Anda di halaman 1dari 24

KERAJAAN SUMENEP

Dibuat guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Indonesia Madya

Dosen Pengampu; Prof. Dr. H. Budi Sulistiono, M. Hum

Oleh

Nabilla Dwi Lustiani 11180150000106

SEMESTER 3

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Jl. Ir. H. Djuanda No.95, Cempaka Putih, Ciputat,

Kota Tangerang Selatan, Banten 15412. Telp ( 021-7401925 )


KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR

Assalamuallaikum Wr. Wb.,


Segala puji bagi allah SWT yang telah melimpahka rahmat, hidayah, serta karunia-Nya
kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan karya tulis ini. Makalah ini berjudul
Peranan Kesultanan islam dalam Perkembangan Ekonomu dan Pembangunan Fisik di Desa
Kampung Klungkung Bali dibuat untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Sejarah Indonesia
Madya. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
karya tulis ini dapat di selesaikan.
Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan karya tulis ini terdapat keskurangan.
Penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga karya tulis ini
bermanfaat bagi pembaca, terutama bagi penyusun

Wassalamuallaikum Wr. Wb.,

Sawangan, Novemeber 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sumenep merupakan salah satu kabupaten dipulau madura. Wilayah kabupaten ini
dikelilingi oleh laut jawa di utara dan timur. Luas wilayahnya 1.998,54 kilometer persegi.
Terbagi dalam tujuh wilayah pembantu bupati, 25 kecamatan,4 wilayah perwakilan kecamatan,
328 desa dan 4 kelurahan. Banyak sekali penulisan sejarah kerajaan-kerajaan yang ditulis oleh
para ahli sejarawan baik di Indonesia maupun luar negeri. Salah satunya sejarah tentang
kerajaan yang ada di nusantara sangat dikenal oleh sejarawan Indonesia. Kebanyakan peniliti
melakukan penelitian berdasarkan penyebaran agama-agama yang ada di Indonesia seperti
tersebarnya agama islam,kisten,buddha dan hindu. Dan penulis meneliti tentang persebaran
islam yang ada di kerajaan sumenep.

Kerajaan sumenep sangat berkaitan dengan sejarah keratonnya. Sumenep adalah


sebuah daerah yang terdapat di Madura, yang hingga kini kebudayaan keratonnya masih
terjaga. Sejarah lain tentang islam di sumenp sudah tertulis pada sejarah dalem, yang
kemungkinan silsilah Jawa-Madura yang lebih tua.

Bukan suatu hal yang berlebihan apabila seseorang mengatakan bahwa Islamisasi
Madura berjalan sukses sehingga berhasil dan kini tak seorang pun penduduk Madura yang
bukan Muslim. Kalau pun ada yang bukan Muslim, maka bisa dipastikan mereka itu pendatang
baru. Namun, sejak kapan dan bagaimana semua itu bermula, amat sukar dirajut dengan
sempurna. Ibarat benang kusut, sejarah proses Islamisasi Madura ini belum dan tidak
terdokumentasi dengan rapi. Mitos dan legenda banyak mewarnai kisah-kisah seputar
Islamisasi penduduk pulau garam ini. Beberapa kajian akademis yang hadir belakangan terlalu
banyak yang mengangkat Madura dari segi budaya an sich, sehingga terkesan melupakan peran
tokoh-tokoh ulama-ulama yang membawanya. Tulisan ini coba mengungkap sejarah Islamisasi
Madura pada periode awal, yaitu masa peralihan agama primitif orang Madura kepada Islam.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang yang sudah di paparkan oleh penulis, penulis menemukan
beberapa rumusan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini,

Berikut rumusan masalah :

1. Bagaimana proses masuknya islam di Sumenep Madura ?


2. Bagaimana sejarah berdirinya dari kerajaan Sumenep ?
3. Bagaimana

1.3 Tujuan Masalah


Berdasarkan rumusan masalah yang sudah di paparkan diatas, penulis menemukan tujuan
masalah.

Berikut tujuan masalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana proses masuknya islam di sumenep madura.


2. Untuk mengetahui bagaimana proses berdirinya dari kerajaan sumenep.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Proses Masuknya Islam di Sumenep Madura


.

