Anda di halaman 1dari 6

Identitas Narasumber

Nama : I Nyoman Linggih

Tempat,tanggal lahir : Manggissari,31 Desember 1961

Umur : 50 Tahun

Pekerjaan : Petani/Pekebun

Alamat : Banjar Manggissari, Desa Manggissari, Kecamatan


Pekutatan, Kabupaten Jembrana

Riwayat Pekerjaan :- Pernah menjabat sebagai Parisada Hindu


Dharma Banjar Adat Manggissari

- Pernah menjabat sebagai Kelian Adat banjar


Adat Manggissari
- Sekarang menjabat sebagai ketua Komite SD
Negeri 1
Manggissari
Asal Mula Bunut Bolong

Menurut tradisi rakyat setempat, bahwa masuknya penduduk ke Desa


Manggissari melalui dua arah yaitu dari arah utara ( Kabupaten Buleleng ) dan arah
selatan ( Desa Pekutatan, Jembrana ). Jalan dari arah selatan hanya berupa jalan
setapak yang melintasi hutan belantara.

Pada pemerintahan Belanda saat itu, dibuatlah jalan tembusan dari


Pekutatan menuju Pupuan. Dalam pembuatan jalan tersebut para pekerja mulai
mendapatkan kesulitan, dimana pada suatu bagian dari tempat yang akan dibuat
jalan terdapat sebuah pohon bunut besar yang harus segera ditebang. Namun hal
tersebut tidak dapat dilakukan karena kendala banyaknya pekerja yang sakit, dan
bahkan ada yang meninggal setelah mencoba untuk menebang Pohon Bunut besar
tersebut. Begitu pula upaya Belanda untuk membuat jalan di sisi kiri-kanan dari
Pohon Bunut tersebut tidak pernah berhasil. Maka satu-satunya cara yang
memungkinkan yaitu dengan membuat lubang pada bagian bawah pohon bunut
tersebut. Usaha untuk membuat lubang di bawah pohon bunut tersebut memakan
waktu yang cukup lama dan banyak pula memakan korban jiwa. Banyak pekerja
yang sakit dan meninggal dunia setelah memotong akar-akar dari pohon bunut
tersebut. Untuk itu Belanda kembali mendatangkan pekerja dengan jumlah yang
lebih banyak, pekerja tersebut sebagian besar adalah orang sasak. Korban pun
kembali berjatuhan hingga akhirnya ada seorang pekerja yang mengalami transe (
kesurupan ) dan meminta supaya dibuatkan pelinggih disebelah timur pohon bunut
serta harus mempersembahkan korban suci (mecaru ).

Setelah dibuatkan pelinggih berupa turus lumbung serta


dipersembahkannya korban suci ( mecaru ) pekerjapun dapat melanjutkan
pekerjaannya tanpa ada hal-hal aneh maupun korban jiwa seperti sebelumnya.
Dengan tembusnya pohon bunut tersebut maka daerah itu dikenal dengan sebutan
Banjar Bunut Bolong dan termasuk ke dalam wilayah desa Manggissari.

Selanjutnya setelah terbukannya jalan tembusan dari pekutatan menuju


pupuan, penduduk yang tinggal di sebelah utara pohon bunut dalam radius kurang
lebih 2 kilometer tertimpa wabah penyakit yang sangat sulit untuk diobati. Hampir
setiap harinya ada penduduk yang meninggal. Hingga pada suatu saat seorang
tapakan yang bernama Gusti Ayu memperoleh pawisik / pawuwus / wahyu bahwa
penduduk penduduk harus dipindahkan ke sebelah selatan pohon bunut dan
pelinggih yang dibuat di sebelah timur pohon bunut harus dipindahkan ke atas ( ke
sebelah barat pohon bunut ). Karena disana terdapat sebuah tawulan berupa batu
besar, tempat Dang Hyang Empu Sidhi Mantra melaksanakan pemujaan kehadapan
Ida sang Hyang Widhi Wasa dalam perjalanan beliau menuju pura Basakih.
Pelinggih tersebut harus disungsung oleh semua penduduk. Penduduk memenuhi
semua pawuwus tersebut. Penduduk mulai pindah ke sebelah selatan pohon bunut
serta pelinggih di sebalah timur pohon Bunut dipindahkan ke tempat yang telah di
tujuk yaitu di sebalah barat pohon bunut,tepatnya di samping sebuah batu besar.

Pelinggih tersebut dibuat hanya berupa pelinggih darurat ( turus lumbung


). Dengan dasar keyakinan penduduk akan isi dari pawuwus tersebut penduduk
mulai menyungsung pelinggih yang dibuat dan menyatakan tempat tersebut sebagai
tempat suci. Dengan dipenuhinya pawuwus tersebut, wabah penyakitpun sirna dan
penduduk selamat dari bencana.

Dengan diyakininya tempat suci tersebut pernah digunakan oleh Dang


Hyang Sidhi Mantra melaksanakan pemujaan kehadapan Ida Hyang Wudhi Wasa,
maka tempat suci tersebut kemudian disebut Pura puja Angga Sakti. Yang
disungsung pada pura tersebut adalah Ida Bagus Bang Manik Angkeran, putra dari
dang Hyang Mpu Siddhi Mantra yang tinggal di Bali. Pujawalinya disepakatin
setiap Anggara Kasih Julungwangi.

