Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan karyawisayata merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
mengenal lingkungan sekaligus sebagai kegiatan study banding dengan objek nyata
yang diwarnai dengan ragam sosial dan keagamaan. Disamping itu juga kegiatan ini
merupakan media pengembangan pembelajaran bagi siswa untuk memperluas
wawasan ilmu pengetahuan dan agama serta mempertebal rasa cinta terhadap Islam
yang pada akhirnya dapat mempertinggi wawasan derajat keimanan terhadap Allah
SWT.
B. Tujuan
Kegiatan karyawisata ini bertujuan untuk menambah wawasan siswa dalam
memahami materi pembelajaran terutama mengenai sejarah perkembangan Islam
yang merupakan bagian dari sejarah Indonesia, sehingga dengan kegiatan ini siswa
mempunyai pemahaman bukan hanya dari teori yang disampaikan di kelas, akan
tetapi dari kegiatan mengamati secara langsung peninggalan dari tokoh atau objek
yang dikunjungi.
Secara khusus kegiatan karyawisata bertujuan:
o Memperluas wawasan ilmu pengetahuan dan keagamaan siswa tentang
sejarah Islam diluar jam plajaran atau diluar jam tatap muka di sekolah.
o Melatih siswa agar mampu mengumpulkan data, menganalisis, dan
menyimpulkan hasil penelitian yang sistematis dan logis.
o Siswa memperoleh pengalaman dan pengetahuan praktis yang dapat
dijadikan daras pengembangan pengetahuan untuk meningkatkan intelektual
mereka.
o Menunjang kelancaran kegiatan belajar mengajar di kelas yang selama ini
banyak dipelajari teori dan dengan kegiatan karyawisata ini, siswa dapat
mengikuti kegiatan belajar mengajar di luar sekolah dengan metode
observasi dan penelitian langsung.
o Menumbuh kembangkan nilai keagamaan untuk lebih mencintai Islam.

C. Jadwal Kegiatan
Kegiatan dilaksanakan pada tanggal 17 Januari 2016 s.d. 18 Januari 2016.
1

D. Objek yang dikunjungi


Objek yang dikunjungi yaitu:
1) Masjid Agung Purworejo
2) Makam Sunan Kalijaga
3) Masjid Kalijogo
4) Masjid Agung Demak
5) Museum Masjid Agung Demak
6) Makam Sunan Bonang
7) Makam Raden Fatah
8) Makam Gunung Pring
9) Makam Mbah Dalhar
10) Malioboro

BAB II
PEMBAHASAN
A. MASJID AGUNG PURWOREJO

Di sebelah barat alun-alun besar Kabupaten Purworejo, suatu ketika berdirilah


masjid besar dan agung yang merupakan kebanggaan seluruh umat Islam Purworejo
hingga kini. Masjid yang diberi nama Masjid Agung Kabupaten Purworejo ini
menempati tanah wakaf seluas kurang lebih 70 x 80 m2 dengan ukuran 21 x 22 m2
ditambah gandok berukuran 10 x 21 m2.
1. Sejarah Masjid Agung Purworejo
Menurut sejarah, setelah berakhirnya Perang Diponegoro (1825 1830),
Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu mengangkat pemimpin dari kalangan pribumi
untuk memerintah wilayah Tanah Bagelen (Purworejo sekarang). Sebagai Bupati
kemudian diangkat Kangjeng Raden Tumenggung Cokronegoro I dan jabatan pepatih
(pembantu Bupati) dipercayakan kepada Raden Cokrojoyo. Pada masa pemerintahan
Bupati Cokronegoro I ini mulai dibangun beberapa gedung (gedhung) terutama untuk
memperlancar kegiatan-kegiatan pemerintahan.
Di sebelah utara alum-alun didirikan Gedung Kabupaten beserta Pendhapa
Agengnya untuk tempat bersidang. Gedhung yang terdiri dari dua buah bangunan ini
disebut paseban, yaitu tempat para abdi Kabupaten, Lurah dan rakyat menungg
panggilan menghadap ke Kabupaten. Beberapa saat kemudian atas perintah Bupati
3

