Anda di halaman 1dari 10

Review Film

SOEKARNO : INDONESIA MERDEKA

Oleh:

Windy Octaviana Simbolon (2183220022)


Soekarno: Indonesia Merdeka, mengisahkan dengan ringkas dan cerdas fase-fase kisah
kehidupan Sukarno Sang Proklamator.

Fase pertama dimulai dengan kisah kelahiran Sukarno dari pasangan Raden Soekemi
Sosrodiharjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Sukarno kecil memiliki nama Kusno Sosrodiharjo,
namun karena selalu sakit-sakitan maka sang ayah yang berlatar belakang Muslim dan Kejawen
memutuskan untuk mengganti namanya melalui tradisi selamatan dengan nama baru, Sukarno.

Fase kedua, film beralih mengisahkan kehidupan Sukarno pada masa remaja saat mana dia
memasuki Hoogere Burger School (HBS) dan tinggal bersama Oemar Said Cokroaminoto,
pimpinan organisasi Syarikat Islam di Surabaya. Sukarno kerap mendengar pidato-pidato
Cokroaminoto yang menggelegar mengritisi sistem kolonialisme. Petikan pidato Cokroaminoto
yang inspiratif, “Marilah kita menjadi tuan-tuan atas dirinya sendiri!”. Sukarno remaja terlibat
percintaan dengan seorang remaja Belanda, namun oleh karena perbedaan status sebagai bangsa
penjajah dan bangsa jajahan, maka remaja Sukarno mendapatkan perlawanan keras dari keluarga
sang gadis. Mendapat perlakuan diskriminatif dan pelarangan ini, remaja Sukarno bereaksi keras.

Fase ketiga, remaja Sukarno telah bertumbuh menjadi seorang pemuda yang aktif dalam
kegiatan dan pidato-pidato politik menentang dan mengritisi sistem kolonialisme yang
membelenggu Indonesia. Sukarno muda mendirikan Partai Nasional Indonesia. Sukarno telah
memiliki istri yang setia mendampingi perjuangan politik dalam suka dan duka bernama Inggit
Garnasih. Dia adalah ibu kost Sukarno yang sudah menjanda, saat Sukarno masih kuliah awal di
Bandung dan kemudian menjadi istri Sukarno. Peranan Inggit cukup menonjol dalam film ini
sebagai seorang perempuan yang setia mendampingi Sukarno saat dirinya menghadapi masa-
masa sulit baik ketika di penjarakan di L.P. Sukamiskin Banceuy maupun saat di buang ke Pulau
Ende. Kesetiaan Inggit bukan hanya dalam pendampingan melainkan mengeluarkan pembiayaan
atas perjuangan politik Sukarno.

Dalam fase ketiga ini diceritakan pula pidato politik Sukarno menimbulkan kemarahan Belanda
sehingga harus dijebloskan penjara Banceuy (1929). Dalam penjara, Sukarno tidak berdiam diri
dan terus membaca serta menganalisis yang dituangkan dalam tulisan-tulisan. Saat sidang
Landraad di Bandung (1930), Sukarno membacakan pledoinya dengan cemerlang dan berapi-api
yang kelak dibukukan dengan judul Indonesia Menggugat. Dalam pidatonya, Sukarno
menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah dikarenakan mengritisi sistem kolonialisme dan
membeberkan secara argumentatif. Pidatonya menggegerkan dunia internasional khususnya
pemerintahan Belanda dan pada 31 Desember 1931, Sukarno dibebaskan sebelum masa
tahanannya selesai. Akibat aktifitas politiknya paska pembebasan dari penjara dengan
mendirikan Partai Indonesia (Partindo) dan memimpin majalah partai yang radikal dengan nama
Fikiran Ra’jat, ahirnya pemerintahan Belanda membuang Sukarno ke Ende, Flores (1933).
Namun karena sakit malaria, kemudian Sukarno dipindahkan ke Bengkulu (1938).

Fase keempat menceritakan kehidupan Sukarno saat berada di pembuangannya di Bengkulu.