Bukan suatu hal yang berlebihan apabila seseorang mengatakan bahwa Islamisasi
Madura berjalan sukses sehingga berhasil dan kini tak seorang pun penduduk Madura yang
bukan Muslim. Kalau pun ada yang bukan Muslim, maka bisa dipastikan mereka itu pendatang
baru. Namun, sejak kapan dan bagaimana semua itu bermula, amat sukar dirajut dengan
sempurna. Ibarat benang kusut, sejarah proses Islamisasi Madura ini belum dan tidak
terdokumentasi dengan rapi. Mitos dan legenda banyak mewarnai kisah-kisah seputar
Islamisasi penduduk pulau garam ini. Beberapa kajian akademis yang hadir belakangan terlalu
banyak yang mengangkat Madura dari segi budaya an sich, sehingga terkesan melupakan peran
tokoh-tokoh ulama-ulama yang membawanya. Tulisan ini coba mengungkap sejarah Islamisasi
Madura pada periode awal, yaitu masa peralihan agama primitif orang Madura kepada Islam.
1. Agama Primitif Madura
Terletak di seberang timur laut pulau Jawa, pulau Madura dikatakan mulanya hanya
terdiri dari gundukan-gundukan tanah yang kadang tampak hijau dari kejauhan tatkala air
laut surut namun ‘hilang’ dari pandangan bila air laut pasang. Sebab itulah orang Jawa
menyebutnya “Lemah Dhuro” yakni tanah yang tidak sesungguhnya; kadang terlihat dan
kadang raib. Bahkan sampai sekarang pun masih ada orang Jawa yang memanggil orang
Madura itu “Wong Dhuro”.
Sejarah lisan (legenda) masyarakat Madura mengatakan bahwa nenek moyang
penduduk Madura berasal dari pulau Jawa, yaitu Raden Segoro, putra seorang raja dari
negara Medangkamulan di dekat gunung Semeru dan Bromo. Meski sukar untuk dipastikan
historisitasnya, keberadaan tokoh Raden Segoro dan Kyai Poleng begitu kuat dipercaya
oleh masyarakat turun-temurun. Maka tak mengherankan kalau sejarah Madura terkait erat
dengan sejarah Jawa. Kerajaan-kerajaan Madura sejatinya merupakan kelanjutan dari
kerajaan-kerajaan besar di Jawa, mulai dari Kediri, Singasari, Majapahit dan Mataram.
Oleh karena itu, pada zaman pra-Islam, penduduk Madura umumnya beragama Hindu-
Buddha, sebagaimana masyarakat jawa pada umumnya.
Namun demikian, sejarawan mengakui sangat kesulitan untuk merekonstruksi
masa pengaruh Hindu-Budha di Madura ini karena kelangkaan sumber sejarah. Hanya ada
beberapa candi baik di Pamekasan dan Sumenep sebagai bukti bahwa agama Hindu-Budha
pernah dianut masyarakat Madura. De Graaf mengakui, untuk merekonstruksi sejarah
Jawa, termasuk Madura, terpaksa menggali dari sumber yang keruh. Diperkirakan
pengaruh Hindu-Budha yaitu sejak abad ke 9, sejak berkembangnya cerita Raden Segoro,
sampai sekitar abad ke 15, yakni setelah mulai berkembangnya masyarakat mengenal Islam
lalu memeluknya. Pengaruh kuat Hindu-Budha juga diperkuat dengan adanya catatan
bahwa di abad-abad itu secara berturut-turut Madura dibawah pengaruh Kediri (1050-
1222), Singosari (1222-1292) dan Majapahit (1294-1572), yang kesemuanya beragama
Hindu dan Budha. Sebab itu, istilah “Madura” tidak jarang disebut-sebut dalam tulisan-
tulisan orang Hindu sebagaimana dalam Pararaton yang menyebut istilah “Madura Wetan”,
Madura bagian timur, yakni Sumenep.
Sampai di sini agama primitif orang Madura bisa dipastikan tidak jauh berbeda
dengan masyarakat Jawa pra Islam, yaitu Hindu-Budha. Adapun agama selain itu adalah
agama baru yang datang kemudian, termasuk Islam dan Kristen. Selanjutnya akan
dijabarkan proses Islamisasi Madura.
2. Islamisasi Madura
Proses Islamisasi Madura boleh dibilang suatu proyek dakwah yang menuai hasil
yang luar biasa. Proyek dakwah ini sebenarnya adalah kelanjutan dari mega proyek
Islamisasi Nusantara yang sangat massif di antara abad ke-7 hingga abad ke-15 melalui
tangan-tangan ikhlas para juru dakwah yang di Jawa dikenal dengan Wali Songo. Madura
juga menjadi bagian agenda mega proyek ini. Namun demikian, sepertinya perlu kerja
keras untuk membangun sejarah Islamisasi Madura ini agar tersusun secara utuh. Hal ini
karena fakta telah berbaur dengan legenda. Stories, myths and legends are to be foundin
abundance, kata Lik Arifin Mansurnoor, dalam penelitiannya tentang peran ulama dalam
Islamisasi Madura. Ada dua jalur Islamisasi Madura yang bisa dielaborasi, yaitu jalur
kerajaan dan jalur para da’i atau yang lebih dikenal para sunan.
3. Jalur Kerajaan
Jalur kerajaan adalah teori yang menggambarkan bahwa Islamisasi Madura itu
melalui para pemimpin dan bangsawan kerajaan. Karena raja-rajanya Islam, maka
keturunannya ikut Islam dan diikuti oleh penduduk di bawahnya yang juga memeluk Islam.
Ada beberapa pendapat tentang hal ini. Di bagian timur Madura, yaitu Sumenep
menyebutkan Islam sudah masuk ke Sumenep sejak Panembahan Joharsari, penguasa
Sumenep dari tahun 1319-1331 M. Panembahan Joharsari mempunyai putra bernama
Raden Piturut yang bergelar Panembahan Mandaraka yang juga disinyalir beragama Islam.
Bukti keislamannya adalah makamnya sudah berbentuk Islam yang terletak di desa
Mandaraga, Keles, Ambunten. Panembahan Mandaraka yang berkuasa sampai 1339 M
mempunyai dua putra yaitu Pangeran Natapraja bertahta di Bukabu dari thn 1339-1348 M
dan Pangeran Nataningrat yang menggantikan kakaknya dengan karaton Baragung, Guluk-
Guluk. Pangeran Nataningrat berputra Agung Rawit yang bergelar Pangeran Sekadiningrat
I yang memerintah thn 1358-1366 M dengan keraton di Banasare. Kemudian ia diganti
oleh putranya yaitu Temenggung Gajah Pramada yang bergelar Sekadiningrat II yang
memerintah thn 1366-1386 M. setelah itu ia diganti oleh cucunya yang bernama Jokotole
atau Aria Kudapanole yang bergelar sekadiningrat III.
Namun sepertinya masih terlalu lemah pembuktian keislaman penguasa-penguasa
Sumenep di atas karena minimnya bukti empiris yang mendukung. Ditambah lagi, ada
yang mengatakan, Jokotole atau Aria Kudapanole yang berkuasa sejak tahun 1415-1460
M baru masuk Islam kemudian melalui Juru Dakwah yang dikenal dengan Sunan
Paddusan. Nama Asli sunan ini adalah R. Bindara Dwiryapada anak dari Haji Usman
Sunan Manyuram Mandalika, penyebar agama Islam di Lombok.
Sunan Paddusan kemudian diambil menantu oleh Jokotole. Sementara itu, teori
kerajaan lainnya adalah di Madura bagian Barat. Menurut beberapa sumber, Prabu
Brawijaya ke V, yakni Prabu Kertabumi, yaitu Raja Majapahit yang memerintah antara
tahun 1468–1478 M telah memeluk Islam. Dari permaisurinya yang bernama Ratu
