MADIUN
Kota Madiun
Ketiga tempat tersebut merupakan cagar budaya yang telah diakui dan dilindungi
oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kompleks
Masjid Kuno Kuncen sendiri merupakan salah satu peninggalan Ki Panembahan
Ronggo Jumeno atau biasa kita kenal dengan Ki Ageng Ronggo dan para
pengikutnya dalam upaya menyiarkan dakwah agama islam di tanah Madiun.
Kompleks Masjid Kuno Kuncen sendiri kemungkinan didirikan oleh Ki
Panembahan Ronggo Jumeno ( Ki Ageng Ronggo ), serta dengan seorang ulama
dari Demak yang lebih dulu menetap di daerah Kuncen yaitu Kyai Samin.
Kompleks Masjid Kuno Kuncen sendiri telah dikenal masyarakat luas, bahkan se-
Eks Karisidenan Madiun ( Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Kabupaten
Ponorogo, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi ), bahkan
juga dikatakan Kompleks Masjid Kuno Kuncen juga dikenal oleh masyarakat
daerah BAKORWIL Madiun ( Kota Madiun, Kabupaten Madiun, Kabupaten
Ponorogo, Kabupaten Magetan, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Ngawi, Kota
Kediri, Kabupaten Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Blitar, Kota Blitar,
Kabupaten Trenggalek, serta Kabupaten Tulung Agung ). Serta Kompleks Masjid
Kuno Kuncen sendiri telah dikenal di daerah Jawa Timur dan beberapa wilayah
provinsi di sekitar Jawa Timur seperti Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta ( D. I. Y ).
Selain Masjid Kuno Kuncen terdapat juga makam dari Pangeran Timur
serta beberapa mantan bupati Madiun yang terbentuk setelah dibangunnya
masjid dan Sendhang Tundhung Medhiun sebelum berdirinya Masjid Kuno
Kuncen.
Selain terdapat Masjid Kuno Kuncen dan Makam dari Para Bupati Madiun
di Kompleks Masjid Kuno Kuncen juga terdapat sebuah Sendhang yang
terletak tidak jauh dari Masjid Kuno Kuncen. Sendhang ini dinamakan
Sendhang Pamguripan / Sendhang Tundhung Medhiun. Menurut cerita dan
pengalaman dari juru kunci Kompleks Masjid Kuno Kuncen yang bernama
mbah Munir asal usul dari Sendhang Panguripan / Sendhang Tundhung
Medhiun itu sendiri juga berakar dari sebuah peristiwa yang terjadi di
Kerajaan Demak.
Dimana pada saat itu Sultan Demak mengutus seorang Mpu yang
bernama Mpu Kisuro untuk membuat suatu pusaka yang kuat dan tidak
terkalahkan, namun Mpu Kisuro tidak dapat menyangupi perintah Sultan
Demak akhirnya beliau di usir ( Tundhung ) oleh Sultan Demak. Mpu Kisuro
kemudian berkelana menuju timur dan sampai tibalah Mpu Kisuro di suatu
mata air yang disekelilingnya ada pohon Keningar yang sangat besar. Karena
Mpu Kisuro merasa lelah beliau beristirahat dan bersandar dibawah pohon
besar, pada saat bersandar tiba tiba beliau melihat bangkai katak yang
terlempar ke dalam mata air dan beliau melihat katak itu hidup lagi. Hal inilah
mengapa sendhang / mata air tersebut dinamai sendhang panguripan karena
dapat menghidupkan benda yang telah mati. Namun juga ada yang menyebut
sendhang tersebut dengan nama Tundhung Medhiun, hal ini disebabkan
karena di saat Mpu Kisuro mengetahui betapa hebat kekuatan sendhang itu
akhirnya Mpu Kisuro memutuskan untuk membuat pusaka di tempat itu, pada
saat mencelupkan keris yang baru di pande ke dalam sendhang tersebut
muncul sebuah keajaiban dimana tiba tiba di tengah tengah sendhang muncul
sesosok genderuwo / mahluk halus ( Medhi ) yang lalu berayun ayun di atas
pohon keningar besar. Hal itulah yang menyebabkan sendhang panguripan
juga disebut sebagai sendhang Tundhung Medhiun karena diambil dari kata
Tundhung ( Usir ) Medhiun ( Medhi ayun / Hantu yang berayunan ) yang
berarti Mpu Kisuro yang diusir oleh Sultan Demak dapat bertemu Medhi /
Hantu yang berayunan di sekitar sendhang tersebut.
LAMPIRAN