Cokro I dibangun pula Masjid Agung Kabupaten Purworejo untuk tempat ibadah.
Masjid ini berdasarkan tulisan dalam Prasasti yang ditempelkan di atas pintu utamanya,
selesai di bangun pada tahun Jawa 1762 atau tahun 1834 Masehi.
Ada beberapa alasan mengapa letak bangunan masjid harus berada di kota
Purworejo. Salah satu alasannya bahwa Kota Purworejo terletak di daerah yang
dikelilingi oleh perbukitan, yiatu bukit Menoreh di sebelah timur, bukit Geger
Menjangan di sebelah utara, dan Gunung Pupur di sebelah Barat. Alasan lainnya bahwa
Kota Purworejo berada diantara dua aliran sungai, yaitu Kali Bogowonto dan Kali Jali
dengan latar belakang Gunung Sumbing. Dalam ilmu kalang (Kawruh Kalang) yaitu
ilmu kejawen yang mempelajari pengetahuan masalah perencanaan dan pembuatan
bangunan jawa, letak tanah pada keadaan demikian disebut "Tanah Sungsang Buwana"
atau "Kawula Katubing Kala". Orang-orang Tanah Bagelen ketika itu percaya bahwa
apabila sebuah bangunan didirikan pada letak Tanah Sungsang Buwana, maka orangorang yang mendiami atau menggunakannya akan disegani dan dicintai oleh banyak
orang atau menjadi kepercayaan para pembesar.
2. Bedug Kyai Bagelen
Setelah masjid dibangun lalu muncul ide baru dari Bupati Cokronegoro I untuk
melengkapinya dengan sebuah Bedug yang harus dibuat istimewa sehingga menjadi
tanda peringatan di kemudian hari. Keberadaan Bedug menurut Bupati Cokronegoro I
sangat diperlukan adik sang Bupati yaitu Mas Tumenggung Prawironegoro Wedana
Bragolan, disarankan agar bahan Bedug dibuat dari pangkal (bongkot) pohon Jati.
Bahan baku dari pohon jati tadi sesungguhnya berasal dari Dukuh Pendowo, Kecamatan
Purwodadi, Kabupaten Purworejo.
Dari cerita lisan yang turun temurun, pohon-pohon jati yang terdapat di Dukuh
Pendowo telah berusia ratusan tahun dengan ukuran besar-besar bahkan ada yang
bercabang lima. Dalam ilmu kejawen, pohon-pohon jati besar bercabang lima yang
disebut Pendowo mengandung sifat perkasa dan berwibawa.
4

Pembuatan Bedug yang dikenal sebagai Bedug Kyai Bagelen (Bedug


Pendhawa) ini diperkirakan dilakukan pada tahun jawa 1762 atau tahun 1834 masehi
bersamaan dengan selesainya pendirian bangunan Masjid Agung. Cara pembuatan
bedug ini dimulai dengan menghaluskan permukaan bongkot kayu jati, kemudian
bagian tengahnya dilubangi hingga tembus dari ujung ke ujung (growong) dan
dihaluskan kembali. Sebagai penutup bedug, mula-mula digunakan bahan dari kulit
banteng. Akan tetapi, setelah 102 tahun kemudian (3 mei 1936) kulit bedug bagian
belakang mengalami kerusakan sehingga diganti dengan kulit sapi ongale (benggala)
dan sapi pemacek yang berasal dari Desa Winong, Kecamatan Kemiri Kabupaten
Purworejo. Sedangkan di dalam Bedug Kyai Bagelen di pasang sebuah gong besar yang
berfungsi untuk menambah getaran dan bunyi (anggreng).
Ada persoalan baru ketika bedug selesai dibuat, yaitu persoalan pemindahan
dari Dukuh Pendowo (Jenar) ke Kota Purworejo, seperti diketahui, jarak Pendowo Purworejo cukup jauh yaitu sekitar 9 kilometer dengan kondisi jalan yang sangat sukar
dilalui. Untuk mengatasi persoalan ini tentunya dibutuhkan seorang pemimpin yang
mempunyai kelebihan, kebijaksanaan dan keberanian di dalam menjalankan tugas.
Bupati Cokronegoro I atas usul adiknya Raden Tumenggung Prawironegoro
mengangkat Kyai Haji Muhammad Irsyad yang menjabat sebagai Kaum (Lebai/Naib) di
desa Solotiyang, Kecamatan Loano untuk mengepalai proyek pemindahan Bedug Kyai
Bagelan. Atas kepemimpinan Bedug sang Kyai, saat itu oleh para pekerja diangkat
secara beramai-ramai diiringi bunyi gamelan lengkap dengan penari tayub yang telah
menanti di setiap pos perhentian.
Akhirnya setelah melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, Bedug Kyai
Bagelen tiba di Masjid Agung Kabupaten Purworejo. Kini, Bedug kyai Bagelen
diletakkan di sebelah dalam serambi Masjid. Barang siapa ingin mendengar suaranya,
datanglah pada saat Ashar, Maghrib, Isya, Subuh dan menjelang shalat Jum'at. Di
5

