NIM : 1184010081
Prodi : Bimbingan dan Konseling Islam
Kelas : III – B
Mata Kuliah : Sejarah Dakwah
Sumedang berasal dari kata Insun medal yang berarti “aku lahir” dan insun
madangan yaitu “Aku Menerangi”. Diikrarkan oleh Prabu Tajimalela ketika melihat
malela (selendang) menyerupai taji di angkasa. Tonggak sejarah bagi kerajaan
Sumedang Larang, sebagai kerajaan sunda terbesar, setelah kerajaan Padjadjaran
runtuh akibat serangan gabungan banten dan Cirebon, maka kerajaan Sumedang
Larang mencakup wilayah bekas kerajaan Padjadjaran. Tonggak sejarah itulah
menjadi dasar : Hari Jadi Sumedang.1
Ketika mendapat serangan dari Banten yang mendadak itu Padjadjaran tibak bisa
berbuat banyak, kecuali menerima kekalahan. Kerajaan Padjadjaran porak-poranda
masyarakat banyak mengungsi sehingga rajanya pun (Prabu Siliwangi) berangkat
1
https://jabar.tribunnews.com / dikutip tanggal 27-10-19, jam 10.37
meninggalkan kerajaan. Hanya sebelum berangkat beliau memanggil dulu empat
patih kepercayaan Kerajaan (Kandaga Lante).
2
https://jabar.tribunnews.com / dikutip tanggal 27-10-19, jam 10.37
3
Dedi Rustandi, Jejak Pemimpin Sumedang, Sumedang: Belmas. 2016, hlm. 73
Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai
perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-
raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran
Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah
Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut.
Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan
cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal
dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan
Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu
Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun,
ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya. Dari
pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak,
yaitu :
· Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya
memeluk agama Islam.
· Santowaan Cikeruh.
· Santowaan Awiluar.
Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak
kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram.
Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung
dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk
mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante).
Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk
merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antaraCirebon dan
Sumedang. Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu
untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak
dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu
bersedia dengan syarat Sumedang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai
Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan
itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh
Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang
Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang
ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang
anak:
Kerajaan Tembong Agung didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih 678 M di Citembong
Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa
Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Prabu Guru Aji Putih merupakan putra Ratu
Komara keturunan dari Wretikandayun. Prabu Guru Aji Putih hasil pernikahan
dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten) memiliki empat orang putra; yang sulung
bernama Batara Kusuma atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu
Tajimalela, yang kedua Sakawayana alias Aji Saka, yang ketiga Haris Darma dan
yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana
4
https://jabar.tribunnews.com / dikutip tanggal 27-10-19, jam 10.37
Hari ke-21 Bratakusumah dipanggil oleh ayahnya, kemudian pada saat terang bulan
dinobatkan menjadi Pemangku Kerajaan Tembong Agung dengan gelar Prabu
Tadjimalela. Menikah dengan Kencana Wulung putri Adinata dari Permaisuri Sari
Ningrum, selanjutnya mengganti nama kerajaan menjadi Sumedang Larang. Di awal
kekuasaannya mengangkat pejabat-pejabat kerajaan dari lingkungan keluarga.
Kedudukan patih dijabat oleh pamannya sendiri yaitu Astajiwa dan sejumlah
menterinya terdiri dari saudara-saudaranya. Sokawayana menjadi penghulu daerah
sekitar Gunung Tampomas, Harisdarma menjadi penghulu daerah sekitar Gunung
Haruman(Garut). Sedangkan Langlangbuana menjadi penghulu di daerah Lemah
Putih kemudian menjadi pengabdi Kerajaan Galuh. Pembagian tugas memperlihatkan
sistem yang dibangun Prabu Tadjimalela adalah sistem monarkhi konstitusional.
Pemerintahan yang paling rendah adalah dukuh(desa) dijabat oleh petinggi,
kedudukannya sebagai pemimpin desa. Prabu Tajimalela mempunyai tiga orang putra
yaitu: yang pertama Jayabrata atau Batara Sakti alias Prabu Lembu Agung, yang
kedua Atmabrata atau Bagawan Batara Wirayuda yang dikenal sebagai Prabu Gajah
Agung, dan yang terakhir Mariana Jaya atau Batara Dikusuma dikenal sebagai Sunan
Ulun.
Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan
syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang
Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang
Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang
Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan
alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang dan pada masa itu
pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II dinobatkan sebagai raja
Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1610) sebagai nalendra
penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran, sebagaimana
dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (hal. 69) yang berbunyi; “Ghesan Ulun
nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi
Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri
Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh,
yaitu sirna, di bumi Parahiyangan.
Peristiwa Harisbaya
Peristiwa ini dimulai ketika Prabu Geusan Ulun pulang berguru dari Demak
dan Pajang, singgah di Keraton Panembahan Ratu penguasa Cirebon ketika Prabu
Geusan Ulun sedang bertamu di Cirebon, sang Prabu bertemu dengan Ratu Harisbaya
isteri kedua Panembahan Ratu yang masih muda dan cantik. Melihat mantan
kekasihnya datang rasa rindu dan cintanya Harisbaya ke Geusan Ulun makin
mengebu-gebu, setelah Panembahan Ratu tidur Harisbaya mengedap-edap
mendatangi tajug keraton dimana Prabu Geusan Ulun beristirahat dan Harisbaya
datang membujuk Geusan Ulun agar membawa dirinya ke Sumedang ketika itu
Geusan Ulun bingung karena Harisbaya adalah istri pamanya sendiri sedangkan
Harisbaya mengancam akan bunuh diri apabila tidak dibawa pergi ke Sumedang,
setelah meminta nasehat kepada empat pengiringnya akhirnya malam itu juga
Harisbawa dibawa pergi ke Sumedang.
Keesokan paginya keraton Cirebon gempar karena permaisuri hilang beserta
tamunya, melihat istrinya hilang Panembahan Ratu memerintahkan prajuritnya untuk
mengejar tetapi prajurit bayangkara Cirebon yang mengusul Geusan Ulun rombongan
dapat dipukul mundur oleh empat pengiring sang prabu. Akibat peristiwa Harisbaya
tersebut terjadilah perang antara Sumedang dan Cirebon. Sebelum berangkat perang
Jaya Perkosa berkata kepada Prabu Geusan Ulun, ia akan menanam pohon Hanjuang
di Ibukota Sumedang Larang (Kutamaya) sebagai tanda apabila ia kalah atau mati
pohon hanjuang pun akan mati dan apabila ia menang atau hidup pohon hanjuang pun
tetap hidup, sampai sekarang pohon hanjuang masih hidup.
Setelah berkata Jaya Perkosa berangkat bertempur karena pasukan Cirebon
sangat banyak maka perangpun berlangsung lama dalam perang tersebut
dimenangkan oleh Jaya Perkosa, dipihak lain Nangganan, Kondang Hapa dan Terong
Peot kembali ke Kutamaya sedangkan Jayaperkosa terus mengejar pasukan Cirebon
yang sudah cerai berai. Di Kutamaya Prabu Geusan Ulun menunggu Jaya Perkosa
dengan gelisah dan cemas, karena anjuran Nangganan yang mengira Senapati Jaya
Perkosa gugur dalam medan perang agar Prabu Geusan Ulun segera mengungsi ke
Dayeuh Luhur tanpa melihat dulu pohon hanjuang yang merupakan tanda hidup
matinya Jaya Perkosa. Maka sejak itu Ibukota Sumedang Larang pindah dari
Kutamaya ke Dayeuh Luhur
Pemindahan Pusat Pemerintahan ke Dayeuh Luhur
Area pesawahan dan tanaman palawijanya sendiri lebih luas dibandingkan dengan
luas pemukimannya. Hasil pertanian yang menjadi potensi Kecamatan Cimanggung
diantaranya adalah gula aren, keripik singkong, tape singkong, opak ketan, kelontong
dan lain-lain. Secara geografis, wilayah Kecamatan Cimanggung berada pada
ketinggian rata-rata 248,25 meter di atas permukaan laut. Luas wilayahnya sendiri
sekitar 11.197,01 Ha. Topografinya berupa lereng perbukitan dengan sedikit
hamparan. Di sebelah utaranya berbatasan dengan Kecamatan Tanjungsari,
Pamulihan dan Kecamatan Sumedang Selatan.
