Anda di halaman 1dari 4

Prawira “SokongKembangDangar”

Prawira adalah sebuah kampung tradisional yang berasal dari suatu kerajaan. Pada
masa lalu, ada sebuah kerajaan yang berdiri di pulau Lombok tepatnya sekarang di Lombok
Utara yaitu kerajaan SOKONG. Pada masa kejayaan kerajaan Sokong cikalbakalnya ada di
Desa Bebekek (Kecamatan Bayan).
Kerajaan sokong ini dibagi menjadi dua bagian, yang menjadi pemisahnya adalah kali
sokong. Dari timur kali sokong sampai ke Desa Bebekek adalah “Sokong Belimbing”,
sedangkan dari barat kali sokong sampai daerah Mambalan (kecamatan Gunung sari) adalah
Sokong “Kembang Dangar”.
Asal kata dari nama Prawira ini adalah Perwira, sehingga jika dikaitkan pada jaman
kerajaan Sokong, Gubuk Prawira ini ditempati oleh para petinggi-petinggi militer atau para
perwira-perwira kerajaan, dan disamping itu juga menuru tpitutur orang tua, bahwa Prawira
ditempati sebagai sebuah kepatihan sehingga sangat jelas di namakanPrawira.
Pemegang Gubuk ini diwarisi secara turun temurun seperti halnya kerajaan-kerajaan
di Nusantara. Gubuk inidipegang oleh keluarga Raden Ratnanim/Raden Jaya (Alm),
kemudian turun kepada anak laki-lakinya yaitu Raden. H. Mekartha Jaya.
Digubuk Prawira terdapat beberapa tempat yang bersejarah dan mempuyai pilosofi
yang tinggi, antara lain:
1.      Berugaq
Gubuk Prawira sendiri terdapat tiga deretan berugaq yang mempunyai fungsi masing-
masing. Berugaq yang paling atas yang disebut berugaq “Kekelat” yang fungsinya sebagai
Central dari upacara-upacara besar misalnya seribu hari kematian atau acara adat perkawinan,
kemudian di berugaq itu diadakan “Pepaosan” (pembacaan naskah kuno).
Kemudian dideretan yang letaknya ditengah adalah berugaq “Peroahan”, dimana
berugaq ini berfungsi sebagai tempat zikiran atau doa-doa, dan deretan yang paling bawah
adalah berugaq “Periapan” berfungsi sebagai tempat makan-makan. Sampai saat sekarang ini
berugaq masih digunakan dan berfungsi sebagaimana biasanya.

2.      Bale Beleq/Gede
“Bale” artinya rumah, sedangkan “Gede” artinya Besar, namun disini dikatan Gede
bukan rumahnya yang besar, rumah ini berukuran kecil berkisarantara 3x5m, yang dikatan
besar disini adalah fungsinya yaitu tempat penyimpanan barang-barang peninggalan sejarah.
Di dalamnya terdapat beberapa peninggalan sejarah yaitu:
 Lontar-lontar atau naskah kuno tulisan jawa kuno.
 Sehelai rambut puri yang sangat panjang.
 Potongan baju perang yang terbuat dari besi baja
 Bebadong-bebadong yaitu sebuah benda yang diyakini dapat memberikan kekuatan
ketika akan diadakannya peperangan pada masa tersebut. Bebadong ini berbentuk
sabuk yang diikatkan pada pinggang manakala terjadi peperangan.
 Al-Qur’an, yang menandakan bahwa masyarakat Gubuk Prawira sudah menganut
agama islam pada masa tersebut. Al-Qur’an disini tulisan tangan asli, dan ada juga
untuk pembacaan Khutbah Jumaat.
 Kain – kain raja pada jaman dahulu
 Batu permata
 Biloq buntu atau dalam bahasa Indonesianya adalah bamboo buntu yang tidak
mempunyai lubang.