samping itu, pada setiap saat menjelang sholat Sunat Idul Fitri dan Idul Adha, acaraacara atau peristiwa-peristiwa keagamaan Islam dan memperingati detik-detik
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Bedug Kyai bagelen selalu ditabuh untuk
memberi tanda dan penghormatan.
Data-data teknis Bedug kyai Bagelen:- Panjang rata-rata = 292 centimeterGaris tengah bagian depan = 194 centimeter- Garis tengah bagian belakang = 180
centimeter- Keliling bagian depan = 601 centimeter- Keliling bagian belakang = 564
centimeter
B. MAKAM SUNAN KALIJAGA

Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. Putera Adipati Tuban yaitu
Tumenggung Wilakita. Tumenggung Wilakita seringkali disebut Raden Sahur, walau dia
termasuk keturunan Ranggawale yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah
masuk agama Islam.
Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru
agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang
kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak.
1. Makam Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga wafat dan dimakamkan di desa "Kadilangu" Demak. Menurut


cerita rakyat

Sunan Kalijaga bertempat di desa Kadilangu dimungkinkan karena

pertimbangan supaya dekat dengan Demak sebagai pusat pemerintahan Islam saat itu.
Dengan demikian memudahkan beliau mengadakan kontak dengan pusat pemerintahan.
Sampai akhir hayatnya beliau berada di desa Kadilangu dan dimakamkan di desa ini
juga.
Kadilangu adalah kelurahan di Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jawa
Tengah, Indonesia. Di kelurahan ini terdapat Masjid Sunan Kalijaga, yang didirikan
pada tahun 1532. Di dekat masjid ini, terdapat Makam Sunan Kalijaga.
Setiap hari makam Sunan Kalijaga banyak dikunjungi orang yang kebanyakan
bertujuan untuk ziarah di makam beliau, meskipun kadang-kadang ada juga yang datang
sekedar hanya ingin tahu makam pembuat sejarah penting di tanah Jawa ini. Pada harihari tertentu makam Sunan Kalijaga ramai, banyak orang berziarah, terutama hari Ahad,
Kamis dan Jumu'ah. Bahkan lebih ramai lagi pada hari Kamis malam Jumu'ah Kliwon,
baik yang tua maupun yang muda. Terlihat pada waktu mereka berziarah di makamnya,
ada yang membaca surat Yaa-siin, ada yang membaca Tahlil dan bahkan ada yang terus
melakukan riyadlah beberapa hari di makam tersebut.
C. MASJID KALIJOGO