Sehari-hari dia mengajar di sekolah Muhamadiyah. Di Bengkulu inilah Sukarno terlibat asmara
dengan salah satu muridnya bernama Fatmawati, murid yang cantik dan cerdas serta kerap
bertanya di kelas. Inggit yang semula menerima keberadaan Fatmawati sebagai anak angkat
mulai gerah dan bereaksi keras saat Sukarno menyatakan hendak memperistri Fatmawati.
Pertengkaran kerap terjadi dalam rumah tangga Sukarno akibat kekecewaan Inggit dan
ketidakbersediaannya untuk menjadi madu karena di polgami.

Jepang saat itu mulai memasuki wilayah Indonesia khususnya Jawa (1942) dan membawa
perubahan radikal dan sistemik dalam kehidupan sosial dan politik Bangsa Indonesia saat masih
dijajah oleh Pemerintahan Belanda. Pemerintahan Jepang mendekati Sukarno untuk mendukung
propaganda Jepang yaitu 3 A yang terdiri dari Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia,
Nippon Pemimpin Asia. Karena propaganda tersebut tidak berhasil, Jepang kemudian menarik
perhatian rakyat Indonesia dengan mendirikan tentara PETA (Pembela Tanah Air). Namun
pendirian PETA ini dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh pergerakan untuk menjadi pasukan yang
kelak dipakai untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang dan menjadi cikal bakal Tentara
Nasional Indonesia. Tentara Pembela Tanah Air dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943
berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara Ke-16,
Letnan Jendral Kumakichi Harada.

Fase kelima, menghantarkan Sukarno kembali ke Jakarta (9 Januari 1942) oleh pemerintahan
Jepang. Dalam satu percakapan antara Sukarno dan Sakaguchi, perwira Jepang, terlontar
pernyataan, “Walanda (Belanda) yang memenjarakan Anda namun Nipong (Nippon)
membebaskan….!”, seraya meninggalkan Sukarno dan mengambil obor yang dipegangnya. Di
Jakarta, Sukarno bertemu dengan teman-teman perjuangannya yaitu Muhamad Hatta dan
Syahrir. Sukarno tinggal di rumah yang disediakan pemerintahan Jepang. Namun di Jakarta
inilah, saat Sukarno menerima kebebasan dari pembuangan, Inggit pun menuntut kebebasan
untuk tidak menjadi istri Sukarno dengan menuntut cerai. Tahun 1942, Sukarno bercerai dengan
Inggit dan sekaligus menikah dengan Fatmawati dan melahirkan putra pertamanya bernama
Guntur Sukarno Putra.

Sukarno, Hatta, Syahrir kerap terlibat diskusi dan perdebatan dalam melawan pemerintahan
Jepang. Sukarno memilih jalan kooperasi (kerja sama) sementara Syahrir memilih jalan
perlawanan fisik melalui PETA. Hatta berdiri netral sambil memberikan apresiasi terhadap kedua
pandangan sahabat-sahabatnya itu.

Tanggal 8 September 1944, bendera Merah Putih diijinkan berkibar namun hanya di wilayah
Jawa saja. Saat itu pemerintahan Jepang telah memberikan hadiah kemerdekaan kepada Bangsa
Indonesia namun pemerintahan Jepang di Indonesia tidak segera melakukan penyerahan
melainkan mempersiapkan teknis secara bertahap melalui panitia persiapan kemerdekaan
Indonesia.

Situasi Jepang paska pemboman Hiroshima dan Nagasaki diketahui oleh Syahrir melalui siaran
radio yang dipasang secara rahasia di rumahnya. Kondisi ini membuat Syahrir mendesak agar
Sukarno dan Hatta mengambil alih situasi dan menolak pemberian hadiah kemerdekaan oleh
Jepang dan segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Sukarno dan Hatta berbeda
pendapat dengan Syahrir. Mereka ingin kemerdekaan diproklamirkan melalui prosedur yang
telah dipersiapkan, sekalipun oleh pemerintahan Jepang. Hal ini menimbulkan kemarahan
Syahrir dan para pemuda yang sudah tidak sabar menginginkan kemerdekaan Indonesia
diproklamirkan secepatnya. Para pemuda sempat menculik Sukarno dan Hatta, sekalipun bukan
atas petunjuk Syahrir.