Wilayah desa ini meliputi tiga Dusun, Dusun I (Kampung Legok, Kampung
Cimuncang, Kampung Cuklik, Kampung Pasung dan Kampung Cibitung), Dusun II
(Kampung Babakankananga, Kampung Cijengkol, Kampung Cigulampok dan
Kampung Naringgul). Sedangkan Dusun III (Kampung Pamatang dan Kampung
Cisurupan). Dusun II kampung Cigulampok merupakan pusat pemerintahan desa
Sawahdadap.
a. Jumlah Penduduk
Berdasarkan data Desa Sawahdadap tahun 2015, jumlah penduduk Desa
Sawahdadap sebanyak 7.711 jiwa yang tersebar di 12 Rukun Warga, rincian
penyebaran penduduk setiap wilayah Rukun Warga daapat dilihat pada:
Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia
a) 0-4 tahun 192 orang
b) 5-6 tahun 193 orang
c) 7-12 tahun 910 orang
d) 13-15 tahun 501 orang
e) 16-18 tahun 377 orang
f) 19-25 tahun 981 orang
7
Wawancara dengan Mamad Abdul Somad (tokoh Masyarakat) Senin, 28 Oktober 2019 pukul 16.08 –
17.00 di kantor desa Sawahdadap kecamatan Cimanggung kabupaten Sumedang provinsi Jawa Barat
g) 26-64 tahun 4.016 orang
h) 65 tahun keatas 542 orang
Jumlah Penduduk Berdasarkan kelompok Pekerjaan/Pencaharian
a) Pensiunan 47 orang
b) TNI-Polri 40 orang
c) Petani 113 orang
d) Pegawai Swast 1.619 orang
e) Buruh 254
f) Wiraswasta 1.002 orang
g) Pelajar 1.161 orang
h) IRT 1.220 orang
i) Lainnya 168 orang
Jumlah Penduduk Berdasarkann Kelompok Pendidikan
a) Belum Sekolah 1.340 orang
b) Belum Tamat SD 838 orang
c) Tamat SD 2.028
d) SLTP/Sederajat 1.913 orang
e) SLTA/Sederajat 1.441 orang
f) D1-D2 23 orang
g) D3 34 orang
h) D4/S1 82 orang
i) S2 3 orang
j) S3 0 orang
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
a) Laki-laki 3.910 orang
b) Perempuan 3.802 orang
b. Kondisi Wilayah Desa Sawahdadap
Desa Sawahdadap merupakan salah satu Desa dalam wilayah Kecamatan
Cimanggung Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa barat Indonesia dengan luas
wilayah 217. 029 hektar, ketinggian bervariasi antara 715 meter sampai dengan 1.900
meter di atas permukaan laut. 8
Wilayah desa ini meliputi tiga Dusun, Dusun I (Kampung Legok, Kampung
Cimuncang, Kampung Cuklik, Kampung Pasung dan Kampung Cibitung), Dusun II
(Kampung Babakankananga, Kampung Cijengkol, Kampung Cigulampok dan
Kampung Naringgul). Sedangkan Dusun III (Kampung Pamatang dan Kampung
Cisurupan). Dusun II kampung Cigulampok merupakan pusat pemerintahan desa
Sawahdadap.
8
Wawancara dengan Mamad Abdul Somad (tokoh Masyarakat) Senin, 28 Oktober 2019 pukul 16.08 –
17.00 di kantor desa Sawahdadap kecamatan Cimanggung kabupaten Sumedang provinsi Jawa Barat
industri jenis lainnya yang akan berinvestasi dikawasan industry tersebut. Daerah ini
beriklim tropis. Musim kemarau biasanya jatuh pada bulan April sampai dengan
September, dan musimm hujan berlangsung dari bulan Oktober sampai bulan Mei.
Curah hujan berkisah antara 1.082, sampai dengan 2.409 milimeter pertahun dengan
jumlah haru hujan antara 113 sampai dengan 160 hari per tahun. Udara sejuk dan
menyegarkan dengan suhu sekitar 23 OC, bulan Februari dan Mei merupsksn bulan
terpanas yang mencapai suhu sekitar 26 OC, dan bulan September adalah bulan
dengan udara dingin dengan suhu yaitu 21 OC. Keadaan udara tidak terlalu lembab.