Masjid Sunan Kalijaga Kadilangu berada di Kelurahan Kadilangu, Kabupaten


Demak. Masjid itu dibuat secara pribadi dari salah-satu walisongo tokoh penyebar
agama Islam di Jawa, Sunan Kalijaga. Letaknya dari Semarang sekitar 26 kilometer
dan berada di Jalan Raden Fatah Sahid.
Menurut salah satu pengurus masjid, Masjid Kadilangu berdiri sejak 1534
lebih tua dibandingkan dengan Masjid Agung Demak yang didirikan pada 1578. Hal
itu bisa dilihat diukiran kayu yang terletak di atas pintu utama masuk masjid yang
bertuliskan Arab dengan terjemahan dalam bahasa Jawa "Punika Ngadekkipun
Masjid Dina Ahad Wage Sasi Dzulhijah" bertepatan pada tahun tersebut.
Selain tergolong masjid tua, tempat ibadah itu memiliki keunikan yang lain
yakni mustaka yang atapnya mirip dengan berbagai masjid lama seperti Masjid
Agung Demak, Masjid Agung Kauman Semarang serta banyak lagi, atap limasan itu
bersusun dua. Di kubah terpasang pengeras suara yang difungsikan untuk
mengumandangkan azan agar terdengar hingga ke pelosok daerah.
Peninggalan Sunan Kalijaga
Saat masuk ke serambi masjid terdapat dua buah beduk yang berfungsi
sebagai penanda masuk waktu shalat. Dari dua beduk itu salah satunya yang berada
di sebelah kiri masjid merupakan peninggalan Sunan Kalijaga. Bedug bersejarah itu
hingga saat ini masih kuat dan terlihat kokoh.
Setelah melihat serambi, di ruangan utama masjid terdapat saka guru atau
tiang masjid yang berjumlah empat buah semuanya masih asli dan terbuat dari kayu
jati. Begitu pula pintu dan jendela masjid masih utuh dari kayu jati belum diganti.
Delapan tahun lalu masjid itu dirombak, sehingga saat ini ada beberapa
bangunan tambahan untuk mendukung fungsi masjid seperti tempat wudhu serta
lantai di keramik putih.
Menurut Raden Suprayitno Prawiro Kusumo yang juga merupakan Keturunan
Sunan Kalijaga ke 14, sewaktu Sunan Kalijaga masih hidup, Masjid Kadilangu itu
8

masih berupa surau kecil. Setelah Sunan Kalijaga wafat dan digantikan oleh
putranya yang bernama Sunan Hadi (putra ketiga) surau tersebut disempurnakan
bangunannya sehingga menjadi masjid seperti yang kita lihat sekarang ini.
Setiap kali menyambut bulan ramadan, Masjid Sunan Kalijaga juga
menyelengarakan acara ramadan seperti pengajian sesudah sholat Subuh, Dzuhur,
dan Ashar. Sedangkan sesudah sholat Magrib diadakan takjilan atau menu untuk
buka puasa bersama. Takjilan ini biasanya sumbangan dari masyarakat sekitar
masjid, yang sudah ditentukan jadwalnya secara bergiilr. Selain itu ada tadarusan
setelah sholat Isya dan Tarawih.
Ketika Bulan Ramadhan kebanyakan yang menyemarakkan masjid tersebut
hanya warga sekitar, sedangkan pengunjung dari luar sedikit tidak seperti bulan
biasa. Tidak jauh dari masjid terdapat makam Sunan Kalijaga yang banyak
dikunjungi saat sebelum puasa.
D. MASJID AGUNG DEMAK

Masjid Demak kini telah berusia 528 tahun. Bangunan ini merupakan masjid
tertua di Jawa dan merupakan salah satu cikal bakal perkembangan Islam di Pulau
Jawa, sampai kerajaan Islam di Banten.
Konon masjid yang didirikan oleh 9 wali ini dibangun hanya dalam 1 malam.
Sayangnya bangunan yang berdiri tahun 1478 Masehi ini, tidak lagi dapat dinikmati
sepanjang hari. Karena masjid ini dibuka untuk umum hanya pada sholat Jumat,
Idul Fitri dan Idul Adha saja.
Peranan Wali Songo amat besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa.
Mereka melakukan dalam lingkungan penganut agama Hindu yang amat kental,
yang pada waktu itu merupakan kepercayaan mayoritas masyarakat Jawa. Mereka
berdakwah melalui pendekatan yang menjadi kebiasaan masyarakat setempat seperti