Kehidupan penduduk mulai normal kembali, mereka mulai mengerjakan


lahan pertanian dengan tekun tanpa mengabaikan pemujaan kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa. Selang beberapa lama terbentuklah sekeha seni sacral berupa
tari Sang Hyang Jaran yang diikuti oleh : Gusti Ayu selaku selir, Gusti Putu Dedet
selaku tapakan, Ketut Rakis selaku tapakan, Gusti Putu Rekeg selaku pemangku,
Nyoman Gampang selaku penginse / Jero Sepuh. Kelima oarng tersebut langsung
merupakan dukun dan ngiring pada tempat suci tersebut. Sehingga di pura ini
didirikan pelinggih Sang Hyang Jaran.
Tari Sang Hyang Jaran dipentaskan di Pura apabila penduduk dilanda
bencana serta sebagai sarana pada saat penduduk menginginkan hujan di musim
kemarau yang diikuti penyiraman air di atas tawulan. Tari Sang Hyang Jaran sangat
jarang dipentaskan kecuali pada saat hari-hari tertentu tadi. Sehingga pelinggih
Sang Hyang Jaran tidak terawat dan akhirnya rusak. Setelah rusaknya pelinggih
sang Hyang Jaran tersebut, ada lagi pawuwus / wahyu supaya penduduk membuat
pelinggih yang berbentuk Barong Macan dan Rangda yang bahannya dibuat dari
kayu bunut tersebut. Setiap ada wabah yang menimpa penduduk maka Barong
macan dan Rangda tersebut harus diiring ke perbatasan desa. Dengan adanya
Barong Macan dan Rangda ini maka tari Sang Hyang Jaran pun tidak pernah lagi
dipentaskan. Dan sampai sekarang Barong Macan dan Rangda ini tetap disungsung
masyarakat Desa Manggissari.

Yang menambah semakin tebalnya kepercayaan masyarakat terhadap


adanya Pura Puja Angga Sakti beserta Barong Macan dan Rangda tersebut adalah:

1. Pada suatu saat diadakan judian sabung ayam di halaman pura, salah
seorang bebotoh bersandar pada batu tawulan dan tidak bisa bangun
hingga pingsan. Setelah dimohonkan pengampunan di batu tawulan
tersebut dan diperciki tirta barulah orang tersebut sadar dan sembuh
seperti sedia kala.
2. Barong macan beberapa kali mengeluarkan Tirta dan dipercikkan pada
semua penduduk.

Seiring berjalannya waktu kehidupan Desa Manggissari semakin bertambah


mapan. Kesadaran dalam beragama semakin meningkat yang diiringi semakin
pesatnya pembangunan sarana keagamaan, termasuk pembangunan Pura Puja
Angga Sakti ini terus disempurnakan, diperluas serta dibangun lagi beberapa
pelinggih lain yang berhubungan dengan yang dipuja di Pura tersebut, serta
dikukuhkannya Pura Puja Angga Sakti tersebut melalui upacara ngenteg linggih.
Hasil Analisis

Itulah salah satu cerita rakyat dari Desa Manggissari,Kecamatan Pekutatan,


Kabupaten Jembrana. Adapun nilai-nilai kehidupan yang terkandung didalamnya
diantaranya:

 Nilai Ketuhana (Religius dan Magis) : Cerita rakyat tersebut mengandung


unsur nilai religious dan magis yaitu kepercayaan dan keyakinan yang
tinggi utamanya akan kekuatan, kemaha kuasaan Tuhan dan nilai
keagamaan yang tinggi. ( Mulai dari paragraf 3 sampai akhir ).
 Nilai Sosial Budaya : Cerita rakyat tersebut juga memperlihatkan nilai
kebersamaan antar warga Desa Manggissari yang bergotong royong untuk
membangun dan menjaga keasrian Bunut Bolong dan Pura Angga Sakti.
Terdapat pula unsur nilai budaya yang kental dengan nuansa keagamaan
yaitu Tari Sang Hyang jaran dan Barong macan dan Rangda yang diiring
setiapkali ada bencana maupun piodalan.
( Mulai dari paragraf 3 sampai akhir ).
 Nilai Sejarah : Dilihat dari segi sejarah, Bunut bolong merupakan salah satu
saksi bisu yang menyaksikan kekejaman Penjajahan Belanda yang
memeritah rakyat untuk membuat jalan tembusan Pekutatan-Pupuan. (
Paragraf 2 ).
TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER
AGAMA HINDU
“Asal Mula Bunut Bolong Desa Manggissari”

Oleh :

Nama : Ni Putu Ratna Puspitarini

NIM : 1115051060

Kelas : 1B

Jurusan : Pendidikan Teknik Informatika

Asal : Dsn.Juwuk Manis, Ds. Manggissari,

Kec. Pekutatan, Kab.Jembrana

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA


2011

Anda mungkin juga menyukai