Kondisi masyarakat Cimuncang pada saat ini, khususnya dalam hal moralitas,
maka akan ditemukan satu kenyataan yang rasanya tidak cukup meemuaskan. Saat
ini, umat islam di Kecamatan Cimanggung sudah terlalu terlena dengan ilmu-ilmu
pengetahuan yang semakin banyaknya dan pada akhirnya menjauhkan mereka dari
nilai-nilai keislaman yang sebenarnya. Di lain pihak, golongan umat yang lebih
sedikit mengenyam pendidikan justru menjadi fanatic terhadap islam dan kemudian
melakukan tindakan-tindakan yang menjurus pada radikalisme . dari kondisi ini dapat
terlihat bahwa umat islam di Kampung Cimuncang tepatnya Kecamatan Cimanggung
masih terjebak dalam suatu ketersesatan karena tidak sanggup menunjukkan nilai-
nilai keislaman meskipun sudah mengakui islam sebagai agamanya. Mulai dari kasus
AIDS, perbedaan paham mengakibatkan terjadinya bentrokan, dan lain-lain. Semua
ini bisa teerjadi karena masih kurangnya pemahaman akan moralitas yang benar
tentang agama islam oleh sebagian besar umat islam di Kecamatan Cimanggung.
Dengan kata ini penanaman benih-benih keislaman umat meelalui pendidikan
tidaklah cukup berhassil dalam prakteknya. 9
9
Wawancara dengan pak Toto Rahmat (tokoh agama) kamis, 24 oktober 2019 17.25-18.00 di
kampung Cimuncang desa Sawahdadap kecamatan Cimanggung kabupaten Sumedang
Tantangan terhadap pengembangan moralitas muncul dari individu dann
kelompok. Individu yang terlibat dalam penyimpangan moralitas munngkin kurang
mendapat sentuhan keagamaaan atau terkena dampak dari lingkungan sosial dan
budaya yang kurang memeentingkan nilai-niilai keagamaan. Berhubung jumlah
mereka sangaat banyak dan faktor penyebabnya sangat berragam maka upaya unttuk
mengidentifikasi dan mencari langkah antisipasinya menjadi tidak mudah pula.
Sementara itu, penyimpangan moral yang diilakukan oleh sekelompook orang atauu
individu yang mengidinsipasikan adanya tindakan yang terorganisir. Mereka sudah
memiliki target tertentu, metode kerja yang sudah tersusun rapih, personil handal, dan
professional tak dapat dielakkan. Kita memerlukan orang-orang yang memusatkan
perhatian pada pengembangan dakwah, termasuk pembinaan moral. Organisasi islam
yang beragam harus bekerjasama, berbagi tugas dan salingg menduukung.
Pengembangan moralitas harus dilakukan melalui berbagai jalur, sepertii pendidikan,
budaya, ekonomi, poolitik dan sebagainya. Hanya dengan cara kerja sepeerti inilah
pengembangan moralitas akan membuahkan hasil yang maksimal.10
Jika menilik agama mayoritas etnis Sunda hari ini, paparan Jakob Sumardjo
tersebut bisa jadi benar. Namun kenyataannya, beberapa daerah di Jawa Barat dengan
mayoritas etnis Sunda sampai sekarang masih ada sistem kepercayaan lain di luar
Islam atau agama-agama lain yang diakui pemerintah. Salah satunya, dan mungkin
yang paling terkenal, adalah Sunda Wiwitan. Edi S. Ekadjati dalam Kebudayaan
Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah (1995), dengan mengambil contoh masyarakat
Kanékés di Banten, mencoba menjelaskan tentang Sunda Wiwitan. “Wiwitan berarti
mula, pertama, asal, pokok, jati. Dengan kata lain, agama yang dianut oleh orang
10
Wawancara dengan ibu Komariah (tokoh masyarakat) sabtu, 26 oktober 2019 17.00-17.30 di
kampung Cimuncang desa Sawahdadap Kecamatan cimanggung kabupaten Sumedang Provinsi Jawa
Barat.