tradisi kesenian serta ritual-ritual lain. Dengan perjuangan mereka, akhirnya agama
Islam dapat diterima sebagai keyakinan sebagian besar masyarakat Pulau Jawa.
Bahkan seorang ulama terkemuka di Jateng, KH. Ali Asad mengemukakan
bahwa ajaran Islamlah yang paling sesuai dengan sikap Jawa. Misalnya saja sikap
lemah lembut yang ditekankan dalam Al-Quran, adalah sikap masyarakat Jawa
pada umumnya. Demikian beliau mencontohkan.
Dibangun satu malam
Rencana pembangunan masjid ini disepakati beberapa Wali Allah yang kita
kenal dengan Walisongo. Mereka bersepakat mendirikan Masjid di wilayah Demak,
mengingat pusat wilayah ini yang strategis dan juga merupakan kerajaan Islam
pertama di Jawa.
Para Wali itu adalah Sunan Bonang dari Lasem, Sunan Tuban, Sunan Gunung
Jati dari Cirebon, Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga, Sunan Kadilangu dan Sunan
Demak. Menurut cerita, masjid ini dibangun hanya dalam tempo 1 malam.
Pembangunannya dimulai selepas sholat Isya dan menjelang sholat subuh, masjid
sudah dapat dipakai untuk berjamaah sholat subuh.
Ciri khas yang tampak pada bangunan ini adalah, masjidnya memiliki 3
kubah. Masing-masing kubah melambangkan filosofi tingkat kehidupan manusia,
dalam hubungannya dengan Allah, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Sedangkan mustaka
masjid itu, terbuat dari tembaga seberat 250 kg. berhiaskan 4 sudut bunga padma
(teratai), di dalam kelopak atas bunga teratai itu, tersimpan mustaka yang konon
berisi nasi liwet yang dikeringkan (kerak nasi).
Masjid Demak memiliki 4 tiang penyangga yang dikenal dengan sebutan
empat soko guru. Dan satu tiang tatal (tambahan). Tiang-tiang tersebut memiliki
ketinggian 16,30 m, dengan ketebalan 8-11 cm. sedangkan tiang tatal lebih tinggi,
yakni 16,75 m dengan ketebalan 11 cm.
Masing-masing tiang didirikan oleh para wali. Para wali tersebut antara lain:
Tiang bagian barat laut didirikan oleh Sunan Bonang dan Sunan Tuban
Tiang bagian barat daya didirikan oleh Sunan Gunung Jati
Tiang bagian tenggara didirikan oleh Sunan Ampel
Tiang bagian timur laut didirikan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Kadilangu dan
Sunan Demak
Setelah tiang itu berdiri, ternyata masih kurang kuat. Akhirnya ditambah tiang
bagian tengah sebagai tambahan (tatal) oleh Sunan Kalijaga. Tiang tatal tersebut
bukanlah terbuat dari kayu jati seperti 4 soko guru lainnya. Melainkan serpihanserpihan kayu yang disatukan dan diikat menjadi satu.

10

Sesuai perkembangan, kini juga berdiri menara adzan yang terbuat dari baja.
Di dalam Masjid, masih tersimpan benda-benda bersejarah seperti kursi kencana dan
mimbar yang dulunya merupakan krusi singgasana Raden Fatah. Sedangkan, depan
masjid yang terkenal, bedug, kentongan, AlQuran 30 Juz tulisan tangan dan
peninggalan lainnya tetap tersimpan rapi di museum yang terletak persis di samping
kiri masjid.
E. MUSEUM MASJID AGUNG DEMAK