Dworowati dikarunia putra bernama Raden Ario Lembu Petteng. Ario Lembu Petteng
kemudian menjadi Kamituo di Madegan Sampang. Sementara di lain cerita, putra Prabu
Kertabumi lainnya bernama Ario Damar (menjadi adipati di Palembang) mempunyai putra
Raden Ario Menak Senoyo. Ario Menak Senoyo kemudian meninggalkan Palembang dan
menetap di Madura, tepatnya di Parupuh (sekarang Proppo).
Kisah Madura bagian Barat ini bermula dari kisah mereka berdua. Mereka masih
setia dengan agama primitifnya, yaitu Hindu. Sebagai bukti, di sana terdapat puing-puing
candi yang gagal dibangun. Orang menyebutnya Candi Burung (“burung” dalam bahasa
Madura bermakna gagal). Ario Lembu Petteng sudah mulai tertarik dengan agama baru
yang waktu demi waktu tambah ramai dianut orang, utamanya di lingkungan bangsawan
Majapahit. Lalu kemudian ia memeluk Islam pada tahun 1478 M, setelah menjadi santri
dari Sunan Ampel. Sebelumnya ia hanya mengutus bawahannya untuk belajar Islam ke
Sunan Ampel. Namun ternyata anak buahnya itu sudah keduluan masuk Islam. Tidak mau
ketinggalan, ia kemudian berangkat sendiri ke Ampel Delta dan nyantri kepada Sunan
Ampel.
Akhirnya ia memeluk Islam dan tidak sempat pulang lagi ke Sampang karena
keburu meninggal dan dimakamkan di Ampel. Namun, menurut cerita lain, di masanya ia
menetap di Sampang inilah Sunan Giri mengutus Syekh Syarif, yang juga dikenal dengan
Khalifa Husein, untuk membantunya untuk merangkul para pengikut baru di pulau
tersebut. Lembu Petteng meninggalkan dua putra dan satu putri. Mereka adalah Raden Ario
Manger, Raden Ario Mengo dan Retno Dewi. Lalu kemudian Raden Ario Manger
menggantikan bapaknya sebagai Kamituo di Madegan Sampang. Ia mempunyai tiga orang
putra, yaitu Kyai Ario Langgar, Kyai Ario Panengah, Kyai Ario Pratikel. Namun, tidak
semua keturunan Lembu Petteng memeluk Islam. Tercatat Ario Mengo tetap menganut
Budha dan oleh karenanya masyarakatnya masih kuat menganut agama ini. Ario Mengo
lah yang membuka hutan di sebelah timur dari kerajaan bapaknya, yaitu di daerah
Pamelingan (sekarang Pamekasan). Dialah yang memerintah pertama kali di sana dengan
gelar Kyai Wonorono di mana tempat keratonnya berada di daerah Lawangan Daya
sekarang.
Dua keturunan Prabu Kertabumi Barawijaya V ini kemudian menjadi satu kembali
pada perkawinan antara Raden Ario Pojok dari garis keturunan Raden Ario Damar dengan
Nyai Budho dari garis keturunan Raden Ario Lembu Petteng. Dari perkawinannya ini
dikarunia lima anak yang salah satunya adalah bernama Kyai Demang yang kemudian
memimpin Plakaran Arosbaya, Bangkalan. Kyai Demang kawin dengan Nyi Sumekar
mendirikan Kraton di kota Anyar. Dari perkawinannya itu kemudian mereka dikarunia
lima orang putra, yaitu:
a. Kyai Adipati Pramono di Madegan Sampang
b. Kyai Pratolo disebut juga Pangeran Parambusan
c. Kyai Pratali atau disebut juga Pangeran Pesapen
d. dan (5) Kyai Pragalba yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Plakaran karena
bertahta di Plakaran.
Menurut catatan sejarah, penguasa Plakaran ini masih enggan memeluk Islam,
walaupun Islam sudah menjadi buah bibir sebagian besar masyarakatnya, termasuk
putranya sendiri Raden Pratanu. Namun demikian, ia tidak melarang putranya belajar ilmu
Islam kepada Sunan Kudus. Oleh karena itu, agama Islam masih menemukan rintangan
berkembang di Madura bagian Barat ini karena keengganan Raden Pragalbo untuk
memeluk Islam. Di penghujung usianya, Raden Pratanu membujuk bapaknya agar
mengucapkan dua kalimat syahadat. Saat itulah Raden Pragalbo wafat setelah Beberapa
saat sebelumnya menganggukkan kepala tanda setuju dengan bimbingan anaknya.
Mengangguk dalam bahasa Madura disebut onggu’.
Sejak itulah, menurut legenda ini, Raden Pragalbo kemudian lebih dikenal dengan
Pengeran Islam Onggu’. Panembahan Pratanu yang bergelar Lemah Dhuwur ini adalah
pendiri kerajaan kecil yang berpusat di Arosbaya, sekitar 20 km dari kota Bangkalan ke
arah utara. Diperkirakan, Panembahan Pratanu dinobatkan sebagai raja pada tahun 1531
setelah ayahnya, Raja Pragalbo, meninggal dunia. Sebagaimana disebutkan di atas,
walaupun sang Bapak masih enggan masuk Islam, namun ketika Pratanu masih dalam masa
mudanya ia pernah bermimpi didatangi orang yang memintanya agar memeluk agama
Islam. Mimpinya disampaikannya kepada sang ayah, lalu sang ayah mengirim Patih Empu
Bageno untuk mempelajari Islam di Kudus.
Tidak tanggung-tanggung, sang Patih belajar Islam sungguh-sungguh sampai
akhirnya memeluk agama ini dan kembali ke Arosbaya. Dari dialah Pratanu mengenal
Islam dan iapun masuk Islam. Diperkirakan, setelah keislaman sang pangeran, ia bersama
Empu Bageno kemudian menyebarkan agama baru itu ke seluruh warga Arosbaya. Dilihat
dari masanya, di mana ia diperkirakan lahir tahun 1531 dan meninggal tahun 1592,
Panembahan Pratanu termasuk raja pertama di Madura Barat ini yang masuk Islam dan
menyebarkannya.
Di pamekasan, Raja yang tercatat sebagai penganut Islam pertama adalah
Panembahan Ronggosukowati. Menurut catatan sejarah pamekasan, di masa muda
Ronggosukowati pernah belajar kepada Sunan Giri atau Raden Paku. Oleh karena itu, bisa
dipastikan Ronggosukowati muda ini sudah Muslim. Dialah yang kemudian menggantikan
Bapaknya, yaitu Panembahan Bonorogo, karena usia yang sudah lanjut. Namun,
kepulangan Ronggosukowati ke Pamekasan tidaklah sendirian. Konon Sunan Giri
menyertakan muballigh bersamanya untuk menyiarkan Islam di Pamekasan yang bernama
Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bil Faqih. Bersama muballigh itulah
Ronggosukowati mengislamkan Pamekasan. Sejauh penulis telusuri, pada periode awal,
memang Madura berada di bawah kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Jawa. Itu
diperkirakan antara abad ke 10-15. Di antara masa-masa ini aroma dakwah Islam sudah
masuk ke Jawa yang mengakibatkan beberapa orang masuk Islam, utamanya daerah-daerah
pesisir pantai utara jawa. Akibatnya, Madura juga menjadi bagian terpenting dari proses
Islamisasi ini melalui islamnya kalangan bangsawan di kala itu. Sehingga, sekitar abad ke
16 dan seterusnya, semua kerajaan dan begitu juga masyarakatnya sudah Islam, utamanya
setelah penguasaan Mataram atas kerajaan-kerajaan Madura antara abad ke 16-17.
4. Peran Sunan-Sunan di Madura
Islamisasi Jawa oleh para Sunan sangat luas imbasnya, termasuk Madura menjadi