Dalam situasi genting ini, akhirnya Sukarno dan Hatta berhasil ditemukan dan terjadilah rapat
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
atau PPKI adalah panitia yang bertugas untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, sebelum
panitia ini terbentuk, sebelumnya telah berdiri BPUPKI namun karena dianggap terlalu cepat
ingin melaksanakan proklamasi kemerdekaan, maka Jepang membubarkannya dan membentuk
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Iinkai (Komite Persiapan
Kemerdekaan) pada tanggal 7 Agustus 1945 yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Pada tanggal 1 Juni
1945, sebuah persidangan di Volksraad telah membicarakan berbagai usulan Dasar Negara yang
pada akhirnya pidato Sukarno mengenai Dasar Negara diterima dengan nama Pancasila.

Film ini ditutup dengan kisah heroik dan mengharukan saat naskah Proklamasi dibacakan dan
bendera merah putih buatan Fatmawati dikibarkan. Bangsa Indonesia bersorak dan bersukacita
atas kebebasan yang diproklamirkan, Inggit yang menenun sepi di Bandung pun turut
bergembira atas berita kemerdekaan ini. Indonesia baru telah ditandatangani dan diproklamirkan,
sebuah pintu masuk menuju jembatan emas – sebagaimana tulisan Sukarno- baru saja dimulai.

Beberapa ulasan hendak saya sampaikan mengenai karya film ini beserta tanggapan terhadap
berbagai demonstrasi terhadap penanyangan film tersebut.

Pertama, mengenai alur tokoh Sukarno, Hanung Bramantyo telah memaparkan dengan baik
dalam bahasa film seorang Sukarno sebagai seorang pemimpin nasional menuju Indonesia
merdeka, Sukarno sebagai seorang suami serta Sukarno sebagai seorang lelaki dengan segala
kekurangan dan kelebihannya. Saya akan menggunakan pendekatan Analisis Dramaturgis
Sosiolog bernama Erfing Goffman yang berasal dari Kanada untuk mendekati persoalan di atas.
Goffman adalah Sosiolog Mazhab Interaksionis Simbolisme. Margaret M. Poloma dalam
bukunya, Sosiologi Kontemporer menjelaskan mengenai Analisis Dramaturgy buah pikir
Goffman sbb: Kehidupan sosial seperti sebuah arena pertunjukkan teater dimana ada bagian
depan (front region) dan bagian belakang (back region).

“Panggung depan adalah bagian penampilan individu yang secara teratur berfungsi di dalam
mode yang umum dan tetap untuk mendefinisikan situasi bagi mereka yang menyaksikan
penampilan itu. Di dalamnya termasuk setting dan personal front, yang selanjutnya dapat dibagi
mejadi penampilan (appearance) dan gaya (manner)”.

Ambillah contoh kehidupan seorang dokter. Setting seorang dokter adalah kantor.
Penampilannya memperlihatkan status sosialnya sebagai seorang dokter yaitu mengenakan jas
putih dengan tas dan stetoskop. Gaya seorang dokter memperlihatkan sikap tenang dan persuasif
dan meyakinkan pasien untuk memperoleh kesembuhan. Bagian depan kehidupan seorang dokter
selalu mengetengahkan sosok ideal.
Margaret M. Poloma melanjutkan:

”Disamping panggung depan yang merupakan tempat melakukan pertunjukkan tersebut, terdapat
juga daerah belakang layar. Identifikasi daerah belakang ini tergantung pada penonton yang
bersangkutan. Pada saat istirahat, kantor pribadi seorang dokter bisa merupakan sebuah ruangan
dimana dia dapat melepaskan jas putihnya, duduk santai dan bercanda dengan para juru
rawatnya. Sekalipun juru rawatnya dapat menyaksikan sang dokter di dalam keadaannya yang
demikian di dalam panggung belakang, tidaklah demikian halnya dengan para pasien. Beberapa
menit kemudian, kantor ini akan berubah menjadi ruang konsultasi dan oleh karenanya menjadi
panggung depan” .