Jl. Sultan Patah No. 57 Kec. Bintaro, Kab. Demak


Telp. : (0291) 685532
Faks. : (0291) 685532
Museum Masjid Agung Demak adalah sebuah museum yang terletak di dalam
kompleks Masjid Agung Demak dalam lingkungan alun-alun kota Demak. Masjid
Agung Demak merupakan masjid tertua di Pulau Jawa, didirikan Wali Sembilan atau
Wali Songo. Museum ini menyimpan berbagai barang peninggalan Masjid Agung
Demak. Museum berdiri di atas lahan seluas 16 meter persegi ini menyimpan bendabenda bersejarah yang mencapai lebih dari 60 koleksi.
Beberapa koleksi tersebut antara lain : bagian-bagian sokoguru (sokoguru Sunan
Kalijaga, sokoguru Sunan Bonang, sokoguru Sunan Gunungjati, sokoguru Sunan Ampel
, sirap, kentongan dan bedug peninggalan para wali, dua buah gentong (tempayan besar)
dari Dinasti Ming hadiah dari Putri Campa abad XIV, Pintu Bledeg buatan Ki Ageng
Selo yang merupakan condrosengkolo berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani yang berarti
angka tahun 1388 Saka atau 1466 M atau 887 H, foto-foto Masjid Agung Demak tempo
dulu, lampu-lampu dan peralatan rumah tangga dari kristal dan kaca hadiah dari PB I
tahun 1710 M, kitab suci Al-Quran 30 juz tulisan tangan, maket masjid Demak tahun
1845 1864M, beberapa prasasti kayu memuat angka tahun 1344 Saka, kayu tiang tatal
11

buatan Sunan Kalijaga, lampu robyong masjid Demak yang dipakai tahun 1923 1936
M.
F. MAKAM SUNAN BONANG
1. Sunan Bonang

Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana
Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila.
Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Rembang. Nama Sunan Bonang
diduga adalah Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong
Swi Hoo alias Sunan Ampel.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya
berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota
Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat dia meninggal,
kabar wafatnya dia sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura.
Sang murid sangat mengagumi dia sampai ingin membawa jenazah dia ke
Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat
membawa kain kafan dan pakaian-pakaian dia. Saat melewati Tuban, ada
seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada
murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka
memperebutkannya. Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Bonang disebut
Sayyid Kramat merupakan seorang Arab keturunan Nabi Muhammad.
2. Makam Sunan Bonang

12

Sunan Bonang yang dimakamkan dikota Tuban - Jawa Timur. Makam ini
menjadi kawasan wisata religi yang didatangi oleh banyak wisatawan .
Gapura itu berbentuk khas dan unik. Sebuah jalan kecil terdapat di
bagian tengahnya dan di sisi timurnya.Pada dinding gapura juga terdapat hiasan
berupa tempelan piring-piring keramik kuno. Umumnya piring-piring dalam
berbagai ukuran itu berwarna putih dengan hiasan tulisan Arab dan hiasanhiasan lainnya yang berwarna biru, hitam dan merah.
Gapura yang bernama Paduraksa itu merupakan salah satu gapura di
kawasan wisata makam Sunan Bonang yang menjadi

jejak budaya masa

lampau. Sebagai situs dan cagar budaya, Kompleks Makam Sunan Bonang di
Kota Tuban Jawa Timur terdapat banyak benda bersejarah . Di sana, kita bisa
menjumpai beberapa gapura dengan bentuknya yang cukup unik.
Gapura yang berwana putih dengan hiasan tulisan arab di bagian atas dan
*Ukir-ukiran* tingginya sekitar 2,5 meter dengan atap terbuat dari kayu dan
berbentuk sirap. Melewati gapura ini sekitar 10 meter berikutnya ada lagi gapura
berbentuk paduraksa dan dengan tinggi sekitar 5 meter. Pada gapura yang pada
beberapa bagiannya banyak ditumbuhi Lumut terdapat tiga pintu masuk. Pintu
masuk di bagian tengah tampak lebih tinggi dibanding pintu masuk di sebelah
kanan dan kirinya. Melewati gapura ini terdapat masjid Astana Sunan Bonang
dan kantor.
Selain itu, di sekitar gapura-gapura itu juga terdapat benda-benda kuno
lainnya yang tersimpan di dalam Pendapa Rante atau juga disebut Bale Rante,
yaitu bangunan pelindung

yang terbuat dari kayu dan bentuknya seperti

pendapa dalam ukuran kecil.