obyek proyek besar mereka. Sunan yang kemudian dikenal dengan Walisongo memang
tidak secara langsung menyebarkan Islam ke pulau ini. Namun demikian, pengaruh agama
baru yang mereka bawa betul-betul dirasakan hingga ke pelosok-pelosok kampung di
Madura. Islam betul-betul menjadi tren di masyarakat luas waktu itu.
5. Sapudi Kepulauan Islam Pertama di Sumenep
Tersebutlah sebuah pulau kecil di Kabupaten Sumenep yang bernama Sapudi.
Konon, kata ini, “Sapudi”, berasal dari kata-kata Sepuh Dhewe (bahasa Jawa) yang
bermakna “yang paling tua sendiri”. Menurut kisah tutur madura, dikatakan tua sendiri
karena dianggap Islam masuk ke tempat ini paling awal dibandingkan di tempat-tempat
lain di Madura pada umumnya dan di Sumenep pada khususnya. Perlu diketahui, bahwa
Madura bagian Timur ini semarak lebih awal dari bagian Baratnya berkat kemajuan-
kemajuan yang dicapai Aria Wiraraja setelah menjadi Adipati di sana pada abad ke 13.
Sementara transportasi waktu itu sangat bergantung kepada transportasi laut. Oleh
karena itu, minat para pedagang akan jatuh kepada lokasi-lokasi ramai di mana hal itu lebih
memungkinkan mereka untuk berniaga. Jalur pesisir utara jawa adalah pilihan yang sudah
biasa dilalui armada pedagang internasional hingga ke perairan Lombok. Tak terkecuali
pedagang Arab yang juga sampai ke Madura bagian Timur ini. Sudah menjadi lumrah para
penyeru dakwah menyertai perjalanan para peniaga dari Arab ini.
Berdasarkan survei penulis terhadap beberapa literatur, tercatatlah seorang penyeru
dakwah bernama Sayyid Ali Murtadha yang menuju arah Timur dan mendarat di sebuah
pulau yang dikenal sekarang dengan Sepudi. Di sanalah dia menyiarkan agama baru, Islam.
Dialah Sunan Lembayung Fadal. Orang menyebutnya dengan Rato Pandita. Kuburannya
saat ini disebut Asta Nyamplong. Sunan Lembayung Fadal mempunyai empat keturunan.
a. Pertama, bernama Haji Usman yang dikenal dengan Sunan Manyuram Mandalika. Ia
menyiarkan Islam di Lombok dan mempunyai putra bernama Raden Bindara
Dwiryapada yang sampai sekarang dikenal dengan nama Sunan Paddusan,
menyebarkan Islam di Sumenep. Sunan Paddusan menjadi menantu Jokotole. Jokotole
masuk Islam dari tangannya.
b. Kedua, Usman Haji yang dikenal dengan Sunan Ngudung (Sunan Andung). Beliau
mempunyai dua anak, putra dan putri, yaitu: Syd. Jakfar shodik (Sunan Kudus) dan Siti
Sujinah (istri Sunan Muria).
c. Ketiga, Tumenggung Pulangjiwa atau juga dikenal dengan Panembahan Blingi. Ia
kemudian dikarunia dua anak, yaitu Adipoday dan Adirasa. Keempat, Nyai Ageng
Tanda. Ia kemudian menjadi istri Khalifah Husain atau Sunan Kertayasa di Sampang.
Dikabarkan, Sunan Lembyung Fadal sezaman dengan Panembahan Joharsari yang
berkuasa antara tahun 1319-1331 M di Sumenep. Dengan demikian, Sunan ini
termasuk awal, lebih awal dari Walisongo yang memasifkan gerakan dakwahnya pada
abad ke 15-16 M. Ini sangat dimungkinkan karena sebenarnya di Surabaya dan
sekitarnya, sejak sebelum abad ke 11 diduga kuat sudah banyak komunitas Muslim.
Sebagai salah satu buktinya adalah adanya makam seorang muslimah di Gresik yang
bernama Fatimah binti Maimun yang wafat tahun 1082 M. Oleh karena itu, bisa diduga
bahwa Sunan Lembayung Fadal ini hanyalah bagian kecil dari rombongan para penyiar
yang sudah marak “berkeliaran” di Jawa dan sekitarnya untuk menyiarkan Islam.
Jika teori ini benar, maka isu bahwa legenda keislaman Adipoday (Wirakrama) yang
disinyalir cucu dari Sunan Lembayung Fadal dan istrinya yang dalam legenda dikenal
Potre Koneng semestinya juga Islam. Namun, susah membuktikan keislaman mereka
karena sangat minimnya data pendukung yang bisa dipertanggungjawabkan. Sebab
hampir semua kisah tentang Adipoday dan Potre Koneng diselimuti kabut fiktif yang
amat sulit membuktikan historisitasnya. Justru, fakta yang lebih terang menyatakan
bahwa anak dari pasangan Adipoday dan Potre Koneng yaitu Jokotole baru masuk
Islam kemudian ketika Sunan Paddusan atau R. Bindara Dwiryapada yang menyiarkan
Islam di Sumenep dan akhirnya diambil menantu oleh Jokotole. Oleh karena itu, bisa
jadi kisah Adipoday dan Potre Koneng hanya disambung-sambungkan dengan kisah
Sapudi sehingga seakan satu garis keturunan. Atau bisa saja kisah Sapudi itu juga
terlalu dibumbu-bumbui sehingga terkesan Islamnya Raja Sumenep lebih awal
masuknnya di bandingkan raja-raja Madura lainnya.
6. Sunan Ampel dan Cina Muslim di Sumenep
Dakwah yang disiarkan oleh Sunan Ampel sudah berpengaruh luas hingga ke
pelosok Madura. Berita tentang adanya agama baru yang memberi harapan sudah sekian
jauh menggema di sanubari masyarakat. Secara sukarela satu persatu masuk Islam. Tak
terdapat suatu paksaan dalam konversi agama ini. Namun magnet Islam sudah terlalu kuat
di hati orang-orang Hindu maupun Budha karena dalam Islam terdapat kekuatan cara
pandang yang canggih dan baru bagi mereka. Memang, jejak-jejak Sunan Ampel tidak
terlalu terekam di Madura ini secara jelas.
Namun dipastikan aroma dakwahnya senantiasa memancing keingintahuan. Salah
satunya dalam kisah Aria Lembu Petteng yang merupakan putra dari Prabu Kertabumi,
Raja Majapahit Brawijaya ke V, yang dikirim ke Sampang untuk menjadi Kamituo. Karena
tidak tega mendengar rintihan batinnya, ia pun berangkat ke Ampel Delta belajar Islam dan
menjadi Muslim kepada Sunan Ampel dan akhirnya meninggal di Ampel. Sayangnya tidak
sempat kembali lagi ke Sampang untuk menyiarkan Islam di sana. Sehingga anak-anaknya
masih juga dengan agama primitifnya yaitu Hindu. Baru pada masa cucu-cunya ketika
kabar Islam sudah semakin santer di masyarakat sudah banyak yang berpindah agama.
Di Sumenep bagian utara, tepatnya di Kecamatan Pasongsongan, terdapat kisah
menarik mengenai sebuah perkampungan yang didiami orang-orang Cina Muslim. Mereka
mengklaim sebagai keturunan Cina yang masih termasuk santri Sunan Ampel di Ampel
Surabaya. Konon mereka mendiami Madura sejak zaman maraknya penyebaran dakwah di
jawa melalui tangan-tangan para sunan, utamanya Sunan Ampel di Surabaya. Tercatat,
Sumenep sebagai lokasi paling timur Madura yang lebih awal mengalami kemajuan
peradaban yang ternyata mempunyai jejak-jejak historis masyarakat Cina yang sudah
beragama Islam.
Tercatat bahwa interaksi orang-orang Cina dengan Madura bagian timur ini
diperkirakan sejak tentara Mongol dikalahkan Majapahit pada abad ke 13 dimana Aria