Kanékés ialah agama Sunda asli. Menurut Carita Parahiyangan adalah agama
Jatisunda," tulisnya seraya mengakui informasi yang ia dapatkan terhitung sedikit
karena orang Kanékés cenderung tertutup membicarakan kepercayaannya. Ia
menambahkan, jika isi agama Sunda Wiwitan dideskripsikan, tampak keyakinan
kepada kekuasaan tertinggi pada Sang Hiyang Keresa (Yang Maha Kuasa) atau Nu
Ngersakeun (Yang Menghendaki). Disebut pula Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha
Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib), yang
bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep agama Hindu
(Brahma, Wisnu, Syiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Séda
Niskala. Dalam mitologi orang Kanékés, ada tiga macam alam: (1) Buana
Nyungcung, tempat bersemayam Sang Hiyang Keresa, yang letaknya paling atas; (2)
Buana Panca Tengah, tempat manusia dan makhluk lain berdiam; dan (3) Buana
Larang, yaitu neraka yang letaknya paling bawah. Antara Buana Nyungcung dan
Buana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam, tersusun dari atas ke bawah. Lapisan
teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam
Kahiyangan atau Mandala Hiyang. Lapisan alam ini tempat tinggal Nyi Pohaci
Sanghiyang Asri dan Sunan Ambu. Sang Hiyang Keresa menurunkan tujuh batara di
Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari 7 batara itu ialah Batara Cikal, yang dipercaya
paling tua, yang dianggap leluhur orang Kanékés. Keturunan batara yang lain
memerintah di daerah-daerah lain (Karang, Jampang, Sajira, Jasinga, Bongbang, dan
Banten). “Kata menurunkan (nurunkeun) pada hubungan Sang Hiyang Keresa dengan
7 batara, bukan berarti melahirkan seperti layaknya orangtua kepada anaknya,
melainkan mendatangkan (dari Buana Nyungcung ke Buana Tengah). Dari nama-
nama batara (Wisawara, Wisnu, Brahma), tampak masuknya pengaruh agama Hindu
ke dalam sistem kepercayaan orang Kanékés,"
11
Sumedangtandang.com/sumeedang/profil/sejarah.htm dikutip pada 03-11-19 Pukul 12.55
12
Wawancara dengan pak Toto Rahmat (tokoh agama) kamis, 24 oktober 2019 17.25-18.00 di
kampung Cimuncang desa Sawahdadap kecamatan Cimanggung kabupaten Sumedang
Cimuncang. Kesadaran masyarakat kampung Cimuncang sudah sangat tinggi
terhadap ajaran Islam, para orang tua sudah mulai sadar akan pentingnya
mengajarkan anak-anaknya mengenai pengetahuan agama sedari kecil. Para orangtua
pun sudah merasa dirinya butuh terhadap pengetahuan agama sehingga mereka sering
menghadiri majlis-majlis dakwah di tempat tinggal mereka.13
2. Metode Kesenian
Kampung Cimuncang adalah salah satu daerah yang sejak zaman dahulu
sangat erat mempercayai budaya dan kepercayaan leluhur. Kepercayaan tersebut
belum sepenuhnya murni benar menurut ajaran Islam, namun masih bercampur ajaran
Hindu yang di anut nenek moyang mereka sebelum ajaran Islam masuk ke daerah ini.
Sejak dulu budaya yang selalu di lestarikan oleh masyarakat Kampung Cimuncang
adalah kesenian-keseniannya. Hal ini membuat minat masyarakat Cimuncang sangat
besar pada bidang kesenian. Sebagaimana para Walisongo yang berhasil
menyebarkan ajaran Islam melalui kesenian, para penggiat agama di Kampung
Cimuncang pun menempuh cara ini untuk menyebarkan ajaran Islam di Kampung
Cimuncang.
13
Wawancara dengan ibu Komariah (tokoh masyarakat) sabtu, 26 oktober 2019 17.00-17.30 di
kampung Cimuncang desa Sawahdadap Kecamatan cimanggung kabupaten Sumedang Provinsi Jawa
Barat.
lagu yang dilantunkan berisi ajaran-ajaran Islam yang secara tidak langsung syair
tersebut menyampaikan dakwah Islam kepada para pendengarnya.