Wagiyo dalam bukunya Teori Sosiologi Modern mengatakan:

“di panggung depan (front region), terjadi manipulasi sebagaimana terjadi di tempat-tempat
penjualan mobil. Sebaliknya, bagian belakang (the back region) merupakan tempat tertutup dan
tersembunyi dari pengamatan penonton dimana teknik-teknik dari ‘impression management’
dipraktikkan. Di back stage (belakang panggung) ini pula sang aktor dapat dengan santai
beristirahat, sebagaimana dikatakan oleh Goffman dibelakang panggung itu sang aktor dapat
meninggalkan bagian depan, dapat berbicara di luar skrip dan keluar dari karakter yang
dimainkannya”

Dengan menggunakan Analisis Dramaturgis Goffman, kita letakkan pada karya film Hanung
Bramantyo. Film “Soekarno:Indonesia Merdeka”, mengetengahkan sosok historis Sukarno di
‘panggung depan’ (front region) kehidupan sosial sebagai seorang pemimpin pergerakkan
menuju kemerdekaan Indonesia. Seluruh gambaran yang ditampilkan sebagai seorang tokoh
diidealisir sehingga menampilkan kesempurnaan sikap dan pikiran serta perilaku.

Namun demikian, Hanung tidak hanya berhenti menampilkan sosok historis Sukarno dari
wilayah ‘pangung depan’ (front region) melainkan menampilkan Sukarno dari wilayah
‘panggung belakang’ (back region). Sosok Sukarno di panggung belakang ini diperlihatkan
dalam karakter Sukarno kecil saat masuk sekolah di HBS dan mencintai apa adanya seorang
gadis Belanda, saat Sukarno hidup di penjara dan buang air kecil di penjara dalam sebuah wadah
dan membuangnya di luar pintu penjara, saat Sukarno terpikat hatinya pada Fatmawati dan
berusaha memperoleh perhatian dalam banyak kesempatan, saat Sukarno tersenyum bahagia
dikunjungi Gatot (diperankan Agus Kuncoro) temannya dan memberikan komentar tentang
Fatmawati dan anaknya, “Jujur, aku tidak bisa memungkiri hati kecilku kalau aku butuh anak!”

Dengan demikian, karya film Hanung tidak menempatkan sosok Sukarno sebagai tokoh metafisis
dan mitologis yang digambarkan dan diidealisir nyaris tanpa kecacatan sama sekali. Sebaliknya,
Hanung menyajikan tokoh Sukarno secara lengkap baik di “panggung depan” dan “panggung
belakang sekaligus”. Di sinilah letak kekuatan dinamis film Hanung yang bagi saya dapat
menyentak emosi kejiwaan sekaligus menorehkan kesan mendalam dalam momen-moment
penting yang disajikan sehingga membangkitkan jiwa patriotisme dan nasionalisme.

Kedua, mengenai keberatan dan gelombang protes serta demonstrasi. Saya justru melihat bahwa
mereka yang mempersoalkan isi film Hanung bukan hanya bersifat tidak substansial dan
irasional melainkan hanya memahami sosok Sukarno secara subyektif dan mitologis idealistik.
Mereka tidak membuka ruang obyektif bahwa Sukarno memiliki bagian lain dari kehidupan
sosialnya yaitu “panggung belakang” (back region) yaitu kehidupan pribadinya yang dikatakan
Goffman, “dibelakang panggung itu sang aktor dapat meninggalkan bagian depan, dapat
berbicara di luar skrip dan keluar dari karakter yang dimainkannya”, sehingga ketika muncul
beberapa adegan seperti “Sukarno kencing di penjara”, “Sukarno terpikat dan melakukan
pendekatan terhadap Fatmawati”, itulah bagian dari kehidupan keseharian yang alamiah dari
Sukarno.

Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam memberikan
keterangan saat ditemui Islahuddin wartawan merdeka.com di Gedung Widya Graha LIPI
mengenai perilaku Sukarno yang mudah buang air kecil sbb:

"Adegan itu memang dimungkinkan, bahwa Soekarno kencing di pinggir jalan pun juga
sebetulnya terjadi. Itu ada di bukunya Okman. Di sana juga diceritakan Soekarno pergi ke Istana
Bogor dengan iringan pengawalnya. Kemudian tiba-tiba Bung Karno ingin buang air kecil. Bung
Karno sendiri bermasalah dengan ginjalnya, dia kalau kencing harus cepat. Jadi tidak harus
menunggu, justru akan sakit.