13

Pendapa Rante itu berada di depan Gapura Paduraksa pada sebelah barat
dan sebelah timur yang seolah mengawal Gapura Paduraksa. Kedua Pendapa
Rante itu dipisahkan oleh sebuah jalan yang menuju dan melewati gapura
Paduraksa.Di sekitar Pendapa Rante ini banyak terdapat makam kuno lainnya.
Masing-masing Pendapa Rante yang atapnya berbentuk sirap itu
berukuran sekitar 2x3 meter dengan ketinggian sekitar 2 meter. Terdapat pagar
besi yang mengelilingi Pendapa Rante. Di dalam Pendapa rante terdapat bendabenda peninggalan masa Sunan Bonang.
Diantaranya berbentuk batu nisan kuno yang bertuliskan huruf Arab dan
terbuat dari batu putih, batu kotak semacam lesung, batu berlubang dan batu
bergaris.

G. MAKAM RADEN FATAH

Raden Patah merupakan putra Raja Majapahit yaitu Brawijaya V dengan


putri asal Campa (Kamboja) Putri Dwarawati Murdiningrum yang telah masuk
Islam. Raden Fatah kemudian menjadi perintis berdirinya kerajaan Islam pertama di
Jawa. Kelahiran Demak tersebut mengakhiri masa Kerajaan Majapahit dimana
kemudian sebagian penganut Hindu pada masa itu berpindah ke Bali dan sebagian
lagi ke Tengger.
Raden Patah meninggal pada usia 63 tahun karena sakit yang dideritanya. Ia
dimakamkan tidak jauh dari masjid Agung Demak dan hingga saat ini makam raden
patah tersebut masih tetap terawat dengan baik dan ramai dikunjungi banyak orang.
H. MAKAM RADEN SANTRI GUNUNG PRING

14

Gunung Pring atau dalam bahasa Indonesia Gunung Bambu, adalah sebuah
desa yang terletak di kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang. Desa ini
dinamakan Gunung Pring karena di ditengah-tengah desa ada sebuah bukit yang
banyak ditumbuhi pring (pohon bambu) yang sangat rimbun. Gunung Pring
memiliki ketinggian 400 m diatas permukaan air laut.
Di puncak Gunung Pring terdapat sebuah kompleks makam milik Kraton
Yogyakarta. Di sini dimakamkan salah seorang wali tanah Jawa, yakni Kyai Raden
Santri (Pangeran Singosari Mataram), salah seorang putra Ki Ageng Pemanahan,
dan juga merupakan keturunan Prabu Brawijaya V. Di dalam kompleks makam
tersebut terdapat sebuah Mushola yang diberi nama Mushala Pangeran Singasari.
Makam Kyai Raden Santri yang terletak di Desa Gunung Pring,
Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang adalah komplek makam keluarga
keraton atau komplek makam Puroloyo. Makam tersebut adalah makam keluarga
Kyai Raden Santri. Dalam makam tersebut hanya terdapat dua makam Nyai. Makam
tersebut memiliki susunan melingkar dimana pada bagian tengah komplek makam
terdapat ruang kosong. Dari penelitian dan wawancara yang dilakukan makam ini
memiliki susunan melingkar tidak memiliki maksud apa-apa. Sedangkan
terdapatnya dua orang Nyai yang dimakamkan di tempat tersebut dikarenakan Nyai
Harun dan Nyai Gus Jogo Rekso adalah termasuk keluarga dalam atau keturunan
langsung dari Kyai Raden Santri. Berbeda dengan istri-istri dari kyai yang lain
kemungkinan berbeda silsilah dengan Kyai Raden Santri sendiri.
I. MAKAM MBAH DALHAR

15

Menurut cerita, Mbah Kyai Dalhar lahir di komplek Pesantren


Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang, Rabu 10 Syawal 1286 H atau 10
Syawal 1798 - Je (12 Januari 1870 M). Beliau adalah putera seorang muddai
ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo yang tidak lain
adalah panglima perang Pangeran Diponegoro. Di Desa Watu Congol tersebut,
Mbah Kyai Dalhar meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman).
Semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai
ilmu agama. Pada masa kanak - kanaknya, beliau belajar Al-Quran dan beberapa
dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri.
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar
secara umum adalah Kitab Tanwirul Maani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab
tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar
As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Murid murid beliau
banyak yang menjadi tokoh - tokoh ulama terkenal di antaranya adalah KH
Mahrus (Lirboyo), KH Dimyathi (Banten), KH Marzuki, Giriloyo dll. Mbah
Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 - Jimakir (1378 H)
atau bertepatan dengan 8 April 1959 M.
Di komplek Gunung Pring juga terdapat makam ulama lain: seperti
Raden Santri, Kiai Harun, Gus Jogo serta kerabat lainnya. Untuk bisa sampai ke
makam tersebut, anda dapat menggunakan kendraan pribadi maupun angkutan
umum bus dari Yogyakarta maupun Semarang. Lokasi makam mudah dijangkau.
Dari Kota Jogja pewisata ziarah dengan kendaraan umum bus ditempuh melalui
terminal Giwangan menggunakan bus jurusan Jogja Semarang atau Magelang
turun di Muntilan. Dari terminal naik angkutan kota ke arah Gunung Pring.
16

J. MALIOBORO
1. Sejarah Malioboro

Nama Malioboro merupakan penyesuaian lidah Inggris ke lidah Jawa dari


nama Benteng Malborough. Penamaan Malioboro ini diadopsi dari nama
seseorang anggota kolonial Inggris yang pernah menduduki Daerah Istimewa
Yogyakarta pada tahun 1811 1816 Masehi yakni
Kawasan malioboro yang

Herzog Von Malborough.

terletak di pusat kota wilayah Daerah Istimewa

Yogyakarta ini memiliki sejuta sejarah dan memiliki sejuta nilai estetika
kebudayaan. Sejak sekitar tahun 1916, kawasan Malioboro sebelah selatan dikenal
sebagai pemukiman Pecinan, yang ditandai dengan rumah-rumah toko yang menjual
barang-barang kelontong, emas dan pakaian.
Tempat ini tepatnya terletak sekitar 800 meter dari Kraton Yogyakarta dan
masih kepunyaan keluarga Kraton Yogyakarta Hadiningrat. Malioboro yang dalam
bahasa sansekerta berarti karangan bunga menjadi dasar penamaan jalan tersebut.
Jalan di kawasan malioboro yang dulunya sangat sempit dengan panjang hanya dua
kilometer menjadi saksi perjuangan saat Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948,
juga pernah menjadi lahan pengembaraan para seniman yang tergabung dalam
komunitas Persada Studi Klub (PSK) dengan pimpinan seniman Umbul Randu
Paranggi semenjak tahun 1970-an hingga sekitar tahun 1990.
17

Malioboro adalah jantung kota Jogjakarta yang tak pernah sepi dari
pengunjung. Malioboro didirikan oleh para pedagang dari cina. Nama Malioboro
diambil dari nama seorang Duke Inggris yaitu Marlborough yang pada menduduki
kota jogjakarta dari tahun 1811 M hingga 1816 M.
Sejak zaman dulu, Malioboro telah menjadi pusat kota dan pemerintahan.
Berbagai gedung sejarah menjadi saksi perjalanan Malioboro dari sebuah jalanan
biasa hingga menjadi salah satu titik terpenting dalam sejarah Jogjakarta.
Diantaranya adalah Gedung agung yang didirikan pada tahun 1823M dan
merupakan rumah Residen Belanda pada saat itu, Benteng Vredeburg yang
merupakan benteng peninggalan Belanda yang didirkan pada tahun 1765M yang
kini menjadi museum, Pasar Beringharjo yang merupakan salah satu pasar terbesar
di Jogjakarta hingga kini, dan Hotel Garuda yang menjadi tempat para pembesar dan
Jendral-Jendral Belanda pada masa itu menginap dan berkumpul selama berada di
Jogjakarta. Hingga kini, bentuk bangunannya masih menyisakan berbagai potret
kenangan dari kejayaannya pada masa dahulu. Dan masih banyak gedung bersejarah
lainnya.

18

Anda mungkin juga menyukai