, angkepan, catur saji ,

5. Banten Sane Munggah ring Pengubengan.


1) Daksina , Suci Sorohan,

63
2) Pucuk Bawu,
3) Sasipatan,
4) Panyegjeg
5) Kedaton,
6) Tebasan sekaranti
7) Taman Bebangkit
8) Saji tarpana dewa
9) Peras Panyeneng
10) Pengambeyan, Pangulapan,
11) Pengapit, Pengiring,
12) Kurenan Lanang wadon,
13) Ancak Bingin , Telaga Pancoran,
14) Dapetan, Guru,
15) Longkap Odel,
16) Gebogan, Jerimpen ategen,
17) Puncuk Kuskusan,
18) Sayut Pabersihan,
19) Daar Putih Kuning,
20) Canang Raka,
21) Datengan 11 tanding, maulam bebek selem
( bulu sikep )
22) Prayasista Luwih,
23) Pabyakawonan,
- Taterag, Sayut Pajegan, Ring Sor
Kalemjijian Jangkep.

6. Sane Munggah Ring Bale Kalamijiane.


1) Daksina , Suci sorohan
2) Pucuk Bawu,
3) Guling Bebek ,
4) Nunas tirta ring Ida Sanghyang widhi
mwang ring Ida Paramasiwa

64
5) Datengan bebek bulu Sikep ne Selem
66
6) Tipat Sirikan
66
7) Belayag
66
8) Pesor
66
9) Sumping
66
10) Kelaudan
66
11) Lemuh
66
12) Kukus ketan
66
13) Kukus injin
66
14) Raka
66
15) Ajengan
66
16) Canang sari
66
17) Sulanggi
66
18) “’Pekeling “’
19) Kalemijian mekarya kekalih. ( 2)
20) Ring arep kemulan ring Jeroan asiki
21) Ring Sor Pengubengan Jaba tengah asiki.
22) Tatakan datengan ngangge Ron ( poleng ).

65
7. Linggih
1) Mekarya 12 tanding, daging tandingan .
2) Ebatan barak + putih, Sate lembat 8 + Sate
asem 4 = 12 katih.
3) ( sate katik 12 ), ulamne pateh kadi
datengan, ngangge bebek bulu sikep ne
selem.

8. Jaja Linggih.
1) Sumping, kelaudan, lelemuh, kukus ketan,
kukus Injin
2) Tandinganne : Mekarya 12 tanding.,
Metatakan Taledan.
3) Sebilang tanding medaging sekadi ring Sor
puniki.
a. 2 Sumping,
b. 2 kelaudan, 2 kukus ketan, 2 kukus
injin
c. 2 lelemuh, 2 kedulurin antuk Pailen
ngeed.

9. Banten Ke Tukade ( Ring Beji )


1) Daksina, Suci Sorohan iwak itik ginulig.
2) Anaman akelan, Peras ajuman.
3) Katur ring Wisnu Loka.

10. Rikala mendak Ke Pura Rsi Markandya ( ring


gunung Sari Asah danu )
1) Ring Padma Naba.
a. Daksina, Suci Sorohan, mebe bebek Selem
meguling.
b. Canang lenge wangi burat wangi, Banten
galungan.

66
2) Ring Natar :
a. Caru abrumbunan ( eka sata ) olahan 33.
3) Ring Pelinggih Gedong.:
a. Daksina , suci Sorohan, Banten Galungan.

4) Ring Pengerurah.
a. Daksina , Suci Sorohan, Tipat Warna lima,
Canang galungan .
5) Ring Piyasan.
a. Indik wangi Pateh sekadi ring Pura Kawitan
asah badung.

11. Banten Panegdegan.


Banten Ring Surya : Sorohan Pejati .

Ring Sor surya :


1) Nasi bulan matan ai , Nasi Wong wongan , Nasi
tulak,
2) Segeh manca warna , Nasi Pelupuhan Putih
kuning.
3) Cacahan 11 tanding , Ajuman jaga satru maulam
jejeron, mewadah kawu bulu madaging getih
atakir.

Banten Ring Panegdegan .


1) Suci sorohan , Peras Panyeneng , Pengambyan
Pangulapan , Raka ajengan , Sayut Pabersihan ,
Pucuk Kuskusan.
2) Medaging Cawu : Cawu mumbul , Cawu telaga ,
Cawu Degdeg , Cawu Penyeneng , lan Cawu
Pasepan.

67
Ring Sor :
1) Nasi bulan matan ai , Nasi Wong wongan , Nasi
tulak , Segeh Manca warna .
2) Nasi pelupuhan Putih Kuning , Cacahan 11
tanding , Ajuman jaga satru maulam jejeron
mentah mawadah kawu bulu medaging getih
atakir.

12. Banten Pekideh Bilang Bucu .


1) Kangin :
a. Ring sanggah cucuk Munggah Daksina
Ajengan .
b. Ring Sor : Segeh Nasi Wong wongan Putih .
2) Kelod :
a. Ring sanggah cucuk : Daksina ajengan.
b. Ring Sor : Segeh Nasi Wong wongan Barak.

3) Kawuh :
a. Ring Sanggah cucuk : Daksina ajengan
b. Ring Sor : Segeh nasi wong wongan Kuning.
4) Kaja :
a. Ring Sanggah Cucuk : Daksina ajengan.
b. Ring Sor : Segeh Nasi wong wongan Selem.
5) Di Tengah :
a. Ring Sanggah Cucuk : Daksina ajengan
b. Ring Sor : Segeh Nasi wong wongan Manca
warna.
6) Ring Pemedal Segeh seliwah.

13. Sane Ayat rikala mebanten Pekideh . ( Pengraksa


Karang )
a. Kangin : - Katur ring Batara Iswara .
ring Sor : Katur ring Sri raksa lan Anggapati.

68
b. Kelod : - Katur ring Batara Brahma.
ring Sor : Katur ring Kala raksa lan mrajapati

c. Kawuh : - Katur ring Batara Mahadewa.


ring sor katur ring Maha raksa lan Banaspati

d. Kaja : Katur ring batara Wisnu


ring sor katur ring Raja Raksa.

e. Di tengah : Katur ring Batara Siwa.


ring sor katur ring Sang buta tiga sakti.

f. ring Pemedal katur ring Sang Buta Seliwah .

69
B. Foto Bangunan Palinggih
1. Palinggih di Sanggah Suhun Kemulan Sakti

Jajaran Palinggih Kamulan Sakti

2. Palinggih di Pura Gunung Bhujangga di Sepang

Padmasana dan Gedong Batu Hitam tempat


Mosanya Maha Rsi
Markandheya

70
Sunya Nunas Tirta

3. Palinggih di Pura Rsi Markandheya di Asah Danu

Pelinggi di Jeroan Candi Kurung

71
Papan Nama Pura Batu Lempeng

4. Palinggih Pura Dalem Kawitan BW Asah Badung

Pelinggi di Jeroan Gelung Kori

72
Papan Nama Pura Candi Bentar

73

Anda mungkin juga menyukai