Wiraraja punya andil besar dalam strategi perang Majapahit ketika itu. Konon, orang-orang
Cina sisa-sisa prajurit Tartar itu terperangkap siasat yang dilancarkan oleh Aria Wiraraja
sehingga mereka tidak bisa kembali lagi ke negara asalnya. Sumenep kembali berbenturan
dengan pasukan Cina ketika terjadi perang dengan pasukan Jokotole pimpinan Dempo
Awang di abad ke 15.
Orang-orang Cina ini semakin banyak di Madura utamanya di Sumenep ketika
VOC sudah mulai menembus perkampungan Madura sejak abad ke 17-19, dimana orang-
orang Cina ikut serta meramaikan perhelatan ekonomi di pulau garam ini. Di mana-mana,
orang-orang Cina biasanya beragama Konghucu atau Budha. Namun, belakangan banyak
ditemukan agama mereka yang sudah berpindah ke Katolik maupun protestan karena
alasan-alasan strategis pragmatis, seperti keamanan dan ketenteraman, utamanya dalam
berbisnis. Di mana-mana orang-orang Cina juga dimusuhi oleh penduduk setempat
termasuk penduduk Islam di Madura karena perbedaan agama. Oleh karena itu, sangat
wajar apabila sentra orang-orang Cina itu lebih memilih bertahan di perkotaan karena akan
lebih aman dan lebih mudah melakukan aktivitas ekonomi. Dengan kegigihan dalam
berniaga, hampir di seluruh perkotaan Madura orang-orang Cina menguasai ekonomi dan
pasar strategis yang berpusat di kota.
Fakta itu setidaknya bisa dipahami secara jamak. Namun, suatu hal yang cukup
unik, bahwa di masyarakat Cina di Kecamatan Pasongsongan ini sudah Muslim, hidup di
perkampulan muslim, berbaur dengan masyarakat Muslim asli Madura. Sebuah pertanyaan
mungkin akan muncul, mengapa orang-orang Cina bisa hidup di kampung yang jauh dari
perkotaan? Lalu mengapa juga mereka beragama Islam, padahal pada umumnya orang-
orang Cina beragama Konghucu?
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Moh. Ali Al-Humaidi menunjukkan bahwa
orang-orang Cina memang selalu terdiskriminasi secara ras. Dengan begitu, secara
pragmatis apabila ingin bertahan di daerah-daerah pedalaman, maka mau tidak mau harus
menjalani akulturasi dengan budaya dan agama setempat. Sehingga bisa saja menjadi
alasan perpindahan agama kepada Islam adalah karena alasan pragmatis. Namun demikian,
hasil observasi Ali Al-Humaidi ini mencatat, bahwa orang-orang Cina di kampung ini
sudah Muslim dari nenek moyang mereka.
Diceritakan, nenek moyang mereka masih bermarga King, sehingga nama depan
mereka memakai “K”, merupakan santri dari Sunan Ampel. Ia bernama Kingpangkeng
yang makamnya saat ini di Ampel Surabaya. Ia diambil menantu oleh kerajaan Sriwijaya
yang kemudian mempunyai dua orang putri, yaitu Teisi dan Caul. Caul dinikahkan dengan
sepupunya yang bernama Biangseng. Akhirnya Caul meninggal dan kemudian Biangseng
dinikahkan dengan adiknya yaitu Teisi. Dari pasangan Biangseng dan Tiesi kemudian
dikaruniai anak bernama Cabun. Setelah meninggal, Biangseng oleh Sriwijaya dikuburkan
di Ampel dan diberi gelar Tumenggung Ongkowijoyo. Orang-orang Pasongsongan
mengklaim bahwa Ongkowijoyo yang berguru langsung ke Sunan Ampel itu adalah nenek
moyang mereka. Mereka menyebutnya dengan “Pujuk Ampel”.
Menurut hasil observasi ini, proses migrasi etnis Cina ke Sumenep diperkirakan
pada abad ke 14. Sebagian keturunan Biangseng kemudian diambil menantu oleh kerjaan
Sumenep di masanya Aria Wiraraja karena Biangseng sendiri adalah dari kalangan
Bangsawan Cina sehingga mudah diterima oleh keluarga kerajaan Sumenep. Orang-orang
Cina keturunan di kampung ini meyakinkan bahwa, nenek moyang mereka ini merupakan
murid langsung dari Sunan Ampel di Surabaya. Tidak hanya itu, disebutkan juga bahwa
ketika menetap di Pasongosngan, di sana juga terdapat Murid Sunan Ampel yang lain yang
bernama Kyai Ali Akbar yang kemungkinan besar dikirim untuk menyebarkan dakwah
Islam dan sesepuh Cina itu menambah ilmu keislamannya kepadanya. Bersama ulama ini
Islam disebarkan di daerah Pesisir utara Madura.
7. Peran Sunan Kudus di Pamekasan
Pamelingan adalah nama kerajaan kecil sebelum nama Pamekasan. Kerajaan
sebelah Barat Sumenep ini mempunyai Raja yang dikenal sangat bijak, negarawan dan ahli
strategi. Ia dikenal dengan Panembahan Ronggosukowati. Keislamannya sejak ia masih
remaja. Tercatat bahwa masa remajanya Ronggosukowati pernah Nyantri kepada Sunan
Giri atau yang dikenal dengan Raden Paku. Setelah dewasa dan ilmu yang dia dapatkan
terasa cukup maka segera kembali ke Pamelingan untuk menggantikan posisi ayahandanya
yang sudah usia lanjut. Namun, sebagaimana disebutkan di atas, kepulangannya tidak
sendirian. Sunan Giri berinisiatif mengirimkan juru dakwah yang nantinya akan
mendampingi Ronggosukowati menyiarkan Islam kepada masyarakat Pamelingan. Juru
dakwah itu kemudian dikenal dengan Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bil Faqih.
Tentu saja Sunan Giri sangat mengerti proses Islamisasi di Pamekasan akan lebih maksimal
jika dibantu oleh seorang “misionaris” (da’i) yang mempuni. Sayyid Abdurrahman sebagai
utusan Sunan Giri memainkan peranan yang penting di sini. Tentu saja dengan
kemahirannya rakyat Pamekasan dengan cepat menerima dakwah yang dikembangkannya.
Maka wajar apabila keberpihakan Ronggosukowati terhadap dakwah itu sangat dibantu
oleh Sayyid Abdurrahman. Sang juru dakwah ini akhirnya dikawinkan dengan keluarga
kraton agar tidak meninggalkan Pamekasan nantinya.
Sebagai keturunan Arab, dialah yang memelopori pemukim Arab di Pamekasan ini.
Kemudian keturunan-keturunannya banyak melakukan perkawinan dengan penduduk
setempat sehingga mempercepat proses akulturasi dan mempermudah penyebaran Islam di
kalangan penduduk. Bahkan, pembauran besar-besaran antara orang-orang Arab dengan
masyarakat di Pamekasan khususnya dan di Madura pada umumnya terjadi pada abad-abad
berikutnya, khususnya setelah terusan Suez mulai dibuka pada tahun 1869, di mana waktu
itu para pemuka-pemuka Islam di Nusantara, termasuk Madura memperoleh kemudahan
belajar langsung ke negara-negara Arab, khususnya di Mekkah al-Mukarramah. Demikian
juga, waktu itu arus orang-orang Arab dari Hadramaut yang tentunya dengan para da’inya
semakin banyak masuk ke Indonesia. Tidak terlupakan Madura menjadi salah satu tujuan
mereka. Bahkan, pemuka-pemuka dari Arab itu menetap di Pamekasan dan menjadi
penyiar agama Islam yang terkemuka.

