Anda di halaman 1dari 2

Sejarah Desa Jati Wetan, tidak terlepas dari tokoh yang dipercaya sebagai pendiri Desa Jati Wetan,

yakni
Mbah Surgidjati.

“Sebagai tokoh yang sangat dihormati oleh warga masyarakat Desa Jati Wetan. Setelah wafat, beliau
dimakamkan di Desa Jati Kulon,” jelasnya.

Kenapa makamnya ada di luar desa, Suyitno menuturkan, dahulu Desa Jati Kulon dan Jati Wetan
tergabung menjadi satu desa, namanya Desa Jati. Pada saat Pemerintah Belanda berkuasa di Indonesia,
muncul kebijakan untuk memecah atau membagi satu desa menjadi beberapa desa. Alasannya untuk
membatasi wilayah kekuasaan seorang kepala desa, agar tidak terlalu luas sehingga lebih memudahkan
tugasnya.

“Saa itu, di antara desa yang dipecah adalah Desa Jati, menjadi Desa Jati Wetan dan Jati Kulon,” papar
Kades.

Kepala Desa Jati Wetan, Suyitno, latar belakang hamparan sawah yang subur. (Darmanto
Nugroho/ISKNEWS.COM)

Berkah apakah yang hingga kini dirasakan oleh warga masyarakat Desa Jati Wetan, sepeninggal beliau?
Masih kata Suyitno, Mbah Surgidjati selain seorang ulama ahli agama Islam, juga mumpuni di bidang
pertanian.

Dengan kepiawaiannya, hamparan lahan yang semula tidak bisa ditanami di Desa Jati, diolah menjadi
sawah yang subur dan menghasilkan padi yang melimpah. “Sampai sekarang, warga masyarakat Desa Jati
Wetan, masih merasakan berkah dari Mbah Surgidjati itu. Sawah yang subur dan hasil panennya selain
bagus juga banyak.”

Mengenai peninggalan Mbah Surgidjati di Desa Jati Wetan yang hingga kini masih bisa dilihat, adalah
Masjid Baitul Muttaqin. Masjid yang terletak di Gang Abiyoso, Desa Jati Wetan RT 03/RW 02 itu, kalau
dilihat sekilas terlihat seperti Masjid-masjid biasa pada umumnya.

Namun jika diperhatikan lebih dalam, pada bagian depan Masjid tersebut ada sebuah gapura yang belum
sempurna bentuknya. Karena itulah, gapura ini disebut Gapura Protol.

Gapura yang masuk dalam daftar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Kudus,
sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) itu, konon merupakan peninggalan Mbah Surgijati dan Mbah
Wadat.

Menurut cerita, ketika membangun gapura tersebut Mbah Surgijati kemanungsan (ketahuan oleh
manusia -red) yang kala itu orang tersebut sedang mengambil daun di sekitar areal itu.

“Selain Gapura Protol, bangunan yang masih asli peninggalam Mbah Surgidjati adalah Mustaka, Kayu Jati
Mustaka, Jemblok (imbangan -red) dan Bencet (jam matahari -red),” kata Kades yang sudah dua periode
menjadi orang nomer satu di desanya itu.
Untuk mustaka, sampai sekarang masih bisa di lihat di bagian paling atas Masjid Baitul Muttaqin. Konon,
mustaka tersebut merupakan hadiah dari Sultan Agung Hanyakrakusuma, Yogyakarta. Juga kayu jati
mustaka, terbuat dari kayu jati kuno yang kokoh terdapat angka tahun 1414 M.

Sedangkan untuk Jimbangan yang mempunyai garis tengah sekitar 1 meter, kini difungsikan sebagai bak
air tempat berwudlu. Juga Bencet sebagai penunjuk waktu salat, sudah tidak difungsikan lagi karena
tergeser oleh perkembangan teknologi.

Menurut penuturan para sesepuh berdasarkan cerita turun-temurun, dari mulut awal mulanya Mbah
Surgijati berasal dari Cirebon. Beliau adalah seorang utusan dari Sunan Gunung Jati yang diperintahkan
untuk melakukan perjalanan ke Provinsi Jawa Tengah.

“Sesampainya di Kudus beliau berdakwah di daerah Jati, setelah sebelumnya belajar agama terlebih
dahulu kepada Sunan Kudus,”

Nama : Yosia Marsa Kurniyanti

Kelas : XI MIPA 5

No. abs : 34

Anda mungkin juga menyukai