3.      Bangaran
Mungkin diantara kita tidak terlalu mengetahui apa sebenarnya bangaran, tetapi bagi
suku Sasak terutama warga Gubuk Prawira sering mengartikan bangaran adalah salah satu
tempat yang dianggap memiliki kekuatan gaib (supranatural). Bagaimana tidak? Karena di
Gubuk Prawira terdapat sebuah batu besar yang terletak ditengah dan dikelilingi oleh batu
yang setengah besar. Bangaran berasal dari kata “membangar” yang artinya memulai
pembukaan lahan. Jadi, setiap membuka lahan, baik lahan permukiman maupun lahan
pertanian selalu diadakannya ritual membangar.
Mengapa di buat bangaran? Ada semacam keyakinan bahwa manusia tidak hidup
sendiri, melainkan banyak mahkluk-mahkluk lain yang hidup seperti jin dan bangsa lainnya.
Untuk tidak berkeliarannya mahkluk tersebut dan akan mengganggu anak-anak kecil, maka
oleh para pemangku yang dinamakan “mangku perumbaq” yang secara khusus bertugas
untuk memelihara bangaran, di tempat tersebut diadakannya ritual pada bulan-bulan tertentu.
Jadi, semua mahkluk samar (tidak kasat mata), terutama yang jahat kepada manusia
dikumpulkan di bangaran untuk tidak berkeliaran mengganggu manusia, sehingga pada
bulan-bulan tertentu diadakannya ritual yang disebut dengan “memule”.
4.      Kul-ku (kentongan)
Ialah sepotong kayu yang dilubangi kemudian digantungkan pada sebuah pohon. Kul-
kul tersebut berfungsi untuk mengingatkanakan bahaya-bahaya yang akan terjadi atau yang
sedang terjadi. Fungsi lainnyaadalah untuk mengingatkan kepada masyarakat untuk
melakukan suatu kegiatan tertentu.
Konon, kul-kul ini pada masa lalu kalau akan terjadi bahaya yang menimpa
masyarakat, maka kul-kul tersebut akan berbunyi sendiri tanpa ada yang memukulnya. Hanya
saja, mereka yang tinggal di kampung tersebut tidak mendengar suara kul-kul tersebut, dan
anehnya yang mendengar suar atersebut adalah orang yang tinggal di luar Gubuk Prawira.
Terakhir kali kul-kul tersebut berbunyi 3 hari seblum gempa Lombok 2018 dan saat
erupsi gunung Agung Bali.

5.      Bale Banjar
Bale banjar ini dinamakan “bale banjar sekar kedaton prawira”, berbentuk aula
sederhana yang berfungsi untuk tempa tpertemuan, rapat dan melakukan kegiatan-kegiatan
tertentu seperti, latihan menari dan lain sebagainya.

7.      Masjid (Setumpuk Kembang Dangar)


Jika kita melihat tulisan diatas, nama masjid ini diadopsi dari nama kerajaan Sokong
yaitu Sokong Kembang Dangar. Sesungguhnya dulu masjid ini terbuat dari batu yang disusun
menggunakan tanah mentah yang sangat tinggi, sehingga untuk menaiki masjid tersebut
dibutuhkan sebuah tangga.
Uniknya, tiang masjid tersebut hanya bertiang satu yang berada di tengah-tengah yang
dibuat dari kayu “Gringsingan”. Masjid tersebut bentuknya bersusun tiga, dan didalamnya
terdapat mimbar yang berbentuk sebuah naga yang umurnya sudah ratusan tahun. Naga
tersebut adalah symbol dari langit angkasa, dan dibawah naga tersebut terdapat patung penyu
(kura-kura) yang bersimbolkan dari pada bumi yang kita pijak. Kedua bentuk patung tersebut
meyimpulkan bahwa langit dan bumi hanya milik Allah SWT.
Kemudian ada sebuah jungkat (tongkat) yang fungsinya dipegang oleh Khatib ketika
sedang membaca Khutbah. Masjid ini mempunyai julukan (sesenggak) yang sering
dilantunkan oleh masyarakat yaitu dalam bahasa Sasaknya adalah “Kelikit Lima Ilang Sopoq,
Masjid Prawira Tiang Sopoq”, yang artinya “Lalat lima hilang satu, masjid Prawira tiang
satu”. Istilah itulah yang membuat masjid Prawira terkenal sampai saat sekarang ini dengan
masih mempertahankan tiang penyangganya yang hanya tunggal berdiri ditengah-tengah
bangunan masjid tersebut.

Selain dari pada bangunans ejarah diatas, gubuk Prawira juga memiliki permainan
tradisional yang masih bertahan sampai saaat ini yaitu permaianan “Gangsing”, permaianan
ini banyak ada di desa-desa tetangga namun pada era ini jarang ada yang mau
memainkannya.
Gangsing adalah sebuah permaianan yang terbuat dari kayu (hati kayu), bagian kayu
yang paling dalam yang keras dan padat atau sering disebut dengan (Galih). Permainan rakyat
yang biasanya dipertandingkan antar kampung yang dikomandoi seorang juri (wasit).
Ramainya permainan Gangsing yaitu pada saat warga masyarakat mulai menanam padi
(melong) atau sering disebut lowong. Permainan tersebut terus berlangsung sampai saat padi
menguning. Mengapa demikian? Permaianan Gangsing mengandung sebuah do’a yaitu ada
harapan bahwa dengan bermain gangsing diharapkan kelak padi tersebut akan tumbuh subur
dan berbuah lebat, padat dan kental seperti Gangsing.

Anda mungkin juga menyukai