Bung Karno minta turun, saat itu dalam perjalanan dari Jakarta ke Bogor di tengah jalan. Saat
mobil berhenti Bung Karno langsung turun dan langsung kencing. Saat kencing itu terdengar
suara penduduk di sekitar situ. Setelah kencing, Bung Karno menemui penduduk itu dan ngobrol
sebentar dan naik mobil lagi. Jadi gak ada masalah dengan adegan itu kalau pun ada. Bahkan
dalam pidato Bung Karno pada 1965 sampai 1967 dalam buku kumpulan pidato Bung Karno
yang baru diterbitkan belakangan ini. Di situ juga dikatakan, meminta Leimena memimpin rapat
karena mau ke belakang mau kencing. Jadi itu sesuatu yang manusiawi saja. Tapi kalau kencing
di pesawat, kesannya agak jorok ya dan adegan itu sudah dihilangkan dalam film itu"

Ketiga, mengenai keislaman Sukarno. Jika ada beberapa demostran mengecam jika film karya
Hanung menyebarkan gagasan Liberal dan mendistorsi keislaman Sukarno. Saya justru melihat
sebaliknya. Figur Sukarno yang disajikan Hanung Bramantyo sangat Islami dengan
dikedepankan gesture (sikap tubuh) ibadah sholat dan mengajar di sekolah Muhamadiyah di
Bengkulu. Tanpa bermaksud mengecilkan kualitas keislaman Sukarno (apalagi beliau pernah
bersama Sarikat Islam-nya Cokro Aminoto), namun beliau bukan tokoh yang mengusung
prinsip-prinsip religius dalam ranah politik. Nurani Soyomukti, dalam bukunya Soekarno dan
Nasakom mengatakan:

“Soekarno kecil tidak pernah mendapatkan pelajaran agama baik formal maupun informal.
Keluarganya lebih ke arah kejawen”.

Bahkan ayah Sukarno, Raden Soekemi adalah juga penganut ajaran Teosofi yang berkembang
tahun 1930-an di Hindia Belanda dan banyak anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
pernah didirikan Sukarno, masuk menjadi anggota Teosofi.

Selanjutnya Nurani Soyomukti menuliskan:

“Suatu ketika, seorang pengamat politik Indonesia, Clifford Geertz dalam ‘Islam Observed’
(1982) menuliskan: ‘Gaya religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri’. Kepada Louise
Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen dan Hindu. Di mata
pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai, ‘bergaya ekspnasif seolah-
olah hendak merangkul seluruh dunia”.

Dan Nurani Soyomukti membuat kesimpulan dan pandangannya mengenai keislaman Sukarno
sbb:

“Saya akan mengatakan, karna Bung Karno adalah seorang sinkretis, tetap saja Islamnya adalah
Islam sinkretis. Islam dicampuradukkan dengan ajaran-ajaran dan pemikiran lainnya. Islam
dikuatkan dengan cara pandang yang berasal dari luar Islam itu sendiri, sesuai dengan
pengalaman dan sosialisasi pemikiran yang diterima Bung Karno yang dipandangnya cocok
dengan kondisi dan masyarakatnya”.

Gambaran Sukarno seorang ideolog yang banyak membaca karya-karya pikir besar dan
berpengaruh baik Karl Marx, Hegel, Roesou, Hector Bywater yang kemudian mempengaruhi
konsep dan pemikiran politik Sukarno, kurang kuat ditonjolkan dalam karakter film Sukarno
hasil garapan Hanung Bramantyo. Bahkan ada kesan Hanung menetralisir keterpengaruhan
Sukarno kecil (diperankan oleh Emir Mahira) dengan gagasan-gagasan Marxisme dan Sosialisme
dan ini terekspresi dari percakapan Sukarno dengan gadis Belanda yang ditaksirnya, Mien Hessel
(diperankan oleh Mia) . Ketika Mien Hessel bertanya kepada Sukarno, “Apakah kamu seorang
Marxis?” Jawaban Sukarno kecil, “Tapi saya juga seorang Muslim!”.