Abad ke 7 Islam pertama kali mulai masuk ke Nusantara melalaui perdagangan, yang
dulunya pusat perdagangan tersebut di Malaka. yang dimulai dari wilayah malaka yang
kemudian diteruskan ke wilayah wilayah lainnya. Islam pun mulai menyebar ke seluruh
Indonesia setelah dari bagian wilayah Sumatra kemudian lanjut ke wilayah Jawa. Di Jawa,
kerajaan yang pertama kali masuk Islam ialah kerajaan Demak, yang kemuian berlajut ke
Gresik, tepatnya di Sedayu, Tuban, Probolinggo, selanjutnya ke pulau Madura.

Di pulau Madura sendiri, kebanyakan sudah banyak daerah daerah yang sudah mengenal
agama Islam , baik itu daerah Sumenep, Pamekasan, Bangkalan dan Pulau Sapudi. Atau bisa
dikatakan bahwa Penyebaran Islam dimulai dari Malaka, ada yang langsung ke Minangkabau
dan ada yang ke Jawa Timur, yaitu di Gresik dan Tuban. Dari Gresik, agama Islam kemudian
berlanjut ke arah bagian pulau Madura.

Di pulau Madura sendiri ada 2 bagian wilayah yaitu Madura bagian Timur dan Madura
bagian Barat. Madura bagian barat termasuk, Sampang dan Pamekasan, serta Madura bagian
timur termasuk, Sumenep dan pulau Sapudi. Di dalam artikel ini akan membahas proses
Islamisasi di daerah Sumenep.

Pada zaman Pra Islam (sebelum agama Islam masuk), kebanyakan kerajaan di pulau
Madura ini merupakan lanjutan dari kerajaan di Jawa, yaitu kerajaan Kediri, Majapahit,
Singhasari, Mataram, dan lain lain. Serta juga menganut agama Hindu Budha. Bukti bukti
tentang adanya agama Hindu Budha di pulau Madura ini hanya sedikit, yaitu hanya ada dua
candi, di Pamekasan dan di Sumenep. Kemudian pada abad ke- 15 Masehi, Islam pertama kali
disebarkan di pantai selatan kota Sumenep. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa sebelum
kerajaan Majapahit runtuh, Madura sudah mengenal terlebih dahulu Agama Islam.

Ada beberapa jalur dalam proses Islamisasi di pulau Madura, yaitu jalur kerajaan, jalur
perdagangan dan jalur para wali atau para sunan

1. Jalur kerajaan
Jalur ini merupakan bahwa proses Islamisasi Madura ini melalui pemimpin dan
bangsawan kerajaan. Maksudnya kalau para raja rajanya beragama Islam , maka penduduk
atau warganya juga ikut memeluk agama Islam . Misalnya sunan Padusan yang berhasil
mengIslam ka raja Jokotole, karena raja tersebut tertarik terhadap ajaran Islam yang
diberikan oleh Padusan. Akibat rajanya memeluk agama Islam maka rakyatnya juga ikut
memeluk agama yang sama.
2. Jalur Perdagangan
Jalur ini yang paling banyak berpengaruh, hal ini dikarenakan pada abad ke 7
Islam pertama kali masuk ke Nusantara juga melalui perdagangan. Istilahnya jalur ini yang
pertama kali membawa agama Islam . kebanyakan para pedagang yang membawa agama
Islam ini berasal dari Arab, Gujarat, dan Persia. Akan tetapi d Madura ini, yang
menyebarkan agama Islam tersebut, berasal dari orang Melayu. Di Madura sendiri, lebih
tepatnya di pantai selatan Sumenep. Jadi perdagangan serta penyebaran Islam itu dimulai
dari daerah Sumenep.
Selain itu, daerah Sumenep sendiri merupakan kawasan perdagangan yang paling
ramai di Madura Hal ini dikarenakan didaerah daerah pesisir merupakan tempat para
pedagang pedagang untuk singgah terlebih dahulu, entah itu untuk beristirahat ataupun
untuk menjual dagangannya, seperti keramik, baju, makanan, rempah rempah, dan lain lain
jadi hal tersebut dimanfaatkan juga untuk menyebar keyakinan mereka di dalam agama
Islam ke daerah yang disinggahinya. jadi Islam di daerah Sumenep ini tumbuh lebih maju
bila dibandingkan dngan Madura bagian dan Pamekasan
3. Jalur para Sunan atau Wali serta pengaruhnya terhadap orang orang Cina
Persebaran agama Islam di Madura tersebut tidak hanya melalui dari jalur
perdagangan saja, tetapi juga dari peranan para wali yaitu dari Sunan Ampel dan Sunan
Giri yang mengutus murid muridnya ke madura. Bahkan Islam datang ke Madura ini
merupakan hasil penyebaran dan pengajaran oleh sunan Giri, serta pedagang pedagang
Islam dari Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Kalianget. Untuk sunan Ampel, ternyata
dakwahnya sudah berpengaruh luas hingga ke pelosok Madura.
Memang, bukti bukti adanya dakwah sunan Ampel di Madura sedikit, akan tetapi
menurut cerita ada suatu cerita yaitu kisah Aria Lembu Peteng yang merupakan putra dari
Prabu Kertabumi, Raja Majapahit Brawijaya ke V, yang dikirim ke Sampang untuk
menjadi Kamituo. Karena Aria tersebut tidak mau, tetapi ia harus menjalankan perintahnya
dari ayahnya.
Maka, ia pun berangkat ke Ampel Delta secara terpaksa untuk belajar Islam dan
menjadi Muslim kepada Sunan Ampel dan akhirnya meninggal di Ampel. Akan tetapi,
sayangnya tidak kembali lagi ke Sampang untuk menyiarkan Islam di sana. Sehingga
keturunannya juga masih menganut agama dahulunya yaitu Hindu. Baru, ketika pada masa
cucu-cucunya mendengar kabar Islam di kalangan masayrakat maka sudah banyak yang
berpindah ke agama Islam .
Masih tentang dakwahnya sunan Ampel, ternyata di Sumenep bagian utara,
tepatnya di Kecamatan Pasongsongan, terdapat cerita yang menarik yaitu adanya sebuah
perkampungan yang di tempat tinggali oleh orang-orang Cina Muslim. Serta di sana juga
terdapat murid Sunan Ampel yang lain yang bernama Kyai Ali Akbar yang dikirim untuk
menyebarkan dakwah Islam ke sesepuh Cina itu menambah ilmu keIslam annya. Bersama
ulama ini Islam disebarkan di daerah Pesisir utara Madura.
Menurut penelitian para ahli, proses migrasi etnis Cina ke Sumeneo diperkirakan
pada abad ke 14. Hal ini dimulai ada keturunan Biangseng yang merupakan bangsawan
dari Cina, dan kemudian diambil menantu oleh kerajaan Sumenep yang pada saat itu di
pimpin oleh Aria Wiararaja.
Mereka menganggap dirinya sebagai keturunan Cina yang masih termasuk santri
Sunan Ampel di Ampel Surabaya. Dahulu, mereka mendiami Madura sejak maraknya
penyebaran dakwah di jawa melalui tangan-tangan para sunan, utamanya Sunan Ampel di
Surabaya. Bisa dikatakan, Sumenep sebagai lokasi paling timur Madura yang lebih awal
mengalami kemajuan peradaban yang ternyata mempunyai jejak-jejak historis masyarakat
Cina yang sudah beragama Islam .
Asal mula mereka sampai ke tanah Madura ini ialah adanya interaksi orang-orang
Cina dengan Madura bagian timur. Diperkirakan sejak tentara Mongol dikalahkan
Majapahit pada abad ke 13 dimana Aria Wiraraja mempunyai hak dalam strategi perang
Majapahit ketika itu. Dahulu, orang-orang Cina, yang merupakan sisa-sisa prajurit Tartar
tersebut terperangkap dalam siasat yang dilakukan oleh Aria Wiraraja sehingga mereka
tidak bisa kembali lagi ke negara asalnya. Orang-orang Cina ini semakin banyak di Madura
utamanya di Sumenep.
Yang lebih menarik, kebanyakan orang orang Cina tersebut beragama
Konghucu. Dengan menganut agama tersebut, hal ini lah yang membuat orang orang
madura membenci orang orang cina. Bisa dikatakan kalau orang orang di Madura tersebut
sangat menjaga agama yang dianutnya yaitu agama Islam . jadi hal inilah yang
menyebabkan orang orang Cina lebih memilih bertahan di perkotaan karena lebih aman
dan mudah sekali dalam melakukan aktivitas.
Memang hampir di seluruh perkotaan Madura, orang orang Cina menguasai
ekonomi dan pasar strategis yang berpusat di kota. Akan tetapi banyak juga orang orang
Cina yang sudah beragama Islam , tujuannya agar mereka bisa berkomunikasi dengan
orang orang madura lainnya. Menurut Ali Al Humaidi, sebagaian orang orang Cina di
wilayah Madura ini sudah muslim dari nenek moyang mereka. Diceritakan bahwa, nenek
moyang mereka masih bermarga King, sehingga nama depan mereka memakai huruf “K”.
Misalnya Kingpangkeng yang merupakan santri dari Sunan Ampel dan berasal dari Cina.
Dahulunya ia diambil menantu oleh kerajaan Sriwijaya yang kemudian mempunyai dua
orang putri yaitu Teisi dan Caul.
Selain melalui jalur perdagangan, jalur para santri atau para wali, dan bahkan
melalui jalur kerajaan, saluran Islamisasi di Madura juga melalui jalur santri, pondok
pesantren, pengaruh penguasa setempat dan dengan jalan perkawinan baik perkawinan
dengan penguasa lokal, atau dengan perkawinan dengan keluarga pemuka agama.Kuburan
Panembahan Juharsari, di Desa Mandaraga Sumenep
Pada pemerintahan Panembahan Joharsari, penguasa Sumenep dari tahun 1319-
1331 M ini, Sumenep belum menyebar secara luas. Memang Panembahan ini yang pertama
kali menganut agama Islam , akan tetapi tidak diketahui oleh siapa yang menyebarkan.
Akan tetapi ada faktor faktor yang mendukung, yaitu Gelar jabatannya
“Panembahan“ didalam dunia luar Islam baik agama Hindu, Syiwa, dan agama Budha