Keempat, film ini bukan hanya mengedepankan aspek historis dan ketokohan Sukarno bersama
teman-teman seperjuangannya, namun memperlihatkan sebuah sisi lain dari kehidupan seorang
wanita yang melakukan dukungan bagi perjuangan Sukarno sekaligus pengorbanan, yaitu Inggit
Garnasih. Dalam film tersebut ditayangkan penggalan peran Garnasih yang mendukung Sukarno
saat berada di penjara Banceuy, Bandung, saat Sukarno berada di pengasingan baik di Ende,
Flores maupun Bengkulu. Bahkan Garnasih memberikan hartanya untuk mendukung perjuangan
politik Sukarno. Taufik Adi Susilo dalam buku Soekarno: Biografi Singkat 1901-
1970 mendeskripsikan kegigihan dan kesetiaan Inggit sbb:

“Jika Soekarno adalah api, maka Inggit menjadi kayu bakarnya. Ingit menghapus keringat ketika
Soekarno kelelahan dan menghiburnya ketika kesepian. Inggit menjahitkan ketika kancing baju,
Inggit hadir ketika Soekarno muda membutuhkan kehangatan perempuan sebagai ibu mauoun
teman…Dalam kamus hidupnya, hanya ada kata memberi dan meminta. Inggit menjual bedak,
meramu jamu dan menjahit kutang untuk nafkah keluarga, sementara Soekarno seperti singa
yang mengaum dari satu podium ke podium berikutnya, dan pikirannya tercurah untuk
pergerakkan. Inggit yang setia mencari uang. Inggit mencintai Soekarno tanpa pamrih”. Seorang
penulis blog mengutipkan ucapan Inggit saat Sukarno wafat sbb: “Ngkus, geuning Ngkus teh
miheulaan, ku Inggit didoakeun …” Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Inggit di
depan jasad Soekarno, mantan suaminya. Baginya Soekarno adalah cinta sejati, mantan suami
yang sangat dicintai dan dibanggakannya. Setelah bercerai, Soekarno sekali menyempatkan
menjenguk Inggit yang sakit-sakitan pada 1960 di Bandung”.

Mengenai pengorbanan Inggit, Taufik Adi Susilo kembali mendeskripsikan:

“…Ia memang mencintai Soekarno luar dalam, sebuah kecintaan yang membuatnya rela
menderita dan melarat. Tetapi, kecintaan itu tak membuatnya kehilangan karakter sebagai
seorang perempuan agung. Dari huku hingga hilir, Inggit tetap konsisten menolak poligami,
bahkan ketika ia harus kehilangan lelaki yang sangat dicintainya…Perceraian itu membuat Inggit
kehilangan kesempatan menikmati masa-masa emas menjadi istri Soekarno. Jika ia menerima
dimadu, boleh jadi dirinyalah yang akan menjadi ibu negara dan menikmati sejumlah fasilitas.
Tapi, Inggit menyadari bahwa tugasnya sebagai istri Soekarno telah usai. Ia telah menunaikan
dengan sebaik-baiknya sebuah tugas historis untuk mengantarkan seorang lelaki besar yang
pernah dilahirkan bangsa ini sampai ke gerbang cita-citanya”. Pengorbanan Inggit ini
dibahasakan oleh Hanung dalam kalimat penutup film, “Berjuang untuk kemenangan sendiri
adalah kekalahan sejati”.

Film, “Soekarno: Indonesia Merdeka”, terlapas dari konflik dan kontroversi yang
mengelilinginya – sebagaimana tokoh Soekarnopun penuh kontroversi - merupakan film bermutu
yang layak ditonton oleh generasi muda yang telah kehilangan ruh Patriotisme dan
Nasionalisme, untuk menemukan ruh zaman lampau untuk diterjemahkan dalam konteks
kekinian. Jika generasi muda gagal membangun mentalitas patriotik dan melakukan perubahan,
maka mereka akan menjadi generasi gagal sebagaimana disitir oleh Cipto Mangoenkusumo sbb:

“Keadaan yang akan datang bagi tanah air dan bangsa ada terletak di dalem keadaan sekarang
dan keadaan sekarang adalah kamu. Oleh karena itu janganlah kamu membiarkan barang sesuatu
jugapun untuk membikin terangnya waktu yang akan datang itu. Serahkanlah dirimu pada
pekerjaan yang menjadi kebahagiaan anak cucu kita agar supaya turunan kita tidak akan
mengatakan bahwa kita telah hidup tidak berguna!”

Anda mungkin juga menyukai