tidak dikenal gelar jabatan seperi Sultan, Panembahan, dan Susuhunan. Tetapi baru dikenal
setelah masuknya agama Islam di Jawa. Panembahan Joharsari mempunyai putra bernama
Raden Piturut bergelar Panembahan Mandoroko yang beragama Islam , kuburannya di desa
Mandaraga Keles merupakan kuburan Islam yang berkumpul dengan kuburan keluarga
Islam lainnya.
Baru setelah pada pemerintahan JokoTole, Islam sudah mulai dikenal banyak
orang. Panembahan Joharsari mempunyai putra bernama Raden Piturut yang bergelar
Panembahan Mandaraka. Panembahan Mandaraka ini berkuasa sampai 1339 M dan
mempunyai dua putra yaitu Pangeran Natapraja bertahta di Bukabu dari tahun 1339-1348
M dan Pangeran Nataningrat yang menggantikan kakaknya dengan karaton Baragung yaitu
Guluk-Guluk. Pangeran Nataningrat berputra Agung Rawit yang bergelar Pangeran
Sekadiningrat I yang memerintah tahun 1358-1366 M dengan keraton di Banasare.
Kemudian ia diganti oleh putranya yaitu Temenggung Gajah Pramada yang
bergelar Sekadiningrat II yang memerintah tahun 1366-1386 M. Setelah itu ia diganti oleh
cucunya yang bernama Jokotole atau Aria Kudapanole yang bergelar sekadiningrat III,
Jokotole atau bisa disebut dengan Aria Kudapanole ini berkuasa sejak tahun 1415-1460
Masehi.
Kemudian, bersamaan dengan itu ada seorang penyiar agama, yang kemudian
dikenal dengan Sunan Padusan, nama asli dari sunan ini adalah R. Bindara Dwiryapada.
Menurut cerita ia merupakan keturunan dari Arab, yang bernama Haji Usman Manyuram
Mandalika atau lebih dikenal dengan Sunan Andung, penyebar agama Islam di Lombok.
Asal mula nama Padusan ialah bahwa setiap orang yang masuk Islam dan telah dianggap
mampu untuk menjalankan syariat Islam , maka ia lalu dimandikan dengan air dengan
dicampuri macam-macam bunga yang baunya sangat harum, dimandikan secara demikian
disebut dengan “diedus“, karena itu tempat dimana dilakukan upacara tersebut dinamakan
desa “Padusan” yang artinya bunga yang harum.
Kampung Padusan ini termasuk desa Pamolokan kota Sumenep. Sunan Padusan ini
juga membangun pondok pesantren di Parsang. Tidak disangka hal tersebut menarik
perhatian dari pangeran Jokotole dan penduduk sekitar. Yang akhirnya pangeran Jokotole
memeluk agama Islam , melalui sunan Padusan.
Karena sunan tersebut berhasil dengan dakwahnya dan ,mengIslam kan pangeran
Jokotole beserta anaknya, maka oleh pangeran Jokotole dijadikan menantunya. Hal itulah
yang menyebabkan tempat tinggal Sunan Padusan itu yang semula di desa Padusan
kemudian pindah ke keraton Batuputih.
Selain sunan Padusan, pada abad ke 17, atau saat pemerintahan Pangeran Lor dan
Pangeran Wetan tahun 1550-an di daerah Sumenep juga ada seorang tokoh penyebaran
agama Islam lainnya, yaitu Syayyid Ahmadul Baidhawi atau lebih dikenal dengan nama
Pangeran Katandur. Kuburannya terletak di desa Bangkal sebelah timur kota Sumenep dan
sampai sekarang lebih dikenal dengan Asta Sabu. Keturunan – keturunannya banyak yang
berhasil dalam mengIslam kan penduduk Madura. Salah satu keturuannya yaitu Bendoro
Saud yang akhirnya menjadi penguasa Sumenep dari tahun 1750-1762. Pada abad ke 18,
proses Islamisasi di Sumenep semakin meluas ketika diperintah oleh putra dari Bendoro
Saud, yang bernama Panembahan Sumolo. Buktinya yaitu adanya keraton Sumenep dan
Masjid Jamik. Keraton Sumenep juga berpindah pindah, dari yang semula berada di desa
Banasare, kecamatan Rubau, kemudian pada saat pemimpinnya yaitu raja Jokotole (1415-
1460) keraton tersebut pindah ke daerah Dungkek.
Dahulu sebelum ada masjid tersebut, sudah ada masjid yang dibangun oleh Raja
Pangera Anggadipa (1626-1644), yang letaknya di sebelah Utara. Namanya dulu yaitu
Masjid Laju (dalam bahasa Indonesia bernama masjid Lama). Serta kegunaaan masjid
dahulu tersebut merupakan masjid keraton yang dikhususkan untuk para raja dan kalangan
kerajaan.
Sekarang Masjid Agung tersebut berada di tengah kota Sumenep, tepatnya di jalan
Trunojoyo No. 06 kelurahan Bangselok. Letak mesjid ini tidak terlalu jauh dengan
bangunan sejarah lainnya yang ada di kota Sumenep, seperti Keraton Panembahan Sumolo.
Masjid Agung Sumenep dibangun oleh Panembahan Sumolo atau Pangeran
Natakusuma I (1762-1811). Sebenarnya, masjid ini adalah pemugaran dari mesjid Laju
yang dibangun oleh Pangeran Anggadipa, beliau sendiri pernah pula menjabat sebagai
Adipati Sumenep (1626-1644). Dahulu, Pangeran yang memiliki nama asli Aria Asirudin
Natakusuma, menganggap masjid Laju sudah tidak dapat lagi menampung jumlah jemaah
Islam di kota Sumenep yang semakin bertambah.
Rencana pemugaran mesjid Agung Sumenep dilakukan setelah pembangunan
Keraton Sumolo selesai dikerjakan, yakni sekitar tahun 1752. Pada saat itu Pangeran
Anggadipa saat melihat hasil karya seorang arsitek Cina yaitu Lauw Pingao dalam
membangun keraton Sumolo, maka beliau akhirnya menugaskan kepada arsitek memugar
masjid Laju.
Lauw Piango adalah cucu dari Lauw Khun Thing yang merupakan satu dari enam
orang China yang pertama datang dan menetap di Sumenep. Setelah berhasil
menyelamatkan diri dari kota Semarang akibat adanya perang “Huru-hara Tionghwa”
(1740 M).
Dari tinjauan arsitektural, mesjid Agung Sumenep telah menjadi bukti adanya
akulturasi kebudayaan pada masa silam di kabupaten paling timur yaitu Sumenep. Sejarah
telah mencatat, pembangunan mesjid Agung dimulai pada tahun 1779 dan selesai tahun
1787. Terhadap masjid bersejarah ini, Pangeran Natakusuma I berwasiat yang ditulis pada
tahun 1806, bunyinya sebagai berikut;“Masjid ini adalah Baitullah, berwasiat Pangeran
Natakusuma penguasa di negeri/keraton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang
yang memerintah (selaku penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat Masjid ini
sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya Masjid ini wakaf, tidak
boleh diwariskan, dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak.”
Selain itu, ada juga makam Pangeran Pulang Jiwa yang berangka tahun 1678 M
yang terdapat di Asta Tinggi. Akan tetapi baru baru ini ditemukan makam kuno sebanyak
7 buah di dusun Kampung Baru Desa pandian, Sumenep, yang oenemunya yaitu bapak
Sunarto. Dari penelitian para Sejarawan, ada salah satu nisan makam kuno tersebut terdapat
tulisan dalam bahasa Arab yaitu (Syeh Sayyid Abdullah) yang mempunyai julukan Maha
Pati Raja Anggadipa, selain itu ada ukiran dua kalimat syahadat, sholawat nabi dan tulisan
dalam bentuk huruf jawa kuno, yang menunjukkan tahun wafatnya yaitu 1151 Hijriyah.
Serta menurut warga ada yang menyakini kalau ada salah satu makam tersebut merupakan
saudara kandung Sunan Bonang. Karena pada nisannya ada tulisan arab yang berbunyi
Bonang yang wafat pada tahun 1241 Hijriyah.
Kemudian di desa Kalimo’ok tepatnya di Trunojoyo, Sumenep terdapat makam
Asta K. Ali Barangbang. Ternyata K. Ali mempunyai silsilah dari Syekh Maulana Sayyid
Jakfar atau lebih dikenal dengan Sunan Kudus. K. Ali Barangbang ini wafat pada tahun
1092 Hijriyah. Selama hidupnya K. Ali ini merupakan seorang ulama besar dan juga
seorang penyiar agama Islam . Uniknya K. Ali ini mempunyai kelebihan, yaitu ia bisa
mengajar ngaji kepada binatang kera.

https://www.maduracorner.com/islam-di-sumenep-dan-perkembangannya/

2.2 Sejarah Kerajaan Sumenep


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saram
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai